Anda di halaman 1dari 31

Nama :YOHANES A RAJON

NIM : 2023807017

TUGAS : PKN

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara


dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik
dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat
manusia.

Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya


dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu,
perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena
beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan
monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda
dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk
mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.

Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara
seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi
langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan
keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih
merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak
langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan
muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era
Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Prancis.

PENGERTIAN DEMOKRASI MENURUT PARA AHLI


Abraham Lincoln

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.

Charles Costello

Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan
pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga
negara.

John L. Esposito

Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya
berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas
antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Hans Kelsen

Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan
Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin, bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.

Sidney Hook

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting


secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa.

C.F. Strong

Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat
ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.

Hannry B. Mayo
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik.

Merriem

Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas;
pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik
langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan
cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk
mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan
keturunan atau kesewenang-wenangan.

Samuel Huntington

Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem
dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para
calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat
memberikan suara.

A.PRINSIP DAN INDIKATOR DEMOKRASI

1. Prinsip-prisip Demokrasi

Prinsip-prinsip demokrasi telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Jika kita mengungkap
kembali prinsip demokrasi sebagaimana dinyatakan Sukarna (1981) di atas, menunjuk pada
prinsip demokrasi sebagai suatu sistem politik. Contoh lain, misalnya Robert Dahl (Zamroni,
2011: 15) yang menyatakan terdapat dua dimensi utama demokrasi, yakni:

1) kompetisi yang bebas diantara para kandidat,

2) partisipasi bagi mereka yang telah dewasa memiliki hak politik. Berkaitan dengan dua prinsip
demokrasi tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa demokrasi memiliki dua ciri utama
yakni keadilan (equality) dan kebebasan (freedom).
Franz Magnis Suseno (1997: 58), menyatakan bahwa dari berbagai ciri dan prinsip demokrasi
yang dikemukakan oleh para pakar, ada 5 (lima) ciri atau gugus hakiki negara demokrasi, yakni:
negara hukum, pemerintah berada dibawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang
bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.

Hendra Nurtjahyo (2006: 74-75) merangkum sejumlah prinsip demokrasi yang dikemukakan
para ahli dengan menyatakan adanya nilai-nilai yang substansial dan nilai-nilai yang bersifat
prosedural dari demokrasi. Kedua ketegori nilai tersebut baik subtansial dan prosedural sama
pentingnya dalam demokrasi. Tanpa adanya nilai tersebut, demokrasi tidak akan eksis, yang
selanjutnya dikatakan sebagai prinsip eksistensial dari demokrasi. Prinsip eksistensial demokrasi
tersebut, yakni: 1)
kebebasan, 2) kesamaan dan 3) kedaulatan suara mayoritas (rakyat).Pendapat yang sejenis
dikemukakan oleh Maswadi Rauf (1997: 14) bahwa demokrasi itu memiliki dua prinsip utama
demokrasi yakni kebebasan/persamaan (freedom/equality) dan kedaulatan rakyat (people’s
sovereignty).

1.1 Kebebasan/persamaan (freedom/equality)

Kebebasan dan persamaan adalah fondasi demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana
mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya
pembatasan dari penguasa. Jadi bagian tak terpisahkan dari ide kebebasan adalah pembatasan
kekuasaan kekuasaan penguasa politik. Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi
kebebasan warganya sekaligus memberi tugas pemerintah untuk menjamin kebebasan tersebut.
Demokrasi pada dasarnya merupakan
pelembagaan dari kebebasan. Persamaan merupakan sarana penting untuk kemajuan setia orang
Dengan prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan memperoleh
akses dan kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Demokrasi
berasumsi bahwa semua orang sama derajat dan hak-haknya sehingga harus diperlakukan sama
pula dalam pemerintahan

1.2 Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty)


Konsep kedaulatan rakyat pada hakekatnya kebijakan yang dibuat adalah kehendak rakyat dan
untuk kepentingan rakyat. Mekanisme semacam ini akan mencapai dua hal. Pertama, kecil
kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kedua, terjaminnya kepentingan rakyat
dalam tugas tugas pemerintahan. Perwujudan lain konsep kedaulatan adalah pengawasan oleh
rakyat. Pengawasan dilakukan karena demokrasi tidak mempercayai kebaikan hati penguasa.
Betapapun niat baik penguasa, jika mereka menafikan kontrol/kendali rakyat maka ada dua
kemungkinan buruk pertama, kebijakan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat dan,
kedua, yang lebih buruk kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan penguasa.
Sementara itu, APA (ASEAN People’s Assembly) mendaftar sejumlah prinsip dasar demokrasi
yangditerima sebagai seperangkat aturan main bersama dalam upaya melakukan penilaian proses
demokratisasi di kawasan Asia Tenggara, terlepas dari banyak perdebatan reotik antara
demokrasi universal dan particular, antara konsep “Barat” dan “Timur” atau “Cara
Asia/ASEAN” dan berbagai macam kata sifat yang tercantum di depan definisi demokrasi saat
digunakan untuk menggambarkan karakteristik demokratis sebuah negara –seperti: semi-
demokrasi, demokrasi liberal, demokrasi
elektoral, dan lain-lain.

Prinsip-prinsip demokrasi :  partisipasi, inklusif, representasi, transparansi, akuntabilitas,


responsif, kompetisi yang bebas dan adil, dan solidaritas, dijadikan dasar dari perkembangan
institusional dan proses demokrasi (Chistine Sussane Tjhin, 2005: 11, 18).

2. Indikator Demokrasi

Kerangka kerja penilaian demokratisasi di antaranya dirumuskan APA yang diinspirasi konsep
yang dikembangkan oleh David Beetham dalam membuat indikator demokrasi. Beetham
menerjemahkan
“kedaulatan rakyat” (rule of the people) secara lebih spesifik menjadi faktor kontrol popular
(popular control) dan faktor kesetaraan politik (political equality). Kontrol populer
memanifestasikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengontrol dan mempengaruhi
kebijakan publik dan para pembuat kebijakan. Perlakuan terhadap masyarakat harus didasari
pada keyakinan bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan rasa hormat yang setara. Setiap
orang memiliki kapasitas yang setara dalam menentukan pilihan. Pilihan tersebut dapat
mempengaruhi keputusan kolektif dan semua kepentingan yang mendasari pilihan tersebut harus
diperhatikan (Christine Sussana Tjhin, 2005: 11-13, 19-21).

Kerangka kerja utama dibagi menjadi 3 komponen utama. Pertama, Kerangka Kerka Hak-hak
Warga Negara yang Kesetaraannya Terjamin (Guaranteed Framework of Equal Citizen Rights).
Termasuk di
dalamnya adalah akses pada keadilan dan supremasi hokum, juga kebebasan berekspresi,
berserikat dan berkumpul, dan hak-hak dasar yang memungkinkan masyarakat untuk
memperoleh/menjalankan hak-haknya secara efektif. Komponen pertama ini terdiri dari 2 tema,
yaitu: 1) Kewarganegaraan yang Setara (Common Citizenship), dan 2) Hak-hak Sipil dan Politik
(Civil and Political Rights).
Komponen kedua, Institusi-institusi Pemerintah yang Representatif dan Akuntabel (Institutions
of Representative and Accountable Government). Tercakup di dalamnya adalah pemilu yang
bebas dan adil yang menyediakan perangkat agar pilihan dan control populer atas pemerintah
dapat dilaksanakan. Termasuk juga di dalamnya adalah prosedur-prosedur yang menjamin
akuntabilitas pejabat publik (yang dipilih maupun tidak dipilih melalui pemilu). Komponen
kedua terdiri dari 6 tema, yaitu: 1) Pemilu yang Bebas dan Adil (Free and Fair Elections), 2)
Partai Politik yang Demokratis (Democratic Political Parties), 3) Hubungan Sipil-Militer (Civil-
Military Relations), 4) Transparansi dan Akuntabiltas Pemerintahan (Governmental
Transparency and Accountability), 5) Supremasi Hukum (Rule of Law), dan 6) Desentralisasi
(Decentralization).

Komponen ketiga adalah Masyarakat yang Demokratis atau Sipil (Civil or Democratic Society).
Cakupan komponen ini meliputi media komunikasi, asosiasi-asosiasi sipil, proses-proses
konsultatif dan forum-forum lainnya yang bebas dan pluralistik. Kebebasan dan pluralisme
tersebut harus menjamin partisipasi popular dalam setiap proses politik dalam rangka mendorong
sikap responsif pemerintah terhadap opin publik dan terselenggaranya pelayanan public yang
lebih efektif. Komponen ketiga mencakup 2 tema, yaitu: 1) Media yang Independen dan Bebas
(Independent and Free Media), dan 2) Partisipasi Populer (Popular Participation).

Setiap 10 tema tersebut berisikan seperangkat indicator penilaian yang dikategorikan


berdasarkan 3 dimensi, yaitu: dimensi legal, institusional dan kinerja (performance). Dimensi
legal untuk mengindentifikasi kahadiran payung hukum yang memberikan kepastian hukum
untuk tema terkait. Dimensi institusional menggali ada atau tidaknya perangkat institusi dan
mekanisme yang mampu memberikan jaminan implementasi perangkat hukum. Dimensi kinerja
mengelaborasi sejauh mana kinerja elemen-elemen dalam dua dimensi sebelumnya telah berhasil
membawa pengaruh aktual terhadap kemajuan proses demokratisasi berdasarkan konteks tema
terkait. Indikator-indikator dalam setiap dimensi tersebut dihrapkan dapat menjadi semacam
petunjukpetunjuk praktis dalam proses penilaian demokratisasi.

Model-model lain dari demokrasi sebagai berikut;

1.     Demokrasi Liberal yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan
umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg.

2.     Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya
rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan unyuk menduduki
kekuasaan.

3.     Demokrasi Sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian kepada keailan sosial dan
egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.

4.     Demokrasi Partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang
dikuasai.

5.     Demokrasi Konstitusional, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok


budaya yang menekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya
masyarakat utama.

6.     Demokrasi Langsung, terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara
dilakukan secara langsung.

Demokrasi Tidak langsung, terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak secara
langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melaikan melalui lembaga perwakilan.

DEMOKRASI INDONESIA
Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi di
dunia secara umum, hingga khususnya di Indonesia, mulai dari pengertian dan
konsepsi demokrasi menurut para tokoh dan founding fathers Kemerdekaan Indonesia,
terutama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir. Selain itu juga proses ini
menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai saat Kemerdekaan Indonesia,
berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemunculan fase kediktatoran Soekarno dalam Orde
Lama dan Soeharto dalam Orde Baru, hingga proses konsolidasi demokrasi pasca Reformasi
1998 hingga saat ini.

Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia[sunting | sunting sumber]

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang duet


pemimpin Dwitunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia
Merdeka sebagai sebuah negara yang demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan
dalam Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah “atas nama bangsa Indonesia”, bila dikaitkan
dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan
Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia sendiri.

Meskipun telah mencapai konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh
pergerakan dan pelopor kemerdekaan Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya masing-
masing, kebanyakan dari mereka berusaha menengahi dualisme penafsiran demokrasi
dari Negara Barat yang liberalis dan kapitalis dengan Negara Timur yang komunis, terutama
dalam merumuskan tentang kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan
kemerataan ekonomi yang ditiru dari demokrasi Timur. Namun, terkadang beberapa tokoh
kemudian memiliki kecenderungan masing-masing, entah itu kecenderungan pada Barat ataupun
Timur, yang kemudian menjadi ciri khas dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi Indonesia


adalah demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu artinya adalah
demokrasi Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada perlawanan terhadap
imperialisme dan kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam bukunya, Indonesia
Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi, yang secara eksplisit terinspirasi oleh pergerakan
kemerdekaan yang dilakukan di pelbagai belahan dunia, dari perjuangan
seorang Muhammad, Yesus Kristus, William de Oranje, Mahatma Gandhi, Mustafa Kemal
Attaturk, dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[1]

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi
Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak
kepada rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan
dan dikonsepsikan oleh Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi
Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis, demokrasi
yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.[2] Oleh
karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok
untuk Indonesia.

Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep pemikirannya,


yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika masih belajar
sebagai mahasiswa di Bandung. Marhaenisme pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis
sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang
disebut sebagai “Trisila”, yaitu:[3][4]

Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah
nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam
nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.

Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah bukan
semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang
berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.

Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap rakyat Indonesia
adalah manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apapun agamanya.

Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila kedua
dalam Trisila Marhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut Soekarno adalah
suatu sistem demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-demokrasi yang
diinginkan oleh Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari nilai-nilainya pada seluruh
masyarakat, bukan hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal ini Soekarno
mengkritik demokrasi Prancis dan demokrasi Amerika Serikat yang menurut Soekarno hanya
mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu kelompok borjuis, atau sederhananya,
Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi
ekonomi.[5]

Masih dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh
tentang konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi
politik dan juga demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi
yang berlaku di Eropa pasca-Revolusi Prancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah suatu
sistem demokrasi keterwakilan dalam sebuah lembaga parlemen, - Soekarno
menyebutnya parlementaire democratie dan politieke democratie - Soekarno melihat bahwa
nilai-nilai demokrasi itu memang diterapkan saat pemilihan anggota parlemen, namun bagi
Soekarno demokrasi politik Eropa itu hanya berhenti sampai di parlemen saja, sementera dalam
bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai demokrasinya, yang menyebabkan banyaknya kemiskinan -
dan untuk permasalahan ekonomi itu Soekarno menyalahkan demokrasi politik yang justru
mendukung berkembangnya kapitalisme.[6]

Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang, artinya
demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi
ekonomi. Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang menghendaki
adanya pemberian hak-hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta suatu
kemerataan. Kemerataan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan kemerataan ekonomi
dalam sistem komunisme yang menghilangkan hak milik pribadi,[7] tetapi suatu kemerataan
dimana semua hak kepemilikan pribadi - Soekarno menyeburnya sebagai privaatbezit - seluruh
rakyat dijamin oleh negara, dalam hal ini parlemen yang merupakan hasil dari demokrasi politik
berperan untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak kepemilikan pribadi semua orang
melalui suatu pembuatan peraturan atau hukum yang adil bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali,
baik dari kelas borjuis ataupun proletar - termasuk juga kelas masyarakat yang memiliki harta
benda sedikit atau yang disebut Soekarno sebagai marhaen.[8]

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia
yang dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara
bagi Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila – meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai
penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih suka disebut sebagai “penggali Pancasila”.
Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata mengenai konsespsi demokrasi yang
Soekarno tawarkan adalah sebagai berikut:[9]

"Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan
prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka. Saya katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min
Sheng (yang artinya): Nationalism, Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan
apa?): Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang
semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang – pangan
kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan
Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita
sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demokratie.
Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?"[10]

Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang tidak
hanya politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan cara
menjadikan “kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-prinsip
“hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin Indonesia
menjadi negara demokrasi liberal seperti di Barat, yang
masyarakatnya kapitalistik, Soekarno ingin Indonesia menjadi negara demokrasi yang
masyarakatnya sosialistik, artinya bahwa demokrasi bukan hanya pada kebebasan dalam politik,
seperti bebas berbicara, bebas memilih, dan bebas berserikat dalam organisasi apapun, tetapi
juga demokrasi yang mampu mengalokasikan seluruh sumber daya ekonomi kepada seluruh
rakyat atau sederhadanya kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan terhadap kemiskinan.
[11]

Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21 Februari
1957. Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang saat itu
diterapkan di Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai
demokrasi Barat yang mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi itu
kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong Royong dengan
kepemimpinan yang terpusat dan integralistik.[12]

Demokrasi Menurut Mohammad Hatta[sunting | sunting sumber]

Untuk biografi, lihat Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta

Seperti Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga


merupakan salah satu tokoh pergerakan yang menjadi pengeritik utama demokrasi liberal Barat.
Kritik Hatta terhadap demokrasi Barat yang dimaksud, bukanlah demokrasi Barat dalam arti
politik, yaitu demokrasi dalam kehidupan politik, atau liberalisme secara umum. Dalam pamflet
yang berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka, Hatta mengemukakan sebagai berikut:[13]

"Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Prancis tiada membawa kemerdekaan
rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu demokrasi
politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat.
Haruslah ada pula demokrasi ekonomi."[13]

Demokrasi Barat yang bersendikan pada liberalisme memiliki sisi politik dan ekonomi, yaitu
demokrasi politik dan sistem kapitalisme dalam ekonominya. Secara spesifik dalam pandangan
Hatta, sistem ekonomi kapitalis lahir terlebih dulu (oleh kaum kelas borjuis yang menguasai
parlemen di masa itu) dan kemudian kelas borjuis yang kapitalis mendirikan sebuah sistem
demokrasi politik yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sistem kapitalisme itu
sendiri. Hatta mengakui bahwa demokrasi Barat memang menjamin kedaulatan rakyat di bidang
politik, akan tetapi karena kehidupan politik berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sementara
kehidupan ekonomi dalam demokrasi Barat tidak mengandung kedaulatan rakyat, maka bagi
Hatta demokrasi politik dalam demokrasi Barat menjadi manipulatif, yaitu “memutar satu asas
yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi perkakas pemakan rakyat”.[14]

Demokrasi politik di Barat – seperti apa yang dikemukakan oleh William Ebenstein dan Edwin


Fogelman – bertumpu kepada “pementingan individu"[15] dalam kehidupan politik. Maksudnya,
individu dengan segenap hak-hak dasarnya merupakan unit utama dalam kehidupan politik.
Negara dan kelompok-kelompok lain diadakan semata-mata untuk melayani kepentingan
individu-individu ini. Hatta berpendapat, semangat individualisme Barat dalam politik harus
ditolak. Sebaliknya, Hatta menginginkan sebuah sistem demokrasi yang berdasarkan
kebersamaan dan kekeluargaan yang mencerminkan tradisi kehidupan bangsa Indonesia secara
turun menurun.[16]

Hatta menganggap individualisme sebagai penyakit, sehingga individualism adalah sesuatu yang


harus dihindari, Hatta selanjutnya berbicara tentang demokrasi yang lebih sempurna bagi
Indonesia – seperti Soekarno – yaitu demokrasi di bidang politik dan ekonomi yang tidak
mengandung paham individualisme. Hatta bahkan amat yakin, demokrasi yang dibayangkannya
itu akan bisa terwujud karena kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia, yaitu
kebersamaan dan kekeluargaan.

Sifat demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan
atau kolektivisme. Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong
royong, dan sebagainya. Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti pengambilan
keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan
yang berlaku dalam sistem demokrasi Barat yang individualistis.

Menurut Hatta, kebersamaan harus berarti, kepemilikan bersama atas suatu alat produksi (tanah)
tidak bisa dijalankan dengan pembagian, melainkan harus diusahakan secara bersama-sama pula.
Dengan kata lain, usaha individual dengan bantuan orang lain yang mencirikan kebersamaan
masyarakat asli Indonesia masa kini, harus diganti dengan milik bersama yang diusahakan secara
bersama-sama pula. Inilah yang dimaksud oleh Hatta dengan collectivisme baroe, yang
seharusnya mewarnai kehidupan ekonomi Indonesia merdeka. Pengertian inilah yang kemudian
melekat pada koperasi sebagai wujud kolektivisme baru.

Sejak masa pergerakan Indonesia, Hatta dalam pidatonya yang berjudul Koperasi: Jembatan ke
Demokrasi Ekonomi terus menyerukan koperasi sebagai satu-satunya organisasi ekonomi yang
bisa berhasil meletakkan sendi yang kuat untuk membangun kembali ekonomi yang roboh. Hatta
meyakininya karena koperasi berupaya berjalan dengan semangat self-help dan oto-activity.
Artinya koperasi berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan tolong menolong antar
masyarakat sebagai pemandu kemauan yang kuat. Semangat itulah yang sudah lama muncul
yang sebetulnya membarengi berkembangnya demokrasi sosial, politik dan ekonomi. Hal ini
dapat dengan mudah dikatakan karena bangunan demokrasi yang sangat kuat sebagian besar
dipupuk dengan semangat koperasi. Demokrasi dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung
jawab pada rakyat. Dasar koperasi adalah menghidupkan rasa tanggung jawab itu, sebab koperasi
selain membela keperluan bersama, membangun dalam jiwa tiap-tiap anggotanya manusia
merdeka, sadar akan harga dirinya.[17]

Hatta melihat, demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno, lebih tepatnya setelah
Dwitunggal bubar dan Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 telah bergeser
menjadi demokrasi yang meniru kediktatoran komunisme di Timur, demokrasi yang menurut
Hatta hanya dijadikan alat oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan semata. Oleh karena itu,
Hatta menyebut periode Orde Lama sebagai periode “krisis demokrasi”. Pada 1966, tepatnya
ketika rezim Soekarno mulai berubah menjadi otoritarian dan Dwitunggal telah pecah, Hatta
mulai mengoreksi, bahkan mengkritik “demokrasi terpimpin” ataupun “demokrasi gotong
royong” yang digagas Soekarno. Hatta mengkritik demokrasi yang diterapkan oleh Soekarno itu
dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Kita yang dimuat dalam majalah Pandji
Masjarakat pada 1966 yang sempat dibredel oleh pemerintah Orde Lama.[18]

Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir[sunting | sunting sumber]

Untuk biografi, lihat Soetan Sjahrir.

Soetan Sjahrir

Seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Pertama Republik


Indonesia, Soetan Sjahrir juga memiliki konsepsi sendiri tentang demokrasi, namun yang
membedannya adalah Sjahrir tidak mengutuk habis-habisan demokrasi Barat seperti yang
dilakukan Soekarno dan Hatta. Sjahrir lebih membenci fasisme dan ketimbang kapitalisme Barat,
oleh karena itu tak mengherankan bila Sjahrir lebih suka melakukan dialog dengan pihak Sekutu
Barat, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Belanda.

Selain fasisme, Sjahrir pun juga menyerang komunisme dan sistem demokrasinya sebagai
ideologi yang mengkhianati sosialisme kerena mengabaikan kemanusiaan, seperti Joseph
Stalin dan Mao Tse Tung. Karena serangan Sjahrir ke kaum komunis, maka para penentangnya
yang berasal dari spektrum kiri jauh mengejeknya dengan sebutan “soka” – yang merujuk pada
nama bunga – atau akronim dari sosialis kanan, karena keterpukauan Sjahrir kepada segala hal
yang berbau Barat.[19]

Kebencian Sjahrir pada fasisme dan komunisme turut mempengaruhi konsepsinya mengenai


demokrasi dan pemerintahan di Indonesia Merdeka. Pemikiran Sjahrir tentang demokrasi dan
pemerintahan di Indonesia tertuang dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Kita yang terbit
pasca Indonesia Merdeka, dan duet Soekarno-Hatta atau Dwitunggal menjadi pemimpin
Indonesia. Bagi Sjahrir, pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, adalah pemerintahan yang
dipimpin oleh kolaborator fasis (dalam hal ini kolaborator Kekaisaran Jepang), sehingga
pemerintahan perlu “didemokratisir”.[20]

“Secepat mungkin seluruh pemerintahan harus didemokratiseer, sehingga rakyat banyak masuk


tersusun di dalam lingkungan pemerintahan. Ini mudah dikerjakan dengan menghidupkan dan di
mana perlu membangunkan dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak
pemerintahan."[20]

Sementara seorang aktivis simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Rahman Tolleng menyebut


ideologi Sjahrir sebagai republikan-sosialis, “karena dia (Sjahrir) menekankan pada partisipasi
rakyat,” kata Tolleng. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi di kemudian hari Sjahrir
mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal.[19]

Dalam pemikirannya, Sjahrir sangat jelas memiliki banyak perbedaan


dengan Soekarno dan Hatta mengenai konsepsi demokrasi. Bila Soekarno dan Hatta melihat
individualisme sebagai hal yang harus dihindari, maka Sjahrir justru menganggap individualisme
menjadi elemen yang penting dalam negara dan sistem pemerintahan yang demokratis.
Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir
adalah perpaduan antara tradisi sosial-demokrat dengan liberalisme. Sosial-demokrat Sjahrir,
misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan
liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.[21]

Sikap politik Sjahrir yang seorang sosialis tetapi mengakui ide-ide demokrasi Barat dan
liberalism tidak hanya membuat Sjahrir bermusuhan dengan fasisme, tetapi juga dengan
kelompok komunis. Bagi Sjahrir demokrasi dan sosialisme bisa tercapai dengan azas akal, bukan
melalui jalur revolusi terus-menerus – dalam hal ini Sjahir bertolak belakang dengan Soekarno
yang mengatakan “revolusi belum selesai”, tetapi ia sejalan dengan Hatta yang mengatakan
“revolusi telah selesai”.

Konsepsi Sjahrir mengenai demokrasi dan sosialisme yang bisa dicapai melalui jalur diplomasi
bukan revolusi kekerasan diungkapkan pada Kongres Sosialis Asia
II di Bombay (sekarang Mumbai), India pada 6 November 1956. Dalam Kongres itu Sjahrir
berkata:[22]

“Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai kesabaran revolusioner
yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum
komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin
mengenai perjuangan kelas, mereka menghancurkan dalam diri mereka sendiri, jiwa serta
semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.”[22]

Dalam pidato itu jelas Sjahrir menolah sistem demokrasi a’la Bolshevik dan Komunis


Internasional yang menindas dan mengabaikan kedaulatan rakyat dengan sistem yang
hirarkis, otoriter, dan totaliter dalam politbiro Partai Komunis. Menurut Sjahrir, pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia secara individu membuat sosialisme yang
dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal ala Barat, namun dengan satu perbedaan, yaitu tidak
adanya pengakuan terhadap sistem ekonomi kapitalis – dalam hal ini Sjahrir sejalan dengan
Soekarno dan Hatta.[23]

Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]

Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi


konstitusional.[24] Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet
Presidensial Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil
Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat
Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai
politik di Indonesia.[2

Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban
Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945.
Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi
presidensial, tetapi menjadi parlementer.[27]

Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945
sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia, Soetan
Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[28] Langkah mengubah sistem pemerintahan
Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir
yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem demokrasi Barat yang parlemennya kuat.
[19]

Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional,


yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai
kepala negara konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah
seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu
kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di parlemen, namun sering kali koalisi antar
partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena
seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di masa
demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi sering
kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini
menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa.[24]

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam


bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok,
karena persatuan dan kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi
kendor dan sulit untuk dikendalikan. Selain itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut
Miriam telah melahirkan dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong
politik nasional menjadi tidak tidak stabil.[24]

Kabinet Sjahrir II sedang bertemu dengan Presiden Soekarno

Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan


karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan
hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional
pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat melaksanakan
program kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar hingga
pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.[29]

Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga
membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno
hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau
“rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi
kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.[12][29]

Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota
Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia.
Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari partai-
partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus membentuk
undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang kemudian akhirnya
mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai “Konsepsi Presiden”
pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa demokrasi parlemeter
adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari kekisruhan politik saat itu
berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sekaligus
menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo atau yang
disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi parlementer di Indonesia.[29][30]

Demokrasi Terpimpin[sunting | sunting sumber]

Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi
lainnya, yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden
diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan
adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut
sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi
dominan partai di palemenen, maka sering kali Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet
Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959.[31]

Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan


keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung.
Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa
mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai membentuk undang-
undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian Soekarno mengumpulkan
para pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan
Nasional.[32]

Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21
Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan
perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:[33]

Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.

Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang diawali


dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.

Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat


Presiden.

Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1)
mengganti sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul semua
kekuatan politik yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU,
dan PKI, dan juga merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan Nasional.

Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad
Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai yang
terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak
konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu
dan sebagian besar anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).[34]
Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan
konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI. Pada 14
Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk sebuah kabinet
transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno kemudian
mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali
era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu antara lain:[35]

Menetapkan pembubaran Konstituante

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota


Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.

Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang ada
dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden Soekarno kemudian
berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan demokrasi terpimpin. Pada
periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad Hatta memilih untuk berada
diluar pemerintahan dan menjadi tokoh yang mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan
menganggap Soekarno telah berubah menjadi seorang diktator sejak 1956.[36]

Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden yang
menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur sosial-
politik. Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional,
karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima tahun,
namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu
sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai
seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi di
era demokrasi terpimpin.[37]
Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin adalah
pada 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tak lain adalah
lembaga legislatif, padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kewenangan itu
kepada seroang presiden. Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR, Presiden Soekarno
membentuk lembaga legislatif, yang seharusnya anggota legislatif dipilih oleh rakyat, bukan
presiden. Badan legislatif yang dibentuk Soekarno itu kemudian disebut sebagai Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR adalah bentukan
presiden, maka fungsi kontrol dari lembaga legislatif terhadap eksekutif dihilangkan. Selain itu,
jabatan Ketua DPR-GR dijadikan menteri oleh Presiden Soekarno, itu artinya legislatif berada
dibawah eksekutif, hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 14/1960.[38]

Presiden Soeharto (1970)

Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali cita-cita
demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaan Presiden
Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang dilakukan untuk
menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan jabatan
presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif (dipilih secara berkala) selama
satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang
isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap produk-produk legislatif di
masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-Undang No.19/1964 diganti
dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isisnya mengmabalikan independensi
lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-
GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif dan Ketua DPR-
GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden, tetapi memiliki kedudukan yang
sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk mengintervensi Parlemen dicabut.
Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh partai-partai politik yang dahulu di
masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan dibebaskan,[44] salah satunya Soetan
Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum sempat kembali ke Indonesia.[45]
Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional
yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing sebesar-
besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah satunya
adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967 untuk
mengeksplorasi sumber daya emas di Papua (saat itu Irian Jaya).[46]

Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan


keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad awal Orde
Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal
Soeharto dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah
dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah
Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[47]

Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta sebuah
pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang kebebasan
masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik yang dominan
dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-terangan berubah
menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini bukan otoritarianisme sayap kiri seperti di
era Soekarno, tetapi lebih kepada kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja,
menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh
ada intevensi militer di dalamnya.

Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan pemilu


yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang menjadikan semua
kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan seluruh golongan Islamis
digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara Golongan Karya tetap menjadi satu
organisasi politik non-partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan
kelebihan bagi Orde Baru, karena hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke
tingkat desa dan kelurahan, selain itu pemerintah juga menerapkan
kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka memilih Golkar dalam
setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai
ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi Pancasila.[48]

Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi,


dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang
kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi terpimpin.
Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto semakin menguat,
terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok mahasiswa dari
berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang
tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi menuntut
agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena terus menerus
diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan kehilangan kepercayaan
dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei
1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang sekaligus menandai akhir dari
era demokrasi Pancasila.[49]

Era Reformasi

Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah
membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu pemerintahan
yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:

Transisi Demokrasi[sunting | sunting sumber]

Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie

Sebenarnya fase transisi ini adalah fase yang paling singkat, namun paling menentukan, karena
ketidakberhasilan suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada proses transisi
demokrasi. Menurut Richard Gunther, transisi itu adalah:

"Begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with the establishment
of a relatively stable configuration of political institutions within a democratic regime"[50]

yang artinya adalah:


"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter dan diakhiri dengan pembentukan konfigurasi
institusi politik yang relatif stabil dalam sebuah rezim demokratis"

Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika terjadinya


perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J. Habibie pada 21 Mei
1998. Disebut "transisi" karena pada fase inilah Indonesia mengalami peralihan atau transisi
sistem politik dari otoritarian menuju demokrasi, transisi dari supremasi
militer kepada supremasi sipil, transisi dari sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang
maknanya adalah Indonesia telah beranjak meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju
perubahan sebagai negara yang demokratis.

Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan proses


demokratisasi di Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat Indonesia
menyadari bahwa demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat, oleh karenanya
seluruh rakyat Indonesia pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses demokratisasi dibawah
kepemimpinan Presiden Habibie dan Kabinet Reformasi Pembangunan dapat berjalan dengan
baik dan tidak terjadi lagi anomali transisi demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde Baru.[51]

Presiden Habibie yang dilantik menggantikan Presiden Soeharto kemudian menjadi El Pilota del


Cambio (dalam Bahasa Indonesia yang artinya "Sang Pilot Perubahan - sebuah julukan bagi Raja
Juan Carlos yang memimpin reformasi politik di Spanyol pasca-Francisco Franco)[52] memikul
tanggungjawab besar untuk memulai langkah-langkah demokratisasi dan meletakan fondasi-
fondasi utama bagi sistem demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan pemilihan umum
(pemilu) yang demokratis dan membuat peraturan-peraturan, termasuk juga membebaskan para
tahanan politik Orde Baru. Di era transisi demokrasi ini terbentuk beberapa undang-undang baru,
misalkan seperti Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan juga
Undang-Undang tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga
Tertinggi Negara juga mengalami perubahan.[51]

Konsolidasi Demokrasi[sunting | sunting sumber]

Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi atau pemantapan


sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi menjadi penting karena
sering kali beberapa negara yang berusaha melakukan proses demokratisasi justru gagal ditengah
jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam proses konsolidasi sebuah
sistem yang demokratis, sehingga negara itu kembali kepada sistem otoriter dan diperintah
kembali oleh seorang diktator.[53]

Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah manakala


ada suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa konsolidasi ditentukan
oleh seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi
berhasil bila stabilitas rezim yang demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo
O'Donnell, bila konsolidasi rezim itu sudah tercapai, maka sudah kemungkinan besar stabilitas
rezim juga akan dapat berkelangsungan.[53]

Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim baru dalam hal
ini Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit politik yang tergabung
dalam Kelompok Ciganjur (Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur) perlu mencapai
sebuah konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden Habibie sebagai suksesor atau
pengganti Soeharto kemudian bertindak mewakili rezim lama, dan juga unsur-unsur yang
meliputinya, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Birokrat, dan Golongan
Karya untuk dapat berdamai dengan unsur-unsur kekuatan politik baru hasil reformasi,
seperti mahasiswa dan tokoh-tokoh politik yang menjadi oposan atau lawan dari unsur kekuatan
politik lama. Bila proses konsolidasi tidak melibatkan unsur-unsur kekuatan politik lama,
terutama dari kalangan militer, maka yang mungkin terjadi adalah militer akan melakukan
kudeta terhadap pemerintahan reformis dan berusaha kembali mendirikan sebuah sistem junta
militer, seperti yang dilakukan oleh para perwira loyalis Franco di Spanyol yang dikenal dengan
Gerakan F-23.[54]

Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena pihak militer
yang saat itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi dan demokratisasi di
Indonesia, hampir seluruh loyalis Presiden Soeharto yang duduk di posisi-posisi penting setuju
untuk melakukan konsolidasi demokrasi dengan kelompok reformis, salah satu hasilnya adalah
dihapusnya Dwifungsi ABRI (tentara sebagai alat pertahanan sekaligus sosial-politik) dan
dipecahnya Kepolisian Republik Indonesia dari ABRI, dan ABRI sendiri kemudian berganti
nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).[51]

Tantangan Demokrasi[sunting | sunting sumber]


Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang
membaik pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti pertumbuhan investasi,
kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi tantangan adalah
kebangkitan ekonomi makro di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
mikro, perekonomian rakyat dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa. Selain itu
menurut Fuad Bawazier, perekonomian Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh hutang
luar negeri, ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan sebagainya.[55]

Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui
tantangan politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi ini, sektor
ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[56] sekaligus
menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah seperti yang akan
dicita-citakan oleh para founding fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah lainnya?

PENDIDIKAN DEMOKRASI

Gejala yang mendunia tentang demokrasi bahwa negara-negara modern dewasa ini
menggolongkan diri mereka ke dalam demokrasi, yaitu negara yang pemerintahanya dijalankan
“oleh rakyat dan untuk rakyat”,sekalipun dalam mekanisme pemerintahanya baik yang
menyangkut infrastruktur politik maupun supra struktur politik, berbeda satu dengan yang lain.
Inggris misalnya, suatu kerajaan dengan system pemerintahan parlementer dan pengorganisasian
kekuatan social politiknya yang sederhana tetapi mantap, yaitu terdiri dari dua partai besar yang
secara menentukan jalanya pemerintahan, adalah negara demokrasi.

Negara yang mengaku paling demokrasi adalah Amerika. Negera yang berbentuk republik ini
dengan sistem pemerintahan presidensial, dimana kekuasaan pemerintah dibagi menjadi tiga dan
diserahkan masing-masing kepada tiga lembaga tinggi konstitusional, legislatif kepada Congress,
eksekutif kepada presiden, judikatif kepada supreme Court, dan pengorganisasian kekuatan
sosial politik yang longgar kedalam dua partai besar, juga merupakan negara demokrasi.

Pameo yang tetap berlaku hingga hari ini adalah “Tidak ada demokrasi tanpa democrat”.
Pengalaman pahit Jerman dimasa lalu telah membuktikan kebenaran itu:Demokrasi pertama
jerman pada masa republic Weimar (1919 – 1933) akhirnya runtuh dan berakhir dengan
malapetaka terror kediktatoran rezim Nazi. Friedrich Ebert, presiden pertama Jerman yang
terpilih secara demokratis berjuang dengan susah payah untuk membawa demokrasi kesetiap
kehidupan masyarakat dimana ketika itu mayoritas penduduk tidak berpikiran demokratis.

Nah bagaimana halnya dengan negara kita, Negara Indonesia juga merupakan Negara demokrasi,
seperti nampak pada Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang antara lain berbunyi “…dalam
susunan Negara indonsia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang
maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahwa Negara Indonesia adalah Negara
demokrasi juga nampak dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan adalah
ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”…., tetapi
bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi Rakyat, melainkan demokrasi Pancasila.

Demokrasi adalah tugas yang tiada akhir. Oleh sebab itu gagasan ini harus ditanamkan kesetiap
lapisan masyarakat dalam suatu Negara, melalui media, disekolah-sekolah dan universitas-
universitas serta pusat-pusat kebudayaan. Demokrasi tidak hanya terjadi pada saat pemilu saja
tetapi juga harus diterapkan pada hidup sehari-hari. Demokrasi yang hidup mengharuskan
partisipasi aktif masyarakat dalam partai politik yang demokratis, kelompok masyarakat sipil dan
masyarakat pada umumnya.

A. Pengertian demokrasi

Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos yang berarti
rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Jadi secara bahasa Demokrasi adalah
Pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat.

Seorang negarawan Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi di
Negara tersebut. Pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Pemerintahan demokrasi dapat dinyatakan pula sebagai sistem pemerintahan
kedaulatan rakyat.

B.   Model-model  Demokrasi
Filsafat politik yang mendasari demokrasi pada prinsipnya bersifat Universal dan dapat
diterapkan pada semua masyarakat dewasa ini. Sebaliknya model-model yang berkembang
diberbagai masyarakat dalam berbagai era sangat bervariasi. Model-model tersebut dapat dibagi
menurut dua perspektif yang berbeda yaitu:

1) Demokrasi Presidensial atau Parlementer. Dalam demokrasi presidensial presiden memiliki


kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik yang kuat pula. Kekuasaan
politik presiden sering kali disejajarkan dengan parlemen atau bahkan lebih kuat dari parlemen.
Sebaliknya dalam demokrasi Parlementer, parlemenlah satu-satunya lembaga perwakilan
tertinggi untuk pengambilan keputusan. Peranan presiden pada kasus ini terbatas pada tugas-
tugas mewakili Negara dan penengah dalam situasi konflik. Dalam demokrasi parlementer
kekuasaan pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan hasil
pemilihan umum. Sebaliknya dalam demokrasi presidensial kepala Negara yang dipilih secara
langsung oleh rakyat merupakan pusat kekuasaan mandiri, yang juga berpengaruh baik dalam
pembentukan pemerintahan maupun penyusunan undang-undang.

Sesuai dengan budaya politik dalam pengalaman sebuah masyarakat, maka demokrasi
presidensial secara lebih kuat dapat menciptakanunsur kesinambungan dan stabilitas dalam
proses politik.Demokrasi presidensial memerlukan pembatasan kekuasaan yang jelas, untuk
menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan yana hamper menyerupai dictator. Jika lembaga-
lembaga pengimbang seperti parlemen dan pemerintah, partai dan masyarakat sipil lemah maka
mutu demokrasi presidensial dapat merosot secara tak terkendali dan bahkan pada akhirnya
menjadi sebuah kediktatoran.

2) Demokrasi perwakilan atau demokrasi langsung yaitu Demokrasi perwakilan mempercayakan


sepenuhnya pengambilan keputusan ditingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih.
Demokrasi langsung akan mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang
berdaulat: misalnya melalui plebisit, referendum, jajak pendapat rakyat, dan keputusan rakyat
atau mengembalikan  sebanyak mungkin keputusan ketingkat komunitas local. Norma-norma
dan aturan dasar demokrasi bersifat universal tetapi cara pelaksanaanya harus diputuskan secara
pragmatis sesuai dengan preferensi masyarakat tertentu.

C. Tahapan Demokrasi
Sebelum kita berbicara mengenai negara demokrasi, kita harus mengenal terlebih dahulu
istilah demokratisasi, yaitu suatu penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip demokrasi pada
setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah terbentuknya kehidupan politik yang
bercirikan demokrasi. Demokratisasi melalui beberapa tahap: 1) penggantian dari penguasa non
demokrasi ke penguasa demokrasi; 2) pembentukkan lembaga-lembaga dan tertib politik
demokrasi; 3) konsolidasi demokrasi; dan 4) politik demokrasi sebagai budaya bernegara.

Negara Demokrasi

Negara demokrasi adalah suatu negara yang menganut sistem pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat sekalipun dalam mekanisme pemerintahanya baik yang menyangkut
infrastruktur politik maupun suprastruktur politik berbeda satu dengan yang lain. Dilihat dari
paham yang dianut demokrasi dapat dibedakan menjadi:

1) Demokrasi Liberal (Negara Barat). Sistem pemerintahan ini diterapakan di negara barat,


kebebasan individu untuk bergerak, berpikir dan mengeluarkan pendapat sangat dijunjung tinggi.
Dengan demikian, persamaan hak dalam bidang politik sangat dijunjung tinggi, namun pada
bidang ekonomi tetap memegang persaingan bebas. Akibatnya terjadi kesenjangan antara
golongan ekonomi kuat (kapitalis) dan golonagan ekonomi lemah (buruh). Di negara yang
menganut demokrasi liberal sistem masyarakatnya bebas merdeka, dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia setinggi-tingginya, bahkan kadang-kadang diatas kepentingan umum.

2) Demokrasi Sosialis (Negara Komunis). Pada negara yang menerapkan demokrasi sosialis


menitikberatkan pada paham kesamaan yang menghapus perbedaan antara kelas sesama rakyat.
Oleh sebab itu, pada negara sosialis tidak ada hak perseorangan, yang ada adalah hak kolektif
atau hak umum. Untuk mencapai masyarakat sosialis yang sejahtera dan sama rata (tujuan
negara) pada masyarakat itu masih berlaku kediktatoran proletar atau kediktatoran mayoritas
(buruh dan tani). Akan tetapi, kekuasaan negara hanya dikendalikan oleh satu partai yaitu
komunis baik pada bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif meliputi dua
badan yaitu Dewan Uni atau Majelis Rendah yang anggotanya dipilih oleh rakyat, dan Dewan
Nasional yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat negara bagian. Badan eksekutif
memegang kekuasaan sangat luas, antara lain mengeluarkan keputusan-keputusan dan dekrit
bahkan kalau perlu memberhentikan anggota kabinet.
3) Demokrasi Pancasila. Pada hakikatnya Demokrasi adalah kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah kekuasaan yang
tertinggi ada di tangan rakyat. Hikmat kebijaksanaan adalah penggunaan akal pikiran atau rasio
yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan
rakyat, dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, bertanggung jawab serta didorong dengan itikad
baik sesuai dengan hati nurani yang luhur. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak
rakyat sehingga mencapai mufakat. Perwakilan adalah prosedur peran serta rakyat dalam
pemerintahan yang dilakukan melalui badan perwakilan.

Dari paparan di atas bahwa demokrasi Pancasila dapat diartikan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang dijiwai dan diliputi sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beadab, Persatuan Indonesiaserta untuk
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang bersumberkan pada kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Ciri negara demokrasi adalah adanya kebebasan bagi warganya untuk mengurus diri sendiri.
Salah satu wujudnya adalah dengan adanya otonomi daerah. Dengan otonomi ini, pemerintah
daerah diberikan kebebasan oleh pemerintah pusat utuk mengurus diri sendiri.

Ciri-ciri Negara Demokrasi menurut Bingham Power Jr, yaitu: 1) Legitimasi pemerintah; 2)
Pengaturan organisasi secara teratur dalam negara paling tidak terdapat 2 partai politik; 3) Setiap
warga negara sudah memenuhi syarat berhak dalam pemilu; 4) Setiap warga negara dalam
pemilu dijamin kerahasiaannya; dan 5) Masyarakat dijamin kebebasannya.

Simpulan

Berdasarkan perubahan UUD 1945 pasal 1 ayat 2 “kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Hal ini berarti kedaulatan tidak lagi dilaksanakan
oleh sepenuhnya oleh MPR. Selanjutnya Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi
“Indonesia adalah merupakan negara hukum”. Lembaga-lembaga negara berdasarkan perubahan
UUD 1945 adalah MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi. Dengan
semangat era reformasi kita sepakat untuk tidak melakukan amandemen pembukaan UUD 1945,
maka demokrasi yang ditetapkan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila.
Menurut Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (democracy is goverment of the people, by the people, for
the people) yang kemudian kita kenal dengan demokrasi modern. Ada dua asas pokok tentang
demokrasi yaitu pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan dan pengakuan hakikat dan
martabat manusia.

Anda mungkin juga menyukai