Anda di halaman 1dari 135

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran yang telah dilakukan secara teoritis dilanjutkan dengan
melakukan kegiatan praktikum. Dalam kegiatan praktikum pengukuran sangat
berkaitan atau tidak bisa dilepaskan dengan kalibrasi. Kalibrasi adalah langkah
untuk menentukan kebenaran konvensional nilai penunjukan alat ukur dan benda
ukur dengan cara membandingkan terhadap standar ukur. Tujuan kalibrasi adalah
mencapat ketertelusuran pengukuran, menjamin hasil-hasil pengukuran sesuai
dengan standar.
Mistar ingsut merupakan alat ukur yang penting bagi mahsiswa teknik
untuk melakukan pengukuran suatu benda. Mistar ingsut adalah alat ukur linier
langsung yang serupa dengan mistar ukur yang memiliki ekor pada ujung batang
skala utama. Mistar ingsut berfungsi untuk mengukur tebal, lebar dan panjang
dimensi dari suatu benda. Kegiatan praktikum kali ini dilakukan agar mahasiswa
bisa mengetahui prinsip kerja mistar ingsut, metode yang digunakan dan cara
untuk melakukan pengukuran pada benda ukur.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat menggunakan mistar ingsut (Skala nonius, skala jam ukur, skala
digital)
2. Kalibrasi mistar ingsut.

1.3 Manfaat Praktikum


Adapun manfaat praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan praktikan mengenai mistar ingsut.
2. Praktikan dapat menggunakan mistar ingsut dengan baik dan benar.
3. Praktikan dapat melakukan kalibrasi mistar ingsut.

1
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan praktikum, manfaat praktikum
dan sistematika penulisan.
BAB II TEORI DASAR
Bab ini berisi tentang pengertian, macam – macam alat ukur, cara kerja dan
prinsip kerja, perkembangan alat ukur, komponen alat ukur, dan cara
penggunaan (cara pembaacaan) alat ukur.
BAB III METODOLOGI
Bab ini berisi tentang prosedur praktikum teoritis, prosedur praktikum
aktual,
serta alat d an bahan.
BAB IV DATA PENGAMATAN
Bab ini berisi tentang data berbentuk tabel dan data berbentuk grafik (jika
diperlukan).
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang pengolahan data (perhitungan) dan analisa data.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

2
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Pengertian Mistar Ingsut


Mistar ingsut adalah alat ukur linear langsung yang serupa dengan mistar
ukur. Yang memiliki skala utama pada batang dengan ujung ada berupa ekor
untuk mengukur ketinggian dari sebuah dimensi. Mistar ingsut ini memiliki
banyak nama lain seperti sikmat, jangka sorong, vernier caliper maupun jangka
geser. Penamaan tersebut biasanya timbuk karena kebiasan dari sebuah wilayah
atau kelompok dan julukan dari sebuah daerah.
Ujung mistar ingsut ini ada rahang yang berfungsi untuk sensor dalam
proses pengukuran. Rahang ini ada dua, yaitu rahang atas dan rahang bawah yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Pada rahang atas berguna untuk mengukur
celah dari sebuah bidang dimensi. Sedangkan rahang bawah berguna untuk
mengukur panjang sebuah dimensi maupun untuk mengukur diameter luar dari
sebuah tabung. Rahang tetap adalah rahang yang bergabung dengan batang dari
mistar ingsut ini. Sedangkan rahang geser merupakann rahang yang bagiannya
terpisah dengan batang ukur, dan di rahang geser ini letak dari skala nonius dari
sebuah jangka sorong.
Pengukuran dilakukan dengan cara menjepit benda ukur menggunakan
rahang sensor yang ada pada mistar ingsut ini. Jika pengukuran ketinggian
memungkinkan menggunakan ekor dari jangka sorong ini. Caranya dengan cara
mengeluarkan ekor dari jangka sorong ini lalu menyentuhkannya dengan batang
dari alat ukur ini dan dengan permukaan benda yang sedang di ukur.
Saat proses melakukan pengukuran dan kita mengalami kesulitan dalam
membaca skala yang ditunjukkan, kita bisa mengunci rahang geser dengan cara
memutar pengunci dan mengunci pergerakan rahang geser dengan batang ukur.
Jika sudah dirasa sensor menyentuh dari bagian dimensi yang sedang ingin di
ukur, maka kita dapat menggunakan fitur pengunci dari Mistar ingsut ini. Setelah

3
itu kita bisa membawanya ke tempat yang mudah untuk dilakukan pembacaan
pengukuran tersebut.
Sebuah benda ukur ada kalanya kita dituntut untuk membaca ukuran dari
kedalaman sebuah benda kerja. Misalnya untuk mengukur kedalaman sebuah
lubang spy dari poros dan menghitung lubang fully. Agar spy yang dibuat tidak
kepanjangan dan tidak mengganggu poros lain maka ukuran dari spy yang dibuat
harus sesuai.
Cara pengukurannya adalah dengan cara mengeluarkan ekor dari jangka
sorong dengan menggeser rahang geser yang ada pada jangka sorong. Setelah
ekor keluar maka langkah selanjutnya adalah mengukur lubang dari spy tersebut,
dengan cara memasukkan ekor tersebut pada lubang yang akan di ukur
kedalamannya. Dalam memasukkan ekor dalam lubang harus mencapai dasar dari
lubang tersebut dan tidak boleh menggantung atau tidak sampai pada dasar lubang
tersebut.
Penggunaan alat ini sangatlah sensitif. Jika terjadi benturan terjadi pada
rahang dan rahang mengalami cacat maka hasil pengukuran akan menjadi kurang
akurat. Karena dalam jangka sorong memiliki ketelitian hingga 0,02 mm.
Penggunaan jangka sorong hanya digunakan pada benda yang bersifat keras saja.
Karena benda yang bersifat lunak akan mengalami perubahan bentuk saat di
lakukan penekanan dengan rahang atau sensor dari jangka sorong ini. Pengukuran
yang dilakukan juga hanya melakukan pengukuran pada benda yang nampak saja.
Jika benda tidak dapat disentuh oleh sensor mistar ingsut maka pengukuran akan
tidak akurat.
Sebenarnya bahan dari rahang mistar ingsut ini digunakan bahan yang
sangat keras sehingga hal-hal di atas bisa di minimalisirkan. Pembuatan sensor
dari alat ukur ini seharusnya digunakan bahan yang keras sehingga tahan aus dan
dirancang dengan ketelitian geometrik yang tinggi. Kerataan masing-masing
bidang pembimbing dan kesejajaran di rancang dengan toleransi yang tinggi.
Guna dari toleransi tersebut agar permukaan kedua sensor tetap sejajar, dengan
demikian, meskipun tak segaris, garis ukur dan garis nonius dimensi di usahakan
harus sejajaruntuk mengurangi efek kesalahan dalam pembacaan ukuran.

4
Pembacaan garis skala linier dilakukan menggunakan garis indeks yang
terletak pada peluncur atau rahang geser. Dan posisinya relatif terhadap skala
interpolarisasikan dengan skala nonius mistar ingsut. Berdasarkan cara.
membacanya mistar ingsut ada 3 jenis, mistar ingsut nonius, mistar ingsut jam
ukur, mistar ingsut digital.
Peraba atau sensor yang ada pada mistar ingsut ini termasuk dalam sensor
mekanik. Karena peraba pada mistar ingsut kontak langsung dengan benda yang
sedang di ukur. Lalu ukuran dapat di baca pada skala yang ada pada batang ukur
yang telah ada dimistar ingsut.

Gambar 2.1 Mistar Ingsut Nonius (Rochim, 2006)

Sedangkan pengertian kalibrasi adalah proses pengujian kebenaran hasil


pengukuran yang dibandingkan dengan alat ukur yang berguna dan berpengaruh
dalam pengukuran harus diperiksa. Guna memastikan apakah masih layak
digunakan atau tidak alat ukur tesebut digunakan. Jadi kalibrasi mistar ingsut
adalah proses pengujian kebenaran penunjukan hasil pengukuran dengan mistar
ingsut. Maka hasil yang terbaca pada mistar ingsut di tentukan apakah masih
layak di dalam batas toleransi yang telah di berikan. Jika tidak masuk dalam
toleransi maka dinyatakan alat ukur tersebut tidak layak di gunakan atau kasarnya
di sebut rusak. Pada mistar ingsut digital dan mistar ingsut jam ukur tidak berlaku
hal seperti ini karena dapat di kembalikan ke titik nol seperti sedia kala.

5
2.2 Macam-macam mistar ingsut
Mistar ingsut merupakann alat ukur yang praktis dan umum digunakan dan
ketelitiannya mencapai 0,01mm. Kecermatan setinggi ini dalam sebuah
pengukuran yang memasuki toleransinya sangat dibolehkan untuk menggunakan
ukuran ini. Karena kesederhanaan kontruksinya maka banyak sekali jenis-jenis
dari mistar ingsut ini tergantung pada fungsi dan penggunaannya. Mistar ingsut ini
terbuat dari bahan matrial yang kokoh dan kuat.
Pada beberapa jenis alat kekuatan dari alat tersebut kurang menjanjikan.
Sehingga pada alat tersebut mudah aus dan berakibat hasil pengukuran tidak
sesuai. Mistar ingsut ini dikhawatirkan kekurangan fitur yang berguna untuk
mengukur dari berbagai bentuk benda ukur. Maka dari itu ada berbagai macam
jenis mistar ingsut berdasarkan fungsi dan bentuknya, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Mistar ingsut tak sebidang
Jangka sorong jenis ini merupakan jenis jangka sorong yang sangat sering
digunakan dan sering ditemukan. alasan dari pengunaan alat ukur ini adalah
harganya yang murah dan penggunaannya yang mudah. Fungsi dari jangka sorong
ini juga bisa dibilang komplit, karena dalam satu alat bisa digunakan untuk
mengukur diameter luar, diameter dalam serta mengukur ketinggian dari celah
maupun dimensi dan lain-lain.

Gambar 2.2 Mistar Ingsut Tak Sebidang (Rochim, 2006)

2. Mistar ingsut jarak senter

6
Mistar ingsut jenis ini digunakan untuk mengukur jarak antara dua senter dari
poros. Penggunaannya berbeda ketinggian dari dua poros senter tersebut

Gambar 2.3 Mistar Ingsut Jarak Senter (Rochim, 2006)

3. Mistar ingsut diameter alur dalam


Mistar ingsut jenis ini digunakan untuk mengukur diameter dalam dari
sebuah benda silindris. Pada jangka sorong jenis ini minimal yang mampu di ukur
adalah sebesar 30 mm. Pada jangka sorong jenis ini hanya mampu mengukur
celah, besar diameter dalam dari sebuah benda kerja.

Gambar 2.4 Mistar Ingsut Diameter Alur Dalam (Rochim, 2006)

4. Mistar ingsut pipa


Mistar ingsut jenis ini digunakan untuk mengukur lebar dinding dari
sebuah pipa dan tebal dari sebuah plat yang melengkung.

7
.
Gambar 2.5 Mistar Ingsut Pipa (Rochim, 2006)

5. Mistar ingsut posisi dan lebar alur


Pada mistar ingsut jenis ini digunakan untuk mengukur dari posisi dan
lebar alur dari sebuah benda kerja. Jangka sorong ini punya rahang sepanjang 12
mm.

Gambar 2.6 Mistar Ingsut Posisi Dan Lebar Alur (Rochim, 2006)

6. Mistar ingsut putar


Mistar ingsut jenis ini biasanya digunakan untuk mengukur benda yang
berbeda kedudukannya

8
Gambar 2.7 Mistar Ingsut Putar (Rochim, 2006)

7. Mistar ingsut tekanan ringan


Mistar ingsut ini digunakan untuk mengukur benda ukur yang memiliki
tekstur lunak atau tidak keras.

Gambar 2.8 Mistar Ingsut Tekanan Ringan (Rochim, 2006)

8. Mistar ingsut serbaguna


Mistar ingsut jenis ini memiliki fungsi yang sangat banyak sehingga
disebut dengan mistar ingsut serbaguna. Pada jangka sorong jenis ini ada
penggores dan pembagi jarak.

9
Gambar 2.9 Mistar Ingsut Serba Guna (Rochim, 2006)

9. Mistar ingsut kedalaman


Mistar ingsut jenis ini digunakan untuk mengukur kedalamn dari sebuah
lubang, pengukuran lebar serta pengukuran posisi alur terhadap tepi atau alur
lainnya.

Gambar 2.10 Mistar Ingsut Kedalaman (Rochim, 2006)

10. Mistar ingsut penggores


Jenis jangka sorong ini digunakan untuk mengukur diameter luar,
ketinggian benda ukur. Tapi tidak hanya berfungsi sebagai itu saja jangka sorong
jenis ini memiliki penggores yang berguna untuk menandai benda kerja.

10
Gambar 2.11 Mistar Ingsut Penggores (Rochim, 2006)

2.3 Cara kerja dan prinsip kerja


Cara kerja dari mistar ingsut ini sangatlah sederhana dengan cara menjepit
benda kerja menggunakan sensor atau yang sering disebut dengan rahang, lalu
kita membaca ukuran yang ditunjukkan pada skala utama dan skala nonius. Proses
pembacaannya dengan cara mencari garis yang lurus antara skala nonius dan skala
utama dari jangka sorong ini.
Pada jenis mistar ingsut digital dan jam ukur cara pembacaannya lebih
mudah. kita hanya cukup melihat angka yang ditunjukkan dari jam ukur maupun
led tyang menunjukkan hasil pengukuran yang di lakukan. Mistar ingsut biasa
disebut juga dengan alat ukur langsung karena hasil dari pengukuran yang
dilakukan dapat di ketahui secara langsung.
Prinsip kerja mistar ingsut adalah secara mekanik dengan cara
menyentuhkan sensor ukur pada permukaan benda yang akan diukur. Peluncur
berfungsi untuk menggerakkan sensor gerak sesuai dengan dimensi benda yang
akan diukur. Nilai ukuran pada benda ukur dapat dilihat dengan menjumlahkan
skala utama dengan skala nonius. Untuk jenis mistar ingsut jam ukur prinsip
kerjanya sama dengan mistar ingsut nonius, hanya saja pembacaan skala
noniusnya dapat dilihat pada jam ukur. Sedangkan untuk mistar ingsut digital,
hasil pengukuran langsung dapat dibaca pada digital.
Pembacaan skala utama di lakukan melalui garis indeks yang terletak pada
rahang geser yang bersatu dengan rahang gerak. Selain dengan jenis skala nonius

11
ada jangka yang menggunakan skala jam ukur dan skala digital. Pengembangan
alat ini di karenakan untuk mempermudah pekerjaan manusia dalam mengukur.

2.4 Perkembangan mistar ingsut


Seiring dengan perkembangan zaman, maka alat ukur mistar ingsut ini
juga mengalami perubahan yang bertujuan untuk mempermudah pekerjaan
manusia dalam melakukan suatu proses pengukuran. Mistar ingsut atau disebut
juga dengan jangka sorong pertama kali ditemukan didataran China dan bahan
pembuatan dari mistar ingsut tersebut terbuat dari perunggu.
Pada dasarnya semua kemajuan teknologi yang terjadi adalah untuk
mempermudah segala pekerjaan manusia yang bertujuan agar manusia tidak
kerepotan atau kesusahan dalam bekerja. Berikut ini adalah jenis – jenis mistar
ingsut berdasarkan perkembangan zaman.
Pertama kali munculnya mistar ingsut adalah mistar ingsut jenis nonius.
Dimana cara pembacaannya yaitu dengan cara membandingkan skala nonius
dengan skala utama yang ada pada batang mistar ingsut itu sendiri. Angka yang
ditunjukkan skala nonius adalah merupakan hasil dari pengukuran yang dilakukan
tersebut. Lalu dicari skala utama dan skala nonus yang memiliki garis yang sejajar
dan lurus. Maka hasil pengukurannya adalah skala utama ditambahkan skala
nonius.
Mistar ingsut memiliki kapasitas ukur sampai dengan 150 mm, selain itu
untuk jenis mistar ingsut nonisu yang besar memiliki kapasitar sampai dengan
1000 mm. Kecermatan dari alat ukur mistar ingsut nonius ini tergantung pada
skala nonius yaitu 0,10 mm, 0,05 mm ataupun 0,02 mm. Semakin tinggi
kecermatan darialat ukur mistar ingsut nonius ini, maka semakin banyak pula
garis yang ada pada skala nonius itu.

12
2.5 Komponen mistar ingsut
Sebuah mistar ingsut tersusun dari berbagai macam komponen yang
bersatu menjadi sebuah jangka sorong atau mistar ingsut. Bagian – bagian dari
mistar ingsut tersebut, yaitu sebagai berikut :

Gambar 2.12 Komponen Mistar Ingsut (Rochim, 2006)


1. Rahang luar (rahang bawah)
Rahang bawah ini digunakan untuk mengukur dimensi luar dari permukaan
dari benda yang akan diukur. Biasanya sering digunakan untuk mengukur diameter atau
lebar dari suatu benda kerja yang memiliki bentuk silindris.
2. Rahang dalam (rahang atas)
Rahang dalam ini digunakan untuk mengukur diameter dalam dari sebuah
benda kerja atau komponen yang berbentuk silindris yang memiliki lubang, maupun
celah dari suatu benda.
3. Tangkai ukur kedalaman
Tangkai ukur kedalaman berfungsi untuk mengukur kedalaman dari sebuah
benda ukur atau benda kerja yang memiliki lubang yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu pengukuran kedalaman
4. Skala utama
Skala utama berfungsi untuk menunjukkan hasil angka utama dari suatu
proses pengukuran yang dilakukan, atau disebut juga dengan ukuran pokok atau
ukuran utama dari suatu benda ukur.
5. Skala nonius

13
Skala nonius berguna untuk membaca perbandingan yang terjadi pada
skala utama atau ukuran pokok.
6. Baut pengunci rahang
Baut pengunci rahang berfungsi untuk menahan pergeseran yang terjadi
pada skala utama dengan skala nonius pada saat pembacaan hasil suatu proses
pengukuran yang dilakukan

2.6 Cara penggunaan mistar ingsut


Berdasarkan bagian – bagian utama dari komponen yang dimiliki oleh
mistar ingsut, secara umum mistar ingsut dapat digunakan sebagai pengukur
ketebalan suatu pelat, mengukur jarak luar, mengukur diameter dalam dan
diameter luar dari suatu benda ukur, mengukur suatu celah, mengukur suatu
kedalaman, mengukur tingkatan dari suatu benda ukur dan lainnya.
Agar pembacaan hasil pengukuran suatu benda ukur dengan menggunakan
mistar ingsut dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi atau menimbulkan
kemungkinan- kemungkinan berbagai macam yang dapat menyebabkan cepat
rusaknya alat ukur mistar ingsut yang digunakan, maka ada beberapa hal yang
harus diperhatikan sebelum melakukan pengukuran yaitu :
1. Gerakan rahang gerak ukur harus dapat meluncur dengan baik dan dengan
gesekan tertentu sesuai dengan standar yang diizinkan dan rahang ukur
atau rahang geser harus tidak goyang.
2. Sebaiknya jangan mengukur benda kerja hanya dengan bagian ujung dari
kedua rahang ukur, tetapi sedapat mungkin harus masuk masuk kedalam.
3. Harus diperhatikan bahwa posisi nol dari skala ukur dan kesejajaran muka
rahang ukur harus benar – benar rapat.
4. Ketika melakukan proses pengukuran, kedua rahang pada benda ukur
harus diperhatikan gaya dari penekanannya. Terlalu kuat menekan kedua
rahang ukur dapat menyebabkan kebengkokan ataupun ketidaksejajaran
rahang geser.

14
5. Sebaiknya jangan membaca skala ukur pada waktu mistar ingsut masih
berada pada benda ukur. Kunci dahulu peluncurnya, lalu dilepas dari
benda ukur kemudian baru dibaca skala ukurnya dengan posisi dari
pembacaan hasil proses pengukuran pada suatu benda ukur dengan benar.
6. Jangan lupa, setelah mistar ingsut tidak digunakan lagi dan akan disimpan
ditempatnya, kebersihan dari mistar ingsut harus dijaga dengan cara
membersihkannya memakai alat – alat pembersih yang telah disediakan
misalnya kertas tisu dan dengan menggunakan alat pembersih lainnya,
agar usia dari alat ukur mistar ingsut tersebut tetap awet dan bisa
digunakan secara terus menerus dan tanpa harus membeli alat ukur mistar
ingsut yang baru.

15
BAB III
METODOLOGI

3.1 Prosedur Praktikum Teoritis


Prosedur praktikum secara teoritis yang dilakukan tentang praktikum
kalibrasi dan penggunaan mistar ingsut adalah sebagai berikut:

3.1.1 Pemakaian Mistar Ingsut


a. Lakukan pengukuran dengan mistar ingsut (0,05)
b. Selanjutnya benda di ukur menggunakan jangka sorong jenis jam ukur.
c. Lalu benda yang sama di ukur menggunakan mistar ingsut digital.

3.1.2 Kaslibrasi mistar ingsut


a. Periksa rahang ukur gerak dapat meluncur dengan baik atau tidak
b. Periksa kedudukan nol dari alat ukur
c. Periksa kelurusan sesaat menggambarkan pisau ukur dengan
menempelkannya pada sensor.
d. Periksa kebenaran skala mistar ingsurt pengecekan dilakukan dengan alat
ukur lainnya.
e. Lakukan pemeriksaan untuk 3 sensor.

3.2 Prosedur Praktikum Aktual


Adapun prosedur praktikum aktual yang dilakukan, yaitu :

1. Pengukuran menggunakan satu benda dengan menggunakan ketiga jenis


mistar ingsut secara bergantian.

Gambar 3.1 Pengukuran Menggunakan Mistar Ingsut Skala Nonius

16
Gambar 3.2 Pengukuran Menggunakan Mistar Ingsut Skala Jam Ukur
Gambar 3.3 Pengukuran Menggunakan Mistar Ingsut Skala Digital

2. Kemudian pengukuran dilanjutkan dengan menggunakan benda yang


kedua.
3. Kemudian catat hasil pengukuran.

3.3 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini, yaitu :

1. Mistar ingsut skala nonius

Merupakan mistar ingsut yang memiliki skala utama dan skala nonius.

Gambar 3.4 Mistar Ingsut Skala Nonius

2. Mistar ingsut skala jam ukur


Merupakan mistar ingsut yang memiliki jam ukur sebagai pengganti skala
nonius.

17
Gambar 3.5 Mistar Ingsut Skala Jam Ukur

3. Mistar ingsut skala digital


Merupakan mistar ingsut yang memakai digital sebagai pengganti
pembacaan hasil pengukuran pada skala nonius.

Gambar 3.6 Mistar Ingsut Skala Digital

4. V-blok
Merupakan benda kerja yang akan diukur dan sudah memiliki ukuran
standar.

Gambar 3.7 V-Block

5. Meja Bertingkat
Merupakan benda kerja yang akan diukur dan sudah memiliki ukuran
standar.

18
Gambar 3.8 Meja Bertingkat

BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1 Data pengamatan bentuk gambar


Adapun data pengamatan bentuk gambar adalah seabagai berikut:
1. V-block

Gambar 4.1 Benda kerja V-blok

19
2. Bantalan

Gambar 4.2 Benda kerja bantalan

4.2 Data pengamatan bentuk tabel


Adapun data pengamatan bentuk tabel adalah seabagai berikut:
1. V-block

  V - Block
Pengamat A Pengamat B
N Ukura Hasil Pengukuran Dengan Hasil Pengukuran Dengan
o n Nonius Jam Digital Nonius Jam Digital
(mm) Ukur (mm) (mm) Ukur (mm)
(mm) (mm)
1 A 5.7 6.7 5.94 6.6 6 6.14
2 B 11.34 11.6 11.31 11.4 11.5 11.09
3 C 6.74 7 6.55 6.6 6.7 6.65
4 D 9.8 10.1 10.27 10.4 9.8 10.34
5 E 6.24 6.5 6.26 6.4 6.3 6.33
6 F 14.92 14.8 15.22 14.6 14.8 15.32
7 G 3.5 3.65 3.69 3.2 3.7 3.27
8 H 5.18 5.1 5.15 5.4 5 5
9 I 15.04 14.9 14.92 15.2 14.9 15.15
10 J 10.78 10.65 10.65 11.2 11.05 10.47
11 K 6.56 6.55 6.26 6.7 6.3 6.3
12 L 5.2 5 4.97 5.2 5 5.1
13 M 5.35 5.45 5.5 5.4 5.45 5.4
14 N 11.12 11.15 11.91 11.12 11.15 12

20
15 O 14.8 14.95 14.69 14.8 14.7 14.52
16 P 5.56 5.6 5.26 5.6 5.35 5.31
17 Q 3.92 3.9 3.76 3.9 3.85 3.72
18 R 11.8 11.95 11.79 11.86 11.75 14.8
19 S 70.16 70.15 70.1 70.18 70.1 70.12
20 T 34.8 34.8 33.53 34.65 33.5 34.1

2. Bantalan

    Meja Bertingkat
No Ukuran Pengamat A Pengamat B
Hasil Pengukuran Dengan Hasil Pengukuran Dengan
Nonius Jam Ukur Digital Nonius Jam Ukur Digital
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 A 11.78 11.6 11.6 11.98 11.4 11.54
2 B 94.8 94.8 94.83 94.82 94.9 94.32
3 C 90 91.25 90.97 91.2 91.25 90.98
4 D 19.6 19.55 19.47 19.9 19.45 19.53
5 E 44.62 45.55 44.46 44.62 44.5 44.48
6 F 132.42 132.45 132.41 132.66 132.45 132.62
7 G 20.88 20.8 20.56 20.96 20.9 19.86
8 H 24.62 25.45 24.26 23.84 22.6 21.77
9 I 11.38 11.85 11.12 11.38 12.6 11.22
10 J 30.2 30.2 30.13 31.11 29.45 30.12
11 K 17.8 17.9 17.83 17.74 17.85 17.67
12 L 12.1 12.5 12.91 13 12.12 12.96
13 M 54.12 54.25 54.08 54.28 54 54.14

21
BAB V
ANALISA DATA

5.1 Data bentuk table hasil pengolahan data


Adapun hasil pengolahan data yang disajikan dalam bentuk table adalah
sebagai berikut:
1. V-blok

No Pengamat A Pengamat B

Nonius Vs Jam ukur Vs Nonius Vs Jam ukur Vs


Digital Digital digital Digital
1 4.040404 12.79461 7.491857 2.28013
2 0.265252 2.564103 2.795311 3.697024
3 2.900763 6.870229 0.75188 0.75188
4 4.576436 1.655307 0.580271 5.222437
5 0.319489 3.833866 1.105845 0.473934
6 1.971091 2.759527 4.699739 3.394256
7 5.149051 1.084011 2.140673 13.14985
8 0.582524 0.970874 8 0
9 0.80429 0.134048 0.330033 1.650165
10 1.220657 0 6.972302 5.539637

22
11 4.792332 4.632588 6.349206 0
12 4.627767 0.603622 1.960784 1.960784
13 2.727273 0.909091 0 0.925926
14 6.633081 6.381192 7.333333 7.083333
15 0.748809 1.769912 1.928375 1.239669
16 5.703422 6.463878 5.461394 0.753296
17 4.255319 3.723404 4.83871 3.494624
18 0.084818 1.357082 19.86486 20.60811
19 0.085592 0.071327 0.085568 0.028523
20 3.787653 3.787653 1.612903 1.759531

2. Bantalan

Pengamat A Pengamat B

No Nonius Vs Jam ukur Vs Nonius Vs Jam ukur Vs


Digital Digitak Digital Digital

1 1.551724 0 3.812825 1.213172

2 0.031636 0.031636 0.53011 0.614928

3 1.066286 0.307794 0.241811 0.296769

4 0.667694 0.410889 1.894521 0.409626

5 0.359874 2.451642 0.314748 0.044964

6 0.007552 0.030209 0.030161 0.128186

7 1.55642 1.167315 5.538771 5.236657

8 1.483924 4.905194 9.508498 3.812586

9 2.338129 6.564748 1.426025 12.29947

10 0.232327 0.232327 3.286853 2.224436

23
11 0.168256 0.392597 0.396152 1.018676

12 6.274206 3.175833 0.308642 6.481481

13 0.073964 0.314349 0.258589 0.258589

5.2 Data bentuk grafik hasil pengolahan data


Adapun hasil pengolahan data yang disajikan dalam bentuk grafik adalah
sebagai berikut:

1. V-blok

Presentase Error V-Block Pengamat A


14 Nonius Vs
12 Digital
10 Jam ukur
Vs Digital
8
% Error

6
4
2
0
A B C D E F G H I J K L MNO P Q R S T
Posisi

Gambar 5.1 Grafik hasil pengolahan v-blok pengamat A

24
Presentase Error V-blok Pengamat B
25
Nonius Vs
Digital
20
Jam ukur
15 Vs Digital
% Error

10

0
A B C D E F G H I J K L MNO P Q R S T
Posisi

Gambar 5.2 Grafik hasil pengolahan v-blok pengamat B

2. Bantalan

Presentase Error Bantalan Pengamat A


7 Nonius Vs
6 Digital
5 Jam ukur
Vs Digital
4
% Error

3
2
1
0
A B C D E F G H I J K L M
Posisi

Gambar 5.3 Grafik hasil pengolahan bantalan pengamat A

25
Presentase Error Bantalan Pengamat B
14 Nonius Vs
12 Digital
10 Jam ukur
Vs Digital
8
% Error

6
4
2
0
A B C D E F G H I J K L M
Posisi

Gambar 5.4 Grafik hasil pengolahan bantalan pengamat B

BAB VI
PENUTUP

6.1 Simpulan
Adapun simpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mistar ingsut adalah alat ukut linier langsung yang serupa dengan mistar
ukur, yang memiliki skala utama pada batang. Praktikan dapat
menggunakan mistar ingsut nonius, mistar insgut jam ukur, mistar ingsut
digital setelah mendapat arahan dari asisten dan membaca modul yang
diberikan.
2. Kalibrasi mistar ingsut bertujuan untuk melihat kelayakan suatu mistar
ingsut.

26
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai beriku:
1. Praktikan harus teliti dan cermat saat pengolahan data.
2. Kondisi daring untuk kegiatan praktikum membuat praktikan cukup sulit
memahami beberapa materi.

V-Block

1. Pengamat A
a. Mistar ingsut nonius vs digital

%error= |skala nonius−skaladigital


skala digital |x 100 %
5,7 mm−5,94 mm
a . % error=| |× 100 %=4,04 %
5,94 mm
11,34 mm−11,31mm
b . % error=| |×100 %=0,27 %
11,31 mm
6,74 mm−6,55 mm
c . % error=| |×100 %=2,90 %
6,55 mm
9,8 mm−10,27 mm
d . % error=| |×100 %=4,58 %
10,27 mm

27
e .% error= |6,24 mm−6,26
6,26 mm
mm
|×100 %=0,32 %
14,92 mm−15,22 mm
f . % error=| |× 100 %=1,97 %
15,22 mm
3,5 mm−3,69 mm
g . % error=| |× 100 %=5,15 %
3,69mm
5,18mm−5,15 mm
h . % error =| |×100 %=0,58 %
5,15 mm
15,04 mm−14,92mm
i. % error=| |×100 %=0,80 %
14,92 mm
10,78mm−10,65 mm
j . % error =| |× 100 %=1,22 %
10,65 mm
6,56 mm−6,26 mm
k . % error=| |× 100 %=4,79 %
6,26 mm
5,2 mm−4,97 mm
l .% error=| |×100 %=4,63 %
4,97 mm
5,35 mm−5,5mm
m .% error=| |×100 %=2,73 %
5,5 mm
11,12 mm−11,91 mm
n . % error =| |×100 %=6,63 %
11,91 mm

o . % error= |14,8 mm−14,69


14,69 mm
mm
|×100 %=0,75 %
5,56 mm−5,26 mm
p . % error=| |× 100 %=5,70 %
5,26 mm
3,92 mm−3,76 mm
q . % error=| |×100 %=4,26 %
3,76 mm
11,8 mm−11,79 mm
r . % er ror=| |×100 %=0,08 %
11,79 mm
70,16 mm−70,1 mm
s . % error=| |× 100 %=0,09 %
70,1mm
34,8 mm−33,53 mm
t . % error=| |×100 %=3,79 %
33,53 mm

28
B. Mistar ingsut jam ukur vs digital

%error= |skala jamskala


ukur−skala digital
digital |x 100 %
6,7 mm−5,94 mm
a . % error=| |× 100 %=12,79 %
5,94 mm
11,6 mm−11,31 mm
b . % error=| |× 100 %=2,56 %
11,31 mm
7 mm−6,55 mm
c . % error=|
6,55 mm |
×100 %=6,87 %

10,1 mm−10,27 mm
d . % error=| |× 100 %=1,66 %
10,27 mm
6,5 mm−6,26 mm
e .% error=| |× 100 %=3.83 %
6,26 mm
14,8 mm−15,22 mm
f . % error=| |×100 %=2,76 %
15,22 mm
3,65 mm−3,69 mm
g . % error=| |× 100 %=1,08 %
3,69mm
5,1mm−5,15 mm
h . % error =| |× 100 %=0,97 %
5,15 mm
14,9 mm−14,92 mm
i. % error=| |×100 %=0,13 %
14,92 mm
10,65mm−10,65 mm
j . % error =| |× 100 %=0,00 %
10,65 mm
6,55 mm−6,26 mm
k . % error=| |×100 %=4,63 %
6,26 mm
5 mm−4,97 mm
l .% error=|
4,97 mm |
×100 %=0,60 %

5,45 mm−5,5mm
m .% error=| |×100 %=0,91%
5,5 mm
11,15 mm−11,91 mm
n . % error =| |×100 %=6,38 %
11,91 mm

29
o . % error= |14,9514,69
mm−14,69 mm
mm |×100 %=1,77 %
5,6 mm−5,26 mm
p . % error=| |× 100 %=6,46 %
5,26 mm
3,9 mm−3,76 mm
q . % error=| |×100 %=3,72 %
3,76 mm
11,95 mm−11,79 mm
r . % error =| |×100 %=1,36 %
11,79 mm
70,15 mm−70,1mm
s . % error=| |×100 %=0,07 %
70,1mm
34,8 mm−33,53 mm
t . % error=| |×100 %=3,79 %
33,53 mm

2. Pengamat B
a. Mistar ingsut nonius vs digital

%error= |skala nonius−skaladigital


skala digital |x 100 %
6,6 mm−6,14 mm
a . % error=| |× 100 %=7,49 %
6,14 mm
11,4 mm−11,09 mm
b . % error=| |×100 %=2,80 %
11,09 mm
6,6 mm−6,65 mm
c . % error=| |×100 %=0,75 %
6,65 mm
10,4 mm−10,34 mm
d . % error=| |×100 %=0,58 %
10,34 mm
6,4 mm−6,33 mm
e .% error=| |×100 %=1,11 %
6,33 mm
14,6 mm−15,32 mm
f . % error=| |×100 %=4,70 %
15,32 mm
3,2 mm−3,27 mm
g . % error=| |× 100 %=2,14 %
3,27 mm

30
h . % error =|5,4 mm−5
5 mm
mm
|×100 %=8,00 %
15,2 mm−14.71 mm
i. % error=| |× 100 %=0,33 %
14.71 mm
11,2 mm−10,47 mm
j . % error =| |×100 %=6,97 %
10,47 mm
6,7 mm−6,3 mm
k . % er ror=| |×100 %=6,35 %
6,3 mm
5,2 mm−5,1 mm
l .% error=| |×100 %=1,96 %
5,1 mm
5,4 mm−5,4 mm
m .% error=| |×100 %=0,00 %
5,4 mm
11,12 mm−12 mm
n . % error =| |×100 %=7,33 %
12 mm
14,8 mm−14,52mm
o . % e rror=| |×100 %=1,93 %
14,52 mm
5,6 mm−5,31 mm
p . % error=| |× 100 %=5,46 %
5,31mm
3,9 mm−3,72 mm
q . % error=| |×100 %=4,84 %
3,72 mm
11,86 mm−14,8 mm
r . % error =| |×100 %=19,86 %
14,8 mm
70,18 mm−70,12mm
s . % error=| |×100 %=0,09%
70,12mm
34,65 mm−34,1 mm
t . % error=| |×100 %=1,61 %
34,1 mm

b. Mistar ingsut jam ukur vs digital

%error= |skala jams kala


ukur−skala digital
digital |x 100 %
6 mm−6,14 mm
a . % error=|
6,14 mm |
× 100 %=2,28 %

11,5 mm−11,09 mm
b . % error=| |× 100 %=3,70 %
11,09 mm

31
c . % error= |6,7 mm−6,65
6,65 mm
mm
|×100 %=0,75 %
9,8 mm−10,34 mm
d . % error=| |×100 %=5,22 %
10,34 mm
6,3 mm−6,33 mm
e .% error=| |× 100 %=0,47 %
6,33 mm
14,8 mm−15,32 mm
f . % error=| |×100 %=3,39 %
15,32 mm
3,7 mm−3,27 mm
g . % error=| |×100 %=13,15 %
3,27 mm
5 mm−5 mm
h . % error =|
5 mm |
×100 %=0,00 %

14,9 mm−14.71 mm
i. % error=| |×100 %=1,65 %
14.71 mm
11,05 mm−10,47 mm
j . % error =| |×100 %=5,54 %
10,47 mm
6,3 mm−6,3 mm
k . % error=| |×100 %=0,00 %
6,3 mm
5 mm−5,1mm
l .% error=|
5,1 mm |
×100 %=1,96 %

5,45 mm−5,4 mm
m .% error=| |× 100 %=0,93 %
5,4 mm
11,15 mm−12 mm
n . % error =| |×100 %=7,08 %
12 mm
14,7 mm−14,52 mm
o . % error=| |×100 %=1,24 %
14,52 mm
5,35 mm−5,31mm
p . % error=| |×100 %=0,75 %
5,31 mm
3,85 mm−3,72 mm
q . % error=| |×100 %=3,49 %
3,72 mm
11,75 mm−14,8 mm
r . % error =| |×100 %=20,61 %
14,8 mm
70,1 mm−70,12mm
s . % error=| |×100 %=0,03 %
70,12 mm

32
t . % error=|33,5 mm−34,1
34,1 mm
mm
|×100 %=1,76 %
Meja Bertingkat
1. Pengamat A
a. Mistar ingsut nonius vs digital

%error= |skala nonius−skaladigital


skala digit al |x 100 %
11,78 mm−11,6 mm
a . % error=| |×100 %=1,55 %
11,6 mm
94,8 mm−94,83 mm
b . % error=| |× 100 %=0,03 %
94,83 mm
90 mm−90,97 mm
c . % error=| |×100 %=1,07 %
90,97 mm
19,6 mm−19,47 mm
d . % error=| |×100 %=0,67 %
19,47 mm
44,62 mm−44,46 mm
e .% error=| |×100 %=0,36 %
44,46 mm
132,42 mm−132,41 mm
f . % error=| |× 100 %=0,01 %
132,41 mm
20,88 mm−20,56 mm
g . % error=| |×100 %=1,56 %
20,56 mm
24,62mm−24,26 mm
h . % error =| |×100 %=1,48 %
24,26 mm
11,38 mm−11,12 mm
i. % error=| |× 100 %=2,34 %
11,12 mm
30,2mm−30,13 mm
j . % error =| |× 100 %=0,23 %
30,13 mm
17,8 mm−17,83 mm
k . % error=| |×100 %=0,17 %
17,83 mm
12,1 mm−12,91 mm
l .% error=| |×100 %=6,27 %
12,91 mm

33
m .% error= |54,1254,08
mm−54,08 mm
mm |×100 %=0,07 %

B. Mistar ingsut jam ukur vs digital

%error= |skala jamskala


ukur−skala digital
digital |x 100 %
11,6 mm−11,6 mm
a . % error=| |×100 %=0,00 %
11,6 mm
94,8 mm−94,83 mm
b . % error=| |× 100 %=0,03 %
94,83 mm
91,25 mm−90,97 mm
c . % error=| |×100 %=0,31 %
90,97 mm
19,55 mm−19,47 mm
d . % error=| |× 100 %=0,41 %
19,47 mm
45,55 mm−44,46 mm
e .% error=| |×100 %=2,45 %
44,46 mm
132,45 mm−132,41 mm
f . % error=| |×100 %=0,03 %
132,41 mm
20,8 mm−20,56 mm
g . % error=| |×100 %=1,17 %
20,56 mm
25,45 mm−24,26 mm
h . % error =| |×100 %=4,91%
24,26 mm
11,85 mm−11,12 mm
i. % error=| |× 100 %=6,56 %
11,12 mm
30,2mm−30,13 mm
j . % error =| |× 100 %=0,23 %
30,13 mm
17,9 mm−17,83 mm
k . % e rror=| |×100 %=0,39 %
17,83 mm
12,5 mm−12,91mm
l .% error=| |×100 %=3,18 %
12,91 mm
54,25 mm−54,08 mm
m .% error=| |×100 %=0,31%
54,08 mm

34
2. Pengamat B
a. Mistar ingsut nonius vs digital

%error= |skala nonius−skaladigital


skala digital |x 100 % (5.7)

11,98 mm−11,54 mm
a . % error=| |×100 %=3,81 %
11,54 mm
94,82 mm−94,32 mm
b . % error=| |×100 %=0,53 %
94,32 mm
91,2 mm−90,98 mm
c . % error=| |×100 %=0,24 %
90,98 mm
19,45 mm−19,53 mm
d . % error=| |× 100 %=1,89%
19,53mm
44,5 mm−44,48 mm
e .% error=| |×100 %=0,31 %
44,48 mm
132,66 mm−132,62 mm
f . % error=| |×100 %=0,03 %
132,62 mm
20,96 mm−19,86 mm
g . % error=| |×100 %=5,54 %
19,86 mm
23,84 mm−21,77 mm
h . % error =| |× 100 %=9,51 %
21,77 mm
11,38 mm−11,22 mm
i. % error=| |× 100 %=1,43 %
11,22 mm
31,11mm−30,12 mm
j . % error =| |×100 %=3,29 %
30,12 mm
17,74 mm−17,67 mm
k . % error=| |×100 %=0,40 %
17,67 mm
13 mm−12,96 mm
l .% error=| |× 100 %=0,31%
12,96 mm
54,28 mm−54,14 mm
m .% error=| |× 100 %=0,26 %
54,14 mm

b. Mistar ingsut jam ukur vs digital

35
%error= |skala jamskala
ukur−skala digital
digital |x 100 %
11,4 mm−11,54 mm
a . % error=| |× 100 %=1,21 %
11,54 mm
94,9 mm−94,32mm
b . % error=| |×100 %=0,61 %
94,32 mm
91,25 mm−90,98 mm
c . % error=| |×100 %=0,30 %
90,98 mm
19,9 mm−19,53 mm
d . % error=| |× 100 %=0,41%
19,53mm
44,62 mm−44,48 mm
e .% error=| |×100 %=0,04 %
44,48 mm
132,45 mm−132,62 mm
f . % error=| |×100 %=0,13 %
132,62 mm
20,9 mm−19,86 mm
g . % error=| |× 100 %=5,24 %
19,86 mm
22,6 mm−21,77 mm
h . % error =| |×100 %=3,81 %
21,77 mm
12,6 mm−11,22 mm
i. % error=| |× 100 %=12,30%
11,22 mm
29,45mm−30,12 mm
j . % error =| |× 100 %=2,22 %
30,12 mm
17,85 mm−17,67 mm
k . % error=| |×100 %=1,02 %
17,67 mm
12,12 mm−12,96 mm
l .% error=| |×100 %=6,48 %
12,96 mm
54 mm−54,14 mm
m .% error=| |×100 %=0,26 %
54,14 mm

36
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengukuran pada dasarnya merupakan proses membandingkan sesuatu
nilai besaran yang belum diketahui dengan nilai standar yang sudah ditetapkan.
Mengukur dapat diistilahkan dengan sebuah metode untuk mengetahui keadaan di
sekitar. Misalnya mengukur suhu, mengukur waktu, dan juga mengukur panjang
ataupun jenis lainnya.
Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan nilai kuantitatif. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia selalu menggunakan atau malakukan
pengukuran,misalnya mengukur panjang meja, pensil, atau jarak dari suatu tempat
ke tempat lainnya dapat digunakan mistar ukur ataupun meteran. Namun untuk
melakukan desain sebuah benda yang kecil memerlukan alat ukur dengan

37
ketelitian yang tinggi. Mistar dan meteran tidak bias digunakan untuk mengukur
benda yangkecil karena ketelitiannya tidak tinggi. Oleh karena itu diperlukan
sebuah alat ukur dengan ketelitian yang tinggi.
Mikrometer merupakan alat ukur linear yang mempunyai kecermatan
yang lebih tinggi dari pada mistar ingsut, umumnya mempunyai kecermatan
sebesar 0.01 mm. Meskipun namanya mikrometer, alat ini tidak mampu
mengukur hingga ukuran micro. Jenis khusus ini memang ada yang dibuat dengan
kecermatan 0.005 mm, 0.002 mm, 0.001 mm dan bahkan 0.0005 mm (dibantu
dengan skala nonius). Mikrometer memang dirancang untuk pemakaian praktis,
sering di manfaatkan oleh operator mesin perkakas dalam rangka pembuatan
beragam komponen yang dibuat berdasarkan acuan toleransi geometrik dengan
tingkat kualitas sedang sampai dengan menengah. Jadi, kecermatan sebesar 0.01
mm di anggap sesuai karena semakin cermat alat ukur akan memerlukan
kesamaan yang tinggi saat pengukuran dilakukan. Namun sering berjalannya
waktu mikrometer perlu diuji coba kelayakan dan hasil pengukurannya dengan
cara kalibrasi mikrometer.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum penggunaan dan kalibrasi mikrometer ini
adalah sebagai berikut :
1. Pemakaian atau penggunaan mikrometer untuk suatu pengukuran
2. Kalibrasi mikrometer luar

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum penggunaan dan kalibrasi mikrometer ini
adalah sebagai berikut :
1. Praktikan dapat menggunakan mikrometer dengan baik dan benar
2. Praktikan dapat mengkalibrasi mikrometer

1.4 Sistematika Penulisan

38
Adapun sistematika penulisan dari laporan praktikum penggunaan dan
kalibrasi mikrometer ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan praktikum, manfaat
praktikum dan sistematika penulisan.
BAB II TEORI DASAR
Bab ini berisi tentang teori-teori yang ada dalam penggunaan dan
kalibrasi mikrometer
BAB III METODOLOGI
Bab ini berisi tentang alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum.
BAB IV DATA PENGAMATAN
Bab ini berisi tentang data gambar dan data tabel
BAB V ANALISA DATA
Berisi data hasil pengolahan data tabel dan grafik serta analisa data
BAB VI PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Pengertian Mikrometer


Mikrometer merupakan alat ukur linear yang mempunyai kecermatan
yang lebih tinggi dari pada mistar ingsut, umumnya mempunyai kecermatan
sebesar 0.01 mm. Meskipun namanya mikrometer, alat ini tidak mampu
mengukur hingga ukuran micro. Jenis khusus ini memang ada yang dibuat dengan
kecermatan 0.005 mm, 0.002 mm, 0.001 mm dan bahkan 0.0005 mm (dibantu
dengan skala nonius).
Mikrometer memang dirancang untuk pemakaian praktis, sering di
manfaatkan oleh operator mesin perkakas dalam rangka pembuatan beragam
komponen yang dibuat berdasarkan acuan toleransi geometrik dengan tingkat

39
kualitas sedang sampai dengan menengah. Jadi, kecermatan sebesar 0.01 mm di
anggap sesuai karena semakin cermat alat ukur akan memerlukan kesamaan yang
tinggi saat pengukuran dilakukan.
Proses pengukuran dengan memakai mikrometer yang dilakukan oleh
operator yang belum ahli atau yang dilakukan dibagian produksi, biasanya akan
menghasilkan penyimpangan lebih dari 0,01 mm, sehingga hasil pengukuran yang
di ulang-ulang akan menghasilkan ukuran yang berbeda. Akibatnya ketepatan
proses pengukuran akan relatif rendah. Dengan demikian, kecermatan pembagian
skala sampai dengan satu mikrometer menjadi tidak berarti. Pengukuran yang
menghendaki kecermatan sampai satu mikrometer atau lebih memerlukan alat
ukur yang lebih cermat seperti alat ukur pembanding (komparator) yang lain dan
perlu dilaksanakan dengan lebih seksama.
Komponen terpenting dari mikrometer adalah alat ulir utama. Dengan
memutar silinder putar satu kali, poros ukur akan bergerak linear sepanjang satu
kisar sesuai dengan kisar (pitch) ulir utama (biasanya 0.5 mm). Meskipun ulir
utama ini dibuat dengan teliti akan tetapi kesalahan atau penyimpangan akan
selalu ada. Untuk sepanjang ulir utama kesalahan kisar satu mur silinder putar
berada pada suatu tempat akan berbeda dengan kesalahan kisar di tempat lain.
Apabila poros ukur digerakkan mulai dari nol sampai batas akhir, kesalahan kisar
ini akan “terkumpul” atau terakumulasi sehingga menimbulkan penyimpangan
yang sering disebut dengan kesalahan kumulatif. Oleh karena itu, untuk
membatasi kesalahan kisar kumulatif, biasanya panjang ulir utama (jarak gerakan
poros ukur) dirancang hanya sampai 25mm saja.

Gambar 2.1 Mikrometer ( Anonim, 2016 )

40
2.2 Macam – Macam Mikrometer
Terdapat bebrapa jenis mikrometer tergantung fungsi dan kegunaan dari
mikrometer ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mikrometer luar
Mikrometer luar adalah alat ukur untuk mengukur dimensi luar dengan
cara membaca jarak antara dua muka ukur yang sejajar dan berhadapan,
yaitu sebuah muka ukurlainnya yang terletak tetap terpasang pada satu sisi
rangka berbentu U dan sebuah muka ukur lainnya yang terletak pada ujung
spindel yang dapat bergerak tegak lurus terhadap muka ukur dan
dilengkapi dengan sleeve dan thimble yang mempunyai graduasi yang
sesuai dengan pergerakan spindel. Kapasitas ukur mikrometer yang paling
kecil adalah 25mm. untuk mengukur dimensi luar yang lebih besar dari 25
mm dapat menggunakan mikrometer luar dengan ukuran 25-50 mm, 50-
75 mmsampai dengan 75-100 mm. dengan kenaikan tingkat ukuran
sebesar 25 mm. Pembatasan atau kenaikan 25 mm ini dimaksudkan untuk
menjaga nilai ketelitian mikrometer. Untuk kapasitas ukur yang besar,
rangka mikrometer dibuat dengan sangat kuat (Kaku) guna menghindari
lenturan akibat beratnya sendiri tidak banyak berpengaruh pada hasil
pengukuran mikrometer dengan kapasitas lebih besar dari 300mm. Posisi
pengukuran menjadi sangat kritis.

Gambar 2.2 Mikrometer Luar ( Rochim, 2006 )

2. Mikrometer Luar dengan Landasan Tetap

41
Suatu jenis micrometer dibuat dengan rangka yang besar dan mempunyai
kapasitas ukur yang relatif besar yaitu 0 – 100 mm, 0 – 150 mm, kenaikan
tingkat sebesar 100 atau 150 mm. Untuk semua kapasitas ukur tersebut
jarak gerak poros ukurannya tetap sebesar 25 mm. Dalam hal ini landasan
tetapnya yang diganti, sehingga didapat micrometer luar dengan kapasitas
0- 100 mm mempunyai 4 buah landasan tetap dengan perubahan panjang
sebesar 25 mm, maka daerah produktif dapat diubah menjadin0 – 25 mm,
25 – 50 mm, 50 – 75 mm dan 75 – 100 mm.Setiap penggantian landasan
tetap harus disertai dengan penyetelan kembali kedudukan nol dengan
bantuan caliber penyetel yang sesuai. Oleh sebab itu besarnya pembacaan
setiap hasil pengukuran yang harus dijumlahkan dengan jarak minimum
yang sesuai

Gambar 2.3 Mikrometer Luar Dengan Landasan Tetap ( Rochim, 2006 )

3. Mikrometer Indikator
Mikrometer indikator adalah gabungan antara mikrometer dengan jam
ukur. Sebagian dari rangka mikrometer dipakai sebagai tempat mekanisme
penggerak jarum dari jam ukur. Landasan tetap mikrometer dapat bergerak
dan berfungsi sebagai sensor. Jarak gerak landasan tetap sangat kecil
dengan demikian daerah ukur dari jam ukur sangat terbatas (0,02 mm)
akan tetapi mempunyai kecermatan pembacaan yang tinggi (0,001 mm).
Mikrometer indikator selain berfungsi sebagai mikrometer luar juga dapat
dipakai sebagai kaliber. Apabila dipakai sebagai mikrometer luar maka
pembacaan ukuran pada skala mikrometer dilakukan setelah jarum pada
indikator menunjuk angka nol. Meskipun mikrometer ini tidak dilengkapi

42
dengan gigi gelincir, maka tekanan pengukuran dapat dijaga secukupnya
dan selalu tetap. Pada jam ukur terdapat dua penanda yang dapat digeser
saat mengatur penanda batas atas dan batas bawah suatu daerah toleransi
objek ukur dengan ukuran dasar tertentu. Apabila mulut ukur telah distel
untuk suatu ukuran dasar, dengan cepat dan mudah benda ukur dalam
jumlah yang banyak dapat diperiksa ukuran sebenarnya apakah benda ini
di dalam atau diluar batas – batas toleransinya.Pengukuran dilakukan
dengan menekan tombol penekan yang akan mengatur penanda batas yang
akan memudahkan landasan tetap sehingga benda ukur dapat masuk mulut
ukur. Jika tombol dilepaskan, sensor akan menekan benda ukur dan jarum
penunjuk akan bergerak dan berhenti pada daerah kedua penanda apabila
jarum penunjuk ternyata berhenti diluar daerah tersebut berarti dimensi tak
sesuai dengan acuan.

Gambar 2.4 Mikrometer Indikator ( Rochim, 2006)

4. Mikrometer Batas
Dua buah mikrometer yang disatukan dapat digunakan untuk kalibrasi
batas bagui benda ukur dengan suatu ukuran dasar dan daerah toleransi
tertentu. Mulut dari ukuran diameter mikrometer yang diatas diukur dan
dimatikan sehingga sesuai dengan ukuran maksimum. Pengaturan jarak
kedua mulut ukur tesebut dilakukan dengan bantuan alat ukur standar
( blok ukur ). Benda yang baik harus masuk pada mulut ukur. Micrometer
berfungsi sebagai caliber rahang.

43
Gambar 2.5 Mikrometer Batas ( Rochim, 2006 )

5. Mikrometer Luar Dengan Penunjuk Berangka


Sebagai micrometer luar, dibantu dengan penunjuk berangka dan dapat
memudahkan pembaca hasil pengukuran.

Gambar 2.6 Mikrometer Luar Dengan Penunjuk Berangka ( Rochim, 2006)

6. Mikrometer Bangku
Mikrometer bangku ( Bench Micrometer ) merupakan salah satu dari
mikrometer luar dan biasanya mikrometer bangku ini memiliki kecermatan
yang tinggi (0,002 mm ).

Gambar 2.7 Mikrometer Bangku ( Rochim, 2006)

44
7. Mikrometer Uni
Digunakan sebagai mikrometer luar, pengukur tebal pipa dan pengukur
tinggi pada meja rata setelah landasan tetap dilepas.

Gambar 2.8 Mikrometer Uni ( Rochim, 2006 )

8. Mikrometer Dalam Silinder


Digunakan sebagai mengukur diameter dalam kapasitasnya 50 – 75 mm
dan 300 mm.

Gambar 2.9 Mikrometer Dalam Silinder ( Rochim, 2006 )

9. Mikrometer Dalam
Digunakan untuk mengukur diameter dalam. Kapasitas ukur dapat diukur
dengan mengganti batang ukur 25 – 50 mm, 50 – 75 mm, 500 mm dan 200
– 1000 mm. batang pemegang berfungsi untuk mempermudah pengukuran
diameter yang dalam letaknya.

45
Gambar 2.10 Mikrometer Dalam ( Rochim, 2006 )

10. Mikrometer Dalam Tiga Kaki


Digunakan untuk mengukur diameter dalam dengan cepat dan teliti karena
sensor micrometer digunakan secara mandiri akan memosisikan berimpit
dengan sumbu lubang Mengukur antara poros lubang dengan dinding
lubang.

Gambar 2.11 Mikrometer Dalam Tiga Kaki ( Rochim, 2006 )

11. Mikrometer Dalam Jenis Rahang


Digunakan untuk mengukur diameter atau ukuran dalam posisi yang sulit
dimana micrometer bisa tidak dipakai.

46
Gambar 2.12 Mikrometer Dalam Jenis Rahang ( Rochim, 2006 )

12. Mikrometer Luar Jenis Rahang


Digunakan untuk mengukur ukuran atau dimensi luar, pada sisi yang sulit.

Gambar 2.13 Mikrometer Luar Jenis Rahang ( Rochim, 2006 )

13. Mikrometer Kedalaman


Digunakan untuk mengukur kedalaman suatu benda ukur.

Gambar 2.14 Mikrometer Kedalaman ( Rochim, 2006 )

14. Mikrometer Landasan V

47
Mikrometer landasan V ini biasa digunakan untuk mengukur dimensiserta
untuk memeriksa kebulatan, mengukur.

Gambar 2.15 Mikrometer Landasan V ( Rochim, 2006)

15. Mikrometer Pipa


Digunakan untuk mengukur tebal dinding pipa, plat lengkung dan
sebagainya.

Gambar 2.16 Mikrometer Pipa ( Rochim, 2006 )

16. Mikrometer Pana


Pada mikrometer ini poros ukur tidak berputar, hanya bergerak maju
mundur. Maka akan dapat diganti dengan berbagai bentuk, untuk
memungkinkan berbagai pengukuran seperti mengukur diameter kisar ulir,
tebal dinding pipa, diameter alur luar, tebal inti pada gurdi, diameter kaki
dari poros bintang.

48
Gambar 2.17 Mikrometer Pana ( Rochim, 2006 )

17. Mirometer Roda Gigi


Muka ukur berupa bola yang dapat diganti untuk beberapa macam
diameter. Kedua bola masing – masing diletakkan diantara dua gigi secara
simetris tehadap pusat roda gigi.

Gambar 2.18 Mirometer Roda Gigi ( Rochim, 2006 )

18. Mikrometer Piringan


Dengan muka ukur yang lebar memungkinkan pengukuran jarak antara
beberapa gigi, bagian bersayap, dan sebagainya.

Gambar 2.19 Mikrometer Piringan ( Rochim, 2006 )

49
2.3 Cara Kerja dan Prinsip Kerja
Pada prinsip kerja Mikrometer ini menggunakan prinsip kerja mekanik
yang berdasarkan prinsip kinematik yang meneruskan serta mengubah isyarat
sensor yang biasanya berupa gerakan translasi menjadi gerakan rotasi yang relatif
lebih mudah untuk diproses Atau diubah. Secara teoritik prinsip kinematik mudah
dirancang akan tetapi secara praktis sulit diterapkan akibat kendala dalam proses
pembuatan dan perakitan.
Suatu putaran poros ukur secara teoritik akan menggeserkan poros ini
sebesar satu pits utama (0.5 mm). Skala yang dibuat pada silinder putar dapat
dibagi menjadi 50 bagian yang berarti satu bagian skala setara dengan gerakan
translasi sebesar 0.01 mm.

Gambar 2.20 Prinsip Kerja Mikrometer ( Rochim, 2006 )

2.4 Perkembangan Alat Ukur


Pada zaman sekarang ini dimana perkembangan teknologi selalu
berkembang dengan pesat akan mempengaruhi banyak hal, salah satunya
perkembangan alat ukur, selalu saja ada perkembangan alat ukur biasanya secara
khusus yang berlangsung secara terus menerus.
Semua aspek seperti fisika, kimia dan bioloi juga dirangkai dan ditemukan
sebuah alat ukur, 30 tahun terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam
pementasan tersebut, kombinasi mesin, elektronika dan optik telah bergerak
menurun. Skala dari mikrometer sampai millimeter. Hal ini sangat

50
mengkhawatirkan karena kedepannya kemungkinan untuk kekurangan orang –
orang dengan pengetahuan pengukuran dan keterampilan praktis yang sesuai
dengan teknik sangat jarang ditemukan.

2.5 Komponen Alat Ukur


Secara garis besar, komponen atau bagian – bagian utama dari mikrometer
adalah sebagai berikut :

Gambar 2.21 Bagian – Bagian Mikrometer ( Adiputra, 2015)

1. Anvil
Merupakan penumpu tetap benda kerja yang akan di ukur sebelum spindle
di tempelkan kemudian dengan memutar thimble.
2. Spindle
Spindle adalah poros yang di putar melalui thimble sehingga bergerak
maju atau mundur untuk menyesuaikan ukuran benda yang di ukur.
Selanjutnya ujung spindleakan menempel pada sisi lain dari benda yang
akan di ukur.
3. Sleeve
Merupakan poros berulir yang berlubang tempat spindle dan thimble
bergerak maju atau mundur.
4. Thimble
Digunakan untuk memutar maju spindle ketika masih belum berdekatan
dengan benda yang akan di ukur atau untuk memutar mundur untuk
melepaskan dari benda kerja yang di ukur.

51
5. Skala Pengukuran
Skala pengukuran dari mikrometer ada 3 bagian yaitu:Skala atas, bawah,
dan samping.
6. Batang Kalibrasi Panjang
Digunakan untuk melakukan kalibrasi. Panjang batang kalibrasi adalah
sesuai dengan range minimal mikrometer.
7. Kunci Penyetel
Digunakan untuk memutar outer sleeve atau ratchet untuk mendapatkan
kalibrasi yang benar.
8. Ratchet Stopper
Digunakan untuk memutar spindle ketika ujung spindle mendekti benda
kerja yang akan di ukur dan untuk mengencangkan penjepitan benda.
9. Pengunci Spindle
Ketika spindle menempel dengan benar dan ratchetstopper diputar 2 – 3
putaran spindle harus dikunci dengan memutar lock clamp kea rah kiri
agar spindle tidak bergeser ketika mikrometer di lepas dari benda kerja
yang di ukur untuk di lakukan pembacaan hasil pengukuran.
10. Tangkai
Merupakan bagian dimana bagian inilah di pegang dengan tangan kiri
pada saat pengukuran, dan di jepitkan pada ragum ketika di lakukan
kalibrasi.

2.6 Cara Penggunaan Alat Ukur


Cara menggunakan mikrometer ini mudah sekali tapi jika tidak mengerti
akan mengalami kesulitan dalam proses pengukuran ini. Berikut adalah langkah –
langkah pengukurannya :
1. Pastikan pengunci dalam keadaan terbuka.
2. Buka rahang depan dengan cara memutar ke kiri pada skala putar sehingga
benda dapat dimasukkan ke dalam pada rahang yang telah terbuka.
3. Letakkan benda yang akan diukur pada rahang yang terbuka dan putar lagi
hingga mengunci benda kerja.

52
4. Pengunci diputar sampai benda kerja terkunci dengan kencang diantara
landasan dan poros hingga bunyi klik.

BAB III
METODOLOGI

3.1 Prosedur Praktikum Teoritis


Adapun prosedur teoritis dari praktikum penggunaan dan kalibrasi
mikrometer adalah sebagai berikut :
1. Pemakaian dan penggunaan mikrometer
Mikrometer luar digunakan untuk memeriksa ukuran benda kerja, hasil
pengukuran diisikan pada table yang disediakan. Sebelum melakukan

53
pengukuran isilah terlebih dahulu kolom toleransi menurut standar ISO
atau hitung sesuai aturan yang dapat dibaca pada buku spesifikasi
geometris mikrometer ulir tiga kawat dan mal ulir digunakan untuk
mengukur diameter pits ulir.
2. Kalibrasi mikrometer luar
Dalam proses kalibrasi ini semua bagian alat ukur yang dapat
mempengaruhi hasil pengukuran harus diperiksa apakah masih dapat
berfingsi dengan baik atau tidak, kalu tidak sampai sejauh mana tingkat
kerusakkannya sehingga dengan demikian dapat ditentukan apakah suatu
alat ukur tersebut masih layak digunakan atau tidak.

3.2 Prosedur Praktikum Aktual


Adapun prosedur praktikum secara aktual pada praktikum kali penggunaan
dan kalibrasi mikrometer adalah sebagai berikut:
1. Persiapkan mikrometer serta benda ukur.
2. Kalibrasi mikrometer dengan memeriksa kedudukan nol mikrometer.
3. Lakukan pengukuran pada poros bertingkat berulir sesuai titik yang
ditentukan

54
Gambar 3.1 Pengukuran Poros Bertingkat Berulir

4. Lakukan hal yang sama pada poros bertingkat.

Gambar 3.2 Pengukuran Poros Bertingkat

5. Pengukuran dilakukan oleh pengamat A dan B.


6. Bandingkan hasil pengukuran.

3.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mikrometer Luar 0-25 mm.
Berfungsi untuk mengukur poros bagian luar dengan jarak yang
dilakukan pada pengukuran adalah 0-25 mm.

55
Gambar 3.3 Mikrometer Luar 0- 25 mm

2. Mikrometer Luar 25-50 mm.


Berfungsi untuk mengukur poros bagian luar dengan jarak yang
dilakukan pada pengukuran adalah 25-50 mm.

Gambar 3.5 Mikrometer Luar 25-50 mm

3. Dua buah poros bertingkat.


Poros ini gunakan sebagai benda yang diukur.

Gambar 3.6 Poros Bertingkat

56
Gambar 3.7 Poros Berulir

4. V Block
V block digunakan untuk menempatkan benda yang akan diukur.

Gambar 3.8 V Block

57
BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1 Data Berbentuk Gambar


Adapun data berbentuk gambar pada praktikum ini adalah sebagai berikut :

Gambar 4.1 CAD Poros Bertingkat tak Berulir

Gambar 4.2 CAD Poros Bertingkat dan Berulir

4.2 Data Berbentuk Tabel


Adapun data berbentuk tabel pada praktikum ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1 Data Pengukuran Poros Bertingkat tak Berulir


Benda 1
Pengamat A Pengamat B
Rata-
Bidan Titik Rata- Titik rata
g rata (mm)
1 2 (mm) 1 2
(mm) (mm) (mm) (mm)
A 26.03 26.04 26.035 26.02 26.03 26.025
B 25.97 25.97 25.97 25.98 25.97 25.975
C 15.98 15.96 15.97 16.01 15.97 15.99

58
Tabel 4.2 Data Pengukuran Poros Bertingkat dan Berulir
Benda 2
Pengamat A Pengamat B
Rata-
Bidan Titik Rata- Titik rata
g rata (mm)
1 2 (mm) 1 2
(mm) (mm) (mm) (mm)
A 15.90 15.90 15.90 15.90 15.91 15.905
B 25.91 25.90 25.905 25.92 25.90 25.91
C 32.99 33.03 33.01 33.03 33 33.015
D 25.98 25.97 25.975 25.98 26 25.99
E 18.07 18.03 18.05 18.04 18.03 18.035

59
BAB V
ANALISA DATA

5.1 Data Hasil Berbentuk Tabel


Adapun data hasil perhitungan dari pengukuran benda ukur menggunakan
mikrometer adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1 Data Hasil Pengukuran Benda 1


Pengamat A
Ukuran
Toleransi Rata-
Bidang Kode Max Min 1 2 Dasar
(mm) Rata
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
(mm)
26.04
A f7 0.021 26.02 26.03 26.04 26.035 26
1
25.96
B f6 0.013 25.98 25.97 25.97 25.97 26
7
15.98 15.98
C f7 0.018 15.98 15.96 15.97 15
4 6
Pengamat B
Ukuran
Toleransi Rata-
Bidang Kode Max Min 1 2 Dasar
(mm) Rata
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
(mm)
26.03
A f6 0.013 26.02 26.02 26.03 26.025 26
3
25.96
B f6 0.013 25.98 25.98 25.97 25.975 26
7
15.98
C h6 0.011 16 16.01 15.97 15.99 16
9

Tabel 5.2 Data Hasil Pengukuran Benda 2


Pengamat A
Ukuran
Toleransi Rata-
Bidang Kode Max Min 1 2 Dasar
(mm) Rata
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
(mm)

60
15.93 15.88
A d9 0.052 15.90 15.90 15.90 16
5 3
25.93 25.88
B d9 0.052 25.91 25.90 25.905 26
5 3
33.01
C h5 0.011 33 32.99 33.03 33.01 33
1
25.96
D f6 0.013 25.98 25.98 25.97 25.975 26
7
18.03 18.02
E f6 0.013 18.07 18.03 18.05 18
3 0
Pengamat B
Ukuran
Toleransi Rata-
Bidang Kode Max Min 1 2 Dasar
(mm) Rata
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
(mm)
15.90 15.86
A c9 0.043 15.90 15.91 15.905 16
5 2
25.93 25.90
B d8 0.033 25.92 25.90 25.91 26
5 2
33.01 33.00
C g4 0.007 33.03 33 33.015 33
6 9
25.99 25.98
D g4 0.006 25.98 26 25.99 26
3 7
18.04 18.02
E f7 0.021 18.04 18.03 18.035 18
1 0

5.2 Data Berbentuk Grafik


Adapun data dari hasil pengolahan data dalam bentuk grafik adalah
sebagai berikut :

GRAFIK PENGUKURAN BENDA 1


30
25
20 Rata-Rata Pengamat A
UKURAN

(mm)
15
Rata-Rata Pengamat B
10 (mm)
5
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
POSISI

61
Gambar 5.1 grafik pengukuran benda 1

GRAFIK PENGUKURAN BENDA 1


35
30
25
Rata-Rata PengamatA
UKURAN

20 (mm)
15 Rata-Rata PengamatB (mm)
10
5
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
POSISI

Gambar 5.2 grafik pengukuran benda 2


5.3 Analisa Data
Pada praktikum ini dilakukan oleh dua orang pengamat yaitu pengamat A
dan pengamat B. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan dua buah benda
ukur (poros bertingkat tak berulir dan poros bertingkat berulir). Setelah dilakukan
pengukuran, kemudian dilakukan pengolahan data hasil pengukuran. Pada
pengolahan data hasil pengukuran dicari ukuran rata-rata untuk mendapatkan
ukuran dasar dimana ukuran dasar digunakan untuk menentukan kode toleransi
penyimpangan poros. Toleransi pada praktikum ini didapatkan dari pengurangan
ukuran maksimum dan minimum tersebut didapatkan dari penjumlahan ukuran
dasar dengan toleransi yang ada pada tabel penyimpangan poros.
Pada hasil pengukuran yang dilakukan oleh dua pengamat didapatkan hasil
sedikit berbeda pada benda dan titik yang sama. Hal tersebut dapat terjadi karena
beberapa faktor, yaitu faktor alat ukur dimana saat melakukan pengkalibrasian alat
ukur yang kurang tepat atau alat ukur sudah tua sehingga terjadi keausan atau alat
ukur sudah tidak layak dipakai. Yang kedua faktor pengamat itu sendiri
kemungkinan salah satu pengamat kurang teliti dalam membaca hasil pengukuran.
Selanjutnya faktor dari benda ukur yang diukur terjadi pemuaian akibat
temperatur di tempat pengukuran, kebersihan alat dan benda ukur juga dapat
menyebabkan perbedaan hasil pengukuran dimana benda yang kotor atau berdebu

62
dapat menghambat sensor gerak menyentuh benda ukur sehingga hasil
pengukuran berbeda.

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di ambil dari praktikum Penggunaan dan


kalibrasi mikrometer adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan mikrometer sangatlah dibutuhkan dalam dunia Industri
karena untuk mendapatkan ukuran yang mempunyai ketelitian sebesar
0,01 mm. Sayangnya pengukuran menggunakan micro meter terbatas
ukuran yang mampu di ukur menggunakan alat ini antara 0-25 mm, 25-50
mm, dan 50-75 mm. Hanya bisa melakukan pengukuran dengan benda
yang berukuran kecil. Hasil pengukuran Benda yang sama pada titik
tertentu bisa menghasilkan hasil yang berbeda jika dilakukan oleh dua
orang yang berbeda.
2. Pengkalibrasian mikrometer berguna untuk membuat benda memiliki
ketelitian yang tinggi. Karena dalam dunia pemesinan ketelitian yang
tinggi sangat di perlukan.

6.2 Saran

63
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum penggunaan dan kalibrasi
mikrometer adalah sebagai berikut:
1. Pengukuran harus dilakukan lebih cepat, karena pengukuran yang
dilakukan memakan waktu yang lama.
2. Pengukuran seharusnya dilakukan pada benda yang berdiameter kecil,
sehingga lebih efektif waktu.
3. Pencataan hasil pengukuran seharusnya dilakukan orang yang berbeda
agar hasil pengukuran yang di catat tidak terjadi kesalahan.

PENGOLAHAN DATA

1. Pengolahan Data Benda 1


a. Pengamat A
Bagian A

Ukuran Rata-rata = ( 26,03+26,04


2 )=26,035 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = f7
Ukuran maksimum = 26,041 mm
Ukuran minimum = 26,02 mm
Toleransi = 26,041 – 26,02 = 0,021 mm

Bagian B

Ukuran Rata-rata = ( 25,97+25,97


2 )=25,97 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = f6
Ukuran maksimum = 25,98 mm

64
Ukuran minimum = 25,967 mm
Toleransi = 25,98 – 25,967 = 0,013 mm

Bagian C

Ukuran Rata-rata = ( 15,98+15,96


2 )=15,97 mm
Ukuran Dasar = 16 mm
Kode toleransi = f7
Ukuran maksimum = 15,984 mm
Ukuran minimum = 15,986 mm
Toleransi = 15,984 – 15,986 = 0,018 mm
b. Pengamat B
Bagian A

Ukuran Rata-rata = ( 26,02+26,03


2 )=26,025 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = f6
Ukuran maksimum = 26,033 mm
Ukuran minimum = 26,02 mm
Toleransi = 26,033 – 26,02 = 0,013 mm

Bagian B

Ukuran Rata-rata = ( 25,98+25,97


2 )=25,975 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = f6
Ukuran maksimum = 25,98 mm
Ukuran minimum = 25,967 mm
Toleransi = 25,98 – 25,967 = 0,013 mm

Bagian C

65
Ukuran Rata-rata = ( 16,01+2 15,97 )=15,97 mm
Ukuran Dasar = 16 mm
Kode toleransi = f7
Ukuran maksimum = 16,01 mm
Ukuran minimum = 15,97 mm
Toleransi = 16,01 – 15,97 = 0,011 mm

2. Pengolahan Data Benda 2


a. Pengamat A
Bagian A

Ukuran Rata-rata = ( 15,90+15,90


2 )=15,90 mm
Ukuran Dasar = 16 mm
Kode toleransi = d9
Ukuran maksimum = 15,935 mm
Ukuran minimum = 15,883 mm
Toleransi = 15,935 – 15,883 = 0,052 mm

Bagian B

Ukuran Rata-rata = ( 25,91+25,90


2 )=25,905 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = d9
Ukuran maksimum = 25,935 mm
Ukuran minimum = 25,883 mm
Toleransi = 25,935 – 25,883 = 0,052 mm

Bagian C

66
Ukuran Rata-rata = ( 32,99+33,03
2 )=33,01 mm
Ukuran Dasar = 33 mm
Kode toleransi = h5
Ukuran maksimum = 33,011 mm
Ukuran minimum = 33 mm
Toleransi = 33,011 – 33 = 0,011 mm

Bagian D

Ukuran Rata-rata = ( 25,98+25,97


2 )=25,975 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = f6
Ukuran maksimum = 25,98 mm
Ukuran minimum = 25,967 mm
Toleransi = 25,98 – 25,967 = 0,013 mm

Bagian E

Ukuran Rata-rata = ( 18,07+18,03


2 )=18,05 mm
Ukuran Dasar = 18 mm
Kode toleransi = f6
Ukuran maksimum = 18,033 mm
Ukuran minimum = 18,020 mm
Toleransi = 18,033 – 18,020 = 0,013 mm

b. Pengamat A
Bagian A

Ukuran Rata-rata = ( 15,90+15,91


2 )=15,905 mm
Ukuran Dasar = 16 mm
Kode toleransi = c9

67
Ukuran maksimum = 15,905 mm
Ukuran minimum = 15,862 mm
Toleransi = 15,905 – 15,862 = 0,043 mm

Bagian B

Ukuran Rata-rata = ( 25,92+25,90


2 )=25,91 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = d8
Ukuran maksimum = 25,935 mm
Ukuran minimum = 25,902 mm
Toleransi = 25,935 – 25,902 = 0,033 mm

Bagian C

Ukuran Rata-rata = ( 32,03+33


2 )=33,015 mm
Ukuran Dasar = 33 mm
Kode toleransi = g4
Ukuran maksimum = 33,016 mm
Ukuran minimum = 33,009 mm
Toleransi = 33,016 – 33,009 = 0,007 mm

Bagian D

Ukuran Rata-rata = ( 25,98+26


2 )=25,99 mm
Ukuran Dasar = 26 mm
Kode toleransi = g4
Ukuran maksimum = 25,993 mm
Ukuran minimum = 25,987 mm
Toleransi = 25,993 – 25,987 = 0,006 mm

Bagian E

68
Ukuran Rata-rata = ( 18,04+18,03
2 )=18,035 mm
Ukuran Dasar = 18 mm
Kode toleransi = f7
Ukuran maksimum = 18,041 mm
Ukuran minimum = 18,020 mm
Toleransi = 18,041 – 18,020 = 0,021 mm

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengukuran merupakan penentuan besaran, dimensi atau kapasitas
terhadap suatu benda yang memiliki standar setiap masing-masingnya.
Pengukuran dilakukan untuk menentukan standar dari masing-masing benda yang
memiliki variasi ukuran, bentuk, berat dan lain-lain. Untuk mengukur kebulatan
dari suatu benda yang mempunyai penampang bulat, maka dilakukan dengan
pengukuran kebulatan.
Dalam ilmu mesin banyak komponen mesin atau elemen-elemen mesin
yang memiliki penampang bulat seperti poros, roda gigi, dan lain-lain. Komponen

69
atau elemen mesin tersebut tidak memiliki kebulatan yang sempurna, terdapat
nilai toleransi dalam setiap komponen atau elemen mesin tersebut. Kebulatan
berpengaruh terhadapa kelancaran pelumasan, ketelitian putaran dan kondisi
suaian.
Pada praktikum kali ini praktikan akan mempelajari tentang prinsip dasar
proses pengukuran kebulatan dan kemudian praktikan akan melakukan
pengukuran kebulatan sesuai prosdur yang ada pada modul dan arahan dari
asisten. Hasil pengukuran nantinya akan dibandingkan.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami prinsip dasar proses pengukuran kebulatan.
2. Mampu melakukan proses pengukuran kebulatan.
3. Mampu menganalisis hasil pengukuran kebulatan.
.
1.3 Manfaat Praktikum
Adapun manfaat praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan praktikan mengenai pengukuran kebulatan.
2. Praktikan dapat menggunakan dial indikator dengan baik dan benar.
3. Praktikan dapat membandingkan hasil analisa.

1.4 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan praktikum, manfaat praktikum
dan sistematika penulisan.
BAB II TEORI DASAR
Bab ini berisi tentang pengertian, macam – macam alat ukur, cara kerja dan
prinsip kerja, perkembangan alat ukur, komponen alat ukur, dan cara
penggunaan (cara pembaacaan) alat ukur.
BAB III METODOLOGI

70
Bab ini berisi tentang prosedur praktikum teoritis, prosedur praktikum
aktual,
serta alat d an bahan.
BAB IV DATA PENGAMATAN
Bab ini berisi tentang data berbentuk tabel dan data berbentuk grafik (jika
diperlukan).
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang pengolahan data (perhitungan) dan analisa data.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB II
TEORI DASAR

2.1 Pengertian
Kebulatan atau yang disebut juga roundness adalah kondisi pada suatu
permukaan dengan penampang berbentuk lingkaran (silinder, konis dan bola),
dimana semua titik-titik dari permukaan yang dipotong oleh bidang apapun tegak
lurus terhadap sumbu (silinder dan konis) atau yang melalui pusat (bola)
mempunyai jarak yang sama dari titik pusat lingkaran. Toleransi kebulatan
menunjukkan daerah toleransi yang dibatasi oleh dua lingkaran konsentris,
dimana setiap elemen dari lingkaran harus berada pada bagian tersebut.
Pengukuran kebulatan merupakan pengukuran yang ditujukan untuk
memeriksa kebulatan suatu benda, atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah

71
suatu benda tersebut benar-benar bulat atau tidak, jika dilihat secara teliti dengan
menggunakan alat ukur. Pengukuran kebulatan ini merupakan salah satu dari tipe
pengukuran yang tidak berfungsi menurut garis. Kebulatan dan diameter adalah
dua karakter geometris yang berbeda, meskipun demikian keduanya saling
berkaitan. Ketidakbulatan akan mempengaruhi hasil pengukuran diameter,
sebaliknya pengukuran diameter tidak selalu akan menunjukkan ketidakbulatan.

Kebulatan merupakan suatu harga yang dapat di tentukan berdasarkan


kebulatan relatif terhadap lingkaran referensinya. Menurut standar Inggris,
Amerika dan Jepang terdapat empat macam lingkaran referensi yaitu:

1. Least Squares Circle (LSC)


Least Squares Circle (LSC) adalah metode yang paling umum
digunakan. Luas daerah yang tertutup oleh profil sama dengan luas daerah yang
berada pada luar daerah yang tertutup.

Gambar 2.1 Least Squares Circle (Doddy, 2021)

2. Minimum Circumscribed Circle (MCC)


Metode Minimum Circumscribed Circle (MCC) ini adalah menghitung
lingkaran standar dengan jari-jari minimum yang dapat menutupi profil data. Hal
ini dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut ini.

72
Gambar 2. 2 Minimum Circumscribed Circle (Doddy, 2021)

3. Maximum Inscribed Circle (MIC)


Metode Maximum Iscribed Circle (MIC) menghitung lingkaran standar
dengan jari-jari maksimum yang ditutupi profil data. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 2.3

Gambar 2.3 Maximum Inscribed Circle (Doddy, 2021)

4. Minimal Zone Circle (MZC)

73
Metode Minimal Zone Circle (MZC) menghitung dua kali lingkaran
konnsentrik yang menutupi profil data seperti memisah arah radial minimum. Hal
ini dapat dilihat pada gambar 2.4

Gambar 2.3 Minimal Zone Circle (Doddy, 2021)


Parameter perhitungan kebulatan semuanya berdasarkan lingkaran
referensinya yang telah di terangkan di atas tadi. Pengukuran kebulatan sebuah
benda kerja dapat di ukur dengan cara memutar benda kerja sejauh 360 o atau
sejauh satu putaran penuh. Pada saat benda di putar sensor dari alat ukur harus
menyentuh permukaan dari benda yang di ukur kebulatannya. Pengukuran
kebulatan dilakukan untuk menemukan penyimpangan kebulatan benda kerja
terhadap lingkaran sempurna.
Pengukuran kebulatan merupakan pengukuran yang ditujukan untuk
mengukur kebulatan dari sebuah benda untuk diketahui apakah benda tersebut
bulat atau tidak. Pada saat dilihat kasat mata maka benda terlihat bulat, namun
saat dilihat dengan alat ukur maka akan terlihat tingkat kebulatan dari benda
tersebut. Pengukuran kebulatan tidaklah berdasarkan garis lurus, meskipun
demikian kedua hal tersebut saling keterkaitan. Pengukuran kebulatan dapat
mempengaruhi nilai kebulatan, tapi diameter tidak mempengaruhi hasil
pengukuran.
Sebuah benda yang berbentuk silinder, pada umumnya proses pembuatan
benda silinderlah yang menyebabkan ketidak bulatan tersebut. Pembentukan
benda kerja menggunakan pemesinan membentuk bulat sempurna merupakan hal
yang sangat sulit. Hal tersebut dikareenakan beberapa faktor, mulai dari pahat

74
bubut yang digunakan untuk membentuk dalam proses pembubutan yang kurang
tajam sehingga benda berpermukaan kasar, hingga operator yang membuat benda
tersebut. Maka pada benda silinder nilai kebulatan pada setiap sisinya memiliki
perbedaan harga yang bisa dihitung oleh alat ukur. Pemeriksaan kebulatan
tersebut bisa menggunakan Dial Indikator sebagai alat ukur pemeriksaan
kebulatan.Dial indikator dapat digunakan sebagai alat ukur pemeriksaan
kebulatan. Alat ini bisa digunakan untuk mengukur perbedaan ketinggian dari
suatu benda kerja silinder yang sedang di ukur tingkat kebulatannya.
Dengan memanfaatkan prinsip yang sama sebuah benda yang berbentuk
silinder dapat diperiksa kebulatannya. Dengan cara menetapkan suatu titik pada
sisi silinder sebagai acuan (titik nol) kemudian melakukan pengukuran terhadap
titik lain dapat diketahui apakah terjadi pelekukan (cekung) maupun terjadi
gunduka (cembung) pada sisi permukaan benda ukur tersebut. Cekungan maupun
cembungan tersebut lah yang mempengaruhi kebulatan sebuah benda.
Penyebab terjadinya ketidak bulatan suatu benda atau komponen bisa
bermacam-macam. Ketidak bulatan suatu benda atau komponen bisa disebabkan
oleh lenturan dari poros yang panjang. Kedalaman dalam pemakanan pada proses
pemesinan juga bisa menjadi salah satu faktor benda menjadi tidak bulat. Dalam
proses pembubutan membutuhkan benda yang senter dalam proses
pembubutannya maka benda yang dihasilkan akan mempunyai kebulatan. Maka
kemungkinan ketidak bulatan terjadi pada proses pembubutan berlangsung.
Penyebab benda tidak bulat juga dapat disebabkan oleh penjepitan benda
kerja menggunakan chuck mesin bubut. Pada saat benda kerja di jepit, rahang dari
chuck menjepit benda kerja. Jika penjepitan benda kerja di lakukan sangat keras
dan kencang maka akan terjadi kemungkinan bahwa benda kerja tertekan, dan
benda kerja menjadi tidak bulat. Kemungkinan ini terjadi pada penampang dari
benda kerja yang dilakukan proses pembubutan tersebut.
Kebulatan mempunyai peran sangat penting dalam pemesinan antara lain
adalah sebagai berikut:

a. Membagi beban sama rata.


b. Menentukan umur komponen.

75
c. Menentukan kondisi suaian.
d. Menentukan ketelitian putaran poros.
e. Mempelancar pelumasan.

Saat membicarakan kebulatan, selain penyebab dari ketidak bulatan dan


cara penanggulangan ketidakbulatan, pasti akan berkaitan dengan cara mengukur
kebulatan dan bagaimana cara menyatakan harga ketidakbulatan, karena sampai
saat ini ada beberapa definisi mengenai parameter kebulatan. Ketidakbulatan
merupakan salah satu jenis kesalahan bentuk dan umumnya amat berkaitan
dengan beberapa kesalahan bentuk lainnya seperti:

a. Kesamaan sumbu atau konsentrisitas (concentricity)


b. Kelurusan (straightness)
c. Ketegaklurusan (perpendicularity)
d. Kesejajaran (parallelism)
e. Kesilindrikan (clindricity)

Kesalahan bentuk tersebut dapat dialami oleh suatu komponen dengan


geometri sederhana seperti poros dengan diameter yang sama, sampai dengan
komponen dengan geometri yang kompleks seperti poros engkol (lihat gambar
2.6). Poros engkol tersebut akan menderita beban yang kompleks seperti puntiran,
geseran, tekukan dan tarikan, sehingga adanya kesalahan bentuk akan
memberikan beban tambahan.

Gambar 2.5 Poros Engkol (Rochim, 2006)

76
Kebulatan dapat diukur dengan cara sederhana, walaupun tidak
memberikan hasil yang maksimal, tapi cukup untuk mempertimbangkan kualitas
geometrik dari komponen yang tidak menuntut persyaratan yang tinggi. Alat ukur
kebulatan dibuat sesuai dengan persyaratan pengukuran kebulatan, dan beberapa
jenis mampu digunakan pula untuk mengukur berbagai kesalahan bentuk.
Kebulatan dan diameter merupakan dua karakter geometrik yang berbeda,
namun saling berkaitan. Ketidak bulatan akan mempengaruhi hasil pengukuran
diameter, sebaliknya pengukuran diameter tidak selalu mampu memperlihatkan
ketidak bulatan. Sebagai contoh, penampang poros dengan dua tonjolan beraturan
(elips) akan dapat diketahui ketidak bulatannya bila diukur dengan dengan dua
sensor dengan posisi bertolak belakang (1800). Mengukur diameter penampang
poros dengan tonjolan beraturan yang ganjil (3,5,7 dst). Gambar 2.6 menunjukkan
lima macam bentuk penampang yang apabila diukur dengan mikrometer (pada
berbagai posisi) selalu akan menghasilkan harga 25 mm.

Gambar 2.6 Kesalahan Pengukuran (Rochim, 2006)

Pengukuran dengan dua kontak menggunakan mikrometer tidak


memberikan informasi mengeanai kebulatan penampang yang mempunyai
tonjolan beraturan yang ganjil. Keempat jenis penampang tersebut akan terbaca
oleh mikrometer dengan harga yang sama dengan 25 mm. Apabila suatu bidang
lurus diletakkan diatas empat poros dengan penampang seperti bentuk tersebut,

77
akan dapat didorong dengan mulus sempurna seolah-olah ada roda yang
menopangnya.
Caliber ring dengan jam ukur dapat digunakan untuk memeriksa
kebulatan. Dengan memutar poros benda ukur goyangan pada jarum jam ukur
menunjukkan suatu ciri ketidak bulatan. Namun, pengukuran dengan memakai
caliber seperti ini mempunyai dua kelemahan. Pertama, perlu pembuatan caliber
teliti yang khusus unntuk diameter tertentu. Kedua, hasil pengukuran masih
dipengaruhi oleh bentuk ketidak bulatan dan kelonggaran antara poros dengan
caliber ring tersebut.

Gambar 2.7 Caliber ring dengan dial indikator (Rochim, 2006)

Pengukuran kebulatan suatu poros dengan cara meletakkan pada blok v


dan memutar dengan menempelkan sensor pada benda ukurnya. Untuk lebih jelas
mengenai pengukuran menggunakan dial indikator dan blok v dapat dilihat pada
gambar 2.8.

78
Gambar 2.8 Pengukuran Menggunakan Blok V (Rochim, 2006)

Aplikasi pemeriksaan kebulatan selanjutnya dengan dua senter juga dapat


dilakukan pula pada mesin bubut. Dengan cara meletakkan spesimen pada dua
senter mesin bubut lalu di putar. Setelah itu sensor di tempelkan pada benda ukur
lalu nila kebulatan dari spesimen tersebut di catat. Agar lebih jelas dapat dilihat
pada gambar 2.9 dibawah ini.

Gambar 2.9 Pemeriksaan Kebulatan Dengan Dua Senter (Rochim, 2006)

2.2 Macam-macam mistar ingsut


Berdasarkan kemampuan berputarnya alat ukur kebulatan dibedakan
menjadi 2 jenis. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Jenis dengan sensor putar
Pada alat ukur jenis ini ada beberapa hal ciri-cirinya, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Spindel (poros utama) yang berputar hanya menerima beban yang
ringan dan tetap. Maka dari itu biasanya ketelitian yang tinggi bisa:
dicapai dengan membuat konstruksi yang cukup ringan menggunakan
alat ukur ini.

b. Meja yang digunakan untuk meletakkan benda ukur tidak


mempengaruhi sistem pengukuran yang digunakan. Benda ukur yang

79
berbentuk besar dan panjang tidak menjadi masalah untuk dilakukan
pengukuran.

2. Jenis dengan meja putar


Pada alat ukur dengan jenis meja putar ini mempunyai ciri-ciri diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Karena sensor tidak berputar, maka berbagai pengukuran dengan
kebulatan dapat dilaksanakan, misalnya konsentris, kelurusan,
kesejajaran, dan ketegaklurusan.
b. Pengukuran kelurusan bisa dilakukan dengan menambahkan peralatan
untuk menggerakkan sensor dalam arah transversal (vertikal) tanpa
harus mengubah posisi spindel.
c. Berat benda ukur terbatas, karena keterbatasan kemampuan spindel
untuk menahan beban. Penyimpangan letak titik berat ukur relatif
terhadap sumbu putar dibatasi.
d. Alat pengatur posisi dan kemiringan benda ukur terletak pada meja.
Oleh sebab itu, pengaturan secara cermat supaya sumbu objek ukur
berimpit dengan sumbu putar, hanya mungkin dilakukan sewaktu meja
dalam keadaan tak berputar.

Gambar 2.10 Alat Ukur Kebulatan Meja Berputar (Rochim, 2006)

2.3 Cara kerja dan prinsip kerja

80
Dial indikator adalah salah satu alat ukur yang dapat mengukur kerataan
permukaan benda kerja yang berbentuk silinder dengan ketelitiannya yang mencapai
0,01mm.

Gambar 2.11 Dial Indikator (Ikhsannuidin, 2012)

Saat akan digunakan dial indikator tidak dapat digunakan sendiri, akan
tetapi memerlukan kelengkapan yang harus diatur sedemikian rupa pada saat
pengukuran. Posisi dial gauge harus tegak lurus terhadap benda kerja yang akan
diukur. Pada dial gauge terdapat dua skala, yang pertama skala besar (terdiri dari
100 strip) dan yang kedua adalah skala yang lebih kecil. Pada skala yang besar
tiap stripnya bernilai 0,01mm. Jadi ketika jarum panjang berputar 1 kali putaran
penuh maka pengukuran tersebut menunjukkan sejauh 1 mm. Sedangkan skala
yang kecil merupakan penghitung putaran dari jarum panjang pada skala yang
besar. Prinsip kerja dari dial indikator adalah merubah gerak translasi menjadi
gerak rotasi.

2.4 Perkembangan mistar ingsut


Perkembangan alat ukur dial indikator ini dari yang awalnya hanya
menggunakan jarum penunjuk yang digerakkan oleh spindle dial (ujung peraba),
dan kini dengan majunya perkembangan zaman, munculah pemikiran dan ide-ide
baru dengan mencanggihkan alat ukur kebulatan tersebut, yang tidak lagi
menggunakan jarum melainkan angka digital.
Dengan adanya alat ukur yang digital ini kita tidak perlu melihat hasil
pengukuran secara teliti dan menggunakan pemikiran yang tinggi, namun kita

81
hanya melihat dilayar digital pada dial indikatornya saja, angka berapa yang
tertera dilayar digital tersebut itulah hasil dari pengukuran kita. Hasil pengukuran
dapat tertera dengan jelas dan lebih akuratPertama kali munculnya mistar ingsut
adalah mistar ingsut jenis nonius. Dimana cara pembacaannya yaitu dengan cara
membandingkan skala nonius dengan skala utama yang ada pada batang mistar
ingsut itu sendiri. Angka yang ditunjukkan skala nonius adalah merupakan hasil
dari pengukuran yang dilakukan tersebut. Lalu dicari skala utama dan skala nonus
yang memiliki garis yang sejajar dan lurus. Maka hasil pengukurannya adalah
skala utama ditambahkan skala nonius.
Mistar ingsut memiliki kapasitas ukur sampai dengan 150 mm, selain itu
untuk jenis mistar ingsut nonisu yang besar memiliki kapasitar sampai dengan
1000 mm. Kecermatan dari alat ukur mistar ingsut nonius ini tergantung pada
skala nonius yaitu 0,10 mm, 0,05 mm ataupun 0,02 mm. Semakin tinggi
kecermatan darialat ukur mistar ingsut nonius ini, maka semakin banyak pula
garis yang ada pada skala nonius itu.

2.5 Komponen mistar ingsut


Dalam pengukuran kebulatan ini, alat utama yagn digunakan adalah dial
indikator. Namun dalam pelaksanaan pengukuran dial indikator tidak dapat
berperan sendiri, masih dengan menggunakan alat bantu seperti meja rata, v-blok
dan batang penyangga dial indikator. Disini ada beberapa komponen dari dial
indikator tersebut, yaitu seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.12 Bagian-Bagian Dial Indikator (Agung Fathony, 2013)

82
Komponen-komponen dial indikator, yaitu :
1. Plunjer (bidang sentuh).
2. Spindle.
3. Stem.
4. Jarum pendek (penghitung putaran).
5. Jarum panjang (jarum penunjuk).
6. Sekrup pengkalibrasi.
7. Outer ring.
8. Sekrup penyetel posisi plunjer.
9. Poros penyangga.
10. Dudukan magnet.
11. Saklar magnet.

Adapun pengertian dari bagian – bagian dial indicator, yaitu :


1. Plunjer adalah komponen bersentuhan langsung dengan benda ukur.
2. Spindle merupakan komponen terpenting, ketelitian putaran harus dijaga
setinggi mungkin untuk keberhasilan alat ukur
3. Jarum pendek merupakan penghitung putaran dari jarum jam panjang pada
skala besar.
4. Jarum panjang merupakan penunjuk hasil pengukuran dengan tiap stripnya
bernilai 0,01 mm.
5. Outer ring merupakan penyetelan agar posisi jarum panjang diangka nol.
6. Sensor merupakan jarum dari tungsten carbida.
7. Dudukan magnet berfungsi untuk menyatukan poros penyangga .
8. Gambaran skrup penyetel posisi plunjer berguna untuk penekan plunjer
terhadap benda ukur.
9. Switch magnet berguna untuk mematikan magnet atau kerja system magnet,
dan menghidupkan kerja system magnet.
10. Gauge beam lock untuk menggabungkan penyangga atau mengunci
penyangga

83
2.6 Cara Penggumaan dan Cara Pembacaan Alat Ukur
Dalam melakukan pengukuran kebulatan, ada beberapa cara yang perlu
dilakukan agar hasil pengukuran maksimal. Salah satunya seperti pada gambar
dibawah ini:

Gambar 2.13 Cara Peletakan Dial Indikator (Ikhsannudin, 2012)

Cara penggunaannya adalah sebagai berikut :


1. Pasang contact point dengan dial indikator.
2. Pasang dial indikator pada standya.
3. Tempelkan contact point pada benda kerja yang akan diukur.
4. Kendorkan screw pengikat pada skala dan posisikan angka nol sejajar
dengan jarum penunjuk (jarum panjang), lalu kencangkan lagi screw
pengikat.
5. Gerakkan benda kerja sesuai kebutuhan.
6. Baca nilai penyimpangan jarum penunjuk pada skala.
7. Untuk mendapatkan hasil yang benar, harus diketahui ketelitian skala dial
gauge yang kita gunakan.

Cara membaca skala dan hasil dari alat ukur kebulatan untuk dial gauge
metric (mm) adalah skala utama ditunjukkan dengan jarum panjang (long hand),
satu putaran jarum panjang (dari nol ke nol = 100 strip) menandakan skala 1mm,
dan akan ditunjukkan dengan pergerakkan jarum pendek (short hand) sejauh 1
strip yang berarti probe spindle bergerak sejauh 1mm. 1 putaran jarum pendek

84
berarti nol ke nol sebanyak 10 strip atau sama dengan 10 x 1mm = 10mm atau
1cm. Sehingga tingkat akurasi (1 strip jarum panjang) dial gauge metric adalah 1
mm dibagi 100 strip sama dengan 0,01 mm.
Penyebab ketidak bualatan suatu benda atau komponen bisa bermacam –
macam. Ketidak bulatan suatu benda bisa disebabkan oleh lenturan dari poros
yang panjang. Kedalaman pemakanan pada poros pemesinan juga bisa menjadi
salah satu factor benda menjadi tidak bulat. Dalam proses pembubutan
berlangsung.

85
BAB III
METODOLOGI

3.1 Prosedur Teoritis Praktikum


Adapaun prosedur secara teoritis pada praktikum ini adalah sebagai
berikut :
1. Benda ukur diberi tanda pada pinggirannya dan diberi nomor searah arah
jarum jam dari 1 sampai 12.
2. Letakkan benda ukur pada V-Block.
3. Atur sensor jam hingga menyentuh benda ukur, pada posisi nomor 1.
4. Atur ketinggian dial indikator hingga jam petunjuk menunjukkan angka 0.
5. Ulangi prosedur nomor 4 hingga seluruh posisi benda ukur diperiksa,
dilakukan oleh dua pengamat.
6. Lakukan pengukuran dengan membalik arah putaran benda ukur dari
nomor 12 hingga nomor 1 dengan tanpa mengubah set up, ulangi prosedur
4 sampai nomor 6 yang dilakukan oleh pengamat B.
7. Baca dan catat hasil pengukuran kebulatan.
8. Lakukan analisa pengukuran kebulatan.

3.2 Prosedur Aktual Praktikum


Adapun prosedur aktual dari praktikum perhitungan kebulatan adalah
sebagai berikut :
1. Benda ukur diberi tanda pada pinggirannya dan diberi nomor searah arah
jarum jam dari 1 sampai 12.
2. Letakkan benda ukur pada V-Block.
3. Atur sensor jam hingga menyentuh benda ukur, pada posisi nomor 1.

86
4. Atur ketinggian dial indikator hingga jam petunjuk menunjukkan angka 0.
5. Ulangi prosedur nomor 4 hingga seluruh posisi benda ukur diperiksa,
dilakukan oleh dua pengamat.
6. Lakukan pengukuran dengan membalik arah putaran benda ukur dari
nomor 12 hingga nomor 1 dengan tanpa mengubah set up, ulangi prosedur
4 sampai nomor 6.
7. Baca dan catat hasil pengukuran kebulatan.
8. Lakukan analisa pengukuran kebulatan.

3.3 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :
1. Dial Indikator

Gambar 3.1 Dial Indikator (Lab. Pengukuran Metrologi Industri UR, 2021)

2. V-Block

87
Gambar 3.2 V-Block (Lab. Pengukuran Metrologi Industri UR, 2021)
3. Benda Ukur

Gambar 3.3 Benda Ukur (Lab. Pengukuran Metrologi Industri UR, 2021)

88
BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1 Data Berbentuk Gambar


Adapun data pengamatan berbentuk gambar pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :

Gambar 4.1 Spesimen Ukur

4.2 Data Berbentuk Tabel


Adapun data pengamatan berbentuk gambar pada praktikum ini adalah
sebagai berikut :

Tabel 4.1 Data Pengukuran Kebulatan


Pengamat A Pengamat B
Titik Simpangan Dial Indicator (µm) Simpangan Dial Indicator (µm)
1 2 Average 1 2 Average
1 -1 3 1 -2 1 5
2 4 5 4,5 3 6 4,5
3 1 -3 -1 2 1 -0,5
4 1 2 1,5 -4 -1 -2,5

89
BAB V
ANALISA DATA

5.1 Data Berbentuk Tabel


Adapun data hasil pengolahan data berbentuk tabel pada praktikum ini
adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1 Data Hasil Perhitungan Pengamat A


Pengamat A

Simpangan Dial Indicator (µm)


Titik
Averag
1 2 R a b Δi
e
1 -1 3 1 -3,2
2 4 5 4,5 0,48
1,5 2,678 0.68
3 1 -3 -1 -0,36
4 1 2 1,5 0,6

Tabel 5.2 Data Hasil Perhitungan Pengamat B


Pengamat B

Simpangan Dial Indicator (µm)


Titik
Averag
1 2 R a b Δi
e
1 -2 1 5 -3,33
2 3 6 4,5 1,34
0,75 2,1 -2,1
3 2 1 -0,5 0,29
4 -4 -1 -2,5 -0,43

90
5.2 Data Berbentuk Grafik
Adapun data berbentuk grafik pada praktikum ini adalah :

Gambar 5.1 Grafik Pengukuran Kebulatan Pengamat A

Gambar 5.2 Grafik Pengukuran Kebulatan Pengamat B

5.3 Analisa Data


Data dapat dianalisa dengan melihat hasil perhitungan LSC, dengan cara
melihat hasil perhitungan jika hasil perhitungan negatif, maka pada permukaan
spesimen terdapat lubang, sedangkan jika hasil perhitungan positif, maka pada

91
permukaan spesimen ukur terdapat tonkolan. Dari hasil perhitungan dapat
diketahui bahwa bentuk dari permukaan spesimen ukur tidaklah berbebntuk bulat
sempurna. Hal ini dapat terjadi karena seluruh hasil perhitungan LSC tidak ada
yang bernilai 0.
Berdasarkan data dari grafik LSC pengamat A yang ditunjukkan pada
gambar 5.3 dapat diketahui bahwa nilai-nilai ketidakbulatan yang diperolah
beragam, sehingga bentuk dari spesimen ukur tidaklah bulat sempurna, namun ada
beberapa titik yang nilai ketidakbulatannya hamper mendekati nilai 0 seperti titik
7, 10, dan 11. Terdapat beberapa tonjolan pada spesimen ukur yaitu pada titik 1,
2, 3, 7, 8, dan 9. Sedangkan lubang atau lekukan terdapat pada titik4, 5, 6, 110,
11, dan 12.
Berdasarkan pada data grafik LSC pengamat B yang ditunjukkan pada
gambar 5.4 dapat diketahui bahwa bentuk dari spesimen ukur tidak bulat
sempurna karena terdapat beberapa tonjolan ataupun lubang, namun ada beberapa
titik yang nilai ketidakbulatannya hamper mendekati nilai 0, misalnya titik 10.
Tonjolan pada permukaan spesimen ukur terdapat pada titik 1, 2, 5, dan 12.
Sedangkan lubang atau kawah terdapat pada titik 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Hal
ini dapat terjadi karena benda ukur yang kurang bersih seperti terdapat butiran
pasir, alat ukur yang tidak akurat/presisi, dan ketelitian pengukur ketika mengukur
benda ukur.

92
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah :
1. Prinsip kerja dari alat ukur dial indikator adalah mengubah isyarat sensor
dari gerak translasi menjadi rotasi. Pergerakan translasi di sini adalah
pergerakan sensor yang bergerak naik-turun. Pergerakan rotasi di sini
adalah perputaran jarum jam ukur dari dial indikator.
2. Proses-proses melakukan pengukuran menggunakan dial indikator adalah
beri tanda pada benda ukur, atur ketinggian sensor jam hingga menyentuh
benda ukur, atur ketinggian dial indikator hingga jarum jam menunjukkan
angka 0, baca dan catat hasil pengukuran kebulatan.

6.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum ini adalah :
1. Mahasiswa harus mengerti teori mengenai dial indikator terlebih dahulu
sebelum melaksanakan praktikum.
2. Ketika praktikum hendaknya mengikuti prosedur praktikum dengan baik.
3. Pengukuran harus dilakukan dengan cermat dan teliti agar hasil
pengukuran akurat.

93
PENGOLAHAN DATA
1. Pengolahan Data Pengamat A

Titik 1 :

X 1 =1cos 0° =1 μm

Y 1=1 sin 0 °=0 μm

Titik 2 :

X 2 =4,5 cos 270 °=4,43 μm

Y 2=4,5 sin 270° =−0,79 μm

Titik 3 :

X 3 =−1 cos 180° =0,6 μm

Y 3=−1sin 180 °=0,8 μm

Titik 4 :

X 4=1,5 cos 90 ° =−0,67 μm

Y 4 =1,5 sin 90 °=1,34 μ m

6
R= =1,5 μm
4

8,3
a= =2,1 μm
4

−8,48
b= =−2,1 μm
4

Lingkaran referensi = R + a = 0,75 + 2,1 = 2,85 μm

∆ 1=−3,33 μm

∆ 2=1,34 μm

∆ 3=0,29 μm

∆ 4=−0,43 μm

94
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengukuran adalah suatu proses parameter atau variabel dengan suatu
variabel atau parameter yang dianggap sebagai acuan atau standar. Profil
proyektor adalah alat ukur yang sering digunakan dalam mengukur benda yang
berdimensi kecil sehingga banyak digunakan dalam dunia industri untuk
mempermudah proses pengukuran sudut,tinggi,dan lebar atau diameter benda
menjadi suatu hal yang mudah ditentukan dengan menggunkan profil proyektor.
Suatu kemampuan yang sangat berguna dan bermanfaat dalam
pengaplikasiannya dalam dunia industri sehingga diharapkan kepada mahasiswa
khususnya mahasiswa Teknik Mesin untuk mengetahui dan terampil dalam
menggunakan alat ukur profil proyektor.
Profil proyektor merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk
mengukur benda yang berukuran sangat kecil, karena alat ukur ini dilengkapi
dengan lensa pembesaran yang berfungsi untuk memperbesar bayangan suatu
benda. Profil proyektor sangat membantu dalam proses pengukuran secara lebih
detail dengan bantuan koordinatnya.
Profil proyektor memiliki prinsip kerja optik yang berguna untuk
melakukan pemantulan cahaya, sehingga tampak lebih besar pada layar. Dengan
demikian, apabila ada benda yang menghalangi cahaya maka sebagian cahaya
akan tertutup sehingga tampillan pada layar menjadi buram. Bayangan benda yang
ditampilkan dapat dengan mudah diukur dengan perbandingan yang sesuai dengan
benda aslinya.

1.2 Tujuan
Praktikum penggunaan profil proyektor dilakukan dengan tujuan sebagai
berikut :

95
1. Dapat menggunakan dan mengoperasikan profil proyektor

96
2. Pengukuran dimensi benda ukur yang kecil.

1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum penggunaan profil proyektor adalah sebagai
berikut:
1. Praktikan dapat menggunakan dan mengoperasikan profil proyektor.
2. Praktikan dapat mengukur dimensi benda ukur yang kecil.

1.4 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan laporan penggunaan praktikum profil
proyektor ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang tujuan, manfaat dan sistematika
penulisan
BAB II TEORI DASAR
Bab ini berisi tentang teori-teori dasar mengenai penggunaan profil
proyektor
BAB III METODOLOGI
Bab ini berisikan tentang prosedur praktikum beserta alat dan bahan yang
digunakan pada praktikum profil proyektor
BAB IV DATA PENGAMATAN
Bab ini berisikan tentang data gambar dan data tabel dari hasil pengukuran
tentang profil proyektor
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang perhitungan dan analisa data dari hasil praktikum
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari praktikum yang telah
dilakukan tentang profil proyektor
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

97
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Profil proyektor atau yang sering disebut komparator optik adalah sebuah
perangkat yang digunakan untuk menguykur benda-benda yang berukuran
dimensi kecil. Dalam prinsip kerjanya seecara singkat yaitu dengan cara
memperbesar bayangan dari benda yang sedang diukur dengan memproyeksikan
dalam skala linear.
Profil proyektor memperbesar bayangan benda kerja menggunakan
perangkat optik berupa lensa pembesaran. Lensa ini berukuran bermacam-macam,
diantaranya lensa 10 x pembesaran, 25x, 50x, dan 100x pembesaran. Besar benda
kerja yang mampu diukur pada alat ini adalah setinggi 1-20 mm. Jika hanya
mengukur skala benda pada sumbu x maka benda kerja bisa dilakukan
pembalikanposisi dan mengukur bidang selanjutnya. Cara ini juga masih memiliki
keterbatasan, karena hanya dua kali dari 20mm saja yang mampu diukur dalam
alat ini. Benda kerja diberi sinar datang dari bagian depan benda kerja. Sehinga
bayangan dari benda kerja ditangkap oleh lensa pembesaran, dan diteruskan
menuju layar utama. Bayangan yang ditampilkan pada layar utama merupakan
hasil dari bidang sedang dilakukan pengukuran.
Layar proyeksi ini menampilkan profil dari spesimen dan diperbesar untuk
baik kemudahan menghitung pengukuran linear. Sebuah tepi untuk memeriksa
spesimen dapat berbaris dengan kotak layar. Dari sana, pengukuran sederhana
dapat diambil untuk jarak ke titik lainnya. Metode khas untuk pencahayaan adalah
dengan pencahayaan diascopic, yang pencahayaannya dari belakang. Jenis
pencahayaan ini juga disebut iluminasi ditularkan ktika spesimen dan tembus
cahaya dapat melewatinya. Jika spesimen buram, maka lampu tidak akan pergi
melalui, tapi akan membentuk profil dari spesimen. Mengukur sampel dapat
dilakukan pada layar proyeksi. Sebuah profil proyektor juga bisa memiliki
iluminasi episcopic yang pencahayaannya dari atas. Hal ini berguna dalam
menampilkan daerah internal yang mungkin perlu diukur. Profil proyektor disebut
juga komparator optik karena dala proses pembesaran beyangan nya
menggunakan lensa untuk melakukan pembesaran pada bayangan benda kerja

98
yang diukur. Pembesaran yang terjadi bergantung pada lensa yang digunakan
dalam proses pengukuran.pada layarb profil proyektor ini memiliki grid dan dapat
diputar sejauh 360. Sehingga bisa sejajar lurus dari bagian mesin untuk
memeriksa ataupun measure. Layar profil proyektor ini menampilkan hasil
pembesarab dari benda kerja yang sedang diukur menggunakan profil proyektor
ini. Besar dari pembesarannya tergantung pada jenis lensa yang digunakan.
Sebagaimana telah operator ketahui ada beberapa jenis lensa profil proyektor ini.
Semakin besar pembesaran yang digunakan maka akan semakin detail pula
bayangan yang ditampilkan pada layar monitor.
Penyinaran dilakukan oleh lampu utama dan diteruskan ke kondesor dan
dilanjutkan ke layar utama. Sehingga bayangan aayang berbentuk sesuai benda
kerja yang diletakkan pada meja eretan yang disinari lampu utama tersebut.
Sehingga letak dari benda kerja diantara lensa dan kondensor. Banyangan yang
ditampilkan pada layar jika garis tepi dari benda ukur tersebut tidak jelas maka
operator bisa mengatur fokus pada profil proyektor ini dengan cara mendekatkan
lensa atau menjauhkan dengan benda kerja yang diukur.

Gambar 2. 1 Profil Proyektor (Wagiran,2013)

2.2 Macam-macam Profil Proyektor


Pada profil proyektor terdapat beberapa jenis sistem optik adalah sebagai
berikut:
1. Optik sederhana yaitu manggabungkan sumber cahaya, lensa pembesaran,
cermin yang memantulkan layar utama, mesin ini akan menampilkan
gambar yang baik.

99
2. Correctid optik, system ini menggunakan dua cermin internal pada alat
dan untuk membalik gambar sehingga ditampilkan di opsi kanan, tetapi itu
terbalik pada sumbu horizontal.
3. Fully corrected optik, system ini menampilkan gambar yang baik tegak
dan nyata.

2.3 Cara Kerja dan Prinsip Kerja


Berdasarkan cara kerjanya profil proyektor dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Diaskopik, yaitu jenis pencahayaan yang berasal dari depan benda kerja
dengan system pencahayaan datar atau searah horizontal. Benda kerja
diletakkan diantara pada kondensor dan proyektor.

Gambar 2. 2 Profil Proyektor Konvensional (Nikon, 2013)

2. Episkopik, yaitu system pencahayaan yang berasal dari bawah benda kerja.
Benda kerja diletakkan diatas meja. Meja ini biasanya bersifat tembus cahaya,
karena benda diletakkan di atas meja tersebut sehingga proyektor berada
diatas dari benda ukur.

100
Gambar 2. 3 Profil Proyektor CNC (Wagiran, 2013 )

Profil proyektor memiliki prinsip kerja pengubah opto-mekanik (gabungan


sistemm optik dan sistem mekanik). Sistem mekanik pada profil proyektor
terdapat pada meja ukur. Gerakan dari X axis fine motion assembly bergerak meja
searah sumbu X (horizontal), dan gerakan Y axis fine motion assembly
menggerakan meja searah sumbu Y (vertikal). Sistem optik yang terdapat pada
profil proyektor terdapat pada lampu yang memberi bayangan pada kavca buram.
Cara kerja optik pada profil proyektor ialah berkas cahaya dari lampu diarahkan
oleh kondesor menuju objek yang diletakkan diantara kondesor dan proyektor.
Karena benda ukur tidak tembus cahaya. Sehingga akan tampak bayangan pada
layar yang telah dipantulkan melalui sebuah cermin yang kemudian layar akan
menangkap bayangan tersebut.

Gambar 2. 4 Skema Optomekanik (Rochim, 2006 )

Kontol geraka meja dengan program penngukuran yang dibuat oleh para
ahli khusus untuk semua benda ukur. Serupa atau sama ddengan mengukur CNC,
CMM (Coordinat Measuring Machine) atau mesin perkakas CNC. System control

101
gerakan meja memanfaatkan motor servo dan alat ukur jarak (industroyin atau
ecoder). Dalam hal sensor jenis fotosel ditempatkan pada kaca buram untuk
mendeteksi saat pemulaian dan pengakhiran pada perhitungan jarak. Dalam hal
ini, sensor jenis fotosel ditempelkan pada kaca buram untuk mendeteksi saat
pemulaian atau pengakhiran perhitungan jarak dan gerakan bayangan. Proses
pengukuran geometri pada profil proyektor termasuk jenis proses perbandingan
untuk dengan bentuk standar atau bisa juga disebut acuan. Beberapa alat ukur
pembanding menggunakan prinsipkerja gabungan yaitu pengubah mekanik dan
optik yang terdaat pada profil proyektor.

2.4 Perkembangan Profil Proyektor


Pada awal adanya profil proyektor ini penggerak utama pada mesin ini
digerakkan secarav manual menggunakan energi mekanik dengan energi manusia.
Tetapi dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini profil proyektor sudah ada
yang menggunakan mesin CNC (Computer Numeric Control). Pada mesin profil
proyektor biasanya digunakn program dalam pengoperasiannya. Lalu meja
bergerak berdasarkan program yang diinputkan dalam profil proyektor tersebut.
Setelah operator inputkan maka meja akan bergerak sesuai program yang operator
masukkan. Setelah berhenti program sudah habis maka operator akan bisa melihat
hasil pengukuran yang telah dilakukan pada layar hasil.
Pada profil proyektor jenis ini juga dilengkapi dengan sistem kontrol
gerakan encoder meja dengan cara penambahan mesin servo sebagai penggerak
utama meja etertan. Dengan mesin ukur CNC, CMM (Coordinat Measuring
Mechine) atau mesin perkakas CNC. Sistem kontrol di gerakan maja
memanfaatkan metro senrvo dan alat ukur jarak (inductocy atau encoder). Dalam
hal ini sensor jenis fotosel ditempelkan pada kaca buram untuk memndeteksi saat
pemulaian dan pengakhiran perhitungan jaral gerak.

2.5 Komponen Alat Profil Proyektor


Pada profil proyektor terdapat komponen utama yang tersusun sehingga
menjadi suatu rangkaian dan berbentuk sepertti profil proyektor ini. Sebenarnya
pada profil proyektor CNC maupun konvensional isi komponennya sama hanya

102
berbeda pada cara pengoperasiannya saja. Perbedaan tersebut terletak diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Lampu
Lampu diposisikan dibagian depan profil proyektor yang mengarah ke
proyektor. Dan terdapat kondensor agar cahaya dapat diarahkan ke
proyektor. Lampu digunakan sebagai sumber cahaya pada sistem optiknya.
Lampu ini bisa disebut sebagai komponen yang sanagat berperan pada
profil pryektor ini karena pada profil proyektor jika tidak ada lampunya
maka alat ini tidak akan berfungsi dengan baik., sebab pencahayaan pada
alat ini merupakan hal yang paling utama yang berguna untuk membentuk
bayangan benda.

Gambar 2. 5 Lampu

2. Proyektor
Proyektor digunakan untuk memproyeksikan cahaya ke cermin lalu
diteruskan ke layar. Proyektor ini juga merupakan komponen yang sangat
penting jika tidak ada proyektor maka bayangan benda kerja tidak akan
ada di layar utama. Proyektor memiliki pembesaran yang beragam, yaitu
10x,25x,100x pembesaran. Pada setiap proyektor memiliki pembesaran
lensa yang berbeda. Perbedaan pembesaran lensa karena semakin besar
pembesaran lensa maka semakin jelas bentuk atau dimensi benda yang
akan diukur. Lensa yang digunakan ada empat jenis.

103
Gambar 2. 6 Lensa Pembesaran 10x

Gambar 2. 7 Lensa Pembesaran 25x

Gambar 2. 8 Lensa Pembesaran 50x

104
Gambar 2. 9 Lensa Pembesaran 100x

3. Layar
Layar adalah tempat penerima cahaya yang telah diproyeksikan oleh
proyektor atau bisa juga disebut penerima hasil pemproyeksian. Pada layar
terdapat garis silang untuk memposisikan bayangan benda ukur.

Gambar 2. 10 Layar

4. Eretan X,Y, dan meja


Eretan ada dua pada profil proyektor ini ada eretan x dan eretan y yang
terletak dekat meja kerja. Eretan digunakan untuk menggeser meja kerja
searah vertical dan juga horizontal untuk mendapatkan bayangan yang pas
pada layar. Meja kerja digunakan untuk sebagai dudukan untuk benda
kerja. Meja kerja terletak diantara kondensor dan proyektor.

105
Gambar 2. 11 Meja Kerja

5. Alat Ukur
Pada profil proyektor digunakan yiga alat ukur yang berjenis vernier
digital untuk membaca panjang, lebar, tinggi, dan sudut. Ketika operator
menggeser eretan maka dengan otomatis angka dari alat ukur ini berubah
mengikuti bear perubahan yang terjadi. Untuk mempermudah perhitungan
operator sebaiknya selalu mengkalibrasi alat ukur ini sebellum melakukan
proses pengukuran.

Gambar 2. 12 Alat Ukur X

106
Gambar 2. 13 Alat Ukur Y

Gambar 2. 14 Alat Ukur Sudut

6. Switch
Pada profil proyektor terdapat tiga switch yaitu sebagai berikut:
7. Siwitch Utama
Berfungsi untuk menghidupkan profil proyektor serta lampu utamanya.

107
Gambar 2. 15 Switch Utama

8. Switch Angle Vernier


Berfungsi untuk menghidupkan lampu sorot alat ukur dan lampu lensa.

Gambar 2. 16 Switch Angle Vernier

9. Switch Lampu Sorot Fleksibel


Berfungsi untuk menghidupkan lampu sorot fleksibel pada profil
proyektor.

108
Gambar 2. 17 Switch Lampu Fleksibel

2.6 Cara Penggunaan Profil Proyektor


Cara penggunaan alat ini sangatlah mudah. Pertama-tama operator harus
memeriksa kelengkapan dan kondisi dari profil proyektor ini. Apakah semua alat
yang akan digunakan lengkap dan semua dalam kondisi baik. Karena jika alat
yang digunakan dalam kondisi tidak bagus maka hasil pengukuran yang terbaca
hasilnya kurang maksimal. Jika saja bagian lampu yang mengalami kerusakan
maka bayangan akan tidak muncul pada layar utama. Begitu juga dengan
ketidaklengkapan alat –alat yang lainnya.
Setelah dipastikan bahwa semua dalam kondisi yang baik, maka proses
pengukuran benda kerja bisa dilakukan. Pertama operator harus mencari sumber
arus terdekat guna untuk mengaliri listrik alat ini. Karena pada alat ini ada lampu
sebagai komponen utama yang tidak bisa digunakan jika tidak ada arus listrik.
Karen apda prinsip kerjanya lampu ini megubah energi listrik menjadi energi
cahaya. Pilih lensa yang akan digunakan dalam proses pengukuran ini dan benda
kerja yang diletakkan pada meja harsu diposisi yang tidak terlalu jauh maupun
terlau dekat dengan lensa sebagai proyektor. Nyalakan emua switch alat ukur.
Setelah switch dinyalakan maka bayangan dari benda kerja akan muncul pada
layar utama. Setelah bayangan dari benda kerja muncul pada layar utama biasanya
benda berbayang atau gambar tidak jelas. Jika hal tersebut terjadi maka operator
bisa mengatur jarak lensa dengan benda kerja yang operator ukur

109
BAB III
METODOLOGI

3.1 Prosedur Praktikum Teoritis


Adapun prosedur praktikum teoritis pada praktikum ini adalah:
1. Pasang benda kerja pada pemegang benda kerja didepan lamp house
assembly, kencangkan hingga tidak goyang.
2. Nyalakan profil proyektor dengan menyalakan 3 switch pada profil
proyektor, yaitu switch angle vernier, switch lampu utama, dan switch
lampu sorot flexible.
3. Atur posisi benda ukur sehingga berada ditengah proyeksi dengan cara
mengeset x axis fine motion assembly dan y axis motion assembly.
4. Pasang lensa 25x.
5. Atur fokus lensa sehingga bayangan benda kerja kelihatan jelas pada layar
(screen) dengan mengatur lens fokus assembly.
6. Nyalakan vernier caliper arah sumbu x dan y.
7. Reset vernier caliper arah sumbu x dan y serta angle caliper sehingga
displaynya menunjukkan angka 0,00.
8. Lakukan pengukuran dengan cara menggerakkan benda kerja pada arah
sumbu x dan y.
9. Pengukuran sudut digunakan dengan menyetel sudut screen dan
menyesuaikan dengan bentuk suatu benda ukur.
10. Catat hasil pembacaan ketiga caliper.
11. Lakukan hal yang sama dengan lensa perbesaran yang berbeda.

3.2 Prosedur Praktikum Aktual


Adapun prosedur actual pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Menyalakan profil proyektor dengan cara menghubungkan arus.
2. Mengaktifkan 3 tombol switch

110
Gambar 3.1 Switch Utama

Gambar 3.2 Switch Angle Vernier

Gambar 3.3 Switch Lampu Sorot Fleksibilitas

3. Memasang Lensa Pembesaran

111
Gambar 3.4 Lensa Pembesaran

4. Meletakkan dan mengukur jarak specimen

Gambar 3.5 Spesimen Pada Profil Proyektor

5. Reset jangka sorong nol

Gambar 3.6 Reset Jangka Sorong

112
6. Perjelas gambar dengan memutar eretan

Gambar 3.7 Memutar Eretan

7. Mengukur lebar dan tinggi specimen

Gambar 3.8 Mengukur Spesimen

8. Hasil pengukuran akan muncul secara otomatis

3.3 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
sebagai berikut:
1. Profil Proyektor
Profil proyektor digunakan untuk mengukur dimensi benda yang kecil, dan
dapat lebih mudah untuk menghitung sudut tinggi, dan lebar suatu benda

113
Gambar 3.9 Profil Proyektor

2. Lensa Pembesaran
Lensa pembesaran berfungsi untuk memperbesar hasil bayangan dari
profil proyektor.

Gambar 3.10 Lensa Pembesaran

3. Mistar Ingsut Digital


Mistar ingsut digital merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur
dimensi luar, dimensi dalam, dan kedalaman.

114
Gambar 3.11 Mistar Ingsut Digital

4. Bidak Catur
Bidak catur adalah specimen yang diukur pada praktikum penggunaan
profil proyektor

Gambar 3.12 Bidak Catur

115
BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1 Data Berbentuk Gambar


Adapun data berbentuk gambar pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Skema Pengukuran

4.2 Data Berbentuk Tabel


Adapun data berbentuk tabel pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Ukuran Diameter Benda Ukur
Diameter
Titi
Mistar Ingsut Lensa 10x Lensa 25x Lensa 100x
k
(mm) (mm) (mm) (mm)
1 6,84 7,03 6,79 6,92
2 7,78 7,69 7,69 7,69
3 14,72 14,72 14,5 14,5
4 6,84 6,79 6,82 6,83
5 13,82 13,72 13,7 13,73
6 12,82 12,82 12,85 12,83
7 14,82 14,63 14,59 14,71
8 15,82 15,76 15,57 15,82
9 16,88 16,76 16,71 16,83
10 17,82 17,61 17,58 17,79
11 20,82 20,6 20,52 20,77

116
BAB V
ANALISA DATA

5.1 Tabel Hasil Pengolahan


Adapun data hasil pengolahan di tampilan dalam bentuk table sebagai
berikut:
Tabel 5.1 Hasil Pengolahan Data
%Erro %Erro
%Error %Erro %Erro %Erro
r r
Mister r r r
Mister Mister
Titi ingsut Lensa Lensa Lensa RA % RA
ingsut ingsut
k VS 10x vs 10x vs 25x vs Error (mm)
VS VS
Lensa Lensa Lensa Lensa
Lensa Lensa
100x 25x 100x 100x
10x 25x
1 2,70% 0,74% 1,16% 3,53% 1,59% 1,88% 0,02% 6,90
2 0,00% 1,17% 1,17% 0,00% 0,00% 0,00% 0,39% 7,71
3 0,00% 1,52% 1,52% 1,52% 1,52% 0,00% 1,01% 14,61
4 0,74% 0,29% 0,15% 0,44% 0,59% 0,15% 0,00% 6,82
5 0,73% 0,88% 0,66% 0,15% 0,07% 0,22% 0,35% 13,74
6 0,00% 0,23% 0,08% 0,23% 0,08% 0,16% 0,08% 12,83
7 1,30% 1,58% 0,75% 0,27% 0,54% 0,82% 0,42% 14,69
8 0,38% 1,61% 0,00% 1,22% 0,38% 1,58% 0,21% 15,74
9 0,72% 1,02% 0,30% 0,30% 0,42% 0,71% 0,20% 16,80
10 1,19% 1,37% 0,17% 0,17% 1,01% 1,18% 0,12% 17,70
11 1,07% 1,46% 0,24% 0,39% 0,82% 1,20% 0,19% 20,68

117
5.2 Grafik Hasil Pengolahan

Adapun data hasil pengolahan di tampilan dalam bentuk grafik sebagai


berikut:

GRAFIK PERSENTASE ERROR


%Error Mister ingsut VS
4.00% Lensa 10x
3.50% %Error Mister ingsut VS
3.00% Lensa 25x
2.50% %Error Mister ingsut VS
% ERROR

Lensa 100x
2.00%
%Error Lensa 10x vs
1.50% Lensa 25x
1.00% %Error Lensa 10x vs
0.50% Lensa 100x
0.00% %Error Lensa 25x vs
0 2 4 6 8 10 12 Lensa 100x
TITIK

Gambar 5.1 Grafik Hasil Pengolahan Data

5.3 Analisa Data

Dari data yang telah diambil pada laboratorium metrologi industri bahwa
pengukuran menggunakan lensa 10x, 25x, dan 100x pembesaran diperoleh hasil
data yang berbeda. Dari beberapa grafik yang dapat ditarik kesimpulan, bahwa
terdapat persentase error terbaik yaitu 0,0% error atau bisa disebut juga 100%
tidak ada kesalahan yaitu terjadi pada mistar ingsut vs lensa 10x di titik 3 dan
pada setiap perbandingan lensa yang tidak ada errornya.

Pada saat praktikum beberapa lensa dibaca oleh proyektor yang berbeda
sehingga selisih hasil pengukuran terjadi karena pada setiap operator . Dari data
yang diperoleh pada praktikum juga ditentukan % Error terbesar yaitu sebesar
3,53%. Hal ini disebabkan karena permukaan benda ukur tersebut tidak rata dan
operator atau praktikan melakukan kesalahan pengukuran menggunakan profil
proyektor yaitu terdapat pada lensa 10x vs 25x di titik 1. Dari data yang

118
ditunjukkan perbadaan nilai pengukuran, tidak hanya jangka sorong saja yang
mempunyai perbedaan yaitu nilai pengukuran. Tetapi juga terjadi pada setiap
antar lensa yang digunakan pada profil proyektor. Hal ini dapat terjadi karena
benda ukur yang mengalami pembesaran yang berbeda, akibatnya sudut atau
ukuran lainnya berbeda beberapa milimeter.

Bisa terjadi karena kelalaian praktikan karena kurang teliti dalam pembacaan
ataupun pungukurannya, bidak catur yang mencekamnya diubah dan kondisi
bentuk benda ukur kurang fokus dan sudah tidak terlihat jelas dan bisa jadi
pengambilan dua ujung sisi yang tidak sama.

119
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
1. Penggunaan profil proyektor harus sesuai dengan prosedur penggunaan
yang baik dan benar.
2. Profil proyektor ini dapat mengukur benda dengan ukuran dimensi yang
kecil.

6.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah:
1. Dalam melaksanakan praktikum harus mengikuti prosedur yang baik dan
benar.
2. Praktikan harus fokus dan teliti saat mengolah data
3. Diharapkan praktikan dapat menggunakan atau menjalankan profil
proyektor secara luring sehingga mengetahui dengan jelas cara
penggunaann

120
1. Pengolahan data hasil persentase Error Mistar ingsut vs lensa 10x

mistar ingsut ( mm ) −lensa10 x (mm)


% Error = | lensa10 x (mm) | x 100 %

Titik 1

% Error = |6.84 mm−7.03


7.09 mm
mm
|x 100 %=2,70 %
Titik 2

% Error = |7,78 mm−7,78


7,78 mm
mm
|x 100 %=0,00 %
Titik 3

% Error = |14,72mm−14,72
14,72 mm
mm
|x 100 %=0,00 %
Titik 4

% Error = |6,82 mm−6,79


6,79 mm
mm
|x 100 %=0,74 %
Titik 5

% Error = |13,82mm−13,72
13,72 mm
mm
|x 100 %=0,73 %
Titik 6

% Error = |12,82mm−12,82
12,82 mm
mm
|x 100 %=0,00 %
Titik 7

% Error = |14,82mm−14,63
14,63 mm
mm
|x 100 %=1,30 %

121
Titik 8% Error = |15,82mm−15,76
15,76 mm
mm
|x 100 %=0,38 %
Titik 9

% Error = |16,8816,76
mm−16,76 mm
mm |x 100 %=0,72 %
Titik 10

% Error = |17,82mm−17,61
17,61 mm
mm
|x 100 %=1,19 %
Titik 11

% Error = |20,8220,6
mm−20,6 mm
mm |x 100 %=1,07 %
2. Pengolahan data hasil persentase Error Mistar ingsut vs lensa 25x

Mistar ingsut ( mm )−Lens a 25 x (mm)


% Error = | Lensa 25 x (mm) | x 100 %

Titik 1

% Error = |6,84 mm−6,79


6,79 mm
mm
|x 100 %=0,74 %
Titik 2

% Error = |7,78 mm−7,69


7,69 mm
mm
|x 100 %=1,17 %
Titik 3

% Error = |14,72mm−6,12
6,12 mm
mm
|x 100 %=1,52 %
Titik 4

122
% Error = |6,84 mm−6,82
6,82 mm
mm
|x 100 %=0,88 %
Titik 5

% Error = |13,82mm−13,7
13,7 mm
mm
|x 100 %=0,23 %
Titik 6

% Error = |12,82mm−12,85
12,85 mm
mm
|x 100 %=1,58 %
Titik 7

% Error = |14,82mm−14,59
14,59 mm
mm
|x 100 %=1,58 %
Titik 8

% Error = |15,82mm−15,57
15,57 mm
mm
|x 100 %=1,61 %
Titik 9

% Error = |16,8816,71
mm−16,71 mm
mm |x 100 %=1,02 %
Titik 10

% Error = |17,82mm−17,58
17,58 mm
mm
|x 100 %=1,37 %
Titik 11

% Error = |20,8220,52
mm−20,52 mm
mm |x 100 %=1,46 %
3. Pengolahan data hasil persentase Error Mistar ingsut vs lensa 100x

123
Mistar Ingsut ( mm )−Lensa 100 x(mm)
% Error = | Lensa 100 x ( mm) | x 100 %

Titik 1

% Error = |6,84 mm−6,33


6,33 mm
mm
|x 100 %=1,16 %
Titik 2

% Error = |7,78 mm−7,69


7,69 mm
mm
|x 100 %=1,17 %
Titik 3

% Error = |14,72mm−14,5
14,58 mm
mm
|x 100 %=1,52 %
Titik 4

% Error = |6,84 mm−6,83


6,83 mm
mm
|x 100 %=0,15 %
Titik 5

% Error = |13,82mm−13,73
13,73 mm
mm
|x 100 %=0,66 %
Titik 6

% Error = |12,82mm−12,83
12,83 mm
mm
|x 100 %=0,08 %
Titik 7

% Error = |14,82mm−14,71
14,71 mm
mm
|x 100 %=0,75 %
Titik 8

% Error = |15,82mm−15,82
15,82 mm
mm
|x 100 %=0 %
124
Titik 9

% Error = |16,8816,83
mm−16,83 mm
mm |x 100 %=0,30 %
Titik 10

% Error = |17,82mm−17,79
17,79 mm
mm
|x 100 %=0,17 %
Titik 11

% Error = |20,8220,77
mm−20,77 mm
mm |x 100 %=0,24 %
4. Pengolahan data hasil persentase Error Lensa 10x vs Lensa 25x

Lensa 10 x ( mm )−Lensa 25 x (mm)


% Error = | Lensa 25 x (mm) | x 100 %

Titik 1

% Error = |6,36 mm−6,32mm


6,32 mm |x 100 %=3,53 %
Titik 2

% Error = |9,95 mm−9,92


9,92 mm
mm
|x 100 %=0 %
Titik 3

% Error = |6,07 mm−6,12mm


6,12 mm |x 100 %=1,52 %
Titik 4

% Error = |9,91 mm−9,89mm


9,89 mm |x 100 %=0,44 %

125
Titik 5

% Error = |6,05 mm−6,03


6,03 mm
mm
|x 100 %=0,15 %
Titik 6

% Error = |9,86 mm−9,83


9,83 mm
mm
|x 100 %=0,23 %
Titik 7

% Error = |15,3015,33
mm−15,33 mm
mm |x 100 %=0,27 %
Titik 8

% Error = |19,9019,86
mm−19,86 mm
mm |x 100 %=1,22 %
Titik 9

% Error = |23,8823,90
mm−23,90 mm
mm |x 100 %=0,30 %
Titik 10

% Error = |9,93 mm−9,89


9,89 mm
mm
|x 100 %=0,17 %
Titik 11

% Error = |13,01mm−13,07
13,07 mm
mm
|x 100 %=0,39 %
5. Pengolahan data hasil persentase Error Lensa 10x vs Lensa 100x

Lensa 10 x ( mm )−Lensa 100 x (mm)


% Error = | Lensa 100 x (mm) | x 100 %

Titik 1

126
% Error = |6,36 mm−6,33
6,33 mm
mm
|x 100 %=1,59 %
Titik 2

% Error = |9,95 mm−9,92


9,92 mm
mm
|x 100 %=0,00 %
Titik 3

% Error = |6,07 mm−6,08


6,08 mm
mm
|x 100 %=1,52 %
Titik 4

% Error = |9,91 mm−9,94


9,94 mm
mm
|x 100 %=0,59 %
Titik 5

% Error = |6,05 mm−6,06


6,06 mm
mm
|x 100 %=0,07 %
Titik 6

% Error = |9,86 mm−9,89


9,89 mm
mm
|x 100 %=0,08 %
Titik 7

% Error = |19,8019,82
mm−19,82 mm
mm |x 100 %=0,54 %
Titik 8

% Error = |19,9019,89
mm−19,89 mm
mm |x 100 %=0,38 %
Titik 9

% Error = |23,8823,92
mm−23,92 mm
mm |x 100 %=0,42 %
127
Titik 10

% Error = |9,93 mm−9,90


9,90 mm
mm
|x 100 %=1,01%
Titik 11

% Error = |13,01mm−13,04
13,04 mm
mm
|x 100 %=0,82 %
6. Pengolahan data hasil persentase Error Lensa 25x Vs Lensa 100x

Lensa 25 x ( mm ) −Lensa100 x (mm)


% Error = | Lensa 100 x (mm) | x 100 %

Titik 1

% Error = |6,36 mm−6,32mm


6,32 mm |x 100 %=1,88 %
Titik 2

% Error = |9,95 mm−9,92


9,92 mm
mm
|x 100 %=0 %
Titik 3

% Error = |6,07 mm−6,12mm


6,12 mm |x 100 %=0 %
Titik 4

% Error = |9,91 mm−9,89mm


9,89 mm |x 100 %=0,15 %
Titik 5

% Error = |6,05 mm−6,03


6,03 mm
mm
|x 100 %=0,22 %
Titik 6

128
% Error = |9,86 mm−9,83
9,83 mm
mm
|x 100 %=0,16 %
Titik 7

% Error = |15,3015,33
mm−15,33 mm
mm |x 100 %=0,82 %
Titik 8

% Error = |19,9019,86
mm−19,86 mm
mm |x 100 %=0,58 %
Titik 9

% Error = |23,8823,90
mm−23,90 mm
mm |x 100 %=0,71 %
Titik 10

% Error = |9,93 mm−9,89


9,89 mm
mm
|x 100 %=0,18 %
Titik 11

% Error = |13,01mm−13,07
13,07 mm
mm
|x 100 %=1,20 %
7. Pengolahan data hasil rata-rata diameter benda ukur

Ra = | Mistar Ingsut+ Lensa10 x4+ Lensa 25 x+ Lensa 100 x|


Titik 1

Ra = |6,35 mm+6,36 mm+6,324mm+6,30 mm+ 6,33 mm|=6,90 mm


Titik 2

129
Ra = |9,97 mm+ 9,95mm+ 9,924mm+9,89 mm+9,92 mm|=7.71 mm
Titik 3

Ra = |6,12 mm+6,07 mm+6,124mm+6,12 mm+6,08 mm|=14.61mm


Titik 4

Ra = |9,95 mm+9,91 mm+9,894mm+ 9,95 mm+9,94 mm|=6.82 mm


Titik 5

Ra = |6,07 mm+6,05 mm+6,034mm+ 6,07 mm+6,06 mm|=13.74 mm


Titik 6

Ra = |9,90 mm+9,86 mm+ 9,834mm+9,88 mm+ 9,84 mm|=12.83 mm


Titik 7

Ra = |15,36 mm+15,38 mm+15,374 mm+15,32 mm+15,36 mm|=14.69mm


Titik 8

Ra = |19,80 mm+19,90 mm+19,864 mm+19,90 mm+19,89 mm|=15.74 mm


Titik 9

Ra = |23,93 mm+23,88 mm+23,924 mm+23,90 mm+23,92 mm|=16.80 mm


Titik 10

Ra = |9,90 mm+9,93 mm+ 9,894mm+9,90 mm+9,90 mm|=17.70 mm


130
Titik 11

Ra = |13,04 mm+13,01 mm+13,074 mm+13,05 mm+13,04 mm|=20.68 mm


8. Persentase rata-rata error diameter benda ukur

% Error(1+2+3+ 4+5+ 6)
Ra % Error = | 6 |
Titik 1

% Error(0,16 +0,47+0,97+ 0,32+0,63+0,95+0,47)


Ra % Error = | 6
=0,54 % |
Titik 2

% Error ( 0,20+0,50+ 0,81+ 0,50+0,30+, 0,61+0,30 )


Ra % Error = | 6 |
=0,46 %

Titik 3

% Error ( 0+0+ 0,66+0,82+0,82+0,16+ 0,82 )


Ra % Error = | 6 |
= 0,47 %

Titik 4

% Error(0,40+ 0,61+0+0,10+ 0,20+ 0,40+0,30)


Ra % Error = | 6
=0,29 % |
Titik 5

Ra % Error = ¿

Titik 6

% Error(0,41+ 0,71+ 0,20+0,10+0,31+0,20+ 0,30)


Ra % Error = | 6
=0,32 % |
Titik 7

131
% Error(0,14 +0,71+0,20+ 0,10+ 0,31+0,20+0,30)
Ra % Error = | 6
=0,32 % |
Titik 8

% Error(0,05+ 0,15+0,05+0+ 0,20+0+0,05)


Ra % Error = | 6
=0,07 % |
Titik 9

% Error(0,21+ 0,13+ 0,04+0,04 +0,08+0,17 +0,17)


Ra % Error = | 6
=0,12 % |
Titik 10

% Error(0,30+ 0,10+0+0+ 0,40+0,30+0,03)


Ra % Error = | 6
=0,20 % |
Titik 11

% Error(0,23+ 0,23+0,08+0+ 0,46+0,31+0,23)


Ra % Error = | 6
=0,27 % |
DAFTAR ISI
BAB I...................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Tujuan Praktikum........................................................................................1
1.3 Manfaat Praktikum......................................................................................1
1.4 Sistematika Penulisan..................................................................................2
BAB II.................................................................................................................3
TEORI DASAR..................................................................................................3
2.1 Pengertian Mistar Ingsut.............................................................................3
2.2 Macam-macam mistar ingsut......................................................................6
2.3 Cara kerja dan prinsip kerja......................................................................11

132
2.4 Perkembangan mistar ingsut.....................................................................12
2.5 Komponen mistar ingsut...........................................................................13
2.6 Cara penggunaan mistar ingsut.................................................................14
BAB III..............................................................................................................16
METODOLOGI...............................................................................................16
3.1 Prosedur Praktikum Teoritis......................................................................16
3.1.1 Pemakaian Mistar Ingsut.......................................................................16
3.1.2 Kaslibrasi mistar ingsut..............................................................................16
3.2 Prosedur Praktikum Aktual.......................................................................16
3.3 Alat dan Bahan..........................................................................................17
BAB IV..............................................................................................................20
DATA PENGAMATAN..................................................................................20
4.1 Data pengamatan bentuk gambar..............................................................20
4.2 Data pengamatan bentuk tabel..................................................................21
BAB V...............................................................................................................23
ANALISA DATA.............................................................................................23
5.1 Data bentuk table hasil pengolahan data...................................................23
5.2 Data bentuk grafik hasil pengolahan data.................................................24
BAB VI..............................................................................................................27
PENUTUP.........................................................................................................27
6.1 Simpulan....................................................................................................27
6.2 Saran..........................................................................................................27
2.1 Pengertian Mikrometer..............................................................................38
2.2 Macam – Macam Mikrometer...................................................................39
2.3 Cara Kerja dan Prinsip Kerja....................................................................49
2.4 Perkembangan Alat Ukur..........................................................................50
2.5 Komponen Alat Ukur................................................................................50
3.1 Prosedur Praktikum Teoritis......................................................................53
3.2 Prosedur Praktikum Aktual.......................................................................53

133
3.1 Alat dan Bahan..........................................................................................55
6.2 Saran..........................................................................................................63
BAB III..............................................................................................................86
METODOLOGI...............................................................................................86
3.1 Prosedur Teoritis Praktikum......................................................................86
3.2 Prosedur Aktual Praktikum.......................................................................86
3.3 Alat dan Bahan..........................................................................................87
BAB IV..............................................................................................................89
4.1 Data Berbentuk Gambar............................................................................89
4.2 Data Berbentuk Tabel................................................................................89
BAB V...............................................................................................................90
5.1 Data Berbentuk Tabel................................................................................90
5.2 Data Berbentuk Grafik..............................................................................91
5.3 Analisa Data..............................................................................................91
BAB VI..............................................................................................................93
6.1 Kesimpulan................................................................................................93
6.2 Saran..........................................................................................................93

DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN................................................................................95
1.1 Latar Belakang.............................................................................................95
1.2 Tujuan..........................................................................................................95
1.3 Manfaat........................................................................................................96
1.4 Sistematika Penulisan...................................................................................96
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................97
2.1 Pengertian.....................................................................................................97
2.2 Macam-macam Profil Proyektor..................................................................98
2.3 Cara Kerja dan Prinsip Kerja.......................................................................99
2.4 Perkembangan Profil Proyektor.................................................................101
2.5 Komponen Alat Profil Proyektor...............................................................101

134
2.6 Cara Penggunaan Profil Proyektor.............................................................107
BAB III METODOLOGI..............................................................................109
3.1 Prosedur Praktikum Teoritis......................................................................109
3.2 Prosedur Praktikum Aktual........................................................................109
3.3 Alat dan Bahan...........................................................................................112
BAB IV DATA PENGAMATAN................................................................115
4.1 Data Berbentuk Gambar.............................................................................115
4.2 Data Berbentuk Tabel................................................................................115
BAB V ANALISA DATA.............................................................................117
5.1 Tabel Hasil Pengolahan..............................................................................117
5.2 Grafik Hasil Pengolahan............................................................................118
5.3 Analisa Data...............................................................................................118
BAB VI PENUTUP.......................................................................................120
6.1 Kesimpulan................................................................................................120
6.2 Saran...........................................................................................................120

135

Anda mungkin juga menyukai