Anda di halaman 1dari 54

1

JURNAL REVIEW

LEUKEMIA MYELOID AKUT: LAPORAN KASUS DENGAN

PERUBAHAN GINGIVA BAGIAN PALATAL DAN LINGUAL

Braz J Oral Sci.

January/March 2010 - Volume 9, Number 1

Disusun oleh :

Andina Alia Latief 160112130045

Septina Veronika Bancin 160112130515

FitryzaRahmisari 160112140051

MustafidIlmi 160110090095

Pembimbing :

Wahyu Hidayat, drg., Sp.PM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

BANDUNG

2016
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................ii


DAFTAR GAMBAR .........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1


BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
3.1 Penyakit Leukemia .........................................................................6
3.1.1 Definisi......................................................................................... 6
3.1.2 Epidemiologi................................................................................ 7
3.1.3 Etiologi.........................................................................................7
3.1.4 Klasifikasi....................................................................................8
3.1.5 Patogenesis...................................................................................9
3.1.6 ManifestasiKlinis.........................................................................10
3.1.7 Diagnosis...................................................................................... 12
3.1.8 Perawatan..................................................................................... 13
3.1.9 Komplikasi...................................................................................18
3.2 Manifestasi Oral Leukemia ............................................................ 18
3.2.1 Tanda Klinis Penyakit Leukemia ................................................ 18
3.2.2 Mekanisme Terjadinya Manifestasi Oral Leukemia.................... 32
3.2.3 Penatalaksanaan Manifestasi Oral Penyakit Leukemia .............. 33
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................45
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................iv


3

DAFTAR GAMBAR

Gambar2.1 Gingiva rahang bawah bagian lingual menunjukkan pembesar-


an dan nekrosis............................................................................. 4
Gambar 2.2 Gingiva rahang atas bagian palatal menunjukkan pembesaran
Dan nekrosis................................................................................. 4
Gambar 2.3 Ekimosis pada mukosa bagian palatal......................................... 4
Gambar 2.4 Gingiva bagian labial dan bukal menunjukkan gambaran
Yang hampir normal.................................................................... 4
Gambar 2.5 Olesan darah perifer menunjukkan myeloblas............................. 5
Gambar 3.1 Perdarahan oral berupa peteki...................................................... 20
Gambar 3.2 Ekimosis........................................................................................24
Gambar 3.3 Peteki............................................................................................24
Gambar 3.4 Kandidiasis oral...........................................................................25
Gambar 3.5 Ulserasi mukosa lingual regio 46.................................................26
Gambar 3.6 Hiperplasia gingiva yang menyeluruh.........................................30
Gambar 3.7 Hiperplasia gingiva yang disertai papila palatal yang nekrosis...30
4

BAB I

PENDAHULUAN

Ada tiga jenis utama keganasan hematologis, yaitu leukimia, limfoma, dan

tumor sel plasma. Leukimia adalah gangguan hematologis yang disebabkan oleh

proliferasi jaringan pembentuk sel darah putih yang menyebabkan peningkatan

sel-sel darah putih yang belum matang atau abnormal di dalam sirkulasi darah.

Leukemia merupakan hasil proliferasi kloning abnormal sel hematopletik (HP)

dengan perusakan diferensiasi, regulasi, dan kematian sel terprogram (apoptosis).

Sel leukemia bermultiplikasi atau menggandakan diri dalam ranah sel HP yang

normal yang kemudian menyebabkan kegagalan sumsum tulang, penurunan

jumlah sel darah (sitopenia), dan kematian akibat infeksi, pendarahan, atau

keduanya.

Penyebab leukimia masih belum diketahui. Peningkatan risiko

berhubungan dengan radiasi pengion dalam dosis besar, bahan kimia tertentu

(benzena), dan infeksi oleh virus spesifik (contoh, virus Epstein-Barr, virus

limfotrofik manusia). Merokok dan terpapar medan elektromagnetik juga

dianggap sebagai penyebab leukimia.

Lesi oral terlihat sebagai bagian dari leukemia akut dan karena itu

merupakan indikator diagnostik yang penting dari penyakit ini. Lesi tersebut dapat

terjadi karena infiltrasi langsung jaringan leukemia atau terjadi sebagai

imunodefisiensi sekunder anemia dan trombositopenia. Manifestasi oral khas

leukemia akut termasuk pembengkakkan gingiva, ulserasi di mulut, pendarahan


5

gingiva spontan, peteki, mukosa yang terlihat pucat, infeksi herpes, dan

candidiasis. AML adalah proliferasi klonal sel myeloid yang belum matang. Hal

ini terlihat dengan adanya kegagalan sumsum dan sitopenia. Gejalanya meliputi

demam, kelelahan, pucat, pendarahan mukosa, peteki, dan infeksi lokal.

French-American British (FAB) mengklasifikasikan AML menjadi

delapan subtipe, M0 sampai M7, berdasarkan tipe sel asal perkembangan

leukemia dan derajat kematangannya. Infiltrasi gingiva menunjukkan frekuensi

sebesar 5% terjadinya komplikasi AML pada fase inisial.

Laporan kasus ini mengacu pada pasien dengan AML yang menunjukkan

terdapatnya pembesaran gingiva, ekimosis palatal, dan temuan lain yang terkait.
6

BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien pria usia 35 tahun dikonsul ke bagian Penyakit Mulut setelah

mengunjungi dua dokter gigi dengan keluhan utama bengkak, pendarahan gingiva

yang terasa sakit yang sudah berkembang selama lima bulan. Pasien memiliki

kebiasaan mengunyah tembakau dan menghisap rokokganja sejak usia lima belas

tahun.

Pasien mengeluhkan riwayat demam dan muka pasien terlihat pucat.

Tampak pembesaran yang tidak lembut dan mudah digerakkan pada kelenjar

getah bening di submandibular. Pada pemeriksaan klinis, gingiva bagian palatal

dan lingual (gambar 2.1 dan 2.2) pada kedua rahang terlihat bengkak, tampak

kaku dan beku, stippling hilang, dan konsistensi kenyal. Warna biru kehitaman

cenderung ungu gelap terlihat pada marginal gingiva dan papilla gingiva yang

mengindikasikan nekrosis. Sebagai tambahan, pasien menderita bau dan ulserasi

di mulut, kerapuhan, dan pendarahan gingiva. Mukosa palatum keras dan lunak

menampakkan area ekimosis yang luas (gambar 2.3). Menariknya, gingiva bagian

labial terlihat hampir mendekati normal dengan tampilan yang sedikit mengkilap

dan kaku (gambar2.4). Faktor lokal tidak proposional dengan tingkat keparahan.
7

Gambar 1 Gingiva rahang bawah Gambar2.2 Gingiva rahang atas


bagian lingual menunjukkan bagian palatal menunjukkan
pembesaran dan nekrosis pembesaran dan nekrosis

Gambar 2.4 Gingiva bagian labial


Gambar 2.3Ekimosis pada mukosa
dan bukal menunjukkan gambaran
bagian palatal
yang hampir normal

Diagnosis pembanding dari pembesaran gingiva terinflamasi, leukemia

akut, acute necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG), dan human

immunodeficiency virus (HIV) dipertimbangkan bagi pasien ini.

Diagnosis klinis yang paling mungkin dari leukemia dipertimbangkan

untuk kasus ini berdasarkan pada tingkat keparahan dan luasnya perubahan

gingiva tanpa adanya faktor lokal yang berarti, seperti plak mikroba pada gigi atau

akumulasi kalkulus, riwayat dan durasi pertumbuhan gingiva yang berlebihan,

pendarahan gingiva, dan ekimosis di palatal.

Pasien dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan hematologi. Pada olesan

darah perifer memperlihatkan kenaikan total jumlah sel darah putih (white blood
8

cells – WBC) sebesar 20.000/mm3. Jumlah platelet menunjukkan angka 40.000/

mm3 dan sel darah merah (red blood cells – RBC) tampak bentuk tipe mikrosistik

dan hipokromik. Perbedaan jumlah WBC menunjukkan lebih dari 30% sel blast,

sebagian besar berupa myeloblas (gambar 2.5), menunjukkan diagnosis berupa

AML, jenis M2, atau leukemia myeloblastik akut dengan maturase sel. Hasil tes

infeksi HIV/AIDS menunjukkan hasil negatif.

Gambar 2.5 Olesan darah perifer menunjukkan myeloblas

Pasien dirujuk ke bagian onkologi dan perawatan dimulai dengan

kemoterapi, dimana tidak direspon oleh pasien. Pada beberapa minggu setelahnya,

pasien menderita demam tinggi, pembengkakkan difus di leher dan terdapat

lapisan coklat kehitaman di lidah dengan kemungkinan ulserasi nekrotik di ujung

lidah, dan meninggal empat minggu kemudian.


9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Leukemia

3.1.1 Definisi Leukemia

Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai “darah

putih” pada tahun 1874, merupakan keganasan yang menimpa sel darah putih dari

sumsum tulang (Greenberg, 2003). Menurut Saito, dkk (2013) leukemia adalah

penyakit hematologis yang disebabkan oleh peningkatan abnormal sel darah putih

yang belum matang. Leukimia adalah gangguan hematologis yang disebabkan

oleh proliferasi jaringan pembentuk sel darah putih yang menyebabkan

peningkatan sel-sel darah putih yang belum matang atau abnormal di dalam

sirkulasi (Krasteva & Deliverska, 2013). Leukimia muncul dari stem sel

hematopoietik yang memiliki ciri gangguan diferensiasi dan proliferasi, yang

menyebabkan penekanan sel normal. Sel ganas menggantikan elemen normal

pada sumsum tulang, yang menyebabkan anemia, trombositopenia, dan defisiensi

fungsi normal leukosit. Sel leukemik selanjutnya dapat menginfiltrasi organ tubuh

lain, menghancurkan jaringan normal (Greenberg, 2003)

Leukimia disebabkan oleh proliferasi klon sel hematopoietik abnormal

dengan gangguan diferensiasi, regulasi dan kematian sel terprogram (apoptosis).


10

Multiplikasi sel leukemik dalam ranah sel hematopoietik normal menyebabkan

kegagalan sumsum tulang, penurunan jumlah sel darah (sitopenia), dan kematian

akibat infeksi, perdarahan, atau keduanya (Krasteva & Deliverska, 2013).

3.1.2 Etiologi

Etiologi leukemia, pada sebagian kasus, tidak diketahui. Namun, pada

beberapa faktor dapat meningkatkan resiko penyakit ini. Eksposur radiasi,

abnormalitas kromosom, karsinogen seperti benzene, rokok, dan virus defisiensi

imun seperti Epstein barr dilaporkan sebagai faktor etiologi leukemia

(Motwani,dkk, 2013) Faktor genetik dan keluarga dengan insidensi tinggi

penyakit leukemia, dapat menjadi salah satu etiologi leukemia. Penyakit genetik

seperti Down, Klinefelter’s dan Sindrom Fanconi juga berhubungan dengan

peningkatan resiko terjadinya leukemia. Familial leukemias jarang. Radiasi

dengan dosis lebih dari 1 Gy dapat meningkatkan resiko leukemia. Pasien dengan

riwayat radioterapi banyak ditemukan kasus, mengidap leukemia. Eksposur

terhadap bahan kimia tertentu dan obat-obatan juga dapat meningkatkan resiko

leukemia. Konsumsi benzene, penggunaan obat arthritis, phenylbutazone dan

antibiotik chlorampenicol , berhubungan dengan insidensi leukemia.

3.1.3 Epidemiologi

Leukemia lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Rasio pria :

wanita adalah 3:2 untuk leukemia akut dan 2:1 untuk leukemia kronis. Leukemia

merupakan sepuluh besar kanker yang paling sering terjadi di dunia. Penyakit ini
11

dapat menyerang semua usia, namun prevalensi sering pada usia lebih dari 40

tahun (Motwani, dkk, 2013).

Acute lymphoid leukemia (ALL) lebih sering terjadi pada anak-anak,

prognosis buruk apabila terjadi pada pasien lebih dari 30 tahun. Sebaliknya,

insidensi acute myeloid leukemia (AML) meningkat dengan bertambahnya usia,

khususnya pada usia lebih dari 65 tahun. Insidensi leukemia pada Korea Selatan

2011 adalah 5,7 per 100.000 orang (Chang Lim & Sung Kim, 2014).

3.1.4 Klasifikasi

Leukimia diklasifikasikan berdasarkan perilaku klinis (akut atau kronis)

dan lapisan sel hematopoietik primer yang terkena (myeloid atau limfoid).

Leukemia akut memiliki karakteristik pertumbuhan yang cepat dengan jumlah sel

darah putih yang belum matang dalam jumlah sangat banyak, interval waktu

antara onset penyakit dan penyebarannya sangat sebentar. Leukemia kronis

pertumbuhannya lambat dengan sel kanker menjadi matang dan membutuhkan

waktu yang lama untuk menimbulkan gejala (Varkesh, dkk, 2013). Empat

kategori diagnostik utama adalah (Deliverska & Krasteva, 2013) 1) acute

myelogenous leukemia (AML),2) acute lymphocytic leukemia (ALL), 3) chronic

myelogenous leukemia (CML), dan 4) chronic lymphocytic leukemia (CLL).

AML memiliki 8 subgrup, mengacu pada sistem FAB (French American

British) (Motwani, dkk, 2013):

1. M0 (leukemia tidak terdiferensiasi)

2. M1(acute myeloblastic leukimia)

3. M2 (acute myeloblastic leukemia dengan maturasi


12

4. M3 (acute promyelocytic leukemia)

5. M4 EO (acute myelo-monocytic leukemia dengan eosinofil abnormal)

6. M5 (acute monocytic leukemia)

7. M6 (acute crythroblastic leukemia)

8. M7 (acute megakaryoblastic leukemia

3.1.5 Patogenesis Leukemia

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh

terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat

dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel

darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda

dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi

memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.

Sel leukemi juga merusakproduksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk

sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada

jaringan (Mayo Clinic Staff, 2008).

Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi

kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom

dapatmeliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan

seluruhkromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan

kembali),delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih

mengubahbahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap

menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal (Price dan Wilson. 2006).


13

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah

putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.

Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari

kromosom (bahangenetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom

mengganggu pengendaliannormal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah

tidak terkendali dan menjadiganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum

tulang dan menggantikan tempatdari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang

normal. Kanker ini juga bisamenyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati,

limpa, kelenjar getah bening, ginjal,dan otak (Media Informasi Obat

Penyakit,2005)..

3.1.6 Manifestasi Klinis Leukemia

Manifestasi klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia,

trombositopenia, neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi,

hipermetabolisme (Lee et al, 2009).

1. Leukemia Limfositik Akut

Manifestasi klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan

kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia

(mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan

perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,

hipermetabolisme (Sudoyo dkk, 2007). Nyeri tulang bisa dijumpai

terutama pada sternum, tibia dan femur (Tierney dan Papadakis,


14

2003)..

2. Leukemia Mielositik Akut

Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang

disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan

biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA

dengan leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm 3) biasanya

mengalami gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan

priapismus. Selain itu juga menimbulkan gangguan metabolisme yaitu

hiperurisemia dan hipoglikemia (Sudoyo dkk, 2007).

3. Leukemia Limfositik Kronik

Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita LLK

yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati generalisata,

penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya

nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga.

Demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan

perjalanan penyakitnya (Sudoyo dkk, 2007).

4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik

LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis

blas. Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat

kenyang akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan

terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi

ditemukan keluhan anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis

dan demam yang disertai infeksi (Sudoyo dkk, 2007).


15

3.1.7 Diagnosis

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali

(86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada,

ekimosis, dan perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan

hipertrofi gusi yang mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan

penglihatan yang disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada

penderita leukemia jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali dan

limfadenopati. Anemia, gejala-gejala hipermetabolisme (penurunan

berat badan, berkeringat) menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut.

Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada

90% kasus (Handayani dan Haribowa, 2008). Selain itu Juga

didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-

kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran

kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus (Supandiman,

1997).

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah

tepidan pemeriksaan sumsum tulang.

a. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis

(60%) dan kadang-kadang leukopenia (25%) (Mansjoer dkk,


16

2001). Pada penderita LMA ditemukan penurunan eritrosit dan

trombosit (Handayani dan Haribowa, 2008).. Pada penderita LLK

ditemukan limfositosis lebih dari 50.000/mm3 (Mansjoer dkk,

2001), sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan

leukositosis lebih dari 50.000/mm3(Price dan Wilson. 2006).

b. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia

akut ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum

tulang diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba

dari sel muda (blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic

gap) . Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum

tulang (Bakti, 2006). Pada penderita LLK ditemukan adanya

infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total

sel yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh

peningkatan limfosit B (Budiarto dan Anggraini, 2002). Sedangkan

pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan

peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis.

Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3(Lubis, 2004).

3.1.8 Perawatan

1. Kemoterapi

Pada penderita LLA, pengobatan umumnya terjadi secara bertahap,

meskipun tidak semua fase yang digunakan untuk semua orang.Tahap 1


17

yaitu terapi induksi, yang bertujuan untuk membunuh sebagian besar sel-

sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang (Mayo Clinic Staff,

2008). Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di

rumah sakityang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah

normal dalam proses membunuh sel leukemia (Hoffbrand dan Pettit,

1996). Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu

daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase (Soegijanto, 2004).

Tahap 2 yaitu terapi konsolidasi atau intensifikasi, dilakukan

setelah mencapai remisi komplit, yang bertujuan untuk mengeliminasi sel

leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang

resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian

(Bakti, 2006).

Tahap 3 yaitu tahap profilaksis SSP diberikan untuk mencegah

kekambuhan pada SSP.Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering

diberikan pada dosis yang lebih rendah (Mayo Clinic Staff, 2008). Pada

tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang

dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia

memasuki otak dan sistem saraf pusat (Hoffbrand dan Pettit, 1996).

Tahap 4 atau tahap pemeliharaan jangka panjang dimaksudkan

untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya memerlukan

waktu 2-3 tahun (Mayo Clinic Staff, 2008).

. Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat

dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60%
18

menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan

sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai

dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP

(Price dan Wilson. 2006)..

Pada penderita LMA, fase induksi adalah regimen kemoterapi yang

intensif, bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal

sehingga tercapai remisi komplit. Walaupun remisi komplit telah tercapai,

masih tersisa sel-sel leukemia di dalam tubuh penderita tetapi tidak dapat

dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan

di masa yang akan datang (Sudoyo dkk, 2007).. Fase berikutnya yaitu

konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari fase induksi. Kemoterapi

konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan

menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari

dosis yang digunakan pada fase induksi. Dengan pengobatan modern,

angka remisi 50-75%, tetapi angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan yang

dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10% (Price dan Wilson. 2006)..

Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menentukan strategi

terapi dan prognosis (Bakti, 2006). Salah satu sistem penderajatan yang

dipakai ialah klasifikasi Rai, yaitu

1) stadium 0 limfositosis darah tepi dan sumsum tulang,

2) stadium I limfositosis dan limfadenopati,

3) stadium II limfositosis dan splenomegali/ hepatomegali,

4) stadium III limfositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl),


19

5) stadium IV limfositosis dantrombositopenia<100.000/mm 3

dengan/tanpa gejala pembesaran hati, limpa, kelenjar.

Terapi untuk LLK jarang mencapai kesembuhan karena tujuan

terapi bersifat konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala (Bakti,

2006). Pengobatan tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala karena

tidak memperpanjang hidup. Pada stadium I atau II, pengamatan atau

kemoterapi adalah pengobatan biasa. Pada stadium III atau IV diberikan

kemoterapi intensif (Hoffbrand dan Pettit, 1996).. Angka ketahanan hidup

rata-rata adalah sekitar 6 tahun dan 25% pasien dapat hidup lebih dari 10

tahun. Pasien dengan sradium 0 atau 1 dapat bertahan hidup rata-rata 10

tahun. Sedangkan pada pasien dengan stadium III atau IV rata-rata dapat

bertahan hidup kurang dari 2 tahun (Nursalam dkk, 2005)..

Pada penderita LGK atau LMK, fasekronik dilakukan dengan

memberikan obat.Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan yag

mampu menahan pasien bebas dari gejala untuk jangka waktu yang lama.

Regimen dengan bermacam obat yang intensif merupakan terapi pilihan

fase kronis LMK yang tidak diarahkan pada tindakan transplantasi

sumsum tulang. (Smeltzer dan Bare, 2002).Fase akselerasi sama dengan

terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah .

2. Radioterapi

Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh

sel sel leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau

bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini
20

bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan

sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat

keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat

(Sudoyo dkk, 2007)..

3. Transplantasi Sumsum Tulang

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsumtulang

yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat

disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu,

transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang

rusak karena kanker (Anonim. 2008).. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-

80% angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1

tahun setelah terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA)

yang sesuai (Bakta dan Suastika, 1999). Pada penderita LMA transplantasi bisa

dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan

pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap

pengobatan (Media Informasi Obat Penyakit,2005)..

4. Terapi Suportif

Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag

ditimbulkan penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat.

Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia dengan keluhan

anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik

untuk mengatasi infeksi (Thomson dan Cotton, 1997).


21

3.1.9 Komplikasi Leukemia

Komplikasi leukemia yang paling sering terjadi ada lima, yakni

1) gagal sumsum tulang,

2) infeksi,

3) pendarahan,

4) splenomegali, dan

5) hepatomegali (Asra, 2010).

3.2 Manifestasi Oral Leukemia

3.2.1 Tanda Klinis Penyakit Leukemia

Sklavounou dkk dan Gleeson melaporkan bahwa lesi pada mukosa oral

merupakan tanda awal dari penyakit sistemik yang belum terdiagnosa. Ini berarti

bahwa mukosa oral mempunyai fungsi yang penting dalam mendeteksi penyakit

sistemik karena mukosa oral mempunyai fungsi yang penting dalam mendeteksi

penyakit sistemik karena mukosa oral juga berperan sebagai barometer dari

adanya penyakit sistemik, misalnya kelainan darah leukemia. Mukosa oral

mempunyai sifat khusus dibandingkan jaringan tubuh lainnya, ini disebakan

karena

(1) mukosa oral mendapat vaskularisasi yang cukup sehingga mudah terpengaruh

oleh keadaan organ yang jauh letaknya,

(2) mukosa oral sering mengalami epitelisasi dalam waktu yang singkat,

(3) mukosa oral mudah mengalami trauma (Udi, 2006).

Semua tipe leukemia khususnya leukemia akut memiliki manifestasi oral


22

(Dean et al, 2003). Sklavounou dkk, Dean dkk dan Wu dkk melaporkan bahwa

manifestasi oral leukemia lebih sering ditemukan pada pasien leukemia akut pada

tahap awal perkembangan penyakit. Prevalensi dan distribusi dari komplikasi

inisial leukemia di rongga mulut pada pasien LMA sama dengan pasien LLA

(Hou et al, 1997).

Manifestasi oral leukemia sering menimbulkan keluhan bagi pasien.

Keluhan oral ini mendorong pasien untuk mencari pengobatan ke dokter gigi

(Gleeson, 1997). Hou dkk dan Dean dkk melaporkan bahwa penemuan lesi oral

sebagai gambaran klinis leukemia akut oleh dokter gigi sangat berguna sebagai

indicator untuk mendeteksi dini leukemia. Dengan demikian, dokter gigi

mempunyai peranan penting dalam mendeteksi dini leukemia, yaitu dengan

merujuk pasien ke dokter Ahli penyakit dalam sehingga pasien dapat mengobati

penyakitnya lebih awal dan waktu ketahanan hidupnya menjadi lebih lama. Selain

itu, dokter gigi juga berperan penting dalam hal mengobati keluhan oral yang

ditimbulkan oleh penyait ini dan mengurangi komplikasi yang timbul akibat

kemoterapi yang bias berakibat fatal.

Menurut Yanif dan Marom, tanda dan gejala oral leukemia sering

bervariasi. Meskipun demikian terdapat dan gejala oral yang paling sering

ditemukan diantarnya:

1. Perdarahan Oral

Menurut Bressman dkk, tanda oral leukemia yang paling sering

terjadi pada masa posdiagnostik adalah perdarahan orang dan peteki.

Perdarahan oral merupakan manifestasi oral leukemia yang paling sering


23

menimbulkan keluhan bagi pasien. Keluhan oral ini mendorong pasien

untuk mencari pengobatan ke dokter gigi. Dari kasus perdarahan oral ini,

biasanya diagnosa leukemia baru diketahui.

Meskipun perdarahan oral sering dianggap sebagai hal yang tidak

berbahaya, namun manifestasi oral ini dapat merefleksikan kemungkinan

timbulnya perdarahan di tempat lain seperti di otak, paru-paru dan saluran

pencernaan yang berakibat fatal, yang mana perdarahan merupakan faktor

utama penyebab kematian pasien leukemia selain infeksi (Dreizens et al,

1984).

Kecenderungan perdarahan pada leukemia adalah bagian yang

ditimbulkan dari penyakit itu sendiri atau akibat pengobatannya (Dreizens

et al, 1984). Pada kasus leukemia yang tidak diobati atau yang belum

terdiagnosa, perdarahan terjadi secara primer karena keadaan

trombositopenia akibat penekanan aktifitas sumsum tulang oleh sel-sel

leukemik (Hou et al, 1997). Keadaan trombositopenia jarang

menimbulkan perdarahan bila tidak ada trauma dan gangguan pada proses

koagulasi (Dreizens et al, 1984).

Perdarahan oral lebih sering ditemukan pada pasien leukemia akut

dibandingkan pada pasien leukemia kronik, perdarahan ini umumnya

terjadi pada bibir, lidah dan gingiva (Dreizens et al, 1984).


24

Gambar 3.1 Perdarahan oral berupa peteki

Pada pengobatan kemoterapi, obat-obatan anti-leukemia sangat

menekan aktivitas sumsum tulang yang menyebabkan trombositopenia,

anemia dan leucopenia. Dreizen dkk melaporkan bahwa trombositopenia

yang sering ditemukan pada pasien yang menjalankan kemoterapi timbul

akibat pengaruh obat-obatan yang menghambat produksi megakariosit

(Dreizens et al, 1984).

Pasien dengan kecenderungan perdarahan oral dapat ditandai

dengan melihat perubahan pada mukosa oral yang mengalami peteki dan

ekimosis. Menurut Gleeson dkk dan Bressman dkk pasien leukemia akut

yang memiliki tanda dan gejala berupa peteki, ekimosis dan perdarahan

oral memiliki waktu ketahanan hidup yang lebih singkat dibandingkan

dengan pasien leukemia akut yang tidak memiliki tanda tersebut.

Perdarahan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari

75.000/mm3. Banyaknya perdarahan tergantung pada keparahan

trombositopenia dan keberadaan iritan lokal (Derossi et al, 2003).

Karakteristik perdarahan oral pada pasien leukemia berupa darah

yang berwarna merah tua, konsistensinya kenyal, intermiteb dan titik

perdarahan multipel. Kadang terjadi perdarahan yang terus-menerus


25

disebabkan oleh gangguan pada proses pembekuan darah (Dreizens et al¸

1984).

2. Infeksi Oral

Menurut Hou dk, infeksi ditandai dengan adanya demam dan

dihubungkan dengan keparahan neutropenia, aplasia sumsum tulang,

kegagalan migrasi leukosit dan kemampuan leukosit yang berkurang untuk

melawan infeksi. Selain itu, infeksi juga ditimbulkan akibat pengobatan

kemoterapi leukemia akut pada orang dewasa (Dreizens et al¸ 1984)..

Dreizen dkk melaporkan bahwa kemoterapi menimbulkan

komplikasi oral. Komplikasi oral yang paling sering terjadi adalah infeksi,

perdarahan dan mukositis. Perdarahan dan mukositis oral memudahkan

terjadinya infeksi oral dan bakterimia yang dapat berakibat fatal.

Infeksi di rongga mulut dapat disebabkan oleh jamur, virus dan

bakteri (Cho et al, 2000). Infeksi jamur kandidiasis biasanya disebabkan

oleh Kandida albicans yang sering timbul akibat penggunaan antibiotik

berspektrum luas dalam jangka waktu yang panjang. Infeksi virus biasanya

disebabkan oleh virus Herpes Simplex, sedangkan infeksi bakteri biasanya

disebabkan oleh bakteri pneumokokus, stafilokokus, serta bakteri gram

positif dan negative yang berbentuk batang (Schaedei and Goldberg,

1997).
26

Gambar 3.2 Kandidiasis oral

3. Ulserasi Oral

Ulserasi dihubungkan dengan leucopenia yang menyebabkan tidak

adanya respon protektif dari leukosit sehingga mukosa oral mudah terjadi

iritasi dan trauma (Little et al, 1997). Ulserasi pada mukosa oral dapat

disebabkan karena pembuluh darah kapiler mengalami thrombosis oleh

sel-sel leukemik atau akibat penurunan respon imun lokal (Hou et al,

1997).

Ulserasi oral sering ditemukan pada pasien leukemia yang sedang

menjalankan pengobatan kemoterapi dan sering disebabkan akibat efek

obat-obatan kemoterapi seperti metrotreksat. Menurut Derossi dkk, ulser

oral sekunder akibat kemoterapi muncul setelah tujuh hari setelah

pengobatan dimulai. Kemoterapi menyebabkan aplasia sumsum tulang dan

menimbulkan keadaan neuropenia yang parah. Pada keadaan neutropenia

yang parah invasi bakteri sekunder sangat mudah menimbulkan formasi

ulser oral yang multipel (Mehta and Gupta, 1999).

Gambaran klinis ulser oral pada pasien leukemia memiliki

karakteristik dibandingkan ulser oral pada umumnya, yaitu berupa lesi


27

yang meluas, tidak teratur, berbau, dan dikelilingi oleh batas mukosa yang

pucat; akibat anemia dan penurunan respon inflamasi (Mehta and Gupta,

1999).

Gambar 3.3 Ulserasi mukosa lingual regio 46

Infeksi yang paling sering menyebabkan ulser oral pada pasien

leukemia yang memperoleh kemoterapi adalah infeksi HSV rekuren.

Infeksi ini melibatkan mukosa intra oral dan bibir. Lesi sering diawali

dengan gabungan vesikel-vesikel yang khas dan menyebar dengan cepat

sehingga menimbulkan ulser yang luas yang luas disertai batas mukosa

yang berwarna putih. Kadang-kadang lesi ulser ini terlihat tidak spesifik

pada semua pasien yang mengalami imunosupresi akibat kemoterapi

(Derossi et al, 2003).

4. Limfadenopati Servikal

Limfadenopati servikal adalah tanda klinis yang paling sering

terlihat pada pasien leukemia akut maupun kronik (Cawson and Odell,

1998). Limfadenopati servikal disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik

ke kelenjar limfe servikal, pembengkakan biasanya pada satu sisi. Kelenjar


28

yang membengkak akan terasa lunak dan sakit bila dipalpasi pada

leukemia akut, sedangkan pada leukemia kronik biasanya kelenjar berbatas

tegas, keras dan tidak nyeri pada saat dipalpasi (Supardiman, 1997).

5. Hiperplasia Gingiva

Hiperplasia gingiva lebih sering terjadi pada pasien leukemia akut

khususnya LMA daripada pasien leukemia kronik. Hiperplasia gingival

disebabkan karena infiltrasi sel-sel leukemik ke gingiva, inflamasi atau

akibat hiperplasia reaktif (Couper et al, 2000). Hiperplasia gingiva paling

sering ditemukan pada pasien leukemia monositik akut (M5) dan leukemia

myelomonositik akut (M4) (Wu et al, 2002). Faktor yang mempermudah

timbulnya hiperplasia gingiva adalah adanya respon yang berlebihan

terhadapat iritan lokal yang disebabkan berkurangnya kemampuan sel

darah putih untuk melawan infeksi gingiva karena bentuknya yang tidak

matang (Cawsosn and Odell, 1998). Iritan lokal tersebut merupakan

stimulus inflamasi yang dapat berasal dari akumulasi plak dan bekuan

darah yang sering ditemukan pada pasien dengan kecenderungan

perdarahan oral yang menyebabkan kebersihan rongga mulut menjadi

buruk (Packard, 2007).

Hiperplasia gingiva juga terjadi pada pasien leukemia yang

kebersihan rongga mulutnya baik. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa

kondisi lokal yang merugikan bukanlah faktor utama yang mendorong

infiltrasi sel-sel leukemik ke jaringan lunak (Wu et al, 2002).

Pada beberapa pasien leukemia dapat juga ditemukan hiperplasia


29

gingiva akibat inflamasi kronik tanpa infiltrasi sel-sel leukemik seperti

halnya gambaran klinis dan mikroskopis hiperplasia gingiva yang tidak

disebabkan oleh leukemia (Cawsosn and Odell, 1998). Hal tersebut

didukung oleh Siddiqui yang menyatakan bahwa fibrosis sumsum tulang

dihubungkan dengan sekresi multiple suatu faktor pertumbuhan oleh sel-

sel megakariositik. Menurutnya, proses leukemia menyebabkan sekresi

Transforming Growth Factor Beta (TGFB). TGFB ini memacu sel-sel

fibroblast pada sumsum tulang untuk memproduksi kolagen yang

berlebihan. TGFB merupakan substansi yang dihasilkan akibat proses

penekanan aktifitas seluler oleh aktifitas jaringan dan mengadakan

deposisi pada jaringan fibrous sehingga menimbulkan hiperplasia gingiva

(Siddiqui, 1997).

Selain itu, hiperplasia gingival juga dihubungkan dengan

kemoterapi leukemia. Dilaporkan, terdapat beberapa pasien yang

menderita leukemia promyelositik akut (M3) yang awalnya tidak

mengalami hiperplasia gingiva pada masa perkembangan penyakitnya,

namun setelah menjalankan kemoterapi dengan penggunaan obat asam

transretinoik, mengalami hiperplasia gingiva (Couper et al, 2000).

Gambaran klinis hiperplasia gingiva akibat leukemia dapat terlihat

berupa pembengkakan yang difus pada papilla interdental, margin gingiva

dan gingiva cekat. Pada papilla interdental terlihat seperti masa yang

menyerupai tumor. Pada pasien LMA sering ditemukan hiperplasia

gingiva sampai menutupi korona gigi. Gingiva yang membengkak


30

berwarna merah kebiruan dan tidak memiliki stippling sehingga

permukaannya menjadi licin dan berkilat. Konsistensinya tidak terlalu

lunak tetapi mudah menjadi perdarahn spontan akibat iritasi yang ringan,

kadang disertai infeksi odontalgia dan inflamasi ulseratif nekrosis akut

pada daerah interdental (Udi, 2001).

Gambar 3.4 Hiperplasia gingiva yang menyeluruh

Gambar3.5 Hiperplasia gingiva yang disertai papila palatal yang nekrosis

Secara histopatologi, jaringan gingiva di infiltrasi oleh sel-sel

leukosit yang belum matang pada inflamasi kronik dapat juga terlihat

leukosit yang telah matang. Jaringan epitel memperlihatkan derajat yang

bevariasi terhadap infiltrasi sel-sel leukemik, lamina propia dipenuhi oleh

sel-sel leukemik yang meluas dari lapisan sel basal epitel ke dalam

gingiva. Pembuluh darah setempat tertekan oleh infiltrate yang


31

menyebabkan jaringan gingiva mengalami edema dan degenerasi. Pada

hyperplasia gingiva yang disertai inflamasi nekrosis akut, permukaan

gingiva dilapisi oleh jaringan fibrin pseudomembran, sel-sel epitel yang

nekrosis, polimorfonuklear leukosit dan kolonisasi bakteri (Fischer et al,

2006).

Kurangnya insidensi dan laporan hiperplasia gingiva pada pasien

edentulous memberikan hipotesa bahwa bahwa iritan lokal yang

menyebabkan hiperplasia gingiva dihubungkan dengan gigi dan jaringan

periodonsium yang berperan sebagai kofaktor pada proses perkembangan

infiltrasi sel-sel leukemik ke jaringan gingival (Wu et al, 2002).

6. Variasi Lain dari Manifestasi Oral Leukemia

Variasi lain yang tidak spesifik dari manifestasi oral leukemia

adalah kebersihan rongga mulut yang buruk akibat xerostomia.

Xerostomia dapat timbul akibat kemoterapi, radioterapi atau efek

psikologi pasien yang mengalami kecemasan saat menjalankan kemoterapi

(Ayalon, 2011). Selain itu, dapat juga dijumpai sakit tenggorokan

laringofaringitis, bibir kering dan pecah-pecah, hairy tongue, sialorhoe,

halitosis, benigna migratory glosisitis, median rhomboid glossitis,

pemfigus, nyeri gusi, dekstruksi tulang alveolar dan penyembuhan luka

yang lama setelah ekstraksi gigi (Derossi et al, 2003).

Manifestasi oral neurologis dapat terjadi akibat infiltrasi sel-sel

leukemik ke nervus V dan VII. Gangguan pada nervus V dan VII pernah

dilaporkan pada pasien leukemia akibat penggunaan obat vincristin, yaitu


32

obat yang sering dipakai untuk pengobatan leukemia aku, khususnya ALL

(Derossi et al, 2003). Manifestasi neurologi oral yang dapat terjadi berupa

paralisis fasial, neuralgia trigeminal, kesukaran menelan, kesukaran

memanjangkan lidah, kelemahan otot-otot pengunyahan dan parestesia

akut (akibat peningkatan cairan serebrospinal, perdarahan intrakranial sel-

sel ganas yang terlokalisasi pada sistem saraf pusat maupun di sekitar saraf

tepi) (Andicopoulou et al, 2002).

3.2.2 Mekanisme Terjadinya Manifestasi Oral Leukemia

Pada penderita leukemia, terjadi infiltrasi sel leukosit ke dalam lapisan

retikular mukosa mulut dan kelenjar limfe serta menurunnya mekanisme

pertahanan tubuh dan kadar trombosit di dalam darah, keadaan ini menyebabkan

terjadinya manifestasi oral dari penyakit leukemia di rongga mulut (Lewis

Michael, 1998). Perdarahan dan pembesaran gingiva merupakan manifestasi oral

yang paling umum dari leukemia. Jaringan gingiva dianggap lebih rentan terhadap

infiltrasi sel leukemia yang menyebabkan pengeluaran komponen molekul adhesi

endotelial sehingga infiltrasi leukosit meningkat.

Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan berupa petekie,

purpura atau ekimosis yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukemia akut pada

saat didiagnosis. Kelainan rongga mulut pada leukemia akut pada umumnya

berupa perdarahan gusi dengan ekimosis, pembesaran gusi dan ulkus. Sedangkan

pada leukemia kronik dapat terjadi kelainan rongga mulut meskipun keadaannya

tidak separah leukemia akut. Kelainan yang terjadi berupa ulser mukosa,
33

perubahan pada gingival, oral petekie, dan perdarahan. Penyebab tersering

perdarahan pada leukemia adalah trombositopenia. Berkurangnya jumlah

trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari infiltrasi ke sumsum

tulang atau kemoterapi. Selain trombositopenia, penyebab utama perdarahan

rongga mulut adalah koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis, dan

hiperplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa. Perdarahan dapat juga

diakibatkan karena disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.

Manifestasi oral lain yang dapat terlihat pada penderita leukemia yaitu

gingivitis, dimana gingiva mengalami pembengkakan dan pembesaran gingiva di

margin gingiva yang terjadi oleh karena bertambah besarnya ukuran sel-sel yang

terjadi karena bertambahnya fungsi kerja tubuh. Selain itu, penurunan mekanisme

pertahanan tubuh pada penderita leukemia menyebabkan infeksi rentan terjadi

terutama infeksi dari jamur Candida albicans (Prohealth, 2009).

3.2.3 Penatalaksanaan Manifestasi Oral Penyakit Leukemia

Penatalaksanaan manifestasi oral pasien leukemia tentu lebih kompleks

dan merupakan aspek perawatan dental yang menantang bagi dokter gigi. Hal ini

disebabkan karena tindakan dibidang kedokteran gigi dapat menimbulkan

komplikasi yang serius bahkan dapat berakibat fatal pada penderita

leukemia.Namun seorang dokter gigi tidak boleh ragu untuk melangkah dalam

memberikan perawatan dental pada pasien-pasien leukemia, yang harus dilakukan

dokter gigi ialah merawat pasien tersebut dengan rasional dan tanpa menimbulkan

komplikasi-komplikasi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Hal


34

ini dapat dicapai dengan memahami penyakit leukemia dan memperhitungkan

tindakan dental mana yang boleh dilakukan sesuai dengan keadaan leukemia

pasien. Oleh sebab itu, sebelum memulai perawatan dental, dokter gigi harus

mendapatkan informasi yang lengkap mengenai status leukemia pasien.

Berdasarkan hal ini, dokter gigi selanjutnya dapat menentukan penatalaksaan dan

pengelolaan yang lebih cermat agar terhindar dari bahaya komplikasi akibat

tindakan-tindakan di bidang kedokteran gigi.

Langkah yang dapat dijadikan pedoman oleh dokter gigi dalam melakukan

tatalaksana dental pasien leukemia:

1. Evaluasi pada Pasien yang Belum Diketahui Memiliki Penyakit

Leukemia

Lesi oral sering menjadi tanda dan gejala pada pasien leukemia

yang belum terdiagnosa penyakitnya (Udi, 2002). Pada pasien leukemia

limfotik akut, sekitar 89% memiliki masalah oral yang dihubungkan

dengan proses perkembangan penyakit. Dari sini, sekitar 22% masalah

oral dinyatakan sebagai hal yang menyebabkan pasien tersebut mencari

pengobatan medis terhadap penyakitnya yang belum terdiagnosa. Pasien

leukemia akut sering mengalami perubahan oral pada masa awal

perkembangan penyakit. Sebagian dari pasien ini mencari penjelasan

medis karena perubahan yang terjadi di rongga mulutnya. Jelasnya,

keluhan terhadap lesi oral memegang peranan penting untuk mendiagnosa

suatu keganasan khususnya pada leukemia akut (Sonis et al, 1984).

Manifestasi leukemia akut biasanya dihubungkan dengan


35

myelosupresi yang dialami pasien. Sel-sel ganas yang banyak menyebar di

sumsum tulang menyebabkan keadaan trombositopenia dan neutropenia.

Oleh sebab itu, biasanya pasien sering mencari pengobatan dental karena

adanya perdarahan gingiva, petechie, hematoma atau ekimosis pada kasus

trombositopeniaq, sedangkan pada kasus neutropenia beruoa

limfadenopati, ulserasi oral, faringitis atau infeksi gingiva (Wu et al,

2002). Pasien yang jumlah sirkulasi sel blasnya meningkat dapat

mengalami hiperplasia gingival akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke

gingival. Paien yang memiliki tanda dan gejala tersebut harus dievaluasi

dengan teliti. Pemeriksaan klinis pasien yang memiliki tanda dan gejala

tersebut harus dievaluasi dengan teliti. Pemeriksaan klinis pasien yang

memiliki beberapa gejala yang dihubungkan dengan leukemia harus

menyertakan riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, evaluasi

laboratorium dan konsultasi medis jika dibutuhkan (Sonis et al, 1984).

Pasien harus ditanyakan mengenai kesehatan umum, gejala yang

terakhir kali dirasakan, tanda sistemik yang ditimbulkan akibat

myelosupresi (ekimosis, perdarahan berat selama mestruasi, abses pada

kulit, faringitis yang berkepanjangan, demam, berat badan yang banyak

menurun) dan juga riwayat keluhan oral mereka. Leukemia akut biasanya

memperlihatkan proses perkembangan penyakit dengan perubahan yang

pesat seperti terjadinya perdarahan yang terus-menerus dan perdarahan

spontan. Pemeriksaan klinik harus mencakup pemeriksaan jaringan lunak,

periodontal dan dental dengan teliti termasuk pemeriksaan radiografi.


36

Dokter gigi harus menanyakan kepada pasien mengenai faktor lokal yang

mendasari timbulnya lesi oral tersebut (perdarahan, plak atau kalkulus)

dan menilai apakah lesi oral tersebut sesuai dengan faktor lokal yang

disebutkan pasien. Jika ada kemungkinan keterlibatan sistemik, pasien

harus dikirim untuk pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan

penyaring leukemia, disarankan untuk memeriksa jumlah darah lengkap,

termasuk perbandingan jumlah sel darah putih dan platelet. Hasil

pemeriksaan darah dapat bervariasi; meskipun demikian, jumlah sel darah

putih biasanya selalu meningkat pada pasien leukemia, perbandingan

jumlah leukosit menunjukkan adanya sel-sel atipikal dan berkurangnya

jumlah neutrofil dan trombosit. Pasien juga sering menunjukkan tanda dan

gejala anemia (Sonis et al, 1984).

Bila ditemukan hasil pemeriksaan laboratorium yang tidak normal,

dokter gigi harus segera merujuk pasien ke dokter ahli penyakit dalam

untuk pemeriksaan lebih lanjut (Dean et al, 2003).

2. EvaluasipadaPasien yang Sudah Didiagnosa Menderita Leukemia

Biasanya dokter gigi diminta untuk menilai adanya atau

kemungkinan timbulnya infeksi atau masalah oral lainnya (Wardhany and

Pradono, 2006). Konsultasi ini sering dilakukan setelah diagnose leukemia

ditegakkan dan pada saat akan memulai kemoterapi. Hal yang harus

diperhatikan oleh dokter gigi adalah tingginya resiko perkembangan

masalah oral yang tinggi dihubungkan dengan kemoterapi leukemia (Parisi


37

et al, 2002). Pasien yang sedang menjalankan kemoterapi sangat mudah

terkena infeksi, oleh karena itu mengevaluasi rongga mulut sebagai pintu

gerbang masuknya mikroorganisme sangat penting dilakukan. Jelasnya,

pemantauan atau penyingkiran sumber infeksi yang ada atau potensial

sangat diperlukan (Sonis et al, 1984).

Pemeriksaan pasien yang didiagnosa leukemia harus menyertakan

pemeriksaan jaringan lunak, periodontal, gigi-geligi dan radiografi

keseluruhan rongga mulut yang mencakup daerah periapikal dan molar

tiga. Perawatan dental yang telah dilakukan pada pasien harus

diberitahukan kepada dokter ahli penyakit dalam yang menangani pasien

(Sonis et al, 1984).

3. Penggolongan Pasien Leukemia

Penggolongan pasien leukemia dihubungkan dengan perawatan

kemoterapi yang sedang dijalankan oleh pasien. Pasien leukemia yang

beresiko tinggi adalah pasien dengan penyakit leukemia yang aktif. Pasien

ini memiliki jumlah sel-sel leukemik yang banyak di sumsum tulang atau

darah tepi. Sehingga mengalami trombositopenia dan neutropenia. Pasien

yang juga termasuk kedalam kategori ini adalah pasien yang berada pada

masa pertengahan kemoterapi yang akan mengalami myelosupresi (Sonis

et al, 1984).

Pasien leukemia yang beresiko sedang telah mengalami

keberhasilan pengobatan fase induksi yang lengkap dan sedang menjalani

perawatan pemeliharaan. Pasien ini tidak menunjukkan tanda-tanda


38

keganasan sumsum tulang dan darah tepi. Meskipun demikian, pasien

yang masuk dalam kategori ini menunjukkan tanda-tanda myelosupresi

yang dihunungkan dengan kemoterapi (Sonis et al, 1984).

Pasien leukemia yang beresiko rendah telah mengalami

keberhasilan perawatan yang lengkap dan tidak menunjukkan tanda-tanda

keganasan atau myelosupresi. Pasien ini secara umum tidak lagi

menjalankan perawatan kemoterapi (Sonis et al, 1984).

4. Tata Laksana Dental

Dari penggolongan pasien leukemia menjadi tiga kategori seperti

diatas, kita dapat mengenali dan mempertimbangkan pelaksanaan dental

yang sesuai dengan kondisi pasien. Pasien leukemia beresikotinggisangat

mudah mengalami infeksi dan perdarahan oral. Pada tahap awal penyakit,

sumsum tulang dan darah tepi dibanjiri oleh sel-sel leukemik yang

menimbulkan suatu keadaan yang disebut “blast crisis”. Keadaan blast

crisis harus ditangani dengan segera yang mana pasien perlu dirawat inap

dan di kemoterapi. Pada fase ini pasien akan mengalami myelosupresi

(Bayley and Leinster, 1991).

Perawatan dental pada pasien kelompok ini dibatasi hanya pada

perawatan dental darurat. Pasien yang mengalami infeksi oral harus

diberikan antibiotic bersprektum luas secara intravena untuk melawan

flora oral gram positif dan negatif. Keterlibatan organisme anaerob harus

dipertimbangkan pada pasien yang mengalami penyakit periodontal.

Perawatan dental pasien yang beresiko tinggi ini memerlukan manajemen


39

dental yang lengkap dan konsultasi antara dokter gigi dan dokter ahli

penyakit dalam yang menangani pasien (Sonis et al, 1984).

Pasien leukemia yang beresiko sedang tidak menunjukkan tanda-

tanda keganasan, tetapi dapat mengalami myelosupresi akibat perawatan

kemoterapi pemeliharaan. Biasanya myelosupresi terjadi 14 hari setelah

kemoterapi. Oleh karena itu, perawatan dental harus dihindari pada masa

ini (Little et al, 1997).Perawatan dental dapat dilakukan 21 hari setelah

pasien menjalankan perawatan kemoterapi. Sebelum perawatan dental

dimulai, dokter gigi harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli

penyakit dalam yang menangani pasien mengenai kesanggupan pasien

untuk menerima perawatan dental dan prognosisnya. Jika terdapat infeksi,

disarankan agar pasien dirawat inap di rumah sakit dengan pemantauan

yang adekuat dan pemberian antibiotik secara intravena (Sonis et al,

1984).

Prosedur dental tipe I dapat dilakukan dengan protokol normal,

sedangkan pada prosedur dental tipe II, III dan IV diberikan antibiotik

profilaksis. Pada prosedur dental tipe V dan VI, sebaiknya pasien dirawat

inap dengan pengawasan yang rutin dan pemberian antibiotik secara

intravena karena terdapat kemungkinan timbulnya infeksi (Sonis et al,

1984).

Pasien leukemia yang beresiko rendah tidak memiliki tanda-tanda

keganasan dan perawatan dental pada pasien ini dapat dilakukan sesuai

dengan protokol normal (Sonis et al, 1984).


40

Secara umum, infeksi dan perdarahan adalah hal yang paling sering

menyebabkan kematian pada pasien leukemia. Infeksi dan perdarahan

sangat mudah terjadi, khususnya pada pasien yang memiliki tanda dan

gejala akut atau yang digolongkan ke dalam pasien beresiko tinggi dan

sedang (Sonis et al, 1984).

Perdarahan oral yang mudah terjadi menyebabkan kebersihan

rongga mulut pasien menjadi buruk. Keadaan ini mempermudah

timbulnya infeksi oral (Gleeson, 2002). Infeksi oral bisa menyebabkan

septicemia dan sering terjadi pada pasien leukemia akut (Wardhany and

Pradono, 2006). Untuk menghindari timbulnya infeksi dan perdarahan

yang berakibat fatal, sebaiknya semua perawatan dental dihindari sedapat

mungkin terhadap pasien di stadium akut. Semua perawatan dental invasif

harus ditunda sampai dokter Ahli Penyakit Dalam menyatakan bahwa

kondisi pasien telah memungkinkan untuk perawatan dental invasif.

Meskipun telah ada persetujuan dari dokter Ahli Penyakit Dalam yang

menangani pasien, sejumlah hal harus tetap diperhatikan sebelum tindakan

dental invasi dilakukan, seperti mengevaluasi jumlah trombosit, waktu

perdarahan dan jumlah neutrofil yang nilainya harus mencukupi serta

pemberian antibiotik profilaksis (Irmagita and Pradono, 2006). Tindakan

dental invasif tanpa pemberian antibiotik profilaksis dapat dilaksanakan

bila hitung neutrofil > 1000/mm3 dan hitung trombosit >75.000/mm3,

namun harus tetap mewaspadai perdarahan yang berlebihan. Bila jumlah

trombosit diantara 40.000-75.000/mm3, diberikan tranfusi trombosit


41

sebelum tindakan dan 24jam sesudah tindakan invasive dilakukan. Bila

hitung neutrofil<1000/mm3 atau jumlah trombosit <40.000/mm3, seluruh

tindakan dental harus ditunda sampai nilai neutrofil dan trombosit pasien

mencukupi. Bila terdapat kasus darurat, tindakan dental invasif harus

disertai dengan pemberian antibiotic profilaksis, transfusi trombosit dan

pasien harus dirawat inap di rumah sakit dengan pemantauan rutin

(Irmagita and Pradono, 2006).

Sebagian besar pasien leukemia memiliki status hematologi yang

kurang baik, sehingga tindakan yang paling penting dilakukan adalah

mengurangi dan mencegah infeksi dengan meningkatkan dan memelihara

kesehatan rongga mulut pasien. Oleh sebab itu, tiap-tiap pasien diberikan

dental health education. Pasien dengan status hematologi yang cukup baik

dan kondisi umum yang memungkinkan diberikan pengetahuan cara

menyikat gigi dan lidah menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat yang

halus dua sampai tiga kali sehari. Pasien yang status hematologinya

kurang baik dan kondisi umum yang tidak memungkinkan dilakukan

pembersihan dengan menggunakan kasa steril yang dibasahi obat kumur

kemudian diseka ke seluruh gigi-geligi. Obat kumur seperti H2O2 3% dapat

diberikan pada pasien yang kondisi kebersihan rongga mulutnya buruk,

tidak dapat melakukan penyikatan gigi sendiri dan diperkirakan memiliki

potensi timbulnya infeksi bakteri anaerob (Wardhany and Pradono, 2006).

Pada pasien leukemia yang tidak memiliki gejala akut dan penyakit

leukemianya terkontrol dengan baik, tindakan dental difokuskan pada hal-


42

hal yang dapat menjadi fokus infeksi yang mencakup tindakan ekstraksi,

perawatan periodontium (skelling dan penyerutan akar) serta

mengeleminasi hal-hal yang dapat menjadi sumber iritasi mukosa mulut

(Wardhany and Pradono, 2006). Sumber yang dapat menyebabkan iritasi

pada mukosa mulut seperti tepi restorasi yang tajam, protesa lepasan yang

retensi dan stabilitasnya tidak baik lagi dapat diminimalisasi dengan cara

menghaluskan tepi restorasi yang tajam dan memperbaiki retensi dan

stabilitas protesa lepasan (Sonis et al, 1984). Disamping itu, sumber yang

potensial bagi perkembangan infeksi seperti gigi yang mengalami karies,

restorasi yang menggantung, perikoronitis karena erupsi gigi M3 dengan

posisi yang impaksi harus segera dirawat dengan cara merestorasi gigi

yang karies jika tidak ada keterlibatan pulpa dan jika karies sudah

mencapai pulpa, maka rencana perawatan yang paling sesuai harus

dipertimbangkan, misalnya dengan perawatan endodontic atau ekstraksi

gigi. Rstorasi yang menggantung diganti dengan restorasi yang baru. Pada

kasus perikoronitis, jika pemberian antibiotik tidak menunjukkan

kesembuhan infeksi, gigi yang terlibat harus di ekstraksi (Sonis et al,

1984).

Menurut Acikgos dkk, ekstraksi dental pada pasien leukemia masih

dipertimbangkan, mengingat adanya resiko perdarahan yang berlebihan,

infeksi dan luka yang sukar sembuh. Meskipun demikian, dengan adanya

tindakan pencegahan pengawasan yang ketat serta teknik pembedahan

yang spesifik dapat dicapai keberhasilan perawatan yang baik.


43

Tindakan dental spesifik mencakup penanggulangan terhadap

masalah oral yang paling sering dialami oleh pasien leukemia, yang paling

sering terjadi adalah penanggulangan perdarahan. Perdarahan yang dialami

oleh pasien leukemia dapat dihentikan dengan pengobatan secara topikal.

Pengobatan topikal ini dilakukan dengan cara menyingkirkan iritan lokal

dan melakukan penekenan langsung. Dalam hal ini dapat digunakan gel

penyerap atau spong kolagen, topikal thrombin atau pemakaian kolagen

mikrofibril yang penggunaannya dengan cara splin. Menurut literature,

bila tindakan menghentikan perdarahan seperti di atas tidak dapat berhasil

harus diberikan tranfusi trombosit kepada pasien (Little et al, 1997).

Penanggulangan infeksi dilakukan dengan terlebih dahulu

mengetahui penyebab infeksi oral tersebut. Diagnosis infeksi oral yang

disebabkan oleh jamur dipastikan dengan mengadakan biopsi spesimen,

aspirasi atau smear sitologi, karena bila hanya dilakukan kultur saja,

organisme penyebabnya tidak dapat ditentukan (Derossi et al, 2003). Bila

diagnosa infeksi sudah dapat dipastikan penyebabnya adalah jamur,

pengobatannya dengan anti jamur topikal (Wardhany and Pradono, 2006).

Pada pasien yang mengalami neutropenia, diagnose infeksi

periodontal dan perikoronal sulit ditegakkan karena tidak adanya respon

inflamasi yang normal. Meskipun demikian, diagnosa infeksi oral harus

segera diketahui karena flora normal dapat juga menjadi sumber infeksi

yang potensial dan berakibat fatal. Flora normal yang menyebabkan

infeksi dapat berasal dari golongan basil gram positif dan negatif (Derossi
44

et al, 2003).

Dalam penanggulangan infeksi oral pasien leukemia, dokter gigi

mempunyai kewajiban untuk mengirim pasien ke laboratorium

mikrobiologi untuk menjalankan pemeriksaan penyaring dan

menyingkirkan sumber yang potensial bagi perkembangan infeksi akut dan

bakteremia sebelum tindakan kemoterapi dimulai meskipun tranfusi

trombosit dan antibiotik spectrum luas secara intravena juga diperlukan

untuk perawatan dental (Derossi et al, 2003).

Padapenanggulanganulser oral non-HSV, hal yang perlu dilakukan

adalah mencegah penyebaran infeksi dan bakterimia, mempercepat

penyembuhan luka dan mengurangi rasa sakit. Pengobatan dilakukan

secara sistemik dan lokal, pengobatan secara sistemik diberikan antibiotic

bersprektum luas secara oral, biasanya antibiotik yang efektif adalah

metronidazol dan tetrasiklin. Pengobatan secara topikal dapat

menggunakan larutan povidon iodine, bacitracin, salap neomisin, larutan

kumur klorheksidin dan dipenhidramin yang digunakan pada saat

berkumur dapat mengurangi rasa sakit. Ulser yang terdapat pada mukosa

bukal dan dasar lidah dapat diobati dengan salap orabase yang akan

melindungi permukaan lesi dari iritasi, pemakaian empat sampai enam kali

dalam sehari (Little et al, 1997).

Perawatan konservaif bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit

dan infeksi. Untuk mengatasi hal tersebut dapat digunakan larutan kumur

multi-agen yang merupakan kombinasi dari steroid topikal, antibiotik, anti


45

jamur dan anastesi topikal. Penggunaan larutan multi agen ini masih lebih

sedikit digunakan oleh dokter gigi bila dibandingkan dengan larutan

kumur klorheksidin (Cho et al, 2000).

BAB IV

PEMBAHASAN
46

Leukemia dibagi menjadi dua, yaitu leukemia kronis dan akut. Leukemia

kronis melibatkan sel leukosit yang cenderung terdiferensiasi dengan baik,

onsetnya lama, dan berjalan lambat. Leukemia akut dikarakteristikan dengan

proliferasi yang tak terkontrol dari sel blast yang tidak terdiferensiasi. Onsetnya

tidak menentu dan cenderung tiba-tiba, dapat berkembang secara agresif dan cepat

hingga menimbulkan kefatalan apabila tidak segera ditangani. Manifestasi oral

sering terlihat pada leukemia akut.

Perkembangan leukemia akut biasanya diiringi dengan kegagalan

pembentukan sumsum tulang dan dihubungkan dengan anemia, infeksi, dan

pendarahan. Gejala tampak seperti flu dengan rasa sakit pada tulang, sakit sendi,

atau keduanya, diakibatkan oleh keganasan ekspansi sumsum, Manifestasi

trombositopenia tampak dengan kulit yang peteki dan perdarahan pada palataum

bagian posterior dan pendarahan gingiva. Infiltrasi gingiva oleh sel leukemia juga

cenderung muncul pada pasien dengan leukemia pendarahan. Ulserasi gingiva

dapat terlihat sebagai hasil infeksi flora mulut normal pada neutropenia.

Gambaran rongga mulut tidak khas lainnya termasuk bibir pecah-pecah

dan tampak perdarahan bula di dorsum lidah bagian anterior, bukal dan mukosa

labial, sakit gigi, gigi mobility, dan peteki.

Manifestasi oral dari pasien dengan leukemia terdapat pada semua subtype

AML, chronic myeloid leukemia (leukemia myeloid kronis), acute lymphocytic

leukemia (leukemia limfosistik akut), dan chronic lymphocytic leukemia. Dretzen

et al., melaporkan bahwa pasien dengan leukemia monosistik akut memiliki

insidensi infiltrasi gingiva terbesar (M5) sebesar 66,7% diikuti oleh leukemia
47

myelomonosistik akut (M4) sebesar 18,5%, dan leukemia myeloblastik akut (M1)

sebesar 3,7%. Pasien pada laporan ini didiagnosa dengan leukemia myeloblastik

akut disertasi maturase (AML M2).

Hiperplasia gingiva dikarakteristikan dengan pembesaran progresif dari

papila interdental, margin gingiva, dan attached gingiva. Bentuk hiperplasia ini

merupakan bentuk yang paling parah, biasanya mahkota gigi pada bentuk ini

tertutup oleh gingiva. Tampak pula perdarahan mukosa, ulserasi di gingiva,

gingivitis yang terinfeksi, dan odontalgia.

Ada beberapa etiologi pertumbuhan berlebihan gingiva dan masing-

masing etiologi memiliki karakteristiknya masing-masing. Pembesaran gingiva

terinflamasi adalah bentuk paling umum dari pertumbuhan berlebihan gingiva dan

dihubungkan dengan faktor lokal seperti plak dan kalkulus. ANUG biasanya

tampak dengan nekrosis gingiva dan ulser punched-out yang melibatkan papila

interdental yang tertutupi oleh pseudromembran abu kehijauan. Hal ini juga

diiringi oleh aliran saliva yang terlalu banyak, metallic taste, dan malodor, tapi

tidak berhubungan dengan ekimosis. Lesi yang terdapat pada pasien HIV/AIDS

seperti lesi awal sarkoma Kaposi (Kaposi’s Sarcoma – KS) dapat dikira sebagai

pembesaran gingiva dan ekimosis palatal pada pasien leukemia. KS dapat

menyerang bagian rongga mulut yang mana pun namun kebanyakan di palatum,

gingiva, dan lidah. Lesi KS muncul berupa disklorasi berwarna biru keunguan

atau merah keunguan yang dapat berkembang ke masa jaringan sehingga dapat

menimbulkan ulserasi. Diagnosis klinis sementara pada kasus ini menyempit ke

leukemia akut ditinjau dari faktor yang telah disebutkan di atas.


48

Infiltasi gingiva sel leukemia tidak tampak pada pasien tidak bergigi,

menunjukkan bahwa iritasi lokal dan trauma yang dihubungkan dengan adanya

gigi memainkan peran dalam pathogenesis kelainan ini. Ada banyak variasi dari

tampilan dan derajat keparahan dari pertumbuhan gingiva yang berlebihan ini.

Pasien ini mengalami perubahan gingiva di bagian palatal dan lingual sementara

perubahan di bagian labial nampak hampir normal, dengan hanya sedikit

gambaran permukaan yang mengkilap. Alasan yang mungkin untuk hal ini

dihubungkan dengan kebiasaan pasien merokok ganja, yang merupakan sumber

iritasi tetap ke gingiva.

Peteki, mudah memar, perdarahan gingiva, dan epitaksis berhubungan

langsung dengan trombositopenia (menurun nya jumlah platelet). Pendarahan

terjadi secara internal, dengan perdarahan yang kemungkinan terjadi apabila

jumlah platelet kurang dari 20.000/ìL. Sebagai tambahan, pasien-pasien ini

cenderung mengalami infeksi karena menurunnya sirkulasi neutrofil. Kerusakan

batas mukosa menyebabkan perkembangan infeksi sistemik dari organisme yang

mengkolonisasi kulit, tenggorokan, dan gastrointestinal tract (GIT). Pasien ini

juga memiliki area ekimosis yang luas di palatum diduga berasal dari kurangnya

platelet dan juga mengeluhkan pendarahan gingiva bahkan pada sentuhan ringan.

Infeksi dan anemia adalah penyebab utama dari kematian pada pasien

leukemia. Akut leukemia yang tidak ditangani berkembang secara agresif, dengan

kemungkinan terjadinya kematian dalam enam bulan atau kurang. Pada kasus ini,

pasien meninggal walaupun sudah ditangani dan dirujuk dengan cepat karena

banyak waktu yang terbuang sebelum pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit


49

Mulut.

Kesimpulannya, fakta bahwa perubahan gingiva kadang merupakan

manifestasi pertama dari penyakit leukemia menunjukkan bahwa dokter gigi harus

familiar dengan manifestasi klinis kelainan sistemik untuk memastikan deteksi

segera dan rujukan bila diperlukan. Mengingat keakutan dari penyakit ini,

diagnosis sedini mungkin dan merujuk pasien leukemia untuk penanganan lebih

lanjut harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari kondisi fatal

ini.

BAB V

KESIMPULAN
50

Acute myeloblastic leukemia (AML) atau leukemia myeoblastik akut

adalah penyakit kelainan sumsum tulang ganas.Oleh karena rasio morbiditasnya

yang tinggi, diagnosis dini dan terapi medis yang sesuai sangat penting untuk

didapatkan. Dokter dan dokter gigi harus mengetahui dan memahami pentingnya

mengenali manifestasi oral dari kelainan sistemik ini. Disini kami melaporkan

kasus perubahan gingiva pada pasien dengan AML.Temuan klinis yang menarik

dari kasus ini adalah tampaknya perubahan yang parah dari gingiva bagian palatal

dan lingual dengan gingiva bagian labial yang tampak hampir normal.Pentingnya

diagnosis dini dan penanganan kelainan fatal ini juga digarisbawahi.

DAFTAR PUSTAKA

Andicopoulou, Sklavounou A, Piperi E, Paikos S. Oral and Maxillofacial


manifestation of malignant haemopoetic and lymphoreticular disorders-
51

part II A. Haema 2002; 5:305-19

Anonim. 2008. Transplantasi Sumsum Tulang untuk Penderita Leukemia.


http://www.klikdokter.com

Asra, Delvia. 2010. Karakteristik Penderita Leukmia Rawat Inap di RSUP


Dr. Pringadi Medan Tahun 2005-2009. Medan : Universitas Sumatra
Utara.
Bakta, I. M. dan Suastika, K.. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. Jakarta: EGC.

Bakti, M. I.. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.


Bayley TJ, Leinster SJ. Ilmu penyakit dalam untuk profesi kedokteran gigi.
Darmawan I. Jakarta: EGC. 1991:194-8

Bressman E, Decter JA, Chasens AI, Sackler RS. Acute myeloblastic leukemia
with oral manifestation. Oral surg. 1982;54:401-3

Budiarto, E. dan Anggraini D.. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : EGC.


Cawsosn RA, Odell EW. Essentials of oral pathology and oral medicine. 6th
ed. New York: Churchill Livingstone, 1998: 278-282

Chang Lim, Hyun dan Sung Kim, Chang. 2014. Oral Signs of Acute Leukemia
for Early Detection. Journal of Periodontal & Implant Science (44): 293

Cho SY, Cheng AC, Cheng MCK. Oral care for children with leukemia.
HKMJ. 2000;6:203-8

Couper CL, Loewen R, Shore T. Gingival hyperplasia complicating acute


myelomonocytic leukemia. J Can Dent Assoc.2000;66:78-9

Dean AK, Ferguson JW, Marfan ES. Acute leukemia presenting as oral
ulceration to a dental emergency service. Aust Dent J. 2003;48: 195-7

Derossi SS, Garfunkel A, Greenberg MS, Hematologic disease. In: Lester W.


Burket, eds. Oral medicine: Diagnosis and treatment. Philadelphia: J
.B. Lippincot Company. 2003 :443-8

Dreizens, McRedie KB, Koating MJ. Chemotherapy-associated oral


hemorrhages in adults with acute leukemia. Oral surg. 1984;57:494-8.

Fischer P, Bohm J, Kruger PR Krekeler G. Oral manifestation of acute


myeloid leukemi. 2006; 8: Poster 311
52

Gleeson P. Spontaneous gingival hemorhage: case report: Aus Dent J 2002;


47: 174-175

Greenberg MS, Glick M. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and


Treatment. Ontario: BC Decker Inc.

_______________________________________________________ : 429-48

Handayani, W. dan Haribowa, A. S.. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien


dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.

Hoffbrand, A. V. Dan Pettit, J. E.. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Edisi 2.


Jakarta : EGC.
Hou GL, Huang JS, Tsai CC. Analysis of oral manifestation of leukemia: a
retrospective study. Oral Dis 1997; 3:31-8

https://www.dentistry.uiowa.edu/oprm-candidosis (7 November 2015)

Irmagita A, Pradono SA. Pentingnya mengenali manifestasi oral pada kasus


leukemia akut. IJD 2006; Ed Khusus KPPOKG XIV:343-7

Krasteva & Deliverska. 2011. Oral Signs of Leukemia and Dental


Management – Literature Data and Case Report. Journal of IMAB (19):
388

Lee, et al. 2009. Gender and Ethnic Differences in Chronic Myelogenous


Leukemia Prognosis and Treatment Response. Journal of Hematology &
Oncology 2009. 2:30

Lubis, T.. 2004. Karakteristik Penderita Leukemia Rawat Inap di Rumah


Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 1998-2002. Medan : USU.
Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. Dental management of the
medically coumpromised patient. Ed 5. St. Louis. Mosby. 1997:445-57

Mansjoer, Arief, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-III. Jakarta :
Mayo Clinic Staff. 2008. Treatments and Drugs. http://mayoclinic.com

Media Informasi Obat Penyakit. 2005. Info Penyakit Leukemia.


http://www.medicastore.com
Media Aesculapius FKUI.
Mehta IS, Gupta J, eds. Oral medicine. India: A.I.T. BS Publishers and
Distributors (regd), 1999: 101-4
53

Motwani,dkk. 2013. Oral Symptoms as Primary Manifestations of Acute


Myeloid Leukemia: A Case Report. Int J Dent Case Reports 3 (1): 98

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Edisi I. Jakarta:
Salemba Medika.
Parisi E, Draznim J, Stoopler E, Schuster SJ, Porter D, Sollecito TP. Acute
myelogenus leukemia: advances and limitations of treatment. Oral Surgery
Oral Medicine Oral Pathology 2002;93:257-63

Price, S. A. dan Wilson L.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Surabaya : Airlangga.
Saito, dkk. 2013. Oral Manifestations of Acute Promyelocytic Leukemia: A
Case Report. Open Journal of Stomatology (3): 25-27

Schaedei R, Goldberg MH. Chronis lymphocytic leukemia of a B-cell origin:


oral manifestations and dental treatment planning. JADA. 1997;128:206-
10

Siddiqui T. Gingival Hipertrofi in acute megakaryoblastic leukemia. J park


Med Assoc; 1997:236-237

Sonis ST, Frazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine.
Philadelphia: W.B Saunders company. 1984: 324-338

Smeltzer, S. C. dan Bare, B. G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-


Bedah. E disi IV. Jakarta: EGC.

Soegijanto, S.. 2004. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di


Indonesia. Surabaya: Airlangga

Sudoyo, W. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta :
FKUI.

Supandiman dan Iman. 1997. Hematologi Klinik. Bandung : Penerbit Alumni.


Susanto, 2013, Lesi Mulut dengan Karateristik Perubahan Warna termasuk
Lesi Prekanker Mulut. Yogyakarta: FKG UGM

Thomson, A. D. dan Cotton, R. E.. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Jakarta:


EGC.

Tierney L. M. dan Papadakis, M. A.. 2003. Diagnosis dan Terapi


Kedokteran Penyakit Dalam. Jakarta : Salemba Medika.
54

Udi R, Mediarty. Manifestasi klinis leukemia di mukosa mulut. Maj Ked Gigi.
2001;34:681-3

Varkesh,dkk. 2013. The Dentist’s Role in Improving the Life’s Quality of


Children with Leukemia. AJRC 1(2): 66

Wardhany II, Pradono SA. Kebutuhan penatalaksanaan dental pada pasien


leukemia yang sedang dirawat di rumah sakit. IJD 2006; Edisi khusus
KPPIKG XIV:400-3

Wu J, Fantasia JE, Kaplan R. oral manifestations of acute myelomonositik

leukemia: a case report and review of the classification leukemia. J periodontal

2002; 73:664-8

Anda mungkin juga menyukai