TESIS
Oleh :
MUHAMMAD RIDO
1610611095
i
I. PENDAHULUAN
1
diproduksi secara massal, serta harganya murah. Hadadi et al. (2007)
mengemukakan bahwa kandungan protein tepung maggot cukup tinggi, yaitu
sekitar 45,01%. Kemudian Bosch et al. (2014) menambahkan bahwa kandungan
protein larva BSF yaitu 40-50% dengan kandungan lemak berkisar 29-32%
sehingga memiliki potensi yang baik sebagai bahan pakan sumber protein.
Menurut Rambet et al. (2016) menyimpulkan bahwa tepung BSF berpotensi
sebagai pengganti tepung ikan hingga 100% untuk campuran pakan ayam
pedaging tanpa adanya efek negatif terhadap kecernaan bahan kering (57,96-
60,42%), energi (62,03-64,77%) dan protein (64,59-75,32%), walaupun hasil
yang terbaik diperoleh dari penggantian tepung ikan hingga 25% atau 11,25%
dalam pakan.
Sebagai sumber bahan baku pakan, produk berbasis insekta juga harus
aman dari kontaminan kimia. Subamia et al. (2010) menambahkan bahwa maggot
memiliki fungsi pakan alternatif untuk ikan yang dapat diberikan dalam keadaan
segar. Walaupun penggunaan maggot tidak bisa dijadikan sebagai satu satunya
pakan, namun maggot dapat diaplikasikan bersama pakan komersil sehingga biaya
produksi dapat ditekan. Protein kasar yang terkandung dalam tepung maggot
terutama protein kasar tergantung pada media tumbuh larva BSF. Untuk
memperoleh pupa dengan kandungan protein kasar yang tinggi, maka bahan
media tumbuh yang diberikan tinggi akan protein kasar.
Montesqrit et al. (2019a) telah melakukan penelitian mendapatkan
penggunaan media tumbuh dengan bahan pakan sumber protein tepung ikan,
bungkil kedele, tepung daging, ampas tahu dan bungkil kelapa sebagai media
tumbuh larva BSF. Hasil penelitian didapatkan protein kasar larva BSF tertinggi
pada media tumbuh yang tinggi kandungan protein kasar seperti tepung ikan,
bungkil kedele dan tepung daging akan tetapi memiliki tingkat pertumbuhan yang
rendah dibandingkan pemberian ampas tahu. Selanjutnya Montesqrit (2019b)
kombinasi pemberian media tumbuh tersebut yaitu ampas tahu dicampur dengan
tepung tepung ikan atau tepung daging menghasilkan pertumbuhan cepat dan
protein tinggi. Pemberian tepung ikan atau tepung daging dalam media tumbuh
larva BSF menjadi kontradiktif karena bahan yang digunakan harus dibeli dan
harganya mahal.
2
Berdasarkan hal tersebut selanjutnya Montesqrit (2019b) melakukan
penelitian berdasarkan bahan pakan non konservatif, tepung jeroan ikan, jeroan
ayam dan darah. Hasil yang didapatkan pemberian kombinasi ampas tahu dan
tepung ikan menghasilkan protein kasar yang tinggi. Kelemahan dari penelitian
ini yaitu penggunaan tepung darah yang dibuat dengan cara darah segar yang
direbus 45 menit 1000C, dijemur atau dioven selama 6 hari dan digiling yang
kemudian dicampurkan dengan ampas tahu dan difermentasi menggunakan
yakult. Hal ini tentu pekerjaan yang rumit, maka perlu dilakukan kajian media
tumbuh ampas tahu dan limbah darah dalam bentuk segar yang difermentasi
dengan probio_FM yang mengandung asam laktat yang sudah teruji. Beberapa
penelitian pendahuluan telah dilakukan yaitu darah segar yang dicampur dengan
ampas tahu tanpa diberi fermentor menyebabkan larva BSF kurang menyukai dan
tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan ampas tahu dan darah segar yang
difermentasi. Imbangan ampas tahu dan darah segar 1:1 atau 1:5 juga kurang
disukai larva BSF, disebabkan oleh media nya encer. Demikian juga pemberian
level probiotik yang terlalu tinggi, maka perlu evaluasi imbangan ampas tahu
yang optimal dan level probiotik yang sesuai.
Selanjutnya ada keinginan menjadikan tepung maggot selain tinggi protein
juga tinggi asam lemak omega-3. Diana (2012) menjelaskan bahwa asam lemak
omega-3 adalah asam lemak poli tak jenuh yang memiliki sebuah ikatan rangkap-
dua dimulai setelah atom karbon ketiga dari ujung salah satu rantai karbonnya.
Salah satu ujung yang dimiliki asam lemak ini adalah asam (-COOH) dan juga
ujung yang lain yaitu metil (-CH3). Ikatan rangkap dua pertama berlokasikan
berlawanan dari ujung metilnya, dikenal sebagai ujung omega (ω). Untuk
mendapatkan tepung maggot BSF tinggi omega-3, maka perlu ditambahkan bahan
sumber omega-3 pada media tumbuh maggot BSF. Dengan demikian, hasil
terbaik dari penelitian pendahuluan perbandingan ampas tahu dan limbah darah
serta level probiotik yang kemudian ditambahkan media lain sebagai sumber asam
lemak omega-3. Penambahan media sumber asam lemak omega-3 diharapkan
dapat menjadikan maggot BSF selain tinggi protein juga tinggi akan asam lemak
omega-3.
3
Omega-3 banyak terkandung dalam bahan hewani dan juga beberapa
bahan nabati. Salah satu bahan yang mengandung asam lemak omega-3 dan dapat
digunakan sebagai bahan tambahan dalam media tumbuh maggot BSF adalah
minyak ikan, rumput laut dan tanaman krokot. Minyak ikan mengandung total
asam lemak omega-3 yang cukup tinggi yaitu 14,064% (Istiqomah et. al. 2017).
Selanjutnya pada rumput laut jenis Euchema spinosum terkandung asam lemak
omega-3 yaitu 5.46% (Gunawan dan dedi, 2012). Kemudian Rifai (2018)
mendapatkan kandungan asam lemak omega-3 pada daun krokot dalam bentuk
segar sekitar 0,12% ataupun 1,6 g/100 g dalam bentuk kering.
Pada penelitian penggunaan tepung maggot BSF dalam ransum ternak
unggas, level penggunaan tepung maggot BSF perlu diperhatikan. Penelitian
Rahmad (2020) dengan level penggunaan tepung maggot BSF pada ayam
pedaging mendapatkan level pemberian tepung maggot BSF terbaik yaitu 3% dan
6%, sedangkan level pemberian 9% dan 12% menunjukkan performa yang
menurun. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurnia (2020) dalam ransum puyuh
petelur mendapatkan level terbaik pada level 3%, dan pada level tinggi yaitu 12%
performa yang dihasilkan menurun.
Untuk dapat melihat pengaruh penambahan tepung maggot BSF yang
tinggi akan Protein dan juga asam lemak omega-3 maka perlu dilakukan
percobaan ke ternak, salah satunya puyuh petelur. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian “Produksi tepung maggot BSF (black soldier fly) kaya protein dan
asam lemak omega-3 serta pengaruh pemberiannya terhadap performa dan
kualitas telur puyuh petelur”
Apakah tepung maggot BSF (Black soldier fly) tinggi protein dan asam
lemak omega-3 akan mempengaruhi performa dan kualitas Puyuh Petelur?
4
1.4 Manfaat Penelitian
Pemberian tepung maggot BSF kaya akan protein dan asam lemak omega-
3 dengan level pemberian 3% akan berpengaruh baik terhadap performa dan
kualitas telur puyuh telur.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
6
Lalat tentara hitam (Black Soldier Fly) atau dalam nama ilmiah Hermetia
illucens Linnaeus, 1758 memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Stratiomyidae
Subfamili : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Gambar 1: Hermetia illucens ( imago)
Diclaro dan Kaufman, (2009)
Black soldier fly atau Hermatia illucens Linnaeus, 1758 adalah jenis lalat
famili Stratiomydae yang umum dan secara luas dapat ditemukan di tumbuhan
penutup tanah, terutama sering ditemukan pada tumbuhan Spagneticola tribolata,
rumput-rumput dan dedaunan (Rizki dkk., 2017). Secara morfologi lalat tentara
hitam terlihat seperti lebah (wasplike) pada imago memiliki panjang tubuh 10 - 20
mm dengan betina lebih besar ukurannya dibandingkan jantan dan berbentuk
pipih. Pada lalat tentara hitam umunya tubuh berwarna biru-hitam (metalik biru)
sedangkan pada lalat jantan area abdomennya berwarna kecoklatan. Ciri khas dari
lalat tentara hitam ini pada ujung kakinya berwarna putih dengan sayap berwarna
hitam kelabu. Abdomen berbentuk memanjang dan menyempit pada basis, dengan
2 segmen pertama memperlihatkan daerah translusen. Venasi sayap tersusun padat
dekat costa dan lebih berpigmen dibandingkan bagian belakang, sedangkan vena
C tidak seluruhnya mengitari sayapnya (Chittka & Briscoe, 2001).
Siklus hidup BSF merupakan sebuah siklus metamorfosis sempurna
dengan 4 (empat) fase, yaitu telur, larva, pupa dan BSF dewasa (Popa dan Green,
2012). Menurut Tomberlin et al. (2002) bahwa siklus hidup BSF dari telur hingga
menjadi lalat dewasaberlangsung sekitar 40-43 hari, tergantung dari kondisi
lingkungan dan media pakan yang diberikan. Siklus hidup larva BSF dapat dilihat
pada gambar 2;
7
Gambar 2: Siklus hidup BSF (Popa dan Green, 2012)
Karakter yang dimiliki lalat ini seperti bersifat dewatering (menyerap air)
dan berpotensi dalam pengelolaan sampah organik, dapat membuat liang untuk
aerasi sampah, toleran terhadap pH dan temperatur yang berubah-ubah, mampu
melakukan migrasi ketika telah mendekati fase pupa, bersifat higienis dimana
lalat ini sangat menyukai sampah hasil fermentasi yang bersih, sebagai kontrol
lalat rumah, dan memiliki kandungan protein yang tinggi (Buckle dkk.,1985).
Lalat tentara hitam menggalami metamorphosis sempurna (holometabola).
Dimana metamorphosis lalat tentara hitam terdiri dari telur, larva, pupa dan imago
yang berlangsung selama 40 hari.
Arlystiarini (2017) menjelaskan bahwa siklus hidup Maggot BSF terdiri
dari lima fase yaitu telur, larva, prepupa, pupa dan dewasa yang berlangsung
sekitar 38-41 hari. Lalat betina dewasa akan bertelur sekitar lima sampai delapan
hari pasca keluar dari pupa dan umumnya dapat bertelur hingga 500 butir per
ekor. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kurang lebih 4.5 hari (±105
jam). Larva BSF memiliki tingkat pertumbuhan tinggi dan konversi pakan yang
optimal serta dapat memanfaatkan dengan baik berbagai jenis material sebagai
sumber makanan termasuk bahan organik yang telah mengalami pembusukan
seperti limbah dapur, limbah sayuran dan buah, limbah pengolahan makanan,
limbah peternakan hingga kotoran ternak. Larva BSF dapat mengonsumsi
makanan dengan cepat mulai dari 25 mg hingga 500 mg bahan segar per larva per
8
hari dan dapat mencapai ukuran panjang ±27 mm, lebar sekitar 6 mm dan berat
sampai 220 mg di akhir fase larva (±14 hari) (Newton et al. 2005, Park 2016).
Tepung maggot BSF sangat berpotensi di jadikan bahan pakan sumber
protein, karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi,kandungan protein
padalarva BSF sekitar 44,26% dan kandungan lemak mencapai 29,65 %.
Kandungan bahan kering pada larva BSF akan meningkat dengan semakin
bertambahnya umur,yaitu 31%-34% pada umur >25 hari atau pada fase pre-pupa,
dalam skala industri, produksi tepung larva dari tahap instar yang tua lebih
menguntungkan. Rachmawati et al. (2010) menyatakan bahwa larva yang lebih
besar (prepupa) sangat ideal digunakan untuk campuran pakan atau bahan baku
pelet karena mampu memenuhi kuantitas produksi. Larva muda lebih sesuai
diberikan untuk pakan ikan secara langsung, karena bentuknya yang kecil sesuai
dengan ukuran mulut ikan.
Menurut Fahmi et al.(2007) kandungan asam amino, asam lemak dan
mineral yang terkandung dalam larva tidak kalah dengan sumber-sumber protein
lainnya, sehingga larva BSF merupakan bahan baku yang ideal yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan. Jika ditinjau dari aspek lingkungan, penggunaan
BSF ini sangat menguntungkan, karena BSF memiliki kemampuan mengurai
materi organik dengan sangat baik (Holmes et al.,2012) dan juga jika di lihat dari
aspek kesehatan BFS aman digunakan karena memiliki resiko penyebaran
penyakit yang lebih rendah dari pada jenis lalat lainnya (Bullock et al.2013).
Adapun beberapa keuntungan dari lalat BSF sebagai berikut:
•Dapat mendegradasi sampah organik menjadi nutrisi untuk pertumbuhan nya
•Dapat mengkonversi sampah organik menjadi kompos dengan kandungan
penyubur yang tinggi.
•Larva dapat tumbuh pada berbagai bahan organik yang membusuk dari buah-
buahan dan sayuran hingga limbah dapur, limbah ikan dan kotoran ternak,
sehingga berpotensi menarik dalam mengurangi kritik lingkungan dengan
mentransformasi limbah dalam biomassa yang berharga (Popa dan Green,2012;
Nguyen et al., 2015).
9
Lalat BSF masih memiliki sifat yang sama dengan lalat pada umumnya,
lalat ini memakan apa saja yang mengandung bahan organik seperti sisa makanan,
sayuran, buah-buahan, daging dan bahkan bangkai. Lalat BSF berkembang dari
apa yang dimakannya, jika banyak memakan bahan media yang mengandung
protein tinggi maka kandungan protein kasar pada pupanya juga tinggi
(Tomberlinet al, 2002). Kualitas dan kuantitas media perkembangan larva lalat
sangat mempengaruhi kandungan nutrien tubuh serta keberlangsungan hidup larva
pada setiap tahap metamorfosis (Gobbi et al., 2013;Makkar et al. 2014). Beberapa
penelitian tentang media tumbuh larva BSF dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Hasil penelitian berbagai media tumbuh maggot BSF (Black soldier Fly)
Peneliti Media tumbuh BSF Hasil penelitian
Syahrizal et al. (2014) Limbah kelapa sawit Pemberian media limbah
dan kelapa sawit 4 kg (100%) dan
ampas tahu ampas tahu (0%) menghasilkan
produksi maggot tertinggi 1,66 ±
0,13 kg.
Amelia (2014) Bungkil kelapa sawit, Perlakuan limbah bungkil sawit
air limbar cair sapi, air dan limbah cair sapi menhasilkan
limbah ayam dan air kandungan protein larva BSF
sumur. yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya.
Suciati dan Hilman Dedak, ampas tahu, Produksi maggot tertinggi
(2017) ampas kelapa, dan dihasilkan oleh campuran dedak
tulang ayam. dengan tulang ayam.
Aldi et al. (2018) Bungkil kelapa sawit, Media tumbuh darah ayam
Limbah darah ayam. menghasilkan protein maggot
tertinggi yaitu (41,18%) dan
limbah ikan menghasilkan lemak
maggot terbaik yaitu (47,73%).
Montesqrit et al. Tepung ikan, tepung Media tumbuh berupa ampas tahu
(2019a) daging, bungkil kedelai, menghasilkan produksi maggot
bungkil kelapa dan BSF terbanyak dan tepung daging
ampas tahu. menghasilkan
kandungan protein tertinggi
Montesqrit et al. Tepung darah dan Media tumbuh berupa campuran
(2019b) ampas tahu fermentasi antara tepung darah (50%) dan
ampas tahu fermentasi (50%)
memberikan pengaruh baik
terhadap kandungan nutrisi
maggot sehingga kandungan
bahan kering (94,85%), protein
kasar (53,37%) dan lemak kasar
(31,28%).
2.4 Media tumbuh Sumber Omega-3 untuk Maggot Black Soldier Fly (BSF)
10
2.4.1. Minyak Ikan
Telah diketahui bahwa ikan laut selain mengandung komposisi gizi yang
tinggi seperti protein, vitamin dan mineral juga mengandung asam lemak tak
jenuh omega-3. Salah satu kelebihan dari lemak ikan adalah mengandung asam
lemak tak jenuh yang relatif lebih banyak, terutama asam lemak tidak jenuh C20,
C22, C24, dari pada asam lemak jenuhnya. Pada umumnya jenis asam lemak yang
terkandung dalam lemak ikan hampir sama dengan asam lemak dari tumbuhan
atau hewan lainnya. Perbedaannya adalah terletak pada dominasi dari jenis asam
lemaknya. Asam lemak utama pada lemak dan minyak ikan adalah berkonfigurasi
omega-3, sedangkan pada lemak tumbuhan mengandung asam lemak dengan
konfigurasi omega-6 (Bimbo, 1987 dalam Sukarsa, 2004).
Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan tropis yang mengandung
komponen asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal ini
dikarenakan ikan lemuru di alam banyak memakan plankton-plankton maupun
mikro alga yang banyak memproduksi komponen asam lemak omega-3. Minyak
ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan lemuru. Ikan lemuru
(Sardinella Longiceps) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang banyak
terdapat di perairan Indonesia. Sarker (2020) menjelaskan bahwa asam lemak
yang termasuk ke dalam asam lemak omega-3 yaitu EPA (Eicosa Pentaenoic
Acid), DHA (Docosa Hexaenoic acid) dan Linoleat. EPA dan DHA merupakan
asam lemak omega-3 yang lebih dominan pada minyak ikan (Manduapessy,
2017).
Minyak ikan lemuru merupakan hasil sampingan pembuatan tepung ikan
dan pengalengan ikan lemuru (Sardinella Longiceps). Pengalengan satu ton ikan
lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu
ton bhsn mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil
samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi, 1990). Minyak ikan lemuru
berpotensi sebagai sumber asam lemak n-3. Asam lemak n-3 merupakan jenis
asam lemak n-3 merupakan jenis asam lemak yang sangat bermanfaat bagi tubuh
dan dapat menjadi komoditi yang berharga sangat mahal (Estiasih, 1996). Minyak
ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya berwarna
11
kuning dan bau khas inyak ikan, Sedangkan dari proses penepungan umumnya
berwarna coklat gelap dan baunya menyengat (Montesqrit, 2007).
2.4.2. Tanaman Krokot (Portulaca oleracea L)
Tanaman krokot merupakan jenis tanaman liar yang banyak dijumpai
disekitar manusia, tumbuh di lahan persawahan, ladang dan juga dipinggir jalan.
Tanaman krokot (Portulaca oleracea L) Krokot mempunyai konsentrasi asam
lemak omega-3 tertinggi diantara jenis sayuran yang ada dan mengandung β-
sitosterol, bagian tanaman ini juga mengandung l-norepinefrin, karbohidrat,
fruktosa, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan kaya akan asam askorbat
(Rashed et al., 2004).
Tanaman krokot mengandung vitamin A, B dan C, garam kalium (KCl,
KSO4, KNO3), dopa, dopamine, acid, nicotin, tannin serta saponin, (Hariana,
2005). Rahardjo (2007) menyatakan bahwa tanaman krokot dapat dijadikan
sebagai sumber antioksidan alami, hal ini berkaitan pada asam lemak omega 3
yang dikandungnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Simopoulus
(1992), menjelaskan bahwa kandungan nutrisi pada krokot adalah 3,4 gr
karbohidrat, 1,30 g protein, 0,1 g lemak, 0,480 mg niacin, 65 mg kalsium, 44 mg
fosfor, vitamin A, vitamin C, 1,9 mg betakaroten, 0,047 mg thiamin, 12,2 mg alfa
tocoferol, 26,6 mg asam askorbat dan 300-400 mg omega-3 dalam 100 gram
krokot.
Nutrisi yang terkandung dalam krokot sangat kompleks dan juga
fungsional. Jumlah nutrisi dalam 100g krokot terdapat 2,2% karbohidrat, 1,7%
protein, 0,5% lemak, 1,2% mineral dan 1,1 serat terlarut dan 3,5% serat tak
terlarut Irawan et al., 2003). Kisaran kandungan lemak omega-3 antara lain
523,14 mg/ 100g sampel daun; 216,17 mg/ 100g sampel bunga, dan 148,87 mg/
100g sampel batang (Siriamornpun and Suttajid, 2010)
2.4.3. Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)
12
dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang berguna seperti kemungkinan
mempunyai kandungan omega-3. Rose and Connolly (1999) menjelaskan bahwa
Omega-3 banyak terkandung dalam ikan laut. Ikan laut seperti tuna, salmon,
hering dan mackerel adalah jenis ikan dengan kandungan DHA tertinggi namun
jenis-jenis ikan ini adalah jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sehingga rumput laut menjadi solusi untuk memperoleh kandungan omega-3 yang
lebih ekonomis.
Rumput laut jenis E.spinosum merupakan alternatif dalam rangka upaya
meningkatkan pendapatan para petani ataupun nelayan serta dalam pemanfaatan
lahan di wilayah pesisir pantai. Rumput laut jenis E.spinosum memiliki nilai
ekonomis yang potensial karena mengandung karagenan yang banyak
dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi serta industri lainnya
seperti tekstil, kertas, fotografi, pasta dan pengalengan ikan (Abdan et al. 2013).
Gunawan dan dedi (2012) menjelaskan bahwa pada rumput laut jenis E.spinosum
memiliki kandungan omega-3 total 5,46%. Sedangkan Nurasmi dan Susanti
(2019) menemukan bahwa kandungan omega-3 pada rumput laut adalah 9,4 gram/
100 gram.
13
merupakan kelompok bakteri gram-positif yang tidak membentuk spora dan dapat
memfermentasikan karbohidrat untuk menghasilkan asam laktat. Ewuola et. al.
(2011) menjelaskan bahwa dengan penambahan probiotik akan dapat
meningkatan nilai kecernaan zat makanan pada bahan.
Menurut Veldkamp & Bosch (2015) profil asam amino yang terkandung
dalam tepung BSF mirip dengan tepung kedelai, khususnya kandungan metionin
atau metionin + sistin yang merupakan asam amino esensial untuk pertumbuhan
babi dan ayam pedaging. Pemberian tepung BSF pada ransum akan memenuhi
kebutuhan asam-asam amino tersebut. Kandungan protein pada larva BSF cukup
tinggi, yaitu 44,26% dengan kandungan lemak mencapai 29,65%. Nilai asam
amino, asam lemak dan mineral yang terkandung di dalam larva juga tidak kalah
dengan sumber-sumber protein lainnya, sehingga larva BSF merupakan bahan
baku ideal yang dapat digunakan sebagai pakan ternak (Fahmi et al. 2007).
Tepung BSF ini telah banyak digunakan sebagai pakan unggas.
Penggunaan tepung BSF tersebut dapat menggantikan penggunaan bahan pakan
sumber protein. Pemanfaatan tepung BSF sebagai pakan pada unggas telah
banyak diteliti oleh para peneliti, akan tetapi substitusi bahan pakan sumber
protein seperti tepung daging, tepung ikan atau bungkil kedele dengan tepung
maggot belum banyak dilakukan. Hasil-hasil penelitian pemanfaatan tepung
maggot untuk ternak unggas dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Adenji et al., Ayam Tepung maggot dpt menggantikan 100% bugkil
2007 pedaging kacang tanah tanpa menganggu, performa produksi.
15
Burung puyuh pada awalnya adalah burung liar. Pada tahun 1870, di
Amerika Serikat burung puyuh mulai di ternakkan,. Setelah saat itu, burung puyuh
terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Puyuh
mulai berkembang di Indonesia pada akhir tahun 1979. Permintaan telur puyuh di
Indonesia cukup tinggi maka puyuh petelur berpotensi untuk di kembangkan di
Indonesia. Puyuh petelur merupakan salah satu unggas yang mempunyai produksi
telur yang tinggi dan telur puyuh juga mengandung protein yang tinggi.
Klasifikasi Coturnix coturnix japonica menurut Agromedia (2002) adalah sebagai
berikut :
Kelas : Aves (Bangsa Burung )
Ordo : Galiformes
Sub Ordo : Phasianoidae
Famili : Phasianidae
Sub Famili : Phasianidae
Genus : Coturnix
Spesies : Coturnix coturnix Japonica
16
pada tahun pertama bertelur. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009)
menyatakan bahwa berat telur puyuh rata-rata mencapai 10 gram dengan ciri-ciri
warna telur coklat tua, biru, putih dengan bintik-bintik hitam, coklat dan biru.
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2003) menyatakan bahwa pakan
merupakan faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan beternak puyuh, karena
80% biaya yang dikeluarkan oleh peternak puyuh adalah untuk pembelian pakan.
Menurut Rasyaf (1991) makanan yang dikonsumsi digunakan untuk kebutuhan
hidup pokok, regenerasi sel, membentuk daging, lemak, telur, dan pertumbuhan
bulu, oleh sebab itu penyusunan ransum yang tepat akan mempengaruhi
kelangsungan hidup dan produksi puyuh. Menurut Prabakan (2003) keuntungan
memelihara burung puyuh yaitu tidak mempunyai desain khusus untuk kandang,
ukuran lantai tidak terlalu besar, dapat dipasarkan pada umur 5 minggu dan umur
7 minggu sudah mulai bertelur, modal dapat kembali dalam waktu yang cepat,
manajemen pemeliharannya lebih mudah karena lebih resisten terhadap penyakit
dibandingkan ayam walaupun tidak divaksin.
Menurut Djulardi et al. (2006) ransum puyuh petelur mengandung 20%
protein dan 2800 kkal/kg energi metabolisme. Kandungan zat makanan puyuh
petelur adalah protein minimal 17%, energi metabolisme minimal 2700 kkal/kg,
lemak kasar maksimal 7%, serat kasar maksimal 7%. Menurut Anggorodi (1995)
kecepatan pertumbuhan puyuh berhubungan erat dengan protein dalam ransum,
sebab protein yang di konsumsi ternak akan digunakan untuk membentuk jaringan
baru, memelihara jaringan tubuh dan mengganti jaringan tubuh yang sudah rusak.
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009) ransum dalam bentuk tepung
merupakan ransum yang terbaik untuk dikonsumsi puyuh karena dilihat dari sifat
puyuh yang suka mematuk kawannya, jika makanan dalam bentuk tepung maka
puyuh akan mempunyai kesibukan lain yaitu mematuk-matuk pakannya.
Kebutuhan nutrisi untuk ransum puyuh petelur dapat dilihat pada Tabel 3;
17
( 0-5 minggu) (6 minggu keatas)
2 Protein (%) 27 20
3 Lemak Kasar (%) 2,80 3,96
18
III. MATERI DAN METODA
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur lalat Black Soldier
Fly (Hermetia illucens), ampas tahu, darah segar, probio-FM, minyak ikan, daun
krokot, rumput laut dan bahan pakan (Jagung, Bungkil kedele, tepung daging dan
tulang, tepung ikan, tepung batu, Premix).
3.1.2 Ternak Percobaan
Ternak percobaan pada penelitian ini yaitu puyuh petelur (Coturnix
coturnix japonica) sebanyak 180 ekor. Umurnya 9 minggu (63 hari) yang telah
berproduksi 20%. Puyuh tersebut dibeli dari peternak di Kota Payakumbuh,
Provinsi Sumatera Barat.
3.1.3 Kandang Percobaan dan Perlengkapan
Tempat media tumbuh maggot BSF yaitu kotak kardus yang beralaskan
plastik dengan ukuran 30cm x 20cm x 12cm yang ditutupi dengan jaring, rak
lemari tempat wadah untuk pembesaran maggot lalat Black Soldier Fly, wadah
tempat bibit telur lalat Black Soldier Fly, timbangan digital, spatula/sendok untuk
mengambil dan mengaduk media selama penelitian, baskom sebagai tempat
fermentasi media.
Kandang puyuh petelur yang digunakan dalam penelitian yaitu kandang
baterai koloni sebanyak 20 buah yang sudah terdapat tempat pakan, tempat air
minum, tempat penampungan feses dan tempat penampung telur. Setiap unit
kandang berukuran 50 x 40 x 20 cm dan setiap unit berisi 9 ekor puyuh. Lampu
digunakan sebagai alat pemanas dan penerangan pada malam hari. Peralatan
kandang yang digunakan yaitu tempat pakan, tempat air minum, ember, kain lap,
kawat, timbangan analitik, lampu 45 watt yang diletakkan pada 4 titik di sudut
kandang, dan rak telur. Kandang yang akan digunakan perlu dibersihkan terlebih
dahulu dengan dicuci air bersih dan selanjutnya disemprot dengan rodallon.
Peralatan yang digunakan untuk pengukuran berat telur yaitu timbangan analitik.
19
3.1.4 Ransum Penelitian
Bahan pakan yang digunakan sebagai ransum percobaan dalam penelitian ini
yaitu tepung maggot, bungkil kedelai, MBM, jagung, dedak padi, tepung batu,
corn gluten meal dan topmix. Ransum yang akan diberikan disusun dan diaduk
sendiri yang diformulasikan dengan kandungan protein 20% dan energi
metabolisme 2800 kkal/kg (Djulardi et al, 2006). Kandungan zat-zat makanan dan
energi metabolis bahan pakan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 5.
Komposisi ransum penelitian dan kandungan zat makanan dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 5. Kandungan zat-zat makanan dan energi metabolis bahan pakan penyusun
ransum
Bahan Pakan Kandungan zat – zat makanan
PK LK SK ME Ca P Meta Lysa
b
Jagung 8,58 3,80 2,91 3340 0,06 0,01 0,20 0,20
Dedak padib 10,60 4,09 10,84 1900 0,70 1,5 0,2 0,5
Bungkil kedelaib 40,07 1,71 2,73 2540 0,70 0,31 0,7 3,2
7
Tepung daging 43,81 0,96 3,96 2208 8,00 3,11 0,7 3,6
dan tulangb 8
Tepung Maggotb 40,01 22,63 11,45 3714 1,07 0,61 0,9c 2,2c
Corn gluten meald 51,67 2,85 0,39 3770 0,77 0,66 1,8 1
8
Top mixc 0,00 0,00 0,00 0,00 0,06 1,14 0,3 0,3
Tepung batu 0,00 0,00 0,00 0,00 38,0 0,17
3
Sumber : a Leeson dan Summers (2001), bHasil analisa laboratorium non ruminansia
(2020), c Montesqrit et al (2019), d Medion (2019)
20
Kandungan ransum Perlakuan
penelitian
R1 R2 R3 R4 R5
Protein Kasar 20,08 20,03 20,03 20,01 20,01
Lemak Kasar 2,87 3,53 4,18 4,84 5,49
Serat Kasar 3,35 3,69 4,01 4,33 4,65
ME (kkal/kg) 2798,36 2800,34 2803,60 2806,22 2809,48
Ca 1,79 1,65 1,69 1,65 1,65
P 0,71 0,72 0,74 0,72 0,72
Metionin 0,40 0,40 0,39 0,40 0,40
Lysin 1,15 1,09 1,04 1,09 1,09
21
B=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 1%
C=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 2%
D=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 3%
Model matematika dari rancangan yang digunakan menurut Steel and
Torrie (1995):
Keterangan :
= Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan-j
µ = Nilai tengah umum
= Pengaruh Perlakuan ke-i
SK : Sumber Keragaman
Db : Derajat Bebas
JK : Jumlah Kuadrat
KT : Kuadrat Tengah
JKP : Jumlah Kuadrat Perlakuan
KTP : Kuadrat Tengah Perlakuan
JKS : Jumlah Kuadrat Sisa
KTS : Kuadrat Tengah Sisa
JKT : Jumlah Kuadrat Tengah
22
3.2.3 Parameter yang diamati
1. Kandungan Bahan Kering
2. Protein kasar
Kandungan nitrogen (N) bahan dikalikan dengan faktor protein rata-rata
(6,25) karena rata-rata nitrogen dalam protein adalah 16%, sehingga faktor
perkalian protein yaitu 100/16 = 6,25. Protein terdiri dari asam-asam amino yang
saling berikatan (ikatan peptida), amida, amina dan semua bahan organik yang
mengandung nitrogen. Protein kasar adalah semua zat yang mengandung nitrogen.
Metode yang sering digunakan dalam analisa protein adalah metode Kjeldhal
yang melalui proses destruksi, destialsi, titrasi dan perhitungan. Dalam hal ini
yang dianalisis adalah unsur nitrogen bahan, sehingga hasilnya dikalikan dengan
faktor protein untuk memperoleh nilai protein kasarnya.
23
Kadar Protein Kasar = (Y-Z) x N x 0,014 x C x 6,25 x 100%
X
Keterangan :
X = Berat sampel
Y = Jumlah mL NaOH peniteran blanko
Z = Jumlah mL NaOH peniteran sampel
N = Normalitet NaOH
C = Pengenceran (yaitu 500 mL larutan yang akan didestilasi, hanya diambil 10
mL saja sehingga pengenceran 500/10 = 50)
3. Lemak kasar
Lemak kasar adalah semua senyawa bahan yang dapat larut dalam pelarut
organik. Metode yang digunakan yaitu extraksi soxhlet dengan pelarut
diantaranya dietil eter, benzena, kloroform, dan sebagainya. Dalam analisis lemak
disebut dengan istilah lemak kasar karena dalam analisisnya yang diperoleh
adalah suatu zat yang larut dalam proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut
organik. Kemungkinan dalam pelarut organik yang terlarut tidak hanya lemak
tetapi juga seperti gliserida, klorofil, asam lemak terbang, kolesterol, lechitin dan
lain sebaginya, dimana zat-zat tersebut tidak termasuk zat makanan tetapi larut
dalam pelarut organik.
Kadar Lemak = Y – Z x 100%
X
Keterangan :
X = Berat sampel (gram)
Y = Berat (kertas sari + sampel) setelah keluar dari oven 105-110°C
Z = Berat (kertas sari + sampel) yang telah diekstraksi
4. Performa telur puyuh
a. Produksi Telur
Produksi telur yang dihasilkan dapat dihitung dengan cara jumlah telur
yang dihasilkan setiap hari dibagi dengan jumlah puyuh yang hidup dan dikalikan
dengan 100%.
b. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara jumlah pakan yang
diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa setiap harinya dengan
satuan gram/ekor/hari.
c. Massa Telur
24
Massa telur dapat dihitung dengan cara produksi telur perhari dikalikan
dengan berat telur dan dibagi dengan jumlah puyuh yang hidup dengan satuan
gram/ekor/hari.
d. Konversi Ransum
Konversi ransum dapat dihitung dengan cara konsumsi ransum dibagi
dengan massa telur.
4. Kualitas Telur Puyuh
a. Berat Telur
Berat telur dihitung dengan menimbang berat telur. Berat telur dapat
diketahui berdasarkan rumus:
Berat telur (g) = Jumlah berat telur yang dihasilkan
Jumlah telur yang dihasilkan
25
b. Kandungan kolesterol kuning telur
26
makanan. Tambahkan media secara berkala apabila media tumbuh sudah mulai
habis. Setelah 28 hari, prapupa dikeluarkan dari wadah dan dicuci dengan air
bersih agar maggot tidak bercampur dengan bahan pakan. Kemudian dikeringkan
guna mengurangi sisa air dan kemudian dilakukan penimbangan terhadap maggot
BSF. Setelah ditimbang, maggot BSF dimatikan dengan cara disiram dengan air
panas agar maggot tidak aktif. Setelah itu maggot dikeringkan dioven 60ºC,
digiling dan dijadikan tepung dan siap dianalisi kandungan bahan kering, protein
kasar dan lemak kasar.
Setelah didapatkan campuran ampas tahu dan darah segar fermentasi yang
terbaik, maka tahap selanjutnya penambahan media tumbuh sumber omega-3
yaitu minyak ikan, daun krokot, dan rumput laut. Maggot BSF dikembangkan
dan setelah panen dan dijadikan tepung, kemudian dianalisa kandungan omega-3
dari maggot BSF. Setelah didapatkan kandungan omega-3 dari maggot BSF yang
terbaik, maka dilakukan perbanyakan untuk tahap aplikasi pada puyuh petelur.
Alur penelitian mulai dari penyediaan media maggot BSF hingga menghasilkan
tepung maggot tinggi protein dan asam lemak omega-3 sampai aplikasinya
kedalam ransum puyuh petelur dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
TELUR BSF
TELUR BSF
(Black Solder Fly)
(Black Solder Fly)
27
(
(
Diletakan dan ditetaskan pada media ampas tahu dan
dedak padi halus
Dipindahkan ke media tumbuh perbandingan ampas tahu
dan darah segar dengan pemberian level probiotik
Probio-FM
25 P50 75 25 50 P 75 25 50 P 75
ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg
P P P P P P P P P
Maggot segar Fase
= Darah + = Darah + = Darah +
Dimatikanprepupa
dengan air panas
AT dan dioven 48 AT
jam suhu AT
= = = = 0
= = = = =
60 C
Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara
h+ h+ h+ h+ Maggot
h+ h+ h+ h+ h+
Digiling
kering AT AT
AT AT AT AT AT AT AT
Tepung
ANALISA
maggot
Telurmaggot
maggotBSF
BSF
Telur
Tepung
maggot
ANALISA
0% 1% 3% 5%
A1 C3 B3 D2
000000000 000000000 000000000 000000000
C4 B1 D4 A2
000000000 000000000 000000000 000000000
D3 C2 A4 D1
000000000 000000000 000000000 000000000
B4 A3 C1 B2
000000000 000000000 000000000 000000000
Gambar 5: Bagan Penempatan Puyuh dalam kandang
29
pemeliharaan. Air minum diberikan secara terus menerus (adlibitum). Kandang
dibersihkan setiap hari mulai dari tempat minum, tempat pakan, dan tempat
kotoran puyuh agar kebersihan kandang selalu terjaga. Perlakuan ransum dalam
penelitian ini dilakukan selama 6 minggu.
Ransum yang diberikan yaitu ransum adaptasi dan ransum perlakuan,
dilakukan penyiapan bahan dan penyusunan ransum perlakuan. Proses penyiapan
ransum perlakuan dilakukan dengan cara ditimbang, disusun, dan diaduk. Ransum
perlakuan yang telah ditimbang lalu diberi label untuk mengetahui ransum
perlakuan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Amelia , R. R. 2014. Studi pengaruh fermentasi bungkil sawit dan limbah cair
sapi terhadap protein maggot (Hermetia illucens) study on the effect of
fermentation and liquid waste oil cow on protein maggot (Hermetia
illucens). Fiseries III- 1 : 14 – 17. ISSN 2301-4172.
Istiqomah, S., Mirni L., dan Kustiawan T. P.. 2017. Potensi penambahan minyak
ikan lemuru pada pakan komersial terhadap kandungan asam lemak
omega-3 dan omega-6 daging belut sawah (Monopterus albus ). Jurnal
Iimiah Perikanan dan Kelautan. 9(1):37-46
Bosch G, Zhang S, Dennis GABO, Wouter HH. 2014. Protein quality of insects as
potential ingredients for dog and cat foods. J Nutr Sci. 3:1-4.
Rambet V, Umboh JF, Tulung YLR, Kowel YHS. 2016. Kecernaan protein dan
energi ransum broiler yang menggunakan tepung maggot (Hermetia
illucens) sebagai pengganti tepung ikan. J Zootek. 36:13-22.
Subamia, I.W. Saurin,M dan Fahmi, R. M.2010. Potensi Maggot sebagai Salah
Satu Sumber Protein Pakan Ikan. Jurnal Loka Riset Budi daya Air Tawar.
Depok.
Djulardi, A., h. Muis dan S. A. Latif. 2006. Nutrisi Aneka Ternak dan Satwa
Harapan. Andalas University Press. Padang.
31
Handayani, T.. 2011. Kandungan nutrisi pada rumput laut. Oseana ISSN 0216-
1877. 36(2):1-10
Rahardjo M. 2007. Krokot (Portulaca oleracea) gulma berkhasiat obat
mengandung Omega 3. Warta Penelitian dan Pengembangan. 1:1-4.
Manduapessy K. R. W. (2017). Profil Asam Lemak Ikan Layang Segar
(Decapterus macrosama). Majalah Biam Vol 13 (1): 42-46Winarno, F.G.
(2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sarker, S. (2020). By-products of fish-oil refinery as potential substrates for
biogas production in Norway: A preliminary study. Results in Engineering.
Vol. 6. https://doi.org/10.1016/j.rineng. 2020.100137
Simopoulos A.P, MD, FACN, Helen A. Norman, PhD, James E. Gillaspy, PhD,
and James A. Duke, PhD. 1992. Common Purslane: a source of omega-3
fatty acids and antioxidants. Journal of the American College of Nutrition,
Vol. 11, No. 4, 374-382.
Čičková H, Newton GL, Lacy RC, Kozánek M. 2015. The use of fly larvae for
organic waste treatment. Waste Manag. 35: 68-80.
Sandy p, Dengah., Umboh J. F., Rahasia C. A., dan Kowel Y. H. S. 2016.
Pengaruh Penggantian Tepung Ikan dengan Tepung Maggot (Hermetia
illucens) dalam Ransum Terhadap Performans Broiler. Jurnal Zootek. Vol.
36. No. 1 : 51 – 60Ewuola, Amadi, and Imam. 2011. Performance
evaluation and nutrient digestibility of rabbits fed dietary prebiotics,
probiotics and symbiotics. International Journal of Applied Agricultural
and Apicultural Research. IJAAAR 7 (1&2): 107-117.
Lesson, S. and J. D. Summers. 2001. Nutrition of the chicken, 4th Edition,
pp,331-428 ( University Books, P. O. Box 1326, Guelph, Ontario, Canada
NIH 6N8). NRC. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National
Academy Press, WashingtonManin, F., E. Hendalia, Yusrizal, dan Yatno.
2010. Penggunaan Simbiotik yang Berasal dari Bungkil Inti Sawit dan
Bakteri Asam Laktat Terhadap Performans, Lingkungan dan Status
Kesehatan Ayam Broiler. Laporan Penelitian Strategi Nasional.
Manin, F., E. Hendalia, Yatno dan Pudji R.. 2014. Dampak pemberian probiotik
Probio_FM terhadap status kesehatan ternak itik kerinci. Jurnal Ilmu
Ternak. 1(2):7-11
Montesqrit, Mahata E.M, Amizar R, Adrizal dan Efrizon A. 2019b. Pengaruh
Limbah Peternakan Sebagai Media Tumbuh Larva BSF (Black Soldier
Fly/Hermetia Illucens) Terhadap Kandungan Bahan Kering, Protein Kasar
Dan Lemak Kasar Tepung Maggot BSF. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. “Membangun Peternakan
Berkelanjutan menuju Era Industri 4.0” Fakultas Peternakan Universitas
Jambi 2-3 Oktober 2019 (unpublish)
Martina. E. R. Montong., Monalisa M Nangoy., Wapsiaty Utiah., dan Mursye. N.
Regar. 2017. Pemanfaatan Tepung Manure Hasil Degradasi Larva Lalat
32
Hitam (Hermetia illucens) Terhadap Performans Ayam Kampung Layer.
Jurnal Zootek. Vol. 37. No. 2 : 370 – 377.
Mawaddah S., Hermana W., dan Nahrowi. 2018. Pengaruh Pemberian Tepung
Deffated Larva BSF (Hermetia illucens) terhadap Performa Produksi
Puyuh Petelur (Coturnix coturnix japonica). Jurnal Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan. Vol. 16. No. 3 : 47 – 51.
33
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
Muhammad Rido lahir pada tanggal 19 September 1997 di Koto Baru, Jr. IX
Pancahan, Kec. Rao, Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Merupakan anak ke-
empat dari pasangan Bapak A. Nizar dan Ibu Surbaidah. Pada tahun 2010
pada tahun 2013. Pada tahun 2016 penulis terdaftar menjadi mahasiswa di
penulis terdaftar sebagai anggota dalam organisasi FSI (Forum Studi Islam)
Andalas. Pada tahun 2017 Penulis masih terdaftar di organisasi di FSI (Forum
bidang. Masih aktif terlibat organisasi kampus pada tahun 2018 sampai Desember
35
Additive Alami Menggantikan Agp (Antibiotic Growth Promoter) Dalam
MUHAMMAD RIDO
36