Anda di halaman 1dari 37

PRODUKSI TEPUNG MAGGOT BSF (Black soldier fly) KAYA

PROTEIN DAN ASAM LEMAK OMEGA-3 SERTA


PENGARUH PEMBERIANNYA TERHADAP PERFORMA
DAN KUALITAS TELUR PUYUH PETELUR PETELUR

TESIS

Oleh :

MUHAMMAD RIDO
1610611095

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Peternakan Pada Fakultas Peternakan Universitas
Andalas

PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020

i
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan merupakan komponen penting dalam industri peternakan.


Ketersediaan pakan menjadi kendala yang umum dalam usaha peternakan, mulai
dari ketersediaan bahan hingga harga bahan itu sendiri. Biaya pakan memiliki
peranan yang besar dalam usaha peternakan yaitu sekitar 60–70%. Apabila biaya
pakan ini dapat ditekan, maka keuntungan peternakakan lebih besar. Upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan menekan biaya ransum dengan cara memanfaatkan
bahan pakan alternatif yang murah dan dapat sebagai pengganti bahan baku pakan
yang masih impor. Dalam penyusunan ransum unggas, dikenal pakan sumber
energi dan pakan sumber protein. Kandungan protein kasar pada bahan pakan
sumber protein, diatas 20% yang dapat ditemukan pada beberapa bahan pakan
yang berasal dari tanaman dan bahan pakan berasal dari hewan. Bahan pakan
sumber protein berasal dari tanaman seperti bungkil kelapa, bungkil kedele,
ampas tahu dan bahan pakan berasal dari hewan seperti tepung daging, tepung
darah, tepung keong, dan tepung ikan.
Pakan sumber protein harganya relatif mahal bagi peternak, seperti tepung
ikan, tepung daging, bungkil kedele dan bahan pakan sumber protein lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan bahan pakan sumber protein alternatif yang tersedia
dan dapat menekan biaya produksi. Salah satu pakan sumber protein alternatif
yang dapat digunakan dalam penyusunan ransum unggas adalah tepung maggot
lalat BSF (Black soldier fly). Cičková et al. ( 2015) menjelaskan bahwa asal lalat
BSF ini dari Amerika yang selanjutnya tersebar pada wilayah tropis dan subtropis
di dunia. Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjadi tempat
tersebarnya lalat BSF karena memiliki iklim tropis dan ideal untuk budidaya BSF
serta dikembangkan secara massal.
Tepung maggot merupakan tepung yang diperoleh dari larva lalat BSF
yang dibesarkan dan diolah menjadi tepung. Tepung ini merupakan bahan pakan
alternatif yang bisa menggantikan bahan pakan sumber protein yang memenuhi
persyaratan. Persyaratan tersebut adalah kandungan gizi yang cukup tinggi,
tersedia secara kontiniu, dan terdapat dalam jumlah banyak sehingga bisa

1
diproduksi secara massal, serta harganya murah. Hadadi et al. (2007)
mengemukakan bahwa kandungan protein tepung maggot cukup tinggi, yaitu
sekitar 45,01%. Kemudian Bosch et al. (2014) menambahkan bahwa kandungan
protein larva BSF yaitu 40-50% dengan kandungan lemak berkisar 29-32%
sehingga memiliki potensi yang baik sebagai bahan pakan sumber protein.
Menurut Rambet et al. (2016) menyimpulkan bahwa tepung BSF berpotensi
sebagai pengganti tepung ikan hingga 100% untuk campuran pakan ayam
pedaging tanpa adanya efek negatif terhadap kecernaan bahan kering (57,96-
60,42%), energi (62,03-64,77%) dan protein (64,59-75,32%), walaupun hasil
yang terbaik diperoleh dari penggantian tepung ikan hingga 25% atau 11,25%
dalam pakan.
Sebagai sumber bahan baku pakan, produk berbasis insekta juga harus
aman dari kontaminan kimia. Subamia et al. (2010) menambahkan bahwa maggot
memiliki fungsi pakan alternatif untuk ikan yang dapat diberikan dalam keadaan
segar. Walaupun penggunaan maggot tidak bisa dijadikan sebagai satu satunya
pakan, namun maggot dapat diaplikasikan bersama pakan komersil sehingga biaya
produksi dapat ditekan. Protein kasar yang terkandung dalam tepung maggot
terutama protein kasar tergantung pada media tumbuh larva BSF. Untuk
memperoleh pupa dengan kandungan protein kasar yang tinggi, maka bahan
media tumbuh yang diberikan tinggi akan protein kasar.
Montesqrit et al. (2019a) telah melakukan penelitian mendapatkan
penggunaan media tumbuh dengan bahan pakan sumber protein tepung ikan,
bungkil kedele, tepung daging, ampas tahu dan bungkil kelapa sebagai media
tumbuh larva BSF. Hasil penelitian didapatkan protein kasar larva BSF tertinggi
pada media tumbuh yang tinggi kandungan protein kasar seperti tepung ikan,
bungkil kedele dan tepung daging akan tetapi memiliki tingkat pertumbuhan yang
rendah dibandingkan pemberian ampas tahu. Selanjutnya Montesqrit (2019b)
kombinasi pemberian media tumbuh tersebut yaitu ampas tahu dicampur dengan
tepung tepung ikan atau tepung daging menghasilkan pertumbuhan cepat dan
protein tinggi. Pemberian tepung ikan atau tepung daging dalam media tumbuh
larva BSF menjadi kontradiktif karena bahan yang digunakan harus dibeli dan
harganya mahal.

2
Berdasarkan hal tersebut selanjutnya Montesqrit (2019b) melakukan
penelitian berdasarkan bahan pakan non konservatif, tepung jeroan ikan, jeroan
ayam dan darah. Hasil yang didapatkan pemberian kombinasi ampas tahu dan
tepung ikan menghasilkan protein kasar yang tinggi. Kelemahan dari penelitian
ini yaitu penggunaan tepung darah yang dibuat dengan cara darah segar yang
direbus 45 menit 1000C, dijemur atau dioven selama 6 hari dan digiling yang
kemudian dicampurkan dengan ampas tahu dan difermentasi menggunakan
yakult. Hal ini tentu pekerjaan yang rumit, maka perlu dilakukan kajian media
tumbuh ampas tahu dan limbah darah dalam bentuk segar yang difermentasi
dengan probio_FM yang mengandung asam laktat yang sudah teruji. Beberapa
penelitian pendahuluan telah dilakukan yaitu darah segar yang dicampur dengan
ampas tahu tanpa diberi fermentor menyebabkan larva BSF kurang menyukai dan
tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan ampas tahu dan darah segar yang
difermentasi. Imbangan ampas tahu dan darah segar 1:1 atau 1:5 juga kurang
disukai larva BSF, disebabkan oleh media nya encer. Demikian juga pemberian
level probiotik yang terlalu tinggi, maka perlu evaluasi imbangan ampas tahu
yang optimal dan level probiotik yang sesuai.
Selanjutnya ada keinginan menjadikan tepung maggot selain tinggi protein
juga tinggi asam lemak omega-3. Diana (2012) menjelaskan bahwa asam lemak
omega-3 adalah asam lemak poli tak jenuh yang memiliki sebuah ikatan rangkap-
dua dimulai setelah atom karbon ketiga dari ujung salah satu rantai karbonnya.
Salah satu ujung yang dimiliki asam lemak ini adalah asam (-COOH) dan juga
ujung yang lain yaitu metil (-CH3). Ikatan rangkap dua pertama berlokasikan
berlawanan dari ujung metilnya, dikenal sebagai ujung omega (ω). Untuk
mendapatkan tepung maggot BSF tinggi omega-3, maka perlu ditambahkan bahan
sumber omega-3 pada media tumbuh maggot BSF. Dengan demikian, hasil
terbaik dari penelitian pendahuluan perbandingan ampas tahu dan limbah darah
serta level probiotik yang kemudian ditambahkan media lain sebagai sumber asam
lemak omega-3. Penambahan media sumber asam lemak omega-3 diharapkan
dapat menjadikan maggot BSF selain tinggi protein juga tinggi akan asam lemak
omega-3.

3
Omega-3 banyak terkandung dalam bahan hewani dan juga beberapa
bahan nabati. Salah satu bahan yang mengandung asam lemak omega-3 dan dapat
digunakan sebagai bahan tambahan dalam media tumbuh maggot BSF adalah
minyak ikan, rumput laut dan tanaman krokot. Minyak ikan mengandung total
asam lemak omega-3 yang cukup tinggi yaitu 14,064% (Istiqomah et. al. 2017).
Selanjutnya pada rumput laut jenis Euchema spinosum terkandung asam lemak
omega-3 yaitu 5.46% (Gunawan dan dedi, 2012). Kemudian Rifai (2018)
mendapatkan kandungan asam lemak omega-3 pada daun krokot dalam bentuk
segar sekitar 0,12% ataupun 1,6 g/100 g dalam bentuk kering.
Pada penelitian penggunaan tepung maggot BSF dalam ransum ternak
unggas, level penggunaan tepung maggot BSF perlu diperhatikan. Penelitian
Rahmad (2020) dengan level penggunaan tepung maggot BSF pada ayam
pedaging mendapatkan level pemberian tepung maggot BSF terbaik yaitu 3% dan
6%, sedangkan level pemberian 9% dan 12% menunjukkan performa yang
menurun. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurnia (2020) dalam ransum puyuh
petelur mendapatkan level terbaik pada level 3%, dan pada level tinggi yaitu 12%
performa yang dihasilkan menurun.
Untuk dapat melihat pengaruh penambahan tepung maggot BSF yang
tinggi akan Protein dan juga asam lemak omega-3 maka perlu dilakukan
percobaan ke ternak, salah satunya puyuh petelur. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian “Produksi tepung maggot BSF (black soldier fly) kaya protein dan
asam lemak omega-3 serta pengaruh pemberiannya terhadap performa dan
kualitas telur puyuh petelur”

1.2 Rumusan Masalah

Apakah tepung maggot BSF (Black soldier fly) tinggi protein dan asam
lemak omega-3 akan mempengaruhi performa dan kualitas Puyuh Petelur?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat memproduksi tepung maggot


BSF tinggi akan protein dan asam lemak omega-3 dan melihat pengaruh
pemberiannya terhadap Puyuh Petelur.

4
1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada


peternak dan pabrik pakan dalam memanfaatkan tepung maggot BSF kaya akan
protein dan asam lemak omega-3 dalam ransum puyuh petelur.

1.5 Hipotesis Penelitian

Pemberian tepung maggot BSF kaya akan protein dan asam lemak omega-
3 dengan level pemberian 3% akan berpengaruh baik terhadap performa dan
kualitas telur puyuh telur.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Pakan Sumber Protein

Protein dimanfaatkan dalam tubuh unggas untuk reproduksi, produksi


maupun hidup pokok, sehingga kandungannya dalam ransum sangat di
perhitungkan karena akan mempengaruhi performa produksi. Beski et al. (2015)
menyatakan bahwa komponen protein berperan penting dalam
memformulasikanpakan karena diperlukan dalam pembentukan jaringan tubuh
dan terlibat aktif dalam metabolisme seperti enzim, hormon, antibodi dan lain
sebagainya. Kualitas bahan pakan unggas dilihat dari kandungan proteinnya,
semakin tinggi dan lengkap proteinnya maka pakan tersebut semakin baik
(Sugiyono et al.. 2015).
Ketersediaan bahan pakan sumber protein masih menjadi kendala karena
mahalnya harga akibat didatangkannya dari luar negeri seperti tepung ikan,
tepung daging dan tulang, bungkil kedelai, sehingga meningkatkan biaya
produksi. Semakin meningkatnya harga sumber-sumber protein dan adanya
ancaman ketahanan pakan ternak, tekanan lingkungan, pertambahan populasi
manusia serta meningkatnya permintaan protein di pasar menyebabkan harga
protein yang hewan semakin mahal (FAO, 2013). Berdasarkan hal tersebut perlu
dicari bahan pakan sumber protein hewani.

2.2. Maggot Black Soldier Fly (BSF)

6
Lalat tentara hitam (Black Soldier Fly) atau dalam nama ilmiah Hermetia
illucens Linnaeus, 1758 memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Stratiomyidae
Subfamili : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Gambar 1: Hermetia illucens ( imago)
Diclaro dan Kaufman, (2009)

Black soldier fly atau Hermatia illucens Linnaeus, 1758 adalah jenis lalat
famili Stratiomydae yang umum dan secara luas dapat ditemukan di tumbuhan
penutup tanah, terutama sering ditemukan pada tumbuhan Spagneticola tribolata,
rumput-rumput dan dedaunan (Rizki dkk., 2017). Secara morfologi lalat tentara
hitam terlihat seperti lebah (wasplike) pada imago memiliki panjang tubuh 10 - 20
mm dengan betina lebih besar ukurannya dibandingkan jantan dan berbentuk
pipih. Pada lalat tentara hitam umunya tubuh berwarna biru-hitam (metalik biru)
sedangkan pada lalat jantan area abdomennya berwarna kecoklatan. Ciri khas dari
lalat tentara hitam ini pada ujung kakinya berwarna putih dengan sayap berwarna
hitam kelabu. Abdomen berbentuk memanjang dan menyempit pada basis, dengan
2 segmen pertama memperlihatkan daerah translusen. Venasi sayap tersusun padat
dekat costa dan lebih berpigmen dibandingkan bagian belakang, sedangkan vena
C tidak seluruhnya mengitari sayapnya (Chittka & Briscoe, 2001).
Siklus hidup BSF merupakan sebuah siklus metamorfosis sempurna
dengan 4 (empat) fase, yaitu telur, larva, pupa dan BSF dewasa (Popa dan Green,
2012). Menurut Tomberlin et al. (2002) bahwa siklus hidup BSF dari telur hingga
menjadi lalat dewasaberlangsung sekitar 40-43 hari, tergantung dari kondisi
lingkungan dan media pakan yang diberikan. Siklus hidup larva BSF dapat dilihat
pada gambar 2;

7
Gambar 2: Siklus hidup BSF (Popa dan Green, 2012)

Karakter yang dimiliki lalat ini seperti bersifat dewatering (menyerap air)
dan berpotensi dalam pengelolaan sampah organik, dapat membuat liang untuk
aerasi sampah, toleran terhadap pH dan temperatur yang berubah-ubah, mampu
melakukan migrasi ketika telah mendekati fase pupa, bersifat higienis dimana
lalat ini sangat menyukai sampah hasil fermentasi yang bersih, sebagai kontrol
lalat rumah, dan memiliki kandungan protein yang tinggi (Buckle dkk.,1985).
Lalat tentara hitam menggalami metamorphosis sempurna (holometabola).
Dimana metamorphosis lalat tentara hitam terdiri dari telur, larva, pupa dan imago
yang berlangsung selama 40 hari.
Arlystiarini (2017) menjelaskan bahwa siklus hidup Maggot BSF terdiri
dari lima fase yaitu telur, larva, prepupa, pupa dan dewasa yang berlangsung
sekitar 38-41 hari. Lalat betina dewasa akan bertelur sekitar lima sampai delapan
hari pasca keluar dari pupa dan umumnya dapat bertelur hingga 500 butir per
ekor. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kurang lebih 4.5 hari (±105
jam). Larva BSF memiliki tingkat pertumbuhan tinggi dan konversi pakan yang
optimal serta dapat memanfaatkan dengan baik berbagai jenis material sebagai
sumber makanan termasuk bahan organik yang telah mengalami pembusukan
seperti limbah dapur, limbah sayuran dan buah, limbah pengolahan makanan,
limbah peternakan hingga kotoran ternak. Larva BSF dapat mengonsumsi
makanan dengan cepat mulai dari 25 mg hingga 500 mg bahan segar per larva per

8
hari dan dapat mencapai ukuran panjang ±27 mm, lebar sekitar 6 mm dan berat
sampai 220 mg di akhir fase larva (±14 hari) (Newton et al. 2005, Park 2016).
Tepung maggot BSF sangat berpotensi di jadikan bahan pakan sumber
protein, karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi,kandungan protein
padalarva BSF sekitar 44,26% dan kandungan lemak mencapai 29,65 %.
Kandungan bahan kering pada larva BSF akan meningkat dengan semakin
bertambahnya umur,yaitu 31%-34% pada umur >25 hari atau pada fase pre-pupa,
dalam skala industri, produksi tepung larva dari tahap instar yang tua lebih
menguntungkan. Rachmawati et al. (2010) menyatakan bahwa larva yang lebih
besar (prepupa) sangat ideal digunakan untuk campuran pakan atau bahan baku
pelet karena mampu memenuhi kuantitas produksi. Larva muda lebih sesuai
diberikan untuk pakan ikan secara langsung, karena bentuknya yang kecil sesuai
dengan ukuran mulut ikan.
Menurut Fahmi et al.(2007) kandungan asam amino, asam lemak dan
mineral yang terkandung dalam larva tidak kalah dengan sumber-sumber protein
lainnya, sehingga larva BSF merupakan bahan baku yang ideal yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan. Jika ditinjau dari aspek lingkungan, penggunaan
BSF ini sangat menguntungkan, karena BSF memiliki kemampuan mengurai
materi organik dengan sangat baik (Holmes et al.,2012) dan juga jika di lihat dari
aspek kesehatan BFS aman digunakan karena memiliki resiko penyebaran
penyakit yang lebih rendah dari pada jenis lalat lainnya (Bullock et al.2013).
Adapun beberapa keuntungan dari lalat BSF sebagai berikut:
•Dapat mendegradasi sampah organik menjadi nutrisi untuk pertumbuhan nya
•Dapat mengkonversi sampah organik menjadi kompos dengan kandungan
penyubur yang tinggi.
•Larva dapat tumbuh pada berbagai bahan organik yang membusuk dari buah-
buahan dan sayuran hingga limbah dapur, limbah ikan dan kotoran ternak,
sehingga berpotensi menarik dalam mengurangi kritik lingkungan dengan
mentransformasi limbah dalam biomassa yang berharga (Popa dan Green,2012;
Nguyen et al., 2015).

2.3. Media tumbuh Maggot BSF

9
Lalat BSF masih memiliki sifat yang sama dengan lalat pada umumnya,
lalat ini memakan apa saja yang mengandung bahan organik seperti sisa makanan,
sayuran, buah-buahan, daging dan bahkan bangkai. Lalat BSF berkembang dari
apa yang dimakannya, jika banyak memakan bahan media yang mengandung
protein tinggi maka kandungan protein kasar pada pupanya juga tinggi
(Tomberlinet al, 2002). Kualitas dan kuantitas media perkembangan larva lalat
sangat mempengaruhi kandungan nutrien tubuh serta keberlangsungan hidup larva
pada setiap tahap metamorfosis (Gobbi et al., 2013;Makkar et al. 2014). Beberapa
penelitian tentang media tumbuh larva BSF dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Hasil penelitian berbagai media tumbuh maggot BSF (Black soldier Fly)
Peneliti Media tumbuh BSF Hasil penelitian
Syahrizal et al. (2014) Limbah kelapa sawit Pemberian media limbah
dan kelapa sawit 4 kg (100%) dan
ampas tahu ampas tahu (0%) menghasilkan
produksi maggot tertinggi 1,66 ±
0,13 kg.
Amelia (2014) Bungkil kelapa sawit, Perlakuan limbah bungkil sawit
air limbar cair sapi, air dan limbah cair sapi menhasilkan
limbah ayam dan air kandungan protein larva BSF
sumur. yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya.
Suciati dan Hilman Dedak, ampas tahu, Produksi maggot tertinggi
(2017) ampas kelapa, dan dihasilkan oleh campuran dedak
tulang ayam. dengan tulang ayam.
Aldi et al. (2018) Bungkil kelapa sawit, Media tumbuh darah ayam
Limbah darah ayam. menghasilkan protein maggot
tertinggi yaitu (41,18%) dan
limbah ikan menghasilkan lemak
maggot terbaik yaitu (47,73%).
Montesqrit et al. Tepung ikan, tepung Media tumbuh berupa ampas tahu
(2019a) daging, bungkil kedelai, menghasilkan produksi maggot
bungkil kelapa dan BSF terbanyak dan tepung daging
ampas tahu. menghasilkan
kandungan protein tertinggi
Montesqrit et al. Tepung darah dan Media tumbuh berupa campuran
(2019b) ampas tahu fermentasi antara tepung darah (50%) dan
ampas tahu fermentasi (50%)
memberikan pengaruh baik
terhadap kandungan nutrisi
maggot sehingga kandungan
bahan kering (94,85%), protein
kasar (53,37%) dan lemak kasar
(31,28%).

2.4 Media tumbuh Sumber Omega-3 untuk Maggot Black Soldier Fly (BSF)

10
2.4.1. Minyak Ikan

Telah diketahui bahwa ikan laut selain mengandung komposisi gizi yang
tinggi seperti protein, vitamin dan mineral juga mengandung asam lemak tak
jenuh omega-3. Salah satu kelebihan dari lemak ikan adalah mengandung asam
lemak tak jenuh yang relatif lebih banyak, terutama asam lemak tidak jenuh C20,
C22, C24, dari pada asam lemak jenuhnya. Pada umumnya jenis asam lemak yang
terkandung dalam lemak ikan hampir sama dengan asam lemak dari tumbuhan
atau hewan lainnya. Perbedaannya adalah terletak pada dominasi dari jenis asam
lemaknya. Asam lemak utama pada lemak dan minyak ikan adalah berkonfigurasi
omega-3, sedangkan pada lemak tumbuhan mengandung asam lemak dengan
konfigurasi omega-6 (Bimbo, 1987 dalam Sukarsa, 2004).
Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan tropis yang mengandung
komponen asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal ini
dikarenakan ikan lemuru di alam banyak memakan plankton-plankton maupun
mikro alga yang banyak memproduksi komponen asam lemak omega-3. Minyak
ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan lemuru. Ikan lemuru
(Sardinella Longiceps) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang banyak
terdapat di perairan Indonesia. Sarker (2020) menjelaskan bahwa asam lemak
yang termasuk ke dalam asam lemak omega-3 yaitu EPA (Eicosa Pentaenoic
Acid), DHA (Docosa Hexaenoic acid) dan Linoleat. EPA dan DHA merupakan
asam lemak omega-3 yang lebih dominan pada minyak ikan (Manduapessy,
2017).
Minyak ikan lemuru merupakan hasil sampingan pembuatan tepung ikan
dan pengalengan ikan lemuru (Sardinella Longiceps). Pengalengan satu ton ikan
lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu
ton bhsn mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil
samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi, 1990). Minyak ikan lemuru
berpotensi sebagai sumber asam lemak n-3. Asam lemak n-3 merupakan jenis
asam lemak n-3 merupakan jenis asam lemak yang sangat bermanfaat bagi tubuh
dan dapat menjadi komoditi yang berharga sangat mahal (Estiasih, 1996). Minyak
ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya berwarna

11
kuning dan bau khas inyak ikan, Sedangkan dari proses penepungan umumnya
berwarna coklat gelap dan baunya menyengat (Montesqrit, 2007).
2.4.2. Tanaman Krokot (Portulaca oleracea L)
Tanaman krokot merupakan jenis tanaman liar yang banyak dijumpai
disekitar manusia, tumbuh di lahan persawahan, ladang dan juga dipinggir jalan.
Tanaman krokot (Portulaca oleracea L) Krokot mempunyai konsentrasi asam
lemak omega-3 tertinggi diantara jenis sayuran yang ada dan mengandung β-
sitosterol, bagian tanaman ini juga mengandung l-norepinefrin, karbohidrat,
fruktosa, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan kaya akan asam askorbat
(Rashed et al., 2004).
Tanaman krokot mengandung vitamin A, B dan C, garam kalium (KCl,
KSO4, KNO3), dopa, dopamine, acid, nicotin, tannin serta saponin, (Hariana,
2005). Rahardjo (2007) menyatakan bahwa tanaman krokot dapat dijadikan
sebagai sumber antioksidan alami, hal ini berkaitan pada asam lemak omega 3
yang dikandungnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Simopoulus
(1992), menjelaskan bahwa kandungan nutrisi pada krokot adalah 3,4 gr
karbohidrat, 1,30 g protein, 0,1 g lemak, 0,480 mg niacin, 65 mg kalsium, 44 mg
fosfor, vitamin A, vitamin C, 1,9 mg betakaroten, 0,047 mg thiamin, 12,2 mg alfa
tocoferol, 26,6 mg asam askorbat dan 300-400 mg omega-3 dalam 100 gram
krokot.
Nutrisi yang terkandung dalam krokot sangat kompleks dan juga
fungsional. Jumlah nutrisi dalam 100g krokot terdapat 2,2% karbohidrat, 1,7%
protein, 0,5% lemak, 1,2% mineral dan 1,1 serat terlarut dan 3,5% serat tak
terlarut Irawan et al., 2003). Kisaran kandungan lemak omega-3 antara lain
523,14 mg/ 100g sampel daun; 216,17 mg/ 100g sampel bunga, dan 148,87 mg/
100g sampel batang (Siriamornpun and Suttajid, 2010)
2.4.3. Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)

Rumput laut merupakan komoditas ekspor yang berkembang cukup baik.


Kondisi perairan Indonesia yang luas masih mendukung komoditi ini untuk
dikembangkan. Rumput laut memiliki banyak manfaat, baik olahan pangan
maupun non pangan (Handayani, 2011). Banyak hasil dari produk laut hal ini
adalah rumput laut, memiliki nilai ekonomi yang rendah. Akan tetapi bisa

12
dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang berguna seperti kemungkinan
mempunyai kandungan omega-3. Rose and Connolly (1999) menjelaskan bahwa
Omega-3 banyak terkandung dalam ikan laut. Ikan laut seperti tuna, salmon,
hering dan mackerel adalah jenis ikan dengan kandungan DHA tertinggi namun
jenis-jenis ikan ini adalah jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sehingga rumput laut menjadi solusi untuk memperoleh kandungan omega-3 yang
lebih ekonomis.
Rumput laut jenis E.spinosum merupakan alternatif dalam rangka upaya
meningkatkan pendapatan para petani ataupun nelayan serta dalam pemanfaatan
lahan di wilayah pesisir pantai. Rumput laut jenis E.spinosum memiliki nilai
ekonomis yang potensial karena mengandung karagenan yang banyak
dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi serta industri lainnya
seperti tekstil, kertas, fotografi, pasta dan pengalengan ikan (Abdan et al. 2013).
Gunawan dan dedi (2012) menjelaskan bahwa pada rumput laut jenis E.spinosum
memiliki kandungan omega-3 total 5,46%. Sedangkan Nurasmi dan Susanti
(2019) menemukan bahwa kandungan omega-3 pada rumput laut adalah 9,4 gram/
100 gram.

2.4. Probiotik Probio FM

Pemanfaatan probiotik Probio-FM yang sudah secara luas diawali Fapet


Farm Universitas Jambi yang memulai usaha agribisnis ayam pedaging organik
ramah lingkungan dengan menggunakan probiotik yang dibiayai oleh DP2M
DIKTI tahun 2010 melalui program IbIKK. Probiotik Probio_FM mulai
diujicobakan pada beberapa daerah, yaitu ternak itik di Provinsi Banten,
pembibitan ternak itik di Kabupaten Karawang Jawa Barat dan peternakan itik
Alabio di Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil yang diperoleh penggunaan
probiotik Probio_FM terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit serta dapat menghilangkan bau kandang yang berasal dari
kotoran ternak. Atas dasar ini permintaan akan probiotik Probio_FM semakin
meningkat (Manin et al., 2014).
Manin et al. (2010) menyatakan bahwa Probio_FM merupakan probiotik
berbentuk cair yang di dalamnya terkandung beberapa spesies BAL (bakteri asam
laktat) dengan jumlah bakteri 1010-1011 cfu/ml. BAL (bakteri asam laktat)

13
merupakan kelompok bakteri gram-positif yang tidak membentuk spora dan dapat
memfermentasikan karbohidrat untuk menghasilkan asam laktat. Ewuola et. al.
(2011) menjelaskan bahwa dengan penambahan probiotik akan dapat
meningkatan nilai kecernaan zat makanan pada bahan.

2.5. Penggunaan Tepung Maggot dalam Ransum

Menurut Veldkamp & Bosch (2015) profil asam amino yang terkandung
dalam tepung BSF mirip dengan tepung kedelai, khususnya kandungan metionin
atau metionin + sistin yang merupakan asam amino esensial untuk pertumbuhan
babi dan ayam pedaging. Pemberian tepung BSF pada ransum akan memenuhi
kebutuhan asam-asam amino tersebut. Kandungan protein pada larva BSF cukup
tinggi, yaitu 44,26% dengan kandungan lemak mencapai 29,65%. Nilai asam
amino, asam lemak dan mineral yang terkandung di dalam larva juga tidak kalah
dengan sumber-sumber protein lainnya, sehingga larva BSF merupakan bahan
baku ideal yang dapat digunakan sebagai pakan ternak (Fahmi et al. 2007).
Tepung BSF ini telah banyak digunakan sebagai pakan unggas.
Penggunaan tepung BSF tersebut dapat menggantikan penggunaan bahan pakan
sumber protein. Pemanfaatan tepung BSF sebagai pakan pada unggas telah
banyak diteliti oleh para peneliti, akan tetapi substitusi bahan pakan sumber
protein seperti tepung daging, tepung ikan atau bungkil kedele dengan tepung
maggot belum banyak dilakukan. Hasil-hasil penelitian pemanfaatan tepung
maggot untuk ternak unggas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2: Hasil-hasil penelitian pemanfaatan tepung maggot untuk ternak unggas


Peneliti dan Jenis Hasil
Tahun ternak

14
Adenji et al., Ayam Tepung maggot dpt menggantikan 100% bugkil
2007 pedaging kacang tanah tanpa menganggu, performa produksi.

Jubril et al Ayam tepung maggot dapat menggantikan tepung ikan


2007 petelur dalam ransum berbasis singkong karena dapat
menggantikan
bahan pakan protein hewani dari tepung
ikan tanpa gangguan pada produksi telur dan tebal
kerabang
Elwert et al., Ayam Susbtitusi tepung ikan dengan tepung maggot
2010 pedaging memberikan hasil yang sama.
Widjastuti et Puyuh Subtitusi 50 -75% tepung ikan dengan
al. 2014 petelur tepung maggot memberikan respon
positif terhadap performa produksi
Al-Qazzaz et Ayam Tepung maggot dapat menjadi sumber protein yang
al 2016 petelur baik dalam ransum ayam petelur serta tidak
mempengaruhi aroma
dari telur
Cullere et al, Puyuh Tepung maggot dapat menggantikan tepung kedelai
2016 broiler dan minyak kacang kedelai dalam ransum puyuh
broiler
Dengah et Ayam Tepung maggot dapat menggantikan tepung ikan
al., pedaging sebesar 25% atau 3,75% dalam ransum
2016
Martina et al. Ayam Penggunaan tepung maggot sampai dengan 15%
2017 Kampung dapat digunakan dalam ransum ayam kampung fase
layer karena dapat meningkatkan konsumsi ransum,
produksi telur, dan nilai konversi yang baik.

Andika, 2018 Puyuh Penggunaan tepung maggot sebagai sumber protein


pengganti protein MBM dalam ransum puyuh dapat
memberikan kualitas telur yang baik. Penggunaan
tepung BSF dalam ransum puyuh dapat menurunkan
kadar kolesterol sebanyak 3,64 mg atau 35,30%.
Mawaddah e Puyuh Pemberian tepung maggot hingga 100%  menggantik
t al. (2018) an protein MBM dalam ransum puyuh petelur daat m
pningkatkan  produksi telur, menurunkan konversi
ransum, dan meningkatkan keuntungan.

2.6 Puyuh Petelur (Coturnix coturnix japonica)

15
Burung puyuh pada awalnya adalah burung liar. Pada tahun 1870, di
Amerika Serikat burung puyuh mulai di ternakkan,. Setelah saat itu, burung puyuh
terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Puyuh
mulai berkembang di Indonesia pada akhir tahun 1979. Permintaan telur puyuh di
Indonesia cukup tinggi maka puyuh petelur berpotensi untuk di kembangkan di
Indonesia. Puyuh petelur merupakan salah satu unggas yang mempunyai produksi
telur yang tinggi dan telur puyuh juga mengandung protein yang tinggi.
Klasifikasi Coturnix coturnix japonica menurut Agromedia (2002) adalah sebagai
berikut :
Kelas : Aves (Bangsa Burung )
Ordo : Galiformes
Sub Ordo : Phasianoidae
Famili : Phasianidae
Sub Famili : Phasianidae
Genus : Coturnix
Spesies : Coturnix coturnix Japonica

Burung puyuh petelur (Coturnix coturnix japonica) mempunyai cirri-ciri


yaitu tubuh yang lebih besar dibandingkan jenis puyuh yang lain. Bobot badan
puyuh petelur mencapai 150 gram dengan badannya yang bulat mempunyai
panjang sekitar 19 cm, ekor pendek dan kuat, mempunyai empat buah jari kaki
dan bulu berwarna coklat kehitaman (Nugroho dan Mayun, 1986). Cara
menentukan puyuh jantan dan betina adalah dengan melihat bulu diatas mata, jika
bulu diatas mata berwarna gelap dan membentuk garis melengkung berarti itu
puyuh jantan, tetapi jika bulu diatas mata tidak berwarna gelap atau tidak
membentuk garis melengkung berarti itu puyuh betina.
Periode kehidupan puyuh dibagi menjadi tiga periode yaitu starter (0-3
minggu), grower (3-5 minggu), dan layer (lebih dari 5 minggu). Menurut
Anggorodi (1995), puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar umur 42 hari dan
biasanya mulai berproduksi penuh pada umur 50 hari. Menurut Djulardi et al.
(2006) dewasa kelamin pada puyuh betina ditandai dengan pertama kali bertelur,
sedangkan puyuh jantan ditandai mulai berkokok dengan suara yang khas. Burung
puyuh yang dipelihara secara intensif bisa menghasilkan telur 200 butir per tahun

16
pada tahun pertama bertelur. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009)
menyatakan bahwa berat telur puyuh rata-rata mencapai 10 gram dengan ciri-ciri
warna telur coklat tua, biru, putih dengan bintik-bintik hitam, coklat dan biru.
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2003) menyatakan bahwa pakan
merupakan faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan beternak puyuh, karena
80% biaya yang dikeluarkan oleh peternak puyuh adalah untuk pembelian pakan.
Menurut Rasyaf (1991) makanan yang dikonsumsi digunakan untuk kebutuhan
hidup pokok, regenerasi sel, membentuk daging, lemak, telur, dan pertumbuhan
bulu, oleh sebab itu penyusunan ransum yang tepat akan mempengaruhi
kelangsungan hidup dan produksi puyuh. Menurut Prabakan (2003) keuntungan
memelihara burung puyuh yaitu tidak mempunyai desain khusus untuk kandang,
ukuran lantai tidak terlalu besar, dapat dipasarkan pada umur 5 minggu dan umur
7 minggu sudah mulai bertelur, modal dapat kembali dalam waktu yang cepat,
manajemen pemeliharannya lebih mudah karena lebih resisten terhadap penyakit
dibandingkan ayam walaupun tidak divaksin.
Menurut Djulardi et al. (2006) ransum puyuh petelur mengandung 20%
protein dan 2800 kkal/kg energi metabolisme. Kandungan zat makanan puyuh
petelur adalah protein minimal 17%, energi metabolisme minimal 2700 kkal/kg,
lemak kasar maksimal 7%, serat kasar maksimal 7%. Menurut Anggorodi (1995)
kecepatan pertumbuhan puyuh berhubungan erat dengan protein dalam ransum,
sebab protein yang di konsumsi ternak akan digunakan untuk membentuk jaringan
baru, memelihara jaringan tubuh dan mengganti jaringan tubuh yang sudah rusak.
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009) ransum dalam bentuk tepung
merupakan ransum yang terbaik untuk dikonsumsi puyuh karena dilihat dari sifat
puyuh yang suka mematuk kawannya, jika makanan dalam bentuk tepung maka
puyuh akan mempunyai kesibukan lain yaitu mematuk-matuk pakannya.
Kebutuhan nutrisi untuk ransum puyuh petelur dapat dilihat pada Tabel 3;

Tabel 3: Kebutuhan nutrisi untuk ransum puyuh daerah tropis


No Kandungan zat makanan Grower Layer

17
( 0-5 minggu) (6 minggu keatas)

1 Energi Metabolisme Kcal/kg) 2800 2600

2 Protein (%) 27 20
3 Lemak Kasar (%) 2,80 3,96

4 Serat Kasar (%) 4,10 4,40

5 Kalsium (%) 0,80 3,75

6 Phospor (%) 0,75 1,00

Sumber: N.R.C 1997. Nutrient requerement of poultry. National of Sciences.


Washington D.

Burung puyuh sebaiknya diberikan ransum yang sesuai dengan umurnya


agar dapat memenuhi kebutuhannya dan pemakaian ransum lebih efisien. Menurut
Listiyowati dan Roospitasari (2009) burung puyuh harus mendapatkan makanan
yang cukup untuk kelangsungan hidupnya, oleh sebab itu zat makanan yang
mutlak tersedia dalam ransum yaitu protein, lemak, karbohidrat, mineral dan air,
jika kekurangan salah satunya dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan
produktivitas puyuh menurun. Kebutuhan ransum puyuh petelur berbeda-beda
pada setiap periode umur yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4: Kebutuhan ransum puyuh untuk berbagai umur/hari


No. Umur (hari) Konsumsi Pakan (gr/ekor/hari
1 1-7 2
2 8-14 4
3 15-21 8
4 22-30 10
5 31-35 12
6 36-42 15
7 >42 21
Sumber: Djulardi A. (1995)

18
III. MATERI DAN METODA

3.1 Materi Penelitian

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur lalat Black Soldier
Fly (Hermetia illucens), ampas tahu, darah segar, probio-FM, minyak ikan, daun
krokot, rumput laut dan bahan pakan (Jagung, Bungkil kedele, tepung daging dan
tulang, tepung ikan, tepung batu, Premix).
3.1.2 Ternak Percobaan
Ternak percobaan pada penelitian ini yaitu puyuh petelur (Coturnix
coturnix japonica) sebanyak 180 ekor. Umurnya 9 minggu (63 hari) yang telah
berproduksi 20%. Puyuh tersebut dibeli dari peternak di Kota Payakumbuh,
Provinsi Sumatera Barat.
3.1.3 Kandang Percobaan dan Perlengkapan
Tempat media tumbuh maggot BSF yaitu kotak kardus yang beralaskan
plastik dengan ukuran 30cm x 20cm x 12cm yang ditutupi dengan jaring, rak
lemari tempat wadah untuk pembesaran maggot lalat Black Soldier Fly, wadah
tempat bibit telur lalat Black Soldier Fly, timbangan digital, spatula/sendok untuk
mengambil dan mengaduk media selama penelitian, baskom sebagai tempat
fermentasi media.
Kandang puyuh petelur yang digunakan dalam penelitian yaitu kandang
baterai koloni sebanyak 20 buah yang sudah terdapat tempat pakan, tempat air
minum, tempat penampungan feses dan tempat penampung telur. Setiap unit
kandang berukuran 50 x 40 x 20 cm dan setiap unit berisi 9 ekor puyuh. Lampu
digunakan sebagai alat pemanas dan penerangan pada malam hari. Peralatan
kandang yang digunakan yaitu tempat pakan, tempat air minum, ember, kain lap,
kawat, timbangan analitik, lampu 45 watt yang diletakkan pada 4 titik di sudut
kandang, dan rak telur. Kandang yang akan digunakan perlu dibersihkan terlebih
dahulu dengan dicuci air bersih dan selanjutnya disemprot dengan rodallon.
Peralatan yang digunakan untuk pengukuran berat telur yaitu timbangan analitik.

19
3.1.4 Ransum Penelitian
Bahan pakan yang digunakan sebagai ransum percobaan dalam penelitian ini
yaitu tepung maggot, bungkil kedelai, MBM, jagung, dedak padi, tepung batu,
corn gluten meal dan topmix. Ransum yang akan diberikan disusun dan diaduk
sendiri yang diformulasikan dengan kandungan protein 20% dan energi
metabolisme 2800 kkal/kg (Djulardi et al, 2006). Kandungan zat-zat makanan dan
energi metabolis bahan pakan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 5.
Komposisi ransum penelitian dan kandungan zat makanan dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 5. Kandungan zat-zat makanan dan energi metabolis bahan pakan penyusun
ransum
Bahan Pakan Kandungan zat – zat makanan
PK LK SK ME Ca P Meta Lysa
b
Jagung 8,58 3,80 2,91 3340 0,06 0,01 0,20 0,20
Dedak padib 10,60 4,09 10,84 1900 0,70 1,5 0,2 0,5
Bungkil kedelaib 40,07 1,71 2,73 2540 0,70 0,31 0,7 3,2
7
Tepung daging 43,81 0,96 3,96 2208 8,00 3,11 0,7 3,6
dan tulangb 8
Tepung Maggotb 40,01 22,63 11,45 3714 1,07 0,61 0,9c 2,2c
Corn gluten meald 51,67 2,85 0,39 3770 0,77 0,66 1,8 1
8
Top mixc 0,00 0,00 0,00 0,00 0,06 1,14 0,3 0,3
Tepung batu 0,00 0,00 0,00 0,00 38,0 0,17
3
Sumber : a Leeson dan Summers (2001), bHasil analisa laboratorium non ruminansia
(2020), c Montesqrit et al (2019), d Medion (2019)

Tabel 6. Komposisi ransum dan kandungan ransum perlakuan (%)


Bahan pakan Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5
Jagung 53,00 50,00 47,00 44,00 41,00
Dedak padi 7,50 10,50 13.30 16,20 19,00
Bungkil kedelai 18,50 18,50 18,70 18,80 19,00
Tepung daging dan 12,00 9,00 6,00 3,00 0,00
tulang
Tepung Maggot 0,00 3,00 6,00 9,00 12,00
CGM 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00
Premix 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
Tepung batu 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50
Total 100 100 100 100 100

20
Kandungan ransum Perlakuan
penelitian
R1 R2 R3 R4 R5
Protein Kasar 20,08 20,03 20,03 20,01 20,01
Lemak Kasar 2,87 3,53 4,18 4,84 5,49
Serat Kasar 3,35 3,69 4,01 4,33 4,65
ME (kkal/kg) 2798,36 2800,34 2803,60 2806,22 2809,48
Ca 1,79 1,65 1,69 1,65 1,65
P 0,71 0,72 0,74 0,72 0,72
Metionin 0,40 0,40 0,39 0,40 0,40
Lysin 1,15 1,09 1,04 1,09 1,09

3.1 Metoda Penelitian


3.2.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimen
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pola 3x3x2
sebagai tahap pertama. Tahap pertama ini dilakukan pada media tumbuh maggot
BSF. Faktor pertama pada perlakuan ini yaitu perbandingan ampas tahu dan darah
segar (1:2, 1:3, dan 1:4), kemudian faktor kedua yaitu level pemberian probiotik
(25ml/kg, 50ml/kg, dan 75ml/kg).
Setelah didapatkan hasil terbaik, kemudian dilakukan penelitian tahap
kedua dengan menambahkan media tumbuh sumber omega-3 (minyak ikan, daun
krokot dan rumput laut) ke dalam media ampas tahu dan darah segar fermentasi.
Kemudian di analisa kandungan omega-3 pada maggot BSF. Setelah didapatkan
kandungan omega-3 yang terbaik, maka dilakukan perbanyakan maggot BSF
dengan media tumbuh ampas tahu dan darah segar fermentasi yang ditambahkan
dengan media sumber omega-3 untuk diaplikasikan pada ternak puyuh petelur.
Pada tahap ketiga ini, dilakukan pemberian tepung maggot BSF yang
tinggi protein dan asam lemak omega-3 pada puyuh petelur. Metode penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan yang diberikan adalah;

A= Ransum kontrol (0% tepung maggot BSF)

21
B=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 1%
C=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 2%
D=Ransum dengan kandungan tepung maggot BSF 3%
Model matematika dari rancangan yang digunakan menurut Steel and
Torrie (1995):

Keterangan :
= Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan-j
µ = Nilai tengah umum
= Pengaruh Perlakuan ke-i

= Pengaruh galat yang memperoleh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j


i = Perlakuan (1,2,3,4) dan
j = Ulangan (1,2,3,4)

3.2.2 Penelitian Data

Data di analisis statistik dengan analisis ragam Anova. Perbedaan antar


perlakuan, diuji dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Steel dan Torrie,
1995).
Tabel 7. Analisis keragaman RAL
Sumber Db JK KT F hitung F table
keragaman (SK) 0,05 0,01
Perlakuan 3 JKP KTP KTP/KTS
Sisa 16 JKS KTS
Total 19 JKT
Keterangan:

SK : Sumber Keragaman
Db : Derajat Bebas
JK : Jumlah Kuadrat
KT : Kuadrat Tengah
JKP : Jumlah Kuadrat Perlakuan
KTP : Kuadrat Tengah Perlakuan
JKS : Jumlah Kuadrat Sisa
KTS : Kuadrat Tengah Sisa
JKT : Jumlah Kuadrat Tengah

22
3.2.3 Parameter yang diamati
1. Kandungan Bahan Kering

Bahan kering merupakan bahan yang bebas kandungan air. Dihitung


dengan cara 100–kadar air dari bahan. Kadar air yang diukur merupakan
persentase bobot yang hilang setelah dilakukan pemanasan dengan suhu 105 oC
sampai beratnya tetap. Sampel dimasukan ke dalam oven selama 24 jam hingga
tercapai berat tetap. Kadar air adalah selisih berat awal dan berat akhir dalam
satuan persen. Bahan yang telah mengalami pengeringan matahari/oven 60oC
masih mengandung kadar air. Dari analisa tersebut diperoleh kadar bahan kering
(bahan yang sudah bebas air) dengan cara 100% dikurangi dengan kadar air.

Kadar Air = (X + Y) – Z x 100%


Y
Keterangan :
X = cawan porselen kosong
Y = Berat sampel
Z = (berat cawan porselin + sampel yang dikeringkan)

Bahan Kering = 100% - kadar air

2. Protein kasar
Kandungan nitrogen (N) bahan dikalikan dengan faktor protein rata-rata
(6,25) karena rata-rata nitrogen dalam protein adalah 16%, sehingga faktor
perkalian protein yaitu 100/16 = 6,25. Protein terdiri dari asam-asam amino yang
saling berikatan (ikatan peptida), amida, amina dan semua bahan organik yang
mengandung nitrogen. Protein kasar adalah semua zat yang mengandung nitrogen.
Metode yang sering digunakan dalam analisa protein adalah metode Kjeldhal
yang melalui proses destruksi, destialsi, titrasi dan perhitungan. Dalam hal ini
yang dianalisis adalah unsur nitrogen bahan, sehingga hasilnya dikalikan dengan
faktor protein untuk memperoleh nilai protein kasarnya.

23
Kadar Protein Kasar = (Y-Z) x N x 0,014 x C x 6,25 x 100%
X
Keterangan :
X = Berat sampel
Y = Jumlah mL NaOH peniteran blanko
Z = Jumlah mL NaOH peniteran sampel
N = Normalitet NaOH
C = Pengenceran (yaitu 500 mL larutan yang akan didestilasi, hanya diambil 10
mL saja sehingga pengenceran 500/10 = 50)

3. Lemak kasar
Lemak kasar adalah semua senyawa bahan yang dapat larut dalam pelarut
organik. Metode yang digunakan yaitu extraksi soxhlet dengan pelarut
diantaranya dietil eter, benzena, kloroform, dan sebagainya. Dalam analisis lemak
disebut dengan istilah lemak kasar karena dalam analisisnya yang diperoleh
adalah suatu zat yang larut dalam proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut
organik. Kemungkinan dalam pelarut organik yang terlarut tidak hanya lemak
tetapi juga seperti gliserida, klorofil, asam lemak terbang, kolesterol, lechitin dan
lain sebaginya, dimana zat-zat tersebut tidak termasuk zat makanan tetapi larut
dalam pelarut organik.
Kadar Lemak = Y – Z x 100%
X
Keterangan :
X = Berat sampel (gram)
Y = Berat (kertas sari + sampel) setelah keluar dari oven 105-110°C
Z = Berat (kertas sari + sampel) yang telah diekstraksi
4. Performa telur puyuh
a. Produksi Telur
Produksi telur yang dihasilkan dapat dihitung dengan cara jumlah telur
yang dihasilkan setiap hari dibagi dengan jumlah puyuh yang hidup dan dikalikan
dengan 100%.
b. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara jumlah pakan yang
diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa setiap harinya dengan
satuan gram/ekor/hari.
c. Massa Telur

24
Massa telur dapat dihitung dengan cara produksi telur perhari dikalikan
dengan berat telur dan dibagi dengan jumlah puyuh yang hidup dengan satuan
gram/ekor/hari.
d. Konversi Ransum
Konversi ransum dapat dihitung dengan cara konsumsi ransum dibagi
dengan massa telur.
4. Kualitas Telur Puyuh
a. Berat Telur
Berat telur dihitung dengan menimbang berat telur. Berat telur dapat
diketahui berdasarkan rumus:
Berat telur (g) = Jumlah berat telur yang dihasilkan
Jumlah telur yang dihasilkan

b. Warna kuning telur


Warna kuning telur didapatkan dengan cara membandingkan warna
kuning telur dengan warna kuning pada kipas standar kuning telur (Roche Yolk
Colour Fan).
c. Lemak kuning telur
Lemak kuning telur diukur dengan cara, ditimbang sebanyak satu gram
sampel lalu dibungkus dengan kertas lemak, dikeringkan dalam oven listrik
selama 12 jam pada suhu 105oC-110oC. selanjutnya sampel ditimbang dalam
keadaan panas bungkusan tersebut satu persatu, dilakukan ekstraksi dengan
benzene sampai benzene di dalam soxhlet jernih. Lalu ekstraksi dihentikan dan
sampel diangin-anginkan sampai kering, benzene akan menguap kemudian
dilakukan pengeringan dalam oven listrik selama 4 jam dengan suhu 105oC-
110oC dan ditimbang dalam keadaan panas bungkusan tersebut satu persatu.
Menurut Sudarmadi et al. (1996) menyatakan bahwa kandungan lemak
ditentukan dengan menggunakan metode soxhlet
Kadar lemak = a-b/c x 100%
Keterangan :
a = Berat sampel setelah proses ekstraksi
b = Berat sampel sebelum proses ekstraksi
c = Berat sampel

25
b. Kandungan kolesterol kuning telur

3.3 Pelaksanaan Penelitian


3.3.1 Pengadaan dan Pemeliharaan Lalat BSF
Telur BSF dibeli agar diperoleh telur BSF sesuai yang dibutuhkan untuk
penelitian. Telur maggot yang dibeli dari peternak Black Soldier Fly (BSF)
dimasukkan ke dalam wadah penetasan yang berisikan campuran ampas tahu dan
dedak padi yang dihaluskan. Peletakan dilakukan selama tiga hari hingga telur
larva BSF menetas dan menjadi larva BSF. Ukuran wadah yang digunakan adalah
30 x 20 cm dengan tinggi 15 cm dan diberi tutup. Selanjutnya wadah tersebut
ditutupi dengan kain kasa. Saat telur menetas, larva BSF dibiarkan selama 6 hari
untuk pembesaran ukuran dan setelah fase ini larva maggot diletakkan kemedia
perlakuan yang telah disediakan sebagai tahap pertama yaitu perbandingan ampas
tahu dan darah segar dengan berbagai level pemberian probiotik Probio-FM.
Pada penelitian sebelumnya, penggunaan ampas tahu dan tepung darah
dengan perbandingan 1:1 (50%:50%) menghasilkan kondisi media yang cukup
kering. Berbeda kondisinya apabila media ampas tahu dan limbah darah di
fermentasi dalam kondisi basah. Pada uji coba penelitian pendahuluan yang
dilakukan digunakan ampas tahu dan limbah darah dengan perbandingan 1:1 dan
pemberian berbagai level probiotik probio FM 25ml/kg, 50ml/kg, 75ml/ kg
menghasilkan media yang cukup basah serta bau tidak sedap. Sehingga dilakukan
perbandingan ampas tahu dan limbah darah serta level penggunaan probiotik yang
optimal sebagai media yang bagus untuk perkembangan maggot BSF dilihat dari
segi produksi dan kandungan nutrisinya.
Larva BSF umur 3 hari setelah menetas ditimbang sebanyak 1 gram
dengan media tumbuh 1 kilogram. Larva dalam wadah perlakuan dibesarkan
sampai menjadi prapupa dengan lama pembesaran 28 hari. Selama pembesaran,
perhatikan kecukupan media tumbuh BSF agar maggot BSF tidak kekurangan

26
makanan. Tambahkan media secara berkala apabila media tumbuh sudah mulai
habis. Setelah 28 hari, prapupa dikeluarkan dari wadah dan dicuci dengan air
bersih agar maggot tidak bercampur dengan bahan pakan. Kemudian dikeringkan
guna mengurangi sisa air dan kemudian dilakukan penimbangan terhadap maggot
BSF. Setelah ditimbang, maggot BSF dimatikan dengan cara disiram dengan air
panas agar maggot tidak aktif. Setelah itu maggot dikeringkan dioven 60ºC,
digiling dan dijadikan tepung dan siap dianalisi kandungan bahan kering, protein
kasar dan lemak kasar.
Setelah didapatkan campuran ampas tahu dan darah segar fermentasi yang
terbaik, maka tahap selanjutnya penambahan media tumbuh sumber omega-3
yaitu minyak ikan, daun krokot, dan rumput laut. Maggot BSF dikembangkan
dan setelah panen dan dijadikan tepung, kemudian dianalisa kandungan omega-3
dari maggot BSF. Setelah didapatkan kandungan omega-3 dari maggot BSF yang
terbaik, maka dilakukan perbanyakan untuk tahap aplikasi pada puyuh petelur.
Alur penelitian mulai dari penyediaan media maggot BSF hingga menghasilkan
tepung maggot tinggi protein dan asam lemak omega-3 sampai aplikasinya
kedalam ransum puyuh petelur dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

TELUR BSF
TELUR BSF
(Black Solder Fly)
(Black Solder Fly)

27

(
(
Diletakan dan ditetaskan pada media ampas tahu dan
dedak padi halus
Dipindahkan ke media tumbuh perbandingan ampas tahu
dan darah segar dengan pemberian level probiotik
Probio-FM

AT+LD 1:2 AT+LD 1:3 AT+LD 1:4

25 P50 75 25 50 P 75 25 50 P 75
ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg ml/kg

P P P P P P P P P
Maggot segar Fase
= Darah + = Darah + = Darah +
Dimatikanprepupa
dengan air panas
AT dan dioven 48 AT
jam suhu AT
= = = = 0
= = = = =
60 C
Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara Dara
h+ h+ h+ h+ Maggot
h+ h+ h+ h+ h+
Digiling
kering AT AT
AT AT AT AT AT AT AT

Tepung
ANALISA
maggot

Bahan kering Protein kasar Lemak kasar


Gambar 3. Alur Pemeliharaan Maggot BSF hingga dilakukan Penelitian tahap
pertama.

Telurmaggot
maggotBSF
BSF
Telur

Dipindahkan kemedia untuk larva BSF (media dengan


kandungan PK tinggi pada penelitian tahap 1) kemudian
ditambah dengan media sumber omega-3
AT+LD (AT+LD (AT+LD (AT+LD
fermentasi fermentasi) fermentas i) fermentasi)
(tanpa media +M.Ikan + daun Krokot + Rumput
omega3) laut
Maggot segar Fase
P prepupa P
P Dimatikan dengan air panas P
dan dioven 48 jam suhu
600C
= Darah + = Darah + AT
= Darah + Maggot = Darah +
AT
AT kering AT
28
Digiling

Tepung
maggot
ANALISA

Bahan kering Protein kasar


Lemak kasar
Yang terbaik diperbanyak untuk aplikasi
pada puyuh petelur

0% 1% 3% 5%

Performa Kualitas telur


Gambar 4: Alur pemeliharaan maggot tahap 2 dan pemberian pada puyuh petelur
Produksi
3.3.2 Pengacakan Perlakuan dan Penempatan Puyuh di dalam Kandang
Perlakuan untuk masing-masing dilakukan secara acak (random) yaitu
dengan cara menyiapkan gulungan kertas yang telah berisi dengan huruf dan
angka perlakuan yaitu : A, B, C dan D kemudian kertas ambil perlakuan secara
acak (random) lalu angka dan huruf yang terambil ditulis pada masing-masing
unit perlakuan, misalnya pada pengacakan pertama terambil A.4 artinya pada unit
percobaan ditulis A.4. Pengacakan dilakukan seterusnya sampai semua perlakuan
selesai.

A1 C3 B3 D2
000000000 000000000 000000000 000000000
C4 B1 D4 A2
000000000 000000000 000000000 000000000
D3 C2 A4 D1
000000000 000000000 000000000 000000000
B4 A3 C1 B2
000000000 000000000 000000000 000000000
Gambar 5: Bagan Penempatan Puyuh dalam kandang

3.3.3 Pemeliharaan Puyuh

Pemberian ransum perlakuan pada ternak puyuh dilakukan sebanyak 2 kali


sehari yaitu pagi hari pukul 07.30 WIB dan sore pukul 17.00 WIB. selama

29
pemeliharaan. Air minum diberikan secara terus menerus (adlibitum). Kandang
dibersihkan setiap hari mulai dari tempat minum, tempat pakan, dan tempat
kotoran puyuh agar kebersihan kandang selalu terjaga. Perlakuan ransum dalam
penelitian ini dilakukan selama 6 minggu.
Ransum yang diberikan yaitu ransum adaptasi dan ransum perlakuan,
dilakukan penyiapan bahan dan penyusunan ransum perlakuan. Proses penyiapan
ransum perlakuan dilakukan dengan cara ditimbang, disusun, dan diaduk. Ransum
perlakuan yang telah ditimbang lalu diberi label untuk mengetahui ransum
perlakuan.

3.3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai penyiapan media tumbuh dan pembesaran maggot


BSF di rumah, kemudian analisa kandungan nutrisi di labor Bioteknologi Fakultas
Peternakan, dan kandang percobaan ternak unggas di Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Penelitian dilaksanakan mulai
September Sampai selesai.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amelia , R. R. 2014. Studi pengaruh fermentasi bungkil sawit dan limbah cair
sapi terhadap protein maggot (Hermetia illucens) study on the effect of
fermentation and liquid waste oil cow on protein maggot (Hermetia
illucens). Fiseries III- 1 : 14 – 17. ISSN 2301-4172.

Istiqomah, S., Mirni L., dan Kustiawan T. P.. 2017. Potensi penambahan minyak
ikan lemuru pada pakan komersial terhadap kandungan asam lemak
omega-3 dan omega-6 daging belut sawah (Monopterus albus ). Jurnal
Iimiah Perikanan dan Kelautan. 9(1):37-46

Bosch G, Zhang S, Dennis GABO, Wouter HH. 2014. Protein quality of insects as
potential ingredients for dog and cat foods. J Nutr Sci. 3:1-4.

Rambet V, Umboh JF, Tulung YLR, Kowel YHS. 2016. Kecernaan protein dan
energi ransum broiler yang menggunakan tepung maggot (Hermetia
illucens) sebagai pengganti tepung ikan. J Zootek. 36:13-22.

Subamia, I.W. Saurin,M dan Fahmi, R. M.2010. Potensi Maggot sebagai Salah
Satu Sumber Protein Pakan Ikan. Jurnal Loka Riset Budi daya Air Tawar.
Depok.

Abdan, Rahman A dan Ruslaini. 2013. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap


Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma
spinosum) Menggunakan Metode Long Line. Jurnal Mina Laut Indonesia
3(12) : 113-123

Djulardi, A., h. Muis dan S. A. Latif. 2006. Nutrisi Aneka Ternak dan Satwa
Harapan. Andalas University Press. Padang.

Djulardi, A. 1995. Respon burung puyuh petelur (Coturnix coturnix japonica)


terhadap pemberian ransum dengan berbagai kandungan fosfor dan
imbangan protein. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas
Padjajaran. Bandung.

Hadadi A, Herry, Setyorini, Surachman A, Rid-wan E. 2007. Pemanfaatan limbah


sawit untuk ramuan pakan ikan. Jurnal Budi daya Air Tawar, 4(1):11-18.
Nurasmi dan Susanti. 2019. Analisis potensi asam lemak omega 3, omega 6, dan
omega 9 dari rumput laut (kappaphycus alvarezii) pada peningkatan nutrisi
balita. Jurnal Borneo Saintek. 2 (1)
Hariana A. 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.Seri I. Penebar Swadaya,
Jakarta.

31
Handayani, T.. 2011. Kandungan nutrisi pada rumput laut. Oseana ISSN 0216-
1877. 36(2):1-10
Rahardjo M. 2007. Krokot (Portulaca oleracea) gulma berkhasiat obat
mengandung Omega 3. Warta Penelitian dan Pengembangan. 1:1-4.
Manduapessy K. R. W. (2017). Profil Asam Lemak Ikan Layang Segar
(Decapterus macrosama). Majalah Biam Vol 13 (1): 42-46Winarno, F.G.
(2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sarker, S. (2020). By-products of fish-oil refinery as potential substrates for
biogas production in Norway: A preliminary study. Results in Engineering.
Vol. 6. https://doi.org/10.1016/j.rineng. 2020.100137
Simopoulos A.P, MD, FACN, Helen A. Norman, PhD, James E. Gillaspy, PhD,
and James A. Duke, PhD. 1992. Common Purslane: a source of omega-3
fatty acids and antioxidants. Journal of the American College of Nutrition,
Vol. 11, No. 4, 374-382.
Čičková H, Newton GL, Lacy RC, Kozánek M. 2015. The use of fly larvae for
organic waste treatment. Waste Manag. 35: 68-80.
Sandy p, Dengah., Umboh J. F., Rahasia C. A., dan Kowel Y. H. S. 2016.
Pengaruh Penggantian Tepung Ikan dengan Tepung Maggot (Hermetia
illucens) dalam Ransum Terhadap Performans Broiler. Jurnal Zootek. Vol.
36. No. 1 : 51 – 60Ewuola, Amadi, and Imam. 2011. Performance
evaluation and nutrient digestibility of rabbits fed dietary prebiotics,
probiotics and symbiotics. International Journal of Applied Agricultural
and Apicultural Research. IJAAAR 7 (1&2): 107-117.
Lesson, S. and J. D. Summers. 2001. Nutrition of the chicken, 4th Edition,
pp,331-428 ( University Books, P. O. Box 1326, Guelph, Ontario, Canada
NIH 6N8). NRC. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National
Academy Press, WashingtonManin, F., E. Hendalia, Yusrizal, dan Yatno.
2010. Penggunaan Simbiotik yang Berasal dari Bungkil Inti Sawit dan
Bakteri Asam Laktat Terhadap Performans, Lingkungan dan Status
Kesehatan Ayam Broiler. Laporan Penelitian Strategi Nasional.
Manin, F., E. Hendalia, Yatno dan Pudji R.. 2014. Dampak pemberian probiotik
Probio_FM terhadap status kesehatan ternak itik kerinci. Jurnal Ilmu
Ternak. 1(2):7-11
Montesqrit, Mahata E.M, Amizar R, Adrizal dan Efrizon A. 2019b. Pengaruh
Limbah Peternakan Sebagai Media Tumbuh Larva BSF (Black Soldier
Fly/Hermetia Illucens) Terhadap Kandungan Bahan Kering, Protein Kasar
Dan Lemak Kasar Tepung Maggot BSF. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. “Membangun Peternakan
Berkelanjutan menuju Era Industri 4.0” Fakultas Peternakan Universitas
Jambi 2-3 Oktober 2019 (unpublish)
Martina. E. R. Montong., Monalisa M Nangoy., Wapsiaty Utiah., dan Mursye. N.
Regar. 2017. Pemanfaatan Tepung Manure Hasil Degradasi Larva Lalat

32
Hitam (Hermetia illucens) Terhadap Performans Ayam Kampung Layer.
Jurnal Zootek. Vol. 37. No. 2 : 370 – 377.

Mawaddah S., Hermana W., dan Nahrowi. 2018. Pengaruh Pemberian Tepung
Deffated Larva BSF (Hermetia illucens) terhadap Performa Produksi
Puyuh Petelur (Coturnix coturnix japonica). Jurnal Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan. Vol. 16. No. 3 : 47 – 51.

Diana, F.M. 2012. Omega 3. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 6 (2): 113-117


Rifai, N..2018. Ekstraksi dan enkapsulasi minyak omega-3 dari daun krokot
(portulaca oleracea l.) menggunakan pelarut alkohol food grade 96%.
Skripsi. Teknik Kimia Universitas Negeri Semarang
Bimbo, AP. 1987. The Emergencing Marine Oil. Industry . Jurnal American Oils
Chemistry society 64:5.
Uddin, M. K., Juraimi, A. S., Hossain, M. S., Nahar, M. A. U., Ali, M. E., &
Rahman M.M. 2014. Purslane Weed (Portulaca oleracea): A Prospective
Plant Source of Nutrition. Omega-3 Fatty Acid, and Antioxidant
Attributes. The Scientific World Journal, 2014
Irawan. D., Hariyadi, P., & Wijaya, H. 2003. The Potency of Krokot (Portulaca
oleracea) as Functional Food Ingredient. Indonesian Food and Nutrition
Progress, 10(1).
Gunawan, E. R., dan Dedy S.. 2012. Screening dan analisis kadar omega-3 dari
rumput laut pulau lombok NTB. Molekul. 7(2): 95-104

Siriamornpun, S., and Sutajjit, M. 2010. Microchemical components and


antioxidant activity of different morphological part of thai wild purslane
(Portulaca oleracea). Weed Science, 58(3), 182-188
Nurasmi dan Susanti. 2019. Analisis potensi asam lemak omega-3, omega-6 dan
omega-9 dari rumput laut (Kappaphycus alvarezii) pada peningkatan
nutrisi balita. Jurnal Borneo Saintek. Vol. 2(1): 33-36

33
LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Statistik Konsumsi Ransum Ayam Pedaging


(gram/ekor/hari) Setiap Perlakuan Selama Penelitian

34
RIWAYAT HIDUP

Muhammad Rido lahir pada tanggal 19 September 1997 di Koto Baru, Jr. IX

Pancahan, Kec. Rao, Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Merupakan anak ke-

empat dari pasangan Bapak A. Nizar dan Ibu Surbaidah. Pada tahun 2010

penulis menamatkan sekolah dasar di SDN 12 Pancahan, Tarung-Tarung

Selatan dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama SMPN 2 Rao,

penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Rao

pada tahun 2013. Pada tahun 2016 penulis terdaftar menjadi mahasiswa di

Fakultas Peternakan Universitas Andalas melalui jalur SNMPTN.

Selama masa perkuliahan, penulis tergabung dan aktif dalam berbagai

Organisasi kemahasiswaan baik tingkat Fakultas maupun Universitas. Pada 2016,

penulis terdaftar sebagai anggota dalam organisasi FSI (Forum Studi Islam)

Fakultas Peternakan dan AMA (Asosiasi Mahasiswa Asrama) Universitas

Andalas. Pada tahun 2017 Penulis masih terdaftar di organisasi di FSI (Forum

Studi Islam) Fakultas Peternakan Universitas Andalas sebagai Koordinator

bidang. Masih aktif terlibat organisasi kampus pada tahun 2018 sampai Desember

tahun 2019 yakni di BEM KM FATERNA (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Peternakan). Pada tanggal 19 November 2019 penulis melaksanakan seminar

proposal, tanggal 3 Desember 2019 penulis mulai melaksanakan penelitian dan

selesai pada tanggal 14 Januari 2020 dengan judul “Pengaruh Periode

Pemberian Sari Kunyit (Curcuma domestica Val) Enkapsulasi Sebagai Feed

35
Additive Alami Menggantikan Agp (Antibiotic Growth Promoter) Dalam

Ransum Terhadap Performa Ayam Pedaging”. Penulis melakukan penelitian

di Fakultas Peternakan Universitas Andalas sebagai syarat untuk menyelesaikan

studi tingkat sarjana Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

MUHAMMAD RIDO

36

Anda mungkin juga menyukai