AISAH OKTAVIANI
2011040073
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi
nanah, (Siregar, 2009). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di
mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan Bare, 2009).
Abses mandibula sering disebabkan oleh infeksi di daerah rongga mulut atau gigi.
Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibular yang
pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi (Hardjatmo Tjokro
Negoro 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Abses
1. Definisi
Abses adalah rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Abses gigi merupakan infeksi akut purulent yang
berkembang pada bagian apical gigi. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
bakteri yang berasal dari gigi baik pada maxilla maupun mandibula. Abses
adalah adanya timbunan pus / nanah di dalam suatu jaringan / organ yang
secara normal tidak ada.
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah, (Siregar, 2009). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang
terjadi di mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah
satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan
Bare, 2009).
2. Etiologi
Abses terjadi diakibatkan adanya infeksi yang disebabkan oleh kuman
pyogenik, namun kasus terbanyak di sebabkan oleh staphylococcus aereus.
Selain itu faktor predisposisi pada abses di antaranya daya tahan tubuh rendah,
malnutrisi.
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro abses mandibula sering disebabkan
oleh infeksi di daerah rongga mulut atau gigi. Manurut siregar 2014 suatu
infeksi atau bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara antara lain:
a) Bakteri masuk kebawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril
b) Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
c) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan menyebabkan terbentuknya abses.
5. Pathway
Bakteri Gram Positif
(staphylococcus aureus streptococuc mutsn)
Jaringan rusak/mati
Jaringan terinfeksi
peradangan
Sel darah putih mati
demam
Jaringan menjadi abses
dan berisi Pus
gangguan thermogelulator
(pre op) pembedahan
pecah
luka insisi
Defisit nutrisi
6. Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologi : untuk mengetahui lokasi dan penyebaran abses
b) Pemeriksaan darah :
1) Leokosit : adanya peningkatan jumlah leokosit sebagai indikasi
infeksi
2) HE : meningkat pada hipovolemik pada hemokonsentrasi
3) Elektrolit : untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
4) LED : meningkat sebagai indikasi infeksi
5) Trombosit : penurunan oleh karena agregasi trombosit
6) Gula Darah : hiperglikemi menunjukan glukoneogenesis meningkat
c) Kultur pus dan darah
Untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi
7. Penatalaksanaan
Untuk stadium awal diberikan antibiotik dosis tinggi, penisillin
600.000 – 1.200.000 unit / ampisillin / amoksillin 3 – 4 x 250 – 500 mg atau
sefalosporin 3 – 4 x 250 – 500 mg, metronidazol 3 – 4 x 250 – 500 mg.
Juga obat simtomatik berupa analgesik – antipiretik parasetamol 3 x
250 – 500 mg, anjuran berkumur dengan antiseptk / air hangat, dan kompres
dengan air dingin.
Bila abses telah terbentuk, dilakukan pungsi kemudian insisi untuk
untuk mengeluarkan nanah dengan anastesi lokal. Insisi dilakukan pada daerah
paling menonjol dan lunak, atau pertengahan garis yang menghubungkan
dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah selesai
pasien diminta berkumur dengan antiseptik.
Bila terdapat trismus, diberikan analgesik lokal untuk nyeri dengan
menyuntikan silokain atau novokain 1 % di ganglion sfenopalatinum ( bagiab
belakang atas lateral konka media )
Pada anak kecil dianjurkan untuk anastesi umum, kemudian di
anjurkan untuk tosilektomi, umumnya sesudah infeksi tenang yaitu 2 – 3
minggu sesudah drainase abses.
D. Nyeri
1. Definisi
Nyeri merupakan pengalaman sensasi dan emosi yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang bersifat aktual maupun
potensial. Pengalaman nyeri merupakan gabungan dari fisiologis serta
psikologis dan bukan merupakan kerusakan jaringan menetap (Fischa, A,
2015).
Nyeri pembedahan berlangsung selama 24 sampai 48 jam, namun bisa
juga berlangsung lebih lama, tergantung dari pemahaman nyeri yang dimiliki
pasien serta respon terhadap nyeri. Nyeri dapat menganggu proses
penyembuhan dan menghambat aktivitas (Fischa, A, 2015).
Tindakan untuk mengurangi nyeri dan stress yang diakibatkan oleh
prosedur medis yang dijalani anak harus menjadi perhatian utama dalam
memberikan pelayanan pada anak. Tujuan utama dari pelayanan adalah tidak
menimbulkan trauma (atraumatic care) pada anak. Prinsip yang dilaksanakan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah mencegah dan meminimalkan
perpisahan anak dengan keluarganya, meningkatkan kontrol diri anak, dan
mencegah terjadinya nyeri serta cidera tubuh (Martajaya, 2018).
Nyeri dapat diatasi dengan intervensi manajemen nyeri terutama pada
nyeri post operasi yaitu dengan pemberian terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi. Terapi farmakologi terkadang dapat menimbulkan efek samping
yang juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Banyak pilihan
terapi non farmakologi yang merupakan tindakan mandiri perawat dengan
berbagai keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek samping, simple
dan tidak berbiaya mahal. Terapi ini dapat dilakukan dengan cara tehnik
relaksasi, terapi murotal, distraksi, stimulasi dan imajinasi terbimbing,
(Rosdalh & Kawalski, 2015).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Faktor tertentu seperti usia, jenis kelamin, tingkat kognitif,
temperamen, pengalaman nyeri sebelumnya, dan latar belakang keluarga, serta
budaya tidak dapat diubah. Faktor situasional yang berupa aspek perilaku,
kognitif, dan emosi dapat dimodifikasi. Faktor spesifik situasi yang
mempengaruhi pengalaman nyeri anak, anatara lain “apa yang dipahami anak
dan orang tua, apa yang mereka dan staf perawatan kesehatan lakukan dan
bagaimana perasaan anak dan orang tua. Faktor situasioanl tertentu dapat
memperhebat nyeri dan distress, sedangkan lainnya dapat memicu episode
nyeri, nyeri berkepanjangan yang berkaitan dengan disabilitas atau
mempertahankan episode nyeri berulang dan kekambuhan nyeri” (McGrath,
2010).
Menurut Potter dan Perry (2010) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nyeri, antara lain : usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna
nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping,
dukungan keluarga dan social:
1) Usia dan jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa struktur sistem saraf memerlukan
transmisi impuls nyeri dan persepsi. Jenis kelamin dapat memainkan peran
dalam persepsi nyeri pada anak, tetapi penelitian gagal untuk menghasilkan
bukti yang mendukung pernyataan tersebut (Hurley & Adams, 2008).
Dinyatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan berbeda dalam cara
merekam menerima dan mengatasi nyeri serta berespon terhadap analgetik.
Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain genetik, hormon,
keluarga dan budaya.
2) Tingkat Kognitif
Tingkat kognitif adalah faktor kunci yang mempengaruhi persepsi
nyeri pada anak dan respon serta biasanya berhubungan dengan usia anak.
Tingkat kognitif biasanya meningkat seiring dengan pertambahan usia,
dengan demikian mempengaruhi pemahaman anak mengenai nyeri dan
dampaknya serta pilihan mereka dalam hal strategi koping. Peningkatan
kognitif anak, kemampuan anak untuk mengkomunikasikan informasi
mengenai nyeri meningkat. Hal ini meningkatkan pemahaman dan
kemampuan berkomunikasi dengan usia lebih lanjut yang mungkin tidak
dapat diterapkan pada anak yang mengalami hambatan perkembangan.
Perawat perlu mengenali perbedaan ini ketika merawat anak yang
mengalami nyeri. Penelitan telah menunjukkan bahwa anak yang berusia
lebih muda sering menjelaskan nyeri dalam istilah konkret, sedangkan anak
yang berusia lebih tua menggunak istilah yang lebih abstrak yang
melibatkan komponen fisik dan psikologis (McGrath, 2010).
3) Temperamen
Temperamen memainkan peran penting dalam dalam dalam
memprediksi tingkat distress dan nyeri pada anak selama kejadian yang
menimbulkan nyeri (Ranger & Campbell, 2008). Misalnya anak dengan
“temperamen yang sulit” lebih cenderung memiliki peningkatan respon
distress terhadap nyeri. Perawat dapat melakukan intervensi personal dalam
tatanan klinik dan selama pengalaman nyeri untuk menyesuaikan dengan
temperamen anak dan ancaman kepribadian lain pada anak dan keluarga.
4) Pengalaman nyeri sebelumnya
Seorang anak mengidentifikasi nyeri berdasarkan pada pengalamannya
dengan nyeri di masalalu.Sejumlah kejadian nyeri, jenis nyeri, keparahan
atau Intensitas pengalaman nyeri sebelumnya, efektivitas terapi nyeri dan
cara anak merespon nyeri ke semua hal tersebut memengaruhi bagaimana
anak akan menerima dan merespon terhadap pengalaman nyeri saat ini.
Penelitian membuktikan bahwa pengalaman bahwa pengalaman nyeri hebat
pada neonatus atau bayi dapat menyebabkan gangguan sensori dan gangguan
respon nyeri yang bertahan hingga remaja (Hatfield, Chang, Bittle, Deluca &
Polomano, 2011). Pengalaman nyeri sebelumnya dengan pengendalian nyeri
yang tidak adekuat menyebabkan peningkatan distress selama prosedur yang
menimbulkan nyeri di masa yang akan datang.
5) Keluarga dan Budaya
Latar belakang keluarga dan budaya akan memengaruhi cara ia
mengekspresikandan mengelola nyeri. Beberapa budaya membawa standar
penerimaan nyeri dengan sabar dan memperbolehkan menampakkan
ekspresi nyeri. Orang tua berpengaruh penting pada kemampuan anak untuk
mengatasi nyeri. Misalnya, jika orag tua bereaksi terhadap nyeri dalam cara
yang positif dan menawarkan tindakan kenyamanan, anak mungkin memiliki
waktu penyesuaian yang lebih mudah. Jika orang tua menunjukkan
kemarahan atau ketidaksetujuan, pengalaman nyeri mungkin meningkat bagi
anak.
6) Faktor Situasional
Faktor situasional melibatkan faktor atau elemen yang berinteraksi
dengan anak dan situasi anak saat ini yang berkaitan dengan pengalaman
nyeri. Faktor ini sangat beragam dan bergantung pada situasi yang spesifik.
Faktor situasional hasil dari konteks ketika anak mengalami nyeri dan
mencakup kognitif mengenai apa yang dipahami dan diyakini anak
mengenai pengalaman nyeri; perilaku adalah cara anak dan keluarga
bereaksi dan apa yang mereka lakukan mengenai pengalaman nyeri; dan
emosi, adalah cara anak dan keluarga rasakan tentang pengalaman nyeri
(Crowell, 2009)
4. Pengukuran Skala Nyeri pada Anak
Penilaian dan pengukuran derajat nyeri sangatlah penting dalam
proses diagnosis penyebab nyeri, sehingga dapat dilakukan tindakan
selanjutnya yang tepat meliputi tindakan farmakologi dan tindakan non
farmakologi. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin menggunakan metode
pengukuran skala nyeri meliputi Numeric Rating Scale(NRS) dan Wong
Baker FACES Pain Rating Scale,masing-masing dari kelebihan serta
kekurangan skala pengukuran nyeri tersebut meliputi:
Ukuran Intensitas Nyeri
a. Numeric Rating Scale(NRS)
Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk
menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim
lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis,
hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri
akut ketimbang VAS dan VRS. Namun, kekurangannya adalah
keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti
dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik.Skala numerik dari 0 hingga 10, di
bawah, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan
sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat
gambar 2.1 Numeric Rating Scale (NRS)
Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015)
b. Verbal RatingScale(VRS)
Skala ini memakai dua ujung yang sama seperti VAS atau skala reda
nyeri.Skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka
untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat
berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat
dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup
berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. Kekuranganskala ini
membatasi pilihan kata klien sehingga skala ini tidak dapat
membedakan berbagai tipe nyeri.
2) Terapi Murattal
Hadi, Wahyuni dan Purwaningsih dalam Zahrofi (2013)
menjelaskan bahwa terapi murottal Al-qur‟an yaitu terapi religi
dimana seseorang akan dibacakan atau diperdengarkan ayat-ayat
Al-qur‟an selama beberapa menit sehingga akan memberikan
dampak positif bagi tubuh seseorang. Sedangkan menurut Potter
& Perry (2010), terapi musik maupun suara harus didengarkan
minimal 15 menit untuk memberikan efek terapeutik. Terapi
murottal Al-qur‟an terbukti bisa mengaktifkan sel-sel tubuh
dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang
ditangkap tubuh, menurunkan stimuli reseptor nyeri. Berdasarkan
penelitian dilakukan oleh (Fitriyatun lis, 2014) dan (Handayani
dkk, 2014) mengenai terapi murottal Al-qur‟an, diperoleh
rentang waktu pemberian terapi murottal Al-qur‟an selama 11-15
menit.
Terapi murottal Al-qur‟an dapat mempercepat
penyembuhan, hal ini telah dibuktikan oleh beberapa ahli seperti
yang dilakukan oleh Ahmad Al Khadi direktur utama Islamic
Medicine Institute for Education and Research di Florida,
Amerika Serikat dengan hasil penelitian menunjukkan 97%
bahwa mendengarkan ayat suci Al-qur‟an memiliki pengaruh
mendatangkan ketenangan dan menurunkan ketegangan urat
saraf reflektif (Remolda, 2009).
5) Fungsi sensori
Reaksi terhadap nyeri : Saat dilakukan rangsang nyeri tangan
pasien menjauh
6) Refleks
Refleks tendon dan superficial : Pasien dapat menggerakan
secara fleksi dan ekstensi
Refleks patologis : Normal
7) Kemampuan intelektual (tergantung tingkat perkembangan)
Perkembangan menulis & menggambar : Pasien sudah bisa
menulis dan menggambar.
Kemmampuan membaca : Pasien sudah bisa membaca dengan
lancar
f. Pengkajian Gastrointestinal
1) Hidrasi
Turgor kulit : Normal, 1 detik
Membrane mukosa : Membran mukosa tidak kering
Asupan & haluaran : Asupan cairan kurang, haluran kurang.
2) Abdomen
Nyeri : Tidak ada nyeri pada perut
Kekakuan : Tidak ada kekakuan pada di perut
Bising usus : Tidak terdengar bising usus
Muntah (jumlah, frekuensi, dan karakteristik) : pasien tidak
muntah
Feses (frekuensi dan karakteristik) : pasien belum bisa bab 2 hari
Kram : Tidak ada kram pada perut
g. Pengkajian Renal / Ginjal
1) Fungsi ginjal
Nyeri tekan pinggang atau suprapubik : Tidak ada nyeri tekan
pinggang
Disuria : Tidak ada nyeri saat berkemih
Pola berkemih (lancer/menetes) : Pola berkemih pasien lancar
Adanya acites : Tidak ada pembengkakan pada perut pasien
Adanaya edema pada (skortum, periobital, tungkai bawah ) :
Tidak ada edema pada tungkai bawah.
2) Karakteristik urine dan urinasi
Urine tampak bening atau keruh : urine tampak keruh
Warna : urine berwarna jingga
Bau ( amoniak dan aseton) : Amoniak
Berat jenis : 1.025
Menangis saat berkemih : Saat berkemih pasien tidak menangis
3) Genetalia
Iritasi : Tidak ada iritasi pada genetalia pasien
Sekret : Tidak ada sekret pada genetalia pasien
h. Pengkajian Muskuloskeletal
1) Fungsi motoric kasar
Ukuran otot ( adanya atropi/ hipertropi otot) : Ukuran otot
normal tidak ada atropi/hipertropi otot.
Tonus otot (spastis, rentang gerak terbatas) : Tonus otot normal,
tidak ada rentang gerak terbatas
Kekuatan : normal
Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal
2) Fungsi Motorik Halus
Manipulasi mainan : pasien sudah mampu memanipulasi
permainan
Menggambar : Pasien sudah bisa menggambar.
3) Kontrol postur
Mempertahankan posisi tegak : Pasien dapat mempertahankan
posisi tegak
Bergoyang-goyang : Pasien dapat bergoyang-goyang
4) Persendian
Rentang gerak : Normal, tidak ada hambatan
Kontraktur : Tidak ada kontraktur
Adanya edema dan nyeri : Tidak ada edema dan nyeri di
persendian
5) Tulang belakang
Lengkung tulang belakang (scoliosis, kiposis) : Tulang
belakang pasien normal tidak ada skoliosis atau kifosis
i. Pengkajian Hematologi
1) Kulit
Warna : Sawo matang
Adanya ptechea, memar : Tidak ada ptechea dan memar pada
kulit pasien
Perdarahan dari mukosa atau dari luka suntikan/ fungsi vena :
Tidak ada pendarahan dari mukosa atau luka suntik
- Luka post operasi pada pipi sebelah kanan pasien di
tampon dengan kasa kurang lebih 20 cm
2) Abdomen
Pembesaran hati : Tidak ada pembesaran hati
Pembesaran limpa : Tidak ada pembesaran limpa
j. Pengkajian Endokrin
1) Status hidrasi
Poluria : Tidak terdapat poliuria
Polifagia : Tidak terdapat polifagia
Polidipsi : Tidak terdapat polidipsi
Kulit kering : Keadan kulit normal
2) Tampilan Umum
Alam perasaan : Pasien terlihat gelisah dan tidak nyaman
Iritabilitas : Tidak ada iritabilitas
Sakit kepala : Pasien mengatkan tidak sakit kepala
Gemetaran : Pasien tidak gemetaran
Keterangan :
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki meninggal
Perempuan meninggal
Pasien
9. Pemeriksaan Laboratorium
URINE
Ph/Reaksi 4.8-7.4
Urobilinogen +1 0.2-1.0
Makroskopis:
B. Analisa Data
Do:
-Pasien tampak menunjuk area
nyeri
-Pasien tampak menahan nyeri
-TTV= S:36,60C , N:80x/menit,
RR: 20x/menit, TD: 110/70
mmHg, SPO2: 98%
Ds:
2 Pasien mengatakan tidak bisa Defisit Nutrisi Ketidakmampuan
mengunyah makanan karena nyeri menelan makanan
Do:
-tampak makanan masih utuh 1
porsi
-pasien tampak lemas
- BB sebelum sakit 48 kg, BB saat
ini 46 kg, TB: 145 cm
- Penurunan BB :95%
-TD: 110/70 mmHg, S:36,3’c
N:80x/menit, RR:20x/menit, SPO2
:98
3 Ds: Risiko infeksi Efek prosedur
Pasien mengatakan nyeri pada pipi invasif
sebelah kanan pada saat dilakukan
perawatan luka dan ganti balut
Do:
-Tampak nanah keluar dari bekas
operasi dan dari mulut
-Tampak pipi bengkak dan
kemerahan
-TTV :
TD: 120/80 mmHg, S:36,5’c
N:85x/menit, RR:20x/menit
No Dx.Keperawatan Perencanaan
Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut b.d luka insisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pembedahan 3x24 jam diharapkan masalah nyeri akut dapat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
berkurang dengan kriteria hasil: 2) Berikan teknik non farmakologi (terapi
Indicator Awal Target murattal) untuk mengurangi nyeri
Melaporkan nyeri 3 5 3) Ajarkan teknik non farmakologi (terapi
terkontrol murattal) untuk mengurangi nyeri
Kemampuan 3 5
4) Kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac 3x1
mengenali onset
ampul)
nyeri
Kemampuan 3 5
menggunakan
teknik non
farmakologi
Keterangan:
1 (Menurun)
2 (cukup menurun)
3 ( sedang)
4 (cukup meningkat)
5 (meningkat)
2 Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor asupan makanan
ketidakmampuan menelan 3x24 jam diharapkan masalah deficit nutrisi dapat 2. Berikan makanan yang mudah di telan
makanan teratasi dengan kriteria hasil: 3. Ajarkan diit yang diprogramkan
Indicator Awal target 4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian
Kekuatan otot 2 5 jus atau bubur halus
menelan
Kekuatan otot 2 5
pengunyah
Keterangan:
1 (Menurun)
2 (cukup menurun)
3 ( sedang)
4 (cukup meningkat)
5 (meningkat)
3 Risiko infeksi b.d efek Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
pembedahan invasif 3x24 jam diharapkan masalah risiko infeksi tidak 2. Pertahankan teknik aseptic
terjadi dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Indicator awal Target 4. Kolaborasi dengan tenaga medis untuk
Kemerahan 3 5 pemberian antibiotic
Nyeri 3 5
Bengkak 3 5 - cefriaxon 2x1/2 ampul,
- gentamicin salep 1 x1 /hari setelah rawat
Keterangan: luka
1 ( meningkat)
2 (cukup meningkat)
3 ( sedang)
4 (cukup menurun)
5 ( menurun)
E. Implementasi dan Evaluasi
O:
- pasien tampak sedikit menahan nyeri
- pasien tampak terbaring dibed
- TTV ( S:36OC, RR:20x/menit, N:85x/menit,
SPO2:99%)
A:masalah nyeri akut teratasi sebagaian
Indicator A S T
Melaporkan nyeri terkontrol 3 4 5
Kemampuan mengenali 3 4 5
onset nyeri
Kemampuan menggunakan 3 4 5
teknik non farmakologi
P:Intervensi dilanjutkan
1. evaluasi tentang terapi murotal yang telah
dilakukan
2. Kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac
2x1 ampul)
O:
- pasien tampak berbaring di tempat tidur dan
sedikit menahan nyeri
- pasien tampak sedikit lebih nyaman
-TTV (S:36,5oC, N:95x/menit, RR:21x/menit,
SPO2:98)
A:masalah nyeri akut teratasi
Indicator A S T
Melaporkan nyeri terkontrol 3 5 5
Kemampuan mengenali 3 5 5
onset nyeri
Kemampuan menggunakan 3 5 5
teknik non farmakologi
P:hentikan intervensi
- anjurkan pasien untuk melakukan terapi
murattal/mendengarkan terapi murottal
apabila area operasi terasa nyeri
22/12/2020 Defisit nutrisi b.d 1. memonitor asupan makanan S: Aisah
pukul 14.00 ketidakmampuan 2. memberikan makanan yang - pasien mengatakan tidak bisa mengunyah
WIB menelan makanan mudah di telan makanan
3. mengajarkan diit yang - pasien mengatakan pada saat membuka
diprogramkan mulut terasa sakit
4. mengkolaborasi O:
dengan ahli gizi -tampak makanan masih penuh 1 porsi
- pasien tampak terbaring di bed
-TTV (S:36,5oC, N:90x/menit, RR:20x/menit,
SPO2:98%)
P:intervensi dilanjutkan
1. Monitor ulang asupan makanan
2. Berikan makanan yang mudah di telan
3. Ajarkan ulang diit yang diprogramkan
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian bubur halus
P:Intervensi dianjutkan
P:Intervensi di hentikan
- anjurkan pasien untuk perawatan luka di
rumah secara rutin
BAB IV
ANALISA SITUASI
23 Desember 2020
Pukul 10.00 WIB
Skala : 5 (0-10)
Waktu:10-15 menit
Surat: Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An
Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan
Al An’am ayat 1-3, dan 13.
24 Desember 2020
Pukul 11.00 WIB
Skala : 3 (0-10 )
Waktu:10-15 menit
Surat: Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An
Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan
Al An’am ayat 1-3, dan 13.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa praktek keperawatan terhadap pasien abses mandibular
dengan masalah keperawatan nyeri akut di ruang Firdaus RSI Banjarnegara dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Analisa data yang diperoleh penulis sesuai dengan kondisi pasien yaitu pasien
yang mengalami nyeri akibat post op abses mandibular
2. Diagnosa dalam asuhan keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan
luka insisi pembedahan
3. Intervensi yang dibuat berdasarkan dengan masalah pasien yaitu terapi
murottal untuk mengurangi nyeri pada pasien post op
4. Tindakan yang dilakukan dengan masalah nyeri yaitu pemberian teknik terapi
murottal dengan memutarkan surat surat pendek Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al
Falaq, An Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan Al An’am ayat 1-3,
dan 13.
5. Hasil evaluasi dari pasien menunjukan masalah nyeri teratasi dari nyeri skala 6
dari (0-10) menjadi skala 3
6. Tindakan keperawatan berupa terapi murottal telah dilakukan sesuai dengan
teori dan jurnal rujukan peneliti
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi pihak rumah
sakit salah satunya teknik terapi murottal yang berguna untuk mengurangi rasa
nyeri pada pasien post operasi
2. Bagi ilmu keperawatan
Diharapakan untuk bisa memberikan dan menerapkan teknik non farmakologi
untuk mengurangi nyeri
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil analisa ini juga dapat dijadikan sebagai awal sekaligus motivasi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi –terapi yang dapat
digunakan untuk mengurangi nyeri post op
No STANDAR OPERATING PROSEDUR (SOP)
TEKNIK TERAPI MURATTAL
Dokumentasi
Sebelum dilakukan operasi