Anda di halaman 1dari 65

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE: TERAPI MUROTTAL

SEBAGAI INTERVENSI NYERI AKUT PADA AN.S DENGAN POST OPERASI


ABSES MANDIBULA DEXTRA DI RUANG FIRDAUS RSI BANJARNEGARA

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ners

AISAH OKTAVIANI

2011040073

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan aktivitas


sehari-hari. Kerusakan pada gigi dapat mempengaruhi kesehatan anggota tubuh
lainnya, sehingga akan mengganggu aktivitas sehari - hari. Gejala awal suatu penyakit
seringkali tidak diperhatikan atau dianggap tidak terlalu penting. Kecenderungan ini
juga terjadi pada penyakit gigi termasuk yang merusak struktur gigi dan menyebabkan
gigi berlubang (Sumini, et.al. 2014).
Sakit gigi atau nyeri odontogenik merupakan penyakit yang biasanya
menyerang jaringan pulpa atau struktur periodontal. Nyeri gigi menempati urutan
kedua (17,6%) dibanding dengan nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi (Afif,
2015). Nyeri gigi dan mulut termasuk masalah di Indonesia dengan prevalensi yang
tinggi, hal ini terbukti meningkat dari tahun 2007 (sebesar 23,2%) ke tahun 2013
(sebesar 25,9%) diantara mereka terdapat 31,1% masyarakat mendapatkan perawatan
dengan bantuan tenaga kesehatan dan 68,9% masyarakat tidak melakukan perawatan
dengan bantuan tenaga kesehatan (Balitbang, 2013).
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2009 terdapat 66% masyarakat yang
mengalami nyeri gigi, pusing, sakit maag, batuk, diare melakukan swamedikasi.
Swamedikasi adalah upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri terhadap tanda
dan gejela yang mereka rasakan seperti datang ke apotek atau ketoko terdekat untuk
membeli obat dengan merk dagang yang mereka ketahui. Swamedikasi merupakan
langkah utama yang diambil oleh masyarakat untuk meningkatkan tindakan
pengobatan namun pada saat pelaksanaan swamedikasi dapat menyebabkan
kesalahan dalam pengobatan (medicationerror) kesalahan dalam pengobatan dapat
mempengaruhi rasionalitas penggunaan obat (Depkes, 2007).
Bakteri dapat menyerang semua bagian bagian tubuh termasuk pada rongga
mulut sehingga mengakibatkan infeksi. Akibat dari infeksi tersebut adalah timbulnya
abses. Abses submandibular adalah jenis abses leher yang menduduki urutan tertinggi
dari semua jenis abses leher, dimana abses ini terjadi peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah submandibula. Abses submandibula menempati urutan
tertinggi dari seluruh abses leher dalam. 70-85 % kasus yang disebabkan oleh infeksi
gigi merupakan kasus terbanyak, selebihnyadisebabkan oleh sialadenitis, limfadenitis,
laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula(Novialdy & Asyari, 2011).
Pada kasus abses submandibular dapat ditangani dengan pemberian antibiotik
dosis tingginamun pada beberapa kasus abses submandibular yang sudah kronis
atuapun parah diperlukan pembedahan untuk mengeluarkan abses (Novialdy &
Asyari, 2011). Akibat dari tindakan operasitersebutmenimbulkan beberapa
permaslahan dan terjadi komplikasi-komplikasi tertentu, seperti timbulnyanyeri,
bengkak (oedema),keterbatasan lingkup gerak sendi, kelemahab ototserta timbulnya
trismus
Abses merupakan hal yang berpotensi menyebabkan komplikasi-komplikasi
yang berbahaya. Selain itu, penentuan diagnosis klinis penyakit ini memiliki
tantangan tersendiri karena tanda dan gejala klinisnya yang tidak spesifik. Manifestasi
yang berbeda dari infeksi dapat diamati, diantara lain nyeri, demam, trismus pada
infeksi akut dan trismus disertai dengan pembengkakan pada infeksi kronis, dan
gangguan saraf. Penyebaran infeksi odontogenik adalah salah satu jenis yang paling
umum dari infeksi orofasial serius yang dihadapi oleh ahli bedah mulut dan
maksilofasial, mulai dari karies gigi sederhana, hingga yang dapat mengancam jiwa
yaitu, ludwig angina dan mediastinitis.

Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi
nanah, (Siregar, 2009). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di
mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan Bare, 2009).
Abses mandibula sering disebabkan oleh infeksi di daerah rongga mulut atau gigi.
Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibular yang
pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi (Hardjatmo Tjokro
Negoro 2010).

Abses dapat terbentuk di ruang submandibular atau salah satu komponennya


sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Abses leher dalam terbentuk
dalam ruang potensial di antara fasia hal ini biasanya disebabkan oleh akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Kuman penyebabnya biasanya campuran kuman
aerob dan anaerob. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses parafaring,
absesretrofaring dan ngina ludovici (angina Ludwig) atau abses submandibula. Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari
gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibular. Selain disebabkan oleh infeksi
gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh limfadenitis, trauma, atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Adapun
gejala yang ditimbulkan dari infeksi yaitu berupa gejala lokal dan sistemik. Gejala
lokal seperti rubor, kalor, tumor, dolor, dan perubahan fungsi. Adapun gejala
sistemiknya seperti demam, malaise, hipotensi, takhikardi, takhipnea, limpadenopati,
dan perubahan laju endap darah

Mayoritas (90-95%) dari infeksi di daerah orofasial berasal dari odontogenik.


Dari jumlah tersebut, sekitar 70% peradangan periapikal terutama abses dentoalveolar
akut, diikuti abses periodontal. Infeksi ruang temporal jarang dilaporkan dalam
literatur. Abses pada ruang ini dapat merupakan perkembangan sekunder dari sinusitis
maksila, fraktur sinus maksilaris, artroskopi temporomandibular, dan injeksi obat.
Lebih umum, infeksi ruang temporal berkaitan dengan ekstraksi gigi yang terinfeksi
dan tidak terinfeksi. Infeksi yang berasal dari odontogenik lebih sering dikaitkan
dengan gigi molar rahang atas.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan
submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila dibagi lagi
menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck
infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari igi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibular. Selain
disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh
limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang
leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau
campuran .

Angka kejadian Abses submandibula berada di bawah abses peritonsil dan


retrofaring. Namun dewasa ini, angka kejadiannya menduduki urutan tertinggi dari
seluruh abses leher dalam. 70 – 85% dari kasus disebabkan oleh infeksi dari gigi,
selebihnya karena sialadenitis, limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur
mandibula. Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada daerah dengan
fasilitas kesehatan yang kurang lengkap.
Nyeri termasuk suatu pengalaman sensorik dan emosional yang sangat tidak
menyenangkan dipicu oleh suatu stimulasi pada ujung saraf sensorik. Semua pasien
akan merasakan nyeri apabila efek anestesi sudah hilang, karena obat-obatan
analgesic yang diberikan pasca operasi tidak selalu dapat mengontrol nyeri dan obat
analgesic bertahan selama 6-8 jam. Smaltzer (2010), nyeri termasuk salah satu
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang actual dan potensial. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan
banyak orang dibanding dari penyakit manapun. Di Indonesia kini telah banyak
dikembangkan tindakan-tindakan untuk mengurangi nyeri selain dari tindakan medis,
yaitu pendekatan religius untuk mengurangi nyeri salah satunya dengan murottal Al-
qur‟an. Terapi religius ini termasuk terapi yang menggunakkan bacaan Al-qur‟an,
dimana seseorang akan diperdengarkan bacaan Al-qur‟an selama beberapa menit
sehingga akan memberikan dampak positif bagi tubuh seseorang yang mendengarkan.
Nyeri merupakan sebuah sensori subjektif dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait kerusakan jaringan aktual atau potensial atau gambaran dari
kondisi kerusakan jaringan (Saputra, 2013). Penyebab dari nyeri post operasi
diakibatkan karena obat anastesi yang sudah hilang dan karena luka post operasi yang
masih basah. Dampak nyeri pada pasien post operasi akan meningkat dan
mempengaruhi penyembuhan nyeri. Control nyeri yang penting setelah operasi, nyeri
yang dapat dibebaskan mengurangi kecemasan, pernafasan yang lebih mudah dan
dalam mobilitas dengan cepat. Pengkajian nyeri dan obat analgetik dapat mengurangi
nyeri yang dirasakan (Faridah, 2015)
Pada kasus infeksi leher dalam rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki
sebanyak 78% dan perempuan 22% 3 7 . Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan,
yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan
submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus. kasus infeksi leher dalam
sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua
setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%)
dan retrofaring (5,9%). kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai
Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi
abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%,
mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%,
retrofaring 13%, ruang karotis 11%. ( )
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dari
penulisan karya ilmiah ini adalah “Bagaimana asuhan keperawatan anak dengan
masalah nyeri akut pada kasus abses mandibula dextra
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk memberikan aplikasi evidence based dengan masalah nyeri akut pada
kasus abses mandibular dextra
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh pemberian terapi murattal pada pasien yang mengalami
nyeri post operasi abses mandibular dextra
b. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien yang mengalami nyeri post
operasi abses mandibula dexrta
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi Penulis
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam memberikan gambaran
asuhan keperawatan pada anak dengan pemberian terapi murotal untuk
mengurangi nyeri post op
2. Manfaat bagi Perawat
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat membantu perawat anak
dalam meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang terwujud
dengan meningkatkan kepuasan klien terhadap pelayanan asuhan yang
diberikan
3. Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Hasil penulisan ini untuk dijadikan Evidance Base Nursing dalam
pembelajaran mahasiswa keperawatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Abses

1. Definisi
Abses adalah rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Abses gigi merupakan infeksi akut purulent yang
berkembang pada bagian apical gigi. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
bakteri yang berasal dari gigi baik pada maxilla maupun mandibula. Abses
adalah adanya timbunan pus / nanah di dalam suatu jaringan / organ yang
secara normal tidak ada.
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah, (Siregar, 2009). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang
terjadi di mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah
satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan
Bare, 2009).
2. Etiologi
Abses terjadi diakibatkan adanya infeksi yang disebabkan oleh kuman
pyogenik, namun kasus terbanyak di sebabkan oleh staphylococcus aereus.
Selain itu faktor predisposisi pada abses di antaranya daya tahan tubuh rendah,
malnutrisi.
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro abses mandibula sering disebabkan
oleh infeksi di daerah rongga mulut atau gigi. Manurut siregar 2014 suatu
infeksi atau bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara antara lain:
a) Bakteri masuk kebawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril
b) Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
c) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan menyebabkan terbentuknya abses.

3. Tanda dan gejala


a) Demam ringan
b) Peningkatan jumlah sel darah putih perifer
c) Nyeri local
d) Jaringan lunak
e) Tampak massa / dapat dipalpasi
f) Adanya nodus eritemasus
g) Bila berlanjut, dapat nekrosis jaringan dan kulit di atasnya dan fistel dan
lemfedenitis
4. Patofisiologi
Jika bakteri menusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi,  bergerak ke dalam rongga tersebut,
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah. Akibat penimbunan nanah ini, maka
jaringan di sekitarnya akan terdorong jaringan  pada akhirnya tumbuh di
sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas. Abses hal ini merupakan
mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut jka suatu abses
pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa menyebar ke dalam tubuh maupun di
bawah  permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.

5. Pathway
Bakteri Gram Positif
(staphylococcus aureus streptococuc mutsn)

Mengeluarkan enzim hyaluronidase dan enzim koagulase

Merusak jembatan antar sel

Transport antar sel trganggu

Jaringan rusak/mati

Media bakteri yang baik

Jaringan terinfeksi
peradangan
Sel darah putih mati
demam
Jaringan menjadi abses
dan berisi Pus
gangguan thermogelulator
(pre op) pembedahan
pecah
luka insisi

Reaksi peradangan Resiko penyebaran infeksi


(rubor,kalor,dolor,tumor,fungsiolaesa) (pre dan post op)
Nyeri (post )
Nyeri (pre op)

Tidak dapat mengunyah makanan

Defisit nutrisi

Sumber Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama , 2001

6. Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologi : untuk mengetahui lokasi dan penyebaran abses
b) Pemeriksaan darah :
1) Leokosit : adanya peningkatan jumlah leokosit sebagai indikasi
infeksi
2) HE : meningkat pada hipovolemik pada hemokonsentrasi
3) Elektrolit : untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
4) LED : meningkat sebagai indikasi infeksi
5) Trombosit : penurunan oleh karena agregasi trombosit
6) Gula Darah : hiperglikemi menunjukan glukoneogenesis meningkat
c) Kultur pus dan darah
Untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi
7. Penatalaksanaan
Untuk stadium awal diberikan antibiotik dosis tinggi, penisillin
600.000 – 1.200.000 unit / ampisillin / amoksillin 3 – 4 x 250 – 500 mg atau
sefalosporin 3 – 4 x 250 – 500 mg, metronidazol 3 – 4 x 250 – 500 mg.
Juga obat simtomatik berupa analgesik – antipiretik parasetamol 3 x
250 – 500 mg, anjuran berkumur dengan antiseptk / air hangat, dan kompres
dengan air dingin.
Bila abses telah terbentuk, dilakukan pungsi kemudian insisi untuk
untuk mengeluarkan nanah dengan anastesi lokal. Insisi dilakukan pada daerah
paling menonjol dan lunak, atau pertengahan garis yang menghubungkan
dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah selesai
pasien diminta berkumur dengan antiseptik.
Bila terdapat trismus, diberikan analgesik lokal untuk nyeri dengan
menyuntikan silokain atau novokain 1 % di ganglion sfenopalatinum ( bagiab
belakang atas lateral konka media )
Pada anak kecil dianjurkan untuk anastesi umum, kemudian di
anjurkan untuk tosilektomi, umumnya sesudah infeksi tenang yaitu 2 – 3
minggu sesudah drainase abses.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Abses Mandibula


1. Pengkajian
a) Aktifitas/ istirahat
Data Subyektif: Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas.
Data Obyektif: Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).
b) Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi,
hiperventilasi, dll).
c) Integritas ego
Data Subyektif: Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : cemas, bingung, depresi.
d) Eliminasi
Data Subyektif: Inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami
gangguan fungsi.
e) Makanan dan cairan
Data Subyektif: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
f) Neurosensori
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo.
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g) Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : nyeri pada rahang dan bengkak
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
h) Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
Data Objektif: Pernapasan menggunakan otot bantu pernapasan/ otot
aksesoris.
i) Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru akibat gelisah.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak.

2. Diagnosa Keperawatan ( SLKI)


a) Nyeri akut b.d adanya proses peradangan, luka insisi pembedahan.
b) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan, nyeri area rahang
c) Resiko infeksi b.d tindakan pembedahan
3. Intervensi ( SDKI, SLKI)
Tujuaan:
a) Nyeri akut b.d adanya proses peradangan, luka insisi pembedahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
masalah nyeri dapat berkurang, yang dibuktikan dengan oleh indicator (beri
nilai 1-5): 1(menurun), 2(cukup menurun), 3 (sedang), 4 (cukup meningkat),
5 (meningkat) dengan kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri terkontrol
2) Kemampuan mengenali omset nyeri
3) Kemampuan menggunakan tek non farmakologi
4) Kemapuan mengenali penyebab nyeri

Nursing Interventions Classification (NIC):


b) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan, nyeri area rahang

1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas


nyeri
2) Berikan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri
3) Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri
4) Kolaborasi pemberian analgetik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan


masalah defisit nutrisi dapat teratasi, yang dibuktikan dengan oleh indicator
(beri nilai 1-5): 1(menurun), 2(cukup menurun), 3 (sedang), 4 (cukup
meningkat), 5 (meningkat) dengan kriteria hasil :
1) Kekuatan otot pengunyah
2) Kekuatan otot menelan

Nursing Interventions Classification (NIC):

1) Monitor asupan makanan


2) Berikan makanan yang mudah di telan
3) Ajarkan diit yang diprogramkan
4) Kolaborasi dengan ahli gizi

c) Resiko infeksi b.d tindakan pembedahan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
masalah resiko infeksi tidak terjadi, yang dibuktikan dengan oleh indicator
(beri nilai 1-5): 1(meningkat), 2(cukup meningkat), 3 (sedang), 4 (cukup
menurun), 5 (menurun) dengan kriteria hasil :
1) Kemerahan
2) Nyeri
3) Bengkak

Nursing Interventions Classification (NIC):

1) Monitor tanda dan gejala infeksi


2) Pertahankan teknik aseptic
3) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik
C. Perkembangan Remaja Awal Menurut Erikson
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–
inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini
anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain
karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang
dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan
ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.Tahap keempat ini dikatakan juga
sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12
tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah
diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari
lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki
peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian,
teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana


yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring
bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk
dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan
bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui
tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda jika anak
tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini.
Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya
menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman
dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun
guru dalam mengontrol mereka.Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila
anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut
Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa
giat dan rajin makaakan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman.
Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-
masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak
berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi.
Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya
adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada
nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni
kompetensi.Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda
dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu
dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak
terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya
dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

D. Nyeri
1. Definisi
Nyeri merupakan pengalaman sensasi dan emosi yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang bersifat aktual maupun
potensial. Pengalaman nyeri merupakan gabungan dari fisiologis serta
psikologis dan bukan merupakan kerusakan jaringan menetap (Fischa, A,
2015).
Nyeri pembedahan berlangsung selama 24 sampai 48 jam, namun bisa
juga berlangsung lebih lama, tergantung dari pemahaman nyeri yang dimiliki
pasien serta respon terhadap nyeri. Nyeri dapat menganggu proses
penyembuhan dan menghambat aktivitas (Fischa, A, 2015).
Tindakan untuk mengurangi nyeri dan stress yang diakibatkan oleh
prosedur medis yang dijalani anak harus menjadi perhatian utama dalam
memberikan pelayanan pada anak. Tujuan utama dari pelayanan adalah tidak
menimbulkan trauma (atraumatic care) pada anak. Prinsip yang dilaksanakan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah mencegah dan meminimalkan
perpisahan anak dengan keluarganya, meningkatkan kontrol diri anak, dan
mencegah terjadinya nyeri serta cidera tubuh (Martajaya, 2018).
Nyeri dapat diatasi dengan intervensi manajemen nyeri terutama pada
nyeri post operasi yaitu dengan pemberian terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi. Terapi farmakologi terkadang dapat menimbulkan efek samping
yang juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Banyak pilihan
terapi non farmakologi yang merupakan tindakan mandiri perawat dengan
berbagai keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek samping, simple
dan tidak berbiaya mahal. Terapi ini dapat dilakukan dengan cara tehnik
relaksasi, terapi murotal, distraksi, stimulasi dan imajinasi terbimbing,
(Rosdalh & Kawalski, 2015).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Faktor tertentu seperti usia, jenis kelamin, tingkat kognitif,
temperamen, pengalaman nyeri sebelumnya, dan latar belakang keluarga, serta
budaya tidak dapat diubah. Faktor situasional yang berupa aspek perilaku,
kognitif, dan emosi dapat dimodifikasi. Faktor spesifik situasi yang
mempengaruhi pengalaman nyeri anak, anatara lain “apa yang dipahami anak
dan orang tua, apa yang mereka dan staf perawatan kesehatan lakukan dan
bagaimana perasaan anak dan orang tua. Faktor situasioanl tertentu dapat
memperhebat nyeri dan distress, sedangkan lainnya dapat memicu episode
nyeri, nyeri berkepanjangan yang berkaitan dengan disabilitas atau
mempertahankan episode nyeri berulang dan kekambuhan nyeri” (McGrath,
2010).
Menurut Potter dan Perry (2010) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nyeri, antara lain : usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna
nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping,
dukungan keluarga dan social:
1) Usia dan jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa struktur sistem saraf memerlukan
transmisi impuls nyeri dan persepsi. Jenis kelamin dapat memainkan peran
dalam persepsi nyeri pada anak, tetapi penelitian gagal untuk menghasilkan
bukti yang mendukung pernyataan tersebut (Hurley & Adams, 2008).
Dinyatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan berbeda dalam cara
merekam menerima dan mengatasi nyeri serta berespon terhadap analgetik.
Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain genetik, hormon,
keluarga dan budaya.
2) Tingkat Kognitif
Tingkat kognitif adalah faktor kunci yang mempengaruhi persepsi
nyeri pada anak dan respon serta biasanya berhubungan dengan usia anak.
Tingkat kognitif biasanya meningkat seiring dengan pertambahan usia,
dengan demikian mempengaruhi pemahaman anak mengenai nyeri dan
dampaknya serta pilihan mereka dalam hal strategi koping. Peningkatan
kognitif anak, kemampuan anak untuk mengkomunikasikan informasi
mengenai nyeri meningkat. Hal ini meningkatkan pemahaman dan
kemampuan berkomunikasi dengan usia lebih lanjut yang mungkin tidak
dapat diterapkan pada anak yang mengalami hambatan perkembangan.
Perawat perlu mengenali perbedaan ini ketika merawat anak yang
mengalami nyeri. Penelitan telah menunjukkan bahwa anak yang berusia
lebih muda sering menjelaskan nyeri dalam istilah konkret, sedangkan anak
yang berusia lebih tua menggunak istilah yang lebih abstrak yang
melibatkan komponen fisik dan psikologis (McGrath, 2010).

3) Temperamen
Temperamen memainkan peran penting dalam dalam dalam
memprediksi tingkat distress dan nyeri pada anak selama kejadian yang
menimbulkan nyeri (Ranger & Campbell, 2008). Misalnya anak dengan
“temperamen yang sulit” lebih cenderung memiliki peningkatan respon
distress terhadap nyeri. Perawat dapat melakukan intervensi personal dalam
tatanan klinik dan selama pengalaman nyeri untuk menyesuaikan dengan
temperamen anak dan ancaman kepribadian lain pada anak dan keluarga.
4) Pengalaman nyeri sebelumnya
Seorang anak mengidentifikasi nyeri berdasarkan pada pengalamannya
dengan nyeri di masalalu.Sejumlah kejadian nyeri, jenis nyeri, keparahan
atau Intensitas pengalaman nyeri sebelumnya, efektivitas terapi nyeri dan
cara anak merespon nyeri ke semua hal tersebut memengaruhi bagaimana
anak akan menerima dan merespon terhadap pengalaman nyeri saat ini.
Penelitian membuktikan bahwa pengalaman bahwa pengalaman nyeri hebat
pada neonatus atau bayi dapat menyebabkan gangguan sensori dan gangguan
respon nyeri yang bertahan hingga remaja (Hatfield, Chang, Bittle, Deluca &
Polomano, 2011). Pengalaman nyeri sebelumnya dengan pengendalian nyeri
yang tidak adekuat menyebabkan peningkatan distress selama prosedur yang
menimbulkan nyeri di masa yang akan datang.
5) Keluarga dan Budaya
Latar belakang keluarga dan budaya akan memengaruhi cara ia
mengekspresikandan mengelola nyeri. Beberapa budaya membawa standar
penerimaan nyeri dengan sabar dan memperbolehkan menampakkan
ekspresi nyeri. Orang tua berpengaruh penting pada kemampuan anak untuk
mengatasi nyeri. Misalnya, jika orag tua bereaksi terhadap nyeri dalam cara
yang positif dan menawarkan tindakan kenyamanan, anak mungkin memiliki
waktu penyesuaian yang lebih mudah. Jika orang tua menunjukkan
kemarahan atau ketidaksetujuan, pengalaman nyeri mungkin meningkat bagi
anak.
6) Faktor Situasional
Faktor situasional melibatkan faktor atau elemen yang berinteraksi
dengan anak dan situasi anak saat ini yang berkaitan dengan pengalaman
nyeri. Faktor ini sangat beragam dan bergantung pada situasi yang spesifik.
Faktor situasional hasil dari konteks ketika anak mengalami nyeri dan
mencakup kognitif mengenai apa yang dipahami dan diyakini anak
mengenai pengalaman nyeri; perilaku adalah cara anak dan keluarga
bereaksi dan apa yang mereka lakukan mengenai pengalaman nyeri; dan
emosi, adalah cara anak dan keluarga rasakan tentang pengalaman nyeri
(Crowell, 2009)
4. Pengukuran Skala Nyeri pada Anak
Penilaian dan pengukuran derajat nyeri sangatlah penting dalam
proses diagnosis penyebab nyeri, sehingga dapat dilakukan tindakan
selanjutnya yang tepat meliputi tindakan farmakologi dan tindakan non
farmakologi. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin menggunakan metode
pengukuran skala nyeri meliputi Numeric Rating Scale(NRS) dan Wong
Baker FACES Pain Rating Scale,masing-masing dari kelebihan serta
kekurangan skala pengukuran nyeri tersebut meliputi:
Ukuran Intensitas Nyeri
a. Numeric Rating Scale(NRS)
Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk
menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim
lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis,
hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri
akut ketimbang VAS dan VRS. Namun, kekurangannya adalah
keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti
dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik.Skala numerik dari 0 hingga 10, di
bawah, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan
sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat
gambar 2.1 Numeric Rating Scale (NRS)
Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015)

b. Verbal RatingScale(VRS)
Skala ini memakai dua ujung yang sama seperti VAS atau skala reda
nyeri.Skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka
untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat
berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat
dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup
berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. Kekuranganskala ini
membatasi pilihan kata klien sehingga skala ini tidak dapat
membedakan berbagai tipe nyeri.

Gambar 2.2 Verbal RatingScale(VRS)


Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015)

c. Visual Analog Scale(VAS)


Visual Analog Scale(VAS) adalah skala linear yang menggambarkan
secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang
pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan
atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini
dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu
mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa
nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau
horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya atau
reda rasa nyeri. Digunakan pada klien anak >8 tahun dan dewasa.
Manfaat utama VAS adalah penggunaan sangat mudah dan sederhana.
Namun, untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat
karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta
kemampuan konsentrasi.

Gambar 2.3Visual Analog Scale(VAS)


Sumber : (Yudiyanta, Khoirunnisa, & Novitasari, 2015)

d. Wong Baker FACES Pain Rating Scale


Skala nyeri ini tergolong mudah untuk dilakukan karena hanya dengan
melihat ekspresi wajah pasien pada saat bertatap muka tanpa kita
menanyakan keluhannya. Skala Nyeri ini adalah skala kesakitan yang
dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker. Skala ini
menunjukkan serangkaian wajah mulai dari wajah gembira pada 0,
“Tidak ada sakit hati” sampai wajah menangis di skala 10 yang
menggambarkan “Sakit terburuk”. Pasien harus memilih wajah yang
paling menggambarkan bagaimana perasaan mereka. Penilaian skala
nyeri ini dianjurkan untuk usia 3 tahun ke atas. Tidak semua klien
dapat memahami atau menghubungkan skala intensitas nyeri dalam
bentuk angka. Klien ini mencakup anak-anak yang tidak mampu
mengkomunikasikan ketidaknyamanan secara verbal, klien lansia
dengan gangguan kognisi atau komunikasi, dan orang yang tidak bisa
berbahasa inggris, sehingga untuk klien jenis ini menggunakan skala
peringkat Wong Baker FACES Pain Rating Scale. Skala wajah
mencantumkan skala angka dalam setiap ekspresi nyeri sehingga
intensitas nyeri dapat di dokumentasikan oleh perawat.
Gambar 2.4 Wong Baker FACES Pain Rating Scale
Sumber : (Kozier, 2011)

5. Manajemen Nyeri Nonfarmakologi


Beberapa teknik tersedia untuk membantu anak dalam manajemen
nyeri ringan pada anak atau untuk memperbanyak efektivitas medikasi untuk
nyeri sedang atau berat. Banyak teknik nonfarmakologis ini membantu anak
mengatasi nyeri dan member mereka kesempatan untuk merasa menguasai
atau mengendalikan situasi. Dua jenis teknik adalah strategi perilaku kognitif
dan strategi biofisik.
a. Strategi Perilaku Kognitif
Strategi perilaku kognitif untuk manajemen nyeri melibatkan
tindakan yang meminta anak untuk fokus pada area khusus dan bukan
focus pada nyerinya. Strategi ini membantu mengubah interpretasi
stimuli nyeri, mengurangi persepsi nyeri atau membuat nyeri lebih
dapat ditoleransi. Selain itu, strategi ini membantu menurunkan
perilaku dan pikiran negatif, serta ansietas, dengan demikian
memperbaiki mekanisme koping anak. Strategi perilaku kognitif antara
lain relaksasi, distraksi, imajinasi, biofeedback, penghentian pikiran,
dan bicara positif pada diri sendiri.
b. Relaksasi
Relaksasi membantu dalam mengurangi ketegangan otot dan
ansietas. Beragam teknik dapat digunakan. Relaksasi dapat
sesederahana seperti memegang bayi atau anak kecil secara dekat dan
sambil membelai anak atau berbicara dengan cara yang menenangkan,
atau meminta anak menarik dan menghembuskan nafas dalam secara
perlahan menggunakan nafas dalam.
c. Distraksi
Distraksi melibatkan anak untuk fokus pada stimulus lain,
dengan demikian berusaha untuk melindungi klien dari nyeri.
Penelitian menunjukkan bahwa distraksi menjadi intervensi penting
secara statistikdan klinis dalam mengurangi nyeri. Metode ini lebih
hemat waktu dan biaya (Cohan, 2007). Beragam metode dapat
digunakan untuk distraksi, antara lain : menghitung, mengulang frase
atau kata tertentu, seperti “ouch”, mendengarkan musik atau
bernyanyi, bermain game, termasuk gameyang ada dikomputer dan
video game, meniup gelembung atau meniup pinwheel mendengar
cerita kesukaan, menonton kartun atau film.Pastikan setiap permainan
disesuaikan dengan usia anak dan menetukan siapa yang akan
membuat anak tertawa.

d. Kompres Panas dan Dingin


Kompres panas dan dingin mengganggu mekanisme fisiologi
yang berkaitan dengan nyeri. Dingin menyebabkan vasokonstriksi dan
mengubah permeabilitas kapiler, menyebabkan penurunan edema pada
area yang cedera. Akibat vasokonstriksi, aliran darah berkurang dan
pelepasan zat penyebab nyeri seperti histamindan serotonin juga
berkurang, selain itu, transmisi stimuli nyeri melalui serabut saraf
perifer menurun. Panas menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah ke area. Hal ini juga menyebabkan penurunan stimulasi
nosiseptif dan memindahkan zat kimia yang dapat menstimulasi
serabut nosiseptif. Peningkatan alirandarah mengubah permeabilitas
kapiler, menyebabkan pengurangan edema dan tekanan pada serabut
saraf nosiseptif. Panas juga dapat memicu pelepasan opioid endogen
yang menjadi perantara respon nyeri.
e. Terapi murottal
1) Pengertian murottal
Murottal merupakan salah satu musik yang memiliki
pengaruh positif bagi pendengarnya (Widayarti, 2011 dikutip
oleh Rohmi Handayan dkk, 2014). Mendengarkan ayat-ayat
Al-qur‟an yang dibacakan secara tartil dan baner, akan
mendatangkan ketenangan jiwa. Lantunan ayat-ayat Al-qur‟an
secara fisik mengandung unsur-unsur manusia yang merupakan
instrumen penyembuhan dan alat yang paling mudah
dijangkau. Suara dapat menurunkan hormone-hormon stress,
mengaktifkan hormon endofrin alami, meningkatkan perasaan
rileks, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan
tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,
denyut nadi dan aktivitas gelombang otak (Heru, 2008 dikutip
oleh Rohmi Handayani, Dyah Fajarsari, Dwi Retno Trisna
Asih, Dewi Naeni Rohmah, 2014).
Murottal adalah rekaman suara Al-qur‟an yang
dilagukkan oleh seorang qori‟ (pembaca Al-qur‟an) (Heru,
(2008) dalam Siswantinah (2011). Secara fisik lantunan Al-
qur‟an merupakan unsure suara manusia sedangkan
instrumennya merupakan suara manusia merupakan
penyembuhan menabjubkan dan alat yang mudah untuk
dijangkau
Heru (2008) mengemukakan bahwa lantunan Al-qur’an
secara fisik mengandung unsur suara manusia, sedangkan suara
manusia merupakan instrumen penyembuhan yang
menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara
dapat menurunkan hormon-hormon endofrin alami, meningkat
perasaan rileks, mengalihkan perhatian, rasa takut, cemas dan
tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan
tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,
denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak.
Manfaat terapi murottal Al-qur‟an ini dibuktikan
dalam berbagai penelitian. Manfaat tersebut diantaranya
adalah:

a) Bisa menurunkan kecemasan


Berdasarkan penelitian (Zahrofi, dkk 2013) dan (Zanzabiela
dan Alphianti, 2014) bahwa pemberian murrotal Al-qur‟an
memiliki pengaruh terhadap tingkat kecemasan responden
(pasien). Pada penelitian itu responden (pasien) yang diberikan
terapi murottal Al- qur‟an memiliki tingkat kecemasan yang
lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak diberikan terapi
murotal qur‟an.
b) Menurunkan perilaku kekerasan
Pada penelitian (Widhowati SS, 2010) menunjukkan terapi
audio dengan murottal surat Ar-Rahman pada kelompok
perlakuan lebih efektif dalam menurunkan perilaku kekerasan
dibandingkan dengan kelompok control yang tidak
mendapatkan terapi audio.
c) Mengurangi nyeri
Terapi murottal Al-qur‟an terbukti bisa menurunkan tingkat
nyeri. Hal ini terbukti berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Hidayah (2013) dan (Handayani dkk, 2014) bahwa
terdapat pengaruh pemberian terapi murottal Al-qur‟an
terhadap tingkat nyeri. Pada kedua penelitian tersebut
kelompok yang diberikan terapi murottal Al-qur‟an memiliki
tingkat nyeri yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang
tidak diberikan terapi murottal Al-qur‟an.
d) Efektif dalam perkembangan kognitif anak autis
Pada penelitian (Hady dkk, 2012) mengatakan bahwa terapi
musik murottal Al-qur‟an mempunyai pengaruh yang jauh
lebih baik dibandingkan musik klasik.

2) Terapi Murattal
Hadi, Wahyuni dan Purwaningsih dalam Zahrofi (2013)
menjelaskan bahwa terapi murottal Al-qur‟an yaitu terapi religi
dimana seseorang akan dibacakan atau diperdengarkan ayat-ayat
Al-qur‟an selama beberapa menit sehingga akan memberikan
dampak positif bagi tubuh seseorang. Sedangkan menurut Potter
& Perry (2010), terapi musik maupun suara harus didengarkan
minimal 15 menit untuk memberikan efek terapeutik. Terapi
murottal Al-qur‟an terbukti bisa mengaktifkan sel-sel tubuh
dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang
ditangkap tubuh, menurunkan stimuli reseptor nyeri. Berdasarkan
penelitian dilakukan oleh (Fitriyatun lis, 2014) dan (Handayani
dkk, 2014) mengenai terapi murottal Al-qur‟an, diperoleh
rentang waktu pemberian terapi murottal Al-qur‟an selama 11-15
menit.
Terapi murottal Al-qur‟an dapat mempercepat
penyembuhan, hal ini telah dibuktikan oleh beberapa ahli seperti
yang dilakukan oleh Ahmad Al Khadi direktur utama Islamic
Medicine Institute for Education and Research di Florida,
Amerika Serikat dengan hasil penelitian menunjukkan 97%
bahwa mendengarkan ayat suci Al-qur‟an memiliki pengaruh
mendatangkan ketenangan dan menurunkan ketegangan urat
saraf reflektif (Remolda, 2009).

Mekanisme murottal Al-qur‟an sebagai terapi


Setelah membaca Al-qur‟an ataupun mendengarkan bacaan Al-
qur‟an implus atau rangsangan suara akan diterima oleh daun telinga
pembacanya, kemudian telinga memulai proses mendengarkan. Secara
fisiologi pendengaran adalah proses dimana telinga informasi
kesususnan saraf pusat. Setiap bunyi dihasilkan oleh sumber bunyi atau
getaran udara akan diterima oleh telinga. Getaran tersebut diubah
menjadi implus mekanik di telinga tengah dan diubah menjadi implus
elektrik ditelinga dalam dan diteruskan melalui saraf pendengaran
menuju ke korteks pendengaran diotak.
Suara bacaan Al-qur‟an akan ditangkap oleh daun telinga yang
akan disalurkan kelubang telinga dan mengenai membrane timpani,
sehingga membuat bergetar. Getaran ini akan diteruskan ke tulang-
tulang pendengaran yang bertautan yang satu dengan yang lainnya.
Dari daerah pendengaran sekunder sinyal bacaan Al-qur‟an
akan diteruskan kebagian posterotemporalis lobus temporalis otak
yang dikenal dengan area wemicke. Sebab Al-qur‟an bisa
memberikan kesan positif pada hipokampus dan amigdala, sehingga
akan menimbulkan suasana hati yang lebih positif. Selain membaca al-
qur‟an kita juga bisa memperoleh manfaat meskipun hanya
mendengarkannya, namun efek yang ditimbulkan tidak sehebat bila
kita membacanya dengan lisan.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Proses Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
Pasien An.S usia 14 tahun anak ke 1 dari 2 bersaudara dari Tn.B 43
tahun dan Ny.S 42 tahun alamat Kutabanjarnegara RT 01/RW 02 tanggal
masuk 20 Desember 2020 suku bangsa Jawa dilakukan pengkajian pada
tanggal 21 Desember 2020 dengan diagnose medis Post op Abses Mandibula
Dextra.
2. Ringkasan Pengkajian
Pasien datang ke IGD RSI Banjarnegara pada tanggal 20 Desember
2020 pada pukul 11.00 WIB. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada pipi
sebelah kanan, nyeri skala 5, nyeri seperti tertusuk-tusuk dan nyeri hilang
timbul, pipi bengkak dan keluar nanah dari gusi. Pasien mengatakan pada
awalnya pasien sakit gigi sudah 3 bulan dan sudah minum obat dan sudah
berobat tetapi belum sembuh kemudian menjadi bengkak, kemudian pasien
dianjurkan untuk di rawat inap di Ruang Firdaus.
Pengakajian nyeri di dapatkan hasil:
P: Nyeri akibat pipi bengkak
Q: Nyeri seperti tertusuk-tusuk
R: Nyeri pada area pipi kanan
S: Skala nyeri 5 (0-10)
T: Nyeri dirasakan hilang timbul
Hasil Pemeriksaan fisik didapatkan:
TD: 110/80 mmHg
N: 80x/menit
RR: 20x/menit
S: 36,6 oC
SP02: 98 %.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
b) Prenatal : Pada saat hamil, ibu pasien mengatakan rutin control ke bidan
desa 1 bulan sekali dan tidak mempunyai masalah kehamilan
c) Intranatal : Ibu pasien mengatakan pada saat meahirkan An.S pada usia
kehamilan 9 bulan dan melahirkan secara normal di Rumah Sakit dengan
BB lahir 3000 gram dengan PB 48 cm
d) Postnatal: Ibu pasien mengatakan bahwa pada saat lahir An.S sudah
langsung di imunisasi Hepatitis di Rumah Sakit tempat An. S di lahirkan.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Ibu pasien mengatakan An.S mempunyai riwayat penyakit tipoid dan sudah
pernah di rawat di Rumah Sakit. Ibu pasien mengatakan An.S belum pernah
operasi sebelumnya dan ibu pasien juga mengatakan An.S sudah mendapat
imunasi dasar lengkap ( HB 0, BCG, Polio 1,DPT-HB-HIb 1, Polio 2, DPT –
HB-HIb 2, Polio 3, DPT-HB-HIb 3, Polio 4, IPV, Campak) dan imunisasi
tambahan (PCV influenza MMR, Hepatitis A).
4. Riwayat Sosial
An.S di asuh oleh ayah dan ibunya,pasien juga mempunyai hubungan yang
baik dengan anggota keluarga dan mempunyai hubungan baik dengan teman
sebaya, An. S juga mengatakan lingkungan rumahnya nyaman.
5. Kebutuhan Dasar
a) Nutrisi : Ibu pasien mengatakan sebelum sakit napsu makan baik 3x
sehari dan pada saat di rumah sakit pasien mengatakan napsu makan
berkurang karena tidak bisa mengunyah makanan
b) Eliminasi: Pasien mengatakan sebelum sakit BAB 1x dalam sehari dan
BAK lancar. Pada saat di rumah sakit pasien mengatakan belum BAB
c) Istirahat Tidur : pasien mengatakan sebelum sakit tidur kurang lebih 8
jam . Pada saat di rumah sakit pasien mengatakan tidur hanya kurang
lebih 3 jam pada malam hari
d) Aktivitas : Pada saat di rumah sakit pasien mengatakan bosan karena
hanya duduk dan berbaring di tempat tidur
6. Tinjauan Sistem
a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital :
e) Keadaan umum : Baik
a) TB dan BB : 145 cm dan 46 kg
b) Suhu : 36,5OC
c) Nadi : 90x/mnt
d) Pernafasan : 20x/mnt
e) Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Pengkajian Kardiovaskuler :
1) Nadi, denyut apeks-frekuensi,irama dan kulitas: -
Nadi perifer (ada/tidak ada) : jika ada, frekuensi, irama, kualitas
dan perbedaan antar
Ekstremitas : -
2) Pemeriksaan toraks dan hasil auskultasi :
Lingkar dada (toraks) : Lingkar dada pasien normal
Adanaya deformitas : Bentuk dada kanan kiri simetris
Bunyi jantung : lupdup, tidak ada sura tambahan
3) Tampilan Umum
Tingkat aktifitas : Pasien tampak tiduran di tempat tidur
Perilaku : apatis, gelisah, ketakutan : Pasien terlihat gelisah
pada kondisi saat ini
Jari tubuh (dubbling) pada tangan dan kaki :
4) Kulit
Warna : Kulit tubuh pasien berwarna sawo matang
Elastisitas : Kulit tubuh pasien masih elastis
Suhu Tubuh : Teraba hangat
5) Edema
Perioribital : Tidak terdapat edema pada perioribital pasien
Ekstremitas : Tidak terdapat edema pada ekstremitas atas
ataupun bawah pasien.
c. Pengkajian sistem pengindraan (pengecapan)
1) Pasien mengatakan pipi bengkak dan terasa nyeri
2) Pasien mengatakan gusi keluar nanah
d. Pengkajian Respitarori
1) Bernafas
Frekuensi pernafasaan, kedalaman dan kesimetrisan : Frekuensi
pernafasaan 20x/menit, kedalaman napas normal, bentuk dada
pasien saat inspirasi dan ekspirasi simetris
Pola nafas : apnea, takipnea : Normal
Retraksi : tidak retraksi didinding dada normal
Pernafasaan cuping hidung : Tidak ada pernafasan melalui
cuping hidung
Posisi yang nyaman : Tiduran
2) Hasil Auskultasi Toraks
Bunyi nafas : Vesikuler
Fase ekspirasi dan inspirasi memanjang : Fase ekspirasi dan
inspirasi pasien
Normal, tidak ada pemanjangan.
3) Hasil Pemeriksaan Toraks
Lingkar dada : -
Lingkar kepala : -
e. Pengkajian Neurologi
1) Tingkat kesadaran (hasil GCS) : Sadar penuh (composmentis E4
V5 M6 = 15)
2) Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Normal (bulat) tidak ada benjolan
Fontanel : Normal
Lingkar kepala ( dibawah 2 tahun )
3) Reaksi pupil
Ukuran : Ukuran pupil pasien normal 2mm
Reaksi terhadap cahaya : terhadap reaksi pupil terhadap cahaya
4) Aktifitas kejang : Pasien tidak mengalami kejang

5) Fungsi sensori
Reaksi terhadap nyeri : Saat dilakukan rangsang nyeri tangan
pasien menjauh
6) Refleks
Refleks tendon dan superficial : Pasien dapat menggerakan
secara fleksi dan ekstensi
Refleks patologis : Normal
7) Kemampuan intelektual (tergantung tingkat perkembangan)
Perkembangan menulis & menggambar : Pasien sudah bisa
menulis dan menggambar.
Kemmampuan membaca : Pasien sudah bisa membaca dengan
lancar
f. Pengkajian Gastrointestinal
1) Hidrasi
Turgor kulit : Normal, 1 detik
Membrane mukosa : Membran mukosa tidak kering
Asupan & haluaran : Asupan cairan kurang, haluran kurang.
2) Abdomen
Nyeri : Tidak ada nyeri pada perut
Kekakuan : Tidak ada kekakuan pada di perut
Bising usus : Tidak terdengar bising usus
Muntah (jumlah, frekuensi, dan karakteristik) : pasien tidak
muntah
Feses (frekuensi dan karakteristik) : pasien belum bisa bab 2 hari
Kram : Tidak ada kram pada perut
g. Pengkajian Renal / Ginjal
1) Fungsi ginjal
Nyeri tekan pinggang atau suprapubik : Tidak ada nyeri tekan
pinggang
Disuria : Tidak ada nyeri saat berkemih
Pola berkemih (lancer/menetes) : Pola berkemih pasien lancar
Adanya acites : Tidak ada pembengkakan pada perut pasien
Adanaya edema pada (skortum, periobital, tungkai bawah ) :
Tidak ada edema pada tungkai bawah.
2) Karakteristik urine dan urinasi
Urine tampak bening atau keruh : urine tampak keruh
Warna : urine berwarna jingga
Bau ( amoniak dan aseton) : Amoniak
Berat jenis : 1.025
Menangis saat berkemih : Saat berkemih pasien tidak menangis
3) Genetalia
Iritasi : Tidak ada iritasi pada genetalia pasien
Sekret : Tidak ada sekret pada genetalia pasien
h. Pengkajian Muskuloskeletal
1) Fungsi motoric kasar
Ukuran otot ( adanya atropi/ hipertropi otot) : Ukuran otot
normal tidak ada atropi/hipertropi otot.
Tonus otot (spastis, rentang gerak terbatas) : Tonus otot normal,
tidak ada rentang gerak terbatas
Kekuatan : normal
Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal
2) Fungsi Motorik Halus
Manipulasi mainan : pasien sudah mampu memanipulasi
permainan
Menggambar : Pasien sudah bisa menggambar.
3) Kontrol postur
Mempertahankan posisi tegak : Pasien dapat mempertahankan
posisi tegak
Bergoyang-goyang : Pasien dapat bergoyang-goyang
4) Persendian
Rentang gerak : Normal, tidak ada hambatan
Kontraktur : Tidak ada kontraktur
Adanya edema dan nyeri : Tidak ada edema dan nyeri di
persendian

5) Tulang belakang
Lengkung tulang belakang (scoliosis, kiposis) : Tulang
belakang pasien normal tidak ada skoliosis atau kifosis
i. Pengkajian Hematologi
1) Kulit
Warna : Sawo matang
Adanya ptechea, memar : Tidak ada ptechea dan memar pada
kulit pasien
Perdarahan dari mukosa atau dari luka suntikan/ fungsi vena :
Tidak ada pendarahan dari mukosa atau luka suntik
- Luka post operasi pada pipi sebelah kanan pasien di
tampon dengan kasa kurang lebih 20 cm
2) Abdomen
Pembesaran hati : Tidak ada pembesaran hati
Pembesaran limpa : Tidak ada pembesaran limpa
j. Pengkajian Endokrin
1) Status hidrasi
Poluria : Tidak terdapat poliuria
Polifagia : Tidak terdapat polifagia
Polidipsi : Tidak terdapat polidipsi
Kulit kering : Keadan kulit normal
2) Tampilan Umum
Alam perasaan : Pasien terlihat gelisah dan tidak nyaman
Iritabilitas : Tidak ada iritabilitas
Sakit kepala : Pasien mengatkan tidak sakit kepala
Gemetaran : Pasien tidak gemetaran

7. Riwayat Keluarga ( disertai genogram)


Gambar 3.1 Genogram

Keterangan :

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki meninggal

Perempuan meninggal

Pasien

Tinggal satu rumah

Pasien merupakan anak ke-1 dari 2 bersaudara. Ibu pasien mengatakan


bahwa dalam anggota keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat
penyakit yang sama dengan pasien. Ibu pasien juga mengatakan bahwa
keluarganya tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti hipertensi
dan DM.
8. Program Terapi ( Obat)
Nama Obat Dosis Indikasi Kontraindikasi Efek samping

Cefriaxon 2x1/2 Untuk 1) Pasien yang 1) Gastrointe


ampul mengatasi hipersensitive stinal
berbagai terhadapantibioik (mual,mun
infeksi 2) Neonates (bayi tah,diare,s
bakteri yang usia 28 hari) tomatitis,a
terjadi pada dengan danya
tubuh hiperbilirubinemi jamur
a,icterus,atau pada
asidosis mulut dan
glositis
atau
infeksi
pada lidah
2) Kulit
(pruritis)
Gatal
seluruh
tubuh,
edema
(cairan
abnormal
diantara
sel)

Ketorolak 3x1 Untuk 1) Alergi OAINS 1) Berat


ampul meredakan 2) Tukak peptik akut badan naik
nyeri dan 3) Diastasis drastic
peradangan hemoragik 2) Sakit perut
4) Hamil dan 3) Mual dan
menyusui muntah
5) Anak usia <16 4) Peningkat
tahun an tekanan
darah
5) Mulut
kering
6) Sariawan

metilprednisolon 2x1/2 Untuk 1) Hipersensitiv 1) Reaksi


vial mengatasi 2) Bayi premature alergi
penyakit 3) Infeksi jamur 2) Kardiovas
yang sistemik kular
menyebabka 4) Pemberian secara 3) Dermatolo
n peradangan intake (sumsung gis
tulang belakang) 4) Endokrin
5) Gastrointe
stinal
6) Muskulos
keletal
7) Meningkat
nya
kemungki
nan
infeksi

Gentamisin salep 1 x1 hari Untuk Hipersensitive, infusiensi Iritasi pada kulit


pada pengobatan ginjal
saat topical
perawaa infeksi
n luka primer dan
(pagi sekunder
hari) pada kulit
yang
disebabkan
oleh bakteri
yang peka
terhadap
gentamicin

9. Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan

URINE

Warna Jingga Kuning Tidak


normal

Kekeruhan Keruh Jernih Tidak


normal

Berat jenis 1.025 1.002-1.030 Normal

Ph/Reaksi 4.8-7.4

Lekosit +1 Negatif Tidak


normal

Protein +3 Negatif Tidak


normal

Bilirubin +1 Negatif Tidak


normal

Keton +_ Negatif Tidak


normal

Glukosa - Negatif Normal

Urobilinogen +1 0.2-1.0
Makroskopis:

Eritrosit 20-40 0-1 Tidak


normal

Lekosit 3-5 /LPK 3-4 Normal

Epitel 8-10 /LPB 5-15 Normal

Silinder Negatif /LPK Negatif Normal

Bakteri +3 /LPB Negatif Tidak


normal

B. Analisa Data

No Data Fokus Masalah Etiologi


1 Ds: Nyeri Akut Luka Insisi
pasien mengatakan nyeri pada pipi Pembedahan
sebelah kanan
p: nyeri akibat pipi bengkak
q:nyeri seperti tertusuk-tusuk
r:nyeri pada pipi
s:skala nyeri 6 (0-10)
t:nyeri hilang timbul

Do:
-Pasien tampak menunjuk area
nyeri
-Pasien tampak menahan nyeri
-TTV= S:36,60C , N:80x/menit,
RR: 20x/menit, TD: 110/70
mmHg, SPO2: 98%
Ds:
2 Pasien mengatakan tidak bisa Defisit Nutrisi Ketidakmampuan
mengunyah makanan karena nyeri menelan makanan

Do:
-tampak makanan masih utuh 1
porsi
-pasien tampak lemas
- BB sebelum sakit 48 kg, BB saat
ini 46 kg, TB: 145 cm
- Penurunan BB :95%
-TD: 110/70 mmHg, S:36,3’c
N:80x/menit, RR:20x/menit, SPO2
:98
3 Ds: Risiko infeksi Efek prosedur
Pasien mengatakan nyeri pada pipi invasif
sebelah kanan pada saat dilakukan
perawatan luka dan ganti balut

Do:
-Tampak nanah keluar dari bekas
operasi dan dari mulut
-Tampak pipi bengkak dan
kemerahan
-TTV :
TD: 120/80 mmHg, S:36,5’c
N:85x/menit, RR:20x/menit

C. Diagnosa Prioritas Keperawatan


1. Nyeri akut b.d luka insisi pembedahan
2. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
3. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasive
D. Rencana Asuhan Keperawatan

No Dx.Keperawatan Perencanaan
Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut b.d luka insisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pembedahan 3x24 jam diharapkan masalah nyeri akut dapat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
berkurang dengan kriteria hasil: 2) Berikan teknik non farmakologi (terapi
Indicator Awal Target murattal) untuk mengurangi nyeri
Melaporkan nyeri 3 5 3) Ajarkan teknik non farmakologi (terapi
terkontrol murattal) untuk mengurangi nyeri
Kemampuan 3 5
4) Kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac 3x1
mengenali onset
ampul)
nyeri
Kemampuan 3 5
menggunakan
teknik non
farmakologi

Keterangan:
1 (Menurun)
2 (cukup menurun)
3 ( sedang)
4 (cukup meningkat)
5 (meningkat)

2 Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor asupan makanan
ketidakmampuan menelan 3x24 jam diharapkan masalah deficit nutrisi dapat 2. Berikan makanan yang mudah di telan
makanan teratasi dengan kriteria hasil: 3. Ajarkan diit yang diprogramkan
Indicator Awal target 4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian
Kekuatan otot 2 5 jus atau bubur halus
menelan
Kekuatan otot 2 5
pengunyah

Keterangan:
1 (Menurun)
2 (cukup menurun)
3 ( sedang)
4 (cukup meningkat)
5 (meningkat)

3 Risiko infeksi b.d efek Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
pembedahan invasif 3x24 jam diharapkan masalah risiko infeksi tidak 2. Pertahankan teknik aseptic
terjadi dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Indicator awal Target 4. Kolaborasi dengan tenaga medis untuk
Kemerahan 3 5 pemberian antibiotic
Nyeri 3 5
Bengkak 3 5 - cefriaxon 2x1/2 ampul,
- gentamicin salep 1 x1 /hari setelah rawat
Keterangan: luka
1 ( meningkat)
2 (cukup meningkat)
3 ( sedang)
4 (cukup menurun)
5 ( menurun)
E. Implementasi dan Evaluasi

Tgl/jam Dx.Keperawatan Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf


Keperawatan
22/12/2020 Nyeri akut b.d luka 1. mengidentifikasi lokasi, S:
Pukul 13.45 insisi pembedahan karakteristik, durasi, frekuensi, - Pasien mengatakan nyeri pada pipi Aisah
WIB kualitas, intensitas nyeri sebelah kanan
2. memberikan teknik non P:nyeri pada pipi akibat bengkak
farmakologi untuk mengurangi Q:nyeri seperti tertusuk-tusuk
nyeri (terapi murotal) R:nyeri pada pipi
3. mengajarkan teknik non S:skala nyeri 6
farmakologi (terapi murattal) T: nyeri hilang timbul
untuk mengurangi nyeri - Pasien megatakan sudah mendengarkan
4. mengkolaborasi pemberian terapi murattal
analgetik (ketorolac 2x1 ampul)
O:
- Pasien tampak menahan nyeri
-setelah melakukan terapi murotal pasien tampak
sedikit lebih nyaman
-TTV (S:36,5oC, RR:20x/menit, N: 90x/menit,
SPO2:98%)

A: masalah nyeri akut belum teratasi


Indicator A S T
Melaporkan nyeri 3 3 5
terkontrol
Kemampuan mengenali 3 4 5
onset nyeri
Kemampuan 3 3 5
menggunakan teknik non
farmakologi
P:lanjutkan intervensi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Evaluasi ulang tentang teknik terapi
murotal yang telah dilakukan
3. Kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac
2x1 ampul)
23/12/2020 Nyeri akut b.d insisi 1. mengidentifikasi lokasi, S:
pukul 10.00 pembedahan karakteristik, durasi, frekuensi, - pasien mengatakan setelah melakukan
WIB kualitas, intensitas nyeri terapi murotal nyeri berkurang
2. mengevaluasi ulang tentang P:nyeri pada pipi akibat bengkak
terapi murotal yang telah Q:nyeri seperti tertusuk-tusuk
dilakukan R:nyeri pada pipi
3. mengkolaborasi pemberian S:nyeri skala 5,
analgetik (ketorolac 2x1 ampul) T: nyeri hilang timbul

O:
- pasien tampak sedikit menahan nyeri
- pasien tampak terbaring dibed
- TTV ( S:36OC, RR:20x/menit, N:85x/menit,
SPO2:99%)
A:masalah nyeri akut teratasi sebagaian
Indicator A S T
Melaporkan nyeri terkontrol 3 4 5
Kemampuan mengenali 3 4 5
onset nyeri
Kemampuan menggunakan 3 4 5
teknik non farmakologi
P:Intervensi dilanjutkan
1. evaluasi tentang terapi murotal yang telah
dilakukan
2. Kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac
2x1 ampul)

24/12/2010 Nyeri akut b.d insisi 1. Mengevaluasi tentang terapi S: Aisah


Pukul 10.00 pembedahan murotal yang telah dilakukan - pasien mengatakan setelah melakukan
WIB 2. mengkolaborasi pemberian terapi murotal nyeri burkurang
analgetik (ketorolac 2x1 ampul) P: nyeri akibat pipi bengkak
Q: nyeri seperti tertusuk-tusuk
R:nyeri padapipi
S: nyeri skala 3
T:nyeri hilang timbul

O:
- pasien tampak berbaring di tempat tidur dan
sedikit menahan nyeri
- pasien tampak sedikit lebih nyaman
-TTV (S:36,5oC, N:95x/menit, RR:21x/menit,
SPO2:98)
A:masalah nyeri akut teratasi
Indicator A S T
Melaporkan nyeri terkontrol 3 5 5
Kemampuan mengenali 3 5 5
onset nyeri
Kemampuan menggunakan 3 5 5
teknik non farmakologi
P:hentikan intervensi
- anjurkan pasien untuk melakukan terapi
murattal/mendengarkan terapi murottal
apabila area operasi terasa nyeri
22/12/2020 Defisit nutrisi b.d 1. memonitor asupan makanan S: Aisah
pukul 14.00 ketidakmampuan 2. memberikan makanan yang - pasien mengatakan tidak bisa mengunyah
WIB menelan makanan mudah di telan makanan
3. mengajarkan diit yang - pasien mengatakan pada saat membuka
diprogramkan mulut terasa sakit
4. mengkolaborasi O:
dengan ahli gizi -tampak makanan masih penuh 1 porsi
- pasien tampak terbaring di bed
-TTV (S:36,5oC, N:90x/menit, RR:20x/menit,
SPO2:98%)

A:masalah defisit nutrisi belum teratasi


Indikator A S T
Kekuatan otot pengunyah 2 2 5
Kekuatan otot menelan 2 2 5

P:intervensi dilanjutkan
1. Monitor ulang asupan makanan
2. Berikan makanan yang mudah di telan
3. Ajarkan ulang diit yang diprogramkan
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian bubur halus

23/12/2020 Defisit nutrisi b.d 1. memonitor ulang asupan S: Aisah


pukul10.00 ketidakmampuan makanan - pasien mengatakan susah untuk makan
WIB menelan 2. memberikan makanan yang dan mengunyah
mudah di telan - Pasien mengatakan bisa makan bubur
3. mengajarkan ulang diit yang tetapi sedikit hanya 2 sendok
diprogramkan
4. mengkolaborasi O:
dengan ahli gizi - pasien tampak berbaring di tempat tidur
- makanan tampak masih banyak
-TTV ( S:36oC, N:85x/menit,SPO2:98%,
RR:20x/menit
A:masalah defisit nutrisi teratasi sebagian
Indicator A S T
Kekuatan otot 2 2 5
pengunyah
Kekuatan otot menelan 2 3 5
P:intervensi dilanjutkan
1. monitor secara rutin asupan makanan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
3. berikan makanan yang mudah di telan
seperti bubur halus
24/12/2020 Defisit nutrisi b.d 1. memonitor secara rutin asupan S: Aisah
pukul 11.00 ketidakmampuan makanan mudah di telan - pasien mengatakan sudah bisa makan
WIB menelan bubur sedikit demi sedikit
O:
- tampak di makan ½ porsi
-TTV (S:36,5oC, N:95x/menit, RR:20x/menit)
A:masalah defisit nutrisi teratasi
Indikator A S T
Kekuatan otot pengunyah 2 3 5
Kekuatan otot menelan 2 5 5
P:hentikan intervensi
- anjurkan pasien untuk makan makanan
yang lembut
22/12/2020 Risiko infeksi b.d 1. memonitor tanda dan gejala S:pasien mengatakan nyeri pada pipi sebelah Aisah
Pukul 09.00 efek prosedur infeksi kanan pada saat di ganti balut
infasive 2. mempertahankan teknik
aseptic O:
3. menjelaskan tanda dan gejala - pipi tampak di tampon dengan kasa kurang lebih
infeksi 20 cm
4. mengkolaborasi dengan - pada saat perawatan luka tampak tampon di
tenaga medis untuk tarik kurang lebih 5 cm
pemberian antibiotic -tampak pus keluar dari pipi dan mulut
- cefriaxon 2x1/2 ampul, - pasien tampak meringis kesakitan
- gentamicin salep 1 x1 /hari -TTV (S:36,5oC, N:90x/menit,RR:20x/menit,
setelah rawat luka SPO2:98%)

A:masalah resiko infeksi belum teratasi


Indikator A S T
Kemerahan 3 3 5
Bengkak 3 3 5
Nyeri 3 3 5
P:intervensi dilanjutkan
1. pertahankan teknik aseptic
2. jelaskan ulang tanda dan gejala infeksi
3. kolaborasi dengan tenaga medis untuk
pemberian antibiotic
- cefriaxon 2x1/2 ampul,
- gentamicin salep 1 x1 /hari setelah rawat
luka

23/12/2020 Risiko infeksi b.d 1. mempertahankan teknik S: Aisah


Pukul 10.00 efek prosedur invasif aseptic - pasien mengatakan nyeri pada saat di
WIB 2. menjelaskan ulang tanda dan ganti balutan
gejala infeksi
3. mengkolaborasi dengan O:
tenaga medis untuk - tampak pipi di tampon dengan panjang
pemberian antibiotic kasa kurang lebih 20 cm
- cefriaxon 2x1/2 ampul, - pada saat perawatan luka tampak tampon
- gentamicin salep 1 x1 /hari di tarik kurang lebih 5 cm
setelah rawat luka - tampak sedikit pus keluar dari pipi bekas
operasi
- tampak pipi di olesi dengan salep
gentamicin

A:masalah risiko infeski teratasi sebagian


Indicator A S T
Kemerahan 3 4 5
Bengkak 3 3 5
Nyeri 3 3 5

P:Intervensi dianjutkan

1. pertahankan teknik aseptic


2. kolaborasi pemberian antibiotic\
- cefriaxon 2x1/2 ampul,
- gentamicin salep 1 x1 /hari setelah rawat
luka

24/12/2020 Risiko infeksi b.d 1. mempertahankan teknik aseptic S: Aisah


pukul 10.00 efek prosedur invasif 2. mengkolaborasi pemberian - pasien mengatakan nyeri pada saat diganti
antibiotic balutan
- cefriaxon 2x1/2 ampul,
- gentamicin salep 1 x1 /hari O:
setelah rawat luka - tampak sedikit keluar pus dari pipi
- pipi tampak di olesi salep gentamicin
A:masalah risiko infeksi teratasi
Indicator A S T
Kemerahan 3 4 5
Bengkak 3 4 5
Nyeri 3 4 5

P:Intervensi di hentikan
- anjurkan pasien untuk perawatan luka di
rumah secara rutin
BAB IV
ANALISA SITUASI

A. ANALISA MASALAH KEPERAWATAN


Berdasarkan hasil mengkajian didapatkan hasil data subjektif pasien An.S
mengeluh nyeri pada pipi bagian kanan, pipi bengkak, nyeri skala 6,nyeri seperti
tertusuk-tusuk dan hilang timbul. Pengkajian didapatkan kesadaran pasien
composmentis TD:110/80mmHg, N:80x/menit, RR:20x/menit, S:36,3oC,SPO2:98%
dan diagnose medis post op abses mandibular dextra.
Abses adalah rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi
bakteri campuran. Abses gigi merupakan infeksi akut purulent yang berkembang pada
bagian apical gigi. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh bakteri yang berasal dari gigi
baik pada maxilla maupun mandibula. Abses adalah adanya timbunan pus / nanah di
dalam suatu jaringan / organ yang secara normal tidak ada.
Abses mandibula sering disebabkan oleh infeksi di daerah rongga mulut atau
gigi. Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibular
yang pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi (Hardjatmo
Tjokro Negoro 2010).
B. ANALISA INTERVENSI KEPERAWATAN
Al-Quran merupakan sarana pengobatan untuk mengembalikan keseimbangan
sel yang rusak. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan
intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ), maka bacaan Al Quran juga
memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ). Penelitian yang dilakukan oleh Sodikin
(2012) di RS Cilacap menyatakan terapi bacaan Al-Quran dapat bersinergi dengan
terapi farmakologi dalam menurunkan nyeri. Pemberian terapi Al-Quran memberikan
efek non farmakologi adjuvan dalam mengatasi nyeri. Hal ini sejalan dengan teori
nyeri: Keseimbangan antara analgesik dan efek samping dari Good yang menyatakan
bahwa pemberian analgetik akan memberikan efek samping sehingga dibutuhkan
terapi komplementer.
Berdasarkan hasil analisis pengkajian keperawatan pada pasien An.S perlu
dilakukannya terapi mandiri untuk mengurangi nyeri yang merupakan salah satu
diagnose dari masalah post operasi abses mandibular yaitu dengan melakukan terapi
non farmakologi yang dengan melakukan terapi murottal dimana terapi murotal
diharapkan dapat menurunkan nyeri pada pasien post operasi, dengan mendengarkan
music atau melakukan terapi murotal dapat menurunkan intensitas nyeri, kecemasan
dan stress pada seseorang.
Ayat Al-Qur’an yang sering dilatunkan sebagai terapi murottal adalah surat
Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan Al
An’am ayat 1-3, dan 13. Semua surat itu mengaktifkan energi Ilahiyah dalam diri
pasien yang dapat mengusir penyakit dan rasa sakit yang diderita (Ramadhani, 2007).
Penelitian Hanifah (2007) di Kabupaten Blitar menemukan pengaruh terapi
musik pada penurunan intensitas nyeri akibat perawatan luka bedah (p=0,039). Bradt
et al. (2009) di Inggris menyebutkan bahwa musik memperbaiki suasana hati (mood)
pasien pascabedah. Musik menimbulkan perasaan tenang dan rileks sehingga nyeri
berkurang.
Mendengarkan bacaan Al Quran lebih bermanfaat dibanding mendengarkan
suara lain seperti musik. Suara Al Quran meredakan stress dan meningkatkan
ketahanan terhadap stress, meningkatkan relaksasi, ketenangan dan kenyamanan,
membantu mengatasi insomnia, meningkatkan imunitas, dan meningkatkan
kecerdasan spiritual.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi murottal lebih efektif
menurunkan nyeri dibandingkan terapi musik. Ini dapat terjadi karena terapi murottal
membantu individu untuk mengembangkan koping mengatasi nyeri. Koping
diperlukan sebagai antisipasi terhadap kecemasan dan stres akibat kondisi nyeri.
Lantunan ayat Al-Quran mengandung aspek spiritualitas yang membuat individu
mengingat Tuhan sehingga menimbulkan rasa cinta atau keimanan. Kecintaan kepada
Tuhan ini dapat membangkitkan semangat dalam mengembangkan koping yang
positif untuk menghadapi nyeri (Qadri, 2013).
Sodikin (2012) mengungkapkan bahwa terapi bacaan Al-Quran dapat
bersinergi dengan terapi farmakologi dalam menurunkan nyeri. Pemberian terapi Al-
Quran memberikan efek non-farmakologi adjuvant dalam mengatasi nyeri. Hal ini
sejalan dengan teori nyeri dari Good yang menyatakan bahwa perlu adanya
keseimbangan antara pemberian analgetik dengan efek samping sehingga dibutuhkan
terapi adjuvant (Rachmawati, 2008).
4.1 Tabel perubahan skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan
terapi murattal

Sebelum diberikan Sesudah diberikan


terapi murattal terapi murattal
Skala : 6 (0-10) 22 Desember 2020
Pukul 13.45 WIB
Skala : 6 (0-10)
Waktu: 10-15 menit
Surat: Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An
Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan
Al An’am ayat 1-3, dan 13.

23 Desember 2020
Pukul 10.00 WIB
Skala : 5 (0-10)
Waktu:10-15 menit
Surat: Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An
Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan
Al An’am ayat 1-3, dan 13.

24 Desember 2020
Pukul 11.00 WIB
Skala : 3 (0-10 )
Waktu:10-15 menit
Surat: Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An
Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan
Al An’am ayat 1-3, dan 13.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa praktek keperawatan terhadap pasien abses mandibular
dengan masalah keperawatan nyeri akut di ruang Firdaus RSI Banjarnegara dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Analisa data yang diperoleh penulis sesuai dengan kondisi pasien yaitu pasien
yang mengalami nyeri akibat post op abses mandibular
2. Diagnosa dalam asuhan keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan
luka insisi pembedahan
3. Intervensi yang dibuat berdasarkan dengan masalah pasien yaitu terapi
murottal untuk mengurangi nyeri pada pasien post op
4. Tindakan yang dilakukan dengan masalah nyeri yaitu pemberian teknik terapi
murottal dengan memutarkan surat surat pendek Al-Faatihah, Al Ikhlas, Al
Falaq, An Naas, ayat Qursy, surat Yaasin ayat ke 58 dan Al An’am ayat 1-3,
dan 13.
5. Hasil evaluasi dari pasien menunjukan masalah nyeri teratasi dari nyeri skala 6
dari (0-10) menjadi skala 3
6. Tindakan keperawatan berupa terapi murottal telah dilakukan sesuai dengan
teori dan jurnal rujukan peneliti
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi pihak rumah
sakit salah satunya teknik terapi murottal yang berguna untuk mengurangi rasa
nyeri pada pasien post operasi
2. Bagi ilmu keperawatan
Diharapakan untuk bisa memberikan dan menerapkan teknik non farmakologi
untuk mengurangi nyeri
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil analisa ini juga dapat dijadikan sebagai awal sekaligus motivasi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi –terapi yang dapat
digunakan untuk mengurangi nyeri post op
No STANDAR OPERATING PROSEDUR (SOP)
TEKNIK TERAPI MURATTAL

1 TUJUAN Memperbaiki kondisi fisik, emosional, dan


kesehatan spiritual pasien.
2 INDIKASI Pasien dengan nyeri
3 PERALATAN Music box
4 TAHAP PRA INTERAKSI 1. Siapkan alat-alat
2. Identifikasi
3. Cuci tangan kondisi yang menyebabkan
nyeri
5 TAHAP ORIENTASI 1. Memberi salam, menyapa nama pasien dan
mengenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur
pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan
pasien
6 TAHAP KERJA 1. Berikan kesempatan klien bertanya
sebelum kegiatan dilakukan
2. Menanyakan keluhan utama klien
3. Jaga privasi anak.
4. Memulai kegiatan dengan cara yang baik
5. Menetapkan perubahan pada perilaku
dan/atau fisiologi yang diinginkan seperti
relaksasi, stimulasi, konsentrasi, dan
mengurangi rasa sakit.
6. Menetapkan ketertarikan anak terhadap
murottal
7. Pilih pilihan surat murottal Al-Faatihah,
Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, ayat Qursy,
surat Yaasin ayat ke 58 dan Al An’am ayat
1-3, dan 13
8. Bantu anak untuk memilih posisi yang
nyaman.
9. Batasi stimulasi eksternal seperti cahaya,
suara, pengunjung, panggilan telepon
selama mendengarkan murottal
10. Dekatkan music box dan perlengkapan
dengan anak
11. Pastikan music box dan perlengkapan
dalam kondisi baik.
12. Nyalakan murottal dan lakukan terapi
murottal
13. Pastikan volume sesuai dan tidak terlalu
keras.
14. Hindari menghidupkan musik dan
meninggalkannya dalam waktu yang lama.
15. Hindari stimulasi musik setelah nyeri/luka
kepala akut.
16. Menetapkan perubahan pada perilaku
dan/atau fisiologi yang diinginkan seperti
relaksasi, stimulasi, konsentrasi, dan
mengurangi rasa sakit.
7 TAHAP TERMINASI /EVALUASI 1. Melakukan evaluasi tindakan dan respon
klien
2. Berpamitan dengan pasien
3. Membereskan alat
4. Mencuci tangan
8 DOKUMENTASI 1. Catat hasil kegiatan di dalam catatan
keperawatan
2. Nama Px, Umur, Jenis kelamin, dll -
Keluhan utama
3. Tindakan yang dilakukan (terapi murottal)
4. Lama tindakan
5. Jenis terapi murottal yang diberikan
6. Reaksi selama, setelah terapi pemberian
terapi musik
7. Respon pasien.
8. Nama perawat
9. Tanggal pemeriksaan
Sumber :……..

Dokumentasi
Sebelum dilakukan operasi

Setelah dilakukan operasi


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai