Disusun Oleh :
PRODI S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba di dalam tubuh,obat mengalami
banyak proses obat yang dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu fase biofarmasi, fase
farmakokinetik, dan fase farmakodinamik (Ganiswara, 2005). Fase farmakokinetik
berkaitan dengan masuknya zat aktif kedalam tubuh. Masuknya in vivo tersebut secara
keseluruhan merupakan fenomena fisikokimia yang terpadu dalam organ penerimaan
obat. Fase farmakokinetika ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan
profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas
teraupetik obat (Aiache, 1995)
Pada percobaan kali ini dilakukan simulasi in vitro untuk memahami konsep
farmakokinetika suatu obat, simulasi dilakukan untuk 3 model obat yang mempunyai
dosis, harga klirens, dan volume distribusi yang berbeda. Perbedaan nilai parameter, rute
pemakaian serta dosis tersebut akan menghasilkan perbedaan profil kadar obat dalam
darah yang disebabkanoleh besaran proses absorbs, distribusi, dan eliminasi yang
berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA
Farmakokinetik dapat didefiniskan sebagai setiap proses yang yang dilakukan tubuh
terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolitme, dan ekresi dalam arti sempit
farmakokinetika khusus yang mempelajari konsentrasi – konsentrasi dari obat yang
metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dan waktu. Tubuh kita dapat
dianggap sebagai suatu ruanagn besar yang terdiri dari beberapa kompartemen yang terpisah
oleh membran membran sel. Sedangkan proses absorbsi, distribusi dan ekresi obat dari dalam
tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama. Karena proses ini
tergantung ada pada lintasan obat melalui membrane tersebut. (Tjay dan Rahardja,2002)
Model farmakokinetika merupakan model matematikan yang menggambarkan
hubungan antara dosis dan konsentrasi obat dalam setiap individu parameter dari model
menggambarkan faktor – faktor yang dipercaya dalam penentuan observasi dari konsentrasi
atau efek obat. Kegunaan menetapkan parameter farmakokinetik suatu obat adalah untuk
menkasikinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi didalam badan. Hasil dari kajian memiliki
arti penting dalam penetapan aturan dosis. Parameter tersebut antara lain terdiri dari beberapa
parameter primer yang terdiri dari volume distribusi ( Vol ), Klirens (Cl), dan kecepatan
absorbs (Ka), parameter sekunder terdiri dari kecepatan eliminasi (K) dan waktu paruh (T1/2)
serta parameter – parameter turunan. Model farmakokinetika tersebut mempunyai aplikasi
langsung untuk terapi obat berkenan dengan menentukan aturan dosis yang sesuai
(Alache,1993)
Jalur pemberian obat ada dua yaitu intravascular dan ekstravaskular. Pada pemberian
secara intravascular, obat yang berlangsung berada di sirkulasi sitemik tanpa mengalami
absrobsi, sedangakn pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorbs
(Zunilda, dkk, 1995)
Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan suatu volume
tertentu dan suatu konsentrasi. Perilaku oabat dalam system biologi dapat digambarkan
dengan kompartemen satu atau kompartemen dua. Kadang – kadang perlu untuk
menggunakan multikompartemen dimulai dengan determinasi apakah data eksperimen cocok
atau pas untuk modal kompartemen satu dan jika tidak pas coba dapat mencoba model yang
memuaskan. Sebenarnya tubuh manusia adalah model kompartemen multimillion
( multikompartemen ). Mengingat konsentrasi obat tiap organel berbeda – beda. ( Hakim, L.,
2014)
Model kompartemen yang sering digunakan adalah model kompartemen satu terbuka,
model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan
perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak
menaggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama dengan berbagai
waktu. Disamping itu, obat di dalam tubuh juga tidak ditentukan secara langsung tetapi dapat
ditentukan konsentrasi obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh. (Shargel,1998)
Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang digunakan
harus tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang cukup tinggi agar
diperoleh hasil yang akurat. Sehingga nantinya dapat menghindari kesalahan yang fatal.
Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula alat apa yang
digunakan dalam analisis) (Ritschel, 1976). Cepat, simpel, dan sensitive telah membuat
spektrofotometer UV-VIS menjadi suatu metode analisis farmasetika yang sangat popular
untuk pengukuran secara kuantitatif obat dan metabolit dalam sampel biologi. Salah satu
alasan penting atas kepopulerannya adalah karena sensitivitas dari metode ini.
Pengukuran konsentrasi obat dalam darah, serum atau plasma adalah pendekatan
secara langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat tubuh. Darah
mengandung elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keeping darah dan
protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan untuk
pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari
supernanant setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernanant darah yang
disentrifugasi ditambahkan heparin. Oleh karena itu serum dan plasma tidak sama. Plasma
mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler darah. Dengan berasumsi
bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan aquilibrium dengan jaringan, perubahan
konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi obat di jaringan (Shergel, 1999)
BAB III
METODE PERCOBAAN
2. Air Suling
B. Perhitungan
Buatlah larutan baku induk 500 ppm dari 25 mg Rhodamin B yang dilarutkan dalam
50,0 ml aquadest.
Perhitungan larutan baku kerja Rhodamin B dengan cara mengencerkan larutan baku
induk dengan aquadest sampai didapat larutan dengan kadar 0,5; 1; 2; 3; 4 dan 5 ppm.
b. Larutan 1 ppm
V1 x C1 = V2 x C2
50 ml x 1 ppm = V2 x 500 ppm
50 ml x 1 ppm
= V2
500 ppm
0,1 ml = V2
c. Larutan 2 ppm
V1 x C1 = V2 x C2
50 ml x 2 ppm = V2 x 500 ppm
50 ml x 2 ppm
= V2
500 ppm
0,2 ml = V2
d. Larutan 3 ppm
V1 x C1 = V2 x C2
50 ml x 3 ppm = V2 x 500 ppm
50 ml x 3 ppm
= V2
500 ppm
0,3 ml = V2
e. Larutan 4 ppm
V1 x C1 = V2 x C2
50 ml x 4 ppm = V2 x 500 ppm
50 ml x 4 ppm
= V2
500 ppm
0,4 ml = V2
f. Larutan 5 ppm
V1 x C1 = V2 x C2
50 ml x 5 ppm = V2 x 500 ppm
50 ml x 5 ppm
= V2
500 ppm
0,5 ml = V2
Dibuat larutan baku induk 500 ppm dari 25 mg Rhodamin B yang dilarutkan dalam 50,0 ml
aquadest
Dibuat larutan baku kerja Rhodamin B dengan cara mengencerkan larutan baku induk dengan
2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
aquadest sampai didapat larutan dengan kadar 0,5;1;2;3;4 dan 5 ppm
Menentukan Panjang gelombang maksimum dengan menggunakan larutan baku kerja 2 dan
5 ppm
Dibuat kurva serapan terhadap Panjang gelombang dari larutan baku kerja 2 dan 5 ppm pada
kertas grafik
Dilakukan pengamatan serapan dari larutan baku kerja (1) pada Panjang gelombang
maksimum terpilih.
Dibuat table hasil pengamatan dan kurva kadar larutan baku kerja terhadap serapan pada
kertas grafik berskala sama
a. Intravaskular
Isi gelas beker dengan aquadest secara kuantitatif, sesuai dengan nilai Vd, kemudian jalankan
stirrer
Tambahkan Rhodamin B ke dalam gelas beaker sesuai dengan dosis yang telah ditentukan
sebelumnya (Rhodamin B yang ditambahkan, diambil dari larutan baku induk yang
disesuaikan volumenya)
Ambil sampel dari gelas beaker larutan Rhodamin B berkali-kali sebesar nilai Cl dan segera
gantikan volume yang diambil tersebut dengan aquadest sejumlah yang sama
Ukur serapan sampel pada Panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh, gunakan
aquadest sebagai blanko
b. Ekstravascular
Isi gelas beker dengan aquadest secara kuantitatif, sesuai dengan nilai Vd, kemudian jalankan
stirrer
Tambahkan Rhodamin B 1/5 – 1/4 dosis kedalam beaker glass sesuai dengan dosis yang telah
ditentukan sebelumnya (Rhodamin B yang ditambahkan, diambil dari larutan baku induk yang
disesuaikan volumenya), kemudian homogenkan
Ambil larutan sampel Rhodamin B sebesar nilai C1 dan segera gantikan volume tersebut
dengan aquadest sejumlah yang sama, lakukan berulang sampai semua dosis Rhodamin B
masuk
Diambil sampel larutan Rhodamin B berkali – kali sebesar nilai C1 dan segera gantikan
volume yang diambil tersebut dengan aquadest sejumlah yang sama
Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh, gunakan
aquadest sebagai blanko
b. Intraseluler
1. Larutan Baku Induk Rhodamine B 500 ppm Dalam 50 ml
500m = 500 mg/L = 500 mg / 1000 L
5001000 L x 50 ml = 25 mg
2. Larutan Baku Seri Sebanyak 50 ml
No Kadar Volume
1 0,5 ppm 0,05 ml
2 1 ppm 0,1 ml
3 2 ppm 0,2 ml
4 3 ppm 0,3 ml
5 4 ppm 0,4 ml
6 5 ppm 0,5 ml
a. Perhitungan Intravaskuler
1) Penentuan Panjang Gelombang Maksimal
Kadar Serapan
0,5 ppm 0,226
1 ppm 0,328
2 ppm 0,544
3 ppm 0,755
4 ppm 0,966
5 ppm 1,134
a = 0,129
b = 0,204
r = 0,999
y=a+bx
y = 0,129 + 0,204 x
b.Ekstravaskuler
Kadar Serapan
(ppm)
2 0,054 b = 0,0322
r = 0,9730
3 0,074
y = bx + a
4 0,107
y = 0,0322x + 0,0084
5 0,172
AUC 5
( 3,594+4,094 ) × 5
¿
2
¿ 19,22 µg menit/ml
AUC 6
( 4,094+3,219 ) ×5
¿
2
¿ 18,28 µg menit/ml
AUC 7
( 3,219+ 2,594 ) ×5
¿
2
¿ 14,53µg menit/ml
AUC 8
( 2,594+2,031 ) ×5
¿
2
¿ 11,56µg menit/ml
AUC 9
1,719+ 2,031 x 5
¿ =
2
= 9,37 µg menit/ml
AUC 10
1,438+ 1,719 x 5
¿ = 7,89 µg menit/ml
2
AUC 11
1,094+1,438 x 5
¿
2
= 6,33 µg menit/ml
AUC 12
0,875+1,094 x 5
¿
2
= 4,92 µg menit/ml
AUC ∞
Cpakhir
¿
k
0,875
¿ = 20,35 µg menit/ml
0,043
= 156,58 µg menit/ml
BAB IV
PEMBAHASAN
Model farmakokinetik merupakan model matematika yangmenggambarkan hubungan
antara dosis dan konsentrasu obat dalam setiap individu. Parameter dari model
menggambarkan faktor-faktor yang dipercaya penting dalam penentuan observasi dari
konsentrasi suatu efek obat efek obat. Parameter tersebutantara lain terdiri dari beberapa
parameter antara lain parameter primer yang terdiri dari volume distribusi (Vd), klerens (CI)
dan kecepatan absorbs (Ka), parameter sekunder terdiri dari kecepatan eliminasi (K) dan
waktu paruh (t ½), serta parameter-parameter turunan. Model farmakokinetik tersebut
mempunyai aplikasi langsung untuk terapi obat berkenaan dengan menentukan aturan dosis
yang sesuai (Aiache, 1993).
Model kompartemen yang sering digunakan adalah model kompartemen satu terbuka,
model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar dala, plasma menverminkan
perubahan sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak menganggap
bakaw konsentrasi obat dalam tiap jaringan tertsebut adalah sama dengan berbagai di
samping itu, obat didalam tubuh juga tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentuka
nkonsentrasi obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1998).
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravascular dan ekstravascular. Pada pemberian
secara ekstravascular obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami proses
absorbsi terlebih dahulu (Zunilda, dkk., 1995).
Pada praktikum kali ini yaitu percobaan simulasi invitro model kompartemen satu
terbuka dengan dua jalur yaitu intravascular dan ekstravascular. Percobaan ini bertujuan
untuk memahami konsep farmakokinetika suatu obat, terutama pada model kompartemen
satu terbuka. Percobaan ini menggunakan model farmakoknetik secara in vitro. Dalam
metode ini suatu wadah digambarkan sebagai kompartemen tubuh dimana obat mengalami
profil farmakokinetik dari distribusinya hingga eliminasi obat. Sampel yang digunakan dalam
percobaan ini adalah methylene red , yang akan diuji aktivitas farmakokinetikanya dengan
metode model invitro secara intravascular dan ekstravascular.
1. Intravaskular
Tahap awal pada percobaan ini yaitu pembuatan larutan baku induk 500 ppm dari 25
mg Rhodamin B dalam 50 ml aquadest. Lalu dibuat baku standart dengan mengencerkan dari
larutan baku induk dengan aquadest sampai didapat larutan dengan kadar 0,5 : 1 : 2 : 3 : 4 dan
5 ppm. Kemudian dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan larutan
baku standart 2 dan 5 ppm lalu diamati nilai serapan panjang gelombang 400-800 nm. Setelah
ditemukan panjang gelombang maksimumny, kemudian dibuat kurva baku dengan
mengamati serapan dari larutan baku standart. Pada panjang gelombang maksimum yang
terpilih hingga didapatkan persamaan liniernya.
Kadar Serapan
0,5 0,226
1 0,328 a = 0,1295
2 0,544
b = 0,2049
3 0,755
4 0,966
5 1,134
Tahap kedua dari percobaan ini yaitu menambahkan Rhodamin B kedalam gelas
beaker yang berisi 895 ml (Vd) aquadest dan 5 ml Rhodamin B sehingga diperoleh total Vd
dalam gelas beaker tersebut adalah 900 ml, kemudian diaduk ad homogen dan ditunggu 5
menit. Setelah 5 menit , diambil 100 ml dari beaker glass untuk diukur absorbansinya.
Kemudian ditambahkan kembali kedalam beaker glass aquadest sebanyak 100 ml (seperti
menggantikan larutan yang diambil sebelumnya). Pengambilan sampel dari beaker glass
dilakukan selama 12 × 5 menit. Setiap sampel yang diambil diukur serapannya pada
gelombang maksimum yang telah diperoleh menggunakan aquadest sebagai blankonya.
Tahap ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk menentukan kadar Rhodamin B
yang diekskresikan per satuan waktu.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa konsentrasi Rhodamin B mengalami
penurunan kadar sebanding dengan selang waktu dari larutan yang diambil. Pada menit ke 5
didapatkan kadar 5,351 ppm, pada menit ke 10 didapatkan kadar 4,799 ppm, pada menit ke
15 didapatkan kadar 4,253 ppm, pada menit ke 20 didapatkan kadar 3,306 ppm, pada menit
ke 25 didapatkan kadar 3,3162 ppm, pada menit ke 30 didapatkan kadar 2,055 ppm, pada
menit ke 35 didapatkan kadar 2,550 ppm, pada menit ke 40 didapatkan kadar 2,262 ppm,
pada menit ke 45 didapatkan kadar 1,959 ppm, pada menit ke 50 didapatkan kadar 1,691
ppm, pada menit ke 55 didapatkan kadar 1,549 ppm dan pada menit terakhir yaitu pada
menit ke 60 didapatkan kadar 1,344 ppm sehingga dapat dilihat bahwa laju eliminasii dari
larutan Methylen red semakin menurun seiring dengan pertahanan waktu. Dari data tersebut
menghasilkan grafik menurun mulai dari cuplikan 2, dikarenakan pada rute ini obat langsung
mencapai konsentrasi 100% dan di distribusikan tanpa adanya tahapan absorpsi obat.
Dari pemberian obat melalui intravascular dapat diketahui parameter primer yang
menunjukkan profil farmakokinetikanya yaitu volume distribusi yang diilustrasikan oleh
larutan dalam gelas beaker sebesar 0,808 L. Vd merupakan volume hipotesis cairan tubuh
yabg akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi yang sama seperti
yang ditentukan dalam daerah (Ansel, 2006). Selanjutnya yaitu klirens sebesar 0,020/menit.
Klirens menggambarkan eliminasi obat yang merupakan jumlah volume cairan yang
mengandung obat yang dibersihkan dari kompartemen tubuh setiap waktu tertentu
(Mustshler, 1986).
Dari parameter turunan salah satunya AUC dari sample Methylen red didapatkan
nilai AUC sebesar 247,6 mg.ml/menit. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan
dibawah kurva/grafik yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi
waktu. AUC ini dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat
bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan (Waldon, 2008).
2. Ekstravaskular
Tahap awal yang dilakukan pada simulasi invitro ekstravaskuler dengan
menggunakan Rhodami-B, yaitu dengan melarutkan Rhodamin-B 25 mg kedalam 50 ml
aquades kemudian diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 0,5 ; 1 ;2 ; 3 ; 4 ; 5 ppm.
Pembuatan larutan baru digunakan untuk menentukan panjang gelombang maksimum pada
spektrofotometer visibel. Setelah diketahui panjang gelombang maksimum lalu dikukur
serapan dari semua konsentrasi larutan yang telah dibuat menggunakan spektrofotometer
panjang gelombang 580 nm sehingga diperoleh nilai absorbansi pada konsentrasi 0,5 ; 1 ;2 ; 3
; 4 dan 5 berturut-turut 0,019 ; 0,023 ; 0,054 ; 0,074 ; 0,107 ; 0,172. Dari data tersebut
diperoleh nilai A= - 0,008 ; B= 0,032 ; r= 0,973. Dari data tersebut diperoleh persamaan
regresi linear (y= a+bx) y = -0,008 + 0,032x. Regresi linear tersebut menunjukan data
memiliki ketelitian yang cukup bagus karena berdasarkan pustaka, nilai regresi yang
sempurna adalah mendekati 1 (Cahyadi, 1985)
Tahap kedua adalah tahap pemberian obat dengan rute ekstravaskular. Dalam rute
ekstravaskular terjadi proses absorbsi, distribusi dan eliminasi orde pertama artinya proses
tersebut sebanding dengan jumlah obat yang belum mengalami proses tersebut. (Setyawati,
2005)
Selanjutnya menentukan kecepatan waktu eliminasi (K) yang diperoleh dari regresi
linear t Vs in Cp pada 3 data terakir sehingga diperoleh nilai A= 2,625 ; B= -0,045 oleh
karena B= -K, maka nilai K adalah 0,049/menit. Berikutnya adalah menentukan waktu paruh.
Waktu paruh yang di beri simbol T1/2 merupakan waktu yang diperlukan tubuh untuk
mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat dengan T1/2 pendek akan berada
didalam tubuh dibanding dengan yang mempunyai T1/2 panjang. Pada aplikasinya, obat
dengan T1/2 pendek perlu diberikan dengan interval waktu lebih pendek misalya diberikan 2-
3 kali sehari untuk mempertahankan kadar efektif didalam darah. (Hakim, 2011)
Hasil dari praktikum diperoleh t1/2 sebesar 15,4 menit. Untuk nilai kecepaan absorbsi
(Ka) diperoleh 0.231/menit . tetapan absorbsi ka menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu
masuknya obat kedalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian
oral, jaringan otot pada pemberian intramuscular). (Iveal, 2006).
Berdasarkan praktikum, diperoleh nilai cp maksimal sebesar 4,004 mg/L. Pada kadar
puncak ini, kecepatan absorbsi sama dengan kecepatan eliminasi obat. Waktu yang
diperlukan untuk mencapai cp maksimal adalah T maksimal dan berdasarkan praktikum
diperoleh sebesar 14,350 menit.
Kemudian terdapat parameter total AUC dari sampel Rondamin B didapatkan nilai
sebesar 27,245 mg menit/L. AUC ( area under cerve) adalah permukaan dibawah kurva
(grafik) yang menggambarkan naik atau turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu.
AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavabilitas suatu obat.
AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila
penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan (waldan, 2008).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Edisi IV, Hal 576-595, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Tan,H.T dan Rahardja . 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Shargel, L., dan Yu, A. B. C., 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
diterjemahkan oleh Siti Sjamsiah, Edisi Kedua, Hal 85-99, Airlangga University Press,
Surabaya
Zunilda, S.B, dan F.D, Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan
Terapi Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.
Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetic and Drug Metabolism. Cambridge: Amgen, Inc., One
Kendall Square, Building 1000, USA.
LAMPIRAN
Jawaban: Faktor dari timbulnya variabilitas kadar obat dalam plasma setelah dosis
yang sama diberikan pada pasien yang berbeda adalah
Berat badan: obat yang bersifat lipofilik ketika terjadi kenaikan berate badan makan
volume distribusinya pun akan mengalami peningkatan sehingga kadar obat yang bersifat
hidrofilik tidak berpengaruh ketika terjadi kenaikan berat badan .
Aliran darah: Semakin cepat aliran darah, kecepatan absorbsi semakin besar sehingga
obat lebih cepat dimetabolisme atau berada dalam plasma.
Protein Plasma: albumin salah satunya apabila obat banyak yang terikat kuat pada protein
plasma mempunyai Vd yang kecil serta kadar obat dalam darah tinggi.