PENDAHULUAN
Tiap waktu kita tidak bisa terlepas dari komunikasi, karena komunikasi
merupakan kegiatan yang selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Bahkan semenjak kita lahir kita telah berkomunikasi dengan pesan-pesan non
verbal. Komunikasi merupakan usaha manusia dalam menyampaikan isi
pernyataan kepada manusia lain. Dalam definisi komunikasi terdapat kata usaha,
ini berarti bahwa manusia harus berusaha agar komunikasi berjalan dengan efektif
dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Salah satu cabang ilmu komunikasi adalah komunikasi antar budaya seperti
yang akan penulis bahas pada saat ini. Komunikasi Antar Budaya dalam
pandangan (Tubbs, Moss:1996) mengandung pengertian: “Komunikasi antar
budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan
dari semua perbedaan ini. Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan
dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
1
Tubbs,komunikasi lintas budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang
berbedabudaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio
ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Jadi, komunikasi antar budaya menurut Samovar dan Porter (1972) yaitu
komunikasi antar budaya terjadi manakal bagian yang terlibat dalam kegiatan
komunikasi tersebut membawa latar belakang budaya pengalaman yang berbeda
yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman,
pengetahuan dan nilai.
2
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi dan pengertian tentang homofili dalam proses
komunikasi antar budaya.
2. Mengetahui definisi dan pengertian tentang heterofili dalam proses
komunikasi antar budaya.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari homofili dan heterofili
dalam komunikasi antar budaya
2. Untuk pemahaman lebih lanjut tentang homofili dan hetrofili dalam
komunikasi antar budaya
3
BAB 2
PEMBAHASAN
4
ketika timbul banyak persamaan kepada orang yang saling berinteraksi satu sama
lain.
Dalam kajian ilmu komunikasi dan psikologi tingkat kesamaan itu adalah
tingkat keterpaduan antarpribadi dan kelompok yang mana dalam tingkat
kesamaan (homofili) semakin adanya kesamaan kerangka acuan dan kerangka
pengalaman antar komunikator dan komunikan maka komunikasi akan semakin
5
efektif. Kerangka acuan itu dapat berupa nilai agama, nilai pendidikan dan lain-
lain, yang pernah dialami komunikator dan komunikan.
6
kelompok yang memiliki kemampuan profesional dalam melakukan perubahan-
perubahan yang bersifat formal yang mampu mempengaruhi kliennya guna
mengadopsi inovasi pembelajaran.
Dengan demikian ciri yang pasti dalam hubungan dengan homofili ini
variasi dengan sifat sistem masyarakat dan dengan sifat inovasi.
Selanjutnya hasil penelitian Everett M. Rogers dan Dilip K. Bhowmik
menyatakan bahwa : “sistem yang lebih tradisional ditandai oleh derajat homofili
yang lebih tinggi dalam komunikasi antar pribadi dan kalau norma-norma desa
yang menjadi lebih modern menjadi lebih bersifat heterofili”.
7
Agen pembaru biasanya berbeda dari klien mereka dalam beberapa hal dan
cenderung berinteraksi dengan klien yang ciri-cirinya mirip dengan mereka
sendiri. Kontak agen pembaru dengan masyarakat lebih sering terjadi dengan
memiliki ciri:
Hal ini agaknya wajar terjadi sehingga antara keduanya lebih mudah
memahami minat masing-masing, lebih mudah berempati satu sama lain yang
demikian itu menjadikan komunikasi diantara mereka bisa efektif. Tetapi mencari
kontak yang homofili bias menimbulkan masalah etik yang penting bagi agen
pembaru; mereka gagal berinteraksi dengan mereka yang sangat membutuhkan
bantuan.
8
2.2 Pengertian Prinsip Heterofili dalam Komunikasi Antar Budaya
9
bahwa dua orang akan bertindak sama, meskipun mereka telah menerima atau
mengalami stimuli yang sangat berbeda (Bennet, 1979).
Empati
Seperti yang telah disebutkan di atas salah satu upaya untuk mengatasi
permasalah perbedaan komunikasi dalam heterofili adalah dengan berusaha
menumbuhkan empati. Tetapi dalam hal ini menumbuhkan empati dalam diri
komunikator atau change agent mungkin akan mudah, tetapi bagi komunikan
10
dalam menumbuhkan empati ini tidaklah mudah memerlukan upaya pendidikan
komprehensif yang memakan waktu yang cukup lama.
Everett M. Rogers & Dilip K. Bhowmik mendefinisikan empati sebagai
kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan atau
kondisi orang lain. Menurut Sigmund Freud bahwa : “Empathy dianggap sebagai
memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita”.
Kemudian menurut Stotland Dunn, Zender, dan Natsoulas menyatakan bahwa :
“Empati sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia
menanggapi orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi”.
Sedangkan menurut Milton J. Bennett menyatakan bahwa : “imaginative
intellectual and emotional participation in another person’s experience” (ikut serta
secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain).
Menurut Jalaludin Rakhmat bahwa: “pengertian empati dapat dikontraskan
dengan pengertian simpati. Dalam simpati kita menempatkan diri kita secara
imajinatif pada posisi orang lain. Bila saya melihat anda menangis karena
kehilangan kekasih anda, saya mencoba membayangkan perasaan saya bila saya
juga kehilangan kekasih. Saya beranggapan anda pun mempunyai perasaan seperti
perasaan saya. Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang
lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain.
Berempati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa
orang lain. Dengan empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat,
merasakan seperti orang lain merasakannya.” (1985 : 166). Apabila komunikator
atau komunikan atau pun kedua-duanya (dalam situasi heterofili) mempunyai
kemampuan untuk melakukan empati satu sama lain maka kemungkinan besar
akan dapat terdapat komunikasi yang efektif.
Bagi seorang change agent atau seorang komunikator jika berusaha sedapat
mungkin mengetahui bagaimana perasaan orang lain dalam situasi dan dapat
merasakan apa yang dirasakan orang lain itu, maka kemungkinan sekali dapat
menyampaikan pesan yang tepat kepada komunikan.
Jadi dengan demikian jika seorang komunikator mempunyai empati yang
mendalam dengan komunikan yang heterophilous, maka komunikator dan
11
komunikan benar-benar berada dalam situasi homophilous dalam pengertian
sosio-psikologis.
Komunikasi heterophilous kurang efektif dibandingkan dengan komunikasi
homophilous, kecuali kalau komunikator mempunyai derajat empati yang tinggi
dengan komunikan.
Komunikan akan lebih mudah menerima pesan komunikator bila ia
memandang ada banyak kesamaan diantara keduanya. Hal ini telah dibuktikan
dalam penelitian Everett M. Rogers yang selanjutnya telah membedakan antara
kondisi homofili dan heterofili. Pada kondisi homofili antara komunikator dan
komunikan merasakan adanya kesamaan dalam status sosial ekonomi, pendidikan,
sikap, dan kepercayaan. Pada kondisi heterofili terdapat perbedaan status sosial
ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan
komunikan . Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homofili dari pada
kondisi heterofili.
Penelitian Rogers tersebut berasal dari penelitian sosiologis yang dilakukan
Stotland Dunn, Zender, dan Natsoulas yang semuanya berkesimpulan bahwa
orang mudah berempati dan merasakan perasaan orang lain yang dipandangnya
sama dengan mereka. Juga menunjukkan bahwa kesamaan antara komunikator
dan komunikan memudahkan terjadinya perubahan pendapat.
Oleh karena itu dalam Komunikasi Interpersonal, komunikator yang ingin
mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan
antara dirinya dengan komunikan. Upaya untuk menegaskan kesamaan antara
komunikator dan komunikan ini oleh Kenneth Burke disebut sebagai “strategy of
identification”, sedangkan Herbert W. Simons menyebutnya sebagai “establishing
common grounds”.
Upaya mempersamakan antara komunikator dan komunikan dengan
menegaskan persamaan dalam kepercayaan, sikap, maksud, dan nilai-nilai
sehubungan dengan suatu persoalan. Hal ini oleh Simons disebut sebagai
kesamaan disposisional (dispositional similarity). Misalnya seorang PLKB supaya
upaya memasyarakatkan Keluarga Berencana pada kelompok masyarakat desa
yang sangat kental nilai-nilai tradisionalnya maka dia dapat memulai dengan
menegaskan bahwa ia, seperti pendengar, mengharapkan kesejahteraan keluarga,
12
masa depan yang lebih baik, dan dapat menyekolahkan anak-anaknya pada
jenjang pendidikan tertinggi. Kemudian apabila berhadapan dengan kelompok
(aliran) agama tertentu maka ia menyatakan sama aliran agamanya sama dengan
pendengar.
Dalam hal ini petugas PLKB tersebut menggunakan kesamaan keanggotaan
kelompok (membership group similarity).
Komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan komunikan
cenderung dapat berkomunikasi lebih efektif. Hal ini alasannya menurut Herbert
W. Simons karena empat faktor, yaitu :
a) Kesamaan mempermudah proses penyandian (decoding), yakni
menterjemahkan lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-
gagasan. Misal bila seorang sarjana administrasi melakukan Komunikasi
Interpersonal pada sarjana administrasi lainnya maka dengan mudah
menangkap arti dari kata-kata dan kalimat yang disampaikan. Tetapi
apabila seorang dokter mengadakan Komunikasi Interpersonal pada
sarjana administrasi tentu banyak kata-kata dan kalimat yang tidak
dimengerti. Rogers dan Bhowmik menyatakan bahwa : “interaksi
heterophilious (diantara pihak-pihak yang berbeda) cenderung
memerlukan usaha yang lebih berat, menimbulkan distorsi .pesan,
penyampaian yang terhambat, dan pembatasan pada saluran komunikasi).
b) Kesamaan membantu membangun premis yang sama untuk
mempermudah proses deduktif. Dalam hal ini berarti bila kesamaan
disposisional relevan dengan topik persuasi, maka komunikan akan
terpengaruh oleh komunikator.
c) Kesamaan menyebabkan komunikan tertarik pada komunikator.
Kebanyakan orang cenderung menyukai orang-orang yang memiliki
kesamaan disposisional dengan orang tersebut tadi, Sehingga hal ini
kalau dalam proses Komunikasi Interpersonal komunikan akan tertarik
pada komunikator dan komunikan tersebut cenderung menerima
gagasan-gagasan komunikator.
d) Kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya pada komunikator.
Walau dalam hal ini belum dibuktikan secara meyakinkan dalam
13
penelitian, Simons hanya menyatakan ada hubungan positif antara
kesamaan dengan rasa percaya dan hormat, tetapi hubungannya lemah.
Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Elaine, Walster, Darcy Abrams
dan Elliott Aronson membuktikan bahwa : “komunikator yang tidak menarik,
tidak bermoral, dan tidak memiliki keahlian masih dapat melakukan komunikasi
yang efektif, bila .......”. Maksudnya bila orang yang tidak menarik ini
mengemukakan argumen yang bertentangan dengan kepentingan dirinya.
Toleransi terhadap perbedaan ini dimungkinkan, karena dalam hubungan dua
orang yang secara sempurna homofilik, pengetahuan keduanya tentang inovasi
akan sama saja. Sehingga keadaan ideal dalam perolehan informasi ialah heterofili
dalam hal pengetahuan tetapi cukup homofili dalam karakteristik-karakteristik
atau variabel-variabel lain (misalnya status sosial ekonomi). Maka bila perbedaan-
perbedaan disadari atau diakui potensi pengaruhnya terhadap komunikasi,
masalahnya kemudian mungkin terletak pada cara-cara, strategi atau teknik
komunikasi yang dipakai.
Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang
bertindih satu sama lain. Daerah yang bertindih itu disebut kerangka pengalaman
(field of experience), yang menunjukkan adanya antara A dan B dalam hal
tertentu, misalnya bahasa atau simbol (Sumber: Cangara, 2008 : 21).
14
Dengan kata lain, orang akan menerima hal-hal baru, yang informasional,
justru melalui ikatan-ikatan yang lemah. Heterofili adalah derajat perbedaan
dalam beberapa hal tertentu antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi
(Rogers dan Kincaid, 1981 : 128).
Bila dua orang murid SMA yang sama-sama berstatus pelajar bertemu
dalam sebuah seminar, kemudian berkomunikasi dan berbagi pengetahuan
menurut keyakinan, bahasa, pengalaman yang telah mereka alami maka
komunikasi menjadi efektif dikarenakan mereka mengalami homophilous
(keadaan dalam kondisi homofili). Namun pembahasan antara dua orang yang
berinteraksi dalam homofili ini hanya seputar masalah yang diketahui saja.
15
BAB 3
KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang prinsip homofili dan heterofili yang sudah dijelaskan di
atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
16
BAB 4
PENUTUP
Demikian makalah mengenai prinsip homofili dan heterofili ini dibuat. Semoga
bisa menjadi bahan pembelajaran dan bermanfaat untuk mahasiswa komunikasi
khususnya yang sedang mempelajari komunikasi antar budaya. Saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan agar bisa menjadi lebih baik lagi
kedepannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
file:///D:/%20IV/kom%20lintas%20budaya-%20senin/lintasbudaya/ketokohan-
dan-jaringan-difusi%20hom%20het.htm. Diakses pada 11 Desember 2013 (09.15
WIB).
http://kriboanker.blogspot.com/2011/10/komunikasi-lintas-budaya.html. Diakses
pada 11 Desember 2013 (10.00 WIB).
Heterophily (http://kampuskomunikasi.blogspot.com/2008/06/heterophily.html).
Diakses pada 03 Januari 2013 (17.05 WIB)
18
PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL
(http://kampuskomunikasi.blogspot.com/search?q=HOMOPHILY). Diakses pada
03 Januari 2013. (17.00 WIB)
Rogers, Everet M. 1983. Diffusion of Innovations 3th ed. New York: The Free
Press, Macmillan Publishing Co., Inc.
19