Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI TANAMAN

Disusunoleh:

Kelompok VIIIB

Ivana Rizkya Putri 23020219120018


Azizah Putri W 23020219130058
Yoram Gehing Wijaya 23020219130067
Dian Asri Fitriani 23020219130111
Irfan Yusuf F 23020219140103
Dimas Nugroho Rizqy S 23020219140117
Syalsa Bela Aulia 23020219140127

PROGRAM STUDI S-1 AGROEKOTEKNOLOGI


DEPARTEMEN PERTANIAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Praktikum : LAPORAN RESMI PRAKTIKUM EKOLOGI

TANAMAN

Kelompok : VIIIB(DELAPAN)B

Departemen : PERTANIAN

ProgramStudi : S-1 AGROEKOTEKNOLOGI

Fakultas : PETERNAKAN DANPERTANIAN

Tanggal Pengesahan : 24 November 2020

Menyetujui,

Koordinator
Praktikum Ekologi Tanaman Asisten Pembimbing

ACC 24 November 2020


Dr. Ir. Susilo Budiyanto, M.Si Anggraeni Nur Hidayah
NIP. 19610812 198703 1 001 NIM. 23020218140068
RINGKASAN

Kelompok VIII Agroekoteknologi B 2020. Laporan Praktikum Ekologi


Tanaman. (Asisten : Anggraeni Nur Hidayah)
Praktikum Ekologi Tanaman dengan materi Studi Kondisi Lingkungan,
Analisis Vegetasi, Dan Komponen Ekosistem dilaksanakan pada Minggu, 11
Oktober 2020 pukul 08.00-12.30 WIB di Hutan Edukasi Universitas Diponegoro,
Semarang.

Materi yang digunakan dalam praktikum Studi Kondisi Lingkungan,


Analisis Vegetasi, Dan Komponen Ekosistem adalah bahan berupa vegetasi di
Hutan Edukasi Universitas Diponegoro dan lembar pengamatan. Alat yang
digunakan berupa tali rafia, gunting, tongkat bambu ukuran 1,5 m dan 1 m,
penggaris, alat tulis, kamera. Metode yang digunakan pada praktikum Studi
Kondisi Lingkungan, Analisis Vegetasi, dan Komponen Ekosistem adalah metode
analisis vegetasi metode kuadrat yaitu lahan hutan dibuat plot ukuran 50 x 20 m,
kemudian plot tersebut dibagi dua menjadi ukuran 25 x 20 m, kemudian dipilih
salah satu plot untuk dibuat plot didalamnya dengan ukuran 5 x 5 m. Kemudian di
dalam plot 5 x 5 m dibuat plot kecil ukuran 1 x 1 m sebanyak 3 plot. Pohon yang
berada di dalam plot dihitung jumlahnya dan diklasifikasikan jenis pohon
tersebut, diameter pohon diukur, dan tinggi pohon diukur. Kemudian mengukur
ketebalan serasah dengan cara, pada plot ukuran 25 x 20 ditentukan 5 titik tempat
yang berbeda untuk diukur ketebalan serasahnya, lalu ditentukan jenis serasah,
tekstur tanah, dan warnanya. Metode rintisan pada analisis vegetasi yang
digunakan dalam praktikum Ekologi Tanaman yaitu jalur garis dibuat dengan
rafia sepanjang 10 meter, kemudian 1 meter di bagian kanan dan kiri tali rafia
dianalisis jenis tanaman yang ketinggiannya setinggi lutut.

Berdasarkan hasil praktikum studi Kondisi Lingkungan Analisis Vegetasi


Dan Komponen Ekosistem dapat diketahui bahwa vegetasi yang terdapat pada
Hutan Edukasi Universitas Diponegoro yaitu ingas, mahoni, nyamplung. Nilai
SDR petak (1 x 1) tanaman mahoni 70,3%, nyamplung 29,6%, petak (5 x 5)
tanaman mahoni 62,29%, nyamplung 34,70%, petak (20 x 50) tanaman ingas
32,04%, mahoni 43,39%, nyamplung 23,89%,. Sekuestrasi pada Hutan Edukasi
Universitas Diponegoro didominasi oleh pohon ingas sebanyak 9 dan ada pula
pohon Mahoni sebanyak 11 dengan hasil total biomassa yaitu 23166,07 kg/pohon.
Nilai INP petak (1 x 1) tanaman mahoni 211%, nyamplung 89%, petak (5 x 5)
tanaman mahoni 195,89%, nyamplung 104,11%, petak (20 x 25) tanaman ingas
96,13%, mahoni 130,17%, nyamplung 71,89%. Faktor yang mempengaruhi
ekosistem yaitu faktor biotik berupa manusia tumbuhan hewan.

Kata kunci: abiotik, biotik, ekologi, ekosistem, vegetasi.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala Rahmat dan Karunianya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum
Ekologi Tanaman dengan baik. Penulisan Laporan Praktikum Ekologi Tanaman
dilaksanakan guna memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen Ekologi
Tanaman pada jurusan Agroekoteknologi.
Terselesaikannya laporan ini tak lepas dari berbagai pihak yang telah
membantu baik secara moril maupun spiritual. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, terkhusus kepada Dr.
Ir. Susilo Budiyanto, M. Si. selaku Koordinator Praktikum Ekologi Tanaman,
Anggraeni Nur Hidayah selaku Asisten Pembimbing Praktikum Ekologi Tanaman
yang telah membimbing sehingga dapat menyelesaikan praktikum Ekologi
Tanaman dengan baik, orang tua yang tak pernah putus mendoakan agar kuliah
kami berjalan dengan baik, dan teman-teman yang membantu pembuatan Laporan
Ekologi Tanaman ini sehingga dapat selesai.
Demikian Laporan Praktikum Ekologi Tanaman ini dibuat semoga dengan
adanya Laporan Praktikum Ekologi Tanaman ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi segenap pembaca.

Semarang, November 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... ii

RINGKASAN ......................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iv

DAFTAR ISI ........................................................................................... v

DAFTAR TABEL ................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2

2.1. Karbon Sekuestrasi ............................................................. 2


2.2. Analisis Vegetasi.................................................................. 4
2.3. Komponen Ekosisistem ....................................................... 6
2.4. Faktor Biotik ....................................................................... 8
2.5. Faktor Abiotik ..................................................................... 8

BAB III. MATERI DAN METODE ........................................................ 12

3.1. Materi.................................................................................. 12
3.2. Metode ................................................................................ 12

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 14

4.1. Karbon Sekuestrasi.. ............................................................ 14


4.2. Analisis Vegetasi Metode Rintisan.. ..................................... 18
4.3. Analisis Vegetasi Metode Kuadrat........................................ 20
4.4. Faktor Biotik pada Agroekosistem.. ..................................... 25
4.5. Faktor Abiotik pada Agroekosistem.. ................................... 26

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 29

5.1. Simpulan ............................................................................. 29


5.2. Saran ................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 31

v
LAMPIRAN ............................................................................................ 35

vi
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ragam Tanaman di Hutan Edukasi Universitas Diponegoro ................ 14


2. Hasil Perhitungan Biomassa Pohon ..................................................... 16
3. Evaluasi Ketebalan Serasah Berdasarkan Penggunaan Lahan .............. 17
4. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Rintisan ........................................ 18
5. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat 1x1 m ............................. 20
6. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat 5x5 m .............................. 22
7. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat 50x20 m ......................... 24
8. Evaluasi Faktor Biotik terhadap Agroekosistem Berbeda ..................... 25

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan Biomassa pohon………………………………………… 35

2. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (1x1 m)……………….... 38

3. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (1x1 m)……………………… 38

4. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (5x5 m) ……………….. 41

5. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (5x5 m)…………………….. 41

6. Evaluasi Analisis Vegetasi Kuadrat (20x50 m)………………………… 44

7. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (20x50 m)…………………… 44

8. Alat dan Bahan………………………………………………………… 48

9. Dokumentasi Praktikum……………………………………………….. 50

viii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Ekosistem merupakan suatu sistem alam yang terbentuk dari interakhsi


antara faktor biotik dan abiotik. Biotik merupakan komponen ekosistem yang
terdiri dari makhuk hidup, sedangkan abiotik berbentuk benda mati, yang berupa
keadaan fisik dan kimia disekitar organisme. Ekologi berhubungan dengan
tingkatan organisasi makhluk hidup, seperti populasi, komunitas, dan ekosistem
yang saling berpengaruh satu sama lain dan membentuk suatu sistem kesatuan.
Kondisi pada suatu ekosistem dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah tutupan lahan oleh vegetasi. Data vegetasi dalam pengelolaan
agroekosistem berupa tanaman budidaya maupun tumbuhanyang tumbuh di
ekosistem.Analisis vegetasi ialah metode yang digunakan untuk mempelajari
bentuk dan susunan suatu vegetasi. Analisis vegetasi menggunakan sampling pada
suatu ekosistem, hasil dari sampling tersebut akan mewakili hasil suatu ekosistem.
Cara kerja analisa vegetasi terbagi tiga, yaitu penentuan jumlah petak contoh, cara
peletakan petak contoh, dan teknik analisa vegetasi yang diaplikasikan. Cara
peletakan petak contoh terdapat letakan secara acak dan sistematis.Peletakan
secara acak digunakan untuk vegetasi homogen. Peletakan secara sistematis untuk
penelitian, lebih mudah dan hasil data sesuai dengan fungsi yang dikehendaki.
Tujuan dari praktikum Ekologi Tanaman yaitu untuk mengetahui jawaban
dari pertanyaan mengenaitiga jenis lahan, yaitu lahan tertutup tanaman, lahan
agroforestri, dan lahan perkebunan, mengetahui cara analisis vegetasi dengan
metode rintisan dan kuadrat, dan mengetahui cara pengamatan ekosistem. Manfaat
dari prakitkum Ekologi Pertanian yaitu untuk memperkaya wawasan tentang
pengamatan vegetasi tumbuhan dan komponen ekosistem pada hutan secara
analisis.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karbon Sekuestrasi

Karbon sekuestrasi merupakan proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh


tanaman hidup. Proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang
tumbuh disebut sebagai sekuestrasi karbon (Putri dan Wulandari, 2015). Karbon
di atmosfer diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Besarnya kandungan
karbon dipengaruhi oleh kemampuan tanaman tersebut untuk menyerap karbon
dari lingkungan melalui proses fotosintesis (Hanif et al., 2018). Jumlah karbon
yang berada dalam tubuh tanaman hidup menggambarkan banyaknya CO 2 di
atmosfer yang diserap oleh tanaman. Dengan mengukur jumlah karbon yang
disimpan dalam tubuh tanaman hidup pada suatu lahan dapat menggambarkan
banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman (Ariani dkk., 2014).
Tanaman atau pohon menyimpan karbon diseluruh bagian tubuhnya.
Penyimpanan karbon dalam tumbuhan atau pohon meliputi biomassa pohon,
biomassa tumbuhan bawah, massa dari bagian pohon yang sudah mati
(nekromassa) dan serasah (Hermawan et al., 2017). Biomassa pohon dapat
diestimasikan dengan menggunakan persamaan allometrik, yang didasarkan pada
pengukuran diameter batang.Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengestimasi biomassa ialah metode alometrik.dilakukan dengan cara mengukur
diameter batang pohon setinggi dada (Diameter at Breast Height, DBH) yang
terdapat pada plot penelitian (Manafe et al., 2016).
Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46 % oleh karena
itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan mengalikan total
berat biomassanya dengan konsentrasi karbon. Jumlah karbon tersimpan per
komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat biomassanya dengan
0,46 karena konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya adalah 46 %
(Chanan, 2012). Jumlah karbon pada tanaman semakin bertambah ketika
3

bertambahnya diameter tanaman. Semakin banyak pohon penyusun suatu lahan


berdiameter >30 cm maka cadangan karbon pada lahan tersebut makin tinggi
(Wiarta et al., 2017). Penyerapan karbon dalam tanaman pada suatu lahan dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan dan penanaman
pohon. Peningkatan penyerapan cadangan karbon dilakukan dengan
meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, menambah cadangan
kayu hutan dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan
mengembangkan hutan dengan pohon cepat tumbuh (Syam’ani et al., 2012).
Salah satu contoh bentuk bahan organik di dalam hutan adalah seresah.
Serasah merupakan sampah organik yang terdiri dari bahan tanaman yang sudah
mati dan terdapat pada permukaan tanah. Serasah adalah sampah organik berupa
tumpukan dedaunan kering, rerantingan dan berbagai sisa vegetasi lain di atas
tanah yang sudah mongering dan berubah warna dari aslinya (Salim, 2014). Peran
serasah dalam hutan antara lain sebagai pengembali unsur hara. Seresah memiliki
peranan yang penting di lantai hutan karena sebagian besar pengembalian unsur
hara ke lantai hutan berasal dari seresah (Riyanto et al., 2013). Serasah juga
memiliki peran sebagai input unsur hara dalam hutan. Serasah memiliki peranan
sebagai input unsur hara ke dalam tanah hutan yang kemudian akan diserap oleh
tumbuhan hutan untuk melakukan proses pertumbuhan serta menciptakan
lingkungan mikro bagi semai di lantai hutan dengan pelepasan nutrisi selama
pembusukannya (Umar, 2016). Setiap hutan memiliki ketebalan serasah yang
berbeda-beda. Ketebalan serasah di dalam hutan dapat diukur dengan mencari
nilai bobot kering serasah. Ketebalan serasah dapat dilihat dari rata-rata bobot
kering serasah (Andrianto et al., 2015). Faktor yang mempengaruhi ketebalan
serasah yaitu jenis vegetasi. Setiap ekosistem memiliki perbedaan ketebalan
serasah yang dipengaruhi oleh tutupan kanopi pada lokasi serta tingkat kerapatan
vegetasi, jenis vegetasi, keberadaan tajuk pohon yang mempengaruhi banyak
sedikitnya serasah di lantai hutan (Silaban et al., 2019).
4

2.2. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur


dalam suatu hutan. Analisis vegetasi pada dasarnya adalah cara mempelajari
sususan komposisi jenis dan bentuk struktur vegetasi atau masyarakat tumbuh-
tumbuhan (Martono, 2012). Vegetasi merupakan kumpulan beberapa tumbuhan
yang terdiri dari beberapa jenis dan hidup bersama pada suatu tempat. Vegetasi
bukan hanya kumpulan berbagai tumbuhan namun juga merupakan suatu kesatuan
dimana individu-individu penyusunnya saling tergantung satu sama lain dan
disebut dengan komunitas tumbuhan (Susanto, 2012)
Analisis vegetasi memiliki beberapa manfaat. Analisis vegetasi berfungsi
untuk mengetahui struktur vegetasi suatu kawasan, komposisi jenis, dan pola
distribusi. Analisa vegetasi juga bermanfaat untuk mengetahui keanekaragman
hayati pada suatu wilayah (Parwati dkk., 2019). Analisis vegetasi juga dapat
dimanfaatkan sebagai indikator suatu habitat baik pada masa sekarang dan masa
lampau. Hasil analisis vegetasi dipengaruhi oleh beberapa hal mulai dari
komposisi makhluk hidup yang terkandung hingga iklim di wilayah tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi yaitu flora,
habitat, iklim, tanah, waktu dan kesempatan (Martono, 2012).
Parameter dalam analisa vegetasi terdiri dari beberapa indikator. Indikator
dalam analisis vegetasi antara lain kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks
nilai penting. Kerapatan memiliki arti banyaknya jenis persatuan luas. Kerapatan
merupakan salah satu paramaeter analisis vegetasi. Kerapatan menunjukkan
jumlah individu organisme per satuan ruang (Wahyuni, 2020). Nilai suatu
kerapatan dapat dihitung menggunakan rumus. Rumus kerapatan suatu jenis yaitu
jumlah individu suatu jenis dibagi luas petak contoh (Banurea et al., 2015).
Kerapatan digolongkan menjadi empat kategori. Penggolongan kerapatan, yaitu
kategori rendah dengan nilai 12-50%, kategori sedang dengan nilai 51-100%,
kategori baik dengan nilai >201% (Sari et al., 2018).
Frekuensi memiliki arti penyebaran dalam area dimana semakin rata
penyebarannya frekuensinya semakin besar. Nilai frekuensi dalam populasi dapat
5

dihitung menggunakan rumus. Frekuensi dalam ekologi digunakan untuk


menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisis suatu spesies terhadap
jumlah total sampel (Siadari et al., 2013). Nilai frekuensi nilai suatu jenis dapat
dicari menggunakan rumus. Rumus frekuensi suatu jenis yaitu jumlah plot
ditemukan suatu jenis dibagi jumlah seluruh plot (Banurea et al., 2015). Frekuensi
dalam ekologi dikategorikan dalam lima kelas. Penggolongan frekuensi, yaitu,
kelas A (1-20%) sangat rendah, kelas B (21-40%) rendah, kelas C (41-60%)
sedang, kelas D (61-80%) tinggi dan pada kelas E (81-100%) termasuk sangat
tinggi (Hidayat et al., 2017)
Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan
suatu jenis terhadap jenis lain pada suatu komunitas. Dominasi menunjukkan
penguasaan suatu jenis terhadap jenis lain, semakin besar nilai dominasi suatu
jenis maka jenis tersebut memiliki penguasaan terhadap jenis. Jenis tanaman yang
lebih banyak tumbuh maka akan lebih mudah menguasi tempat tumbuh tanaman
tersebut (Febriliani, 2013). Nilai dominansi dihitung dengan basal area setiap jenis
vegetasi. Nilai dominansi dipengaruhi oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata
diameter batang (Gunawan et al., 2011).
Indeks nilai penting suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan
peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas. Semakin besar indeks nilai
penting suatu jenis maka makin besar pula peranan jenis tersebut dalam
komunitas (Kainde et al., 2011). Nilai indeks nilai penting dikategorikan dalam
tiga kelas. Penggolongan INP, yaitu INP > 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96-
42,66 dikategorikan sedang, INP < 21,96 dikategorikan rendah, jenis tumbuhan
yang memiliki INP yang tinggi sangat mempengaruhi suatu komunitas tumbuhan
(Arista et al., 2017).
Analisis mengenai suatu vegetasi tumbuhan harus berdasarkan dengan
metode yang sudah dilakukan oleh peneliti lainnya. Metode yang dilakukan
diantaranya point sampling, indirect sampling, transect sampling, transect belt
sampling (Fatimah et al., 2019). Hasil menganalisis suatu vegetasi tumbuhan
dapat digunakan untuk mengetahui manfaat tumbuhan. Tumbuhan ingas memiliki
beberapa manfaat bagi lingkungan disekitarnya. Tumbuhan ingas dapat
6

mengambil nitrogen dari udara dan menguncinya di tanah untuk menjaga tanah
tetap subur untuk jangka panjang (Nion et al., 2018). Tumbuhan mahoni
bermanfaat untuk obat-obat an. Fungsi pohon mahoni bila dikonsumsi
mengandung saponin dan flavonoida yang merupakan kandungan kimia yang
bermanfaat melancarkan peredaran darah, mengurangi penimbunan lemak, dan
juga menambah nafsu makan (Ihsanu et al., 2014). Tumbuhan mahoni memiliki
peran dalam lingkungan sebagai pengendali erosi. Fungsi pohon mahoni dalam
ekosistem sebagai pengendali limpasan dan erosi (Mashudi et al., 2016).
Tumbuhan nyamplung dapat berfungsi sebagai pemecah angin. tegakan tanaman
nyamplung berfungsi sebagai pemecah angin (wind breaker) untuk tanaman
pertanian dan dapat melindungi tanaman semusim dari hembusan angin kencang
(Ikapi, 2018). Tumbuhan nyamplung juga bermanfaat sebagai tanaman obat. Daun
dan getah kulit kayunya bermanfaat untuk mengobati luka (Abdullah et al., 2010)

2.3. Komponen Ekosistem

Lingkungan terdiri atas objek-objek yang dikategorikan


sebagai komponen biotik dan abiotik, dimana keduanya saling berkaitan satu
sama lain. Suatu ekosistem memiliki komponen yang saling berkaitan yaitu
komponen biotik dan komponen abiotik (Setiasih dan Hakim, 2012). Organisme
yang ada selalu berinteraksi secara timbal balik dengan lingkungannya.Interaksi
timbal balik tersebut membentuk suatu sistem yang kemudian biasa dikenal
sebagai sistem ekologi atau ekosistem (Rismika dan Purnomo, 2019). Ekosistem
merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi
timbal-balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju
kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara
organisme dan anorganisme. Ekosistem yang ada memiliki organisme dalam
komunitas yang berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu
sistem (Rusdi, 2018). Dilihat dengan adanya hubungan timbal balik, maka
manusia harus mampu melestarikan hubungan timbal balik dengan lingkungan
agar keberlangsungan hidup dapat bertahan.Kelangsungan hidup manusia
7

tergantung dari kelestarian ekosistemnya, karena ekosistem itu terbentuk dari


hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya, dan untuk
menjaga kelestariannya ekosistem itu, manusia harus menjaga keserasian
hubungan dengan lingkungan hidupnya. Ketika keserasian hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya terganggu, akan terganggu pula kesejahteraan
manusia (Dewi, 2014).
Komponen biotik adalah komponen lingkungan hidup dari sekumpulan makhluk
hidup atau organisme yang ada dilingkungan sekitar, misalnya dalam ekosistem
hutan terdapat flora dan fauna. Beberapa contoh flora dan fauna yang terdapat di
hutan diantaranya adalah kantong semar, amorphophalus sp, damar, meranti,
mayang, gajah, orangutan, kera ekor panjang, harimau, kambing hutan, babi
hutan, burung kukau serta lainnya (Sembiring 2020). Sedangkan komponen
abiotik merupakan komponen penyusun ekosistem yang terdiri dari benda-benda
tak hidup, misalnya kandungan bahan organik tanah dan kandungan hara yang
termasuk dalam abiotik ekosistem sawah. Komponen ekosistem abiotik terdiri
atas faktor edafik atau kesuburan tanah yang dilihat dari parameter Kapasitas
Pertukaran Kation (KTK), kandungan bahan organik tanah, kandungan N total, P
tersedia dan K tersedia dalam tanah; dan faktor hidrologik yang dilihat dari
parameter kedalaman genangan air sawah (Aminatun et al., 2014). Hutan
merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berisi sumber daya hayati dan
mempunyai banyak fungsi bagi kehidupan. Hutan berfungsi sebagai penghasil
oksigen (O2), penyimpan air dan tempat menyerapnya air, tempat produksi
embrio-embrio flora dan fauna yang akan menambah keanekaragaman hayati serta
pencegah erosi dan tanah longsor (Kusumaningtyas dan Chofyan, 2013). Factor
yang mempengaruhi ekosistem dapat berupa perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan
tekanan aktivitas manusia. Perilaku manusia mengalih fungsikan ekosistem pantai
hanya untuk tujuan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan pengaruh negatif
jangka panjang (longterm effect) (Akbar et al., 2017)
8

2.4. Faktor Biotik

Komponen biotik merupakan komponen lingkungan yang berperan penting


dalam ekosistem, terdiri dari makhluk hidup (manusia, hewan, dan
tumbuhan).Komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa, seperti hewan,
tumbuhan, manusia, dan mikroorganisme (Wulandari, 2016). Faktor biotik adalah
makhluk hidup yang menyusun ekosistem itu sendiri.Faktor biotik meliputi
prodesen, konsumen, dan organisme pengurai (dekomposer) (Ningsih, 2010).
Faktor biotik tentunya dapat mempengaruhi perubahan lingkungan
ekosistem.Faktor biotik ekosistem merupakan salah satu faktor lingkungan yang
memengaruhi keadaan suatu ekosistem (Puspitasari et al., 2012).Faktor biotik
dapat meliputi kondisi vegetasi dipermukaan tanah.Lingkungan biotik meliputi
vegetasi di permukaan tanah dan organisme lainya, selain berfungsi sebagai
penghasil serasah sekaligus sebagai penutup tanah (Erniyani et al., 2010).
Faktor biotik juga dapat meliputi kualitas dan kuantitas hijauan, komposisi
spesies dan morfologi tanaman.Pola pengembangan dan penyebaran ternak
dipengaruhi faktor biotik (kualitas dan kuantitas hijauan, komposisi spesies dan
morfologi tanaman) (Sugiarto dan Achmad, 2014).Keberagaman dan populasi
suatu jenis fauna dalam ruang lingkup ekosistem sangat ditentukan oleh faktor
lingkungan biotiknya.Kehidupan mesofauna sangat tergantung pada habitatnya,
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna di suatu daerah sangat
ditentukan oleh faktor lingkungan biotik (Erniyani et al., 2010).

2.5. Faktor Abiotik

Faktor abiotik adalah komponen - komponen penting yang mempengaruhi


keadaan suatu ekosistem yang dalam keadaan mati. Faktor - faktor abiotik terdiri
dari tanah (edapik), udara, ketersediaan air, kualitas air, topografi, dan
meteorologi pada lingkungan tersebut (Channarayappa dan Biradar, 2018). Faktor
- faktor abiotik memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem. Komponen
abiotik merupakan sumber dari kehidupan makhluk hidup, dimana terbentuknya
9

sumber air, ketersediaan udara untuk organisme, dan penampung elemen - elemen
kehidupan; Karbon (C), Hidrogen (H), Nitrogen (N), Sulfur (S), Oksigen (O), dan
Fosfor (P) adalah mengapa faktor abiotik merupakan elemen yang penting dalam
suatu ekosistem (Hussen, 2012).
Pada tanaman, faktor - faktor abiotik dan keberadaannya mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, pembentukan hama yang mengganggu, pertumbuhan
gulma, penyakit yang menyerang tanaman, dan resistensi tanaman terhadap
komponen penggaunggu tersebut. Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi
kehidupan tanaman meliputi cuaca, suhu, udara, keberadaan oksigen, air, cahaya
matahari, kelembaban, pH, tanah, salinitas, garis lintang, dan topografi
(Channarayappa dan Biradar, 2018). Karena faktor - faktor abiotik tersebut akan
mempengaruhi kehidupan tanaman, maka faktor - faktor tersebut juga andil dalam
kehidupan biotik lain pula. Hasil dari pengolahan komponen abiotik oleh tanaman
pada suatu ekosistem, seperti seperti oksigen, sumber makanan, dan hasil sisa
akan memberikan kehidupan kepada komponen-komponen biotik pada
lingkungan tersebut (Ismail, 2019).
Pada pertanian, faktor-faktor abiotik akan mempengaruhi hasil panen
tanaman. Faktor abiotik seperti salinitas, curah hujan, suhu, dan mineral akan
mempengaruhi produktivitas pertanian dan kondisinya akan berfluktuasi sesuai
dengan kondisi lingkungan (Sopandie, 2013). Faktor-faktor abiotik yang
mempengaruhi tanaman jika tidak mendukung akan menjadi faktor cekaman
abiotik tanaman. Tanah salin, kekeringan, suhu ekstrim, penggenangan dan
logam-logam berat, merupakan cekaman bagi tumbuhan maka kondisi tersebut
menyebabkan kerugian besar kepada produktivitas pertanian (Pareek et al., 2010).
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan
produktivitas hutan dan ketersediaan karbon di vegetasi hutan. Peningkatan suhu
regional setiap 4°C akan meningkatkan produktivitas hutan sebesar 33% dan
memberikan ketersediaan C tahunan sebesar 32% (Poudel et al., 2011). Pada
dasarnya, jika suhu diatas suhu optimal tanaman untuk tumbuh, maka kondisi ini
termasuk cekaman suhu, sehingga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman. Jika
suhu 1-4°C diatas suhu optimal pertumbuhan tanaman, maka hal tersebut akan
10

dikategorikan sebagai cekaman suhu ringan sehingga vegetasi di daerah tersebut


akan terancam, dan jika suhu lebih dari 4°C diatas suhu optimal, maka hal ini
dikategorikan sebagai cekaman suhu intens (Hasanuzzaman, 2020). Suhu suatu
vegetasi dipengaruhi oleh kerapatan pertumbuhan di vegetasi tersebut, jika suatu
vegetasi memiliki kerenggangan, maka wilayah tersebut akan memiliki suhu yang
tinggi, dan jika suatu vegetasi memiliki kerapatan pertumbuhan yang tinggi, maka
suhu di wilayah tersebut akan rendah. Keterbukaan lahan yang berada di suatu
vegetasi membuat suhu di wilayah tersebut menjadi buruk, dikarenakan buruknya
kerapatan pertumbuhan di daerah tersebut (Cahyanto dan Kuraesin, 2013).
Forest Canopy Density (FCD) merupakan indikator proporsi suatu daerah
yang terlindung tajuk pohon dan ditulis dalam persentase dari total area tersebut.
Berdasarkan klasifikasi FCD, suatu hutan sangat padat jika persentase FCD 70%,
cukup padat jika persentase 40 - 70%, hutan terbuka jika persentase kurang dari
40%, dan belukar jika jika persentase dibawah 10% (Rhyma et al., 2020). FCD
dapat dijadikan sebagai indikator suatu vegetasi berdasarkan faktor - faktor yang
mempengaruhi karakterisik vegetasi tersebut. FCD merupakan parameter yang
penting dalam mengetahui karakteristik suatu vegetasi karena FCD dapat
menunjukkan suhu, jenis tanah, dan kerapatan vegetasi; dimana nilai FCD yang
tinggi mengindikasikan vegetasi yang baik dan FCD yang rendah
mengindikasikan vegetasi yang kurang baik (Saha et al., 2020).
Biodiversitas pada suatu vegetasi dipengaruhi oleh kelembaban, yaitu
konsentrasi uap air yang ada di udara. Di daerah basah dan lembab seperti hutan
hujan, panas dan ketersediaan air menyebabkan tumbuhnya beragam jenis
tumbuhan, dan di daerah dengan kelembaban yang rendah dengan suhu yang
fluktuatif, hanya sedikit tanaman yang dapat bertahan karena kondisi daerah yang
ekstrim (Inness, 2010). Tingkat kelembaban di suatu daerah akan mempengaruhi
aktivitas tanaman di daerah tersebut, dimana kelembaban yang tinggi akan
menghasilkan vegetasi yang tinggi, dan daerah yang kelembabannya rendah
memiliki vegetasi yang rendah. Oleh karena itu, kelembaban yang terdapat di
dalam hutan, yaitu tempat yang memiliki banyak vegetasi akan lebih tinggi
dibandingkan kelembaban yang terdapat di luar hutan yang memiliki sedikit
11

vegetasi. Di daerah dengan kelembaban yang tinggi, proses transpirasi rendah,


sehingga vegetasi di daerah tersebut tinggi, dan jika kelembaban suatu vegetasi
rendah, maka laju transpirasi akan tinggi karena air akan lebih mudah menguap di
udara yang kering, sehingga berakibat kepada layunya tanaman, yang berdampak
terhadap penurunan vegetasi di daerah tersebut atau bahkan matinya vegetasi di
daerah tersebut (Igbawua et al., 2016).
Tingkat radiasi sinar matahari yang terpapar ke hutan, dan diterima oleh
tanaman akan mempengaruhi proses distribusi energi. Radiasi sinar matahari akan
mempengaruhi aktivitas tanaman, seperti fotosintesis dan evapotranspirasi, serta
mempengaruhi perubahan suhu tanah dan daun yang mempengaruhi proses
perpindahan energi pada tanaman di suatu vegetasi (Braghiereet al., 2020).
Tingkat radiasi sinar matahari pada suatu vegetasi akan memberikan karakterisitik
tersendiri pada vegetasi tersebut, dimana daerah yang memiliki radiasi matahari
yang tinggi memiliki vegetasi yang rendah dan daerah dengan radiasi yang cukup
memiliki banyak vegetasi. Oleh karena itu, daerah seperti hutan memiliki tingkat
radiasi sinar matahari yang cukup karena tertutup oleh tajuk pohon memiliki
banyak vegetasi, dibandingkan dengan luar hutan yang biasanya merupakan
daerah yang kering. Radiasi sinar matahari akan memberikan efek kepada vegetasi
di bawah tajuk pohon, suhu tanah, serta variasi proses biologi dan kimia, seperti
dekomposisi dan mineralisasi unsur organik, sehingga mempengaruhi
karakteristik vegetasi tersebut (Sypka et al., 2016).
12

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ekologi Tanaman dengan materi Studi Kondisi Lingkungan,


Analisis Vegetasi, dan Komponen Ekosistem dilaksanakan pada tanggal 11
Oktober 2020 pukul 07.00 – 11.30 WIB di Hutan Edukasi, Universitas
Diponegoro, Tembalang, Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum Ekologi Tanaman dengan materi


Studi Kondisi Lingkungan Mikro Pada Sistem Pertanian, Analisis Vegetasi, dan
Komponen Ekosistem terdiri dari alat dan bahan.Bahan yang digunakan yaitu
komponen ekosistem pada Hutan Kampus Universitas Diponegoro. Alat yang
digunakan yaitu tali rafia untuk membatasi wilayah yang akan diukur, tongkat
bambu untuk mengukur ketinggian pohon, gunting untuk memotong rafia,
termohigrograf untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, termometer tanah
untuk mengukur suhu tanah, solarimeter untuk mengukur radiasi matahari,
kamera untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum dan komponen-komponen
ekosistem yang diamati, dan alat ukur berupa penggaris atau meteran untuk
mengukur diameter pohon dan ketinggian serasah.

3.2. Metode

Metode yang dilakukan dalam analisis vegetasi metode kuadrat yaitu dibuat
plot ukuran 20 x 50 m kemudian sub plot dengan ukuran 20 x 25 m dibuat dengan
tali rafia. Kemudian, diamati jenis dan dihitung tinggi serta diameter masing-
masing pohon dan serasah yang ditemukan. Sub-sub plot 5 x 5 m dibuat,
kemudian diamati dan dihitung tinggi masing-masing spesies tanaman yang
ditemukan. Sub-sub-sub plot 1 x 1 m dibuat sebanyak 3 plot, kemudian diamati
13

jenis dan dihitung tinggi masing-masing herba rendah yang ditemukan. Metode
yang dilakukan dalam analisis vegetasi metode rintisan yaitu ditentukan titik awal
pengamatan. Patok diletakkan pada tanah rintisan sepanjang 10 m. Kemudian,
diamati semua jenis tanaman dan dihitung jumlah tumbuhan yang menyentuh
tanah rintisan kanan kiri sejauh 1 m. Masing-masing tanaman dihitung tinggi dan
diameternya.
14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karbon Sekuestrasi

Berdasarkan praktikum Ekologi Tanaman yang telah dilakukan diperoleh


hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Ragam Tanaman di Hutan Edukasi, Universitas Diponegoro.


No Jenis Tanaman Jumlah
1. Ingas (Gluta renghas) 9
2. Mahoni (Swietenia mahagoni) 12
3. Nyamplung (Calophyllum inophyllum) 2
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa ragam tanaman yang dapat ditemukan


adalah jenis tanaman ingas (Gluta renghas) sebanyak 9 pohon, jenis pohon
mahoni (Swietenia mahagoni) sebanyak 12 pohon dan jenis tanaman pohon
nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebanyak 2 pohon. Total pohon besar yang
dapat ditemukan yaitu sebanyak 23 pohon. Pepohonan yang terdapat di dalam
hutan sangat berpengaruh terhadap siklus karbon dalam hutan tersebut. Karbon
sekuestrasi merupakan salah satu hal yang penting dalam proses siklus karbon.
Proses karbon sekuestrasi merupakan proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh
tanaman hidup. Hal ini sesuai dengan Putri dan Wulandari (2015) yang
menyatakan bahwa proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang
tumbuh disebut sebagai sekuestrasi karbon. Komponen biotik merupakan segala
sesuatu yang terdapat di dalam ekosistem. Hal ini sesuai dengan Wulandari (2016)
yang menyatakan bahwa komponen biotik merupakan segala sesuatu yang
bernyawa, seperti hewan, tumbuhan, manusia, dan mikroorganisme.
Komponen biotik pada ekosistem mempengaruhi perubahan lingkungan
ekosistem. Komponen biotik dalam ekosistem meliputi kondisi vegetasi, kualitas
15

dan kuantitas hijauan. Hal ini sesuai dengan Sugiarto dan Achmad (2014) yang
menyatakan bahwa faktor biotik dapat meliputi kualitas dan kuantitas hijauan,
komposisi spesies dan morfologi tanaman. Jenis-jenis fauna dalam suatu ekositem
sangat beragam. Keberagaman jenis fauna tersebut dipengaruhi oleh faktor
lingkungan biotiknya. Hal ini sesuai dengan Erniyani et al. (2010) yang
menyatakan bahwa kehidupan mesofauna sangat tergantung pada habitatnya,
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna di suatu daerah sangat
ditentukan oleh faktor lingkungan biotik.
Tumbuhan dalam ekosistem memiliki peran yang sangat vital. Tumbuhan
ingas memiliki beberapa manfaat bagi lingkungan disekitarnya. Hal tersebut
didukung Nion et al. (2018) bahwa tumbuhan ingas dapat mengambil nitrogen
dari udara dan menguncinya di tanah untuk menjaga tanah tetap subur untuk
jangka panjang. Tumbuhan mahoni bermanfaat untuk obat-obat an. Hal tersebut
didukung Ihsanu et al. (2014) bahwa fungsi pohon mahoni bila dikonsumsi
mengandung saponin dan flavonoida yang merupakan kandungan kimia yang
bermanfaat melancarkan peredaran darah, mengurangi penimbunan lemak, dan
juga menambah nafsu makan. Tumbuhan nyamplung juga bermanfaat sebagai
tanaman obat. Hal ini didukung Abdullah et al. (2010) bahwa daun dan getah kulit
kayunya memiliki manfaat untuk mengobati luka.
Tumbuhan dalam ekosistem memiliki peran yang sangat penting. Tumbuhan
ingas memiliki beberapa manfaat bagi lingkungan disekitarnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Nion et al. (2018) bahwa tumbuhan ingas dapat mengambil
nitrogen dari udara dan menguncinya di tanah untuk menjaga tanah tetap subur
untuk jangka panjang. Tumbuhan mahoni memiliki peran dalam lingkungan
sebagai pengendali erosi. Hal ini sesuai dengan Mashudi et al. (2016) bahwa
fungsi pohon mahoni dalam ekosistem sebagai pengendali limpasan dan erosi.
Tumbuhan nyamplung dapat berfungsi sebagai pemecah angin. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ikapi (2018) yang menyatakan bahwa tegakan tanaman
nyamplung berfungsi sebagai pemecah angin (wind breaker) untuk tanaman
pertanian dan dapat melindungi tanaman semusim dari hembusan angin kencang.
16

Tabel 2. Hasil Perhitungan Biomassa Pohon


No Jenis ρ K D T BK-
Tanaman (kg/pohon)
1. Ingas 0,59 119 37,89 25 887,05
2. Ingas 0,59 82 26,11 27 334,36
3. Ingas 0,59 85 27,07 27 367,59
4. Ingas 0,59 73 23,24 23 246,49
5. Ingas 0,59 69 21,97 24 212,74
6. Ingas 0,59 63 20,06 20 179,70
7. Ingas 0,59 62 19,74 20 160,69
8. Ingas 0,59 62 19,74 22 160,69
9 Ingas 0,59 59 18,78 22 141,02
10. Mahoni 0,65 220 70,06 50 4.439,94
11. Mahoni 0,65 180 57,32 49 2.624,23
12. Mahoni 0,65 150 47,77 49 1.627,88
13. Mahoni 0,65 156 50,64 49 2.089,65
14. Mahoni 0,65 130 41,40 45 1.118,87
15. Mahoni 0,65 123 39,17 45 1.021,87
16. Mahoni 0,65 128 40,76 45 1.183,39
17. Mahoni 0,65 126 40,13 45 1.135,99
18. Mahoni 0,65 125 39,80 45 1.111,68
19. Mahoni 0,65 116 36,94 45 914,41
20. Mahoni 0,65 124 39,49 45 1.089,15
21. Mahoni 0,65 118 37,58 45 956,45
22. Nyamplung 0,85 95 30,25 30 491,75
23. Nyamplung 0,85 93 29,62 30 670,48
Total Biomassa 23.166,07
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 2. diketahui bahwa total biomassa pohon pada Hutan


Edukasi Universitas Diponegoro yaitu 23.166,07 kg/pohon. Biomassa yang
terdapat di dalam suatu ekosistem dipengaruhi oleh keanekaragaman ekosistem
yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Hal ini sesuai dengan
Setiasih dan Hakim (2012) yang menyatakan bahwa dalam ekosistem terdapat
komponen yang saling berkaitan yaitu komponen biotik dan komponen abiotik.
Faktor abiotik merupakan komponen penting yang mempengaruhi suatu
ekosistem. Faktor abiotik meliputi udara, air dan tanah. Hal ini sesuai dengan
Channarayappa dan Biradar (2018) yang menyatakan bahwa faktor-faktor abiotik
terdiri dari tanah (edapik), udara, ketersediaan air, kualitas air, topografi, dan
meteorologi pada lingkungan tersebut.
17

Komponen biotik merupakan komponen lingkungan yang berperan penting


dalam ekosistem, terdiri dari makhluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan).
Hal ini sesuai dengan Wulandari (2016) yang menyatakan bahwa komponen
biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa, seperti hewan, tumbuhan, manusia,
dan mikroorganisme. Keberadaan hutan memiliki peran yang sangat penting.
Hutan memiliki fungsi sebagai sumber oksigen bagi makhluk hidup. Hal ini sesuai
dengan Kusumaningtyas dan Chofyan (2013) yang menyatakan bahwa hutan
berfungsi sebagai penghasil oksigen (O2), penyimpan air dan tempat menyerapnya
air, area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang akan menambah
keanekaragaman hayati serta pencegah erosi dan tanah longsor.

Tabel 3. Evaluasi Ketebalan Serasah


No Ketebalan Macam Warna Kegemburan Kelembaban
Serasah (cm) serasah serasah tanah tanah
1. 11 Daun kering Coklat Sedang Sedang
dan ranting tua
2. 6 Daun kering Coklat Sedang Sedang
dan ranting tua
3. 2 Daun kering Coklat Sedang Sedang
dan ranting tua
4. 15 Daun kering Coklat Sedang Sedang
dan ranting tua

5. 7 Daun kering Coklat Sedang Sedang


dan ranting tua
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa di dalam hutan terdapat serasah yang


merupakan dedaunan yang gugur dan ranting yang mengering dengan ketebalan
serasah berkisar antara 2 – 15 cm. Hal ini sesuai dengan Salim (2014) yang
menyatakan bahwa serasah adalah sampah-sampah organik berupa tumpukan
dedaunan kering, rerantingan dan berbagai sisa vegetasi lain di atas tanah yang
sudah mongering dan berubah warna dari aslinya. Serasah yang terdapat di dalam
hutan sangat bermanfaat untuk proses pengembalian unsur hara. Hal ini sesuai
dengan Riyanto et al. (2013) yang menyatakan bahwa seresah memiliki peranan
18

yang penting di lantai hutan karena sebagian besar pengembalian unsur hara ke
lantai hutan berasal dari seresah.
Serasah di dalam hutan memiliki peranan sebagai input unsur hara dalam
tanah hutan. Hal ini sesuai dengan Umar (2016) yang menyatakan bahwa serasah
memiliki peranan sebagai input unsur hara ke dalam tanah hutan yang kemudian
akan diserap oleh tumbuhan hutan untuk melakukan proses pertumbuhan serta
menciptakan lingkungan mikro bagi semai di lantai hutan dengan pelepasan
nutrisi selama pembusukannya. Ketebalan serasah di dalam hutan dapat diukur
dengan mencari nilai bobot kering serasah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Andrianto et al. (2015) yang menyatakan bahwa ketebalan serasah dapat dilihat
dari rata-rata bobot kering serasah. Setiap hutan memiliki ketebalan serasah yang
berbeda-beda. Ketebalan serasah ini dipengaruhi oleh tingkat kerapatan vegetasi
dan jenis vegetasi. Hal ini sesuai dengan Silaban et al. (2019) yang menyatakan
bahwa setiap ekosistem memiliki perbedaan ketebalan serasah yang dipengaruhi
oleh tutupan kanopi pada lokasi serta tingkat kerapatan vegetasi, jenis vegetasi,
keberadaan tajuk pohon yang mempengaruhi banyak sedikitnya serasah di lantai
hutan.

4.2. Analisis Vegetasi Metode Rintisan

Berdasarkan praktikum Ekologi Tanaman yang telah dilakukan diperoleh


hasil sebagai berikut :

Tabel 4. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Rintisan.


No Jenis Tanaman Jumlah
1. Ingas (Gluta renghas) 9
2. Mahoni (Swietenia mahagoni) 12
3. Nyamplung (Calophyllum inophyllum) 2
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa ragam tanaman yang dapat ditemukan


adalah jenis tanaman ingas (Gluta renghas) sebanyak 9 pohon, jenis pohon
19

mahoni (Swietenia mahagoni) sebanyak 12 pohon dan jenis tanaman pohon


nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebanyak 2 pohon. Total pohon besar yang
dapat ditemukan yaitu sebanyak 23 pohon. Tumbuhan tersebut merupakan
komponen biotic dalam ekosistem. Hal ini didukung Wulandari (2016) bahwa
komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa, seperti hewan, tumbuhan,
manusia, dan mikroorganisme. Tumbuhan berperan penting dalam ekosistem,
seperti mencegah erosi dan penyedia oksigen. Hal tersebut didukung oleh
pendapat Kusumaningtyas dan Chofyan (2013) bahwa tumbuhan di hutan
berfungsi sebagai penghasil oksigen (O2), penyimpan air dan tempat menyerapnya
air, area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang akan menambah
keanekaragaman hayati serta pencegah erosi dan tanah longsor.
Keanekaragaman tumbuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa factor,
diantaraya adalah struktur dan komposisi vegetasi. Hal tersebut didukung oleh
pendapat Mansyur et al. (2016) bahwa struktur dan komposisi vegetasi pohon
berkaitan dengan diketahuinya jenis-jenis pohon dominan serta mendapatkan
informasi data tentang kandungan karbon pada pohon. Analisis vegetasi berfungsi
untuk mengetahui enis tumbuhan. Hal ini sesuai pendapat Susanto (2012) bahwa
jumlah jenis tumbuhan yang cukup banyak menunjukkan bahwa komposisi jenis
penyusun vegetasi hutan tersebut cukup beraneka ragam.
Tumbuhan dalam ekosistem memiliki peran yang sangat vital. Tumbuhan
ingas memiliki beberapa manfaat bagi lingkungan disekitarnya. Hal tersebut
didukung Nion et al. (2018) bahwa tumbuhan ingas dapat mengambil nitrogen
dari udara dan menguncinya di tanah untuk menjaga tanah tetap subur untuk
jangka panjang. Tumbuhan mahoni bermanfaat untuk obat-obat an. Hal tersebut
didukung Ihsanu et al. (2014) bahwa fungsi pohon mahoni bila dikonsumsi
mengandung saponin dan flavonoida yang merupakan kandungan kimia yang
bermanfaat melancarkan peredaran darah, mengurangi penimbunan lemak, dan
juga menambah nafsu makan. Tumbuhan nyamplung juga bermanfaat sebagai
tanaman obat. Hal ini didukung Abdullah et al. (2010) bahwa daun dan getah kulit
kayunya memiliki manfaat untuk mengobati luka.
20

4.3. Analisis Vegetasi Metode Kuadrat

Berdasarkan praktikum Ekologi Tanaman yang telah dilakuan diperoleh


hasil sebagai berikut :

Tabel 5. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (1 m 1 m)


Parameter Mahoni Nyamplung
KM 4 1
KN 80 20
FM 0,67 0,33
FN 67 33
DM 0,64 0,36
DN 64 36
INP (%) 211 89
SDR (%) 70,3 29,6
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 5 diperoleh nilai Kerapatan Mutlak (KM) dari pohon


mahoni sebesar 4, tumbuhan nyamplung sebesar 1. Hal ini sesuai dengan
pendapat Wahyuni (2020) menyatakan bahwa kerapatan menunjukkan jumlah
individu organisme per satuan ruang. Nilai Kerapatan Nisbi (KN) dari pohon
mahoni sebesar 80% dikategorikan sedang, tumbuhan nyamplung sebesar 20%
dikategorikan sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sari et al. (2018) yang
menyatakan bahwa kerapatan digolongkan menjadi empat kategori, yaitu kategori
rendah dengan nilai 12-50%, kategori sedang dengan nilai 51-100%, kategori baik
dengan nilai >201%.
Nilai Frekuensi Mutlak (FM) pohon mahoni sebesar 0,67, tumbuhan
nyamplunng sebesar 0,33. Hal ini sesuai dengan Siadari et al. (2013) yang
menyatakan bahwa Frekuensi dalam ekologi digunakan untuk menyatakan
proporsi antara jumlah sampel yang berisis suatu spesies terhadap jumlah total
sampel. Nilai Frekuensi Nisbi (FN) pohon mahoni sebesar 67% dikategorikan
tinggi, tumbuhan nyamplung sebesar 33% dikategorikan rendah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hidayat et al. (2017) yang menyatakan bahwa frekuensi
dikategorikan dalam lima kelas, yaitu, kelas A (1-20%) sangat rendah, kelas B
21

(21-40%) rendah, kelas C (41-60%) sedang, kelas D (61-80%) tinggi. Dan kelas E
(81-100%) sangat tinggi.
Nilai Dominasi Mutlak pohon mahoni sebesar 0,64 , tumbuhan nyampung
sebesar 0,36. Febriliani (2013) menyatakan bahwa Dominasi menunjukkan
penguasaan suatu jenis terhadap jenis lain, semakin besar nilai dominasi suatu
jenis maka jenis tersebut memiliki penguasaan terhadap jenis, jenis tanaman yang
lebih banyak tumbuh maka akan lebih mudah menguasi tempat tumbuh tanaman
tersebut. Nilai Dominasi Nisbi pohon mahoni sebesar 30%, tumbuhan kuping
gajah sebesar 12%, pohon awar-awar sebesar 20%, pohon mapel sebesar 18%,
dan pohon leben sebesar 20%. Hal ini sesuai dengan Gunawan et al. (2011)
menyatakan bahwa Nilai dominansi dipengaruhi oleh kerapatan jenis dan ukuran
rata-rata diameter batang.
INP dari pohon mahoni sebesar 211% termasuk dalam kategori tinggi dan
memiliki peran penting dalam ekosistem, INP tumbuhan nyamplung sebesar 89
dikategorikan tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Arista et al. (2017) yang
menyatakan bahwa nilai INP > 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96-42,66
dikategorikan sedang, INP < 21,96 dikategorikan rendah, dan jenis tumbuhan
yang memiliki INP yang paling tinggi sangat mempengaruhi suatu komunitas
tumbuhan. Kainde et al. (2011) menyatakan bahwa Semakin besar indeks nilai
penting suatu jenis maka makin besar pula peranan jenis tersebut dalam
komunitas.
Nilai SDR pohon mahoni sebesar 70,3%, tumbuhan nyamplung sebesar
29,6%. Pujisiswanto (2012) menyatakan kemampuan suatu spesies menguasai
sarana tumbuh yang ada di lahan tersebut, seperti air, unsur hara, cahaya, dan
ruang tumbuh, semakin tinggi nilai SDR maka kemampuan untuk berkompetisi di
lahan tersebut semakin tinggi. Tanaman yang ada yang ada pada petak ukuran 1 x
1 meter adalah mahoni dan nyamplung. Pohon mahoni adalah tumbuhan utama
dalam ekosistem karena memiliki nilai dominasi yang paling tinggi dan memiliki
berbagai manfaat. Hal ini didukung oleh pendapat Ihsanu et al. (2018) yang
menyatakan bahwa Fungsi pohon mahoni bila dikonsumsi mengandung saponin
dan flavonoida yang merupakan kandungan kimia yang bermanfaat melancarkan
22

peredaran darah, mengurangi penimbunan lemak, dan juga menambah nafsu


makan.
Vegetasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam ekosistem
hutan dengan menggunakan berbagai metode. Hal ini sesuai dengan pendapat
Fatimah et al. (2019) yang menyatakan bahwa metode yang dilakukan
diantaranya point sampling, indirect sampling, transect sampling, transect belt
sampling. Mengetahui vegetasi pada tumbuhan dapat mengetahui tanaman yang
dianalisis. Hal ini sesuai dengan pendapat Palijama dan Wattimena (2018)
menyatakan bahwa Tipe komunitas terjadi karena adanya sifat yang berbeda
dalam dominasi jenis, komposisi jenis, struktur lapisan tajuk atau juga bentuk
pertumbuhan.

Tabel 6. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (5 m 5 m)


Parameter Mahoni Nyamplung
KM 0,32 0,04
KN 88,89 11,11
FM 1 1
FN 50 50
DM 0,57 0,43
DN 57 43
INP (%) 195,89 104,11
SDR (%) 62,29 34,70
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 6. diperoleh bahwa vegetasi tanaman paling banyak di


petak 5 x 5 m adalah tanaman mahoni dengan berjumlah 8 pohon yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu habitat dan flora. Hal ini
sesuai dengan pendapat Martono (2012) yang menyatakan bahwa beberapa faktor
yang mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi yaitu flora, habitat, iklim,
tanah, waktu dan kesempatan. Tumbuhan mahoni bermanfaat untuk obat-obat an.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ihsanu et al. (2014) yang menyatakan bahwa
fungsi pohon mahoni bila dikonsumsi mengandung saponin dan flavonoida yang
merupakan kandungan kimia yang bermanfaat melancarkan peredaran darah,
mengurangi penimbunan lemak, dan juga menambah nafsu maka. Kerapatan nisbi
23

tanaman mahoni lebih besar daripada nyamplung yaitu sebesar 88,89% hasil
kerapatan ini termasuk dalam golongan sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sari et al. (2018) yang menyatakan bahwa penggolongan kerapatan, yaitu kategori
rendah dengan nilai 12-50%, kategori sedang dengan nilai 51-100%, kategori baik
dengan nilai >201%.
Nilai frekuensi nisbi yang didapat dari tanaman mahoni dan nyamplung
sama besarnya yaitu sebesar 50 % termasuk golongan sedang. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hidayat et al. (2017) yang menyatakan bahwa penggolongan
frekuensi yaitu, kelas A (1-20%) sangat rendah, kelas B (21-40%) rendah, kelas C
(41-60%) sedang, kelas D (61-80%) tinggi dan pada kelas E (81-100%) sangat
tinggi. Nilai indeks penting terbesar diperoleh dari tanaman mahoni yang berarti
tanaman mahoni menjadi peran penting dalam komunitas di sekitarnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kainde et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin
besar indeks nilai penting suatu jenis maka makin besar pula peranan jenis
tersebut dalam komunitas. Nilai indeks penting tanaman mahoni sebesar 195,89 %
yang termasuk golongan tinggi. Hal ini sesuai dengan Arista et al. (2017) yang
menyatakann bahwa penggolongan INP, yaitu INP > 42,66 dikategorikan tinggi,
INP 21,96-42,66 dikategorikan sedang, INP < 21,96 dikategorikan rendah, jenis
tumbuhan yang memiliki INP yang tinggi sangat mempengaruhi suatu komunitas
tumbuhan. Nilai SDR yang dihasilkan dari tanaman mahoni sebesar 62,29% dan
tanaman nyamplung sebesar 34,70%. Nilai SDR tanaman mahoni lebih tinggi
daripada tanaman nyamplung yang berarti tanaman mahoni mempunyai
kemampuan berkompetisi yang tinggi dalam lahan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pujisiswanto (2012) yang menyatakan bahwa kemampuan suatu spesies
menguasai sarana tumbuh yang ada di lahan tersebut, seperti air, unsur hara,
cahaya, dan ruang tumbuh, semakin tinggi nilai SDR maka kemampuan untuk
berkompetisi di lahan tersebut semakin tinggi.
24

Tabel 7. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (50 m 20 m)


Parameter Ingas Mahoni Nyamplung
KM 0,009 0,012 0,002
KN 39,13 52,17 8,69
FM 1 1 1
FN 33 33 33
DM 0,19 0,35 0,23
DN 25 45 30
INP (%) 97,13 130,17 71,69
SDR (%) 32,37 43,39 23,89
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 7. diperoleh bahwa bahwa vegetasi tanaman di petak 50


x 20 m adalah tanaman ingas, mahoni, dan nyamplung dengan hasil vegetasi
terbanyak yaitu pada tanaman mahoni yang berjumlah 12 pohon yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor salah satunya yaitu habitat dan flora. Hal ini sesuai dengan
pendapat Martono (2012) yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi yaitu flora, habitat, iklim, tanah,
waktu dan kesempatan. Kerapatan nisbi tanaman mahoni lebih besar daripada
ingas dan nyamplung yaitu sebesar 52,17% hasil kerapatan ini termasuk dalam
golongan sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sari et al. (2018) yang
menyatakan bahwa penggolongan kerapatan, yaitu kategori rendah dengan nilai
12-50%, kategori sedang dengan nilai 51-100%, kategori baik dengan nilai
>201%.
Nilai frekuensi nisbi yang didapat dari tanaman mahoni dan nyamplung
sama besarnya yaitu sebesar 33% termasuk golongan rendah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hidayat et al. (2017) yang menyatakan bahwa penggolongan
frekuensi yaitu, kelas A (1-20%) sangat rendah, kelas B (21-40%) rendah, kelas C
(41-60%) sedang, kelas D (61-80%) tinggi dan pada kelas E (81-100%) sangat
tinggi. Nilai indeks penting terbesar diperoleh dari tanaman mahoni yang berarti
tanaman mahoni menjadi peran penting dalam komunitas di sekitarnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kainde et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin
besar indeks nilai penting suatu jenis maka makin besar pula peranan jenis
tersebut dalam komunitas. Nilai indeks penting tanaman mahoni sebesar 130,17 %
25

yang termasuk golongan tinggi. Hal ini sesuai dengan Arista et al. (2017) yang
menyatakann bahwa penggolongan INP, yaitu INP > 42,66 dikategorikan tinggi,
INP 21,96-42,66 dikategorikan sedang, INP < 21,96 dikategorikan rendah, jenis
tumbuhan yang memiliki INP yang tinggi sangat mempengaruhi suatu komunitas
tumbuhan. Nilai SDR yang dihasilkan dari tanaman ingas sebesar 32,37%,
tanaman mahoni sebesar 43,39% dan tanaman nyamplung sebesar 23,89%. Nilai
SDR tanaman mahoni lebih tinggi daripada tanaman lainnya yang berarti tanaman
mahoni mempunyai kemampuan berkompetisi yang tinggi dalam lahan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pujisiswanto (2012) yang menyatakan bahwa
kemampuan suatu spesies menguasai sarana tumbuh yang ada di lahan tersebut,
seperti air, unsur hara, cahaya, dan ruang tumbuh, semakin tinggi nilai SDR maka
kemampuan untuk berkompetisi di lahan tersebut semakin tinggi.

4.4. Faktor Biotik

Berdasarkan praktikum Ekologi Tanaman yang telah dilakukan diperoleh


hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Evaluasi Faktor Biotik pada Agroekosistem Hutan Edukasi, Universitas


Diponegoro.
No Faktor Biotik Pengaruh
1. Tumbuhan; Pohon Besar (Ingas), Sebagai produsen, penutup tanah
dan Herba Rendah (Mahoni daun
lebar, Nyamplung, Sensa
obtusifolia, dan Pimenta)
2. Hewan (Semut dan Nyamuk) Sebagai konsumen
Sumber : Data Primer Praktikum Ekologi Tanaman, 2020.

Berdasarkan tabel 8. dapat diketahui bahwa faktor biotik yang


mempengaruhi Hutan Edukasi adalah tumbuhan berupa pohon besar yaitu ingas,
dan herba rendah yaitu mahoni daun lebar, myrcia, nyamplung, Sensa obtusifola,
dan pimenta, dan hewan yaitu semut dan nyamuk. Tumbuhan dan hewan
merupakan faktor biotik, dimana komponen-komponen yang berpengaruh
terhadap ekosistem. Hal ini sesua dengan pernyataan Wulandari (2016) yang
26

menyatakan bahwa komponen biotik adalah komponen lingkungan yang memiliki


peran penting dalam ekosistem, dimana komponen tersebut terdiri dari makhluk
hidup, seperti hewan, tumbuhan, manusia, dan mikroorganisme. Tumbuhan
merupakan merupakan produsen yang berperan dalam proses peyediaan energi
bagi komponen-komponen biotik lain. Hal ini sesuai dengan Ningsih (2010) yang
menyatakan bahwa faktor biotik terdiri dari produsen; komponen biotik yang
menyediakan energi untuk komponen biotik turunannya, konsumen; komponen
biotik yang mendapatkan energi dari produsen atau konsumen lain, dan
dekomposer; berupa komponen biotik yang mengurai organisme mati.
Tumbuhan selain sebagai produsen pada ekosistem, juga merupakan agen
yang menutup tanah. Hal ini sesuai degna pernyataan Ernitanyi et al. (2010) yang
menyatakan bahwa tanaman selain menjadi produsen, tanaman juga menutup
tanah dan penghasil serasah, yang mempengaruhi vegetasi di permukaan tanah.
Faktor-faktor biotik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
perubahan lingkungan pada suatu ekosistem. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Puspitasari et al. (2010) bahwa faktor biotik merupakan
salah satu dari banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi keadaan suatu
ekosistem.

4.5. Faktor Abiotik pada Agroekosistem

Berdasarkan praktikum yang sudah dilakukan didapatkan hasil bahwa suatu


agroekosistem memiliki komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik didalam
suatu agroekosistem memiliki pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya
khususnya analisa vegetasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hussen (2012) yang
menyatakan komponen abiotik berperan sebagai sumber dari kehidupan makhluk
hidup, dimana terbentuknya sumber air, ketersediaan udara untuk organisme, dan
penampung elemen - elemen kehidupan; Karbon (C), Hidrogen (H), Nitrogen (N),
Sulfur (S), Oksigen (O), dan Fosfor (P). Komponen abiotik juga memiliki
beberapa faktor yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman,
pembentukan hama yang mengganggu, pertumbuhan gulma, penyakit yang
27

menyerang tanaman, dan resistensi tanaman terhadap komponen penggaunggu


tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Channarayappa dan Biradar (2018) yang
menyatakan faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi kehidupan tanaman
diantarannya meliputi cuaca, suhu, udara, keberadaan oksigen, air, cahaya
matahari, kelembaban, pH, tanah, salinitas, garis lintang, dan topografi
Faktor dalam komponen abiotik juga memepngaruhi kehidupan biotik
lainnya. Hal ini sesuai dengan pendatpat Ismail (2019) yang menyatakan hasil dari
pengolahan komponen abiotik oleh tanaman pada suatu ekosistem, seperti seperti
oksigen, sumber makanan, dan hasil sisa akan memberikan kehidupan kepada
komponen-komponen biotik pada lingkungan tersebut. Pada sektor pertanian
komponen abiotik juga memiliki peran penting. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sopandie (2013) yang menyatakan faktor abiotik seperti salinitas, curah hujan,
suhu, dan mineral akan mempengaruhi produktivitas pertanian dan kondisinya
akan berfluktuasi sesuai dengan kondisi lingkungan.
Beberapa komponen abiotik yang memiliki peran penting yaitu suhu udara.
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan produktivitas
hutan dan ketersediaan karbon di vegetasi hutan. Peningkatan suhu dapat
meningkatkan produktivitas hutan. Hal ini sesuai dengan Poudel et al. (2011)
yang menyatakan peningkatan suhu regional akan meningkatkan produktivitas
hutan. Suhu suatu vegetasi dipengaruhi oleh kerapatan pertumbuhan di vegetasi
tersebut. Jika suatu vegetasi memiliki kerenggangan, maka wilayah tersebut akan
memiliki suhu yang tinggi, dan jika suatu vegetasi memiliki kerapatan
pertumbuhan yang tinggi, maka suhu di wilayah tersebut akan rendah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Cahyanto dan Kuraesin (2013) yang menyatakan
keterbukaan lahan yang berada di suatu vegetasi membuat suhu di wilayah
tersebut menjadi buruk, dikarenakan buruknya kerapatan pertumbuhan di daerah
tersebut. Selain suhu terdapat juga Forest Canopy Density (FCD). Forest Canopy
Density merupakan indikator proporsi suatu daerah yang terlindung tajuk pohon
dan ditulis dalam persentase dari total area tersebut. FCD dapat dijadikan sebagai
indikator suatu vegetasi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
karakterisik vegetasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Saha et al. (2020)
28

yang menyatakan FCD dapat menunjukkan suhu, jenis tanah, dan kerapatan
vegetasi dimana nilai FCD yang tinggi mengindikasikan vegetasi yang baik dan
FCD yang rendah mengindikasikan vegetasi yang kurang baik.
Selain suhu dan FCD terdapat juga kelembapan. Kelembapan yaitu
konsentrasi uap air yang ada di udara. Tingkat kelembaban suatu daerah akan
mempengaruhi aktivitas tanaman, dimana akan mempengaruhi pertumbuhan
vegetasi pada daerah tersebut. Kondisi kelembapan yang ekstrim akan
mempengaruhi produktivitas tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Igbawua et al. (2016) yang menyatakan di daerah dengan kelembaban yang
tinggi, proses transpirasi rendah, sehingga vegetasi akan tumbuh, dan jika
kelembaban suatu vegetasi rendah, maka laju transpirasi akan tinggi yang
berbahaya bagi tanaman, dan berakibat kepada layunya tanaman yang diikuti oleh
matinya vegetasi. Tingkat radiasi juga termasuk komponen abiotik yang penting.
Tingkat radiasi sinar matahari yang terpapar ke hutan dan diterima oleh tanaman
akan mempengaruhi proses distribusi energi. Radiasi akan mempengaruhi proses
perpindahan energi. Hal ini sesuai dengan pendapat Brahgiere et al. (2020) yang
menyatakan radiasi sinar matahari akan mempengaruhi aktivitas tanaman, seperti
fotosintesis dan evapotranspirasi, serta mempengaruhi perubahan suhu tanah dan
daun yang mempengaruhi proses perpindahan energi pada tanaman di suatu
vegetasi. Tingkat radiasi sinar matahari pada suatu vegetasi akan memberikan
karakterisitik tersendiri pada vegetasi tersebut, dimana daerah yang memiliki
radiasi matahari yang tinggi memiliki vegetasi yang rendah dan daerah dengan
radiasi yang cukup memiliki banyak vegetasi. Daerah seperti hutan memiliki
tingkat radiasi sinar matahari yang cukup karena tertutup oleh tajuk pohon dan
akan memiliki banyak vegetasi di bawah tajuk pohon. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sypka et al. (2016) yang menyatakan radiasi sinar matahari akan
memberikan efek kepada vegetasi di bawah tajuk pohon, suhu tanah, serta variasi
proses biologi dan kimia, seperti dekomposisi dan mineralisasi unsur organik,
sehingga mempengaruhi karakteristik vegetasi tersebut.
29

Komponen abiotik di dalam hutan dan di luar hutan memiliki perbedaan.


Perbedaan tersebut menimbulkan dampak yang berbeda pada masing-masing
lingkungan. Contohnya tingkat radiasi sinar matahari yang terpapar ke hutan dan
diterima oleh tanaman akan mempengaruhi proses distribusi energi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Brahgiere et al. (2020) yang menyatakan radiasi sinar matahari
akan mempengaruhi aktivitas tanaman, seperti fotosintesis dan evapotranspirasi,
serta mempengaruhi perubahan suhu tanah dan daun yang mempengaruhi proses
perpindahan energi pada tanaman di suatu vegetasi. Tingkat radiasi sinar matahari
pada suatu vegetasi akan memberikan karakterisitik tersendiri pada vegetasi
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sypka et al. (2016) yang menyatakan
radiasi sinar matahari akan memberikan efek kepada vegetasi di bawah tajuk
pohon, suhu tanah, serta variasi proses biologi dan kimia, seperti dekomposisi dan
mineralisasi unsur organik, sehingga mempengaruhi karakteristik vegetasi
tersebut.
30

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil praktikum Ekologi Tanaman yang telah dilakukan dapat


diperoleh bahwa ragam tanaman dan factor biotic yang dapat ditemukan adalah
jenis tanaman ingas (Gluta renghas), jenis pohon mahoni (Swietenia mahagoni)
dan jenis tanaman pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum), Sensa obtusifola,
dan pimenta, dan hewan yaitu semut dan nyamuk. Selain itu juga ditemukan
serasah yang merupakan dedaunan yang gugur dan ranting yang mongering.
Factor abiotik meliputi cuaca, suhu, udara, keberadaan oksigen, air, cahaya
matahari, kelembaban, pH, tanah, salinitas, garis lintang, dan topografi.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya ketika melakukan praktikum


lebih teliti dan berhati-hati saat melakukan pengamatan di hutan agar tidak terjadi
hal yang tidak diinginkan dan kesalahan data agar lebih mudah diolah saat
membuat laporan.
31

DAFTAR PUSTAKA

Aminatun, T., S. H. Widyastuti, dan D. Djuwanto. 2014. Pola kearifan masyarakat


lokal dalam sistem sawah surjan untuk konservasi ekosistem pertanian. J.
Penelitian Humaniora, 19(1) : 65 – 75.

Andrianto.F., A. Bintoro, dan S. B. Yuwono. 2015. Produksi dan laju dekomposisi


serasah mangrove (Rhizophora sp.) di Desa Durian dan Desa Batu Menyan
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. J. Sylva Lestari, 3 (1) : 9
– 20.

Ariani, A. Sudhartono, dan A. Wahid. 2014. Biomassa dan karbon tumbuhan


bawah sekitas danau Tambing pada kawasan Taman Nasional Lore Lindu. J.
Warta Rimba, 2 (1) : 164 – 170.

Arista, C. D. N., HT, I. S. W., Rahma, K., dan Mulyadi, M. 2018. Analisis vegetasi
tumbuhan menggunakan metode transek garis (line transect) di kawasan
hutan lindung Lueng Angen Desa Iboih Kecamatan Sukakarya Kota
Sabang. J. Ar-Raniry, 4(1) : 147 – 152.

Braghiere, R. K., T.Quaife, E. Black, Y. Ryu, Q. Chen, M. G.De Kauwe, dan D.


Baldocchi. 2020. Influence of sun zenith angle on canopy clumping and the
resulting impacts on photosynthesis. J. of Agricultural and Forest
Meteorology, 291 (2020) :1 – 15.

Cahyanto, T., dan R. Kuraesin. 2013. Struktur vegetasi mangrove di pantai muara
marunda kota administrasi Jakarta Utara Provonsi DKI Jakarta. J. Istek, 7
(2) : 73 - 88

Chanan, M. 2012. Pendugaan cadangan karbon (C) tersimpan di atas permukaan


tanah pada vegetasi hutan tanaman jati (Tectona Grandis Linn, F) Di RPH
sengguruh BKPH Sengguruh KPH malang perum perhutani II Jawa Timur.
J. Gamma, 7 (2) : 61 – 73.

Channarayappa, C., dan D. P.Biradar. 2018. Soil Basics, Management and


Rhizosphere Engineering for Sustainable Agriculture. Florida :CRC Press.

Dewi, L. R. 2014. Pembelajaran student team achievement divisions (stad) dan


group investigation (GI) pada materi pokok ekosistem ditinjau dari sikap
peduli lingkungan siswa. J. Ilmiah Biologi, 3 (1) : 101 – 112.

Erniyani, K., S. Wahyuni, dan M. S. W. Yustina. 2010. Struktur komunitas


mesofauna tanah perombak bahan organik pada vegetasi kopi dan kakao. J.
Agrica, 3 (1) : 1 – 8.
32

Febriliani, F., S. Ningsih, dan M. Muslimin. 2013. Analisis vegetasi habitat


anggrek di sekitar danau tambing kawasan taman nasional lore lindu. J.
Warta Rimba, 1(1): 1 – 9.

Hanif, N., S. H. Siregar, dan B. Amin. 2018. Estimasi stok karbon tersimpan pada
ekosistem hutan mangrove di desa Anak Setatah Kecamatan Rangsang Barat
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. J. Penelitian, 1 (1) : 1 – 14.

Hasanuzzaman, M. (Ed.). 2020. Plant Ecophysiology and Adaptation under


Climate Change: Mechanisms and Perspectives I: General Consequences
and Plant Responses. Springer Nature.

Hermawan, R., D. M. Al-Reza, dan L. B. Prasetyo. 2017. Potensi cadangan


karbon di atas permukaan tanah di taman hutan raya pancoran mas, Depok.
J. Media Konservasi, 22 (1) : 71 – 78.

Hidayat, M. 2015. Keanekaragaman plankton di Waduk Keuliling Kecamatan


Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar. J. Ilmiah Biologi Teknologi dan
Kependidikan, 1 (2) : 67 – 72.

Hussen, A. 2012. Principles of environmental economics and sustainability: an


integrated economic and ecological approach. Oxfordshire :Routledge.

Ikapi. 2018. Nyamplung Tanaman Multifungsi Potensi Sebaran dan Manfaatnya


Di Nusa Tenggara Barat dan Bali. PT. Kanisius. Yogyakarta.

Igbawua, T., J. Zhang, Q. Chang, dan F. Yao. 2016. Vegetation dynamics in


relation with climate over Nigeria from 1982 to 2011. J. Of Environmental
Earth Sciences, 75 (6) :1 – 16.

Innes, P. 2010. Understand The Weather. London : Teach Yourself.

Ismail, S. A. S. 2019. Textbook for Environmental Studies: Environmental Science


Book. Delhi :Educreation Publishing.

Kainde, R. P., S. P. Ratag., J. S. Tasirin., dan D. Faryanti. 2011. Analisis vegetasi


hutan lindung dan gunung tumpa. J. Eugenia, 17 (3) : 1 – 10.

Kusumaningtyas, R, dan I. Chofyan. 2013. Pengelolaan hutan dalam mengatasi


alih fungsi lahan hutan di wilayah Kabupaten Subang. J. Perencanaan
Wilayah dan Kota, 13 (2) : 1 – 11.

Manafe, G., M. R. Kaho, dan F. Risamasu. 2016. Estimasi biomassa permukaan


dan stok karbon pada tegakan pohon Avicennia marina dan Rhizophora
mucronata di perairan pesisir Oebelo Kabupaten Kupang. J. Bumi Lestari,
16 (2) : 163 – 173.
33

Martono, D. S. 2012. Analisis vegetasi dan asosiasi antara jenis-jenis pohon utama
penyusun hutan tropis dataran rendah di Taman Nasional Gunung Rinjani
Nusa Tenggara Barat. J. Agri-Tek, 13 (2) : 18 – 27.

Mashudi, M. Susanto, dan L. Baskorowati. 2016. Potensi hutan tanaman mahoni


(Swietenia macrophylla King) dalam pengendalian limpasan dan erosi. J.
Manusia dan Lingkungan, 23(2) : 259 - 265.

Ningsih, K. 2010. Efektivitas model pembelajaran arias berbasis contextual


teaching and learning dalam meningkatkan pencapaian kompetensi dasar
sains pada siswa smp kota Pontianak. J. Guru Membangun, 24 (2) : 1 – 12.

Pareek, A., S. K.Sopory, H. J. dan Bohnert. 2010. Abiotic stress adaptation in


plants. Dordrecht :Springer Netherlands.

Parwati, A. F., Z. Aptari., R. D. Saputri., A. M. Akbarudin., A. G. Kirana, dan S. T.


Wahyuni. 2019. Analisis vegetasi di Taman Nasional Gunung Merapi. J.
Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, 5(2) : 107-112.

Puspitasari, D., K. I. Purwani, dan A. Muhibuddin. 2012. Eksplorasi Vesicular


Arbuscular Mycorrhiza (VAM) indigenous pada lahan Jagung di Desa
Torjun, Sampang Madura. J. Sains dan Seni IT, 1 (2) : 19 – 22.

Putri, H. M. A., dan C. Wulandari. 2015. Potensi penyerapan karbon pada tegakan
damar mata kucing (Shorea javanica) di pekon Gunung Kemala Krui
Lampung Barat. J. Sylva Lestari, 3(2) : 13 – 20.

Rhyma, P. P., K. Norizah, O. Hamdan, I. Faridah-Hanum, dan A. W. Zulfa. 2020.


Integration of normalised different vegetation index and soil-adjusted
vegetation index for mangrove vegetation delineation. J. Of Remote Sensing
Applications: Society and Environment, 17 (2020) : 1 - 14.

Rismika, T., E. P. Purnomo. 2019. Kebijakan pengelolaan ekosistem laut akibat


pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung. J. Ilmu Administrasi
Publik), 4 (1) : 63 – 80.

Riyanto, Indriyanto, dan A. Bintoro. 2013. Produksi serasah pada tegakan hutan di
blok penelitian dan pendidikan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman
Provinsi Lampung. J. Sylva Lestari, 1 (1) : 1 – 8.

Rusdi, E. 2018. Pemetaan peran dan fungsi komponen dalam ekosistem


pendidikan di kota metro provinsi lampung. J. Bisnis Darmajaya, 4 (2) : 1 –
26.

Saha, S., M. Saha, K. Mukherjee, A. Arabameri, P. T. T. Ngo, dan G. C. Paul.


2020. Predicting the deforestation probability using the binary logistic
34

regression, random forest, ensemble rotational forest and REPTree: A case


study at the Gumani River Basin, India. J. Of Science of The Total
Environment, 730 (2020) : 1 - 20.

Salim, G. A. 2014. Produksi dan kandungan hara serasah pada Hutan Rakyat
Nglanggeran Gunung berapi Kidul, D. I. Yogyakarta. J. Peneitian Hutan
Tanaman, 11 (2) : 79 – 84.

Silaban, I. M., Suwondo, dan F. Suzanti. 2019. Hubungan ketebalan serasah


dengan kerapatan cacing tanah di kawasan arboretum Universitas Riau
sebagai rancangan modul pembelajaran biologi SMA konsep ekosistem. J.
Online Mahasiswa, 6 (1) :1 – 10.

Setiasih, W. A., dan D. K. Hakim. 2012. Pengembangan media pembelajaran


Biologi pokok bahasan ekosistem guna peningkatan prestasi siswa kelas VII
SMP Negeri 2 Sumbang. J. Informatika, 2 (1) : 9 – 12.

Sopandie, D. 2013. Fisiologi adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik pada


agroekosistem tropika. Bogor : PT Penerbit IPB Press.

Sugiarto, M. dan Ahmad, A. A. 2014. Peranan wilayah agroekologi dalam


meningkatkan pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara,
Propinsi Jawa Tengah. J. Sustainable Competitive Advantage (SCA), 4 (1) :
986 – 990.

Susanto, A. 2012. Struktur Komposisi vegetasi di kawasan Cagar Alam Manggis


Gadungan. J. Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun, 13 (2) : 78 –
87.

Syam’ani, A. Agustina, Susilawati, dan Y. Nugroho. 2012. Cadangan karbon di


atas permukaan tanah pada berbagai sistem penutupan lahan di sub-sub das
amandit. J. Hutan Tropis, 13 (2) : 148 – 158.

Sypka, P., R. Starzak, dan K. Owsiak. 2016. Methodology to estimate variations in


solar radiation reaching densely forested slopes in mountainous
terrain. International J. of Biometeorology, 60 (12) : 1983- 1994.

Umar, S. 2016. Manajemen Hutan Sistem Redd. Absolute Media.Yogjakarta.

Wiarta, R., D. Astiani, Y. Indrayani, dan F. Mulia. 2017. Pendugaaan jumlah


karbon tersimpan pada tegakan jenis bakau (Rhizophora apiculata BL) DI
IUPHHK PT. Bina Ovivipari Semesta Kabupaten Kubu Rayaa. J. Hutan
Lestari, 5 (2) : 356 – 364.

Wulandari, R. 2020. Metode kunjungan lapangan untuk menanamkan kepedulian


terhadap lingkungan hidup. J. Pendidikan, 5 (1), 67 – 80.
35

Wahyuni, S. 2020. Pengukuran densitas dan diameter pohon Pulai (Alstonia


scholaris) di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim. J. Ilmiah
Pertanian, 16 (2) : 88 – 93.

Banurea, D., Yunasfi., dan P. Patana. 2015. Inventarisasi tumbuhan anggrek di


kawasan suaka margasatwa siranggas kabupaten pakpak bharat (inventory
of orchids in siranggas wildlife pakpak bharat). J. USU, 3 (2) : 1 – 11.

Sari, D. N., Wijaya, F., Mardana, M. A., dan Hidayat, M. 2019. Analisis vegetasi
tumbuhan dengan metode transek (line transect) di kawasan Hutan Deudap
Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar. J. Ar-Raniry, 5 (1) : 165 – 173.

Siadari, T. P., Hilmanto, R., dan Hidayat, W. 2014. Potensi kayu rakyat dan
strategi pengembangannya (studi kasus) di hutan rakyat Desa Buana Sakti
Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. J. Sylva Lestari, 1 (1) :
75 – 84.

Hidayat, M., Laiyanah, L., Silvia, N., Putri, Y. A., dan Marhamah, N. 2018.
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Metode Transek Garis (Line
Transek) di Hutan Seulawah Agam Desa pulo Kemukiman Lamteuba
Kabupaten Aceh Besar. J. Ar-Raniry, 4 (1) 85 – 91.

Gunawan, W., S. Basuni, A. Indrawan, L. B. Prasetyo, H. Soedjito. 2011. Analisis


komposisi dan struktur vegetasiterhadap upaya restorasi Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. J. PSL, 1 (2) : 93 – 105.

Fatimah, N., A. F. Maris., dan A. Mardiyaningsih. 2019. Keanekaragaman


vegetasi tumbuhan di taman pancasila dan sidotopo menggunakan metode
point sampling. J. Biologi, 3 (1) : 170-177.

Ihsanu, I. A., A. Setiawan., dan E. L. Rustiati. 2014. Studi perilaku makan dan
analisis vegetasi pakan lutung jawa (trachypithecus auratus) di Taman
Nasional Gunung Ciremai. J. Sylva Lestari, 1 (1) : 17 - 22.

Abdullah, M., D. Mustikaningtyas., dan T. Widiatiningrum. 2010. Inventarisasi


jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat di hutan hujan dataran rendah Desa
Nyamplung Pulau Karimunjawa. J. Biosaintifika, 2 (2) : 75 – 81.

Nion, Y. A., R. Jemi., Y. Jagau., T. Anggreini., R. Anjalani., Z. Damanik., I.


Torang., dan Yuprin. 2018. Potensi sayur organik lokal daerah rawa di
Kalimantan Tengah: “Manfaat dan Tingat Kesukaan”. J. Enviro Scienteae,
14 (3) : 259 – 271.
36

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Biomassa Pohon


No Jenis ρ K D T BK-
Tanaman (kg/pohon)
1. Ingas 0,59 119 37,89 25 887,05
2. Ingas 0,59 82 26,11 27 334,36
3. Ingas 0,59 85 27,07 27 367,59
4. Ingas 0,59 73 23,24 23 246,49
5. Ingas 0,59 69 21,97 24 212,74
6. Ingas 0,59 63 20,06 20 179,70
7. Ingas 0,59 62 19,74 20 160,69
8. Ingas 0,59 62 19,74 22 160,69
9 Ingas 0,59 59 18,78 22 141,02
10. Mahoni 0,65 220 70,06 50 4.439,94
11. Mahoni 0,65 180 57,32 49 2.624,23
12. Mahoni 0,65 150 47,77 49 1.627,88
13. Mahoni 0,65 156 50,64 49 2.089,65
14. Mahoni 0,65 130 41,40 45 1.118,87
15. Mahoni 0,65 123 39,17 45 1.021,87
16. Mahoni 0,65 128 40,76 45 1.183,39
17. Mahoni 0,65 126 40,13 45 1.135,99
18. Mahoni 0,65 125 39,80 45 1.111,68
19. Mahoni 0,65 116 36,94 45 914,41
20. Mahoni 0,65 124 39,49 45 1.089,15
21. Mahoni 0,65 118 37,58 45 956,45
22. Nyamplung 0,85 95 30,25 30 491,75
23. Nyamplung 0,85 93 29,62 30 670,48
Total Biomassa 23.166,07

Perhitungan Biomassa
1. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 37,892,62 = 887,05
2. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 26,112,62 = 334,36
3. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 27,072,62 = 367,59
4. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 23,242,62 = 246,49
5. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 21,972,62 = 212,74
6. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 20,062,62 = 179,70
7. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 19,742,62 = 160,69
8. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 19,742,62 = 160,69
9. Pohon Ingas = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 59 x 18,782,62 = 141,02
37

10. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 70,062,62 =


4.439,94
11. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 57,322,62 =
2.624,23
12. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 47,772,62 =
1.627,88
13. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 50,642,62 =
2.089,65
14. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 41,402,62 =
1.118,87
15. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 39,172,62 =
1.021,87
16. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 40,762,62 =
1.183,39
17. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x40,132,62
=1.135,99
18. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x 39,802,62
=1.111,68
19. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x36,94,62 =
914,41
20. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x39,492,62 =
1.089,15
21. Pohon Mahoni = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 65 x37,582,62 =
956,45
22. Pohon Nyamplung = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 85 x 30,452,62 = 491,75
23. Pohon Nyamplung = 0,11 x ρ x D2,62 = 0, 11 x 0, 85 x29,622,62 = 670,48

Total Biomasssa Pohon = BK1 + BK2 + BK3 + BK4 + BK5 + BK6 + BK7 +
BK8 + BK9 + BK10 + BK11 + BK12 + BK13 +
BK14 + BK15 + BK16 + BK17 + BK 18 + BK19
+ BK20 + BK21 + BK22 + BK23
= 887,05 + 334,36 + 367,59 + 246,49 + 212,74 +
38

179,70 + 160,69 + 160,69 + 141,02 + 4.439,94 +


2.624,23 + 1.627,88 + 2.089,65 + 1.118,87 +
1.021,87 + 1.183,39 + 1.135,99 + 1.111,68 +
914,41 + 1.089,15 + 956,45 + 491,75 + 670,48
= 23.166,07
39

Lampiran 2. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (1 1 m)


Parameter Mahoni Nyamplung
KM 4 1
KN 80 20
FM 0,67 0,33
FN 67 33
DM 0,64 0,36
DN 64 36
INP (%) 211 89
SDR (%) 70,3 29,6

Lampiran 3. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (1x1 m)


1. Kerapatan

Kerapatan mutlak (KM) =

Mahoni = =4

Nyamplung = =1

Kerapatan Nisbi = x 100%

Mahoni = x 100% = 80 %

Nyamplung = x 100% = 20 %

2. Frekuensi

Frekuensi Mutlak (FM) =

Mahoni = = 0,67

Nyamplung = = 0,33

Frekuensi Nisbi (FN) = x 100%


40

Mahoni = x 100% = 67 %

Nyamplung = x 100% = 33%

3. Dominansi

Basal Area =¼xπxD=¼xK

Mahoni = ¼ x 170 = 42,5


Nyamplung = ¼ x 95 = 23,75

Dominansi Mutlak (DM) =

Mahoni = = 42,5

Nyamplung = = 23,75

Dominansi Nisbi (DN) = x 100%

Mahoni = x 100% = 64 %

Nyamplung = x 100% = 36 %

4. Indeks Nilai Penting (INP)

INP (%) = KN + FN + DN

Mahoni = 80 + 67 + 64 = 211

Nyamplung = 20 + 33 + 36 = 89
41

5. Summed Dominance Ratio (SDR)

SDR (%) =

Mahoni = = 70,3

Nyamplung = = 29,6
42

Lampiran 4. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (5 5 m)


Parameter Mahoni Nyamplung
KM 0,32 0,04
KN 88,89 11,11
FM 1 1
FN 50 50
DM 1,27 0,94
DN 57 43
INP (%) 195,89 104,11
SDR (%) 62,29 34,70

Lampiran 5. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (5x5 m)


1. Kerapatan

Kerapatan mutlak (KM) =

Mahoni = = 0,32

Nyamplung = = 0,04

Kerapatan Nisbi = x 100%

Mahoni = x 100% = 88,89 %

Nyamplung = x 100% = 11,11 %

2. Frekuensi

Frekuensi Mutlak (FM) =

Mahoni = =1

Nyamplung = =1
43

Frekuensi Nisbi (FN) = x 100%

Mahoni = x 100% = 50 %

Nyamplung = x 100% = 50 %

3. Dominansi

Basal Area =¼xπxD=¼xK

Mahoni = ¼ x 127 = 31,75


Nyamplung = ¼ x 94 = 23,5

Dominansi Mutlak (DM) =

Mahoni = = 1,27

Nyamplung = = 0,94

Dominansi Nisbi (DN) = x 100%

Mahoni = x 100% = 57 %

Nyamplung = x 100% = 43 %

4. Indeks Nilai Penting (INP)

INP (%) = KN + FN + DN

Mahoni = 88,89 + 50 + 57 = 195,89


44

Nyamplung = 11,11 + 50 + 43 = 104,11

5. Summed Dominance Ratio (SDR)

SDR (%) =

Mahoni = = 62,29

Nyamplung = = 34,70
45

Lampiran 6. Evaluasi Analisis Vegetasi Metode Kuadrat (50 20 m)


Parameter Ingas Mahoni Nyamplung
KM 0,009 0,012 0,002
KN 39,13 52,17 8,69
FM 1 1 1
FN 33 33 33
DM 0,19 0,35 0,23
DN 25 45 30
INP (%) 97,13 130,17 71,69
SDR (%) 32,37 43,39 23,89

Lampiran 7. Perhitungan Analisis Vegetasi Kuadrat (50 x 20 m)


1. Kerapatan

Kerapatan mutlak (KM) =

Ingas = = 0,009

Mahoni = = 0,012

Nyamplung = = 0,002

Kerapatan Nisbi = x 100%

Ingas = x 100% = 39,13 %

Mahoni = x 100% = 52,17%

Nyamplung = x 100% = 8,69 %

2. Frekuensi

Frekuensi Mutlak (FM) =

Ingas = =1
46

Mahoni = =1

Nyamplung = =1

Frekuensi Nisbi (FN) = x 100%

Ingas = x 100% = 33 %

Mahoni = x 100% = 33 %

Nyamplung = x 100% = 33 %

3. Dominansi

Basal Area =¼xπxD=¼xK

Ingas = ¼ x 74,89 = 18,72


Mahoni = ¼ x 141,3 = 35,32
Nyamplung = ¼ x 94 = 23,5

Dominansi Mutlak (DM) =

Ingas = = 0,19

Mahoni = = 0,35

Nyamplung = = 0,23
47

Dominansi Nisbi (DN) = x 100%

Ingas = x 100% = 25%

Mahoni = x 100% = 45 %

Nyamplung = x 100% = 30 %

4. Indeks Nilai Penting (INP)

INP (%) = KN + FN + DN

Ingas = 39,13 + 33 + 25 = 97,13

Mahoni = 52,17 + 33 + 45 = 130,17

Nyamplung = 8,69 + 33 + 30 = 71,69

5. Summed Dominance Ratio (SDR)

SDR (%) =

Ingas = = 32,37

Mahoni = = 43,39

Nyamplung = =23,89
48

Lampiran 8. Dokumentasi Alat dan Bahan


No. Alat dan bahan Keterangan

1. Untuk mengukur lingkar pohon

Meteran

2. Untuk memotong tali rafia

Gunting

Untuk mengukur ketebalan


3.
serasah

Penggaris

4. Untuk menulis data pengamatan

Alat tulis
49

Lampiran 8. (Lanjutan)

5. Untuk membuat plot

Bambu 1 meter

6. Untuk mengukur tinggi pohon

Bambu 1,5 meter


50

Lampiran 9. Dokumentasi Praktikum


51

KONTRIBUSI ANGGOTA

Nama Kontribusi
Ivana Rizkya Putri Membuat tinjauan pustaka komponen biotic, hasil
pembahasan analisis vegetasi kuadrat.
Azizah Putri W Membuat tinjauan pustaka dan hasil pembahasan
karbon sekuestrasi.
Yoram Gehing Wijaya Membuat tinjauan pustaka analisis vegetasi, hasil
pembahasan komponen abiotik.
Dian Asri Fitriani Membuat tinjauan pustaka komponen ekosistem, hasil
pembahasan vegetasi rintisan, menggabunngkan
laporan.
Irfan Yusuf F Membuat tinjauan putaka komponen abiotik, hasil
pembahasan komponen biotic.
Dimas Nugroho Rizqy S Praktikum langsung, membuat ringkasan, kata
pengantar, lampiran dokumentasi praktikum.
Syalsa Bela Aulia Praktikum langsung, membuat daftar isi, daftar table,
daftar lampiran alat bahan.

Anda mungkin juga menyukai