Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS

IDENTIFIKASI TANDA DAN GEJALA PADA OVERACTIVE


BLADDER

Disusun Oleh

Febrita Rahmalia 210102039P

Meri Fransisca 210102216P

Yoga Triwijayanti 210102286P

Martini 210102333P

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU

TA. 2021/2022
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun unuk
kesempurnaan makalah ini.

Pringsewu, Juli 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Definisi OverActive Bladder....................................................................2
2.2 Gejala OverActive Bladder.......................................................................2
2.3 Penyebab OverActive Bladder............................................................ 3
2.4 Pencegahan OverActive Bladder..........................................................4
2.5 Penatalaksanaan OverActive Bladder.................................................. 5
a. Bladder training (Waktu miksi).......................................................5
b. Modifikasi tingkah laku pada pasien usia lanjut.............................6
c. Neuromodulasi sakrum..................................................................6
d. Terapi Obat...................................................................................7
BAB III. PENUTUP...................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.........................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Overactive bladder adalah salah satu sebab dari inkontinensia urine dan merupakan
penyebab kedua sesudah kelemahan sfingter uretra. Kandung kemih berfungsi sebagai alat
penyimpanan urine dan akan berkontraksi hanya selama berkemih dibawah pengontrolan
persyarafan. International Continence Society mengklasifikasikan overactive bladder sebagai suatu
sindrom dimana tak ada penyebab pasti yang ditemukan, dengan abnormalitas lokal yang
didapatkan saat evaluasi diagnostik

Overactive bladder merupakan kondisi yang menyusahkan penderitanya. Kondisi ini


membatasi dan menganggu kehidupan sehari-hari penderitanya, dan menyebabkan
perasaan malu, cemas, takut, mudah marah, frustasi dan depresi yang berat. Keadaan basah
itu sendiri jelas merupakan aspek terburuk dalam masalah ini, tapi keinginan kuat untuk
buang air, panik mencari toilet dan ketakutan tak mampu menemukannya tepat waktu juga
mempunyai peran

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah pengertian dari overactive bladder?


b. Apa sajakah gejala overactive bladder?
c. Apakah penyebab overactive bladder?
d. Bagaimana cara pencegahan overactive bladder
e. Bagaimana penatalaksanaan overactive bladder?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Mampu menjelaskan tentang definisi OverActive Bladder


b. Mampu menjelaskan tentang gejala OverActive Bladder
c. Mampu menjelaskan tentang etiologi OverActive Bladder
d. Mampu menjelaskan tentang cara pencegahan OverActive Bladder
e. Mampu menjelaskan tentang penatalaksanaan OverActive Bladder

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Overactive Bladder


Overactive bladder merupakan suatu jenis urge incontinence (keluarnya urine secara

tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih melebihi tekanan uretra selama fase

pengisian) yang dihubungkan dengan keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan

dengan overaktif otot detrusor.

Berdasar definisi dari International Continence Society (ICS) tahun 2002 Overactive

bladder (OAB) didefinisikan sebagai kumpulan gejala: urgensi, dengan atau tanpa

inkontinensia urgensi, biasanya disertai dengan frekuensi dan nokturia. Seseorang dikatakan

menderita OAB bila tidak dijumpai infeksi atau kelainan patologi pada saluran kemih,

terutama saluran kemih bagian bawah. Selama ini OAB merupakan masalah yang

tersembunyi, sebagian besar pasien menganggap bahwa gejala mengompol apalagi pada usia

lanjut merupakan hal yang normal karena merupakan suatu aging process.

Inkontinensia/gangguan berkemih banyak macamnya. Namun yang umumnya dialami

para wanita setelah melahirkan adalah stres inkontinensia. Disebut demikian karena urin

keluar secara tak terkontrol akibat adanya tekanan pada rongga perut. Akibatnya, tekanan pada

kandung kemih pun jadi meningkat.

2.2 Gejala Overactive Bladder


Gejala yang terjadi pada overactive bladder antara lain :
1. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam.
2. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
3. Urgensi: keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan
normal.
4. Urge inkontinensia: dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat
ditahan sehingga kadang –kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih
dulu.
Orang dengan overactive bladder mengalami kontraksi yang tak teratur pada kandung kemih
selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada
overactive bladder. Jumlah urine yang keluar pada overactive bladder biasanya lebih banyak

2
daripada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Pasien dengan overactive bladder pada mulanya kontraksi otot detrusor
sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka
menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan
urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya
urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus
overactive bladder dan simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis.
Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus overactive bladder.

2.3 Penyebab Overactive Bladder


Penyebab utama gangguan ini tak lain adalah lemahnya atau malah tidak berfungsinya
sfingter (otot melingkar yang ketika berkerut akan menutup saluran terkait - dalam hal ini
saluran urin yang disebut uretra). Hingga ketika beraktivitas sedikit saja, semisal batuk atau
berjalan, saluran kemih tak menutup dengan sempurna, urin langsung keluar.
Pada dasarnya overactive bladder adalah gangguan atau kerusakan pada susunan saraf yang
ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum diketahui sebabnya sampai saat ini
(idiopatik). Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala overactive bladder antara
lain :
1. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi estrogen,
kelemahan sfingter, hipertropi prostat.
2. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula
spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan
perifer (diebetes neuropati, trauma saraf).
3. Kelainan sistemik
Gagal jantung, insufisiensi vena, diabetes melitus, gangguan tidur, abnormalitas arginin
vasopresin.
4. Kondisi fungsional dan tingkah laku
Konsumsi alkohol dan kafein berlebihan, kebiasaan makan yang buruk dan konstipasi,
gangguan mobilitas, kondisi psikologis.
Penyebab lain adalah paparan radiasi/penyinaran pada penyakit kanker di rongga perut
yang sudah memasuki stadium 3. Terapi ini bisa menyebabkan dinding bagian dalam "aus".
Begitu juga penyakit/kelainan bawaan tertentu pada otot-otot yang membuat sfingter jadi "los"
dengan sendirinya lantaran melemahnya otot-otot/jaringan penyokong sfingter. Bahkan bila
otot-otot/jaringan tersebut mengalami kerusakan, urin bisa keluar setiap saat
Gangguan ini umumnya memang tidak ditemukan sebelum kehamilan ataupun proses
persalinan. Melainkan pada ibu-ibu yang telah melahirkan, terutama kalau anaknya banyak
atau lebih dari tiga. Kemungkinan lain bila bayi yang dilahirkan kelewat besar, hingga terjadi

3
peregangan yang sedemikian kuat. Begitu juga bila proses persalinannya lama karena terjadi
kemacetan. Ataupun bila melahirkan dengan bantuan alat, semisal vakum maupun forcep.
Bisa pula disebabkan oleh perlukaan pada jalan lahir yang tidak segera

diperbaiki/dirapikan lagi. Semisal pada kasus-kasus ibu yang melahirkan di daerah-daerah

terpencil. Untungnya, meski terkait erat dengan kehamilan dan persalinan, tak semua ibu

hamil/melahirkan mengalaminya. Kendati angka kejadiannya cukup besar. Yakni sekitar 20-

40 persen dari 10-20 persen angka kejadian inkontinensia secara menyeluruh.

Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi overactive bladder
dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter pada
pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris,
neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis overactive bladder dengan pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan
menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan apakah
gejalanya disebabkan oleh overactive bladder, atau masalah lain, seperti infeksi saluran kemih
atau batu kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat
menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.
Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih bagian
bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum, juga diperlukan. Sebagai
tambahan , pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis
intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari
untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih
belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis. Tes ini
akan memberikan data mengenai tekanan/ volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam
kandung kemih. Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor.

2.4 Pencegahan
Pencegahan yang bisa dilakukan justru dengan menjaga agar anak jangan terlalu
banyak. Selain mengatur jarak kelahiran tidak terlalu dekat agar organ-organ tubuh si ibu
sempat pulih dan "istirahat" dari tugas-tugas berat. Usahakan pula untuk mengontrol berat
tubuh semasa kehamilan agar ukuran bayi jangan terlampau besar yang menimbulkan
peregangan hebat.Biasanya orang memang suka pada bayi besar, padahal ini jadi faktor
penyulit dalam persalinan dan risikonya tidak sedikit. Di antaranya, persalinan macet, hingga
jalan lahir dan vagina meregang terlalu lama. Padahal bila kepala bayi terlalu lama berada di
jalan lahir, kemungkinan besar jaringan otot melemah, mengalami kerusakan atau malah
syarafnya putus.

4
Dengan begitu, bila terjadi persalinan lama, harus segera diupayakan penanganannya
sebaik mungkin. Disamping itu hindari pula adanya tindakan pada persalinan. Kalau tidak ada
indikasi medis, yang terbaik memang persalinan spontan tanpa bantuan apa pun. Jika ada
perlukaan di jalan lahir atau malah di vagina, segera diperbaiki dan jangan pernah dianggap
sepele. Menjahit/merapikan perlukaan ini berbeda dengan episiotomi.
Pencegahan lain yang sebaiknya dilakukan adalah hindari mengangkat-angkat beban
berat dan perhatikan asupan serat untuk menghindari susah BAB/konstipasi. Bila muncul
keluhan batuk, segera obati agar tidak berkembang semakin parah. Sedangkan cara konservatif
(nonoperatif) lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pesario atau semacam
cincin penahan. Hanya saja cara ini tak bisa diterapkan pada mereka yang masih muda usia
atau bersuami. Sebabnya, penggunaan cincin penahan ini tidak memungkinkan pasangan
suami istri berhubungan intim.
Itulah mengapa, langkah lain yang kerap ditempuh untuk menangani inkontinensia "kelas"
berat adalah menggantung saluran urin yang mau tidak mau memang harus dilakukan dengan
tindakan operasi oleh ahli bedah urologi ataupun uroginekologi. Padahal variasi operasinya
bisa 100 macam lebih. Sementara tidak ada yang 100 persen berhasil, hingga operasi tersebut
bisa dilakukan berulang kali 2-3 tahun kemudian.

2.5 Penatalaksanaan

Terapi optimal untuk overactive bladder tergantung pada evaluasi menyeluruh, diikuti
terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang berperan. Timbulnya gejala overactive
bladder biasanya multifaktor, dan terapi multimodal yang meliputi Konservatif dan operatif
dapat diberikan.
Konservatif
a. Bladder training (Waktu miksi)
Ada tiga komponen utama blader training: edukasi, jadwal miksi dengan
sistematik jadual miksi yang tertunda dan tenaga tambahan yang positif. Bagian
edukasi mengkombinasikan tulisan, lisan, instruksi verbal yang melayani untuk
membiasakan pasien dengan anatomi dan fisiologi dari traktus urinearius bagian
bawah. Pasien lalu diminta untuk melawan atau menahan sesuai urgensi, menunda
miksi, dan miksi berdasarkan waktu yang tepat lebih baik dari pada miksi yang
mendesak. Penyesuaian pada muatan cairan dan penundaan miksi untuk
meningkatkan jumlah volume buli-buli dapat saja digunakan untuk memperjelas
terapi ini. Pasien juga diminta untuk melengkapi catatan harian.
Program bladder training yang efektif yang telah menghasilkan hasil baik terdiri
dari 6 minggu protokol miksi pasien rawat jalan. Hal ini mewakili pasien sebagai
arti untuk mendapatkan kembali kontrol kortikal yang lebih dari detrusor dan
ditawarkan sebagai penatalaksanaan primer pada pasien dengan overactive

5
bladder. Pasien diatur dengan suatu jadwal miksi berdasarkan interval miksi
merela sehari-harinya; mereka biasanya diminta untuk memulai dengan miksi
setiap jam saat bangun selama 2 minggu pertama.
Instruksi kepada pasien mencakup :
1. Kosongkan kandung kemih pada waktu yang terjadwal apakah ya atau tidak saat
merasakan miksi yang mendesak.
2. Aspek yang penting adalah inisiasi miksi yang volunter, bukan jumlah miksi.
3. Menghindari ke kamar mandi antara waktu yang terjadwal, dan menekan
desakan pada waktu yang lain.
4. Jangan merasa malu jika gagal.
Protokol membutuhkan follow up setiap 2 minggu sampai efek keinginan unuk
miksi didapat. Karena hal ini suatu pola dari terapi tingkah laku, tenaga tambahan
sangat diperlukan. Interval miksi meningkat 15 sampai 30 menit, tergantung
bagaimana baiknya pasien bertindak pada 2 minggu pertama. Kombinasi terapi ini
dengan latihan Kegel dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk menjadi
berkelanjutan karena peningkatan tonus otot dasar panggul akan meningkatkan
kemampuan pasien untuk menahan urine. Pengobatan ini dapat berhasil jika pasien
memiliki interval miksi 2,5 sampai 3 jam dan bebas dari gejala overactive bladder.

b. Modifikasi tingkah laku pada pasien usia lanjut


Keseluruhan insiden overactive bladder meningkat dengan umur dan pada pasien
yang lebih tua, defisit kognitif, dan penurunan mobilitas lebih sering menyebabkan
inkontinensia urine. Hadley menjelaskan empat rejimen terjadwal secara spesifik
terkait pada kemampuan pasien. Antara lain meliputi modifikasi tingkah laku,
digunakan secara kognitif ambulatori pasien yang intak, sampai pada waktunya
miksi, digunakan pada pasien dengan kognitif berat dan perbaikan mobilitas. Pada
suatu rancangan studi longitudinal, waktu miksi telah digunakan untuk 2 minggu
pertama tunggal. Lalu oxybutinin ditambahkan pada rejimen waktu miksi. Secara
signifikan waktu miksi mengurangi episode inkontinensia, dan penambahan
oxybutirin klorid tidak memberikan tambahan yang menguntungkan.

c. Neuromodulasi sakrum
Neuromodulasi sarum dipertegas sebagai suatu alat terapi yang bermanfat
dalam pengobatan overactive bladder.Tidak diketahui secara pasti bagaimana kerja
neuromodulasi, tetapi sedikitnya dua mekanisme potensial yang memungkinkan :
1. Aktifasi serabut eferen terhadap sfingter urera secra refleks menyebabkan
relasksasi otot – otot detrusor.
2. Aktifasi serabut aferen menyebabkan inhibisi pada level spinal atau supraspinal.

6
d. Terapi Obat
Banyak kelas obat yang diteliti atau diusulkan untuk pengobatan gejala
overactive bladder. Kebanyakan percobaan klinis telah mentargetkan gejala
inkontinensia urine, walau percobaan terakhir secara spesifik memasukaan subjek
dengan overactive bladder. Beberapa kelemahan menyertai kualitas studi. Grup
ahli telah mengusulkan standar metodologi untuk memperbaiki keilmuan terapi
obat pada overactive bladder.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Berdasar definisi dari International Continence Society (ICS) tahun 2002 Overactive
bladder (OAB) didefinisikan sebagai kumpulan gejala: urgensi, dengan atau tanpa
inkontinensia urgensi, biasanya disertai dengan frekuensi dan nokturia.
 Gejala yang terjadi pada overactive bladder antara lain : Frekuensi berkemih amat
sering, nokturia, urgensi, dan urge inkontinensia
 Penyebab utama gangguan ini tak lain adalah lemahnya atau malah tidak berfungsinya
sfingter (otot melingkar yang ketika berkerut akan menutup saluran terkait - dalam hal
ini saluran urin yang disebut uretra). Hingga ketika beraktivitas sedikit saja, semisal
 Pencegahan yang bisa dilakukan justru dengan menjaga agar anak jangan terlalu
banyak.
 Penatalaksanaan OverActive Bladder dapat dilakukan dengan konservatif dan
Opeeratif. Konservatif meliputi : Bladder training (Waktu miksi), modifikasi tingkah
laku pada pasien usia lanjut, neuromodulasi sakrum, dan terapi Obat.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abrams P et al, The standardisation of terminology of lower urinary tract function: Report
from the standardisation sub-committee of the Internatio–nal Continence Society.
Neurourol Urodyn 2002;21(2): 167-178.

Lapitan MC and Chye P.L.H, The Epidemiology of Overactive Bladder among Females in
Asia: A Questionnaire Survey, Int Urogynecol J 2001;12:226-231.

Moorthy P et al, Prevalence of Overactive Bladder in Asian Men: An Epidemiology


Survey, BJU International 2004;93:528-531.

Ouslander JG, Management of Overactive Bladder, New Engl J Med 2004;350:768-99.

Komaroff AL et al, Health Status in Patients with Chronic Fatigue Syndrome and in
General Population and Disease Comparison Groups, Am J Med 1996;101:281-290.

Brown JS et al, Urinary incontinence: Does it increase risk for falls and fractures? Study of
Osteoporotic Fractures Research Group. J Am Geriatr Soc 2000;48:721-725.

Zorn BH et al, Urinary incontinence and depression. J Urol 1999;162:82-84. Andersen KE,
Antimuscarinic for Treatment of Overactive Bladder, The Lancet Neurology
2004;3:46-53.

Anda mungkin juga menyukai