Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Menurut Apriana (dalam Septiani, Widyaningsih & igomh)

“Masa pra sekolah merupakan masa keemasan (golden age) dimana

stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas

perkembangan selanjutnya, dimana 80% perkembangan kognitif anak

telah tercapai pada usia prasekolah”.

Kementriaan Kesehatan RI tahun 2016 mengemukakan

“Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yng lebih

kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa,

serta sosialisasi dan kemandirian”. Menurut Joana 2017 salah satu aspek

perkembangan yang menjadi fokus dari banyaknya perkembangan bagi

anak usia prasekolah adalah perkembangan kemandirian, kemandirian

sangat penting karena berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan

anak dalam mengurus diri sendiri (Joana 2017).

Erikson (1963) memberikan penekanan bahwa masa kritis

perkembangan kemandirian berlangsung pada usia 2-3 tahun. Bila pada

usia tersebut kebutuhan untuk mengembangkan kemandirian tidak

terpenuhi, maka dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan

kemandirian yang maksimal yang artinya anak akan terus bergantung

kepada orang lain saat remaja, bahkan saat dewasa kelak (dalam Rakhma,

2017).

1
Menurut Sa’diyah (2017) Kemandirian perlu diajarkan dan

dilatihkan sedini mungkin, yaitu semenjak anak batita bayi tiga tahun,

dimana anak sudah mulai banyak berinteraksi dengan orang lain, tidak

hanya dengan orang terdekatnya (ibu dan ayah) tapi juga sudah mulai

berinteraksi dengan orang-orang yang baru dikenalnya, disinilah waktu

yang tepat untuk bersosialisasi sekaligus melatih dan mengajarkan

kemandirian pada anak. Mussen berpendapat bahwa menegakkan

kemandirian pada anak sangat bergantung pada kelekatan orang tua anak,

peran keluarga khususnya ibu, sangat besar dalam proses pembentukan

kemandirian (dalam Geofanny, 2016).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 5-25%

dari anak-anak usia prasekolah menderita gangguan perkembangan.

Berbagai masalah perkembangan anak, seperti keterlambatan motorik,

bahasa, dan perilaku sosial dalam beberapa tahun terakhir ini semakin

meningkat. Angka kejadian di Indonesia antara 13-18%. Kemandirian

anak prasekolah di negara berkembang dan maju adalah 53% mandiri

tidak tergantung pada orang lain dan 9% masih tergantung pada orang tua,

anak prasekolah 38% yang tergantung sepenuhnya pada orang tua

maupun pada pengasuh mereka dan 17% cukup mandiri. Profil masalah

kesehatan perkembangan anak pada tahun 2010 dilaporkan bahwa dari

jumlah anak sebanyak 3.634.505 jiwa, ditemukan 54,03% anak dideteksi

memiliki kemampuan sosialisasi dan kemandirian yang baik, cakupan

tersebut masih di bawah target yakni 90% (Depkes RI, 2010)

2
Menurut Komala (2015) “Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan untuk mengenal dan mengembangkan kemandirian anak

yaitu mengetahui dasar orang tua memberikan pola asuh yang tepat dalam

mengembangkan kemandirian di lingkungan keluarga dan mengetahui

perkembangan kemandirian anak usia dini melalui pola asuh yang tepat”.

Hal ini didukung oleh Djamarah (dalam Suskandeni 2018) yang

mengemukakan bahwa “Pengasuhan atau pola asuh yang tepat terhadap

anak, dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak agar anak menjadi

pribadi yang kuat dan mandiri yang tidak bergantung pada orang lain.

Tentu tidak terlepas dari peran orang tua yang mampu menciptakan

kondisi maupun lingkungan yang nyaman dan harmonis karena tingkah

laku anak adalah cerminan dari pengasuhan orang tua, maka pemilihan

pola asuh yang tepat dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai

dengan apa yang diharapkan oleh orang tua. Kondisi ini menunjukkan

bahwa pembentukan kemandirian anak sangat bergantung bagaimana

pengasuhan orang tua. Kemandirian tidak hanya bagaimana anak dapat

dewasa sesuai dengan tahap usia saja namun juga tentang bagaimana anak

tersebut memecahkan persoalan sehari-harinya sendiri seperti dari mulai

pergi ke sekolah tidak ditunggui orang tua, tidak mudah cengeng saat

ditinggal di sekolah, mencuci tangan, mandi, memakai pakaian, sampai

buang air kecil atau besarnya sendiri dan lain-lain”.

Menurut Sugihartono (2013) menyebutkan bahwa “Pola asuh yang

merupakan pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan

3
anak-anak terdapat tiga macam pola asuh orang tua, yaitu otoriter,

permisif, dan autoritatif. Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang

menekankan pada pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan

ketaatan atau kepatuhan. Orang tua bersikap tegas, suka menghukum, dan

cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh permisif merupakan

bentuk pengasuhan dimana orang tua memberi kebebasan sebanyak

mungk in pada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk

bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Sementara

itu pola asuh autoritatif bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua

dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk

bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat

berdisiplin” (dalam Susanti 2017).

Di era sekarang ini banyak ibu yang bergeser peran menjadi

wanita karir yang ikut andil dalam mencari nafkah. Mereka tidak hanya

sekedar berperan sebagai ibu rumah tangga yang berurusan dengan dapur

dan merawat anak “Sehingga pada kenyataan yang terjadi pada masa

sekarang adalah berkurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya

karena keduanya sama-sama bekerja. Hal tersebut mengakibatkan

terbatasnya interaksi orang tua dengan anaknya” (Saraswati dalam

Suryanda, 2019).

Hal ini sependapat dengan Affrida (2017) yang mengemukakan

bahwa “Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

banyak dijumpai fenomena wanita yang mulai turut berperan pada sektor

4
publik salah satunya dengan bekerja. Dalam hal ini perempuan yang telah

menikah, kemudian bekerja disebut memiliki peran ganda karena selain

menjadi istri dan ibu rumah tangga, juga berperan sebagai wanita karir.

Adanya peran ganda tersebut berdampak pada keterbatasan waktu yang

dimiliki ibu dengan peran ganda, dibandingkan dengan ibu yang tidak

bekerja dan memiliki rentang waktu lebih banyak bersama anak”.

Berdasarkan hasil penelitian oleh Suryanda dan Rustanti (2019)

diperoleh data bahwa anak pra sekolah dengan kedua orang tua yang

bekerja hanya 2 anak (3,3 %) yang mandiri, sisanya tidak mandiri 25 anak

(41,7%). Sedangkan sebaliknya pada orang tua yang tidak bekerja

terdapat anak prasekolah 25 anak (41,7%) dan 8 anak tidak mandiri

(13,3%).

Dari hasil observasi awal pada tanggal 11 Februari di sepuluh

rumah yang memiliki anak dari 3 sampai 5 tahun dengan kedua orang tua

yang bekerja di desa Pentadio Barat didapatkan data bahwa 7 dari 10 anak

masih tampak kurang mandiri seperti halnya dalam penggunaan toileting,

belum mampu memakai baju sendiri, dan belum mampu sabar menunggu

giliran ketika bermain bersama teman-teman .

1.2. Identifikasi Masalah

1. Pergeseran peran ibu menjadi seorang pekerja menyebabkan kurangnya

perhatian yang diberikan kepada anak.

2. Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua berbeda-beda sehingga

pencapaian aspek kemandirian anak berbeda.

5
3. Kurangnya interaksi dan komunikasi antara ibu bekerja terhadap anak,

sehingga kemandirian anak masih kurang optimal.

4. Dari hasil observasi awal didapatkan bahwa masih banyak anak yang

kurang mandiri dan masih bergantung kepada pengasuh.

1.3. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan pola asuh orang tua bekerja dengan

kemandirian anak prasekolah?

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua bekerja dengan

kemandirian anak usia pra sekolah

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pola asuh orang tua bekerja

2. Mengidentifikasi tingkat kemandirian anak di rumah

3. Menganalisa hubungan pola asuh orang tua bekerja dengan

kemandirian anak usia prasekolah

1.5. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bacaan bagi peneliti

berikutnya.

2. Manfaat bagi Peneliti

6
Hasil penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti

dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama mengikuti

pendidikan.

3. Manfaat bagi Masyarakat

Hasil ini dapat menambah pengetahuan para keluarga akan

pentingnya dukungan bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa halusinasi terhadap tingkat kesembuhannya.

Anda mungkin juga menyukai