Anda di halaman 1dari 27

1

I. Anatomi Uterus
Uterus terletak anterior terhadap rektum dan posterior terhadap vesika
urinaria. Berbentuk seperti buah pear terbalik. Bentuk dan ukuran
uterus berbeda-beda tergantung pada usia dan pernah melahirkan atau
belum. Ukuran uterus pada wanita nullipara adalah panjang 7,5 cm, lebar
5 cm dan tebal 2,5 cm. Pada wanita yang pernah hamil ukuran uterus
lebih besar sedangkan pada wanita menopause ukuran uterus lebih kecil
karena pengaruh hormon seks yang menurun. Posisi normal uterus adalah
antefleksio dan anteversio.1
Uterus terbagi dalam 2 bagian besar yaitu :1
1. Korpus
Bagian uterus yang melebar (2/3 superior uterus), terletak di
antara kedua lembar ligmentum latum dan tidak dapat
digerakkan. Korpus terbagi atas:
a. Fundus merupakan bagian uterus yang berbentuk seperti
kubah berada di bagian superior dan tempat terletaknya
superior uterine tube orifice.
b. Kavum uteri.
c. Istmus.
2. Servik
Bagian uterus yang lebih sempit (1/3 inferior uterus), terdapat
kanalis servikalis, kanalis servikalis yang menghadap ke luar
disebut internal os (pars supravaginalis cervicis), sedangkan
kanalis servikalis yang menghadap ke luar disebut dengan external
os (portio vaginalis cervicis).
Ligamentum pada uterus dan servik
A. Ligamentum latum
Merupakan perluasan dari peritoneum viseral yang menutupi
bagian anterior dan posterior uterus, membentuk lapisan seperti
triangle dengan batas – batas sebagai berikut :
Atas : Tuba fallopii, ligamentum ovarii propium
2

Bawah : Lantai dasar pelvis


Lateral : Dinding pelvis lateral
Medial : Dinding lateral uterus
B. Ligamentum rotundum
Ligamentum ini berada di lateral fundus uteri, di depan
ligamentum latum dan dibawah insersi ligamentum ovarii propium.
Ligamentum ini berjalan dari lateral fundus uteri melintasi
pembuluh darah umbilikal dan obturator ke ramus pubis superior
lalu melintasi arteri iliaka eksterna masuk ke kanalis inguinalis dan
berinsersi pada jaringan fibrosa dari mons pubis. Panjang
ligamentum latum 10 – 12 cm dengan ketebalan 3 – 5 mm. Pada
ligamentum rotundum ini berjalan arteri sampson yang merupakan
percabangan arteri uterina yang beranastomosis dengan arteri
ovarika.
C. Ligamentum kardinal
Nama lain ligamentum kardinal adalah ligamentum of Mackenrodt,
ligamentum of Kocks, ligamentum transversal servik, ligamentum
lateral, uterine retinaculum of Martin. Ligamentum ini melekat
pada servik dan vagina atas kemudian menuju dinding lateral
pelvis.
D. Ligamentum sakrouterina
Berisi jaringan penyambung dan otot polos. Bersama dengan
ligamentum kardinal merupakan jaringan penyangga uterus yang
kuat. Ligamentum ini melekat pada os. Sakrum lalu berinsersi pada
servik dan sepertiga bagian atas vagina.
E. Ligamentum ovarii propium
Berisi otot polos dan jaringan penyambung, menghubungkan ujung
proksimal ovarium ke sudut lateral uterus, tepat dibawah tuba
uterina. Berada diantara mesosalping dan mesovarium
F. Ligamentum infundibulopelvikum (ligamentum suspensorium
ovarii)
3

Terletak disebelah lateral ligamentum latum, mengikat ovarium


dan infundibulopelvikum ke bagian lateral rongga pelvis.
G. Fasia Puboservical
Melintas dari permukaan posterior os. Pubis ke bagian atas vagina,
mengelilingi uretra dan berfungsi menjaga kestabilan uretra.
H. Ligamentum uterovesikal (anterior uterine ligament)
Merupakan perluasan dari lipatan peritoneum dari bagian anterior
uterus ke vesika urinaria.
I. Ligamentum rektovaginalis (posterior uterine ligament)
Merupakan perluasan dari lipatan peritoneum dari bagian posterior
uterus ke rektum, ligamentum rektovaginalis merupakan lantai
kavum douglas.
J. Ligamentum rektouterina
Merupakan bagian dari fasia viceral pelvis berjalan dari ring
periservikal dan bagian atas vagina, mengelilingi rektum lalu
melekat ke fasia presakrum
Topografi uterus :1
a. Superior : kolon sigmoid, ileum
b. Inferior : vesika urinaria, vagina
c. Posterior : rectum
d. Lateral : ureter, tuba uterina, ovarium
e. Dekstra : sekum, appendik
4

Potongan Anterior Potongan posterior


Gambar 1. Potongan anterior dan posterior uterus
Dikutip dari Moore1

Vaskularisasi uterus terdiri dari :1


1. Arteri uterina, cabang dari arteri hipogastrika, berjalan melalui dasar
ligamentum latum, menyilang ureter ± 2 cm lateral servik uteri,
setinggi Ostium Uteri internum. Arteri uterina bercabang menjadi 2
yaitu ramus asenden dan ramus desenden. Ramus asenden berjalan
sepanjang tepi uterus memberi cabang ke bagian atas servik dan
korpus. Setelah mencapai pangkal tuba bercabang menjadi: cabang
ke fundus uteri, ramus tubarius (melalui mesosalping ke tuba), ramus
ovarii (beranastomosis dengan cabang arteri ovarika). Cabang–
cabang arteri menembus dinding uterus miring sampai 1/3 tengah
uterus lalu bercabang sejajar dengan permukaan uterus sebagai arteri
arkuata. Selanjutnya arteri arkuata memberi cabang arteri radialis
yang tegak lurus arteri arkuata lalu masuk ke endometrium memberi
cabang arteri basalis dan selanjutnya menjadi arteri spiralis.
2. Arteri ovarika, cabang dari aorta, berjalan melalui ligamentum
suspensorium ovarii, bercabang ke dalam ovarium dan tuba melalui
mesosalping, beranastomosis dengan ramus ovarii dari arteri uterina
3. Darah vena dialirkan kembali mengikuti jalannya arteri
5

Gambar 2. Vaskularisasi uterus


Dikutip dari Moore1

Inervasi uterus terdiri dari :1


1. Terutama diinervasi oleh nervus simpatis → nervus splanknikus
2. Nervus viseral aferent dari uterus dan ovarium bersama serat
simpatis ke T12, L1 dan L2
3. Inervasi Parasimpatis: S2, S3, S4 → nervus splanknikus pelvis
→ uterus dan vagina
4. Aferen (rasa sakit dari vagina dan uterus) → nervus pudendus
Sistem limfatik:1
1. Dari servik → nodus hipogastrikus
2. Dari korpus uteri → nodus iliaca internal dan nodus limfatikus
paraorta
II. Histerektomi
A. Definisi
Istilah histerektomi berasal dari bahasa latin hystera yang berarti
rahim atau uterus dan ectomy yang berarti memotong, jadi
histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan pengangkatan
rahim.2,3
B. Klasifikasi histerektomi
1. Histerektomi total adalah pengangkatan uterus, servik dan
ovarium.
6

2. Histerektomi sub total adalah histerektomi dengan


mempertahankan servik.
3. Histerektomi ekstrafasial adalah mengangkat rahim beserta
lapisan fasial sebelah luarnya secara utuh.
4. Histerektomi intrafasial adalah histerektomi dengan bagian
tengah servik dibuang dan lapisan fasial sebelah luar
(endopelvis) di biarkan melekat pada kandung kemih.
5. Histerektomi radikal (wertheim) adalah pengangkatan
uterus, adneksa, vagina proksimal dan nodus limfe bilateral
melalui insisi abdomen. Klasifikasi histerektomi radikal
menurut Gynecological Cancer Group of the European
Organization for Research and Treatment of Cancer
adalah:
a. Simple hysterectomy (type I)
b. Modified radical hysterectomy (type II) : uterus,
jaringan paraservikal dan puncak vagina diangkat
setelah dilakukan diseksi ureter pada tempat masuk
ureter ke dalam vesika urinaria. Arteri uterina diikat
dan dilakukan reseksi pada pertengahan
parametrium dan bagian proksimal ligamentum
sakrouterina.
c. Radical hysterectomy (type III) : dilakukan
pengangkatan uterus, sepertiga atas vagina, jaringan
paravaginal dan paraservikal secara bersamaan.
Dilakukan pengikatan arteri uterina dan
pengangkatan ligamentum sakrouterina sebanyak
mungkin.
d. Extended radical hysterectomy (type IV) : dilakukan
pengangkatan ¾ vagina dan jaringan paravagina.
e. Partial exenteration (type V) : dilakukan
pengangkatan uterus dan jaringan parametrium
7

bersamaan dengan bagian terminal dari ureter atau


rektum (supralevatorial)

Pada histerektomi radikal tipe II – IV diikuti dengan


limfadenektomi bilateral jaringan pelvis, kelenjar
presakral eksternal dan internal, kelenjar interiliaka
dan kelenjar obturator.
6. Histerektomi vaginal radikal (schauta) adalah pengangkatan
vagina uterus, adneksa dan vagina proksimal.

Gambar 3. Jenis Histerektomi


Dikutip dari Moore4

Histerektomi dapat dilakukan melalui 3 macam cara yaitu


abdominal, vaginal dan laparoskopik. Pilihan ini bergantung pada
jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang
mendasari dan berbagai pertimbangan lainnya.
C. Indikasi Histerektomi
1. Keadaan akut
a. Komplikasi kehamilan
b. Infeksi
c. Komplikasi operatif
2. Penyakit benigna
a. Leiomiomata
b. Endometriosis
8

c. Adenomiosis
d. Infeksi kronik
e. Massa adneksa
3. Kanker/penyakit pra-ganas yang bermakna
a. Penyakit infasif pada organ reproduksi
b. Penyakit pra infasif yang bermakna pada rahim
(CIN-3+ atau hiperplasia adenomatosa pada
endometrium dengan sel atipik)
c. Kanker pada organ yang bersebelahan atau jauh
(gastrointestinal, genitourinarius atau kanker
payudara)
4. Rasa tidak enak (tidak ada perkiraan patologi jaringan)
a. Nyeri pelvis yang kronis (laparoskopi negatif dan
dicoba terapi bukan bedah)
b. Relaksasi pelvis (simtomatik)
c. Perdarahan rahim yang berulang (tidak memberi
respon terhadap pengaturan hormon dan kuretase-
rahim)
5. Keadaan yang meringankan (tidak diindikasikan secara
khusus tetapi barangkali dibenarkan membutuhkan
peninjauan setara sebelum pembedahan)
a. Sterilisasi
b. Profilaksis kanker
III. Histerektomi Supraservikal
Histerektomi supraservikal adalah salah satu teknik histerektomi yang
sedang dikembangkan oleh ahli bedah ginekologi untuk lebih
meningkatkan keselamatan pasien. Teknik operasi histerektomi
supraservikal abdominal sama dengan histerektomi total abdominal
sampai pada tahap arteri uterina di klem dan diikat. Pada histerektomi
jenis ini uterus diangkat tetapi serviks tetap dibiarkan.3,4,5,6
9

Dulu histerektomi total lebih disukai dari pada histerektomi


supraservikal karena dapat timbulnya masalah pada serviks pada
histerektomi supraservikal. Pasien kanker ginekologi atau pasien yang
mengalami displasia servik atau hiperplasia endometrium tidak boleh
dilakukan histerektomi supraservikal. Histerektomi supraservikal baru
dapat dilakukan apabila pasien tersebut mempunyai hasil sitologi servik
yang normal, sitologi dilakukan dalam tiga bulan sebelum operasi. Klinisi
harus dapat mengidentifikasi adanya infeksi HPV virus pada pasien yang
beresiko untuk kelainan serviks sebelum operasi dilakukan. Demikian
juga dengan kelainan pada endometrium juga harus diidentifikasi terlebih
dahulu.5,6,7

Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa histerektomi supraservikal


lebih baik dari pada histerektomi total tapi hal ini tidak spesifik. Masih
adanya ligamentum yang melekat pada serviks dianggap dapat
memberikan tambahan kekuatan pada dasar panggul tapi ada juga
beberapa penelitian yang tidak mendukung untuk mempertahankan servik
dengan alasan untuk mengurangi efek histerektomi terhadap fungsi seksual
dan fungsi berkemih. Penelitian yang dilakukan Thakar dan Kim tahun
2003 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang spesifik dalam hal
frekuensi berkemih, stress incontinence, bowel symptoms, enjoyment of
sexuality, frequency of sexual activity dan orgasm pada pasien yang
dilakukan histerektomi supraservikal dan histerektomi total. Masalah yang
dapat timbul pada tunggul servik yaitu nyeri, prolapsus, pertumbuhan
jaringan fibroid berulang atau kanker, abses tuba – ovarial dan nekrosis
yang semuanya memerlukan tindakan pembedahan ulang pada ± 25%
kasus.5,6,7,8,9

Pada pasien supraservikal histerektomi apabila terdapat gangguan


menopause yang signifikan disarankan untuk mendapatkan terapi
hormonal kombinasi antara estrogen dan progesteron untuk meminimalisir
10

resiko kanker servik. Terapi hormonal kombinasi ini meningkatkan resiko


untuk terkena kanker payudara, emboli, stroke dan penyakit jantung.10,11
Histerektomi supraservikal per abdominal merupakan suatu prosedur
pengangkatan uterus tanpa disertai pengangkatan servik melalui insisi
pada dinding abdomen, pengangkatan ovarium maupun saluran tuba
tergantung dari keadaan penyakit pasien.7,8
Histerektomi supraservikal per laparoskopi merupakan suatu prosedur
pengangkatan uterus tanpa disertai pengangkatan servik melalui insisi
kecil (0,5 – 1 cm) pada dinding abdomen untuk memasukkan laparoskop.
Operasi umumnya dilakukan dengan menggunakan empat lubang kecil
berukuran 5 – 10 mm, satu dipusar dan tiga di abdomen bagian bawah.
Laparaskopi histerektomi supraservikal dihubungkan dengan waktu
operasi yang lebih singkat (40 menit – 3 jam), trauma yang minimal,
sedikit jaringan parut dan kurang nya teknik operasi yang sulit. Teknik
operasi histerektomi supraservikal secara laparoskopi sama dengan
histerektomi total secara laparoskopi bedanya pada histerektomi jenis ini
uterus diangkat tetapi servik tetap dibiarkan. Dilakukan pengangkatan
uterus setinggi orifisium uteri internum setelah itu dilakukan ablasi pada
kanalis endoservikalis. Pada Laparaskopi histerektomi supraservikal uterus
dipotong - potong lalu potongan – potongan tersebut dikeluarkan melalui
morselator melalui lubang insisi.7,8,9,10,11
Pada penelitian yang membandingkan antara histerektomi supraservikal
secara laparaskopi dengan transabdominal histerektomi mendapatkan
bahwa histerektomi supraservikal lebih lama dari pada trans abdominal
histerektomi tetapi dalam hal lama perawatan, kehilangan darah dan
komplikasi, histerektomi supraservikal lebih baik dibandingkan
transabdominal histerektomi8,9,12. Komplikasi dari laparaskopi histerektomi
supraservikal yaitu:
1. Perdarahan siklik pervaginam (11-17%)
2. Trakhelektomi (23%)
11

Resiko lain dari histerektomi supraservikal berhubungan dengan


adanya perkembangan tumor dari tunggul vagina yang nanti nya akan
membutuhkan operasi ulang untuk pengangkatan tunggul vagina.
Trakhelektomi merupakan operasi pengangkatan servik uteri,
trakhelektomi ini dapat menimbulkan infeksi, perdarahan perioperatif dan
cedera usus. Apabila harus dilakukan trakhelektomi komplikasi akan lebih
minimal apabila dilakukan secara pervaginam dibandingkan
perabdominam.8,9,10,11
Pada leiomioma uteri dan perdarahan uterus abnormal ada beberapa
penelitian yang menyebutkan bahwa lebih banyak keuntungan
dilakukannya histerektomi supraservikal namun ada juga penelitian level I
yang menyatakan bahwa supraservikal histerektomi perabdominal tidak
menguntungkan apabila dilihat dari komplikasi bedah, gejala traktus
urinarius, fungsi seksual yang ditimbulkannya. Belum ada penelitian yang
membandingkan efektifitas dari histerektomi supraservikal secara
laparaskopi dibandingkan dengan LAVH atau TAH. Histerektomi
supraservikal tidak direkomendasikan oleh ahli bedah sebagai teknik yang
lebih superior untuk melakukan histerektomi pada tumor – tumor jinak.
8,9,10,11

IV. Teknik operasi histerektomi supraservikal abdominal.3

1.
Melakukan insisi abdomen
2. Mengeskplorasi uterus dan organ genitalia lainnya
3. Memasang kasa perut basah
4. Dilakukan pemasangan tegel
5.  Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum rotundum kanan dan kiri dengan
chromic catgut no. 2.0, dengan cara:
 memasang 3 buah klem secara sejajar, tegak lurus pada ligamentum rotundum
 memotong ligamentum rotundum di antara klem pertama dan kedua dari uterus
 dilakukan penjahitan secara transfix
12

6.  Membuka plika vesikouterina dengan gunting, dilakukan penyisihan sehingga


tampak pembuluh darah uterina, vesika urinaria didorong ke bawah secara
tumpul, lalu dilindungi dengan hak besar, insisi diperlebar ke kanan dan kiri

7.  Menembus ligamentum latum kanan dan kiri dari belakang ke depan secara
tumpul, selanjutnya dipasang 2 buah klem yang sejajar dan tegak lurus pada
ligamentum latum dan dipotong diantara dua klem tersebut, lalu dilakukan
penjahitan transfix pada masing-masing potongan
13

8. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum ovarii proprium dan pangkal tuba kanan
dan kiri dengan chromic catgut no. 2.0. dengan cara:
 memasang 3 buah klem secara sejajar, tegak lurus pada ligamentum ovarii
proprium dan pangkal tuba
 memotongnya di antara klem pertama dan kedua dari uterus
 dilakukan penjahitan secara transfix

9. Menjepit, memotong dan mengikat arteri uterina kanan dan kiri dengan chromic catgut
no. 0 dengan cara:
 memasang klem pertama tegak lurus pada arteri uterina setinggi ostium uteri
internum (setinggi masuknya arteri uterina) sedekat mungkin ke dinding
uterus
 memasang klem kedua dan ketiga sejajar dengan klem pertama
 arteri uterina dipotong di antara klem pertama dan kedua bagian distalnya dijahit
secara transfix
14

10. Vesika urinaria dan rektum disisihkan jauh ke bawah sehingga servik dapat
tervisualisasi dengan jelas baik anterior maupun posterior lalu fundus uteri
ditarik keluar dari rongga pelvis dan dilakukan insisi berbentuk huruf V
dangkal pada serviks dari sisi anterior diatas batas pengikatan arteri uterina.
Setelah uterus terangkat dilakukan penjahitan secara figure of eight pada
tunggul servik untuk hemostatik.
15

11. Dilakukan reperitonealisasi


12. Dilakukan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
V. Teknik operasi laparaskopi histerektomi supraservikal13
1. Persiapan dan posisi pasien
2. Insersi manipulator uterus
3. Penempatan trokar pada rongga abdomen
4. Pastikan ureter tidak menghalangi lapangan operasi
5. Desiccate and transect ligamentum rotundum
6. Desiccate and transect ligamentum infundibulopelvikum (apabila
adneksa juga akan diangkat)
7. Desiccate and transect ligamentum ovarii propium dan bagiam
proksimal tuba fallopii (apabila adneksa akan ditinggalkan)
8. Identifikasi utero-cercical junction
9. Penyisihan vesika urinaria
10. Desiccate and transect ligamentum latum
11. Identifikasi, koagulasi dan potong arteri uterina
12. Amputasi uterus dari serviks
13. Hemostasis dan koagulasi tunggul serviks
14. Pemotongan uterus menjadi bagian – bagian kecil (morselasi) lalu
potongan – potongan itu dikeluarkan melalui morcellator
15. Penutupan insisi abdomen
16

Figure A: First, the infundibulopelvic vessels are coagulated using bipolar Figure B: The broad ligament is coagulated and transected to the level
current. The round ligaments are similarly bilaterally coagulated. Then where the uterus intersects with the cervix.
the infundibulopelvic and round ligaments are transected bilaterally.
 

Figure D: The ascending branch of the uterine artery is coagulated and


Figure C: Using bipolar current, a line of dessication is marked across the
transected bilaterally. The cross section can be seen at the tip of the
intended plane of uterine amputation.
scissors.
Gambar Teknik operasi laparaskopi histerektomi supraservikal
Dikutip dari http://hcp.obgyn.net/laparoscopy/13

VI. Komplikasi histerektomi14,15


a. Perdarahan intraoperatif
Biasanya tidak terlalu jelas dan ahli bedah ginekologis sering kali
kurang dalam memperkirakan darah yang hilang (underestimate).
Hal tesebut dapat terjadi misalnya karena pembuluh darah
mengalami retraksi ke luar dari lapangan operasi dan ikatannya
lepas
b. Kerusakan pada kandung kemih
17

Paling sering terjadi karena langkah awal yang memerlukan diseksi


untuk memisahkan kandung kemih dari serviks anterior tidak
dilakukan pada bidang avaskular yang tepat.
c. Kerusakan ureter
Kerusakan biasanya dapat dihindari dengan menentukan letak
ureter berjalan dan menjauhi tempat tersebut.
d. Kerusakan usus
Dapat terjadi jika loop usus menempel pada kavum douglas,
menempel pada uterus atau adneksa. Walaupun jarang, komplikasi
yang serius ini dapat diketahui dari terciumnya bau feses atau
melihat material fekal yang cair pada lapangan operasi.
Pentalaksanaan memerlukan laparotomi untuk perbaikan atau
kolostomi
e. Trombosis vena
Komplikasi histerektomi jarang terjadi tetapi membahayakan jiwa
adalah trombosis vena dalam dengan emboli paru-paru. Insiden
emboli paru-paru mungkin dapat dikurangi dengan penggunaan
ambulasi dini bersama-sama dengan heparin subkutan profilaksis
dosis rendah pada saat pembedahan dan sebelum mobilisasi
sesudah pembedahan yang memadai.
c. Infeksi
Infeksi oleh karena adanya mikroorganisme patogen, antitoksinnya
didalam darah atau jaringan lain membentuk pus.
d. Pembentukan fistula
Saluran abnormal yang menghubungkan 2 organ atau
menghubungkan 1 organ dengan bagian luar. Komplikasi yang
paling berbahaya dari histerektomi radikal adalah fistula atau
striktura ureter. Keadaan ini sekarang telah jarang terjadi karena
ahli bedah menghindari pelepasan ureter yang luas dari peritoneum
parietal yang dulu biasa dilakukan. Drainase penyedotan pada
18

ruang retroperineal juga digunakan secara umum yang membantu


meminimalkan infeksi.
VII. Pencegahan komplikasi14,15
a. Pencegahan perlekatan
Perlekatan dapat dicegah dengn cara manipulasi jaringan secara
lembut dan hemostasis yang seksama. Untuk mempertahankan
integritas serosa usus, pemasangan tampon digunakan apabila usus
mengalami intrusi menghalangi lapangan pandang operasi. Untuk
mencegah infeksi darah harus dievakuasi dari kavum peritonei. Hal
ini dapat dilakukan dengan mencuci menggunakan larutan RL dan
melakukan reperitonealisasi defek serosa dengan hati-hati
b. Drainase
Pada luka bersih (aseptic), pemasangan drain untuk mengevakuasi
cairan yang berasal dari sekresi luka dan darah berguna untuk
mencegah infeksi. Pada luka terinfeksi pemasangan drain dapat
membantu evakuasi pus dan sekresi luka serta menjaga luka tetap
terbuka. Sistem drainase ada yang bersiat pasif (drainase penrose),
aktif (drainase suction) dan juga ada yang bersifat terbuka atau
tertutup.
c. Pencegahan trombosis vena dalam dan emboli
1. Saat pra operasi, perlu dicari faktor resiko. Usahakan
menurunkan berat badan dan memperbaiki keadaan umum
pasien sampai optimal. Kontrasepsi oral harus dihentikan
minimal empat minggu sebelum operasi. Mobilisasi pasien
dilakukan sedini mungkin dan diberikan terapi fisik dan latihan
paru.
2. Upaya intraoperasi, dilakukan hemostasis yang teliti dan
pencegahan infeksi. Selain itu, cegah juga hipoksia dan
hipotensi selama pembiusan. Hindari statis vena sedapat
mungkin terutama dengan memperhatikan posisi kaki.
19

3. Pada pasca operasi, antikoagulasi farmakologis dan fisik


dilanjutkan. Upaya fisik meliputi mobilisasi dini pada 4-6 jam
pertama pasca operasi, bersamaan dengan fisioterapi.
Disamping itu bisa juga dengan pemakaian stocking ketat dan
mengangkat kaki.
VIII. Histerektomi peripartum
Histerektomi peripartum adalah tindakan pengangkatan uterus setelah
terjadi proses melahirkan, dapat dilakukan setelah persalinan pervaginam
maupun perabdominam. Eduardo porro (1871) adalah orang pertama yang
melakukan histerektomi supravaginal dengan hasil ibu dan bayi selamat.
Tindakan histerektomi ini biasanya dilakukan untuk mengatasi komplikasi
perdarahan akibat persalinan. Histerektomi ini dapat juga dilakukan secara
terencana pada kasus hamil dengan mioma uteri yang besar atau adanya
displasia servik berat pada kehamilan. Pada kasus histerektomi yang
terencana tetap harus dipertimbangkan umur dan paritas dari maternal.
Tindakan histerektomi peripartum dapat berupa histerektomi subtotal
dan histerekomi total. Pada histerektomi subtotal, uterus diamputasi
setinggi tempat ligasi arteri uterina. Biasanya tidak dilakukan
pengangkatan adneksa pada histerektomi peripartum.
A. Langkah – langkah histerektomi peripartum
1. Dilakukan tindakan aseptik dan anti septik pada lapangan
operasi dan sekitarnya lalu lapangan operasi dipersempit
dengan duk steril
2. Dilakukan insisi mediana, insisi diperdalam secara tajam
dan tumpul sampai menembus peritoneum.
3. Pada kasus histerektomi yang dilakukan mengikuti operasi
seksio sesarea, setelah janin dan plasenta dilahirkan
dilakukan hemostasis dengan cara menjepit dan meligasi
pembuluh darah besar yang mengalami perdarahan lalu
dilakukan jahitan pada insisi dinding rahim, jahitan dapat
dilakukan secara jelujur ataupun terputus. Plika vesiko
20

uterina yang telah terbuka ketika dilakukan seksio sesarea


tidak disatukan lagi melainkan disisihkan lebih kebawah
4. Uterus harus terpapar secara jelas, dapat dikeluarkan dari
rongga pelvis atau dapat juga dilakukan traksi ke atas oleh
asisten. Untuk pemasangan retraktor tidak begitu
diperlukan.
5. Ligamentum rotundum diidentifikasi lalu di jepit ± 2 cm
dari uterus dengan dua buah klem Kocher atau Oschner
dengan jarak antar klem 1 cm. Setelah dijepit lalu dipotong
dan dilakukan ligasi. Pada potongan yang akan ditinggalkan
diligasi secara transfix dengan chromic no. 1 atau 0
sedangkan pada potongan yang akan diangkat diligasi
secara sirkumferensial dengan silk no.1 atau 0. Perhatikan
ada tidak nya perdarahan karena dibawah ligamentum
rotundum ini berjalan arteri sampson. Dilakukan tindakan
yang sama untuk ligamentum rotundum sebelah kiri. Pada
keadaan perdarahan yang masif dan membutuhkan waktu
tindakan yang cepat ligasi dari ligamentum rotundum
dilakukan setelah ligasi arteri uterina.
6. Plika vesikouterina disisihkan kebawah dan ke lateral atas
sampai mencapai pangkal ligamentum rotundum.
7. Pada ligamentum latum dibuat celah avaskuler dengan
menggunakan klem kelly atau dapat juga dengan
menembus secara tumpul dengan jari telunjuk, celah harus
berada di bawah ligamentum ovarii propium.
8. Melalui celah pada ligamentum latum dilakukan penjepitan
dengan klem Kocher atau Oschner pada ligamentum ovarii
propium, pangkal tuba dan arteri ovarika. Pada bagian yang
dekat uterus dijepit dengan satu klem sedangkan pada
bagian yang akan ditinggalkan dijepit dengan dua buah
klem hal ini bertujuan untuk lebih hati – hati mengingat
21

adanya pembuluh darah arteri ovarika. Setelah dilakukan


pemotongan lalu dilakukan ligasi, pada bagian uterus
diligasi dengan silk no. 1 sedangkan pada bagian yang akan
ditinggalkan diligasi dengan chromic no.0, pada bagian
yang akan ditinggalkan ini ligasi dilakukan secara double
untuk mencegah perdarahan dari arteri ovarika. Ligasi
dilakukan dengan jahitan transfix. Pada keadaan perdarahan
yang masif dan membutuhkan waktu tindakan yang cepat
ligasi dari pedikel dilakukan setelah ligasi arteri uterina
9. Ligamentum latum posterior dibebaskan ke bawah ke arah
ligamentum sakrouterina
10. Identifikasi vasa uterina, bila perlu vesika urinaria
disisihkan lebih jauh ke bawah untuk mempermudah
identifikasi dan mencegah trauma pada ureter mengingat
ureter berjalan dibawah arteri uterina. Asisten juga dapat
membantu dengan melakukan traksi uterus ke arah atas.
11. Vasa uterina dijepit dengan klem Kocher atau Oscner
secara tegak lurus, satu buah klem dijepit tegak lurus pada
vasa uterina setinggi orifisium uteri internum rapat ke
dinding uterus. Klem kedua dipasang sejajar klem pertama
dengan sedikit diberi jarak untuk memudahkan
pemotongan, klem ke tiga dipasang sejajar berdekatan klem
kedua. Dilakukan pemotongan vasa uterina diantara klem
pertama dan klem ke dua lalu dilakukan ligasi. Pada bagian
uterus diligasi dengan silk no. 1 dan pada bagian yang akan
ditinggalkan diligasi double secara sirkumferensial dan
transfix dengan chromik no.0. Observasi perdarahan.
Pedikel pembuluh darah dalam keadaan hamil tebal dan
edema maka sebaiknya dilakukan klem double.
12. Pada histerektomi supraservikal dilakukan pemotongan
uterus setinggi ligasi vasa uterina. Uterus ditarik keatas lalu
22

diklem dengan curved klem dan dilakukan insisi seperti


huruf V dangkal.
13. Observasi perdarahan dengan menjepit tunggul servik
dengan klem pada jam 3, 6, 9, 12. Lakukan jahitan figure of
eight pada tunggul servik arah jam 12 dilanjutkan dengan
jahitan secara jelujur sampai arah jam 6 dengan benang
kromic no.0.
14. Apabila masih terdapat perdarahan pada tunggul serviks
sedangkan diyakini arteri uterina telah terligasi dengan baik
histerektomi suprasevikal dapat dilanjutkan ke histerektomi
total.
15. Untuk melakukan histerektomi total harus diyakini bahwa
vesika urinaria benar – benar terbebas dari uterus untuk
menghindari cedera pada vesika urinaria dan ureter. Uterus
dapat dilakukan traksi keatas dan vesika urinaria disisihkan
ke bawah terbebas dari servik.
16. Apabila histerektomi supraservikal telah dilakukan, tunggul
serviks ditarik keatas dengan klem kocher, pada serviks
yang telah berdilatasi maksimal sulit untuk melakukan
identifikasi batas servik, identifikasi batas serviks dapat
dilakukan dengan cara memasukkan jari ke dalam tunggul
serviks, setelah teridentifikasi sarung tangan diganti.
17. Ligamentum kardinal dan ligamentum sakrouterina di jepit
dengan dua klem sedekat mungkin dengan servik, pada saat
menjepit harus diperhatikan agar tidak terlalu banyak
jaringan para servikal yang ikut dijepit. Setelah dijepit
dilakukan insisi dan ligasi pada tunggul ligamentum.
Jaringan para servikal harus benar – benar terbebas dari
serviks. Menjepit, memotong dan mengikat jaringan
paraservikal dapat dilakukan dalam beberapa tahap.
23

Observasi perdarahan, perdarahan dapat berasal dari cabang


decendent artreri uterina.
18. Identifikasi forniks lateral vagina, lalu dilakukan penjepitan
dari forniks lateral vagina (bagian terbawah dari servik).
Dilakukan insisi pengangkatan uterus.
19. Dilakukan penjahitan pada tunggul forniks lateral vagina
untuk menyatukan dengan tunggul ligamentum kardinale
dan ligamentum sakrouterina. Lalu dilakukan jahitan pada
tunggul vagina dari forniks lateral vagina secara figure of
eight diteruskan secara jelujur dengan chromic no. 0.
20. Dilakukan retroperitonealisasi dengan menutupkan plika
vesikouterina dengan sisi belakang tunggul vagina
21. Observasi perdarahan dan bersihkan bekuan darah
22. Tutup kavum abdomen lapis demi lapis
B. Beberapa kesulitan dalam histerektomi peripartum17
Kesulitan dalam histerektomi peripartum bukan disebabkan oleh
teknik bedah nya melainkan disebabkan oleh perbahan anatomi dan
fisiologi pada kehamilan lanjut dan indikasi dilakukan nya
histerektomi peripartum.
1. Pada kehamilan lanjut terjadi pelebaran dan perluasan arteri
uterina dan arteri ovarika ini disebabkan karena terjadi
peningkatan aliran darah pada organ pelvik pada saat
kehamilan
2. Jaringan pelvis berdekatan dengan uterus dan rapuh
3. Adanya jaringan uterus yang ruptur menyebabkan distorsi
yang luas dan edema
4. Adanya perluasan perlengketan dari plasenta akreta
kedalam kandung kemih dan jaingan pelvis lainnya
5. Adanya perlengketan yang disebabkan oleh scar uterus
menyebabkan susah nya ketika melakukan pemisahan
kandung kemih dan rentan terjadiya cedera
24

6. Ureter dapat terpotong, terklem ataupun terikat akibat


perdarahan yang banyak menutupi lapangan operasi
7. Pada pasien yang sudah terjadi pelebaran maksimal dari
serviks akan sangat sulit untuk mengidentifikasi serviks
ketika akan melakukan histerektomi total
C. Komplikasi histerektomi peripartum17
1. Intra operatif
a. Kehilangan darah yang banyak sehingga akan
meningkatkan kebutuhan untuk transfusi, trasfusi ini akan
meningkatkan penularan penyakit seperti hepatitis B, C dan
HIV
b. Cedera traktus urinarius (4,6 - 12,5%)
c. Cedera usus besar, robeknya pembuluh darah serviks dan
ligamentum infundibulo pelvikum
2. Post operatif
a. Perdarahan
b. Wound dehiscens
c. Infeksi tratus urinarius
d. Ileus
e. Anemia
f. Bertambah lama nya waktu perawatan di rumah sakit
g. Emboli paru
h. DIC
i. Renal failure
j. sepsis
D. Teknik operasi untuk mengurangi kehilangan darah pada histerektomi
peripartum
1. Double clamping or back clamping terhadap pedikel dengan
pengikatan secara menyeluruh diikuti dengan jahitan transfix
25

2. Ligasi arteri iliaka interna, penyumbatan aorta dan arteri iliaca


interna dengan balon, pemberian oksitosin dan pemasangan
tourniket disekeliling serviks
3. Pengambilan keputusan yang cepat pada pasien yang mempunyai
predisposisi untuk terjadinya perdarahan
4. Apabila histerektomi sudah direncanakan pada kasus – kasus
pasien dengan plasenta akreta, plasenta tidak perlu untuk
dikeluarkan setelah janin dilahirkan
E. Teknik operasi yang dapat mengurangi komplikasi urologi pada
histerektomi peripartum
1. Melakukan diseksi tajam pada midline kandung kemih secara hati
– hati pada pasien bekas sectio sesarea
2. Menempatkan klem dan melakukan jahitan secara berlawanan
dengan dinding uterus dan serviks
3. Melakukan sistoskopi perioperatif dan memeriksa apakah terjadi
kebocoran kandung kemih dengan mengisisan menggunakan
methylen blue
26

IX. Rujukan
1. Moore, Keith L.2006. Clinically oriented anatomy 5 et ed. William & Wilkins
Baltimore
2. Wu, JM; Wechter, ME; Geller, EJ; Nguyen, TV; Visco, AG (2007).
"Hysterectomy rates in the United States, 2003". Obstet Gynecol 110 (5): 1091–
5.doi:10.1097/01.AOG.0000285997.38553.4b. PMID 17978124.
3. Rock, JA & Jones III, H.W (2008). Te linde’s operative gynaecology (10 thed).
Philadelphia: J.B Lippincot company
4. encyclopedia.com > Wertheim's hysterectomy Citing: "Wertheim's
hysterectomy." A Dictionary of Nursing. 2008. Encyclopedia.com. (October 13,
2010).
5. Jenkins TR. Laparoscopic supraservical hysterectomy. Am J Obstet Gynecol
2004;191:1875-84
6. Parker WH. Total laparoscopic hysterectomy and Laparoscopic supraservical
hysterectomy. Obstet Gynecol Clin North Am 2004;31:523-37
7. Ford JF, Feinstein SM. Human Papilloma virus testing before elective
supraservical hysterectomy. J Low Genit Tract Dis. Oct 2005;9(4):230-231
8. Thakar R. Outcomes after total versus subtotal abdominal hysterectomy. N Eng J
Med. Oct 24 2002;105(6):1309-18
9. Nezhat CH, Nezhat A, Borhan S. Laparoscopic removal of the cervical stump
after supraservical hysterectomy for persisten pelvic pain and endometriosis. J
am Assc Gynaecol Laparosc. 1996;3(4, supplement):S34
10. Lacey JV, Jr., Swanson CA. Use of hormone replacement theraphy and
adenocarcinomas and squamous cell carcinomas of the uterine cervix. Gynecol
Oncol. Apr 2000;77(1):149-54
11. Lacey JV. Obesity as potencial risk factor for adenocarcinomas and squamous
cell carcinomas of the uterine cervix. Cancer. Aug 15 2003;98(4):814-821
12. Gimbel H, Zobbe. Randomised controlled trial of total compared with subtotal
hysterectomy with one year follow up result. BJOG 2003;110:1088-98
13. http://hcp.obgyn.net/laparoscopy/content/article/1760982/1893891#
14. Bagian Obstetri dan ginekologi FK. UNPAD. 1993. Ginekologi. Bandung: Elstar
15. Friedman, Borten, Chapin, 1998. Seri skema Diagnosa dan penatalaksanaan
Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara
16. Forna F, Miles A M, Jamieson DJ. Emergency Peripartum Hysterectomy: A
comparison of Cesarean and post partum hysterectomy. Am J Obstet Gynecol
2004; 190:1440-4
17. Umezurike CC, Feyi-Waboso PA, Adisa CA. Peripartum hysterectomy in Aba
Southeastern Nigeria. Australian and New Zealand Journal of Obstetrics and
Gynaecology 2008; 48:580-582
18. Whiteman MK, Kuklina E, Hills SD, Jamieson DJ, Miekle SF, Posner SF,
MarchBanks PA. Incidence and determinants of peripartum hysterectomy.
Obstet Gynecol 2006; 108:1486-1492
27

Anda mungkin juga menyukai