DISUSUN OLEH :
dr. Nita Kurniasih
PENDAMPING :
dr. Ellya Yudianti
h. Ekstremitas :
Akral Hangat CRT < 2” Edema
Pemeriksaan Penunjang:
Pengobatan: Segera dilakukan penagangan awal untuk mengatasi sesak diberikan NRM 10 lpm, Inf RL loading
500mL,maintenence 20 tpm, Inj. Pantoprazole 1 vial, Inj. ondancetron 1 ampul dan berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit
dalam terkait hasil rontgen pneumonia maka pasien direncanakan untuk di rawat dibangsal isolasi untuk dilakukan penatalaksanaan
lebih lanjut untuk menegakan diagnosis covid 19, terapi tambahan dari dokter spesialis penyakit dalam adalah sebagai berikut :
- Infus NS + Resfar 10 cc 20 tpm
- Inj Ceftriaxone 3g/24 jam
- Inj Infimycin 500mg/24 jam
- Inj Dexametasone 1A/12 jam
- Inj Heparin 5000U/12 jam SC
- Inj Pantopump 40mg/24 jam
- Inf Paracetamol 500mg/8 jam k/p
- Inj Vit C 1000mg/12 jam
- L Cisin loading 2 tab selanjutnya 2x1 tab
- Zinc 1x20mg
- Prove D3 2x1
- PCR Swab
Pendidikan:.
- Diberitahukan keluarga pasien tentang pasien suspect covid 19
- Memberitahukan kepada keluarga bahwa diagnosis pasti untuk covid 19 adalah PCR swab dan selama itu pasien harus di rawat diruang
isolasi sampai hasil PCR swab resmi keluar apakah terkonfirmasi positif atau tidak
- Menjelaskan kepada keluarga tata cara perawatan di ruang isolasi
- Memberikan informasi kemungkinan komplikasi yang terjadi akibat covid 19
Konsultasi: konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam
TINJAUAN PUSTAKA
I.Virus Covid-19
Virus Berasal dari Hewan
Inang awal dari SARS-CoV-2 adalah kelelawar dengan inang perantaranya beberapa hewan lain, seperti unta, tikus, dan musang.
Selanjutnya, virus ini mengalami mutasi sehingga dapat menginfeksi saluran pernapasan manusia.
Virus masuk ke sel inang setelah protein S yang berada di sampul virus berikatan dengan reseptor sel inang, Angiotensin-Converting
Enzyme 2 (ACE-2) yang umumnya banyak di epitel saluran pernapasan. Selanjutnya, RNA virus masuk dan direplikasi oleh sel inang.
Di manusia, SARS-CoV-2 bereplikasi di dalam sel epitel yang melapisi saluran pernapasan dari atas hingga bawah. Replikasi virus ini
diawali dengan translasi RNA virus yang masuk. Selanjutnya, sistem transkripsi dan translasi sel inang akan berfokus memperbanyak salinan
RNA virus dan memproduksi komponen-komponen penyusun virus sekaligus merakitnya. Selanjutnya, terjadi viral shedding atau pelepasan
virus dari sel inang ke sel-sel sekitarnya. Hal ini menyebabkan sel-sel lain, seperti sel-sel pada saluran gastrointestinal mengeluarkan respon
imun didapat (innate imun response ) dan bermanifestasi sebagai gejala non-respiratorik.
Badai Sitokin
Proses replikasi dan shedding virus ini memicu sel mengeluarkan sitokin-sitokin proinflamasi. Semakin banyak virus, semakin banyak
sitokin yang dikeluarkan. Kondisi terlalu banyak sitokin ini disebut dengan badai sitokin (cytokine storm) . Jumlah sitokin yang berlebihan
ini menyebabkan paru memadat dan mengalami fibrosis sehingga terjadi gangguan oksigenasi hingga gawat napas dan memerlukan ventilator
untuk membantu proses pernapasan.
Terdapat jumlah sitokin yang bervariasi antar pasien COVID-19. Pada pasien COVID-19 di ICU, ditemukan GCSF, IP10, MCP1,
MIP1A, dan TNF-alfa dengan konsentrasi lebih tinggi dibanding yang tidak memerlukan ICU. Jumlah sitokin ini mempengaruhi derajat
keparahan penyakit.
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien COVID-19 bermacam-macam, mulai dari asimtomatik hingga syok sepsis. Belum
diketahui proporsi kasus asimtomatik, namun telah dilaporkan viral load yang tinggi pada spesimen swab nasofaring dari kasus asimtomatik.
Kemudian, hingga saat ini terhitung 80% kasus menunjukkan gejala ringan atau sedang, 13,8% menunjukkan gejala sakit berat, dan 6,1%
menunjukkan gejala kritis.Lama masa inkubasi sekitar 3-14 hari dengan rata-rata 5 hari. Pada fase awal, virus menyebar ke jaringan yang
mengekspresi ACE2, seperti paru, jantung, dan saluran cerna melalui aliran darah. Gejala yang ditimbulkan pada fase ini biasanya ringan.
Gejala dirasa bertambah berat pada hari keempat hingga ketujuh setelah gejala awal. Bila tidak teratasi, sitokin yang diproduksi akan terus
meningkat hingga terjadi badai sitokin yang berujung pada sepsis, ARDS, dan komplikasi lainnya.
Secara umum, terjadinya gangguan penghidu dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:
1. Gangguan konduktif: adanya hambatan hantaran odoran di dalam rongga hidung karena proses inflamasi mukosa hidung, yang
biasanya disertai dengan gejala hidung lainnya seperti kongesti hidung atau rinorea.
2. Gangguan sensorineural: terjadi kerusakan pada sel-sel penunjang di mukosa olfaktorius atau serabut saraf olfaktorius.
3. Gangguan sentral: adanya kerusakan jalur olfaktorius di sistem saraf pusat.
Coronavirus diketahui dapat menyebabkan post-viral olfactory loss (PVOL). Epitel rongga hidung dan epitel olfaktorius merupakan
bagian saluran napas atas yang paling banyak mengekspresikan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), yang dapat berikatan
dengan virus SARS-CoV-2.5 Meskipun demikian, patofisiologi terjadinya gangguan penghidu pada penderita COVID-19 belum diketahui
secara pasti. Studi yang dilakukan oleh Brann dkk6 menyatakan bahwa infeksi virus SARS-CoV-2 pada saluran napas tidak secara langsung
merusak olfactory sensory neuron (OSN), tetapi merusak sel-sel penunjang epitel olfaktorius dan sel punca. Selain itu, SARS-CoV-2 juga
bisa menembus otak melalui lamina kribiformis dan bulbus olfaktorius sehingga penyebaran transneural pada korteks piriformis dapat terjadi
secara cepat. Kedua hal tersebut diduga menjadi penyebab kerusakan fungsi penghidu pada penderita COVID-19.
Sampai saat ini belum ada protokol terapi untuk tatalaksana gangguan penghidu. Pada gangguan penghidu yang disebabkan oleh
inflamasi sinonasal, umumnya diberikan preparat steroid (sistemik atau topikal) dan preparat seng (zinc ). Dekongestan dan cuci hidung
menggunakan larutan NaCl 0,9% juga dapat diberikan untuk mengatasi gangguan konduktif yang terjadi. Selain itu, terapi tambahan yang
juga menjanjikan untuk gangguan penghidu adalah latihan penghidu (olfactory training /OT). Modalitas ini bertujuan untuk meningkatkan
fungsi penghidu dengan mencium odoran yang kuat secara rutin melalui jalur ortonasal dan retronasal, seperti pisang, cokelat, mawar,
dan peppermint .
Pada penderita COVID-19 yang mengalami gangguan penghidu, tatalaksana yang direkomendasikan bersifat komprehensif. Terapi
COVID-19 harus diberikan sesuai protokol standar. Terapi tambahan berupa terapi steroid, dekongestan dll diberikan sesuai dengan
pertimbangan klinis. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hopkins dkk , sebanyak 35% penderita mengalami perbaikan gejala anosmia
pada 1 – 2 minggu setelah onset, 61% penderita pada 2 – 3 minggu setelah onset, dan 67% penderita pada 3 – 4 minggu setelah onset. Secara
keseluruhan, sebanyak 71% penderita anosmia sembuh pada 3 minggu setelah onset gejala, dengan perbaikan yang signifikan dalam 2
minggu pertama setelah onset. Studi ini juga menyatakan bahwa kelompok penderita yang melakukan latihan penghidu mengalami angka
kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukan latihan penghidu (83% vs. 73%). Sebagai simpulan,
setiap penderita COVID-19 diharuskan menjalani skrining fungsi penghidu. Beberapa penderita COVID-19 hanya memperlihatkan gejala
penghidu saja, sehingga para tenaga medis diharapkan mengenali manifestasi ini. Rekomendasi dari Perhimpunan Ahli THT-KL Indonesia
adalah penderit a dengan gejala hiposmia/anosmia yang timbul mendadak (kurang dari 12 hari) tanpa penyebab yang jelas memerlukan
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis COVID-19. Mengingat sebagian besar kasus gangguan penghidu pada COVID-19 dapat sembuh,
maka disarankan untuk mengonsultasikan ke dokter spesialis THT-KL jika gangguan penghidu menetap lebih dari 3 minggu.
Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan terpilih untuk membantu penegakkan diagnosis adalah CT-scan dan foto polos toraks. Pada fase awal dapat ditemukan
Ground Glass Opacities (GGO) di area perifer, subpleural, dan lobus bawah. Selain itu, tampak penebalan septal interlobular dan interstisial
intralobular yang berbentuk crazy paving pattern. Perjalanan klinis CT-scan pasien COVID-19 sebagai berikut.
Pasien asimtomatis: tampak GGO multifokal dan unilateral. Jarang ditemukan penebalan septum interlobularis, efusi pleura, dan
limfadenopati.
Satu minggu setelah onset: tampak GGO lesi bilateral dan difus. Efusi pleura ditemukan pada 5% kasus dan limfadenopati
ditemukan pada 10%.
Dua minggu setelah onset: tampak GGO predominan dan dapat terdeteksi konsolidasi.
Tiga minggu setelah onset: tampak GGO predominan disertai pola retikular. Gambaran efusi pleura, limfadenopati, bronkiektasis,
dan penebalan pleura mulai ditemukan.
Sampel yang berasal dari feses, darah, urine, atau bagian otopsi pasien juga dapat digunakan apabila tidak terdapat pilihan lain.
Umumnya, hasil pada traktus respiratorius bawah memiliki jumlah virus dan fraksi genom yang lebih besar daripada traktus respiratorius atas.
Pemeriksaan dilakukan saat awal dan dapat diulang guna mengevaluasi progresivitas penyakit atau keberhasilan terapi.
Untuk menegakkan diagnosis, pengambilan sampel usap tenggorok untuk pemeriksaan RT-PCR dilakukan pada hari pertama dan
kedua. Apabila hasil RT-PCR hari pertama positif, maka pemeriksaan di hari kedua tidak perlu dilakukan. Pada keadaan berat atau kritis,
pemeriksaan RT-PCR follow-up dapat dilakukan 10 hari setelah pengambilan usap dengan hasil yang positif.
Apabila klinis pasien membaik dan pasien bebas demam selama tiga hari, pemeriksaan RT-PCR dilakukan kembali. Hasil RT-PCR
yang tetap positif dapat menandakan bahwa pasien dalam kondisi positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya fragmen atau partikel
virus yang sudah tidak aktif. Dalam hal ini, pertimbangkan untuk melakukan cycle threshold (CT) value untuk menilai apakah pasien
infeksius atau tidak.
Hasil RT-PCR negatif tidak dapat menyingkirkan infeksi virus COVID-19. Beberapa faktor seperti rendahnya kualitas spesimen,
waktu pengambilan spesimen yang terlalu lambat atau terlalu cepat, penyimpanan atau pengiriman spesimen yang tidak benar, teknik
pengambilan sampel yang tidak tepat, serta mutasi virus dan inhibisi polymerase chain reaction (PCR) dapat menyebabkan hasil negatif palsu.
IV. Penularan virus SARS-CoV-2
Penyakit COVID-19 adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh virus SARS-COV-2. Saat ini beberapa bukti
menyatakan bahwa penularan virus SARS-CoV-2 antar orang ke orang melalui beberapa rute yang berbeda. Transmisi virus SARS-CoV-2
yang utama adalah melalui droplet pernapasan yang ditimbulkan pada saat bernapas, bersin, batuk dan lainnya. Transmisi virus ini adalah
kontak secara langsung dan tidak langsung. Yang disebut kontak langsung adalah apabila seseorang terkena langsung droplet mengenai
mukosa mulut, hidung atau mata, sedangkan kontak tidak langsung apabila seseorang yang telah memegang permukaan benda yang
mengandung virus kemudian menyentuh mata, hidung atau mulut. Sebagian besar penularan adalah melalui droplet namun demikian
penularan melalui udara (airborne) sampai saat ini masih terus dikembangkan dan kemungkinan juga terjadi penularan melalui udara. Apabila
seseorang yang mengandung virus SARS-CoV-2 ini bersin maka droplet yang berukuran besar akan jatuh sedangkan droplet nuclei yang
berukran sangat kecil akan terbang dan melayang-layang di udara dalam jangka waktu tertentu. Droplet dan droplet nuclei mengandung virus
SARS-CoV-2. Berdasarkan beberapa bukti WHO menyatakan virus SARS CoV-2 dapat menyebar melalui udara dalam ruangan tertutup. Hal
ini dibuktikan dengan munculnya klister-klaster perkantoran. Pencegahan penularan melalui udara harus dilakukan dengan cara meningkatkan
laju ventilasi, menggunakan ventilasi alamiah, menghindari udara resirkulasi, menghindari duduk dengan satu aliran udara searah orang lain
dan meminimalkan jumlah orang dalam satu ruangan (satu lingkungan).
Penduduk yang tinggal atau memiliki riwayat berpergian ke wilayah dengan transmisi lokal dalam kurun 14 hari terakhir berpotensi
tertular dan menularkan. Selain itu, orang dengan kontak erat pasien COVID-19, termasuk tenaga kesehatan, pun memiliki potensi serupa.
Penyebaran nosokomial menjadi isu serius sehingga penggunaan APD dan penerapan universal precaution oleh tenaga kesehatan menjadi
krusial.
Penatalaksanaan COVID-19 tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Pada pasien dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan
secara mandiri. Pada pasien dengan penyakit berat atau risiko pemburukan, maka perawatan di fasilitas kesehatan diperlukan.
Pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah. Pasien disarankan untuk menggunakan masker
terutama saat melakukan kontak dengan orang lain. Beberapa terapi suportif, seperti antipiretik, antitusif, dan ekspektoran dapat digunakan
untuk meringankan gejala pasien
Antipiretik/Analgetik
Pemberian antipiretik/analgetik diberikan apabila pasien memiliki temperatur ≥38 °C, nyeri kepala, atau mialgia. Pilihan terapi
antipiretik/analgetik yang dapat diberikan ketika dibutuhkan adalah paracetamol 500–1.000 mg PO setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis
4.000 mg/hari atau ibuprofen 200–400 mg PO setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis 2.400 mg/hari. Pada pasien COVID-19, penggunaan
paracetamol lebih disarankan daripada ibuprofen karena ibuprofen memiliki luaran yang lebih buruk.
Pemberian antitusif dan ekspektoran berfungsi untuk menurunkan gejala batuk pada pasien COVID-19. Apabila pasien mengalami
batuk berdahak, maka pemberian ekspektoran dapat diberikan untuk mengencerkan sputum. Pilhan antitusif yang dapat diberikan pada pasien
adalah dextromethorphan 60 mg setiap 12 jam atau 30 mg setiap 6–8 jam PO. Terapi ekspektoran yang dapat diberikan adalah guaifenesin
200–400 mg setiap 4 jam PO, atau 600-1.200 mg setiap 12 jam PO, atau ambroxol 30–120 mg setiap 8–12 jam PO.[6,20]
Pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat perlu dirawat di fasilitas kesehatan. Pengendalian infeksi dan terapi suportif
merupakan prinsip utama dalam manajemen pasien COVID-19 dengan gejala yang berat.
Intubasi endotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas hipoksemia. Tindakan ini dapat dilakukan oleh petugas terlatih dengan
memperhatikan kemungkinan transmisi airborne. Preoksigenasi dengan fraksi oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit dapat diberikan
dengan bag-valve mask, kantong udara, high flow nasal oxygen, dan non-invasive ventilation.
Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih rendah (4–8 ml/kg berat badan) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan
plateau <30 cmH2O).
Ventilasi Noninvasif
Penggunaan high flow nasal oxygen (HFNO) atau non-invasive ventilation (NIV) digunakan saat pasien mengalami gagal napas
hipoksemia tertentu. HFNO dapat diberikan dengan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO 2 sampai 1,0. Pada anak-anak, aliran oksigen umumnya
hanya mencapai 15 L/menit. NIV tidak direkomendasikan pada pasien gagal napas hipoksemia atau penyakit virus pandemi karena bersifat
aerosol dan berisiko mengalami keterlambatan dilakukannya intubasi dan barotrauma pada parenkim paru.
Medikamentosa
Sampai sekarang, belum terdapat terapi spesifik terhadap COVID-19. Beberapa studi saat awal pandemi telah menunjukkan potensi
efikasi beberapa obat terhadap COVID-19.
Akan tetapi, bukti ilmiah saat ini menunjukkan bahwa beberapa obat yang sering dipakai sebagai terapi COVID-19, seperti remdesivir,
hidroksiklorokuin, lopinavir, dan interferon hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki efektivitas terhadap COVID-19. Hal tersebut
diindikasikan oleh angka mortalitas, inisiasi pemasangan ventilasi mekanik, dan durasi rawat inap yang tidak berkurang pada penggunaan
obat-obat tersebut.
Remdesivir
Beberapa studi awal telah menunjukkan efikasi remdesivir pada pasien COVID-19 dengan gejala sedang atau berat. Obat ini juga
banyak diteliti pada uji coba klinis di berbagai negara. Dosis yang umum digunakan pada studi adalah 200 mg pada hari pertama, diikuti 100
mg sebagai dosis pemeliharaan pada hari kedua.
Durasi terapi pada pasien COVID-19 yang membutuhkan ventilasi mekanik atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
adalah 10 hari. Sedangkan pada pasien yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik atau ECMO, durasi pengobatan yang disarankan oleh studi
adalah 5 hari. Apabila kondisi klinis tidak membaik, dapat diperpanjang sampai maksimal 10 hari.
Akan tetapi, studi internasional terbaru oleh WHO, yaitu Solidarity Trial, mengemukakan bahwa tidak ada pengurangan dalam inisiasi
ventilasi mekanik atau durasi rawat inap pada partisipan yang diberikan remdesivir. Studi ini juga menyatakan bahwa remdesivir tidak
memiliki efikasi dalam mengurangi angka mortalitas akibat COVID-19.
Klorokuin/Hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang telah digunakan pada beberapa kondisi autoimun karena efek
imunomodulatornya. Pada penelitian in vitro, baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin dilaporkan dapat menginhibisi SARS-CoV-2. Akan
tetapi, studi mengenai efikasi klorokuin dan hidroksiklorokuin dan efek sampingnya masih terus berkembang.
Klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat menyebabkan efek samping berat, seperti gangguan irama jantung dan gangguan mata berat.
Oleh sebab itu, FDA tidak menganjurkan penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai pengobatan darurat apabila fasilitas uji klinis
tidak tersedia atau tidak layak.
Solidarity Trial juga mengemukakan bahwa hidroksiklorokuin tidak menunjukkan manfaat pada pasien COVID-19, baik pada pasien
yang terventilasi mekanik maupun tidak. Hidroksiklorokuin juga tidak memiliki efek yang pasti dalam mengurangi mortalitas, baik secara
keseluruhan maupun pada subgrup yang ditentukan berdasarkan usia, pemakaian ventilasi mekanik, ataupun kategori lainnya.
Lopinavir-Ritonavir
Lopinavir dan ritonavir merupakan obat inhibitor protease yang digunakan pada infeksi HIV. Beberapa studi in vitro menemukan
bahwa kombinasi kedua agen ini dapat melawan SARS-CoV 2.
Akan tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang diberikan lopinavir-ritonavir 400/100 mg 2 kali sehari selama
14 hari tidak memiliki efek yang signifikan terhadap perbaikan klinis maupun penurunan mortalitas, jika dibandingkan dengan terapi standar.
Temuan serupa juga dikemukakan oleh studi yang dijalankan oleh WHO.
Tocilizumab
Tocilizumab merupakan inhibitor interleukin-6 (IL-6) yang umum digunakan pada rheumatoid arthritis atau systemic juvenile
idiopathic arthritis. Obat ini dilaporkan dapat menurunkan kerusakan pada jaringan paru akibat infeksi COVID-19 yang serius. Dalam
panduan penanganan COVID-19 di Cina, obat ini dianjurkan pada pasien COVID-19 gejala berat dengan peningkatan kadar IL-6.
Beberapa studi telah menunjukkan pemberian tocilizumab dapat meningkatkan perbaikan klinis pada pasien. Studi lebih besar
dibutuhkan untuk evaluasi efikasi dan keamanan penggunaan obat ini.
Oseltamivir
Oseltamivir merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya untuk pengobatan influenza A dan B. Obat ini bekerja dengan
menghambat neuraminidase yang terdistribusi pada permukaan virus, sehingga mencegah penyebaran virus pada tubuh pasien. Obat ini
banyak digunakan di Cina sebagai terapi COVID-19, tetapi belum banyak bukti yang menunjukkan efektivitas obat ini. Oseltamivir telah
direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sebagai pengobatan COVID-19 untuk pasien dengan gejala ringan sampai
berat dengan dosis 75 mg/12 jam PO selama 5–7 hari.
Akan tetapi, tampaknya telah terjadi salah penafsiran pada awal pandemi bahwa oseltamivir direkomendasikan oleh pedoman dari
Amerika Serikat sebagai terapi influenza musiman, sehingga obat ini ditujukan untuk pasien dengan gejala influenza yang secara klinis bisa
saja pasien tersebut menderita COVID-19. Saat ini, oseltamivir sudah tidak dianjurkan dalam pedoman tersebut.
Umifenovir
Umifenovir merupakan agen yang telah disetujui di negara Rusia dan Cina sebagai terapi dan profilaksis influenza. Obat ini bekerja
dengan menginhibisi fusi virus dengan sel inang. Efikasi umifenovir sebagai terapi COVID-19 sampai sekarang masih sangat terbatas. Studi
Wang et al menunjukkan bahwa pengobatan umifenovir dapat meningkatkan tingkat pemulangan pasien dengan penurunan tingkat kematian.
Namun, studi Huang et al menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup untuk membuktikan penggunaan umifenovir dapat
memperbaiki luaran klinis. Berdasarkan pedoman penanganan COVID-19 di Indonesia, penggunaan umifenovir masih tidak disarankan
karena membutuhkan studi lebih lanjut.
Nitazoxanide
Nitazoxanide merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk terapi diare infeksius yang berhubungan dengan parasit dan enteritis.
Beberapa studi lain juga telah menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek antiviral dengan mengganggu translasi seluler virus, reproduksi,
dan penyebaran virus.
Walaupun berdasarkan teori obat ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi COVID-19, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk
mengevaluasi efikasi dan keamanan obat ini. Obat ini juga masih belum disetujui penggunaannya di Indonesia.
Camostat Mesylate
Camostat mesylate merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya di Jepang untuk pengobatan pankreatitis. Studi telah
menunjukkan bahwa camostat mesylate dapat menginhibisi infeksi SARS-CoV-2 dari sel paru dengan cara menghambat protease TMPRSS2
pada sel inang yang dibutuhkan virus untuk infeksi. Sampai sekarang, belum ada studi yang menunjukkan efikasi dan keamanan obat ini
untuk pasien COVID-19, sehingga penggunaannya masih tidak disarankan.
Saat ini, belum banyak data tentang mortalitas pasien COVID-19 yang berkaitan dengan interferon-β1a. Namun Solidarity
Trial menunjukkan bahwa tidak terdapat pengurangan angka mortalitas pada pasien COVID-19 yang mendapatkan interferon-β1a secara
intravena atau subkutan. Farmakokinetik obat ini berbeda-beda berdasarkan rute pemberiannya. Studi tentang efikasi interferon-β1a yang
diberikan secara subkutan dan nebulisasi sedang berlangsung.
Azithromycin
Azithromycin merupakan antibakteri yang memiliki efek antiviral yang signifikan seperti pada virus ebola, Zika, respiratory syncytial
virus, influenza H1N1, enterovirus, dan rhinovirus. Azithromycin dapat mengganggu masuknya virus dalam sel inang dan meningkatkan
respons imun terhadap virus. Berapa studi sudah menunjukkan efikasi azithromycin pada COVID-19.
Studi lebih lanjut mengenai azithromycin sebagai monoterapi pada pasien COVID-19 perlu dilakukan. Berdasarkan pedoman COVID-
19 di Indonesia, pemberian azithromycin dianjurkan pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19 dengan dosis 1x500 mg PO
selama 5 hari untuk kasus ringan dan 500 mg/24 jam IV atau PO selama 5–7 hari untuk kasus sedang sampai berat.
Kolkisin
Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang umum digunakan sebagai terapi gout. Obat ini bekerja dengan mengganggu migrasi
neutrofil ke daerah inflamasi dan menghentikan kompleks inflamasi dari neutrofil dan monosit. Pada pasien COVID-19, efek ini berfungsi
untuk menurunkan inflamasi miosit kardiak. Efek kolkisin dalam menurunkan badai sitokin pada pasien COVID-19 sampai sekarang masih
diteliti lebih lanjut. Penggunaan kolkisin pada pasien COVID-19 juga belum direkomendasikan dan menunggu studi yang lebih besar.
Plasma Konvalesen
Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen memiliki luaran klinis yang lebih baik dan dapat menurunkan tingkat
kematian. Studi pemberian plasma konvalesen pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang sedang diteliti pada berbagai
senter uji klinis di seluruh dunia. Dosis baku yang diperlukan sampai sekarang masih belum dapat ditentukan dan masih menunggu kepastian
dari studi di berbagai negara.
Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan plasma pasien COVID-19 yang sudah sembuh dengan metode plasmaferesis kepada
pasien COVID-19 yang berat atau mengancam nyawa.
Terapi Lainnya.
Penggunaan kortikosteroid, seperti dexamethasone kini telah terbukti dapat menurunkan mortalitas pada kasus COVID-19 yang berat,
yaitu pasien yang mendapatkan intubasi dan ventilasi mekanik atau non-invasive ventilation (NIV) atau high flow nasal oxygen (HFNO).
Dexamethasone tidak diindikasikan pada kasus COVID-19 yang ringan dan hanya diberikan jika ada indikasi tertentu.
Penggunaan antibiotik juga harus diberikan sesuai kemungkinan etiologi. Pada keadaan sepsis, antibiotik empiris dapat diberikan
dalam waktu 1 jam. Pada pasien COVID-19 yang diterapi menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), ditemukan memiliki luaran
yang buruk. Penggunaan OAINS dapat diberikan hanya jika terdapat indikasi klinis. Saat ini penggunaan ivermectin untuk profilaksis dan
terapi COVID-19 juga sedang diteliti lebih lanjut. Protokol MATH+ untuk manajemen COVID-19 juga saat ini sedang diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
. (2020). Immunopathology of SARS-CoV-2 Infection : Immune Cells and Mediators , Prognostic Factors , and Immune-Therapeutic
Implications. Journal of Molecular Sciences, 21(4782), 1–19. https://doi.org/10.3390/ijms21134782
Farley, M., & Zuberi, J. (2020). COVID-19 Precipitating Status Epilepticus in a Pediatric Patient. Journal of Case Report, 21, 1–4.
https://doi.org/10.12659/AJCR.925776
Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese, N., & Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19 )
Current Status and Future Perspectives : A Narrative Review. International Journal of Environmental Research and Public
HealthEnvironmental Research and Public Health, 17(2690), 1–11. https://doi.org/10.3390/ijerph17082690
Guan, W., Ni, Z., Hu, Y., Liang, W., Ou, C., He, J., … Zhong, N. (2020). Clinical Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. The
New England Journal of Medicine, 382(18), 1708–1720. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2002032
Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020). Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2),
119–129.
Holshue, M. L., DeBolt, C., Lindquist, S., Lofy, K. H., Wiesman, J., Bruce, H., … Pillai, S. K. (2020). First Case of 2019 Novel Coronavirus
in the United States. The New England Journal of Medicine, 382(10), 929–936. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001191