Anda di halaman 1dari 32

STUDI KASUS KEPERAWATAN

PALIATIF DAN MENJELANG AJAL

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Monique Indah Tri Ana Santi (201811001)


2. Adrianus Janson (201811002)
3. Agata Cynthia (201811003)
4. Aisyia Muktisari (201811004)
5. Anastasia Noverina (201811005)
6. Angelina Ajeng Lestari Kunu (201811007)
7. Anggie Pratiwi (201811008)
8. Arnida Putri Agustina (201811009)
9. Cicilia Eka Novidyastanti (201811010)
10. Cindy Dwi Lestari (201811011)
11. Corrina Jessie (201811012)
12. Dea Rachel Noela (201811013)
13. Deyana Paramitha (201811015)
14. Divana Rizky Aprilia (201811017)
15. Dwi Minarti (201811018)

S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

ST. ELISABETH SEMARANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang menyebabkan
proses difud pembentukan nodul dan firbrosis. Prevalensi penyakit sirosis
hepatis di dunia diperkirakan 100 (kisaran 25-100)/100.000 penduduk,
tetapi hal tersebut bervariasi menurut negara dan wilayah. Sirossi hepatis
menempati urutan ke-14 penyebab tersering kematian pada orang dewasa
di dunia. Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia,
rata rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang
dirawat di bangsal Penyakit Dalam1.
Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alkohol dan
Hepatitis C, sedangkan di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis adalah
Hepatitis B (40%-50%).Kasus SH hampirdijumpai di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Kejadian SH lebihbanyakditemukan di laki-laki pada
usia 30–60 tahun dan puncaknya pada usia 40–49 tahun.
Jarangditemukankasus pada usia 10–20 tahun. Kasus SH
terutamadisebabkan oleh virus hepatitis B, C, alkohol, penyakitmetabolik,
gangguanimun, toksik dan obat, malagizi, infeksi dan oleh sebab yang
tidak diketahui (sirosiskriptogenik/heterogenous). Penderita yang pantang
mengonsumsi alkohol, memiliki angka harapan hidup 5 tahun mencapai
60-70%, dan berkurang menjadi 40% pada mereka yang terus
mengonsumsi alkohol. Karsinoma hepatoselular terjadi pada 10% sirosis
yang stabil, yang biasanya berkembang setelah periode pemantangan
mengonsumsi alkohol jika terdapat sirosis makronodular13.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata
yaitu sirosis hati yang belum menunjukkan gejala klinis dan sirosis hati
dekompensata yaitu sirosis hati yang menunjukkan gejala-gejala yang
jelas. Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
secara tidak sengaja saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena penyakit lain.
Rencana keperawatan disusun tergantung kepada masalah
keperawatan yang ditemukan pada pasien. Implementasi keperawatan
disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah disusun, dan kondisi
pasien. Serta evaluasi yang didapatkan sesuai dengan NOC yang dilakukan
selama 5 hari dimana ketidakefetifan pola napas teratasi, kelebihan volume
cairan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, resiko
infeksi, intoleransi aktivitas masalah teratasi sebagian. Disarankan pada
penderita sirosis hepatis untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori
dan tinggi protein dan menghabiskan diit yang diberikan oleh ahli gizi14.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu menganalisa kasus dengan
diagnosa medis Sirosis Hepatis dalam keperawatan paliatif dan
menjelang ajal
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui bentuk keperawatan
paliatif berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
b. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui peran tenaga kesehatan
berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
c. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui kebijakan perawatan
paliatif berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
d. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui spiritual care terhadap
keperawatan paliatif berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
e. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui tinjauan agama terhadap
keperawatan paliatif berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
f. Mahasiswa diharapkandapat mengetahui sosial budaya terhadap
keperawatan paliatif berdasarkan pada kasus Sirosis Hepatis
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami keperawatan paliatif terhadap
kasus diagnosa medis Sirosis Hepatis.
2. Bagi para Perawat
Peran perawat sebagai tenaga kesehatan yang harus dapat
memberikan perawatan paliatif kepada pasien dengan baik dan benar.
BAB II

ISI

A. Kasus
Seorang perempuan usia 55 tahun didiagnosa medis sirosis hepatis. Saat
ini pasien dirawat karena mengalami sesak nafas, asites, ikterik dan
riwayat muntah darah. Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium, USG
dan MRI menunjukkan adanya tanda-tanda sirosis hepatis dan sumbatan
pada saluran empedu akibat batu empedu.. Dokter memberikan beberapa
alternatif penyelesaian masalah kepada keluarga agar keluarga
memutuskan untuk tindakan selanjutnya yang akan diberikan ke pasien.
Alternatif yang diberikan dokter antara lain dilakukan transplantasi hati,
tindakan operasi untuk batu empedu dan asites, pengobatan suportif.
Dokter memberikan wacana bahwa apabila dilakukan tindakan operasi
pengambilan batu saluran empedu, masalah ikterik pasien tetap tidak
terselesaikan karena pasien sudah mengalami sirosis hati. Saat ini pasien
dirawat dengan biaya sendiri karena kartu BPJS pasien baru saja dibuat.

B. Analisa
1. Bentuk Keperawatan Paliatif
Rencana dilakukan transplantasi hati, tindakan operasi untuk batu
empedu dan asites, pengobatan suportif. Dokter memberikan wacana
bahwa apabila dilakukan tindakan operasi pengambilan batu saluran
empedu, masalah ikterik pasien tetap tidak terselesaikan karena pasien
sudah mengalami sirosis hati.
Perawatan paliatif merupakan jenis pelayanan kesehatan yang
berfokus untuk meringankan gejala klien, bukan berarti
kesembuhan. Perawatan paliatif berupaya meringankan penderitaan
penderita yang sudah sakit parah dan tidak dapat disembuhkan seperti
misalnya kanker stadium akhir, penderita penyakit motor neuron,
penyakit degeneratif saraf dan penderita HIV/AIDS. Pada akhirnya
penderita diharapkan dapat menjalani hari-hari sakitnya dengan
semangat dan tidak putus asa serta memberi dukungan agar mampu
melakukan hal-hal yang masih bisa dilakukan dan bermanfaat bagi
spiritual penderita. Perawatan paliatif diberikan sejak diagnosa
ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak memperdulikan pada
stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak
perawatan paliatif harus diberikan kepada penderita.
Quality of life adalah bagaimana kualitas seseorang apabila dilihat
dari interaksi dengan kehidupan di sekitarnya. Konsep kualitas hidup
menjadi penting untuk dibahas dalam mengevaluasi hasil akhir kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para professional kesehatan
sejalan dengan tumbuhnya kesadaran bahwa kesejahteraan penderita
menjadi pertimbangan yang penting dalam memilih terapi pengobatan
dan untuk mempertahankan kehidupan. Kualitas hidup menjadi
pertimbangan bermakna untuk masyarakat pada umumnya, dan
pelayanan kesehatan pada khususnya.2
Inti dari praktek keperawatan adalah caring, Theory of caring
swanson menjelaskan perilaku caring meliputi: 3
a. Knowing (memahami peristiwa yang bermakna dalam kehidupan
klien)
b. Being With (kehadiran secara fisik dan emosional melalui
komunikasi terapeutik, memberi dukungan, kenyamanan,
pemantauan dan mengurangi perasaan yang tidak diinginkan klien)
c. Doing for (bersama pasien melakukan tindakan yang bisa
dilakukan, mengantisipasi kebutuhan yang diperlukan,
kenyamanan, menjaga privasi)
d. Enabling (memberdayakan klien dengan dukungan, informasi dan
memfasilitasi klien meningkatkan kesembuhan)
e. Maintaining Belief (menumbuhkan keyakinan klien dapat melalui
masalahnya, optimisme, dan penuh harapan).
Bentuk keperawatan paliatif berdasarkan kasus12 :

1. Membina kehidupan
Perawatan menjelang ajal berfokus untuk memberikan perhatian kepada
pasien dengan penyediaan kenyamanan dan pmeberian bantuan daripada
penyembuhan. Berdasarkan kasus, pasien mengalami sesak nafas, asites,
ikterik dan riwayat muntah darah sehingga tenaga medis berusaha
memberikan perawatan inap di Rumah Sakit karena lebih
menguntungkan. Di Rumah Sakit terdapat petugas kesehatan di pelayanan
palitif yang memiliki standart dan kualifikasi tinggi guna membantu
pasien menghadapi rasa sakit yang dirasakan dari segi biopsikososial
sampai spiritual.
2. Perawatan menjelang ajal
Sirosis hati merupakan komplikasi dari berbagai penyakit hati yang
akhirnya menjadi penyakit kronis. Walaupun harapan hidup pasien
singkat, bukan berarti tenaga medis berhenti melanjutkan perawatan.
Pasien mengalami gejala sesak nafas, asites, ikterik dan riwayat muntah
darah sejak setelah didiagnosa sirosis hati, maka diberikan rawat inap
serta adanya tindakan pemeriksaan laboratorium, USG, dan MRI untuk
melihat lebih lanjut tingkat keparahan pasien. Diketahui hasil
pemeriksaan pasien terdapat tanda-tanda sirosis hepatis dan sumbatan
pada saluran empedu akibat batu empedu. Akhirnya dokter menyarankan
operasi meskipun tindakan tersebut tidak menjamin kesembuhan, tetapi
akan meringankan gejala yang dialami pasien sehingga pasien tidak
merasa tersiksa sampai sebelum menjelang ajal.
3. Memberikan persetujuan tindakan medis/ informed consent untuk pasien
paliatif
Alternatif dari dokter berupa operasi serta penjelasan bahwa operasi
bukan jalan kesembuhan akan menjadi pertimbangan dari pasien dan
keluarga dalam menyetuji informed consent. Tenaga kesehatan wajib
memberikan pernyataan sesuai fakta bahwa pengobatan yang akan
diberikan bukan solusi kesembuhan namun jalan keluar untuk
meringankan gejala. Pada akhrinya persetujuan kembali pada pasien dan
keluarga dalam dokumen informed consent.
4. Melakukan tindakan dengan memantau dan mencegah komplikasi
Dalam kasus dijelaskan bahwa dokter menyarankan beberapa tindakan
operasi yang memungkinkan beberapa gejala mereda sebagai bentuk
perawatan paliatif untuk pasien dengan sirosis hati. Namun karena
diketahui bahwa pasien telah mencapai sirosis hati, maka masalah ikterik
tidak benar-benar tersembuhkan. Menurut bentuk perawatan paliatif, jenis
pelayanannya memang tertuju pada keringanan gejala yang dialami
pasien. Terkait kesembuhan pasien, belum pasti dapat terwujud sehingga
pasien dan keluarga sudah diberitahu sebelumnya bahwa usaha dengan
operasi tersebut bukan sebagai jalan kesembuhan tetapi untuk
meringankan gejala yang dialami pasien. Apabila operasi dilaksanakan
pada akhirnya kualitas hidup pasien meningkat karena gejala yang dialami
tidak semakin parah dan meluas atau sampai terjadi komplikasi.
5. Memperlakukan pasien secara bermartabat, empati, dan hormat, dan
penuh perhatian
Keperawatan Paliatif care tetap harus memperlakukan pasien secara
bermartabat dengan rasa hormat, empati, dan penuh perhatian. Sebagai
perawat kita juga ikut merasakan apa yang dirasakan pasien dan
menganggap segala keluhan pasien benar adanya.
6. Memfasilitasi partisipasi orang lain dalam perawatan pasien, memahami
kesedihan, kekhawatiran, dan memfasilitasi momen untuk lebih dekat
dengan keluarga
Sebagai perawat kita tidak hanya merawat pasien saja namun kita juga
perlu melakukan komunikasi terapeutik kepada pihak keluarga pasien.
Pasien pada kasus ini dengan keadaan sirosis hepatis kronis, sehingga
perawat juga memahami perasaan berduka yang sedang dialami keluarga
dan mengetahui keinginan keluarga terhadap pasien.
7. Ada dan hadir bersama pasien dan keluarga sebagai
koordinator/penghubung, komunikasi yang baik antara perawat dengan
pasien dan keluarga pasien dapat menghindari adanya miskomunikasi
Perawat perlu melakukan komunikasi kepada keluarga untuk
menginformasikan mengenai tindakan apa saja yang diberikan kepada
pasien, pada pasien ini akan dilakukan operasi pengangkatan batu saluran
empedu. Perawat juga menjelaskan mekanisme operasi yang akan dijalani
dan perawatannya, kemudian alat yang digunakan yaitu laparoskopi atau
selang tipis berkamera. Sehingga dengan hal ini menghindari perasaan
cemas, khawatir dan tidak adanya kekurangan informasi dari pihak
keluarga.

2. Peran Tenaga Kesehatan


Peran dokter dalam perawatan Palliative yang sesuai dengan kasus
adalah4
a. Sesuai dengan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 pasal 50 a, dokter
mempunyai hak dan kewajiban untuk memberikan pelayanan medis
menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, dalam
kasus dokter memberikan memberikan beberapa alternatif
penyelesaian masalah kepada keluarga dengan melakukan transplantasi
hati, tindakan operasi untuk batu empedu dan asites, pengobatan
suportif sesuai dengan penyakit pasien Serosis Hepatis dan sesuai dari
hasil pemeriksaan laboratorium serta keadaan pasien saat ini. Dan
memberikan pemahaman dan penjelasan kepada keluarga mengenai
penyakit pasien.
b. Sesuai dengan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 pasal 50 c, dokter
mempunyai hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya terkait dengan riwayat penyakitnya dan
keluhan-keluhan pasien sebelum dan sesudah terdiagnosa Serosis
Hepatis.
c. Sesuai dengan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 pasal 51 b, dokter
berkewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, karena dalam kasus dokter
memberikan beberapa alternative dengan melakukan transplantasi hati,
tindakan operasi untuk batu empedu dan asites, pengobatan suportif,
tentunya perlu adanya kolaborasi dengan dokter yang lebih kompeten
dalam bidangnya atau dokter spesialis sesuai tindakan yang akan
diterima pasien.
d. Sesuai dengan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 pasal 51 d, dokter
berkewajiaban melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melakukannya, karena saat ini pasien dirawat karena
mengalami sesak nafas, asites, ikterik dan riwayat muntah darah

Peran perawat dalam perawatan Palliative yang sesuai dengan kasus


adalah5
a. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat mengelola perawatan
dan pengobatan, menunjukkan sistem nilai kemanusiaan, memberikan
harapan, mengembangkan hubungan saling percaya, komunikasi
efektif, empati hangat, ekspresi perasaan positif, memberikan support,
perlindungan, koreksi mental, sosiol kultural, melibatkan eksistensi
spiritual, menggunakan proses pemecahan masalah yang kreatif,
meningkatkan hubungan interpersonal dan proses belajar, membantu
pemenuhan kebutuhan dasar pasien sesuai yang tercantum dalam UU
No 38 tahun 2014 Keperawatan tentang kewajiban perawat dalam
memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional,
dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
b. Sebagai advocator, perawat membantu menginterpretasi informasi dari
semua pemberi pelayanan kesehatan, khususnya dalam pengambilan
keputusan. Dalam kasus Dokter memberikan beberapa alternatif
penyelesaian masalah kepada keluarga agar keluarga memutuskan
untuk tindakan selanjutnya yang akan diberikan ke pasien. Alternatif
yang diberikan dokter antara lain dilakukan transplantasi hati, tindakan
operasi untuk batu empedu dan asites, pengobatan suportif. Dalam hal
ini perawat berperan dalam membantu menginterpretasikan informasi
jika pasien atau keluarga kesulitan dalam memahami informasi.
Perawat membantu dalam menjelaskan informasi yang berhubungan
dengan tindakan yang akan diberikan kepada pasien, serta keuntungan
dan risiko dari tindakan tersebut. Diharapkan pasien dan keluarga dan
mengambil keputusan yang sesuai dengan kondisi pasien dan keluarga,
dengan tetap menghargai keputusan yang akan diambil.
c. Sebagai educator, perawat dengan memberikan informasi yang
lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan
Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sehingga mampu
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pasien dan keluarganya
mengenai penyakit serosis hepatis sesuai dengan batas
kewenangannya.
d. Sebagai kolaborator, perawat mengidentifikasi kebutuhan pasien dan
penentuan pelayanan berikutnya sesuai pemeriksaan dokter dan
rekomendasi dokter, untuk mengatasi masalah penyakit/keluhan
pasien. Perawat juga berkewajiban merujuk klien yang tidak dapat
ditangani perawat kepada tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai
dengan lingkup dan tingkat kompetensinya.
e. Sebagai konselor, perawat mampu memberikan memberikan
solusi/saran dalam setiap masalah yang dihadapi pasien dan
keluarganya. Terutama dalam mempertimbangkan dan menentukan
tindakan medis selanjutnya bagi pasien, dengan melihat sebab akibat,
biaya yang harus disiapkan dan ditanggung dalam proses keperawatan.
Sebatas wewenang yang bisa perawat lakukan.
3. Kebijakan Perawatan Paliatif
a. Etika Perawatan Paliatif
1) Autonomy (Otonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu
yang menuntut pembedaan diri. Oleh karena itu dalam otonomi
perawatan paliatif harus menghargai hak-hak pasien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya sendiri.
2) Non Maleficience (Tidak Merugikan)
Prinsi ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik
dan psikologis pada klien. Prinsip tidak merugikan (Non-
maleficience) memiliki arti bahwa tenaga kesehatan
berkewajiban untuk melakukan suatu tindakan yang tidak
merugikan orang lain.
3) Beneficiene (Berbuat baik)
Prinsip ini menentut perawat untuk melakukan hal yang
baik dengan begitu dapat mencegah kesalahan atau kejahatan.
Beneficience berarti, mengerjakan segala sesuatu dengan baik
atas dasar kepentingan pasien dan memberikan keuntungan
bagi pasien.
4) Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan
adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip
moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
praktek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk
terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan
yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
5) Veracity (Kejujuran)
Nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus
dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien untuk meyakinkan
agar klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat,
komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan dasar
membina hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi
sehingga mereka berhak mendapatkan informasi yang ia ingin
tahu dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan.
6) Confidentiality (Kerahasian)
Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien
hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan dan peningkatan
kesehatan klien. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan
harus dihindari. Komunikasi yang terjaga adalah informasi
yang diberikan oleh tim perawatan kepada pasien dengan
kepercayaan dan keyakinan informasi tersebut tidak akan
bocor.
7) Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas
atau tanda tekecuali. Secara moral kita memulai sesuatu yang
baik dengan melihat pada situasi untuk menentukan apa yang
harus dilakukan, berdasaran konsekwensi apa yang akan
dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.
b. Legal Perawatan Paliatif
1) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
a) Pasal 5
 Setiap orangmempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan
 Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau
 Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung
jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya
b) Pasal 8
 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan
yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan
c) Pasal 23 ayat 4
 Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
pada ayat 1 dilarang mengutamakan kepentingan yang
bernilai materi
d) Pasal 24
 Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
 Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
organisasi profesi.
 Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
e) Pasal 56
 Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
 Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku pada: penderita penyakit
yang penyakitnya dapat secara cepat menular kedalam
masyarakat yang luas, keadaan seseorang yang tidak
sadarkan diri, atau gangguan mental berat.
 Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
a) Pasal 52
 Pasien dapat menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai hak :
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal
45 ayat 3
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan medis
d. Menolak tindakan medis
e. Mendapatkan isi rekam medis
3) Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
a) Pasal 29
 Tentang kewajiban rumah sakit
 Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi admisnistratif
 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah
Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
b) Pasal 32
 Tentang hak pasien
c) Pasal 45
 Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif
4) Undang-undang No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan
a) Pasal 37
 Perawat yang menyelenggarakan Praktik
Keperawatan mandiri memiliki wewenang:
menyelenggarakan Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan; menyelenggarakan
penyuluhan dan konseling bagi Klien; dan
melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan
wewenang.
b) Pasal 38
 Perawat yang menyelenggarakan Praktik
Keperawatan ecara mandiri di tempat praktik
mandiri Perawat harus memenuhi persyaratan,
selain ketentuan persyaratan memperoleh SIPP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Medis
a) Pasal 8
b) Pasal 13
c) Pasal 14
d) Pasal 16
c. Analisa Etik Perawatan Paliatif
Menurut analisa kelompok, etik perawatan paliatif yang
terjadi pada pasien dalam kasus adalah etik Veracity (kejujuran)
yang mengacu pada pemberi layanan kesehatan harus
menyampaikan kebenaran yang akurat, komprehensif, dan objektif
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan diri
pasien selama menjalani perawatan. Analisa ini dibuktikan dengan
dokter memberikan beberapa alternatif penyelesaian masalah
kepada keluarga agar keluarga memutuskan untuk tindakan
selanjutnya yang akan diberikan ke pasien. Alternatif yang
diberikan dokter antara lain dilakukan transplantasi hati, tindakan
operasi untuk batu empedu dan asites, pengobatan suportif. Dokter
memberikan wacana bahwa apabila dilakukan tindakan operasi
pengambilan batu saluran empedu, masalah ikterik pasien tetap
tidak terselesaikan karena pasien sudah mengalami sirosis hati.
Sehingga etik veracity yang dimaksud adalah dokter memberikan
kebenaran tentang tindakan operasi pengambilan batu saluran
empedu yang akan dijalani pasien tetap tidak dapat mengatasi
masalah sirosis hepatis yang dialami pasien akibat dari masalah
ikterik yang sudah memburuk.

4. Spiritual Care
a. Pengertian
Spiritualitas dalam keperawatan, adalah konsep yang luas
meliputi nilai, makna dan tujuan, menuju inti manusia seperti
kejujuran, cinta, peduli, bijaksana, penguasaan diri dan rasa kasih;
sadar akan adanya kualitas otoritas yang lebih tinggi, membimbing
spirit atau transenden yang penuh dengan kebatinan, mengalir
dinamis seimbang dan menimbulkan kesehatan tubuh-pikiran-
spirit(1). Spiritual Care merupakan kegiatan perawat dalam
pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Berpedoman pada nilai-
nilai perawatan spiritual yang dapat dilakukan perawat
diantaranya memberikan peluang pada pasien agar terbuka
dalam mengekspresikan perasaannya, menguatkan pasien terkait
penyakitnya, namun tidak menjadikan agama sebagai alat promosi
dalam meyakinkan pasien terkait agamanya. Perawat dalam
melakukan bimbingan terapi spiritual pada pasien,
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien terkait jati
dirinya, membantu pasien dalam mengetahui kekuatan sumber
daya internal yang dimiliki, pembelajaran dalam
mengembangkan kepercayaan diri, mengurangi kecemasan, depresi
dan kesepian, meningkatkan harga diri serta motivasi diri,
membantu memperkuat pasien dalam melakukan interaksi dan
membina hubungan dengan orang lain (relationship) dan
membantu pasien dalam menemukan tujuan hidup. Pemenuhan
kebutuhan spiritual diperlukan oleh pasien dan keluarganya untuk
menemukan arti kehidupan yang dihadapi termasuk penderitaan
karena sakit dan merasa tetap dicintai oleh sesama manusia dan
Tuhan(2).
b. Komponen- Komponen Spiritual Care(3).
1. Menemui pasien sebagai seseorang manusia yang memilik arti
dan harapan
Perawatan spiritual adalah memungkinkan untuk
menemukan makna dalam peristiwa baik dan buruk kehidupan.
Perawatan spiritual juga sebagai sumber pasien untuk menyadari
makna dan harapan serta mengetahui apa yang benar-benar
penting untuk pasien. Memberikan harapan kepada pasien
adalah salah satu bagian yang paling penting dari perawatan,
terutama ketika mereka menghadapi pasien yang sedang sakit
parah. Dalam kasus pasien mengalami serosis hepatis, dengan
membantu pasien menemukan makna hidupnya maka pasien
akan lebih siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi
pada dirinya.
2. Menemui pasien sebagai seseorang manusia dalam hal
hubungan
Untuk mengurangi rasa sakit spiritual seseorang,
sebagaimana dalam sebuah hubungan, kita harus memperhatikan
orang-orang yang menghubungkan pasien kepada orang lain
setelah kematian diantara berbagai orang dan persitiwa yang
disebutkan. Perawatan spiritual adalah tentang melakukan,
bukan menjadi, dan menyatakan bahwa perawat lebih unggul
dari klien, ini melibatkan cara menjadi (daripada melakukan)
yang memerlukan hubungan perawat-klien simetris. Perawat
juga dapat membantu menghubungkan atau menemukan orang-
orang yang ingin ditemui pasien.
3. Menemui pasien sebagai seorang yang beragama
Keagamaan ini dicirikan sebagai formal, terorganisir, dan
terkait dengan ritual dan keyakinan. Meskipun banyak orang
memilih untuk mengekspresikan spiritualitas mereka melalui
praktik keagamaan, beberapa dari mereka menemukan
spiritualitas yang harus diwujudkan sebagai harmoni, sukacita,
damai sejahtera, kesadaran, cinta, makna, dan menjadi.
Perawat membantu pasien dan keluarganya dalam memaknai
hidup sesuai dengan agama dan keyakinannya.
4. Menemui pasien sebagai manusia dengan otonomi
Apabila pasien menyadari adanya bahwa mereka masih
memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri disetiap
dimensi mengamati, berfikir, berbicara, dan melakukan, yaitu
persepsi, pikiran, ekspersi dan kegiatan melalui pembicaraan
dengan perawat untuk memulihkan rasa nilai sebagai sebagai
seseorang dengan otonomi. Dalam kasus Dokter memberikan
wacana bahwa apabila dilakukan tindakan operasi
pengambilan batu saluran empedu, masalah ikterik pasien tetap
tidak terselesaikan karena pasien sudah mengalami sirosis hati.
Namun jika pasien masih sadar maka seluruh keputusan ada
pada pasien, jika passion sudah tidak kompetensif maka
keluargaboleh membuat keputusan.
c. Paradigma(1).
Paradigma dalam keperawatan holistik, body-mind-spirit
adalah sesuatu yang saling ketergantungan dan saling memperkuat
satu sama lain. Setiap manusia mempunyai komponen body-mind-
spirit, keberadaannya sangat diperlukan dalam proses
penyembuhan (healing). Kata healing itu sendiri berasal dari kata;
whole dan holy, keduanya berasal dari asal kata yang sama hol,
yang berarti whole = menyeluruh. Paradigma inilah yang
memberikan sugesti secara alamiah bahwa proses penyembuhan
merupakan proses spiritual yang mencerminkan totalitas manusia.
Totalitas spiritual manusia tampak pada domain spiritual, berupa;
mystery, love, suffering, hope, forgiveness, peace and
peacemaking, grace, and prayer.
1. Mystery
Mystery adalah pengalaman manusia yang melekat
dalam kehidupannya, dan ini merupakan nilai spiritual yang
melekat dalam dirinya. Mystery adalah sesuatu yang
dimengerti dan dapat menjelaskan yang akan terjadi setelah
kehidupan ini. Kepercayaan terhadap apa yang terjadi setelah
kehidupan inilah yang memberi nilai spiritualitas manusia,
sehingga dia bisa menilai kualitas perilaku dalam kehidupan
untuk kehidupan akhirat. Kepercayaan terhadap nilai
kehidupan akhirat akan memberikan spirit khusus, menjadi
motivator persepsi dalam memaknai sehat sakit, menjadi
sumber kekuatan dalam proses penyembuhan yang dapat
mengalahkan semua kesakitan dan penderitaan di dunia. Hidup
di dunia hanyalah sementara, kehidupan akhikrat akan kekal
selamanya, dan semua bekal kehidupan kekal di akhirat harus
di bangun dan diciptakan selama hidup di dunia.
2. Love
Cinta merupakan sumber dari segala kehidupan, menjadi
bahan bakar dari nilai spiritual, karena perasaan cinta berasal
dari hati, pusat dari penampilan ego seseorang. Ego adalah
pemenuhan kebutuhan dasar manusia sesuai dengan tahap
pertumbuhan dan perkembangannya. Cinta, seperti sebuah spirit,
tidak jelas tempatnya, waktu, dan situasi dimana perasaan
tersebut dirasakan, tetapi ini merupakan sumber energi dalam
proses penyembuhan. Hubungan antara cinta dan proses
penyembuhan adalah meneruskan berbagai sumber untuk
eksplorasi sesuatu yang menakjubkan dalam proses
penyembuhan.
3. Suffering
Keberadaan dan arti penderitaan adalah merupakan
domain spiritual. Penderitaan adalah salah satu issue inti dari
misteri kehidupan, dapat terjadi karena masalah fisik, mental,
emosional dan spiritual. Meskipun demikian, tidak semua orang
merasakan penderitaan yang sama untuk suatu keadaan yang
sama. Perasaan dipengaruhi oleh konsep sakit dan nilai spiritual
tentang makna penderitaan, budaya, latar belakang keluarga,
amalan keagamaan, dan kepribadian seseorang. Perawat perlu
memperhatikan respon penderitaan seseorang karena akan
mempengaruhi konsep sehat sakit dan upaya mencari
penyembuhan.
4. Hope
Harapan terkait dengan keinginan di masa yang akan
datang, berorientasi pada masa yang akan datang. Ini adalah
merupakan energi spirit untuk mengantisipasi apa yang akan
terjadi kemudian, bagaimana caranya bisa menjadi lebih baik.
Disinilah makna spiritualitas dari sebuah harapan. Harapan
merupakan hubungan yang positif antara harapan, spiritual well-
being, nilai keagamaan, dan perasaan positif lainnya.
Menanamkan harapan dalam kehidupan spiritual yang
sesungguhnya akan menjadi fondasi utama dalam menemukan
makna kehidupan seseorang, menjadi penentu arah dalam
pilihan kehidupan, menjadi dasar dalam berfikir dan berperilaku
seseorang. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai spiritual orang
tua kepada anak menjadi hal penting dalam membangun masa
depan anak, menjadi penentu arah kemana mereka akan
berkemban
5. Forgiveness
Pemaaf adalah komponen utama dari self-healing. Sikap
mau memaafkan adalah kebutuhan yang mendalam dan
pengalaman yang sangat diharapkan dapat dilaksanakan
seseorang. Keadaan ini memerlukan keyakinan kuat bahwa
Tuhan Maha Pemaaf.
6. Peace and Peacemaking
Damai dan pembentukan perdamaian bagi sebagian
orang tidak bisa dipisahkan dari keadilan yang melekat pada diri
seseorang, dimana seseorang bisa hidup dan berada dalam
langkungan alamiah dan menyembuhkan. Kedamaian ini tidak
tergantung dari lingkungan eksternal, banyak orang datang dari
sisi kelam kehidupan atau brutal menjadi pejuang perdamaian.
Keadaan ini mengalir dari hubungan yang membuat kita
bertahan dalam kehidupan yang damai. Ini adalah pencapaian
spiritualitas yang besar.
7. Grace
Anggun, lemah lembut adalah pengalaman yang
mengandung elemen surprise atau kejutan, perasaan terpesona,
kagum, misteri dan perasaan bersyukur akan keadaan kita.
Grace merupakan dukungan yang diperlukan untuk mengatasi
sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. Grace
dalam kehidupan nyata lebih tampak pada rasa bersyukur atas
apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Bersyukur adalah
berterimakasih, pengakuan kepada Tuhan bahwa semua
kenikmatan adalah pemberian Tuhan. Kita awalnya tidak ada,
lahir, tumbuh, berkembang, sehat, cantik, tampan, pandai,
bahagia, semua adalah pemberian Tuhan yang tidak ternilai
harganya. Tidak ada alasan manusia untuk tidak bersyukur
sampai kita nanti kembali menghadap Tuhan untuk
mempertanggung jawabkan semua apa yang telah diberikan.
Bersyukur merupakan indikator keimanan dan pengakuan atas
kekuasaan Tuhan.
8. Prayer
Berdoa merupakan ekspresi dari spiritualitas seseorang.
Berdoa adalah insting terdalam dari manusia, keluar dari suatu
kesadaran yang tinggi bahwa Tuhan adalah maha mengatur
semua kehidupan. Berdoa meliputi pencarian terhadap hubungan
erat dan komunikasi dengan Tuhan atau sumber yang misterius.
Berdoa adalah usaha keras untuk memohon kepada Tuhan agar
diberikan kebaikan, keberkahan, kemudahan, kesehatan, jalan
keluar dari segala kesulitan dan lain-lain.
d. Terapi Perawatan Spiritual
Terapi perawatan spiritual yang paling sering
diberikan yaitu menawarkan untuk membacakan kitab suci
pasien, mengatur waktu kunjungan pemuka agama,
mendokumentasikan perawatan spiritual yang disediakan,
menawarkan untuk berdoa dan mendorong pasien untuk bercerita
tentang tantangan spiritual hidup dan penyakit. Sebuah studi
melakukan review masa lalu pasien, perawat mengajak pasien
berpikir positif dengan mengingat kembali hal-hal positif yang
telah dicapai selama hidup. Peserta menunjukkan bahwa dengan
mengingat masa lalu mereka mendapat kesempatan untuk
mengenali rasa cinta dan peduli keluraga dan teman teman
mereka dan belajar untuk menghargai hubungan mereka. Untuk
itu mereview membantu mereka mengubah beberapa perasaan
kebencian menjadi bersyukur(2).
Menurut kasus kami, pasien telah melakukan
pemeriksaan penunjang laboratorium, USG dan MRI dan hasilnya
menunjukkan adanya tanda-tanda sirosis hepatis dan sumbatan
pada saluran empedu akibat batu empedu. Dokter juga telah
memberikan beberapa alternative kepada keluarga pasien, untuk
dapat didiskusikan guna memberikan keputusan yang terbaik bagi
pasien dan mengingat pasien dirawat dengan biaya sendiri karena
kartu BPJS pasien baru saja dibuat. Untuk menerapkan Spiritual
Care, seorang perawat memberikan peluang pada pasien agar
terbuka dalam mengekspresikan perasaannya, menguatkan
pasien terkait penyakitnya, mengurangi kecemasan, depresi dan
kesepian, meningkatkan harga diri serta motivasi diri, membantu
memperkuat pasien dalam melakukan interaksi, membina
hubungan dengan orang lain (relationship) dan membantu
pasien dalam menemukan tujuan dan makna hidup. Perawat tidak
hanya memenuhi kebutuhan fisiknya tetapi kebutuhan spiritual
yang dibutuhkan pasien. Dan kebutuhan spiritualitas diusahakan
sama kadarnya dengan pemenuhan kebutuhan fisiknya . Walaupun
di Rumah Sakit tertentu ada pelayanan Pastoral Care untuk semua
agama, namun peran perawat dalam memberikan spiritual care
tidak boleh diabaikan. Pertama-tama perawat harus mengetahui
agama/keyakinan pasien, sehingga ketika melakukan pendekatan
spiritual tidak salah. Mungkin saja pasien membutuhkan pelayanan
doa atau sakramen pengurapan orang sakit bagi yang beragama
katholik. Dengan pendekatan secara menyeluruh dan utuh maka
akan sangat mudah membina hubungan saling percaya antara
pasien dan perawat. Tidak semata-mata menjanjikan kesembuhan
total, tetapi bagaimana pasien dapat termotivasi dan semangat
dalam menjalani perawatan oleh karena penyakitnya. Sehingga jika
tiba saatnya menjelang kematian pasien sudah siap dan dapat
mnerima penyakitnya. Selain untuk memberikan dukungan
spiritual kepada pasien, perawat juga harus memberikan dukungan
spiritual kepada keluarga, agar keluarga pun siap menerima segala
kemungkinan yang terjadi pada pasien. Perawat juga sebaiknya
memberikan kenyamanan kepada pasien dan keluarganya, tidak
sekedar dating untuk mengobati penyakitnya tetapi memberikan
diri untuk mau mendengarkan pasien tersebut, bisa juga dengan
mendatangkan orang-orang yang ingin dijumpainya disaat-saat
menjelang ajalnya, memberikan support yang mendukung pasien
dalam menerima penyakitnya. Sehingga jika pasien meninggal
dapat meninggal dengan bahagia dan bermartabat.

5. Tokoh Agama
a. Peran Agama dalam Keperawaan Paliatif
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis
dalam agama dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan
dukungan dalam penyakit fisik yang serius. Profesional kesehatan
yang memberikan perawatan medis menyadari pentingnya
memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan' pasien. Sebuah
pendekatan kasih sayang akan meningkatkan kemungkinan
pemulihan atau perbaikan. Dalam contoh terburuk, ia menawarkan
kenyamanan dan persiapan untuk individu melalui proses traumatis
penyakit terakhir sebelum kematian. Studi pasien dengan penyakit
kronis atau terminal telah menunjukkan kejadian insiden tinggi
depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain menunjukkan
bahwa tingkat depresi sebanding dengan tingkat keparahan
penyakit dan hilangnya fungsi tambahan. Sumber depresi adalah
sekitar isu yang berkaitan dengan spiritualitas dan agama. Pasien di
bawah perawatan palliative dan dalam keadaan seperti itu sering
mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian.
Dari sudut pandang keagamaan, baik agama Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, maupun Budha tidak menentang tindakan
perawatan paliatif. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi penderitaan pasien yang merupakan
perbuatan baik yang dianjurkan oleh setiap agama. Peran agama
dalam keperawatan paliatif diantaranya sebagai spiritual
nourishment dan pencegahan penyakit, mekanisme koping dan
factor yang berkontribusi dalam pemulihan pasien, dan sebagai
sumber penyembuhan bagi pasien terminal. Peran perawat dalam
keperawatan paliatif yaitu sebagai care provider yang harus
mengintegrasikan konsep dari teknologi body, mind and spirit ke
dalam praktik keperawatan melalui pengkajian spiritualitas pasien
dan nyeri yang dialami pasien dan melalui intervensi terapeutik
b. Tinjauan tiap Agama tentang Keperawatan Paliatif
1) Agama Islam
Perawatan paliatif dalam agama Islam menggunakan
Metode Counselling, konseling Islam yang dilakukan diarahkan
pada peningkatan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan pada
pasien dengan peyakit terminal terhadap ajaran Islam, seperti
mengakui kesalahan (taubatan nasuha), mendekatkan diri pada
Allah, tekun salat, dan menjalani kehidupan selanjutnya dengan
lebih bermakna. Proses ini mampu mengantarkan pasien
mendapatkan kondisi psikologis positif. Dengan demikian pada
akhirnya dapat dilihat bahwa konseling Islam mampu
meningkatkan kualitas hidup pasien terutama dalam menangani
masalah psiko-sosiospiritual pasien. Peningkatan kualitas hidup
pasien inilah yang berarti terwujudnya palliative care.
2) Agama Katholik
Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit
untuk menjalani dan pengobatan paliatif, selama pengobatan –
pengobatan ini dapat menyembuhkan atau membuat keadaan
menjadi lebih baik. Hal ini berdasarkan pada landasan ajaran
agama Katolik, yaitu Hukum Cinta Kasih dan KGK 1506 – 1510,
dimana Kristus mengajak para murid – muridnya dan juga gereja
untuk menyembuhkan dan merawat para orang – orang sakit.
Sakramen Pengurapan Orang Sakit perlu diterima tiap saat
penyakit memuncak menjadi gawat, yang menimbulkan keadaan
jasmani manusia sangat mencemaskan. Dengan pengurapan orang
sakit, Gereja dalam keseluruhannya menyerahkan si sakit kepada
kemurahan Tuhan, agar Ia menguatkan dan meluputkannya. Jika si
sakit telah melakukan dosa, maka dosanya itu diampuni. “Dan doa
yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan
Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa,
maka dosanya itu akan diampuni”(Yak 5:15).
3) Agama Kristen
Perawat dari segi rohani kristen adalah suatu panggilan
untuk menolong sesame sebagai insan ciptaan yang Maha
kuasa,pangilan sebagai seorang perawat terlepas dari menolong
dari sisi fisik tetapi ada hal yang tak kala penting yaitu bagaimana
perawat sebagai beban pengabdian yang tidak melupakan sisi
psikologis dan bahkan rohani spiritual kristen untuk memberikan
dukungan spriritual,sehinga pasien paliatif betul – betul merasakan
asuhan keperawatan dengan dasar kasih Yesus untuk memperoleh
pemulihan iman dan yakin bahwa ada kuasa yang dasyat dibalik
semua situasi yang dialami melalui jamahan rohani kristen melalui
perawat.
4) Agama Budha
Agama Buddha tidak memandang kematian sebagai akhir
dari segalanya, artinya pada saat kita meninggal pada kehidupan
ini, kita akan lahir menjadi makhluk lain di kehidupan yang
selanjutnya. Maka dari itu, pada saat seseorang berada pada
stadium terminal, maka seharusnya pasien dianjurkan untuk
melakukan kebaikan sebanyak mungkin agar ia dapat terlahir di
alam yang bahagia di kehidupan yang selanjutnya.
5) Agama Hindu
Makna kematian untuk menyadarkan setiap manusia akan
akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun
bantuan teknologi atau ilmu kedokteran yang dimilikinya, pada
akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama yaitu didalam
kubur atau menjadi segenggam debu. Kematian adalah hal yang
sangat penting yang menentukan arti kehidupan sesesorang, jadi
harus selalu mengingat Tuhan menjelang ajal sehingga mampu
menghantarkan ke tempat indah dalam spiritual.

6. Sosial dan Budaya

Bila penderita sirosis hepatis mengalami keluhan yang sudah


tidak dapat diatasi dengan pendekatan farmakologi, maka aspek sosial,
kultural dan spirituallah yang diharapkan masih mampu meringankan
keluhan dari pasien. Oleh karena itu, seorang pasien paliatif yang
sudah pada stadium lanjut harus mendapatkan perawatan supportif
agar gejala-gejala penderitaan fisik yang timbul dapat diturunkan.
Penderita merasa tidak ditinggalkan sendiri dalam menghadapi rasa
sakitnya dan inilah dukungan utama yang mampu meringankan
penderitaan pasien paliatif. Status sosial masayarakat yang
mempersepsikan sakit bahwa pengobatan non-medis lebih sedikit
membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu. Dalam fenomena sosial
sebagian masyarakat, perilaku mencari dan memelihara kesehatan pada
ahli non-medis tersebut sudah mendapatkan pembenaran dan bahkan
terkadang lingkungan di sekitar individu yang sedang berperanan sakit
mereferensikan si sakit pada pengobatan alternatif/non-medis.10
Dalam aspek sosial perawatan paliatif perawatan dapat
diberikan oleh keluarga, teman, dan orang lain dengan berkomunikasi
dengan pasien,memberikan interaksi, dan dukungan. Pasien harus tetap
berinteraksi dengan lingkungannya. Peer support group efektif
meningkatkan persepsi dukungan sosial untuk pasien yang merasa
tidak didukung. Dukungan sosial mencakup beberapa dimensi yaitu,
dukungan emosional lewat rasa empati dan pengertian, memiliki
pengaruh positif, dan mendorong ekspresi perasaan, dan dukungan
informasi yang mencakup penawaran informasi, bimbingan, saran dan
dukungan akan kasih sayang. Hubungan sosial dapat membuat pasien
dalam suasana hati yang lebih baik dan memberi mereka rasa identitas
dan persahabatan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan kebermaknaan hidup dengan membantu mereka
mengatasi penderitaan mereka secara lebih efektif dan membuat
mereka merasa dihargai, dicintai, dan di rawat.11

Menurut Analisa kelompok, Jika dikaitkan dengan kasus pada


pasien mengalami sirosis hepatis dan ada beberapa alternatif yang
diberikan namun tetap tidak dapat menghilangkan sakit pasien, serta
ditinjau dari ekonomi pasien yang dirawat dengan biaya sendiri karena
BPJS pasien sedang dibuat. Pasien diberikan perawatan suportif dan
didampingi juga oleh keluarga. Keputusan alternatif tindakan berada di
tangan keluarga pasien agar dapat memutuskan tindakan selanjutnya.
Pasien diberikan tindakan medis seperti transplantasi hati maupun
operasi untuk batu empedu dan asites. Ataupun jika keluarga memilih
alternatif lain dari pengobatan non-medis. Lingkungan kehidupan dari
pasien dan keluarga juga bisa mempengaruhi pengambilan keputusan
pengobatan yang diambil dan dengan terciptanya interaksi antara
pasien dengan keluarga dan orang lain disekitarnya membuat hidup
pasien lebih bermakna karena pasien merasa dihargai dan dicintai oleh
lingkungannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang menyebabkan
proses difud pembentukan nodul dan firbrosis. Stadium awal sirosis sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan secara tidak sengaja saat pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain. Sirosis
Hepatis merupakan penyakit yang membutuhkan perawatan dan
penanganan yang cepat dan efektif oleh medis, oleh karena itu peran
perawat dalam pemberian asuhan keperawatan dan dukungan keluarga
sangat menentukan keberhasilan dari setiap prosedur keperawatan yang
dilakukan. Kata “paliatif” berasal dari kata Latin pallium (mantel); kata
kerja palliare yang berarti mengenakan mantel pada, menutupi. Terapi
paliatif seolah-olah “menutup dengan mantel”, artinya menciptakan
keadaan nyaman bagi pasien dan sedapat mungkin meringankan
penderitaannya.
B. Saran
Sebagai tenaga Kesehatan khususnya perawat kita sangat dianjurkan
untuk memiliki sikap caring yang lebih terhadap pasien, terlebih pada
kasus keperawatan paliatif ini. Sikap caring yang dimiliki perawat sangat
diperlukan dalam perawatan paliatif tanpa memperhitungkan nilai dan
berapa besar waktu yang disediakan untuk memberikan perawatan yang
terbaik untuk pasien. Jiwa yang ikhlas merawat baik dirumah sakit atau
datang kerumah pasien untuk mempersiapkan kualitas hidup yang
maksimal sampai akhir hayatnya. Butuh sikap perawat yang teguh untuk
dapat menjalankan perawatan paliatif. yang harus dimiliki perawat adalah
memiliki jiwa respek baik pada pasien maupun pada keluarganya,
keperdulian dengan keadaan dan kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purba, Rani. 2018. Karakteristik Penderita Sirosis Hati Yang Dirawat Inap Di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2017. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan
2. Anita. 2016. Perawatan Paliatif Dan Kualitas Hidup Penderita Kanker Jurnal
Kesehatan, Volume VII, Nomor 3. Jurusan Keperawatan, Politeknik
Kesehatan Tanjungkarang
3. Ilham S, dkk., 2018., Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Perawat
Tentang Perawatan Paliatif., Jambura Nursing Journal Vol. 1, No. 2, July
2019
4. Undang-undang (UU) No. 38 Tahun 2014 Undang-Undang Keperawatan
Undang-undang (UU) No. 29 Tahun 2004 Undang-Undang Praktik Dokter
5. Felenditi Dionisius. 2013. Terapi Paliatif Dalam Profesi Kedokteran. Jurnal
Biomedik (JBM). 5(1): 21-25 [diakses pada tanggal 30 Mei 2021. Link
:https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/download/2041/2122
]
6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007
tentang Kebijakan Perawatan Paliatif, Tanggal: 19 Juli 2007
7. Mundakir, IS. 2019. Tuntutan Hukum Malapraktik Medis. Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer,halaman 322-333
8. Khasha,Minnatun.Permana,Iman.2021.Pemenuhan Spiritual Care oleh
Perawat Di Rumah Sakit : A Structured Review. Yogyakarta: Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa,Volume 4 No 1, Hal 165–174, Februari 2021 Persatuan
Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
9. Potalangi, F C. 2019. TINJAUAN AGAMA TERHADAP PERAWATAN
PALIATIF. Manado : Fakultas Keperawatan Universitas Katolik De La Salle
Manado.
10. Aisyah PS, Febrita S, Hidayat Y. 2020. Pemberdayaan Kader Kesehatan
Masyarakat dalam Perawatan Paliatif di Wilayah Kerja Puskesmas Babakan
Sari Kota Bandung. Intervensi Komunitas. Vol. 1, No. 2: 141-147.
11. Wayan I.S. 2020. Perawatan Komprehensif Paliatif. Surabaya:Airlangga
12. Farikhah, Zumrotul. 2019. Studi Komparasi Sikap Perawat Terhadap End of
Life Care Di Ruang IGD Dan ICU RSD Kalisat Dan RSD Balung Kabupaten
Jember. Universitas Jember
13. Sasmita, Dewiana. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Sirosis
Hepatis Di Ruang V Interne RS TK.III Dr. Reksodiwiryo Padang Dan Di
Ruang HCU Penyakit Dalam Irna Non Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Poltekkes Kemenkes Padang
14. Kementrian kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi. Situasi dan Analisis
Hepatis. 4-12 September

Anda mungkin juga menyukai