Anda di halaman 1dari 12

[Buletin Kaffah] Puasa dan Takwa

[Buletin Kaffah_041_2 Ramadhan 1439 H – 18 Mei 2018]

Alhamdulillah, sepantasnya kita bersyukur karena kita sudah berada pada bulan suci
Ramadhan 1439 H. Tentu kita berharap puasa Ramadhan kali ini benar-benar bisa
mewujudkan ketakwaan hakiki sebagaimana yang Allah SWT kehendaki:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu
pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah
[2]: 183).

Tentu Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan
ibadah puasa dengan benar (sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata
mengharap ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud
dalam dirinya.

Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan ayat di atas, antara lain
mengutip Al-Hasan yang  menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut
terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan
perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Lihat: Ath-Thabari, Jami’ al-
Bayan li Ta’wil al-Qur’an, I/232-233).

Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan
oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap
murka Allah SWT. Lalu ia berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya. Ia berupaya menjauhi kesyirikan. Ia senantiasa menjalankan ketaatan. Ia takut
untuk melakukan perkara-perkara yang haram. Ia senantiasa berupaya menjalankan semua
kewajiban yang telah Allah SWT bebankan kepada dirinya.

Menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya tentu dengan
mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah dan ubudiah; makanan, minuman,
pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya,
dll); maupun ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa
Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan
riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan
menolak penerapan syariah secara kaffah.

Berkaitan dengan takwa pula, saat menafsirkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 1-5, Syaikh
Ali ash-Shabuni mengutip pernyataan Ibnu ‘Abbas ra. yang menyatakan, “Orang-orang yang
bertakwa adalah mereka yang takut berbuat syirik (menyekutukan Allah SWT) sembari
menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir,
I/26).

Takut berbuat syirik maknanya adalah takut menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya
baik dalam konteks aqidah maupun ibadah, termasuk tidak meyakini sekaligus menjalankan
hukum apapun selain hukum-Nya, karena hal itu pun bisa dianggap sebagai bentuk
kesyirikan. Pasalnya, Allah SWT telah berfirman:

…ِ ‫اِتَّ َخ ُذوا أَحْ بَا َرهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم أَرْ بَابًا ِم ْن دُو ِن هَّللا‬

Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).

Terkait ayat ini, ada sebuah peristiwa menarik. Diriwayatkan bahwa saat Baginda Rasulullah
saw. membaca ayat ini, kebetulan datanglah Adi bin Hatim kepada beliau dengan maksud
hendak masuk Islam. Saat Adi bin Hatim—yang ketika itu masih beragama Nasrani—
mendengar ayat tersebut, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang
Nasrani, pen.) tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Akan tetapi, Baginda Nabi saw.
membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya dengan pertanyaan retoris,
“Bukankah  para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun menaatinya?” Jawab Adi bin
Hatim, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu tegas menyatakan, “Itulah bentuk
penyembahan kalian terhadap para pendeta kalian.” (Imam al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil,
IV/39)

Saat ini posisi para pendeta dan para rahib itu telah digantikan oleh para penguasa maupun
wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya, merekalah saat ini yang biasa membuat
hukum. Faktanya, banyak hukum yang mereka buat menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Mereka, misalnya,
menghalalkan riba dan zina—meski dengan dalih lokalisasi—yang nyata-nyata telah Allah
SWT haramkam. Sebaliknya, mereka mengharamkan syariah dan khilafah diterapkan di
negeri ini karena dituding bertentangan dengan Pancasila. Padahal jelas, syariah dan khilafah
adalah perkara halal bahkan wajib karena memang telah diperintahkan secara tegas oleh
Allah SWT di dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Tentu, sebagai wujud dari ketakwaan kita, kita dilarang menaati apapun produk hukum
buatan manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan syariah-Nya. Di sinilah pentingnya
kita senantiasa hanya menaati Allah SWT dan Rasul-Nya dengan hanya mengamalkan dan
menerapkan syariah-Nya. Itulah esensi ketakwaan kita, yang sejatinya kita petik sebagai buah
dari puasa Ramadhan kita.

Harusnya Kita Bertakwa

Bagi sebagian orang, puasa Ramadhan kali ini bukanlah yang pertama. Bisa jadi Ramadhan
kali ini bagi mereka adalah puasa yang ke sekian puluh kalinya. Pertanyaannya: Apakah
puluhan kali puasa Ramadhan yang dijalani benar-benar telah mewujudkan takwa? Ternyata
tidak semuanya. Faktanya, yang terjadi kadang sebaliknya.

Pertama: Setelah Ramadhan, banyak Muslim—yang sebelumnya berusaha ber-taqarrub


kepada Allah SWT selama Ramadhan—justru kembali jauh dari Allah SWT. Mereka kembali
melakukan ragam kemaksiatan kepada-Nya. Banyak wanita Muslimah, misalnya, yang
kembali memamerkan aurat mereka, padahal saat Ramadhan mereka tutup rapat-rapat.
Banyak masjid kembali sepi, padahal saat Ramadhan ramai dikunjungi. Acara-acara di
televisi kembali menampilkan acara-acara berbau pornografi/pornoaksi, padahal selama
Ramadhan menyiarkan acara-acara religi. Banyak tempat-tempat maksiat dibuka kembali,
padahal selama Ramadhan ditutup. Penguasa dan banyak pejabat kembali melakukan korupsi
dan mengkhianati rakyat, padahal selama Ramadhan mungkin mereka berusaha berhenti dari
perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Orang-orang semacam ini tentu puasanya sia-sia. Inilah
yang diisyaratkan oleh Baginda Nabi saw.:

ُ ‫صيَا ِم ِه ِإاَّل ْالجُو‬


‫ع‬ ِ ‫ْس لَهُ ِم ْن‬
َ ‫صائِ ٍم لَي‬
َ ‫َك ْم ِم ْن‬

Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa laparnya saja (HR
Ahmad).
Kedua: Setelah Ramadhan, sekularisme tetap mendominasi kehidupan kaum Muslim. Setelah
Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para penguasanya,
untuk bersegera menegakkan syariah Allah SWT secara formal dalam segala aspek
kehidupan melalui institusi negara. Padahal Allah SWT tegas telah berfirman:

…‫َوأَ ِن احْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم‬

Hukumilah mereka dengan hukum yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka… (TQS al-Maidah [5]: 49).

Perlu Pemimpin Bertakwa

Di tengah sistem kehidupan yang tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah saat ini,
kaum Muslim tentu membutuhkan pemimpin yang bertakwa. Pemimpin yang bertakwalah
yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai wujud ketaatan total kepada Allah
SWT.

Karena itu pemimpin bertakwa tidak akan mungkin mengkriminalisasi Islam dan kaum
Muslim. Pemimpin bertakwa juga tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-
orang yang memperjuangkan penerapan syariah dan penegakan khilafah yang merupakan taj
al-furudh (mahkota kewajiban) dalam Islam.

Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa
dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah
menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zur) karena kedustaan hanya akan membuat
puasa mereka sia-sia. Nabi saw. bersabda:

ُ‫ْس هَّلِل ِ َحا َجةٌ فِى أَ ْن يَ َد َع طَ َعا َمهُ َو َش َرابَه‬


َ ‫ور َو ْال َع َم َل بِ ِه فَلَي‬ ُّ ‫َم ْن لَ ْم يَ َد ْع قَوْ َل‬
ِ ‫الز‬

Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak
membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya (HR al-Bukhari).

Bagaimana bukan perkataan dusta bila sebelum berkuasa berjanji tidak akan menyusahkan
masyarakat, semisal tidak akan menaikkan tarif BBM dan listrik, tidak akan menambah utang
keluar negeri, dll; kemudian tanpa malu melanggar semua janjinya itu. Bukankah ini
perkataan dusta?

Oleh karena itu ketakwaan bukanlah sebatas jargon atau tontonan yang penuh pencitraan,
melainkan amal nyata yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT.
Teladan Ketakwaan

Pada masa lalu ketakwaan benar-benar melekat pada diri para pemimpin umat, yakni para
khalifah. Ketakwaan mereka mengantarkan umat pada keberkahan dan kesejahteraan. Karena
takwa, Khalifah Umar bin Khathtab ra., misalnya, pernah menangis karena takut kepada
Allah SWT saat mendengar kabar ada seorang ibu mempercepat masa menyapih bayi agar
bisa segera mendapatkan insentif dari negara demi memenuhi kebutuhan anaknya itu.
Pasalnya, pada waktu itu Khalifah Umar membuat kebijakan hanya memberikan insentif
untuk anak kecil yang telah disapih. Khalifah Umar, sambil menangis menyesali
keputusannya, berkata, “Celakalah Umar! Berapa banyak bayi yang telah dibunuh oleh
Umar!” Kemudian ia pun mencabut kebijakannya yang keliru tersebut. Begitulah karakter
pemimpin yang bertakwa.

Dalam sistem pemerintahan sekular saat ini, adakah pemimpin seperti Khalifah Umar ra.?! []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

َ‫ق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمون‬
َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َح‬

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS
Ali Imran [3]: 102).
Puasa Membentuk Manusia Kaffah
 By admin in Islam Kontemporer
Bagaimanapun, kita wajib bersyukur kepada Allah swt. Karena atas anugerah kasih sayang-
Nya jualah yang telah menurunkan kitab suci Alquran al-Karim kepada umat manusia
melalui utusan-Nya yang terakhir, nabi Muhammad saw. Alquran yang diterima oleh
Muhammad saw 15 abad silam merupakan mu’jizat terbesarnya yang sampai secara konkret
kepada kita sekarang. Fungsi utamanya adalah hudan lil al-nas, demikian firman-Nya yang
termaktub di dalam surah Al-Baqarah/2:185. Salah satu kandungan hudan dan informasi
penting kepada kita umat manusia, bahwa Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk
menjadi manusia yang kaffah. Udkhulu fi al-silmi kaffah, demikian perintah Allah swt di
dalam Alquran surah Al-Baqarah/2:208.

Mengapa harus manjadi manusia yang kaffah? Setiap manusia diciptakan dari paduan dua
unsur utama, yaitu jasad (physic) dan ruh (psychis). Ruh adalah esensi hidup manusia,
ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad setiap calon manusia yang akan menghuni jagad ini, di
alam rahim ibunya. Ruh bersifat fitrah. Fitrah adalah potensi bawaan manusia yang paling
mendasar untuk meyakini dan mengimani Allah swt sebagai Rabb al-‘Alamin.

Fitrah itu abadi, istiqamah sesuai dengan ketentuan Allah swt, dan oleh sebab itu tidak bisa
dirubah oleh siapapun serta dalam situasi dan keadaan apapun. Hal ini dengan jelas Allah swt
nyatakan di dalam Alquran, surah Al-Rum/30:30 bahwa “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah; (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Kaffah adalah totalitas mengenai kepribadian seseorang. Ciri-ciri kaffah itu adalah:

1. Adanya kualitas iman yang kuat dan istiqamah (Q.s. Fushshilat/41:30, Al-
Ahqaf/46:13);
2. Mempunyai kepribadian yang mulia sehingga di manapun ia berada selalu mewarnai
dan menjadi suri tauladan bagi sesamanya (Q.s. Al-Qalam/68:4);
3. Mampu memanfaatkan dan mengembangkan akal yang dianugerahkan oleh Allah swt
sebagai suatu potensi dasar manusia untuk bisa cerdas (Q.s. Al-Zumar/39:9);
4. Senantiasa meningkatkan mutu kinerjanya dan mendorong lingkungan atau mitra
kerjanya untuk terus berinovasi, berkompetisi secara profesional, sehat dan positif atau yang
di dalam Al-Quran disebut fastabiq al-khayrat (Q.s. Al-Baqarah/2:148);
5. Perangainya sopan dan tutur bahasanya santun, lembut lagi mengesankan sehingga
enak dan menyentuh kalbu setiap orang yang mendengarkannya atau yang dalam Alquran
disebut sebagai qawl al-ma’ruf (Q.s. Al-Nisa/4:5);
6. Selalu berusaha untuk menunjukkan dedikasi yang terbaik sehingga selalu tampil
menjadi pelopor bagi semua gagasan dan tindakan nyata yang bermanfaat bagi kepentingan
atau kemaslahatan orang banyak (Q.s. Ali `Imran/3: 104, 110);
7. Hidup dan segala macam aktifitas kehidupannya ditundukkan pada kemahakuasaan
Allah swt semata (Q.s. Al-Baqarah/46, 146);
8. Tidak pernah merugikan pihak-pihak lain dan selalu berlaku adil dalam meutuskan
suatu perkara (Q.s. Al-Maidah/5:8);
9. Dan banyak lagi indikator lainnya yang tersebar banyak di dalam teks kitab suci
Alquran maupun muatan hadits rasulillah Muhammad saw.
Kekaffahan itu hanya mungkin diraih oleh siapapun dengan terlebih dahulu meyakini dan
mempedomani ajaran Islam. Salah satu pembuktian keyakinan itu ialah apa yang sedang kita
laksanakan dari salah satu pilar Islam, yaitu ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan yang
mulia dan penuh berkah atau syahrun mubarak.

Puasa yang kita laksanakan setiap tahun bukanlah merupakan sebuah rutinitas bentuk
kehidupan duniawi, tetapi ramadlan yang di dalamnya ada puasa wajib dan ibadah-ibadah
sunnah lainnya, seperti membaca mushaf dan tafsir Alquran atau tadarus Alquran, qiyam al-
layl, saya ibaratkan sebagai bulan pendidikan bagi madrasah kehidupan manusia untuk
menaikkan mutu ketaqwaannya kepada Allah swt.

Betapa tidak! Ramadhan dibangun atas tiga macam pilar utama, yaitu (1) iman, (2) puasa,
dan (3) taqwa (Q.s. Al-Baqarah/2:183). Nah, yang menantang kita, terutama kaum intelektual
mengkajinya secara cermat, komprehensif, dan lebih mendalam ialah ada apa di balik
kewajiban berpuasa yang diharapkan Allah mampu meningkatkan kualitas ketaqwaan kita,
atau mengapa taqwa yang menjadi tujuan akhir puasa?

Taqwa merupakan satuan sistem nilai yang komprehensif dari seorang hamba kepada
Tuhannya, Allah swt. Derajat taqwa dari waktu mutlak ditingkatkan oleh karena banyaknya
jenis gangguan yang memungkinkan derajat turun atau konstan.

Belajar dari pengalaman pribadi rasulillah Muhammad saw dalam membina iman dan
taqwanya kepada Allah, nabi Muhammad dari waktu ke waktu belajar terus menerus secara
otodidak baik dari pengalaman pribadinya maupun orang lain dan lingkungannya.

Prestasi di berbagai bidang dan cobaan hidupnya silih berganti. Bukannya menurun
melainkan meningkat terus dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Namun, nabi Muhammad
saw tidak pernah berputus asa. Dia meyakini bahwa apa yang benar harus dijalankan secara
konsisten hatta yang tidak baik dan bersifat merugikan dijauhinya.

Pelajaran apa yang bisa kita adopsi untuk bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari
ibadah puasa dalam upaya meningkatkan taqwa, serta pengalaman keberagaman dari seorang
nabi agung, Muhammad saw?
Pertama, jikat kita perhatikan dari segi latar belakang kekeluargaan, sebenarnya Muhammad
saw itu berasal dari kelangan keluarga yang tidak mempertuhankan Allah swt, namun karena
dia meyakini dan mampu menumbuhkembangkan embrio keimanannya bahwa fitrah itu
berkorelasi dengan iman kepada Allah swt sebagai modal yang amat fundamental dalam
menjalani kehidupan ini.

Tanpa iman kepada-Nya maka perjalanan hidup seseorang bisa-bisa kesasar atau keliru dan
malah bisa terjebak dalam lingkaran setan yang memang selalu dan lihai membuat perangkap
yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid kepada siapapun agar manusia bisa bersamanya.
Itulah sebabnya Tuhan mengingatkan kepada kita bahwa setan itu adalah musuh nyata
bagimu. Innahu lakum `aduwwun mubiin demikian firman Allah swt yang bisa kita jumpai
di dalam Al Quran surah Al-Baqarah/2:168.

Kedua, kemampuan mengendalikan diri. Dalam banyak riwayat sirah nabawiyah


diungkapkan bahwa nabi Muhammad adalah orang yang paling memiliki kemampuan
menguasai, mengendalikan dan menahan emosi. Nabi Muhammad ternyata menyadari betul
bahwa tidak ada masalah yang bisa diselesaikan melalui cara-cara yang emosional.
Menentukan program kerja dan memutuskan suatu perkara haruslah tenang disertai jiwa yang
selalu memohon petunjuk-Nya. Sifat dan perilaku seperti itu tercermin dalam konsep sabar.
Itulah sebabnya Allah menempatkan orang-orang sabar sebagai pihak komunitas yang
senantiasa bersama-Nya. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang sabar” (Q.s. Al-
Anfal/8:46).

Ketiga, tidak pernah berputus asa. Seorang muslim yang baik selalu mencari jalan
penyelesaian alternatif yang terbaik bila menghadapi masalah. Sebab ia menyadari segala
sesuatu pasti ada jalan keluarnya, ada penyelesaiannya yang terbaik. “Sesungguhnya di
balik kesusahan selalu ada kemudahan”  (Q.s. Alamnayrah/94:6). Sikap, pikiran dan
pandangan seperti ini disertai dengan optimalisasi ikhtiar dan permohonan kepada Allah. La
taqnatu min rahmat Allah, demikian firman Allah (Q.s. Al-Zumar/39:53).

Keempat, belajar. Belajar adalah bagian terpenting dalam perjalanan hidup. Orang yang tidak
mau belajar akan menyia-nyiakan diri sendiri dan kehidupannya. Belajar tidak mengenal
waktu dan usia; harus dimulai sejak usia dini hingga akhir hayat. Dalam banyak teori dan
konsep belajar ternyata menunjukkan bahwa siapapun ia akan bisa hidup secara lebih baik
dan maju dalam segala hal jika ia belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau kita
memperhatikan lima ayat pertama (Q.s Al-`Alaq/96:1-5) yang diberikan Allah kepada nabi-
Nya Muhammada saw, maka jelas sekali bahwa belajar, iqra, adalah perintah pertama dan
karenanya menjadi kunci bagi kemajuan seseorang, keluarga dan bangsa.

Kelima, senantiasa berperilaku mulia atau yang dalam istilah masyarakat kita disebut adat,
sopan santun, tatakrama. Salah satu kata kunci yang dapat kita peroleh dari keberhasilan nabi
Muhammad memimpin umatnya ialah karena akhlaqnya. Banyak riset dari para ahli tarikh
yang telah membenarkan letak kesuksesan nabi Muhammad saw itu. Demikian gemilangnya
prestasi dan kesuksesan tersebut sampai-sampai diabadikan dalam Al Quran dengan
redaksi Wa innaka la`ala khuluqin `adzim (Q.s. Al-Qalam/68:4).

Keenam, ikhlas dalam melakukan apa saja. Ikhlas adalah dasar pengabdian bagi seluruh
aktifitas. Ada banyak orang putus asa dalam hidup ini, karena setiap melakukan sesuatu
hanya ingin memperoleh materi dan pujian dari sesamanya. Perintah ikhlas menjadi
penekanan penting dari Allah sebagai dasar motivasi untuk melakukan amal perbuatan.
Firman Allah swt jelas bahwa “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah (ikhlas)
kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya” (Q.s. Al-Mu’min/40:14), dan
memang Allah memerintahkan kita untuk disuruh melakukan apa saja secara
ikhlas “Padahal mereka tidak disuruh supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat; dan yang demikian itu adalah agama yang
lurus” (Q.s. Al-Bayyinah/98:5).

Ketujuh, dalam hidup ini selalu mencari keridlaan Allah swt. Sikap ridla banyak kita dengar
namun kadang belum bersesuaian dengan perilaku. Ridla adalah sikap yang hanya
mengharapkan segala sesuatunya dari Allah, sebab disadari bahwa itulah yang paling tinggi
maknanya dalam kehidupan ini. Jika ridla Allah telah dicapai oleh seseorang maka ia
memperoleh anugerah yang tiada lagi tara bandingan nilainya. Maka berusahalah terus
mencari keridlaan-Nya. “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang selalu menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang
berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah, niscaya kelak mereka akan Kami beri
pahala yang besar”, demikian gambaran imbalan perbuatan ridla yang pasti dan jelas melalui
firman Allah (Q.s. Al-Nisa/4:114).

Seluruh petikan di atas, bila mampu kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan profesi masing-masing, maka insya Allah, dapat mengantar kita semua untuk
menaikkan peringkat kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah, sebagaimana halnya yang
sedang kita lakukan sekarang dalam bentuk ibadah puasa wajib. Dengan demikian, puasa
ramadlan ini sungguh merupakan saat pengintegrasian seluruh nilai mulia untuk
meningkatkan kualitas taqwa.

Ramadlan yang demikian agung, mulia, dan penuh berkah ini, sebentar lagi akan
meninggalkan kita. Marilah kita manfaatkan sisa waktu ini seoptimal mungkin dengan
berbagai perbuata ma`ruf seperti i`tikaf di masjid, bermunajat kepada Allah, bersedekah,
melakukan berbagai macam kebajikan yang dirasakan langsung manfaatnya oleh diri,
keluarga dan masyarakat kita.

Sebagai komunitas umat yang terbesar di negeri ini, saya mengajak, marilah kita
berkontribusi terus secara positif, profesional sesuai dengan profesi masing-masing untuk
kepentingan hidup bersama di negeri kita tercinta ini. Sebab, itulah saham kita untuk
mewujudkan sebuah bersama di kawasan yang sama, negara kesatuan Republik Indonesia,
sebagaimana deskripsi negeri yang Allah sebut lewat firman-Nya Baldatun Thayyibah wa
Rabbun Ghafur (Q.s. Saba/34:51). Insya Allah !

Segala pujian kita panjatkan kepada Allah SWT. Dialah Zat Yang telah memberikan sebagian
nikmat-Nya kepada kita. Di antaranya nikmat iman dan Islam. Dia juga menganugerahkan
kepada kita kekuatan untuk bisa merampungkan ibadah Ramadhan yang istimewa. Ramadhan
di tengah wabah pandemik Corona (Covid-19).
Pada Ramadhan kali ini kesabaran kita diuji bukan sekadar oleh lapar dan dahaga. Kesabaran
kita pun diuji oleh wabah pandemik Corona. Wabah ini mengharuskan kita mengikuti
protokol kesehatan. Di antaranya keharusan untuk lebih banyak di rumah. Namun demikian,
semua itu insya Allah tidak mengurangi kualitas ibadah kita.
Sesaat lagi kita bertemu dengan Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Semoga Idul Fitri ini membawa
keberkahan bagi kita semua. Pada hari ini sejatinya lahir pribadi-pribadi yang bertakwa. Hasil
dari pelaksanaan puasa Ramadhan sebulan penuh. Sebab, demi mewujudkan takwalah puasa
Ramadhan diwajibkan atas kita. Allah SWT berfirman:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu
pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah
[2]: 183).
Takwa yang diharapkan tentu takwa yang sebenarnya. Demikian sebagaimana yang juga
Allah SWT tuntut atas diri kita:
َ‫ق تُقَاتِ ِه َوالَ تَ ُموْ تُ َّن إِالَّ َوأَنتُ ْم ُّم ْسلِ ُموْ ن‬َّ ‫يَا أَيُّها َ الَّ ِذ ْينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َح‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya,
dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim (TQS Ali Imran [3]:
102).
Idul Fitri identik dengan Hari Kemenangan. Pada hari ini kita merayakan kemenangan. Tentu
kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu setelah sebulan penuh berpuasa.
Namun demikian, kemenangan yang hakiki bukanlah semata kita mampu menahan makan
dan minum serta segala hal yang membatalkan puasa selama Ramadhan. Kemenangan hakiki
adalah saat ketakwaan bisa kita raih. Bisa benar-benar mewujud dalam diri kita. Demikian
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah [2]: 183 di atas.
Kata taqwâ berasal dari kata waqâ. Artinya, melindungi. Kata tersebut kemudian digunakan
untuk menunjuk pada sikap dan tindakan untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah
SWT. Caranya tentu dengan menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-
Nya.
Pengertian takwa tersebut sebagaimana dikatakan Thalq bin Habib, seorang Tabi’in, salah
satu murid Ibnu Abbas ra. Dikatakan, “Takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah
SWT berdasarkan cahaya-Nya dengan mengharap pahala-Nya dan meninggalkan
kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya-Nya karena takut terhadap azab-Nya.” (Tafsîr
Ibnu Katsîr, I/2440).
Dengan demikian takwa haruslah total. Harus mewujud dalam segala aspek kehidupan.
Takwa juga bukan hanya harus ada pada tataran individual saja. Takwa pun harus ada dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan dalam hubungan luar negeri.
Iman dan takwa merupakan kunci keunggulan masyarakat Islam. Lihatlah, dengan iman dan
takwa, Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. mampu mengubah masyarakat Arab Jahiliah
menjadi masyarakat Islam yang unggul.
Setelah Rasulullah saw. berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah, ketakwaan hakiki
benar-benar terwujud. Lahirlah masyarakat Islam yang unggul. Wilayah Negara Islam terus
meluas hingga menaungi seluruh Jazirah Arab. Negara yang diwariskan beliau ini kemudian
dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar ra. dan para khalifah sesudahnya. Saat itu kaum
Muslim, di bawah naungan Khilafah Islam, menguasai dua pertiga dunia. Khilafah saat itu
sekaligus menjadi negara adidaya yang unggul di berbagai bidang selama berabad-abad
lamanya.
Berbeda dengan saat ini. Kondisi umat Islam amat menyedihkan. Ini terjadi terutama sejak
keruntuhan Khilafah Islam pada 1924. Di atas puing reruntuhan Khilafah, kafir penjajah
berhasil memecah-belah kaum Muslim menjadi lebih dari 50 negara-bangsa. Mereka dijajah
secara ideologis dan sistemik. Sebagian negara bangsa tersebut menerapkan sistem kufur
kerajaan. Sebagain lainnya menerapkan sistem kufur demokrasi. Semua rezimnya ada yang
menjadi antek adidaya kapitalis dan ada yang menjadi antek komunis.
Di negara-negara mayoritas berpenduduk kafir, kaum Muslim terus-menerus ditindas secara
fisik. Kaum Muslim Kashmir disiksa oleh Hindu India. Kaum Muslim Uighur ditindas habis-
habisan oleh komunis Cina. Kaum Muslim Rohingya oleh Budha Myanmar. Kaum Muslim
lainnya bernasib serupa di berbagai belahan dunia. Bahkan di Timur Tengah, minoritas
Yahudi Israel—di tengah-tengah mayoritas kaum Muslim yang tersekat dalam banyak
negara-bangsa—sangat leluasa menjajah Muslim Palestina.
Itu semua menunjukkan peradaban Kapitalisme Barat yang menjadi adidaya saat ini, juga
peradaban Komunisme Cina yang “malu-malu”, telah gagal mengayomi warga dunia.
Terutama kaum Muslim. Sebaliknya, nasionalisme terbukti ampuh melemahkan 1,5 miliar
kaum Muslim di seluruh dunia.
Kenyataan itu menjadi ujian ketakwaan kita kepada Allah SWT. Apa yang harus kita lakukan
untuk membuktikan ketakwaan kita kepada Allah SWT? Tiada pilihan lain selain berjuang
bersama mengembalikan Islam sebagai solusi kehidupan. Islamlah yang akan menyelesaikan
seluruh persoalan individu, masyarakat, negara dan bahkan dunia. Inilah yang telah
ditunjukkan oleh Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin pada masa lalu dan para khalifah
sesudahnya.
Ingatlah, perubahan hanya akan terjadi ketika ada keinginan untuk berubah. Allah SWT tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka mereka mau mengubah keadaan diri
mereka sendiri:
‫إِ َّن هَّللا َ اَل يُ َغيِّ ُر َما بِقَوْ ٍم َحتَّى يُ َغيِّرُوا َما بِأ َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu sendiri mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka (QS al-Ra’d [13]: 11).
Demikian pula jika kita ingin mendapatkan pertolongan Allah SWT. Tentu kita harus
menolong agama-Nya. Allah SWT berfirman:
‫ِّت أَ ْقدَا َم ُك ْم‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ ْن تَ ْن‬
ْ ‫صرُوا هَّللا َ يَ ْنصُرْ ُك ْم َويُثَب‬
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7).
Dengan Khilafah, seluruh syariah Islam dapat ditegakkan secara kaffah. Khilafah akan
menjadi peradaban alternatif untuk menggantikan peradaban Barat yang sudah rapuh.
Pandemi Corona menyingkap dengan sangat jelas betapa rapuhnya Kapitalisme global.
Bahkan politisi senior Amerika Serikat, Henry Kissinger, menyatakan pandemi Corona akan
mengubah tatanan dunia global selamanya.
Maka dari itu, untuk menghilangkan kezaliman dari masyarakat, Kapitalisme harus segera
dicampakkan. Tatanan kehidupan saat ini harus dirombak secara menyeluruh. Diganti dengan
sistem yang mewujudkan keadilan. Pengganti yang tepat dari sistem buruk Kapitalisme itu
tidak lain adalah Islam. Sistem pemerintahannya adalah Khilafah. Dengan Khilafah, tentu
yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, Islam rahmatan lil ‘alamin akan dapat benar-
benar kembali terwujud.
Masa bagi tegaknya kembali Khilafah itu telah tiba. Ini sesuai dengan janji Allah SWT:
‫ض َك َما ا ْست َْخلَفَ الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم‬ ِ ْ‫ت لَيَ ْست َْخلِفَنَّهُ ْم فِي اأْل َر‬
ِ ‫َو َع َد هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara
kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan memberikan kekuasaan kepada mereka di muka
bumi, sebagaimana Dia pernah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum mereka
(TQS an-Nur [24]: 55).
Menurut Imam asy-Syaukani, ayat di atas adalah janji Allah SWT kepada siapa saja yang
beriman dan beramal shalih, yakni bahwa Allah SWT akan memberikan kekuasaan kepada
mereka, sebagaimana kekuasan itu pernah diberikan kepada kaum sebelum mereka (yang
sama-sama beriman dan beramal shalih, red.). Janji ini berlaku umum bagi seluruh umat.
Bukan hanya generasi Sahabat. Sebabnya, iman dan amal shalih tak hanya khusus ada pada
diri para Sahabat (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 5/241).
Kekuasaan yang Allah SWT janjikan tentu saja Khilafah. Bukan yang lain. Pada saat
Khilafah tegak, kekuasaannya akan meliputi seluruh bumi. Demikian sebagaimana
dinyatakan oleh Baginda Nabi saw.:
‫ي لِي ِم ْنهَا‬ َ ‫َاربَهَا َوإِ َّن أُ َّمتِي َسيَ ْبلُ ُغ ُم ْل ُكهَا َما ُز ِو‬
ِ ‫ارقَهَا َو َمغ‬ ِ ‫ْت َم َش‬ ُ ‫ض فَ َرأَي‬
َ ْ‫إِ َّن هَّللا َ َز َوى لِي اأْل َر‬
Sungguh Allah pernah memperlihatkan bumi kepadaku. Lalu aku pun melihat seluruh bagian
timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan meliputi semua bagian bumi yang
diperlihatkan kepadaku (HR Muslim, at-Tirmidzi dan abu Dawud).
Kekuasaan (mulkuha) dalam hadis di atas tentu saja Khilafah. Bukan yang lain. Inilah
kemenangan yang nyata. Pada saat itulah kaum Muslim bergembira atas pertolongan Allah
SWT. Demikian sebagaimana firman-Nya:
ِ ‫ص ُر َم ْن يَ َشا ُء َوه َُو ْال َع ِزي ُز الر‬
‫َّحي ُم‬ ُ ‫ بِنَصْ ِر هَّللا ِ يَ ْن‬. َ‫َويَوْ َمئِ ٍذ يَ ْف َر ُح ْال ُم ْؤ ِمنُون‬
Pada saat itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa
saja yang Dia kehendaki. Dia Mahakuat lagi Maha Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4). ***
Pimpinan dan Seluruh Staf Redaksi Buletin Kaffah Mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1441 H
‫َام َو أَ ْنتُ ْم بِخَ ي ٍْر‬ٍ ‫صيَا َم ُك ْم َو ُكلُّ ع‬ ِ ‫صيَا َمنَا َو‬ ِ ‫تَقَبَّ َل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Anda mungkin juga menyukai