Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

PENYAKIT RESPIRASI

EDEMA PULMONUM

OLEH
I Dewa Agung Made Wihanjana Putra
2009611065
KELOMPOK 17 D

LABORATORIUM
ILMU PENYAKIT DALAM VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
PENDAHULUAN
Edema pulmonum merupakan akumulasi cairan di paru akibat peningkatan
permiabilitas dan tekanan hidrostatik vaskuler (Senior, 2005). Edema paru akan
menyebabkan disfungsi paru dengan cara menghalani ventilasi bagian paru yang terkena,
gangguan elastis paru, bronkhokonstriksi. Hal-hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi paru dengan akibat hipoksemia. Pada kasus Edema pulonum berat terjadi
shunting, sehingga pemberian oksigen tidak lagi dapat memperbaiki keadaan hipoksemia.
Kausa edema pulmonum umumnya multifaktorial dan sulit ditentukan. Menurut Glaus et al.
(2010), edema paru diklasifikasikan berdasarkan kausa/etiologi yakni kardiogenik pulmonary
oedema (CPO) disebabkan CHF kiri, sedangkan non-kardiogenik pulmonary oedema
(NCPO) disebabkan penurunan tekanan alveolar dan peningkatan permiabilitas. Peneguhan
diagnosis edema pulmonum berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, radiografi, dan
ekhokardiografi (Rademacher et al., 2014).

Rekam Medik
Sinyalmen dan Anamnesis
Kasus 1 : Dalam laporan kasus Agudelo dan Schanilec (2019), melaporkan Anjing betina ras
Dachsund, umur 2 tahun. Anjing dibawa ke klinik hewan di Republik Ceko, sehari
setelah mengalami gangguan pernafasan akut setelah berburu. Dua hari
sebelumnya, anjing melakukan latihan berburu selama 3 jam, selama waktu itu
anjing kabur melarikan diri. Setelah kembali, anjing mengalami dispnea sepanjang
malam. Pemilik berasumsi anjing diserang oleh mangsanya.
Kasus 2 : Dalam laporan kasus Paik et al (2019), melaporkan anjing betina ras English
cocker spaniel umur 5 tahun berat 7.8 kg. Anjing kasus hasil rujukan dengan
riwayat mengalami anorexia, muntah, dan depresi selama 2 minggu. Analisis
biokimia 13 hari sebelumnya dari dokter menunjukkan hiponatremia (119 mmol/L,
normal: 141-152 mmol/L), peningkatan BUN (157 mg/dL, normal: 7–25 mg/dL),
dan peningkatan kreatinin (4.0 mg/dl, normal: 0.5–1.5 mg/dL). Kondisi membaik
setelah terapi cairan selama 24 jam, tetapi kondisi kembali memburuk beberapa
hari yang lalu.
Kasus 3 : Anjing ras English bulldog, umur 9 tahun, dan obesitas (BCS 5/5). Anjing dirujuk
ke klinik dengan riwayat intoleransi latihan, lethargi, dan dispnea akibat efusi
perikardial. Berdasarkan ‘American Society of Anesthesiologists (ASA)’ anjing
kasus termasuk klas 4 yakni pasien dengan penyakit sistemik parah.
Perikardiosintesis sebelumnya tidak menunjukkan perubahan pada anjing kasus.
Anjing mengalami edema pulmonum pasca operasi perikardektomi

Pemeriksaan Klinis
Kasus 1: Pemeriksaan klinis awal tampak anjing mengalam depresi dengan sianosis mukosa.
Pemeriksaan sistem respirasi, frekuensi 80 kali/menit (takipnea), disertai dispnea
dan orthopnea. Auskultasi thoraks terdengar peningkatan suara bronko-vesikular
bilateral disertai suara crackles. Pemeriksaan lebih profundus, menunjukkan tanda
trauma eksternal tubuh atau kepala, dan obstruksi saluran nafas bagian atas.
Oksimetri menunjukkan saturasi oksigen 78%. Sebelum dan setelah terapi tidak
ditemukan hemoragi pada anjing kasus (Agudelo dan Schanilec, 2019).
Kasus 2 : Pemeriksaan klinis anjing tampak lethargi, mukosa kering dan lengket, dehidrasi,
dan CRT lama (>2 detik). Auskultasi jantung dengan ritme ireguler dan frekuensi
denyut jantung 60 kali/menit (bradikardia). Tekanan arteri sistolik 60 mm Hg
(Normal: 110-160 mm Hg) menggunakan indirek dopler. Pemeriksaan klinis pada
hari ke-6, anjing mengalami takipnea akut (Paik et al., 2019).
Kasus 3 : Hasil pemeriksaan klinis pada habit anjing tampak tenang, waspada, dan responsif.
Terdengan stidor pada laring. Auskultasi thoraks terdengar suara paru berkurang
dan jantung redup. Inspeksi terasa denyut femoralis melemah dan distensi
abdomen. Tes undulasi pada abdomen positif. Pasca operasi perikardektomi,
auskultasi pada paru tidak ada abnormalitas

Pemeriksaan Penunjang
Kasus 1: Hasil pemeriksaan darah lengkap (CBC), profil biokimia dan koagulasi
menunjukkan hiperfibrinogenaemia (5.66 g/l, normal: 1.5–4), waktu trombin
dipercepat (7 detik, normal: 10-19), peningkatan ALT (1.35 μkat/l, normal: 0.1-1).
Radiografi thoraks tampak normal ukuran jantung (VHS: 10.5), pola interstitial-
alveolar simestris pada lobus kaudal paru kanan dan craniocaudal paru kiri, dan
dilatasi arteri pulmonum (Gambar 1)

AA BB
Gambar 1. Radiografi anjing kasus ke-4. (A) Posisi R-lateral, pola alveolar lobus
kaudal paru (panah putih), dilatasi A. pulmonum (panah hitam). (B) Posisi
Ventrodorsal, pola alveolar tampak simetris
(Sumber : Agudelo dan Schanilec, 2019).

Kasus 2 : Dilakukan pemeriksaan hematologi dengan hasil hematologi (Complete Blood


Count) yakni eosinophilia (1529/μL; Normal: 100–1300/ μL). Pemeriksaan profil
biokimia darah dan urinalis yakni hiponatremia, hiperkalemia berat, hiperkalsemia,
hiperfosfatemia, hipoglikemia peningkatan BUN, dan peningkatan kreatinin (Tabel
1). Berat jenis urin 1.016 (dehidrasi berat). Tes Stimulasi ACTH menunjukkan
kadar kortisol tetap rendah yakni 1,00μg/dL (normal: 0.5-4 μg/dL). Pemeriksaan
USG pada abdomen menunjukkan berkurangnya ketebalan kedua kelenjar adrenal
(kiri: 2.7 mm dan kanan: 3.0 mm; normal: 3.2-7.4 mm). Hasil EKG terdeteksi
ritme ireguler dengan kecepatan ventrikel berdenyut 70-80 kali/menit (Gambar 2)
dan Radiografi thoraks menunjukkan vena cava posterior menyempit, pola alveolar
dan interstitial di kiri bidang kaudal paru (Gambar 3A). Hasil radiografi hari ke-6
yakni difus pola alveolar dan interstitial menandakan edema pulmonum (Gambar
3B), sedangkan hasil ekhokardiografi menujukkan regurgitasi miokardial dengan
katup mitral yang normal, peningkatan diameter ventrikel kiri dan penurunan pada
septum interventirkular, dinding posterior ventrikel kanan.

Gambar 2. Hasil Elektrokardiograf anjing kasus. (A) Sebelum diberikan terapi, (B)
Setelah diberikan terapi untuk hiperkalemia, (C) Setelah pemberian levotitoksin
(Sumber : Paik et al., 2019).
Tabel 1. Analisis profil biokimia darah anjing kasus.

A B

Gambar 3. Radiografi R-Lateral anjing kasus. (A) Tampak vena cava posterior
menyemit (Vertebral Hearth Scale 9.2) (B) Radiografi pasca enam hari tampak
edema pulmonum jelas pada lobus kaudal (Vertebral Hearth Scale 10.5)
(Sumber : Paik et al., 2019).

Kasus 3 : Hasil ekhokardiografi anjing menunjukkan efusi pericardium dan pleura, serta
adanya massa (2.8 x 2.8 cm) pada dasar aorta. Hasil EKG, menunjukkan voltage
rendah pada kompleks QRS. Hasil USG menunjukkan tamponade jantung. Pasca
operasi perikardektomi, hasil radiografi menunjukkan edema pulmonum (Melis et
al., 2014).

Diagnosis
Kasus 1 : Berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiografi anjing didiagnosis edema
pulmonum non-kardiogenic
Kasus 2 : Berdasarkan pemeriksaan klinis, hematologi, profil biokimia darah, urinalisis,
EKG, radiografi thoraks dan abdomen, USH abdomen, dan tes stimulasi ACTH
maka anjing kasus 1 dengan diagnosis poliendokrinopati dengan
hipoadrenokortisme menyebabkan dehidrasi disertai hipotiroidsme, setalah
penggantian terapi hormon anjing mengalami edema pulmonum (Paik et al., 2019).
Kasus 3 : Berdasarkan pemeriksaan klinis dan ekhokardiografi anjing kasus didiagnosis
chemodectoma dengan efusi pada pericardium, pleura, dan perioteneal. Pasca
operasi, berdasarkan hasil radiografi terdeteksi edema pulmonum pada anjing
kasus

Prognosa
Berdasarkan anamnesa, gejala dan pemeriksaan klinis terhadap kasus 1, 2 dan 3 di
simpulkan prognosa fausta.

Treatment
Kasus 1 : Terapi pada anjing yakni pemasangan kateter, terapi oksigen, dan pemberian
butorphanol (0.2 mg/kg, IM), etamsilat (10 mg/kg, IV, TID), aminophylin (5
mg/kg, IV, TID), dan furosemide (4 mg/kg).
Pada hari ke-2, kondisi membaik tetapi dengan klinis sedikit dispnea, orthopnea,
dan takipnea (60 kali/menit). Oksimetri saturasi oksigen 99%. Hasil CBC
menunjukkan limfositopenia (768×109/l, normal: 1000-3600), monositosis
(1440×109/l, normal: 0-500). Profil biokimia tampak peningkatan ALT (1.57
μkat/l, normal: 0.1-1), dan hipokalemia (3.5 mmol/l, normal: 3.6–5.5).
Berdasarkan hal tersebut terapi yang sama dilanjutkan. Pada hari ke-3, kondisi
anjing membaik, pemberian aminophylin dan etamsilat tidak dilanjutkan dan
furosemide dikurang (2mg/kg, IV, BID). Pada hari ke-4, anjing sudah
dipulangkan dengan pemberian terapi obat furosemide (1 mg/kg, PO, BID,
selama satu minggu).
Kasus 2 : Pada awal terapi cairan diberikan 0.9% sodium chloride dengan kecepatan
40mL/kg/jam selama 1 jam. Setelah diagnosis, anjing diberikan injeksi
dexametason fosfat (0.5 mg/kg IV), kemudian diberikan terapi cairan kembali
yakni 0.9% sodium chloride dan 5% dektrosa (8 mL/kg/jam IV selama 5 jam,
setelahnya menjadi 2.5 mL/kg/jam IV) selama 4 hari. Setelah 24 jam diberikan
fludrocortison asetat (0.01 mg/kg) dan prednisolon (0.1 mg/kg) diberikan dua kali
sehari.
Pada hari ke-2, anjing mengalami brakikardi (50-60 kali/menit) dan
hipotiroidsme, maka anjing diberikan levothryroxine (0.01 mg/kg, PO, setiap 12
jam).
Pada hari ke-6, anjing didiagnosis edema pulmonum, sehingga diberikan
pimobendan (0.25 mg/kg) dan furosemide (2 mg/kg) PO dua kali sehari. Pada
hari ke-7, takipnea sudah berkurang dan berkurangnya edema pulmonum
berdasarkan hasil radiografi.
Pada hari ke-11, berdasarkan hasil radiografi tidak ditemukan tanda edema
pulmonum, pemberian furosemide dihentikan, dan ditingkatkan dosis
levothyroxine (0.0123 mg/kg PO setiap 12 jam), terapi mineralokortikoid diganti
dari fludcortisone asetat menjadi deoxycortison pivalat (DOCP) (2.2 mg/kg IM
setiap 25 hari), dan prednisolone (0.5 mg/kg) dua kali sehari
Kasus 3 : Pasca operasi perikardektomi anjing didiagnosis edema pulmonum sehingga anjing
diberikan terapi furosemide (2 mg/kg IV) kemudian diulang satu jam kemudian
untuk dosis kedua, saturasi oksigen dengan FI’O2 40% (2 L/menit, nasal kateter),
dan Hartmannn solution (1.9 mL/kg/jam). Analgesik pasca operasi diberikan
methadone (0.2 mg/kg, IV setiap 4 jam) dan carprofen (4 mg/kg, IV, SID). Dua
hari kemudian kondisi anjing membaik dan dipulangkan.

PEMBAHASAN

Edema pulmonum adalah akumulasi cairan yang berlebih di dalam jaringan


interstisial atau alveoli paru. Edema pulmonum bukan suatu penyakit primer, tetapi terjadi
secara sekunder akibat gangguan keseimbangan transportasi cairan. Akumulasi cairan mula-
mula terdapat di daerah perivascular dan peribronkial dari jaringan interstial paru, dan bila
cairan bertambah banyak alveoli juga terisi banyak cairan. Endema pulmonum menyebabkan
disfungsi paru dengan cara menghalangi ventilasi bagian paru yang terkena, gangguan elastis
paru, dan bronkhokonstriksi. Hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
paru dengan akibat hipoksemia (Trilakso, 2016).
Diagnosis pada kasus edema pulmonum ditegakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiografi. Teknik-teknik diagnostic untuk menentukan
penyakit primer. Pada pemeriksaan klinis yang umum ditemukan pada ketiga kasus edema
pulmonum ini yakni mukosa sianosis, takipnea disertai dispnea, terdengar stidor pada area
laring, dan suara crackleas saat auskultasi paru. Hasil pemeriksaan radiografi yang
mengarahkan diagnosa edema pulmonum sesuai dengan pemeriksaan pada kasus 1 dan 3.
Pada ketiga laporan kasus diatas, edema pulmonum terjadi akibat kausa yang berbeda-
beda, pada kasus 1 anjing mengalami edema pulmonum akibat traumatik, luka akibat berburu
ataupun stress latihan, kasus 2 diakibatkan anjing mengalami edema pulmonum akibat
poliendokrinopati, setalah penggantian terapi hormon, dan kasus 3 akibat anjing pasca
operasi perikariedktomi. Kasus 1 kejadian edema pulmonum dikaitkan dengan non-
kardiogenik edema pulmonum (NCPO) dengan faktor predisposisi hipoglikemia transien dan
stres setelah berburu (Egenvall et al., 2004). Hormon katekolamin akan meningkat pada
NCPO (Glaus et al., 2010). Katekolamin menyebabkan meningkatkan sirkulasi sistemik.
Peningkatan tekanan arteri sistemik dan pulmonum menyebabkan kerusakan epitel alveolo-
kapiler sehingga peningkatan permiabilitas (Brachamnn dan Waldrop, 2012). Kasus 2 anjing
mengalami poliendokrinopati menyebabkan defisiensi endokrin yang dikaitkan dengan
disfungsi jantung (Khoctali et al., 2011). Penggantian terapi hormonal menjadi fludcotrisone,
steroid mineralokortikoid, dilaporkan dapat menyebabkan congestive heart failure (CHF),
dikarenakan retensi garam dan cairan sebagai efek adaptasi ginjal (Miyamori, 2008). Dan
pada kasus 3 anjing mengalami edema pulmonum pasca operasi perikariedktomi dikarenakan
ketika prosedur operasi obstruksi saluran pernafasan dapat berkontribusi menjadi edema
pulmonum akibat peningkatan upaya inspirasi.

Treatment kasus pada edema pulmonum bisa diberikan dengan terapi oksigen,
pemberian obat diuretic (furosemide), dan aminophyilin merupakan golongan obat gangguan
pernafasan bersifat bronkodilatator. Kemudian hewan dikandangkan dan aktivitas dibatasi
sampai edema hilang.

SIMPULAN
Edema pulmonum adalah akumulasi cairan yang berlebih di dalam jaringan
interstisial atau alveoli paru. Hasil pemeriksaan klinis umum dari kasus yakni mukosa
sianosis, takipnea disertai dispnea, terdengar stidor pada area laring, dan suara crackleas saat
auskultasi paru. Hasil pemeriksaan radiografi yakni melihat pola alveolar dan interstitial.
Teknik-teknik diagnostic untuk menetukan penyakit primer. Untuk treatment bisa dilakukan
dengan terapi oksigen, pemberian obat diuretic (furosemide), dan aminophyilin yang
merupakan obat bronkodilator.
DAFTAR PUSTAKA
Agudelo CF, Schanilec P. 2019. Pulmonary oedema in a hunting dog: a case report.
Veterinarni Medicina, 60 (8): 446–449.
Egenvall A, Swenson L, Andersson K. 2004. Inheritance and determinants of pulmonary
oedema in Swedish hunting dogs. Veterinary Record 155, 144–148.
Glaus T, Schellenberg S, Lang J. 2010. Cardiogenic and noncardiogenic pulmonary oedema:
pathomechanisms and causes. Schweizer Archiv fur Tierheilkunde 152, 311–317.
Melis S, Schauvliege S, Bosmans T, Gasthuys F, Polis I. 2014. Case report: Pulmonary
edema as a postoperative complication in two obese patients (a horse and a dog).
Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift 83: 60-65.
Miyamori I. 2008. Synthetic mineralocorticoid. Nihon Rinsho 66:125– 129.
Paik J, Kang JH, Chang D, Yang MP. 2019. Cardiogenic Pulmonary Edema in a Dog
Following Initiation of Therapy for Concurrent Hypoadrenocorticism and
Hypothyroidism. American Animal Hospital Association. JAAHA 52 (6): 378-385.
Trilakso Nusidanto. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Veteriner Anjing dan Kucing.
Airlangga University Press. Hal. 106-107

Anda mungkin juga menyukai