Anda di halaman 1dari 17

CASE REPORT

HERPES ZOOSTER

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi


Kepaniteraan Klinik di Bagian Oral Medicine

Oleh:
RIFQI ARIS PRANATA
19100707360804047

Pembimbing :
drg. Rifani

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2020
MODUL 3
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG

HALAMAN PENGESAHAN
Telah didiskusikan Case Report “Herpes Zooster”

guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 3.

Padang, Agustus 2020

Disetujui Oleh

Dosen Pembimbing

(drg. Rifani)
PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles, dampa atau cacar ular telah dikenal
sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus
yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster (VZV). Infeksi
ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang
telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.
Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta
timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi
serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan nervus
kranialis. 1,2

Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada


perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan
meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 2-5
per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50
tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun.3

Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama


terjadi varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit
dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan
secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi
menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan
untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada umumnya
terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang
terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan
tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular
merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi
3,4
endogen.

Infeksi pada mata terjadi jika reaktivasi virus berada pada


ganglion sensoris dari nervus trigeminus (N.V), meskipun masuknya
virus dari luar juga mungkin dapat terjadi. Reaktivasi terjadi saat
imunitas seluler terhadap virus menurun. Penyakit ini jarang
ditemukan pada anak-anak, tetapi terjadi konstan pada usia 20-50
tahun dan lebih tinggi pada usia >60 tahun. Faktor risiko lainnya
adalah pengobatan dengan kortikosteroid, terapi radiasi,
imunosupresi, transplantasi organ dan penyakit sistemik seperti SLE,
AIDS, leukemia, atau lymphoma. Pada orang dewasa muda lebih
sering terjadi reaktivasi dikarenakan penggunaan obat imunosupresif
dan meningkatnya AIDS pada usia ini. Oleh sebab itu, karena herpes
zoster dapat terjadi pada orang dengan AIDS, maka tes sindroma ini
5
diindikasikan pada pasien dibawah 50 tahun.

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus,


komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu
berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi
jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus
terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang
terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi
herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek
imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi. 4

Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan


utama yaitu: mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang
ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan mencegah timbulnya
neuralgia paska herpetik. Prognosis umumnya baik tergantung pada
factor predisposisi yang mendasari. Pada herpes zoster oftalmikus
6
prognosis tergantung pada perawatan dan pengobatan secara dini.
PEMBAHASAN

Pasien Nn. C. datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSSA


pada tanggal 16 Juni 2010 dengan keluhan utama nyeri dan terasa
panasdisertai bentol-bentol berisi cairan pada pelipis kanan. Pasien
didiagnosa dengan Herpes Zoster Ophtalmicus Dextra. Diagnose
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
tambahan sederhana.

Etiologi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus


varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan
reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap
dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. Kadang-kadang
infeksi primer berlangsung subklinis. Frekuensi penyakit pada pria
dan wanita sama, lebih sering mengenai usia dewasa. 6

Virus varisela zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus


ini berukuran 140- 200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes
viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan
kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV dalam
subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer
pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah
infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam
bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada
saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in
vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas
dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim
yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase
dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di
7
dalam sel yang terinfeksi.

Patogenesis
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah
nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah
sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan
asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo
Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi
kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan
penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar
melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan
berdiam diri atau laten didalam neuron. Virus berdiam diri di
ganglion posterior saraf tepid an ganglion kranialisSelama antibodi
yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang
laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana
antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi
dari virus sehingga terjadi herpes zoster.6,8,9

Herpes Zoster Ophtalmicus (HZO) terjadi sekitar 10-15% dari


kasus Zoster. HZO terjadi karena virus menginvasi ganglion Gasserian.
Untuk alasan yang belum
 jelas, keterlibatan cabang ophtalmicus (N. V1) 5 kali lebih sering
daripada keterlibatan dari cabang maksilaris (N. V2) atau cabang
mandibularis (N. V3). 10

Gejala Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan


parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa
hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit
kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama
pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi
yang lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis
tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai
dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat
jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi
pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian,
lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3
minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua.
Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat
menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat
menetap, walaupun krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes
zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal
(55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%). 6,11 Kelainan
pada wajah diakibatkan oleh gangguan nervus trigeminus (dengan
ganglion gaseri) yang salah satu gejalanya adalah herpes zoster
ophtalmicus atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum) yang disebut Ramsay Hunt Sindrom.
Pada Herpes zoster oftalmikus ditandai erupsi herpetic
unilateral pada kulit. Gejala prodromal seperti lesu, demam ringan,
mual muntah dapat timbul. Gejala prodromal berlangsung 1 sampai 4
hari sebelum kelainan kulit timbul. Tanda iritasi meningeal seperti
kaku kuduk juga dapat timbul. Selain itu timbul juga gejala fotofobia,
banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka
karena perjalanan cabang dari nervus ophtalmicus yang member
cabang ke nervus Arnold rekuren dan N III dan N VI.7

Diagnosis dan Pemeriksaan Klinis

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan


berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
timbulnya kelainan kulit. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit
didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise.
Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian
berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat
membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-
mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula
bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi
krusta. Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan
dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark
miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun
bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik
dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel
berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu
7,9,10
dermatom.

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck


membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti
banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material
biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel
pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus
ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan
antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan
diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi
dengan mikroskop elektron
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
11
3. Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

Diagnosis Banding

 Herpes simpleks

Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang


bergerombol, di atas dasar kulit yang kemerahan. Sebelum timbul
vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang
terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks
terdiri atas 2, yaitu tipe 1 dan 2. Lesi yang disebabkan herpes
simpleks tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut,
tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan
oleh herpes simpleks tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat,
terutama di sekitar alat genitalia eksterna.

 Varisela
Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti
tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan
kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal dari badan
ke muka dan ekstremitas.
 Impetigo vesiko-bulosa

Terdapat lesi berupa vesikel dan bula yang mudah pecah dan
menjadi krusta. Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung dan
sering bersamaan dengan miliaria. Penyakit ini lebih sering dijumpai
pada anak-anak.

Penatalaksanaan

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:


1. Mengatasi infeksi virus akut
2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster 
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik. 6

Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena


dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi
varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel
tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.
8
Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.

Pengobatan Khusus

1. Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,


misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral
ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak
lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800
mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya
digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang
tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi
herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000
mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain
itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama
12,13
7 hari.

2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang


ditimbulkan oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan
adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari
diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika
nyeri muncul.12,13

3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom


Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan
dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara
bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus. 6

Pengobatan topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih


stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila
erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat
diberikan salap antibiotik. 6

Pada HZO dibutuhkan pengobatan yang agresif dan monitoring


karena kemungkinan keterlibatan infeksi mata. Keterlibatan infeksi
pada mata terjadi pada setengah dari herpes zoster ophtalmicus. Secara
sederhana, keterlibatan mata ditandai dengan adanya vesikel pada
ujung hibung karena keterlibatan cabang nasociliar (hukum
Hutchinson).10

Komplikasi

Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik (PHN) adalah rasa nyeri yang timbul


pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung
selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini
cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10-15 %
dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita
maka semakin tinggi persentasenya. Pada HZO, kejadian PHN lebih
sering daripada manifestasi zoster yang lain.

Infeksi sekunder 

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa


komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi
H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi.
Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.

Kelainan pada mata

Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak


terdeteksi dan diterapi dengan tepat. Adanya edem orbita adalah
emergensi ophtalmologi dan pasien harus dirujuk ke spesialis mata.
Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus kornea dapat terjadi pada
kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah fisura palpebra
inferior tanpa disertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal
menunjukkan tidak adanya komplikasi pada mata karena daerah
kelopak bawah diinervasi oleh nervus maksillaris superior.

Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus


fasialis dan otikus ganglion genikulatum), sehingga memberikan gejala
paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan
tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus,
nausea, dan gangguan pengecapan.

Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi


akibat perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik
ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam
2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi
seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria
dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.

Prognosis

Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya


baik, tetapi usia tua risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan
secara kosmetika dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau
sikatrik. Dengan memperhatikan higiene & perawatan yang teliti akan
memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang timbul akan
menjadi sedikit.

KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


virus varisela- zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster
oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis dan sakralis.
Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok
vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas
bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf
yang terinfeksi virus.

Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah


melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck
dengan menemukan sel datia berinti banyak. Pada umumnya penyakit
herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi pada
beberapa kasus seperti herpes zoster ophtalmicus dan Ramsay Hunt
Sindrom dapat timbul komplikasi sehingga butuh pengobatan yang
agresif. Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:


http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm [diakses pada
tanggal 24 September 2000].
2. Stawiski MA. Infeksi Kulit. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC, 1995; 1291.
3. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Edisi Ke-2. Jakarta: ECG, 2005 ; 84-7.
4. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates, 2000; 92-4.
5. Achdannasich. Herpes Zoster Bilateral Asimetris-Pada Anak.
Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin Indonesia Menjelang
Abad 21. Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ;
212-4.
6. Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-
Zoster pada Bayi dan Anak. Media Dermato-Venereologica
Indonesiana. Volume 27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s-71s.
7. Niode NJ, Suling PL. Insiden Herpes Zoster Pada Anak di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Manado. Perkembangan
Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia Menjelang Abad 21.
Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 215.
8. Stankus SJ, Dlugopolski M, Packer D. Management of Herpes
Zoster and Post Herpetic Neuralgia. eMedicine World Medical
Library: http://www.emedicine.com/info_herpes_zoster.htm [diakses
pada tanggal 17 Juni 2010].
9. Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2005; 110-2.
10. Naros WE. Tinjauan Retrospektif Penyakit Herpes Zoster Pada
Penderita Yang Dirawat Di Bagian Kulit Dan Kelamin RSUP DR.
M. Djamil Padang Periode 1993-1997. Skripsi. Padang: 1999; 5-9.
11. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes
Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga
University Press, 2001.
12. Andrews. Viral Diseases. Diseases of the Skin. Clinical
Dermatology. 9th Edition. Philadelphia: WB Saunders Company,
2000; 486-491.
13. Wilmana PF. Antivirus dan Interferon. Farmakologi dan Terapi.
Edisi Ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1995; 617.
14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia. Jakarta: Medical Multimedia, 2005; 68-9.
15. Moon JE. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/med/topic1007.htm [diakses pada
tanggal 17 Juni 2010].
16. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Penyakit
Virus. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000, 128-9.

Anda mungkin juga menyukai