Anda di halaman 1dari 60

PERILAKU KONSUMEN JASA

Dosen Pengampu: Dr. Nur Afifah, SE., M.Si

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 3
1. BANNY FIRMAN SIRAIT (B1021171089)
2. BUKRI (B1021171048)
3. MARTON FEBRIANTO (B1021171056)
4. ANDRIANO UTOH (B1021171111)

PRODI : MANAJEMEN
KELAS : MANAJEMEN A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Perilaku Konsumen Jasa” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pemasaran Jasa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu, di antaranya sebagai berikut.
1. Dr. Nur Afifah, SE., M.Si, selaku dosen pengampu mata kuliah Pemasaran
Jasa yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan makalah ini
hingga selesai.
2. Rekan-rekan kelompok yang telah bekerjasama dengan semaksimal mungkin.
Penulis telah berusaha secara maksimal dalam penulisan makalah ini.
Apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini baik dari
isi maupun sistematika penulisannya maka kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat penulis harapkan demi perkembangan penulisan makalah
selanjutnya.
Penulis berharap semoga melalui makalah ini, pembaca dapat mengetahui
dan memahami mengenai Perilaku Konsumen Jasa.

Pontianak, 11 Maret 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................i
DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1


A. Latar Belakang ..............................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
A. Definisi dan Domain Perilaku Konsumen..................................4
B. Rerangka Analisis Perilaku Konsumen Jasa ............................12
1. Identifikasi Kebutuhan........................................................12
2. Pencarian Informasi.............................................................15
3. Evaluasi Alternatif................................................................21
4. Pembelian dan Konsumsi Jasa ...........................................34
5. Evaluasi Purnabeli................................................................38
C. Customer Convenience ................................................................48

BAB III PENUTUP.........................................................................................56


A. Kesimpulan.....................................................................................56
B. Saran...............................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................57

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemahaman mengenai perilaku konsumen merupakan kunci sukses
utama bagi para pemasar. Setidaknya terdapat tiga alasan fundamental
mengapa studi perilaku konsumen sangat penting. Pertama, pencapaian tujuan
bisnis dilakukan melalui penciptaan kepuasan pelanggan. di mana pelanggan
merupakan fokus utama setiap bisnis. Melalui pemahaman atas perilaku
konsumen, seorang pemasar bisa benar-benar mengetahui apa yang
diharapkan peIanggan, mengapa konsumen membeli produk atau jasa tertentu
sebagaimana yang dilakukannya dan mengapa pelanggan cenderung bereaksi
secara spesifikasi terhadap stimulus pemasaran. Lebih lanjut. pemasar juga
bisa mengembangkan database marketing dalam rangka menerapkan
relationship marketing yang saling menguntungkan dalam jangka paniang
dengan para pelanggan penting.
Kedua. studi perilaku konsumen dibutuhkan dalam rangka
mengimplementasikan orientasi pelanggan sebagaimana ditegaskan dalam
konsep pemasaran, konsep pemasaran sosial, dan konsep pelanggan. Untuk
itu dibutuhkan pengembangan “customer culture". yaitu budaya organisasi
yang mengintegrasikan kepuasan pelanggan ke dalam misi dan visi
perusahaan. serta memanfaatkan pemahaman atas perilaku konsumen sebagai
masukan dalam merancang setiap keputusan dan rencana pemasaran.
Berbagai riset menunjukkan bahwa orientasi pelanggan bisa memberikan
seiumlah manfaat. di antaranya meningkatnya produktivitas perusahaan
(sebagai hasil peningkatan efisiensi biaya dalam melayani repeat customers;
kesediaan pelanggan yang puas untuk membayar harga premium; dan
bertumbuhkembangnya loyalitas pelanggan) dan meningkatnya pertumbuhan
pendapatan (melalui gethok tular positif; inovasi produk baru; dan penjualan
silang produk dan/atau jasa lain kepada pelanggan yang sama).

1
Ketiga. salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa setiap orang
adalah konsumen. Konsekuensinya. kita juga harus mempelajari cara menjadi
konsumen yang bijak. agar dapat membuat keputusan pembelian yang
optimal.
Dalam bab ini akan dikupas definisi dan domain studi perilaku konsumen.
dilaniutkan dengan pembahasan khusus mengenai perilaku konsumen dalam
konteks pemasaran jasa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat diidentifikasikan pokok-pokok permasalahannya, yaitu sebagai berikut:
1. Apa manfaat dan tujuan yang diperoleh perusahaan/produsen dalam
memperhatikan perilaku konsumen jasa?
2. Apa pengertian dari perilaku konsumen dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi perilaku konsumen jasa?
3. Bagaimana strategi pemasaran yang tepat untuk menciptakan keputusan
pembelian pada konsumen?
4. Masalah apa saja yang dihadapi dalam memahami perilaku konsumen
jasa?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui manfaat dan tujuan yang diperoleh
perusahaan/produsen dalam memperhatikan perilaku konsumen jasa.
2. Untuk mengetahui arti dari perilaku konsumen dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku konsumen jasa.
3. Untuk mengetahui strategi pemasaran yang tepat untuk menciptakan
keputusan pembelian pada konsumen.
4. Untuk mengetahui masalah apa saja yang dihadapi dalam memahami
perilaku konsumen jasa.

2
D. Manfaat Penulisan
1. Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pemahaman penulis tentang alasan perusahaan/produsen perlu memahami
perilaku konsumen jasa dan hal-hal apa yang perlu diperhatikan
produsen/perusahaan dalam memperhatikan perilaku konsumen jasa.

2. Hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sumber informasi dan


masukan bagi perusahaan/produsen guna untuk meningkatkan jumlah
penjualan produk mereka.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI DAN DOMAIN PERILAKU KONSUMEN


Para pemasar membutuhkan informasi yang andal mengenai para
konsumennya dan keterampilan khusus untuk menganalisis dan
menginterpretasikan informasi tersebut. Kebutuhan ini berkontribusi pada
pengembangan perilaku konsumen sebagai bidang studi spesifik dalam
pemasaran. Secara sederhana. istilah perilaku konsumen mengacu pada perilaku
yang ditunjukkan oleh para individu dalam membeli dan menggunakan barang
dan jasa. Studi secara sistematis mengenai konsumen dan aktivitas-aktivitasnya
telah berkembang pesat sejak dekade 1950an (Craig-Lees, Joy & Browne. I995).
Sebagai disiplin ilmu. perilaku konsumen banyak mengadaptasi konsep-konsep
dari ilmu ekonomi, psikologi eksperimental, psikologi klinis, psikologi
perkembangan, psikologi sosial, sosiologi, ekologi, ekonomika, demografi,
seiarah, antropologi, statiscika, dan lain-lain. Pada hakikatnya, lingkup studi
perilaku konsumen meliputi sejumlah aspek krusial berikut:
Siapa yang membeli produk atau jasa? (WHO)
Apa yang dibeli? (WHAT)
Mengapa membeli produk atau jasa tersebut? (WHY)
Kapan membeli? (WHEN)
Dimana membelinya? (WHERE)
Bagaimana proses keputusan pembeliannya? (HOW)
Berapa sering membeli dan/atau menggunakan produk/jasa? (HOW
OFTEN)
Salah satu faktor fundamental dalam studi perilaku konsumen adalah
premis bahwa “people often buy product not for what they do, but for what they
mean”. Artinya. konsumen membeli sebuah produk bukan semata-mata karena
mengejar manfaat fungsionalnya. namun Iebih dari itu juga mencari makna
tertentu (seperti citra diri, gengsi. bahkan kepribadian). Kebanyakan orang belum
tentu bisa melompat lebih tinggi atau lari lebih cepat. meskipun sudah memakai

4
Nike, Reebok, atau Adidas. Akan tetapi, cukup banyak orang yang loyal pada
merek-merek ternama tersebut. lni menunjukkan bahwa makna konsumsi sebuah
produk bisa bermacam-macam bagi konsumen yang berbeda. Pemasar yang
cerdik cenderung berusaha menciptakan ikatan tertentu antara produk yang
ditawarkannya dengan konsumen. Secara garis besar, ada empat tipe makna
konsumsi yang dialami konsumen:
SeIf-concept attachment, yaitu produk membantu pembentukan identitas
diri konsumen. Contohnya, pembelian parfum, perhiasan, kemeja, sepatu, mobil,
laptop, ponsel, dan produk-produk lainnya yang bermerek eksklusif.
Nostalgic attachment, yaitu produk bisa menghubungkan konsumen
dengan kenangan masa lalunya. Contohnya, album musik lama yang dirilis ulang
(seperti album The Beatles, Boney M. Elvis Presley, Frank Sinatra, ABBA, dan
seterusnya), acara “Zona 80" di MetroTV, reuni SMA, temu alumni, dan lain-lain.
Interdependence, di mana produk menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari
pelanggan. Contohnya, pembelian peralatan rumah tangga yang digunakan sehari-
hari, sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, naik angkutan umum ke tempat kerja, dan
seterusnya.
Love, di mana produk membangkitkan ikatan emosional tertentu. seperti
kehangatan, kegairahan, dan emosi lainnya. Misalnya, acara Hash House Harrier
dan management outbound.
Sementara itu. kenyataan menunjukkan bahwa keinginan, pilihan, dan
tindakan konsumen kadangkala menghasilkan konsekuensi negatif terhadap
dirinya sendiri dan/atau masyarakat sekitarnya. Kondisi ini bisa diakibatkan
tekanan sosial maupun eksposur berlebihan terhadap citra ideal kecantikan dan
kesuksesan yang sulit diwujudkan. Tekanan sosial, misalnya, bisa mendorong
seseorang untuk merokok secara berlebihan, mengkonsumsi minuman beralkohol,
mengkonsumsi narkoba, mengutil, melakukan penipuan asuransi agar bisa cepat
kaya, dan seterusnya. lndividu yang terus-menerus terobsesi untuk tampil cantik
dan menarik seperti yang sering dicitrakan lewat iklan televisi bisa saja tidak
pernah puas terhadap dirinya, lalu melakukan operasi plastik, mengkonsumsi
obat-obatan untuk melangsingkan tubuh, mengalami bulimia, dan seterusnya.

5
Situasi-situasi negatif semacam ini disebut "the dark side of consumer behavior"
dan bisa diklasiflkasikan meniadi:
Addictive consumption, misalnya kecanduan Internet dan chatting,
videogames, norkoba, dan lain-lain.
Compulsive consumption, misalnya ‘shopaholics’ (‘born to shop’) yang
cenderung secara permanen terdorong untuk selalu berbelanja. sekalipun tidak
membutuhkan produk yang dibeli dan bahkan secara finansial tidak mampu untuk
membelinya.
Consumed consumers, yaitu orang yang dimanfaatkan atau dimanipulasi,
baik secara sukarela maupun tidak, demi kepentingan komersial tertentu.
Contohnya, prostitusi, penjualan organ tubuh, penjualan bayi, dan surrogate
mothers.
Aktivitas-aktivitas ilegal seiauh ini terdapat berbagai macam definisi
spesifik mengenai perilaku konsumen, di antaranya:
Perilaku konsumen (consumer behavior) adalah “aktivitas-aktivitas
individu dalam pencarian, pengevaluasian, pemerolehan, pengkonsumsian, dan
penghentian pemakaian barang dan jasa" (Craig-Lees, joy & Browne, I995).
Perilaku konsumen adalah “aktivitas mental dan fisik yang dilakukan oleh
pelanggan rumah tangga (konsumen akhir) dan pelanggan bisnis yang
menghasilkan keputusan untuk membayar, membeli, dan menggunakan produk
dan jasa tertentu" (Sheth & Mittal, 2004).
Perilaku konsumen adalah “perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen
dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghentikan
konsumsi produk dan jasa yang mereka harapkan dapat memuaskan kebutuhan
mereka" (Schiffman, Kanuk & Wisenblit, 20l0).
Perilaku konsumen adalah “studi mengenai individu, kelompok atau
organisasi dan proses-proses yang mereka gunakan untuk menyeleksi,
mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produ, jasa,
pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan, serta dampak proses-proses
tersebut terhadap konsumen dan masyarakat" (Hawkins & Mothersbaugh, 20l3).

6
Perilaku konsumen adalah “proses-proses yang terjadi manakala individu
atau kelompok memilih, membeli, menggunakan, atau menghentikan pemakaian
produk, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat
tertentu” (Solomon, 20l3).
Beberapa deflnisi di atas memiliki kemiripan satu sama lain, di mana
domain perilaku konsumen bisa dirumuskan sebagaimana tersaji dalam Gambar
3.l, yakni perilaku individu atau kelompok dalam mendapatkan, mengkonsumsi
dan menghentikan pemakaian produk, jasa, ide dan/atau pengalaman tertentu.

Secara skematis, dimensi perilaku konsumen meliputi tiga aspek utama:


tipe, perilaku, dan peranan pelanggan (lihat Gambar 3.2).

7
a.Tipe pelanggan meliputi:
Konsumen akhir atau konsumen rumah tangga, yaitu konsumen yang melakukan
pembelian untuk kepentingan dirinya sendiri, kepentingan keluarganya, atau
keperluan hadiah bagi teman maupun saudara, tanpa bermaksud untuk
memperjual-belikannya. Dengan kata lain, pembelian dilakukan semata-mata
untuk keperIuan konsumsi sendiri.
Konsumen bisnis (disebut pula konsumen organisasional, konsumen industria,.
atau konsumen antara) adalah jenis konsumen yang melakukan pembelian untuk
keperluan pemrosesan lebih laniut kemudian dijual (produsen); disewakan kepada
pihak lain; dijual kepada pihak lain (pedagang); digunakan untuk keperluan
layanan sosial dan kepentingan publik (pasar pemerintah dan organisasi). Dengan
demikian, tipe konsumen ini meliputi organisasi bisnis maupun organisasi nirlaba
(seperti rumah sakit, sekolah, instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat,
dan sebagainya).
b. Peranan konsumen terdiri dari:
User adalah orang yang benar-benar (secara aktual) mengkonsumsi atau
menggunakan produk atau mendapatkan manfaat dari produk atau jasa yang
dibeli. Payer adalah orang yang mendanai atau membiayai pembelian. Buyer
adalah orang yang berpartisipasi dalam pengadaan produk dari pasar. Masing-

8
masing peranan di atas bisa dilakukan oleh satu orang. bisa pula oleh individu
yang berbeda. Jadi, seseorang bisa menjadi user sekaligus payer dan buyer. Selain
itu, bisa juga individu A meniadi payer, B menjadi user, dan C menjadi buyer. ltu
semua tergantung pada konteks atau situasi pembelian.
c. Perilaku pelanggan, terdirl atas:
Aktivitas mental, seperti menilai kesesuaian merek produk, menilai
kualitas produk berdasarkan informasi yang diperoleh dari iklan, dan
mengevaluasi pengalaman aktual dari konsumsi produk/jasa.
Aktivitas fisik, meliputi menguniungi toko, membaca panduan konsumen
atau katalog, berinteraksi dengan wiraniaga, dan memesan produk.
Pemahaman atas proses aktivitas mental dan fisik pelanggan ini mengarah
pada pengidentiftkasian pihak mana saja yang terlibat dalam proses tersebut. siapa
saja yang memainkan masing-masing peran yang ada (user, payer, dan buyer),
mengapa proses-proses tententu bisa teriadi, karakteristik konsumen seperti apa
yang menentukan perilaku mereka, dan faktor lingkungan apa yang
mempengaruhi proses perilaku pelanggan.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara konsumen dan produsen
(termasuk penyedia jasa), pada tanggal 20 april 1999 pemerintah indonesia telah
mengundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum Pasal 3 UU No. 8 Tahun I999
menegaskan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif Pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

9
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.

Dalam Pasal 4 ditetapkan bahwa hak-hak konsumen meliputi:


a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi. Perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan komsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian.
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.

10
Di samping hak, konsumen juga memiliki berbagai kewajiban sebagai
penyeimbang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 5 sebagai berikut:
a. Konsumen wajib membaca atau mengikuti petuniuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
b. Konsumen wajib beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa.
c. Konsumen wajib membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Konsumen wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Sementara itu, pelaku usaha juga memiliki beberapa hak dan kewajiban
sebagaimana diatur dalarn Pasal 6 dan 7 UU No. 8 Tahun I999 tersebut. Yang
dimaksud dengan pelaku usaha meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan Iain-Iain. Pasal 6 menegaskan bahwa hak-hak
para pelaku usaha meliputi:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

11
Kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 meliputi antara
lain:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

B. KERANGKA ANALISIS PERILAKU KONSUMEN JASA


Proses keputusan konsumen bisa diklasifikasikan secara garis besar ke dalam tiga
tahap utama: pra-pembelian, konsumsi, dan evaluasi purnabeli (lihat Gambar 3.3).
Tahap prapembelian mencakup semua aktivitas konsumen yang terjadi sebelum
terjadinya transaksi pembelian dan pemakaian jasa. Tahap ini meliputi tiga proses;
yakni identifikasi kebutuhan, pencarian informasi dan evaluasi alternatif. Tahap
konsumsi merupakan tahap proses keputusan konsumen di mana konsumen
membeli dan menggunakan produk atau jasa. Sedangkan tahap evaluasi purnabeli
adalah tahap proses pembuatan keputusan konsumen sewaktu konsumen
menentukan apakah ia telah membuat keputusan pembelian yang tepat.

12
Kesemua proses dalam Gambar 3.3 dilalui manakala konsumen membeli jasa
berketerlibatan tinggi (highmvolvement services), yaitu jasa yang secara
psikologis penting bagi konsumen karena menyangkut kebutuhan sosial atau seIf-
esteem, serta memiliki persepsi risiko yang besar (risiko sosial, risiko psikologis,
dan risiko finansial). Sementara dalam situasi pembelian jasa berketerlibatan
rendah, proses pencarian informasi dan evaluasi alternatif biasanya minimum. Tak
iarang bahkan keputusan pembelian dilakukan secara impulsif.
Secara umum, contoh-contoh produk berketerlibatan tinggi meliputi mobil,
rumah, paket wisata atau liburan, jasa wedding planner, deodoran, jasa pendidikan
tinggi, jasa dokter gigi, dan seterusnya. Sementara produk berketerlibatan rendah
meliputi sereal, makanan ringan, tisu toilet, surat kabar, jasa laundry, jasa
fotokopi, dan lain-Iain. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tingkat keterlibatan
konsumen dengan pembelian produk atau jasa tertentu amat bergantung pada
kebutuhan pada kebutuhan yang ingin dipuaskan dan sumber daya yang tersedia.
Dengan demikian, produk berketerlibatan tinggi bagi seseorang, bisa jadi adalah
produk berketerlibatan rendah bagi orang lain. Perbedaan pokok antara perilaku
konsumen berketerlibatan tinggi dan beketerlibatan rendah dirangkum dalam
Tabel 3.1

13
PERILAKU KONSUMEN PERILAKU KONSUMEN
BERKETERLIBATAN TINGGI BERKETERLIBATAN RENDAH
Konsumen adalah pemroses informasi. Konsumen mempelajari informasi
secara acak
Konsumen adalah pencari informasi. Konsumen adalah pengumpul
informasi.
Konsumen merupakan audiens aktif Konsumen merupakan audiens pasif
bagi periklanan bagi periklanan
Konsumen mengevaluasi merek Konsumen membeli produk atau jasa
sebelum membeli. terlebih dahulu. Kalaupun mereka
mengevaluasi merek, itu dilakukan
setelah pembelian.
Konsumen berusaha memaksimumkan Konsumen mengupayakan tingkat
kepuasan yang diharapkan. Mereka kepuasan yang bisa diterima
membandingkan merek untuk menilai (acceptable). Mereka membeli merek
mana yang memberikan manfaat yang diyakini paling kecil
terbesar bagi pemenuhan kebutuhan kemungkinannya menimbulkan
mereka dan melakukan pembelian atas masalah. Pembelian dilakukan atas
dasar perbandingan multiatribut dasar sedikit atribut. Familiaritas
terhadap berbagai alternatif merek. merupakan kunci utama.
Karakteristik kepribadian dan gaya Karakteristik kepribadian dan gaya
hidup berkaitan dengan perilaku hidup tidak berkaitan dengan perilaku
konsumen karena produk atau jasa konsumen karena produk atau jasa
terkait erat dengan identitas diri dan tidak terkait dengan identitas diri dan
keyakinan konsumen. keyakinan konsumen.
Kelompok referensi mempengaruhi Kelompok referensi tidak banyak
perilaku konsumen karena produk atau berpengaruh terhadap perilaku
jasa yang bersangkutan penting bagi konsumen karena produk atau jasa
norma dan nilai kelompok. bersangkutan tidak terlalu terkait
dengan norma dan nilai kelompok.

1. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

14
Proses pembelian diawali ketika seseorang mendapatkan stimulus (pikiran,
tindakan atau motivasl) yang mendorong dirinya untuk mempertimbangkan
pembelian barang atau jasa tertentu. Stimulus bisa berupa:
a. Commercial cue, yaitu kejadian atau motivasi yang memberikan stimulus bagi
konsumen untuk melakukan pembelian, sebagai hasil usaha promosi perusahaan.
Contohnya, iklan paket wisata ke Amerika, Eropa atau Australia bisa mendorong
konsumen potensial untuk mempertimbangkan pembeliannya.
b. Social cues adalah stimulus yang didapatkan dari kelompok referensi yang
dijadikan panutan atau acuan oleh seseorang. Sebagai contoh, motivasi seseorang
untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi bisa dipicu karena melihat
teman-temannya sibuk mendaftar di beberapa universitas. KeIompok referensi
bisa diklasiflkasikan berdasarkan beberapa kategori, di antaranya frekuensi
kontak, sufat keanggotaan, formalitas, dan kemampuan atau kebebasan anggota
kelompok untuk memilih (Sheth & Mittal. 2004). Dalam kategori frekuensi konta,
misalnya, ada dua macam kelompok: kelompok primer dan kelompok sekunder.
Kelompok primer adalah orang-orang yang seringkali berinteraksi (tidak harus
tatap muka) dengan individu tertentu dan pendapat atau normanya
dipertimbangkan atau dikuti oleh individu tersebut. Sedangkan dalam kelompok
sekunder, interaksi atau kontak lebih jarang dilakukan dan norma kelompok tidak
terlalu mengikat. Berdasarkan sifat keanggotaan, kelompok bisa dibedakan
menjadi membership groups dan symbolic groups. Dalam membership groups.
seseorang yang disebut anggota diakui oleh kepala atau pemimpin atau anggota
kunci kelompok bersangkutan. Sebaliknya, dalam symbolic groups, tidak ada
ketentuan atau prosedur untuk memastikan keanggotaan, dan pemimpin kelompok
atau anggota kunci bahkan mungkin menyangkal keanggotaan. Akan tetapi,
individu menganggap dirinya sebagai seorang anggota dan secara sukarela dan
rendah hati mengadopsi normal dan nilai-nilai kelompok tersebut, serta
mengidentifnkasi diri dengan kelompok bersangkutan. Gambar 3.4 menyajikan
klasifikasi kelompok berdasarkan frekuensi kontak dan sifat keanggotaan.

15
Berdasarkan tingkat formalitas, kelompok bisa dibedakan menjadi kelompok
formal dan kelompok informal. Dalam kelompok formal, perilaku dan tindakan
cenderung diatur dengan jelas dan seringkali dalam bentuk tertulis. Sebaliknya,
dalam kelompok informal, tidak banyak dijumpai aturan eksplisit menyangkut
perilaku kelompok. Dalam choice group, seseorang secara sukarela memilih
untuk bergabung. Sedangkan dalam ascribed group atau assigned group,
keanggotaan bersifat otomatis bagi seseorang yang memiliki karakteristik sama
dengan kelompok bersangkutan. Klasifikasi kelompok berdasarkantingkat
formalitas dan kebebasan memilih di sajikan dalam gambar 3.5.

16
c. Physical cues, yakni stimulus yang ditimbulkan karena rasa haus, lapar, lelah
dan biological cues lainnnya. Misalnya, seseorang yang sedang lapar
mempertimbangkan untuk singgah di salah satu restoran siap saji terdekat.
Stimulus mempengaruhi kebutuhan seseorang akan produk atau jasa
tertentu. Seorang konsumen akan merasakan kebutuhan untuk membeli suatu
produk atau jasa pada situasi “shortage” (kebutuhan yang timbul karena
konsumen tidak memiliki produk atau jasa tertentu) maupun “unfulfilled desire"
(kebutuhan yang timbul karena ketidakpuasan pelanggan terhadap produk atau
jasa saat ini). Sebagai contoh, jika konsumen tertarik pada iklan sebuah
universitas dan saat ini ia belum kuliah, maka situasi yang terjadi adalah shortage.
Sebaliknya, apabila saat ini ia sudah kuliah di salah satu universitas tapi merasa
tidak puas dan ingin pindah, maka yang terjadi adalah unfulfilled desire. Apabila
konsumen tidak mengidentifnkasi shortage atau unfulfilled desire, maka proses
keputusan berhenti di sini.
Karena interaksi sosial berlangsung dalam penyampaian jasa (khususnya
jasa kontak tinggi), pemahaman atas nilai pelanggan atau kebutuhan fundamental
sangat esensial bagi terciptanya kepuasan dan loyalitas pelanggan. Pemahaman
atas kebutuhan dasar manusia berperan penting dalam pemahaman atas cara
konsumen bereaksi terhadap pengalaman penyampaian jasa. Pada hakikatnya,
ekspektasi terhadap kinerja atribut produk merupakan alat atau cara (means)
mencapai tujuan (ends) tertentu. Tuiuan tersebut bisa berupa pemenuhan
kebutuhan fisiologis, keamanan dan rasa aman, sosial, seIf-esteem, maupun
aktualisasi diri.
Secara garis besar, situasi identiflkasi kebutuhan atau masalah bisa
diklasiflkasikan ke dalam empat macam: stock depletion, educational marketing
Iife-stage change, dan new product technology (Sheth & Mittal, 2004; lihat
Gambar 3.6). Klasiflkasi ini didasarkan pada dua dimensi utama: familiar versus
novel (baru) dan vivid (gamblang) versus latent. Familiar problems biasanya
terjadi dikarenakan situasi stock depletion, contohnya perut lapar. Masalah baru
(novel problems) muncul dikarenakan adanya peristiwa hidup yang menandai
perubahan dari satu tahap tertentu ke tahap lain, contohnya pindah kerja, menikah,

17
relokasi internasional, punya anak, dan sebagainya. Vivid problems adalah
masalah-masalah yang tampak jelas dan cepat dikenali. Misalnya bensin mobil
yang sudah hampir habis, pulsa ponsel yang sudah habis, mobil yang mogok, dan
seterusnya. Masalah laten adalah masalah-masalah yang tidak dengan serta-merta
jelas dan kerapkali membutuhkan refleksi diri atau bantuan pihak eksternal
(seperti wiraniaga) untuk memahaminya, contohnya tune-up mobil secara rutin.

Lebih laniut, setiap orang yang mendatangi sebuah pusat perbelanjaan tidak selalu
bertujuan membeli barang atau jasa. Kadangkala ia hanya sekedar ingin melihat-
lihat atau melakukan window shopping dengan dilandasi salah satu atau beberapa
dari motivasi-motivasi berikut:
l. Berekreasi dan mengisi waktu senggang.
2. Bersosialisasi dengan orang lain, baik dengan kenalan maupun orang yang
belum dikenal (misalnya, wiraniaga dan konsumen Iain).
3. Mendapatkan status sosial tertentu.
4. Melakukan self-gratification, yaitu menghibur diri sendiri atau memperlakukan
diri sendiri secara khusus.
5. Mencari informasi mengenai hal-hal baru dan trend-trend baru di pasar,
khususnya bagi para pencinta buku, musik, film, perangkat lunak, peralatan
elektronik, fashion. dan otomotif.
Kehadiran dan pertumbuhan pesat electronic retailers (terutama Internet-
based companies) telah menghadirkan platform ritel alternatif yang menawarkan
kenyamanan, kemudahan, kecepatan. fleksibilitas dan layanan. Dalam konteks
seperti ini, pengecer tidak lagi mampu mempertahankan keunggulan bersaing
dengan semata-mata mengandalkan ancangan konvensional berupa menawarkan
beraneka macam produk/jasa, harga murah dan jam operasi lebih lama. Aspek

18
hiburan dalam dunia ritel (disebut pula "entertailing") mulai banyak
diimplementasikan sebagai alat bersaing utama. Banyak pengecer konvensional
(offline) yang merespon tantangan dari pengecer online dengan cara
mengoptimalkan kelebihan bisnis “brick-and-mortar” yang sulit dipadani
pengecer virtual, yaitu tingkat Iayanan personal yang lebih tinggi; staf yang sangat
terlatih dan terampil; dan lingkungan ritel yang menyenangkan dan menghibur.
Sehubungan dengan pentingnya aspek entertailing, berbagai upaya telah
dilakukan untuk memahami motif-motif hedonis yang mendorong konsumen
untuk berbelanja. Secara sederhana, konsumsi hedonis didefinisikan sebagai
komponen perilaku yang berkaitan dengan aspek-aspek multisensori, fantasi dan
emosi dalam proses konsumsi. Dalam tipe konsumsi seperti ini, konsumen lebih
mengutamakan pengalaman menyenangkan, fantasi, hiburan, dan sensory
stimulation yang didapatkan dari menggunakan produk atau jasa yang dibeli.
Studi eksploratoris kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan Arnold & Reynolds
(2003) mengidentifikasi enam faktor motivasi bebelanja hedonis (lihat Tabel 3.2
untuk item-item pengukurannya):
1. Adventure shopping. yaitu berbelanja untuk stimulasi, potualangan, dlan
merasa "berada di dunia lain
2. Social shopping, yaitu berbelanja untiuk menikmati kebersamaan
dengan teman dan keluarga, bersosialisasi selagi berbelanja dan
berinteraksi dengan orang lain.
3. Gratification shopping. yaitu berbelanja untuk stress relief,
nienghilangkan mood negatif dan berbelanja sebagai perlakuan khusus
bagi diri sendiri
4. Idea shoppng, yaitu berbelanja dalam rangka mengikuti trend dan
fashion baru, dan untuk melihat produk dan inovasi baru.
5. Role shupping. yakni kesenangan yang didapatkan lewat berbclanja
untuk orang lain, termasuk di dalamnya perasaan seang manakala
menenmukan hadiah terbaik untuk orang lain.
6. Value shopping, yaitu berbelanja untuk mendapatkan diskon dan harga
khusus

19
Tabel 3.2 Motivasi Berbelanja Hedonis
No Motivasi ITEM/SKALA PENGUKURAN
Hedonis
1 Adventure - Bagi saya, berbelanja merupakan sebuah
shopping petualangan.
- Bagi saya, berbelanja dapat membangkitkan
semangat.
- Berbelanja membuat suya merasa seperti
berada di dunia saya sendiri.
2 Gratification - Pada waktu perasaan saya sedang tidak
shopping enak, saya pergi berbelanja untuk mengubah
suasana hati.
- Bagi saya, berbelanja merupakan sebuah
cara untuk mengobati stres.
- Saya pergi berbelanja bila saya ingin
memperlakukan diri saya secara khusus.
3 Role shopping - Saya suka berbelanja untuk orang lain,
karena jika mereka merasa senang, saya juga
merasa senang.
- Saya menikmati berbelanja untuk teman dan
keluarga saya.
- Saya menikmati melihat-lihat berbagai toko
untuk mendapatkan hadiah yang sempurna
bagi seseorang.
4 Value - Sebagian besar belanja saya dilakukan
shopping ketika ada diskon.
- Saya suka mencari diskon sewaktu
berbelanja.
- Saya suka menawar jika sedang belanja.
5 Social - Saya pergi berbelanja dengan teman atau
shopping keluarga saya untuk bersosialisasi.
- Saya senang bersosialiasi dengan orang lain

20
sewaktu berbelanja.
- Saya suka menawar jika sedang belanja.
6 Idea shopping - Saya pergi berbelanja agar dapat selalu
mengikuti trend.
- Saya pergi berbelanja agar selalu mengikuti
mode baru.
- Saya pergi berbelanja untuk melihat produk
terbaru
Sumber: Arnold & Reynold (2003)

2. PENCARIAN INFORMASI
Identifikasi masalah atau kebutuhan memerlukan solusi yang
biasanya berupa pembelian barang atau jasa spesifik. Sebelum
memutuskan tipe produk, merek spesifik, dan pemasok yang bakal dipilih,
konsumen biasanya mengumpulkan berbagai informasi mengenai
alternatif-alternatif yang ada. Akan tetapi, dalam semua proses pembuatan
keputusan konsumen, jarang sekali dijumpai ada konsumen yang
mempertimbangkan alternatif produk atau merek yang ada di pasar.
Sebaliknya, pelanggan biasanya mempertimbangkan hanya sebagian
merek. produk atau pemasok yang diorganisasikan ke dalam:
- Awareness set, terdiri atas merek-merek atau pemasok-pemasok
yang diketahui pelanggan.
- Evoked set, terdiri atas merek atau pemasok dalam sebuah kategori
produk atau jasa yang diingat pelanggan sewaktu membuat
keputusan pembelian,
- Consideration set, terdiri dari merek atau pemasok di dalam evoked
set yang akan dipertimbangkan pelanggan untuk dibeli setelah
merek atau pemasok yang dianggap tidak memenuhi kebutuhan
dieliminasi.
(lihat Gambar 3.7).

21
AWARENESS SET
(Semua merek yang dikenal

EVOKED SET Merek-merek yang TIDAK diingat


(Merek-merek yang diingat)

Merek-merek yang TIDAK


CONSIDERATION SET
dipertimbangkan untuk dibeli
(Merek-merek yang
dipertimbangkan untuk dibeli)

Evoked set cenderung lebih sedikit pada jasa dibandingkan


dengan barang. Setidaknya ada tiga penyebabnya. Penyebab pertama
menyangkut perbedaan dalam hal dretailing pada jasa dan barang. Dalam
pembelian barang, konsumen biasanya berbelanja di toko ritel yang
memajang berbagai produk alternatif secara berdekatan. Ini
memungkinkan konsumen membandingkan dan memilih dari beberapa
pilihan yang tersedia. Sebaliknya, dalam pembelian jasa, pelanggan
biasanya mendatangi perusahaan jasa (seperti bank dan salon) yang hampir
selalu hanya menawarkan satu merek tunggal. Kedua, konsumen jarang
sekali menjumpai ada beberapa perusahaan yang menawarkan jasa yang
persis sama di lokasi geografis tertentu. Ini berbeda dengan banyak toko
ritel yang menjual produk yang dihasilkan oleh pemanufaktur yang sama.
Ketiga, evoked set jasa yang lebih sedikit dikarenakan sulitnya
mendapatkan informasi pra-pembelian yang memadai tentang jasa.
Dalam hal attribute searchability. jasa berbeda secara signifikan
dengan barang fisik (Mittal, 2004). Berbeda dengan barang yang memiliki
banyak elemen search properties, jasa cenderung didominasi oleh

22
experience properties dan/atau credence properties. Tabel 3.3 merangkum
beberapa karakteristik dan implikasi tipe search, experience dan credence
services. Search properties adalah fitur-fitur yang memungkinkan
pelanggan untuk mengevaluasi produk sebelum pembelian dilakukan.
Contohnya antara lain model, corak, warna, tekstur, rasa, dan suara yang
bisa dicoba, diamati atau dinilai konsumen, sehingga konsumen
bersangkutan bisa mendapatkan gambaran mengenai apa yang bakal
diterimanya jika ia memutuskan untuk membeli produk tersebut. Hal ini
bisa menekan ketidakpastian atau risiko pelanggan dalam situasi
pembelian bersangkutan. Produk-produk seperti pakaian, perhiasan,
rumah, mobil, sepeda motor, TV, videogames, dan sepatu memiliki search
properties yang dominan.
Experience properties merupakan atribut-atribut yang hanya bisa
dievaluasi selama pembelian dan konsumsi (tetapi tidak sebelum
pembelian). Contohnya meliputi jasa paket wisata, bioskop, restoran , salon
kecantikan, pertunjukan musik, dan event olahraga (seperti siaran
langsung sepakbola di TV). Betapapun atraktif dan informatifnya sebuah
brosur paket wisata ke Selandia Baru atau Fuji, para pelancong sulit
mengevaluasi (dan merasakan) keindahan obyek wisata tersebut sebelum
mereka benar-benar mengunjungi langsung tempat-tempat itu.
Credence properties adalah karakteristik-karakteristik yang sulit
atau bahkan tidak mungkin dievaluasi konsumen secara meyakinkan,
bahkan sekalipun setelah dibeli dan dikonsumsi. Sebagai contoh, hanya
sedikit klien yang benar-benar memahami seluk-beluk pasar keuangan dan
bisa menilai apakah financial planner yang bekerja untuknya berhasil
mendapatkan return terbaik untuk dana yang diinvestasikan. Selain itu, tak
banyak pelanggan yang benar-benar mampu menilai apakah mobilnya
telah direparasi dengan benar setelah mobilnya keluar dari sebuah
bengkel.

Tabel 3.3 Search Services, Experience Services dan Credence Services

23
No Tipe Jasa PENGETAHUAN Persepsi IMPLIKASI
PRA Terhadap
PEMBELIAN Resiko
1 Search TINGGI Rendah - Waktu pencarian
service singkat
- Mengandalkan
media massa
- Minat behavioral
rendah
2 Experienc Moderat Moderat - Waktu pencarian
e service moderat
- Mengandalkan
media
massa/sumber
personal
- Minat behavioral
merendah
3 Credence Rendah Tinggi - Waktu pencarian
service lama
- Mengandalkan
sumber pencarian
personal
- Minat behavioral
tinggi
Sumber: Diadaptasi dari model konseptual Mitro, et al. (1999).

Pencarian informasi bisa dilakukan secara pasif maupun proaktif.


Dalam pencarian internal (pasif), konsumen mengakses dan mengandalkan
memorinya berkenaan dengan informasi-informasi relevan menyangkut
produk atau jasa yang sedang dipertimbangkan untuk dibeli. Sedangkan
dalam pencarian eksternal (proaktif), konsumen mengumpulkan informasi-
informasi baru melalui sumber-sumber lain selain pengalamannya sendiri,

24
misalnya bertanya kepada teman, membaca koran atau majalah, mem-
browsing portal dan situs-situs perusahaan di Internet, melakukan window
shopping, dan seterusnya. Pencarian eksternal adalah tingkat perhatian ,
persepsi dan usaha yang ditujukan untuk mendapatkan data atau informasi
lingkungan berkaitan dengan pembelian spesifik yang dilakukan seorang
konsumen, Tabel 34 merangkum beberapa faktor yang mempe ngaruhi
intensitas pencarien eksternal (external search) dalarm situasi pembelian
tertentu.
Tabel 3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi intensitas Pencarian
Informasi Eksternal
PENCARIAN TERBATAS PENCARIAN EKSTERNAL
- Alternatif sedikit - Banyak alternatif
- Produk beresiko rendah - Produk beresiko tinggi
- Ketersediaan informasi - Ketersediaan informasi
sedikit banyak
- Biaya waktu tinggi - Biaya waktu rendah
- Keterlibatan rendah - Keterlibatan tinggi
- Tingkat Pemakaian tinggi - Tingkat pemakaian rendah
- Stored knowledge rendah - Stored knowledge tinggi
Sumber: Craig-Lees, Joy & Browne (1995).

Sumber informasi yang digunakan bisa diklasifikasikan


berdasarkan beberapa kriteria Berdasarkan karakteristik personal versus
impersonal dan independensirya, sumber informasi bisa dikelompokkan
menjadi:
1. Impersonal advocate sources, meliputi iklan media cetak dan media
elektronik.
2. Impersonal independeat sources, terdiri atas informasi-informasi
yang didapatkan dari artilcel-artikel populer dan broadcast
programming.

25
3. Personal advocate sources, yaitu informasi yang diterima dari
wiraniaga.
4. Personal independent sources, berupa informasi yang didapatkan
dari teman dan saudara.
Ditilik dari pihak yang mengendalikannya, sumber informasi bisa
diklasifikasikan menjadi:
1. Consurmer dominated sources, merupakan saluran informasi
interpersonal yang didominasi pelanggan dan berada di luar
kendali pemasar, contohnya komunikasi gethok tular.
2. Marketer dominated sources, yaitu sumber informasi yang bisa
dikendalikan pemasar, contohnya kemasan, iklan dan promosi.
3. Neutral sources, yaitu sumber informasi yang berada di luar kendali
pemasar dan konsumen, contohnya publisitas dan Warta Konsumen.
Sheth & Mittal (2004) mengelompokkan sumber informasi ke
dalam dua jenis, yakni sumber pemasar (marketer sources) dan sumber
non-pemasar (non-marketer sources). Sumber pemasar meliputi iklan,
wiraniaga, brosur produk/jasa, store displays, dan website perusahaan.
Sumber non-pemasar terdiri atas sumber personal (seperti teman, rekan
kerja, saudara, dan pengalaman masa lalu) dan sumber independen (seperti
informasi publik di media massa dan pakar produk atau jasa).
Sementara itu, dalam riset komprehensifnya tentang aktivitas
pengumpulan informasi yang dilakukan konsumen jasa, Murray (1991)
mengelompokkan sumber-sumber informasi ke dalam tujuh kategori:
impersonal advocate sources, impersonal independent sources, personal
independent sources, personal advocate sources, observasi langsung,
pengalaman pribadi, dan outright purchase sources. Ketujuh kategori ini
kemudian dijabarkan ke dalam 25 item spesifik sebagaimana bisa dilihat
pada Appendiks I. Hasil studi eksperimental yang dilakukan Murray
(1991) terhadap 256 mahasiswa di sebuah universitas di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan situasi pembelian barang
(goods), konsumen yang membeli jasa cenderung:

26
 Memiliki preferensi yang lebih rendah untuk melakukan outright
purchase. Maksudnya, konsumen jasa cenderung menghindari
pembelian spontan atau seketika dan berusaha menekan
risiko dengan cara mengumpulkan berbagai informasi terlebih
dahulu.
 Lebih mengutamakan dan mengandalkan sumber informasi personal
dibandingkan sumber informasi impersonal.
 Meyakini bahwa personal independent sources lebih efektif.
 Lebih mempercayai sumber-sumber personal.
 Tidak terlalu mengandalkan observasi dan/atau product trial.
 Lebih mengutamakan sumber internal dibandingkan sumber-sumber
lainnya manakala konsumen bersangkutan dalam kategori produk.
Lebih lanjut, Peter & Donnelly (2003) mengelompokkan sumber
informasi bagi pelanggan ke dalam lima kategori berikut:
1. Sumber internal, berupa pengalaman sebelumnya dalam menangani
kebutuhan serupa.
2. Sumber kelompok, yaitu pihak-pihak relevan lain (seperti teman,
keluarga, tetangga, dan rekan kerja) yang diyakini konsumen
memiliki keahlian khusus dalam keputusan pembelian terkait
3. Sumber pemasaran, berupa iklan, wiraniaga, dealer, kemasan dan
panjang
4. Sumber publik, meliputi publisitas (seperti artikel koran tentang
produk) dan pemeringkatan independen terhadap produk
(contohnya, laporan hasil riset produk dan Warta
Konsumen).
5. Sumber eksperiensial, yaitu menangani, menilai dan munekin pula
mencoba produk atau jasa sewaktu berbelanja.
Sejumlah riset berhasil mengidentifikasi faktor-faktor utama
yang mempengaruhi pencarian informasi oleh konsumen, di antaranya:
1. Karakteristik pasar, meliputi jumlah alternatif produk/jasa yang
tersedia, rentang harga, konsentrasi toko, dan ketersediaan

27
informasi (seperti iklan, komunikasi Point-of-Purchase, staf
penjualan, kemasan, konsumen berpengalaman, dan sumber-
sumber independen). Pada umumnya, karakteristik pasar
berhubungan positif dengan aktivitas pencarian informasi
oleh konsumen.. Sebagai contoh, bila ketersediaan informasi
dan jumlah alternatif produk/jasa meningkat, maka aktivitas
pencarian informasi juga akan meningkat dan sebaliknya
2. Karakteristik produk, di antaranya harga dan diferensiasi. Faktor ini
juga berhubungan positif dengan pencarian informasi oleh
pelanggan.
3. Karakteristik pelanggan, di antaranya pembelajaran dan pengalaman
pelanggan; orientasi berbelanja; status sosial; usia, jenis kelamin
dan siklus hidup rumah tangga; keterlibatan produk: dan
persepsi terhadap risiko. Status sosial dan persepsi terhadap
risiko berhubungan positif dengan pencarian informasi,
sedangkan pembelajaran dan pengalaman pelanggan berhubungan
negatif. Sementara orientasi berbelanja karakteristik demografis
dan keterlibatan produk bisa berhubungan positif dan bisa
pula negatif dengan pencarian informasi.
4. Karakteristik situasi, terdiri atas ketersediaan waktu, pembelian
untuk diri sendiri, suasana yang menyenangkan, suasana sosial
dan energi fisik/mental. Pada umumnya, ketersediaan waktu,
suasana yang menyenangkan dan energi fisik/mental
berkaitan positif dengan pencarian informasi. Pembelian untuk diri
sendiri biasanya tidak membutuhkan pencarian informasi terlalu
intensif. Sementara pengaruh factor suasana sosial terhadap
pencarian informasi bias positif, bisa pula negatif.
Lebih lanjut, Mullins, Walker & Boyd (2008) mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang berpotensi meningkatkan aktivitas pencarian
informasi pra-permbelian antara lain:
1. Faktor produk:

28
a) Rentang waktu antar pembelian lama (produk yang jarang
digunakan atau produk tahan lama).
b) Model atau corak produk sering berubah.
c) Harga sering berubah.
d) Volume pembelian besar.
e) Harga produk relatif mahal.
f) Banyak tersedia merek alternatif.
g) Banyak terdapat variasi fitur produk atau jasa.
2 Faktor situasional:
a) Pengalaman:
 Pembelian untuk pertama kali.
 Tidak ada pengalaman masa lalu karena produknya masih
baru.
 Pengalaman masa lalu yang tidak memuaskan terhadap
kategori produk yang dibeli,
b) Penerimaan sosial:
 Produk atau jasa yang dibeli dimaksudkan sebagai hadiah untuk
orang lain.
 Produk atau jasa yang dibeli bernilai sosial tinggi (socially
visible).
c) Pertimbangan berkenaan dengan nilai produk:
 Pembelian produk atau jasa tidak bersifat wajib.
 Semua alternatif merek/produk memiliki konsekuensi positif
dan negatif.
 Anggota keluarga tidak sepakat mengenai kriteria produk
atau evaluasi alternatif merek.
 Pembelian berkaitan dengan pertimbangan ekologis.
 Banyak sumber informasi yang saling bertentangan.
3. Faktor personal:
a) Karakteristik demografis konsumen:

29
 Berpendidikan tinggi.
 Berpenghasilan tinggi.
 Pekerja berkerah putih (white-collar occupation).
 Berusia di bawah 35 tahun.
b) Kepribadian:
 Berpikiran terbuka (open-minded).
 Low-risk perceiver
 Keterlibatan produk tinggi.
 Orang yang menikmati aktivitas berbelanja dan mencari
informasi produk atau jasa.
Dalam pembelian barang, konsumen menggunakan sumber
informasi personal (seperti teman, keluarga, rekan kerja dan pakar) dan
sumber non-personal (seperti media massa), karena keduanya bisa
mengkomunikasikan search qualities secara efektif. Sebaliknya, dalam
pembelian jasa, konsumen biasanya lebih mengandalkan sumber personal
dikarenakan beberapa faktor. Pertama, media massa bisa
mengkomunikasikan informasi tentang search quality namun tidak terlalu
efektif dalam menyampaikan experience quality. Dengan cara bertanya
pada teman tentang sebuah jasa, pelanggan bisa mendapatkan informasi
memadai tentang experience quality. Kedua, sumber non-personal
kemungkinan tidak tersedia karena: (a) banyak penyedia jasa adalah
perusahaan lokal yang tidak berpengalaman dalam beriklan atau tidak
memiliki dana untuk itu: (b) cooperative advertising (periklanan yang
didanai bersama oleh pengecer dan pemanufaktur) jarang digunakan
karena kebanyakan penyedia jasa lokal adalah produsen sekaligus
pengecer jasa; dan (c) asosiasi profesional melarang periklanan selama
bertahun-tahun sehingga baik kalangan profesional maupun klien
cenderung menolak iklan meskipun kini iklan dijinkan pada beberapa tipe
profesi tertentu. Ketiga, karena pelanggan hanya bias menelaah sedikit

30
atribut sebelum pembelian jasa, mereka cenderung mempersepsikan risiko
yang lebih besar dalam memilih alternatif yang tidak begitu dikenal.
Dibandingkan dengan situasi pembelian barang. konsumen jasa
cenderung mempersepsikan tingkat risiko yang lebih besar. Persepsi
terhadap risiko didasarkan pada penilaian konsumen terhadap
kemungkinan terjadinya hasil-hasil negatif (ketidakpastian) dan tingkat
kepentingan hasil-hasil tersebut bagi konsumen individual. Dengan
demikian. konsep persepsi terhadap risiko yang dikemukakan pertama kali
pada dekade 1960-an ini mengandung dua dimensi utama:
 Konsekuensi, yakni tingkat kepentingan dan/atau bahaya dari
hasil yang didapatkan dari setiap keputusan konsumen.
 Ketidakpastian, yaitu kemungkinan subyektif terjadinya hasil-
hasil tertentu. Operasi bedah syaraf merupakan conroh menarik
untuk menggambarkan pengaruh kansekuensi dan ketidakpastian
dalam pembelian konsumen. Dalam bal ketidakpastian, pasien
mungkin belum pernah menjalani operasi sebelumnya. Sekalipun
dokter bedahnya telah berpengalaman dan sukses melakukan
operasi serupa sebelumnya, tidak ada jaminan 100% bahwa hasil
operasi kali ini juga akan sukses. Selain itu ketidakpastian bisa
meningkat apabila sang pasien kurang memahami aspek-aspek
rinci berkaitan dengan prosedur operasi dan dampak setelahnya.
Konsekuensi akibat keputusan yang buruk menyangkut operasi
bedah syarat bisa berakibat fatal bagi pasien bersangkutan.
Secara garis besar, terdapat delapan kategori risiko utama: risiko
finansial, risiko fungsional, risiko fisik, risiko psikologis, risiko sensoris,
risiko sosial, risiko temporal, dan risiko keusangan (lihat Tabel 3.5).
Beberapa faktor bisa berkontribusi pada meningkatnya risiko dan
ketidakpastian, di antaranya:
 Apabila jasa yang dibeli sangat intangible (tipe pure service), di
mana pelanggan potensial tidak memiliki banyak elemen fisik yang
bisa digunakan untuk mengevaluasi kualitas sebelum pembelian.

31
 Apabila jasa yang dibeli relatif baru.
 Apabila jasa yang dibeli kompleks, contohnya jasa medis, hukum,
pendidikan tinggi, konsultasi manajemen, finansial, dan seterusnya.
 Apabila pelanggan relatif tidak berpengalaman, sehingga kurang
memiliki kepercayaan diri dan pengetahuan memadai guna
mengevaluasi berbagai penyedia jasa.
 Ápabila merek jasa yang dibeli lebih ter-customized dan tidak
terstandarisasi.
 Apabila pembelian jasa bersangkutan relatif penting bagi
konsumen.

Tabel 3.5 Kategori Risiko


No Kategori Deskripsi Contoh
Risiko
1 Risiko Risiko kerugian * Kalau pengembangan
Finansial monster atau ini bangkrut, akankah
bertambahnya biaya- saya kehilangan uang
biaya tak terduga. muka yang telah saya
bayarkan?
2 Risiko Ketidakpastian * Akankah kartu kredit
fungsional menyangkut hasil saya diterima
(risiko kinerja) kinerja dalam kemanapun saya pergi,
memenuhi ekpektasi termasuk keluar negri?
pelanggan dan/atau * Mampukah bengkel itu
janji penyedia jasa. mereparasi /mobil saya
dengan memuaskan
3 Risiko fisik Kemungkinan * Apakah tas dan koper
terjadinya kerusakan saya aman ditinggal
baru atau bahaya fisik dalam kamar hotel?
pada konsumen atau * Apakah ada jaminan
barang miliknya. keamanan bila saya
ikut arung jeram?
4 Risiko sensoris Risiko bahwa jasa * Akankah dosen saya
yang dibeli tidak memahami bahwa
sesuai dengan konsep bahasa inggris
diri konsumen. bukanlah bahasa ibu
saya

32
5 Risiko sensoris Dampak negatif jasa * Apakah suasana
terhadap panca indera. dikomplek perumahan
ini tidak terlalu bising
dimalam hari?
* Akankah saya
menyukai rasa
makanan restoran ini?
6 Risiko sosial Kekhawatiran akan * Bagaimana reaksi
pendapat dan reaksi teman- teman saya jika
negatif orang lain. mereka melihat model
rambut baru saya?
7 Risiko Risiko pemborosan * Akankah renovasi
temporal waktu atau terjadinya garasi rumah saya
penundaan beserta selesai pada waktu
konsekuensinya. yang dijanjikan?
8 Risiko Risiko produk atau * Akankah perangkat
keuangan jasa yang dibeli bakal lunak sistem akuntansi
digantikan substitusi yang saya beli cepat
yang lebih baru dan usang?
superior
Sumber: Disarikan dari berbagai literatur.

Dalam rangka menekan persepsi terhadap risiko, pelanggan


potensial biasanya menempuh salah satu atau kombinasi dari beberapa
strategi pencarian (search strategy) tertentu. Strategi pencarian informasi
adalah pola pengumpulan informasi yang digunakan pelanggan untuk
memecahkan masalah keputusan pembeliannya. Karena pengumpulan
informasi mengandung unsur biaya dalam hal waktu, usaha fisik dan usaha
mental, pelanggan akan membandingkan biaya dan manfaat potensial dari
pengumpulan informasi. Perbandingan ini membantu pelanggan
menentukan seberapa banyak informasi yang dikumpulkan dan dari
sumber yang mana.
Secara garis besar, strategi pencarian informasi meliputi:
 Mencari lebih banyak informasi, khususnya dari sumber personal
terpercaya (seperti teman, rekan kerja, dan saudara).
 Mengandalkan reputasi perusahaan jasa.

33
 Mencari garansi dan jaminan.
 Bertanya pada karyawan jasa mengenai jasa-jasa alternatif.
 Mencari peluang untuk mencoba jasa sebelum pembelian
(contohnya, kunjungan pertama gratis ke fitness center,
seminggu pertama gratis di play group, dan lain- lain).
 Menelusuri berbagai situs jejaring sosial dan mesin pencari (search
engines) untuk mencari informasi.
 Setia pada jasa saat ini karena lebih familiar dengan kinerjanya.
 Mencari tangible cues atau bukti fisik fainnya sebagai sarana untuk
menilai kualitas jasa dan menekan persepsi terhadap risiko jasa.

3. EVALUASI ALTERNATIF
Setelah terkumpul berbagai alternatif solusi, konsumen kemudian
mengevaluasi dan menyeleksinya untuk model kan pinhan akhir. Proses
evaluasi bisa sisremaris (menenunakan serangkaian langkah formal,
seperti model multi-atribut), bisa pula non-sistematis (memilih secara acak
atau semata-mata mengandalkan intuisi). Kendati demikian, model multi-
atribut sangat populer di kalagan peneliti perilaku konsumen. Menurut
model ini, konsumen menggunakan sejumlah atribut atau dimensi penting
sebagai referensi utama dalam mengevaluasi sebuah jasa (lihat Tabel 3.6).
Atribut-atribut tersebut mencerminkan berbagai aspek relevan dalam
pengalaman jasa spesifik. Konsumen yang berbeda cenderung
menggunakan serangkaian atribut yang berbeda dalam mengevaluasi
berbagai alternatif merek dalam kategori produk/jasa yang sama. Bahkan
sekalipun dua orang memakai serangkaian atribut yang sama, keputusan
pembeliannya bisa berbeda dikarenakan tingkat kepentingan masing-
masing atribut berbeda bagi masing-masing individu.
Sebagai ilustrasi, calon mahasiswa baru membandin gkan
beberapa universitas berdasarkan faktor lokasi, biaya, reputasi akademik,
persyaratan admisi, dan fasilitas perkuliahan. Calon mahasiswa menilai
setiap alternatif universitas menggunakan lima faktor ini dan

34
preferensinya ditentukan oleh skor setiap universitas pada masing-masing
atribut tersebut. Calon mahasiswa diasumsikan membuat semacam matriks
pilihan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.7 untuk membandingkan
alternatif-alternatif yang tersedia. Contoh di Tabel 3.7 adalah pilihan
universitas untuk seorang calon mahasiswa SI. Misalkan evoked set yang
dievaluasi terdiri atas empat universitas: USYD, MU, UTS dan UWS.
Berdasarkan tabel tersebut, calon mahasiswa bersangkutan bisa membuat
keputusan pembelian menggunakan decision rule tertentu, di antaranya
linear compensatory approach dan lexicographic approach.

Tabel 3.6 Atribut Yang Biasa Digunakan Konsumen Untuk


Mengevaluasi Jasa
KATEGORI ATRIBUT MEREK
Atribut Biaya  Harga pembelian
 Biaya pengoprasian
 Biaya reparasi
 Biaya ekstra

35
 Biaya instalasi
 Tunjangan tukar-tambah
 Nilai atau harga jual kembali
Atribut Kinerja  Durabilitas atau keawetan
 Kualitas bahan
 Konstruksi
 Keandalan
 Kinerja fungsional (akselarasi,
nutrisi, rasa)
 Efisiensi
 Keamanan
Atribut Sosial  Reputasi merek
 Citra stasus
 Popularitas dikalangan teman-teman
 Popularitas diantara anggota keluarga
 Gaya atau corak (style)
 Fashion
Atribut Ketersediaan  Tersedia di toki-toko setempat
 Syarat kredit
 Kualitas layanan yang tersedia di
dealer setempat
 Waktu pengiriman
Sumber: Mullins, Walker & Boyd (2008)
Tabel 3.7: Contoh Matriks Pilihan Multi-Atribut
EVOKED SET BOBOT TINGKAT
N KEPENTINGAN
ATRIBUT
o USY M UT UW
D U S S
Reputasi
1 akademik 9 9 9 8,5 10
2 Lokasi 9 9 8 8 9
3 Fasilitas 9 9 9 9 8

36
perkuliahan
4 Biaya 7 8 9 8 7
Persyaratan
5 admisi 9 9 7 9 6

Dalam linear compensatory opproach, konsumen menggunakan


skor global (total hasil perkalian antara skor individual pada masing-
masing atribut dengan tingkat kepentingan atribut) sebagai dasar
pembuatan keputusan. Sebagai contoh, skor USYD adalah 9 x 10 (reputasi
akademik) ditambah 9 x 9 (lokasi) ditambah 9 x 8 (fasilitas perkuliahan)
dan seterusnya. Universitas yang mendapatkan skor tertinggi, dalam
contoh ini USYD. yang kemudian dipilih.
Sementara itu, lexicogrophic approach berusaha meminimumkan
usaha yang dilakukan. Dalarm ancangan ini, konsumen membuat
keputusan dengan menelaah masing-masing atribut, dimulai dari yang
terpenting, untuk mengeliminasi alternatif terjelek pada atribut
bersangkutan. Proses ini dilakukan terus sampai didapatkan satu alternatif
terbaik. Sebagai contoh, evaluasi pada Tabel 3.7 akan dimulai dengan
faktor reputasi akademik. Dalam evaluasi ini, UWS dieliminasi karena
skornya paling rendah (hanya 8,5 sedangkan alternative universitas
lainnya 9). Kemudian, analisis atribut lokasi akan mengeliminasi UTS.
Pilihannya sekarang tinggal dua. yaitu USYD dan MU. dan keduanya
mempunyai skor yang sama untuk fasilitas perkuliahan. Namun,
berdasarkan atribut terpenting berikutnya, biaya, USYD akan dieliminasi
karena skornya lebih rendah diban- dingkan MU. Dengan demikian,
decision rule berbeda akan menghasilkan pilihan berbeda: MU dipilih
berdasarkan lexicographic approach dan USYD berdasarkan linear
compensatory approach.

4. PEMBELIAN DAN KONSUMSI JASA

37
Salah satu perbedaan fundamental antara pembelian barang dan
pembelian jasa adalah menyangkut proses produksi dan konsumsi. Pada
barang, tahap pembelian dan konsumsi biasanya terpisah.
Meskipun terdapat interaksi antara pemasar dan pelanggan selama tahap
pembelian aktual, tahap pemakaian barang biasanya terlepas dari pengaruh
langsung para pemasar. Pelanggan bisa memilih kapan, di mana, dan bagaimana
mereka menggunakan produk. Dalam beberapa kasus, pelanggan bahkan tidak
bakal memanfaatkan potensi penuh produk teknis (seperti kamera, videocam,
perangkat lunak komputer, smartphone, kalkulator, DVD, dan sebagainya)
dikarenakan mereka tidak membaca atau tidak memahami sepenuhnya instruksi
teknis yang disediakan pemanufaktur, atau bisa pula mereka sebetulnya tidak
membutuhkan beberapa fitur tambahan yang dimiliki produk bersangkutan. Tak
jarang hal semacam ini berkontribusi pada ketidakpuasan pelanggan.
Sebaliknya, sebagian besar jasa diproduksi dan dikonsumsi secara
berbarengan. Konsekuensinya, perusahaan jasa berpeluang besar untuk secara
aktif membantu pelanggan memaksimumkan nilai dari pengalaman konsumsinya.
Penyedia jasa bisa secara efektif mempengaruhi proses konsumsi dan evaluasi.
Penata rambut, misalnya, bisa sewaktu-waktu menanyakan kepada kliennya
apakah segalanya sudah sesuai dengan harapan sewaktu melayani klien tersebut.
Hal ini memberikan sense of control bagi klien dan memungkinkan sang penata
rambut untuk memenuhi keinginan spesifik klien yang dilayani.
Emosi dan mood pelanggan mempengaruhi evaluasi pelanggan bersangkutan
terhadap service encounter '. Emosi mencakup arousal, berbagai bentuk affect,
dan interpretasi kognitif terhadap affect yang bisa diberikan deskripsi tunggal,
contohnya takut, marah, senang, sedih, surprise, acceptance, disgust, dan
anticipation. Emosi memiliki intensitas dan urgensi psikologis yang lebih besar
dibandingkan mood. Per definisi, mood adalah keadaan temporer disposisi
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan kata lain, mood merupakan
perasaan yang terjadi pada waktu spesifik dan dalam situasi spesifik. Karena
banyak tipe jasa yang sifatnya eksperiensial (khususnya service encounter), maka
mood pelanggan pada saat berlangsungnya service encounter bisa mempengaruhi

38
evaluasinya (kepuasan atau ketidakpuasan). Selain itu, mood karyawan penyedia
jasa dan pelanggan lain yang menerima jasa pada saat bersamaan juga
berpengaruh pada kualitas keseluruha penyampaian sebuah jasa.
Sejumlah riset juga mengidentifikasi bahwa mood bisa berpengaruh terhadap
semua tahap proses pembelian konsumen. Konsumen yang sedang dalam mood
positif, misalnya, cenderung lebih efisien dalam pemrosesan informasi dan
pembuatan keputusan, artinya mereka membuat keputusan lebih cepat. Sedas kan
mereka yang sedang dalam mood negatif cenderung mempertimbangkan hal-hal
rinci. Pelanggan sedang dalam mood positif juga lebih mudah dilayani, tidak
terlalu argumentatif, dan lebih bersedia menu atau patuh pada prosedur jasa.
Sebagai contoh, mahasiswa membaca materi kuliah sebelum kuliah dimulai,
mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah walaupun tidak dinilai dosennya, dan
berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas. Sebaliknya, nasabah yang sedang dalam
mood negatif dan mengantri di depan teller bank, bisa mulai komplain ke nasabah
lain dan berdebat dengan teller.
Mood dan emosi bisa membuat penilaian pelanggan jasa terhadap service
encounter dan penyedia jasa menjadi bias. Mood dan emosi memperkuat
pengalaman jasa dan membuatnya lebih positif atau lebih negative dari yang
sesungguhnya terjadi. Dengan kata lain, layanan yang sama persis bisa
dipersepsikan secara berbeda oleh dua pelanggan yang berada dalam mood yang
berbeda. Sebagai contoh, seorang wiraniaga yang barusan kehilangan pelanggan
besar dan sedang menantikan penerbangan untuk pulang ke kotanya akan lebih
gampang marah terhadap keterlambatan pesawat dibandingkan pada hari-hari di
mana bisnisnya berjalan lancar.
Bagi karyawan, mood juga berpengaruh pada caranya berinteraksi dengan
pelanggan, misalnya tutur bahasa, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan seterusnya.
Oleh sebab itu, setiap penyedia jasa harus selalu berusaha mendorong terciptanya
emosi dan mood positif pada para karyawan dan pelanggan sembari berusaha
menekan emosi dan mood negatif dengan berbagai taktik, di antaranya
mempertimbangkan secara cermat aspek-aspek physical setting, ambience, dan
warna kantor, ruang resepsionis dan ruang tunggu; proses penyampaian jasa

39
(apakah sudah efisien dan efektif?); penjadwalan antrian untuk menjamin
perlakuan yang adil bagi para pelanggan; serta penampilan dan cara karyawan
berinteraksi dengan para pelanggan.
Konsep dramaturgi yang banyak digunakan dalam sosiologi diadopsi oleh
Grove, Fisk & John (2000) ke dalam konteks pemasaran jasa. Mereka
menggunakan metafora teater untuk menggambarkan dan menganalisis kinerja
jasa (lihat Gambar 3.8). Baik teater maupun organisasi jasa bertujuan menciptakan
dan mempertahankan kesan positif di hadapan para audiens. Salah satu cara
mewujudkannya adalah mengelola para aktor dan setting fisik perilaku mereka
secara cermat. Pemasar jasa harus memainkan banyak drama-related roles
(termasuk di dalamnya sutradara, koreografer dan penulis skenario) untuk
memastikan bahwa semua aktor mampu memuaskan audiens. Grove, Fisk & John
(2000) mengemukakan empat komponen teatrikal strategik:
I. Aktor (karyawan jasa) yang kehadiran dan tindakannya menentukan jasa.
2. Audiens (konsumen) yang menerima jasa.
3. Setting, yakni tempat berlangsungnya proses jasa.
4. Kinerja jasa, yaitu tindakan-tindakan yang membentuk pengalaman pelanggan.

Gambar 3.8 Jasa sebagai teater

40
Sumber: Grove, Fisk & John (2000).
Masing-masing komponen ini berkaitan erat dengan unsur bauran pemasaran
jasa, seperti Physical evidence, People dan Process (lihat Tabel 3.8). Selain itu,
Grove, Fisk & John (2000) juga merumuskan beberapa implikasi metafora teater
ini bagi beberapa tipe jasa spesifik (lihat Tabel 3.9).

Table 3.8 Komponen Teatrikal Strategik Jasa


NO ELEMEN TEATER FITUR SETIAP ELEMEN
1 People: aktor dan audiens  Bagaimana profil partisipan?
 Apa peran para partisipan?
 Interaksi apa yang terjadi antar partisipan?
 Apa skenario (scriph bagi para aktor?
 Apa peran backstage members?
2 Physical evidenc: setting  Peralatan apa saja yang dibutuhkan?
 Kostumnya harus seperti apa?
3 Process: kinerja  Apa adegannya?
 Apa hasil dari adegan tersebut?
 Apa karakteristik jeda atau istirahatnya?
Sumber: Grove, Fisk & John (2000).
Table 3.9 metafora teater dan tipe jasa
TIPE JASA CONTOH SPESIFIK IMPLIKASI METAFORA

41
TEATER
People jasa penerbangan Aktor dan audiens berkontak
processing hotel langsung. Kinerja setting dan
services restoran frontstage berpengaruh signifikan
salon terhadap evaluasi pelanggan
pusat kebugaran terhadap kualitas. Kinerja tersebut
mencakup desain, dekorasi dan
ambience setting dan penampilan
serta perilaku aktor. Peralatan,
kostum dan skenario menjadi
sangat penting. Mungkin ada di
antara audiens yang saling berbagi
setting dan mempengaruhi
pengalaman jasa dan evaluasi
keseluruhan terhadap kinerja jasa.
Mental konsultan manajemen Apabila aktor dan audiens
stimulus konsultasi medis berdekatan secara fisik, beberapa
processing pendidikan implikasi pada people processing
services hiburan services juga berlaku di sini. Jika
jasa telepon jasa dilakukan secara jarak jauh,
misalnya konsultasi manajemen
atau medis via telepon, para
anggota audiens tidak saling
berinteraksi dan penampilan fisik
atau tindakan aktor tidak terlalu
penting. Secara keseluruhan, tipe
jasa seperti ini lebih sulit dibuat
tangible (artinya, hanya ada sedikit
cues untuk mengelola impresi
pelanggan.
Possession jasa penjagaan gedung Setting yang digunakan bisa
processing jasa ritel tempat organisasi, bisa pula tempat

42
services reparasi mobil dan peralatan audiens. Kontak antara aktor dan
jasa kontrak rumah audiens bisa dibatasi hanya pada
jasa pertamanan awal dan akhir jasa, dan pelanggan
tidak perlu hadir sewaktu jasa
disampaikan. Karena tindakan jasa
dan obyek jasa bersifat tangible,
maka hasil kinerja biasanya lebih
jelas/riil dan bisa digunakan
sebagai indikator untuk
mengevaluasi kinerja.
Information jasa akuntansi Kontak antara aktor dan audiens
processing jasa perbankan dan bisa minimum. Karena tindaka dan
services keuangan obyek jasa bersifat intangible,
jasa asuransi maka proses jasa cenderung
jasa hukum merupakan sumber evaluasi yang
jasa perangkat lunak kurang penting. kebanyakan kasus,
komputer jasa berlangsung tanpa kehadiran
pelanggo Dalam situasi semacam
ini, hasil lebih penting
dibandingkan prose namun sulit
dinilai.
Gambar: dirangkum dari Grove, Fisk & John (2000)
Peran (role) adalah serangkaian pola perilaku yang dipelajari melalui
pengalaman dan komunikasi, yang akan dilakukan oleh individu tertentu dalam
interaksi sosial tertentu dalam rangka mewujudkan efektivitas maksimum dalam
pencapaian tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, peran merupakan
kombinasi antara berbagai macam sosial cues atau ekspektasi masyarakat yang
memandu perilaku dalam konteks spesifik, Berdasarkan role theory, pelanggan
dan karyawan memiliki peran masing-masing dalam setiap service encounter.
Misalnya, peran pelayan restoran adalah menyapa para pengunjung restoran,
mengidentifikasi jumlah orang dalam kelompok pengunjung tersebut, dan
mengantar mereka ke meja tempat mereka akan menyantap hidangan yang

43
dipesan. Kepuasan pelanggan dan karyawan tergantung pada keselarasan peran
(goal congruence), yaitu seberapa baik masing-masing pihak melaksanakan
perannya. Karyawan jasa harus berhati-hati dalam memenuhi perannya
sebagaimana diharapkan pelanggan. Sebagai contoh, kini pelanggan sudah tidak
bisa mentolerir perilaku karyawan yang sibuk ngobrol sendiri mendiskusikan
acara TV sementara pelanggan menunggu untuk dilayani. Situasi seperti ini
berpeluang besar menciptakan role incongruence yang pada gilirannya
menyebabkan pelanggan kecewa dan pindah ke pemasok lain.
Sementara itu, scripts adalah struktur kognitif yang memandu transaksi jasa
dan merinci alternatif-alternatif yang tersedia bagi para penjaga toko, teller bank,
travel agents, resepsionis hotel, konsultan dan karyawan lain yang berhubungan
langsung dengan pelanggan. Di satu pihak, script yang sangat terstruktur
memudahkan karyawan jasa dalam merespon berbagai macam kebutuhan
pelanggan secara cepat. Di lain pihak, script yang terlalu kaku menyebabkan
kinerja jasa menjadi "mindless". Pelanggan berbeda-beda dalam hal respon dan
preferensinya terhadap scripted role dan unscripted role. Sebagai contoh,
sebagian pelancong lebih suka ikut paket tur wisata yang sangat terstruktur dalam
hal script dan peran karyawan dan pelanggan. Namun, tidak sedikit pelancong
yang lebih menyukai unscripted role, karenanya mereka menghindari tur-tur
terorganisir dan memilih melakukan segala sesuatunya sendiri.
Situasi yang analog dengan aplikasi script theory dalam konteks jasa ini
adalah pelatih sepakbola yang memberikan keleluasaan bagi para pemainnya
untuk berimprovisasi di lapangan (contoh unscripted approach) dan pelatih yang
menuntut setiap pemain untuk mematuhi strategi dan instruksi rinci sang pelatih
mengenai pergerakan para pemain (contoh highly scripted approach). Pemahaman
atas script bisa mempengaruhi efektivitas kinerja peran para karyawan dan
pelanggan. Akan tetapi, tantangan yang harus dihadapi pihak manajemen
perusahaan jasa adalah: (a) merancang peran-peran bagi service encounter yang
memenuhi harapan karyawan dan pelanggan; dan (b) mengkomunikasikan secara
efektif script yang disusun kepada kedua pihak guna memastikan bahwa
karyawan dan pelanggan memiliki perspektif yang realistis terhadap perannya

44
sendiri dan peran pihak lain. Hal ini sangat penting dalam peluncuran jasa baru
untuk memperlancar proses difusi dan menghindari kebingungan (dan kadangkala
konfrontrasi dengan pelanggan) manakala pelanggan tidak mengetahui script yang
ada. Contohnya, pelanggan yang baru pertama kali mengunjungi sebuah restoran
tertentu perlu memahami apakah ia harus swalayan mengambil menu yang
diinginkan ataukah cukup duduk dan memesan menu lewat waiters; apakah harus
bayar dulu sebelum makan atau makan dulu baru bayar; dan seterusnya.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam penciptaan layanan superior
adalah memberdayakan atau Themberikan tingkat kendali tertentu kepada
pelanggan, supaya mereka merasa yakin atas apa yang mereka takukan dan beli.
Tingkat kendali sangat penting dalam berbagai tipe jasa, terlebih-lebih pada jasa
swalayan (seij-services atau do-it-yourself services). Berdasarkan control theory,
kendali bisa berupa behavioral control dan cognitive control. Behavioral control
memberikan pelanggan kendali aktual atas lingkungannya. Dengan kata laim.
anggan diberi kemampuan untuk mengendalikan apa yang sedang terjadi.
Contohnya, kartu telepon praayar sebenarnya memberikan sense of control bagi
pemakainya atas pemakaian pulsa. Selain itu, penyediaan psite dan saluran
telepon bebas pulsa untuk komplain pelanggan juga memberikan tingkat kendali
tertentu bagi pelanggan.
Sementara itu, cognitive control terjadi manakala pelanggan mempersepsikan
bahwa mereka memegane tingkat kendali tertentu atau setidaknya, apa yang
sedang terjadi pada mereka bisa diprediksi. Penumpane pesawat akan merasakan
cognitive control (prediktabilitas) bilamana mereka diberitahu apabila pesaw
berangkat dan/atau tiba terlambat, terutama informasi menyangkut lamanya
keterlambatan dan penyebah keterlambatan. Dengan begitu, mereka bisa
menyesuaikan ekspektasinya dan melakukan tindakan antisipatif sesuai
kebutuhan.
Peran pelanggan lain yang menerima jasa pada saat bersamaan juga tidak
kalah pentingnya dalam menentukan pengalaman jasa keseluruhan pelanggan
tertentu. Bayangkan saja seandainya hanya Anda satusatunya orang yang hadir di
ruang kuliah, stadion, teater atau bioskop. Selain tidak bisa bersosialisasi dengan

45
orang lain, persepsi terhadap kualitas jasa bisa menjadi negatif. Akan tetapi, jika
suasana terlalu ramai dan penuh sesak (di stadion, bis kota, kereta api, dan
restoran, misalnya), pelanggan juga bisa merasa tidak nyaman dan tidak puas.
Secara umum, kehadiran, perilaku dan kemiripan (kompatibilitas) pelanggan lain
yang menerima jasa yang sama di saat bersamaan berdampak pada kepuasan atau
ketidakpuasan pelanggan tertentu. Situasi seperti ini sangat relevan pada sejumlah
jenis jasa, seperti pendidikan, penerbangan, organisasi sosial, dan hiburan.
Pelanggan bisa tidak harmonis (tidak kompatibel) dikarenakan sejumlah
faktor, seperti perbedaan dalam hal keyakinan, nilai-nilai, pengalaman, daya beli,
penampilan, usia, kesehatan, dan lain-lain. Konsekuensinya, penyedia jasa wajib
mengantisipasi, memahami dan menangani konsumen heterogen yang berpotensi
untuk tidak kompatibel satu sama lain. Selain itu, penyedia jasa juga bisa
menyatukan dan memperkuat relasi antar pelanggan yang homogen, sehingga
biaya beralih pemasok jasa mereka menjadi semakin besar dan signifikan. Singkat
kata, customer compatibility merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasan dan
loyalitas pelanggan, terutama dalam jasa-jasa kontak tinggi.

5. EVALUASI PURNABELI
Setelah pilihan dibuat dan jasa dibeli serta dikonsumsi, evaluasi purnabeli
akan berlangsung. Dalam tahap ini, konsumen mungkin mengalami disonansi
kognitif (keraguan menyangkut ketepatan keputusan pembelian). Pemasar
biasanya berusaha meminimumkan disonansi kognitif pelanggan dengan berbagai
strategi, di antaranya melakukan kontak purnabeli dengan pelanggan,
menyediakan reassuring letters di kemasan produk, menyediakan garansi dan
jaminan, dan memperkuat keputusan pelanggan melalui iklan perusahaan.
Evaluasi purnabeli bisa dilakukan menggunakan model multi-atribut.
Contoh pada Tabel 3.10 menunjukkan skor ekspektasi (diambil dari Tabel 3.7)
dan skor persepsi terhadap kinerja USYD (dipilih berdasarkan kriteria linear
compensatory approach) setelah mahasiswa bersangkutan kuliah di sana.
Misalnya, SPP ternyata dinaikkan pada tahun kedua dan reputasi akademik USYD
mengalami penurunan. Konsekuensinya, evaluas mahasiswa tersebut juga

46
mengalami penurunan. Semakin besar gap negatif yang ada (Persepsi -
Ekspektasi). semakin negatif evaluasi purnabeli. Sebaliknya, jika gap negatif
tersebut semakin kecil atau malah terjadi gap positif, maka evaluasi purnabeli
akan semakin positif.

Tabel 3.10 Contoh Evaluasi Purnabeli Konsumen


NO ATRIBUT SKOR SKOR BOBOT
EKSPEKTASI PERSEPSI TINGKAT
USYD USYD KEPENTINGAN
1 Reputasi akademik 9 8 10
2 Lokasi 9 9 9
3 Fasilitas 9 9 8
perkuliahan
4 Biaya 7 6,5 7
5 Persyaratan admisi 9 9 6

Apabila konsumen kecewa dengan pembelian yang dilakukannya,


dikarenakan produk atau jasa bersangkutan tidak memenuhi kebutuhan yang
dimaksud, tidak berfungsi/beroperasi secara memuaskan atau tidak sepadan
dengan harganya, konsumen bersangkutan berkemungkinan mengatribusi
ketidakpuasannya pada sejumlah sumber, misalnya penyedia jasa, pengecer atau
dirinya sendiri. Karena pelanggan berpartisipasi dalam produksi dan penyampaian
jasa, mereka berkemungkinan akan merasa lebih bertanggung jawab atas
ketidakpuasannya pada pembelian jasa dibandingkan sewaktu membeli barang.
Sebagai contoh, spesifikasi kebutuhan secara jelas mempengaruhi kualitas akhir
jasa penata rambut. Bila konsumen kecewa dengan hasil potongan rambutnya, ia
bisa menyalahkan sang penata rambut (kurang terampil) atau dirinya sendiri
(salah memilih penata rambut atau tidak menyampaikan keinginannya dengan
jelas).
Banyak tipe jasa yang kualitasnya sangat tergantung pada informasi yang
diberikan pelanggan pada saat service encounter berlangsung. Misalnya, akurasi
diagnosis dokter membutuhkan telaah riwayat kesehatan secara teliti dan
pengungkapan gejala-gejala penyakit secara jelas; kesuksesan dry cleaner dalam

47
menghilangkan noda pakaian tergantung pada pengetahuan pelanggan terhadap
penyebab terjadinya noda tersebut; dan kinerja tax preparers tergantung pada
nota-nota dan bukti-bukti relevan yang disimpan pelanggan. Kegagalan dalam
mewujudkan kepuasan pada salah satu tipe jasa ini tidak bisa semata-mata
dibebankan pada pengecer atau penyedia jasa, karena konsumen juga harus
mampu menjalankan tugas atau perannya secara memuaskan dalam proses
produksi dan penyampaian jasa.
C. CUSTOMER CONTENIENCE
Menurut Berry, et al. (2002), consumer convenience dalam membeli dan
menggunakan jasa belum banyak dipahami. Service convenience adalah persepsi
konsumen terhadap waktu dan usaha berkaitan dengan pembelian atau pemakaian
suatu jasa. Konseptualisasi ini menggunakan dimensi waktu dan usaha sebagai
manfaat kenyamanan (penghem:atan waktu dan/atau usaha) atau biaya/beban
ketidaknyamanan (pemborosan waktu dan/atau usaha). Waktu dan usaha
merupakan opportunity costs yang timbul karena konsumen tidak mungkin
berpartisipasi pada aktivitas-aktivitas lain.
Berry, et al. (2002) mengidentifikasi lima jenis service convenience, yaitu
decision convenience, access convenience, transaction convenience, benefit
convenience, dan postbenefit convenience. Masing-masing tipe kenyamanan ini
mencerminkan tahap-tahap aktivitas konsumen berkaitan dengan pembelian atau
pemakaian sebuah jasa (lihat Tabel 3.11 untuk item-item spesifik pengukurannya).
1. Decision convenience merupakan persepsi konsumen terhadap biaya waktu dan
usaha untuk membuat keputusan pembelian atau pemakaian jasa. Keputusan
seperti ini meliputi apakah akan melakukan sendiri atau membeli jasa (make-or-
buy decision), pemilihan pemasok jasa dan penentuan jasa spesifik yang akan
dibeli. Contoh situasi make-or-buy decision meliputi: mengurus balita sendiri di
rumah atau memasukkannya ke playgroup atau child care center; masak sendiri
atau ikut rantangan/katering; naik angkutan umum atau menggunakan kendaraan
sendiri; dan seterusnya.
2. Access convenience, yakni persepsi konsumen terhadap biaya waktu dan usaha
untuk menginisiasi penyampaian jasa. Termasuk di dalamnya adalah tindakan-

48
tindakan yang harus dilakukan pelanggan untuk memesan atau meminta
jasa/layanan (misalnya, datang langsung, via telepon, Internet, fax, dan
seterusnya) dan dalam beberapa kasus, pelanggan harus ada atau hadir dalam
rangka menerima jasa/layanan perusahaan.
3. Transaction convenience, yaitu persepsi pelanggan terhadap biaya waktu dan
usaha untuk mengadakan sebuah transaksi. Tipe kenyamanan ini berfokus pada
tindakan-tindakan yang harus dilakukan pelanggan untuk mendapatkan hak atas
pemakaian jasa.
4. Benefit convenience adalah persepsi pelanggan terhadap biaya waktu dan usaha
untuk mengalami manfaat inti jasa.
5. Postbenefit convenience, yakni persepsi pelanggan terhadap biaya waktu dan
usaha sewaktu mengkontak kembali penyedia jasa setelah tahap manfaat jasa
(benefit stage). Tipe kenyamanan ini berhubungan dengan kebutuhan konsumen
akan reparasi, pemeliharaan atau penukaran produk. Termasuk pula di dalamnya
situasi di mana seorang pasien harus melakukan follow-up appointment untuk
keperluan evaluasi paska-operasi.

Table 3.11 Item Spesifik Pengukuran Service Convenience


NO TIPE KENYAMANAN ITEM/SKALA PENGUKURAN
1 Decision convenience  Dibutuhkan waktu minimal untuk
mendapatkan informasi yang
dibutuhkan guna memilih penyedia
jasa.
 Mudah bagi saya untuk membuat
keputusan mengenai apa yang ingin

49
saya beli.
 Mudah bagi saya untuk
mendapatkan informasi yang saya
butuhkan guna memutuskan
penyedia jasa mana yang akan
digunakan.
2 Access convenience  Mudah bagi saya mengkontak
penyedia jasa ini.
 Tidak dibutuhkan waktu lama untuk
menjangkau atau menghubungi
penyedia jasa ini.
 Saya bisa sampai di lokasi penyedia
jasa ini dengan cepat.
3 Transaction convenience  Saya tidak perlu bersusah payah
membayar jasa ini.
 Mereka memudahkan saya dalam
merampungkan pembelian saya.
 Saya bisa merampungkan
pembelian saya dengan cepat.
4 Benefit convenience  Saya bisa mendapatkan manfaat-
manfaat jasa ini dengan upaya
minimal.
 Jasa ini mudah digunakan.
 Waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan manfaat-manfaat jasa
ini sudah tepat/pantas.
5 Postbenefit convenience  Penyedia jasa ini memecahkan
masalah saya dengan cepat.
 Tidak diperlukan banyak usaha
untuk mengatur layanan tindak
lanjut (follow-up service).
 Penyedia jasa ini memudahkan saya

50
dalam memecahkan masalah saya.
Sumber: Diadaptasi dari Berry, et al. (2002)

Service convenience dipengaruhi oleh tiga faktor utama: karakteristik jasa,


faktor-faktor yang berkaitan dengan perusahaan, dan perbedaan konsumen
individual (lihat Gambar 3.9). Selanjutnya service convenience berpengaruh
terhadap evaluasi keseluruhan pelanggan terhadap jasa, di antaranya kepuasan
pelanggan, persepsi terhadap kualitas jasa, dan keadilan (fairness). Hubungan
antara service convenience dan evaluasi jasa dimoderasi oleh atribusi kesalahan
atas biaya waktu dan energi yang tak terduga. Apabila konsumen meyakini bahwa
penyedia jasa memiliki kendali atas ketidaknyamanan jasa, maka penilaiannya
terhadap kualitas, kepuasan, dan keadilan cenderung akan negatif.
Tipe jasa yang dibeli atau digunakan konsumen mempengaruhi persepsinya
terhadap kenyamanan. Karakteristik jasa yang berpengaruh signifikan terhadap
service convenience meliputi:
 Consequential services, yaitu jasa-jasa yang sangat bernilai bagi pelanggan
dan/atau membutuhkan tingkat keterlibatan tinggi. Sewaktu mengantri atau
menunggu untuk membeli sebuah jasa yang sangat bernilai, konsumen
biasanya lebih toleran terhadap ketidaknyamanan.
 Inseparabilitas jasa mengacu pada kesalingterkaitan dan keserentakan antara
kinerja dan pemakaian jasa. Oleh karena inseparable services melibatkan
partisipasi pelanggan, maka biaya waktu dan usaha pelanggan meningkat.
 Apabila ketersediaan jasa relatif terbatas, konsumen akan mencurahkan
lebih banyak waktu dan usaha. Konsekuensinya, tuntutan kenyamanan
mereka akan berkurang. Kecuali bila mereka bersedia untuk mem-batalkan
pembelian jasa bersangkutan, konsumen tidak punya pilihan lain selain
menerima tambahan beban waktu dan usaha berkaitan dengan kendala
pasokan (misalnya, mengantri meja di restoran terkenal).
 Jasa yang sifatnya labor-intensif biasanya memiliki tingkat variabilita kan
jasa yang sifatnya equipment-intensive dan manufaktur. Perbedaan dalam

51
hal keterampilan dan sikap karyawan jasa mendorong konsumen untuk
berhati-hati dalam memilih penyedia jasa.
 Dalam jasa-jasa hedonis (hedonic services), biasanya waktu dan usaha yang
lebih besar dapat meningkatkan nilai jasa hedonis bersangkutan, contohnya
jasa kapal pesiar.
Pemasaran dan operasi perusahaan bisa mempengaruhi persepsi konsumen
terhadap service convenience. Faktor-faktor berkaitan dengan perusahaan yang
mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kenyamanan meliputi selingan
(distractions) dan enhancements fasilitas jasa; informasi yang mengklarifikasi
biaya waktu dan usaha yang dibutuhkan; merek perusahaan; dan desain sistem
jasa.
Lingkungan jasa yang menawarkan aktivitas selingan dan enhancements
yang menarik bisa meningkatkan kepuasan pelanggan dan memoderasi persepsi
terhadap waktu tunggu dan respon afektif (seperti kesal, marah, jengkel, kecewa,
dan sebagainya). Sebagai contoh, TV di bandara bagi para wisatawan dan free
appetizers yang diberikan kepada para langganan restoran yang sedang mengantri
dan belum mendapatkan tempat bisa menetralisir dampak negatif persepsi
konsumen terhadap biaya menunggu. Selain itu, sejumlah riset menunjukkan
bahwa musik juga dapat mengurangi persepsi konsumen terhadap lamanya
menunggu dan biaya usaha emosional berkaitan dengan menunggu.
Berbagai riset menemukan bahwa penyediaan informasi mengenai waktu
menunggu potensial dan/atau alasan keterlambatan bisa menekan biaya psikologis
(seperti stres). Karena kegelisahan bisa membuat menunggu terasa lebih lama,
maka menunggu tanpa kepastian dipersepsikan membutuhkan biaya waktu dan
usaha lebih besar dibandingkan menunggu yang disertai kejelasan informasi.
Meskipun informasi bisa menekan ketidakpastian konsumen dan meminimumkan
atribusi negatif terhadap kontrolabilitas perusahaan, efektivitasnya tergantung
pada tipe informasi yang ditawarkan dan tipe menunggu.
Branding memainkan peran penting bagi perusahaan jasa, karena merek
yang kuat bisa meningkatkan kepercayaan konsumen, memudahkan konsumen
dalam memahami jasa, dan menekan persepsi pelanggan terhadap risiko. Respon

52
positif terhadap merek ini berkaitan dengan konsep ekuitas merek yang
dikemukakan David Aaker (1991) dan Kevin Lane Keller (1993). Berbeda dengan
barang terkemas (packaged goods) yang merek primernya adalah produk, merek
primer bagi sebuah jasa adalah perusahaannya. Berdasarkan cue utilization theory,
konsumen menggunakan nama merek untuk menilai kualitas barang dan jasa.
Konsumen bisa menekan biaya waktu melalui loyalitas merek. Konsumen yang
berada dalam tekanan waktu berkemungkinan kecil untuk mengadopsi merek jasa
baru. Merek jasa yang kuat menawarkan decision convenience kepada konsumen,
karena ekuitas merek penyedia jasa bisa menekan persepsi risiko, yang pada
gilirannya menyederhanakan proses pemilihan penyedia jasa. Perancangan sistem
jasa berperan penting dalam mengelola biaya waktu dan usaha yang dibutuhkan
konsumen untuk mengunakan sebuah jasa. Layout ruangan dan fungsionalitas
sangat penting dalam lingkungan jasa swalayan atau lingkungan layanan terbatas,
di mana ketersediaan bantuan karyawan minimum. Layout dan desain toko,
misalnya, mempengaruhi efisiensi ruang gerak pelanggan di dalam toko,
kemudahan konsumen dalam keluar-masuk toko secara cepat, dan kemudahan
dalam menemukan produk yang diinginkan secara cepat.

Gambar: 3.9 Model Service Convenience

53
Beberapa karakteristik individu yang berpengaruh terhadap persepsi
terhadap kenyamanan jasa meliputi: orientasi waktu; persepsi terhadap tekanan
waktu; perasaan empati; dan pengalaman konsumen dengan penyedia jasa.
Konsumen berbeda dalam hal orientasi waktu dan ancangan pengalokasian waktu.
Studi-studi menyangkut perbedaan kultural dalam hal sikap terhadap waktu
(monochronic versus polychronic, orientasi masa kini versus orientasi masa
depan; konsep waktu linier versus konsep waktu siklis; dan finite versus infinite
time) mengindikasikan bahwa konservasi waktu dan energi mempengaruhi
perilaku pembelian. Penggunaan waktu polikronik (concurrent time use)
memungkinkan orang untuk mewujudkan beberapa tujuan pada waktu bersamaan.
Orientasi waktu seperti ini disukai konsumen yang memandang waktu sebagai
sumberdaya langka dan merencanakan pemakaiannya secara cermat. Penyedia
jasa bisa menawarkan lebih banyak peluang polikronik (mengkombinasikan
beberapa aktivitas) bagi konsumen untuk menekan persepsi konsumen terhadap
biaya waktu. Sebagai contoh, beberapa pusat perbelanjaan di Amerika
menawarkan jasa servis mobil di area parkir selagi konsumen berbelanja. Tekanan
waktu akan dirasakan seseorang manakala ia mempersepsikan bahwa waktu yang
tersedia baginya tidak memadai.

54
Tekanan waktu akan mempengaruhi strategi alokasi waktu seseorang.
Sebagai contoh, tekanan waktu situasional mempengaruhi konsumen yang harus
merampungkan tugas spesifik dalam rangka memenuhi deadline tertentu
(contohnya, membeli hadiah ulang tahun dalam perjalanan menuju tempat pesta
ulang tahun). Orang yang sangat memperhatikan waktu cenderung rentan terhadap
gejala-gejala fisik dan psikologis berkaitan dengan ketegangan akibat tingginya
tuntutan waktu. Misalnya, tekanan waktu bisa memicu emosi negatif seperti rasa
tidak sabar, gelisah, dan tak berdaya, yang pada gilirannya berdampak pada
persepsi negatif terhadap kenyamanan jasa.
Perasaan empati terhadap penyedia jasa menyebabkan konsumen
mengendalikan atau menahan diri dan tidak menyuarakan ketidakpuasan dalam
service encounter. Perasaan empati berpeluang mempengaruhi persepsi konsumen
terhadap kenyamanan jasa. Semakin besar empati konsumen, semakin kecil
persepsinya terhadap biaya waktu dan energi.
Pengalaman atau familiaritas pelanggan mempengaruhi cara pelanggan
menggunakan informasi untuk membuat keputusan dan menilai barang dan jasa.
Seiring dengan meningkatnya pengalaman konsumen dengan penyedia jasa
tertentu, biaya decision convenience akan menurun karena alternatif pilihan
penyedia jasa berkurang dan relasi dengan penyedia jasa tertentu bertumbuh dan
berkembang. Akan tetapi, bila konsumen belum berpengalaman (misalnya, akan
studi lanjut ke luar negeri pertama kali), biaya decision convenience akan
meningkat secara signifikan.

55
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Perilaku konsumen adalah proses dan aktivitas ketika seseorang
berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta
pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk
membuat keputusan pembelian.
Faktor-faktor utama dalam yang mempengaruhi pencarian informasi oleh
konsumen, diantaranya: karakteristik pasar, karakteristik produk,
karakteristik pelanggan dan karakter situasi.

B.       Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat
memperoleh informasi dan menambah wawasan dalam memahami perilaku
konsumen.

56
DAFTAR PUSTAKA

Fandy Tjiptono, Ph.D. Pemasaran Jasa (prisip, penerapan, penelitian).


Yogyakarta: Andi
https://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_konsumen
https://salamadian.com/pengertian-perilaku-konsumen/

57

Anda mungkin juga menyukai