Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PEMENUHAN AMAN & NYAMAN

PADA Tn. P DENGAN Dx MEDIS FRAKTUR FEMUR

DOSEN PEMBIMBING :

Siti Fatonah, S.Kp., M.Kes

DISUSUN OLEH :

Jannati Aulia Dewi

2014301016

TINGKAT 2 REGULER 1

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


Laporan Pendahuluan

A. Konsep Penyakit
1. Definisi Dx Medik
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
(Price & Wilson, 2006)
Menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Documentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki
dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
menyebabkan penderitaan. (FKUI, 1995 : 543)

2. Etiologi Dx Medik
Penyebab fraktur femur menurut (Wahid, 2013) antara lain :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Klasifikasi fraktur : (Chairuddin, 2003)


a. Klasifikasi etiologis
1) Fraktur traumatic.
2) Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan
dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
3) Fraktur stress terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada
daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali
ditemukan pada anggota gerak atas.
b. Klasifikasi klinis
1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (compound fraktur), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan di kulit.
3) Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union, nonunion, dan
infeksi tulang.
c. Klasifikasi radiologis
1) Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi.
2) Konfigurasi : F. transfersal, F. oblik, F. spiral, F. Z, F. segmental, F. komunitif
(lebih dari deaf ragmen), F. baji biasa pada vertebra karena trauma, F. avulse,
F. depresi, F. pecah, F. epifisis.
3) Menurut ekstensi : F. total, F. tidak total, F. buckle atau torus, F. garis rambut,
F. green stick.
4) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak bergeser,
bergeser (bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-riding, impaksi).

Fraktur trebuka dibagi atas 3 derajat (menurut R. Gustino), yaitu :


 Derajat I :
- Luka < 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, transversal, atau komunitif ringan
- Kontaminasi minimal
 Derajat II :
- Laserasi > 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
- Fraktur komunitif sedang
- Kontaminasi sedang
 Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan :


1) Jumlah Garis
a. Simple fraktur : Terdapat satu garis fraktur
b. Multiple fraktur : Lebih dari satu garis fraktur
c. Comminutive fraktur : Lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi fragmen
kecil
2) Luas Garis Fraktur
a. Fraktur inkomplit : Tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur komplikasi : Tulang terpotong total
c. Hair line fraktur : Garis fraktur tidak tampak
3) Bentuk Fragmen
a. Green stick : Retak pada sebelah sisi dari tulang
(sering pada anak-anak)
b. Fraktur transversal : Fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue : Fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral : Fraktur fragmen melingkar

3. Patofisiologi / Pathway
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutu bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jarring lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah
putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakak akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment. (Brunner & Suddarth, 2002)
PATHWAYS

TRAUMA LANGSUNG TRAUMA TIDAK LANGSUNG KONDISI PATOLOGIS

FRAKTUR

DISKONTINUITAS TULANG PERGESERAN FREKMEN NYERI AKUT


TULANG

PERUB JARING SEKITAR KERUSAKAN FRAKMEN


TULANG

TEK SUMSUM TULNG


PERGESERAN FRAGMEN SPASME OTOT LEBIH TINGGI DR KAPILER
TULANG

PENINGKATAN TEK MELEPASKAN


DEFORMITAS KAPILER KATEKOLAMIN

METABOLISME ASAM LEMAK


GGN FUNGSI PELEPASAN
EKSTREMITAS HISTAMIN

BERGABUNG DENGAN
TROMBOSIT
HAMBATAN MOBILITAS PROTEIN PLASMA
FISIK HILANG
EMBOLI
EDEMA
LASERI KULIT

PENEKAN PEM.DARAH MENYUMBAT PEMBULUH


DARAH

PUTUS VENA/ARTERI KERUSAKAN KETIDAKEFEKTIFAN


INTEGRITAS KULIT PERFUSI JARINGAN
RESIKO INFEKSI PERIFER

KEHILANGAN VOLUME RESIKO SYOK /


PERDARAHAN CAIRAN HIPOVOLEMIK
4. Manifestasi Klinik / Tanda dan Gejala
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri pembengkakan
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar
mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja,
trauma olahraga)
d. Gangguan fungsi anggota gerak
e. Deformatis
f. Kelainan gerak
g. Krepitasi atau dating dengan gejala-gejala lain.

Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa :

Lokalisasi Waktu Penyembuhan


Falang/metacarpal/metatarsal/kosta 3 – 6 minggu
Distal radius 6 minggu
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10 – 12 minggu
Klavikula 6 minggu
Panggul 10 – 12 minggu
Femur 12 – 16 minggu
Kondilus femur/tibia 8 – 10 minggu
Tibia/fibula 12 – 16 minggu
Vertebra 12 minggu

5. Pemeriksaan Penunjang
Tes-tes yang akan dilakukan untuk mendiagnosis penyebab fraktur, sebagai berikut :
a. X-ray : menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kretenin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk krilens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau
cedera hati.

6. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur meliputi :
a. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fregmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat
yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka,
dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat, dan paku.
b. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode ekstrem dan interna mempertahankan
dan mengembalikan fungsi status neurovascular selalu dipantau meliputi peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan
untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.

7. Referensi
 Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction
Publishing.
 Alimul, Aziz. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia, Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.
 Maryanto, Ismail. Buku Saku Ringkasan Orthopedi Untuk Perawat, Mahasiswa
Fakultas Kedokteran, Fisioterapist, dan Dokter Umum. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
B. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
1. Definisi Aman dan Nyaman
Menurut kozier (2010) mengatakan bahwa keamanan adalah keadaan bebas dari segala
fisik fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, serta
dipengaruhi oleh factor lingkungan. Sedangkan kenyamanan sebagai suatu keadaan
terpenuhi kebutuhan dasar manusia meliputi ketentraman, kepuasan, kelegaan, dan
tersedia.
Potter & perry (2005) mengungkapkan bahwa kenyamanan atau rasa nyaman adalah
suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan
ketentraman, kelegaan, dan transeden. Kenyamanan mesti dipandang secara holistic
yang mencakup empat aspek, yaitu :
a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b. Social, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan social.
c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan interneal dalam diri sendiri yang
meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan.
d. Lingkungan, berhubungan dengana latar belakang pengalaman eksternal manusia
seperti cahaya, bunyi, temperature, warna dan unsure alamiah lainnya.

2. Anatomi Fisiologi yang berhubungan dengan Kebutuhan Aman dan Nyaman


Nociceptores tidak terspesialisasi, merupakan ujung saraf yang bebas, tak bermyelin
yang mengubah berbagai rangsangan menjadi implus saraf, yang diinterpretasikan otak
untuk menghasilkan sensasi rasa nyeri.
Ada 2 jenis nosiseptor, yaitu :
1) High-threshold mechanoreceptors (HTM), yang berespon terhadap kerusakan
mekanis.
2) Polumodal nociceptors (PMN), yang berespon terhadap berbagai kerusakan
jaringan oleh pengeluaran mediator :
a. Cytokines
b. Bradykinin
c. Histamine
d. Prostaglandins
e. Leucotrienes
Aktivasi nosiseptor oleh mediator-mediator yang dikeluarkan dari kerusakan jaringan
dan saraf. Prostaglandin dan bradikinin pada nosiseptor untuk aktivitas rangsangan
dengan intensitas rendah. Histamine dan 5-HT menyebabkan rasa sakit ketika
langsung terkena nerve ending.

3. Fisiologi Proses Aman dan Nyaman


Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri
yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang
memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin, yang tersebar pada kulit dan
mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulus atau rangsangan.
Stimulus tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti bradikinin, histamine,
prostaglandin, dan macam0macam asam yang dilepaskan apabila terdapat kerusakan
pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal,
listik atau mekanis.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aman dan Nyaman


a. Emosi kecemasan, depresi, dan marah akan mudah terjadi dan mempengaruhi
keamanan dan kenyamanan.
b. Status mobilisasi keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran
menurun memudahkan terjadinya resiko injury.
c. Gangguan persepsi sensory mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang
berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.
d. Keadaan imunitas gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh kurang
sehingga mudah terserang penyakit.
e. Tingkat kesadaran pada pasien koma, respon akan menurun terhadap rangsangan,
paralisis, disorientasi, dan kurang tidur.
f. Informasi atau komunikasi gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat
membaca dapat menimbulkan kecelakaan.
g. Gangguan tingkat pengetahuan kesadaran akan terjadi gangguan keselamatan dan
keamanan dapat diprediksi sebelumnya.
h. Penggunaan antibiotic yang tidak rasional aktibiotik dapat menimbulkan
resistendan anafilaktik syok.
i. Status nutrisi keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat beresiko terhadap penyakit
tertentu.
j. Usia pembedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia anak-anak
dan lansia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.
k. Jenis kelamin secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam
merespon nyeri dan tingkat kenyamanan.
l. Kebudayaan dan keyakinan nilai. Nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri dan tingkat nyeri dan tingkat kenyaman yang mereka punyai

5. Gangguan Aman dan Nyaman


Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan sempurna dalam
dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan emosional.
Penyebab gangguan rasa nyaman
a. Gejala penyakit.
b. Kurang pengendalian situasional/lingkungan.
c. Ketidakadekuatan sumber daya.
d. Kurang privasi.
e. Gangguan stimulus lingkungan.
f. Efek samping terapi misalnya medikasi, radiasi, dan kemoterapi.

Menurut klarifikasinya yaitu :


a. Nyeri menurut tempat dan sumbernya :
1) Peripheral pain.
2) Superficial pain/nyeri permukaan.
3) Dreppain/nyeri dalam.
4) Defereed/nyeri alihan.
5) Nyeri fisik : disebabkan karena kerusakan jaringan yang timbul dari stimulasi
serabut saraf pada struktur somatic visceral.
6) Nyeri somatic : nyeri yang terbatas waktu berlangsungnya kecuali bila diikuti
kerusakan jaringan diikuti rasa nyeri pada sigmen spinal lokasi tertentu.
7) Nyeri visceral : nyeri yang terbatas waktu berlangsungnya kecuali bila diikuti
kerusakan jaringan diikuti rasa nyeri pada sigmen spinal lokasi tertentu.
8) Sentral pain : nyeri ini terjadi karena perangsangan system saraf pusat, spinal,,
cord, batang otak.
b. Nyeri menurut sifatnya :
1) Seperti diiris benda tajam.
2) Seperti ditusuk pisau.
3) Seperti terbakar.
4) Seperti diremas-remas
c. Menurut berat dan ringannya :
1) Nyeri ringan : nyeri yang intensutasnya ringan.
2) Nyeri sedang : nyeri yang intensitasnya menimbulkan reaksi.
3) Nyeri berat : nyeri yang intensitasnya tinggi
d. Menurut waktunya :
1) Nyeri kronis
- Berkembang secara progresif selama 6 bulan lebih.
- Reaksi menyebar.
- Respon parsimpatis.
- Penampilan depresi dan menarik diri.
- Pola serangan tidak jelas.
2) Nyeri akut
- Berlangsung singkat kurang dari 6 bulan.
- Terelokasi.
- Respon system saraf parasimpati.
- Penampilan : gelisah, cemas.
- Pola seragangan jelas
C. Proses Keperawatan pada Gangguan Kebutuhan Aman dan Nyaman
1. PENGKAJIAN
A. Riwayat Keperawatan.
a. Identifikasi klien
Biasanya fraktur terjadi pada pria/wanita namun lebih banyak menyerang pada
laki-laki dibawah umur 45 tahun berhubungan dengan olahraga, pekerjaan dan
lain-lain. (Pieree, 2006)
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri yang
bertambah dan terus menerus. (Rosyidi,2013)
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang paha,
pertolongan apa yang telah didapatkan, dan apakah sudah berobat ke dukun
patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka yang lain (Muttaqin, 2008).
P (Paliatif) : Pada kondisi nyeri otot, tulang, dan sendi biasanya disebabkan
oleh adanya kerusakan jaringan saraf akibat suatu trauma. (Helmi, 2012)
Q (Qualitative) : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. Biasanya pasien
pada kasus fraktur mengeluh nyeri yang tajam dan menusuk.
R (Region) : Biasanya nyeri dapat menyebar pada keadaan yang
menyebabkan tekanan serabut saraf. (Helmi, 2012)
S (Severity) : Biasanya pasien mengeluh nyeri yang dirasakan terus-
menerus. (Elizabeth J Corwin, 2009)
T (Time) : Biasanya pasien mengeluh nyeri bertambah berat jika
digerakkan, namun hilang dengan beristirahat.
d. Riwayat kesehatan yang lalu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit kelainan formasi
tulang atau biasanya disebut paget dan ini mengganggu proses daur ulang
tulang yang normal di dalam tubuh sehingga menyebabkan fraktur patologis
sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronis dan penyakit
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Muttaqin, 2008).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang adalah salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis, yang
sering terjadi pada beberapa keturunan serta kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f. Riwayat psikososial
Adalah respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat (Padili, 2012).

B. Pengkajian Kebutuhan Dasar Aman dan Nyaman


a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulang selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
pasien seperti menggunakan obat steroid.
b. Kebutuhan nutrisi dan metabolisme
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C. dan lain-lain, untuk membantu
proses penyembuhan tulang.
c. Pola tidur dan istirahat
Pada umumnya semua pasien fraktur mengalami ketebatasan gerak atau
kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena, adanya kesulitan tidur
dan istirahat pada pasien fraktur dikarenakan rasa nyeri.
d. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Berapa banyak minum dalam sehari.
e. Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur cruris tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga di kaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses.
f. Pola aktivitas
Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerrjaan yang lain.
g. Pola kognitif-perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu, timbul rasa nyeri akibat
fraktur.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan atau melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya salah.
i. Pola seksual dan reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami pasien.
j. Pola peran-hubungan
Pada umumnya pasien akan kehilangan peran dalam keluarganya dan dalam
masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap.
k. Pola manajemen koping stress
Cara pemecahan masalah dan penyelesaian masalah.
l. Pola keyakinan-nilai
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbataan gerak pasien.

 Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
a. Kesadaran penderita : Apatis, spoor, koma, gelisah. Komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan kasus
fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Head to toe
a. Kepala
Tidak ada benjolan, simetris, tidak ada nyeri tekan.
b. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada benjolan dan tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid. Reflek menelan ada.
c. Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak oedema.
d. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor.
e. Telinga
Tes bisik atau weber dalam keadaan normal. Mata simetris kanan dan kiri
serta tidak ada masalah pada pendengaran. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
f. Hidung
Telinga simetris kanan dan kiri, tidak ada pernafasan cuping hidung, dan
tidak ada deformitas.
g. Mulut dan faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
kering dan pucat.
h. Thoraks
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidak tergantung pada
riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama/simetris, fermitus teraba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, dan tidak ada redup atau suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
i. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus kordis.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : Pekak.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Turgor baik.
Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltic usus normal, bising usus kurang lebih 20
kali/menit.
k. Musculoskeletal
Inspeksi : Warna kemerahan atau kebiruan ataupun hiperpigmentasi,
terjadi pembengkakan, posisi dan bentuk dari ekstremitas.
Palpasi : Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) adanya oedema
terutama disekitar persendian, adanya nyeri tekan serta krepitasi.
l. Ektremitas
Ekstremitas atas : Akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgor kulit baik,
pergerakan baik.
Ekstremitas bawah : Akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek,
pergerakan tidak simteris, terdapat lesi dan edema.

C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rontgen : Sebagai penunjang, yang merupakan pemeriksaan yang
penting dengan menggunakan sinar rontgen (x-ray).
Hal yang harus dibaca pada X-ray :
a) Menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya trauma.
b) Bayangan adanya kerusakan atau tidak pada jaringan lunak.
c) Tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
d) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
e) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
b) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
c) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan penyembuhan
tulang.
d) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
e) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat
Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang (Wahid, 2013).
f) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah dan
transfusi multiple.
3) Pemeriksaan Lain-Lain
a) Elektromyografi : Terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
faktor.
b) Indium imaging : Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
c) MRI : Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Wahid, 2013)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN KEBUTUHAN AMAN DAN NYAMAN (SDKI)


1) Nyeri akut ( D.0077)
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2) Perfusi perifer tidak efektif (D.0009)
Perfusi perifer tidak efektif adalah penurunan sirkulasi darah pada level kapiler
yang dapat mengganggu metabolisme tubuh.
3) Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129)
Gangguan integritas kulit/jaringan adalah kerusakan kulit (dermis dan atau
epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang,
kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen).
4) Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstremitas secara mandiri.
5) Defisit perawatan diri (D.0109)
Defisit perawatan diri adalah tidak mampu melakukan atau menyelesaikan
aktivitas perawatan diri.
6) Resiko infeksi (D.142)
Resiko infeksi yaitu beresiko mengalami penigkatan terserang organisme
patogenik.
7) Resiko syok (D.0039)
Resiko syok adalah beresiko mengalami ketidakcukupan aliran darah ke jaringan
tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang mengancam jiwa.
8) Resiko jatuh (D.0143)
Resko jatuh adalah beresiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan
akibat terjatuh.

3. PERENCANAAN
a. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
1) Nyeri akut
Kemungkinan berhubungan dengan :
- Agen pencedera fisik

2) Perfusi perifer tidak efektif


Kemungkinan berhubungan dengan :
- Penurunan aliran arteri dan/atau vena (edema)

3) Gangguan integritas kulit/jaringan


Kemungkinan berhubungan dengan :
- Faktor mekanis (mis. penekanan pada tonjolan tulang, gesekan)

4) Gangguan mobilitas fisik


Kemungkinan berhubungan dengan :
- Gangguan muskuloskeletal
- Nyeri

5) Defisit perawatan diri.


Kemungkinan berhubungan dengan :
- Kelemahan

6) Resiko infeksi
Kemungkinan berhubungan dengan :
- Efek prosedur invasif
7) Resiko syok
Kemungkinan berhubungan dengan :
- Kekurangan volume cairan

8) Resiko jatuh
Kemungkinan berhubungan dengan :
- Penggunaan alat bantu berjalan

b. Tujuan (SMART)
1) Diagnosa 1
Nyeri akut
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri
berkurang atau hilang dengan kriteria hasil :
1. Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat.
2. Melaporkan bahwa keluhan nyeri berkurang.
3. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
4. Rasa meringis dan gelisah berkurang.
5. Tanda-tanda vital membaik.

2) Diagnosa 2
Perfusi perifer tidak efektif
Tujuan : Perfusi perifer tidak efektif dapat teratasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perfusi
perifer tidak efektif dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan.
2. Tidak ada ortostatik hipertensi.

3) Diagnosa 3
Gangguan integritas kulit/jaringan
Tujuan : Gangguan integritas kulit dapat teratasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan integritas
kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil :.
1. Perfusi jaringan meningkat.
2. Kerusakan jaringan menurun.
3. Kerusakan lapisan kulit menurun.
4. Tekstur membaik.

4) Diagnosa 4
Gangguan mobilitas fisik
Tujuan : Gangguan mobilitas fisik dapat teratasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan
mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1. Pasien meningkat dalam aktivitas fisik.
2. Pergerakan ekstremitas meningkat.
3. Kekuatan otot meningkat.
4. Nyeri menurun.
5. Gerakan terbatas menurun.
6. Kelemahan fisik menurun.

5) Diagnosa 5
Defisit perawatan diri
Tujuan : Kemampuan melakukan perawatan mandiri meningkat.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
mampu merawat diri dengan kriteria hasil :
1. Pasien tampak bersih dan segar.
2. Pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri atau dengan
bantuan.
3. Minat melakukan perawatan diri meningkat.

6) Diagnosa 6
Resiko infeksi
Tujuan : Pasien tidak mengalami infeksi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi dengan kriteria hasil :
1. Pasien bebas dari tanda gejala infeksi.
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
3. Menunjukkan perilaku hidup sehat.
7) Diagnosa 7
Resiko syok
Tujuan : Pasien tidak mengalami syok.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi syok dengan kriteria hasil :
1. Nadi dalam batas yang diharapkan.
2. Irama jantung dalam batas yang diharapkan.
3. Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan.

8) Diagnosa 8
Resiko jatuh
Tujuan : Pasien tidak terjatuh saat melakukan aktivitas.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada
jatuh pada pasien dengan kriteria hasil :
1. Kemampuan mengidentifikasi faktor resiko meningkat.
2. Kemampuan melakukan strategi kontrol resiko meningkat.
3. Kemampuan menghindari faktor resiko meningkat.
4. Tidak ada kejadian jatuh.

c. Rencana Tindakan (SIKI)


1) Intervensi Diagnosa 1 (Nyeri akut)
Observasi :
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
- Identifikasi skala nyeri.
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
Terapeutik :
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
Edukasi :
- Monitor efek samping penggunaan analgetik.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri (mis. teknik napas dalam).
Rasional :
- Menentukan jenis nyeri yang dirasakan pasien.
- Membantu mengkaji kebutuhan intervensi atau jika terjadi komplikasi.
- Menghindari faktor yang membuat nyeri muncul.
- Memberitahu teknik nonfarmakologis yang dapat meredakan nyeri.
- Mempercepat proses penyembuhan.
- Meredakan nyeri.
- Meningkatkan ventilitas maksimal dan oksigenisasi.

2) Intervensi Diagnosa 2 (Perfusi perifer tidak efektif)


Observasi :
- Monitor tanda-tanda vital.
- Monitor status hidrasi.
- Monitor status pernafasan.
- Monitor hb pasien.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian transfusi darah bila diperlukan.
Rasional :
- Mengetahui bahwa tanda-tanda vital pasien dalam normal.
- Mengetahui status hidrasi pasien dalam keadaan normal.
- Mengetahui bahwa pernafasan pasien normal.
- Mengetahui bahwa hb pasien dalam keadaan normal.

3) Intervensi Diagnosa 3 (Gangguan integritas kulit/jaringan)


Observasi :
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit.
Terapeutik :
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring.
Edukasi :
- Anjurkan minum air yang cukup.
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit.
Rasional :
- Mengetahui apa penyebab dari gangguan integritas kulit.
- Meminimalkan resiko terjadinya kerusakan kulit (dekubitus).
- Agar balance cairan seimbang.
- Mempercepat penyembuhan luka.
- Mempercepat proses penyembuhan.

4) Intervensi Diagnosa 4 (Gangguan mobilitas fisik)


Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi.
Terapeutik :
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan menggunakan alat bantu.
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan misalnya duduk
ditempat tidur
Rasional :
- Untuk mengetahui adanya area nyeri.
- Untuk mengetahui keadaan jantung pasien apakah dalam keadaan normal.
- Untuk mempermudah klien melakukan perpindahan.
- Supaya klien merasa nyaman jika dibantu keluarga.
- Untuk memperi pengetahuan kepada klien pentingnya mobilisasi.
- Untuk mencegah dekubitus.

5) Intervensi Diagnosa 5 (Defisit perawatan diri)


Observasi :
- Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia.
- Monitor tingkat kemandirian.
- Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, dan berhias.
Terapeutik :
- Sediakan lingkungan yang teraupetik (mis. privasi pasien).
- Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai pasien dapat mandiri.
- Jadwalkan rutinitas perawatan diri.
Edukasi :
- Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsiste sesuai kemampuan.
Rasional :
- Mengetahui kebiasaan aktivitas pasien.
- Mengetahui sampai sejauh mana tingkat kemandirian pasien.
- Mengetahui kebutuhan alat perawatan diri yang pasien butuhkan.
- Memberikan rasa nyaman kepada pasien.
- Mengawasi pasien agar selalu aman.
- Mempercepat proses penyembuhan.
- Untuk mengoptimalkan pergerakan.

6) Intervensi Diagnosa 6 (Resiko infeksi)


Observasi :
- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan dan panas.
- Inspeksi kondisi luka.
- Dorong masukan nutrisi yang cukup.
- Dorong masukan cairan.
- Dorong istirahat.
Edukasi :
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep.
Rasional :
- Mengetahui kondisi tekstur luka.
- Mengetahui kondisi luka.
- Agar kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
- Agar kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
- Agar kebutuhan istirahat pasien terpenuhi.
- Mempercepat proses penyembuhan.

7) Intervensi Diagnosa 7 (Resiko syok)


Observasi :
- Monitor tanda-tanda vital.
- Monitor status cairan input dan output.
- Monitor tingkat kesadaran.
- Monitor tanda awal syok.
Rasional :
- Mengetahui kondisi umum pasien.
- Mengetahui cairan yang masuk dan keluar dari pasien.
- Mengetahui kondisi kesadaran pasien.
- Mengetahui bagaimana keadaan awal pasien saat syok.

8) Intervensi Diagnosa 8 : (Resiko jatuh)


Observasi :
- Identifikasi faktor resiko jatuh.
- Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan resiko jatuh.
- Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan
sebaliknya.
Terapeutik :
- Gunakan alat bantu berjalan.
- Didik anggota keluarga tentang faktor resiko yang berkontribusi terhadap
jatuh dan bagaimana mereka dapat menurunkan terjadinya resiko tersebut.
Rasional :
- Mengetahui faktor yang menyebabkan resiko jatuh.
- Mengetahui faktor lingkungan yang menyebabkan resiko jatuh.
- Mengetahui perkembangan kemampuan aktivitas pasien.
- Membantu pasien dalam proses penyembuhan.
- Menambah pengetahuan anggota keluarga agar tetap waspada.

Anda mungkin juga menyukai