Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

DI SUSUN OLEH :

ANITA YUNIKA GOBEL

C01418015

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO


LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengertian
Waham adalah suatu keadaan di mana seseorang individu
mengalami sesuatu kekacauan dalam pengoperasian dan aktivitas –
aktivitas kognitif (Townsend, 2010)
Waham adalah keyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan
walaupun walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 2012).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan
penilaian realitas yang salah , keyakinan yang tidak konsisten dengan
tingkat intelektual dan latar belakang budaya , ketidakmampuan
merespon stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi /
informasi secara akurat (Yosep ,2009).
b. Rentang Respon Neurobiologi
Respon Adaptif Respon Maladaptif

-Pikiran logis -Kadang proses piker - Gg. Isi piker


-Persepsi akurat terganggu halusinasi
-Emosi konsisten dng -Ilusi - Perubahan proses
pengalaman -Emosi berlebih emosi
-Perilaku sesuai -Berperilaku yg tidak - Perilaku tidak
-Hubungan social biasa terorganisasi
harmonis -Menarik diri - Isolasi sosial

c. Etiologi

Keadaan yang timbul sebagai akibat dari pada proyeksi dimana


seseorang melemparkan kekurangan dan rasa tidak nyaman ke dunia luar.
Individu itu biasanya peka dan mudah tersinggung , sikap dingin dan
cenderung menarik diri. Keadaan ini sering kali disebabkan karena merasa
lingkungannya tidak nyaman , merasa benci , kaku , cinta pada diri sendiri
yang berlebihan angkuh dan keras kepala. Dengan seringnya memakai
mekanisme proyeksi dan adanya kecenderungan melamun serta
mendambakan sesuatu secara berlebihan , maka keadaan ini dapat
berkembang menjadi waham. Secara berlahan – lahan individu itu tidak
dapat melepaskan diri dari khayalannya dan kemudian meninggalkan
dunia realitas.
Kecintaan pada diri sendiri, angkuh dan keras kepala , adanya rasa
tidak aman , membuat seseorang berkhayal ia sering menjadi penguasa dan
hal ini dapat berkembang menjadi waham besar.
Secara umum dapat dikatakan segala sesuatu yang mengancam
harga diri dan keutuhan keluarga merupakan penyebab terjadinya
halusinasi dan waham. Selian itu kecemasan , kemampuan untuk
memisahkan dan mengatur persepsi mengenai perbedaan antara apa yang
dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun sehingga segala sesuatu sukar
lagi dibedakan , mana rangsangan dari pikiran dan rangsangan dari
lingkungan (Keliat, 1998)
Ada dua factor yang menyebabkan terjadinya waham (Keliat,
1998)yaitu :
a. Factor predisposisi
Meliputi perkembangan sosial kultural , psikologis , genetik ,
biokimia. Jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan
interpersonal terganggu maka individu mengalami stress dan
kecemasan
b. Factor presipitasi
Rangsangan lingkungan yang sering menjadi pencetus terjadinya
waham yaitu klien mengalami hubungan yang bermusuhan , terlalu
lama diajak bicara , objek yang ada dilingkungannya dan suasana sepi
(isolasi). Suasana ini dapat meningkatkan stress dan kecemasan.
c. Tanda dan Gejala
Untuk mendapatkan data waham saudara harus melakukan observasi
perilaku berikut ini :
a. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus ,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : “saya ini pejabat di departemen kesehatan lho..” atau “saya
punya tambang emas”
b. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan / mencederai dirinya , diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan.
Contoh : “saya tahu… seluruh saudara ingin mneghancurkan hidup
saya karena merasa iri dengan kesuksesan saya.”
c. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan ,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : “kalau saya masuk surge saya harus menggunakan pakaian
putih setiap hari.”
d. Waham somatic
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu / terserang
penyakit , diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : “saya sakit kanker” , setelah pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda – tanda kanker namun pasien terus mengatakan
bahwa ia terserang kanker.
e. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia / meninggal ,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh : “ini kana lam kubur ya , semua yang ada adalah roh – roh”
d. Masalah Keperawatan dan Data Fokus Pengkajian
Perubahan proses pikir: waham
- Kerusakan komunikasi verbal
- Gangguan proses pikir : waham
- Harga diri rendah kronik
1) Data Mayor
Data Subjektif :
- Merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/diguna-guna,
merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa,
merasa sakit/rusak organ tubuh.
Data Objektif :
- Marah–marah tanpa sebab, banyak kata (longorhoe), menyendiri,
sirkumtansial, inkoheren.
2) Data Minor :
Data Subjektif
- Merasa orang lain menjauh, merasa tidak ada yang mau mengerti
Data Objektif
- Marah – marah karena urusan sepele, menyendiri.
b. Pohon Masalah

Kerusakan komuikasi verbal

effect

Perubahan proses pikir : waham

Core problem

Harga diri rendah kronik

causa
 Terapi Modalitas Kelompok
d. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi
atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
i. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
2. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
3. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
4. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
5. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
6. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
a. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk
apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah
sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan StrategiPelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.).St.Louis Mosby Year Book.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL(MENARIK DIRI)

1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengertian
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan
keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat
kontak ( Carpenito, 1998 ).
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien
mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain
yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup berbagi pengalaman.
b. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri


Otononi Depedensi Ketergantungan
Bekerja sama Curiga Manipulasi
Interdependen curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
1) Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan
kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika
menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk
respons adaptif.
a) Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b) Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c) Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan
satu sama lain.
d) Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan
orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
2) Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang
termasuk respons maladaptif.
a) Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b) Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
diri sehingga tergantung dengan orang lain.
c) Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
d) Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap
orang lain.
c. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan
faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan
sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya
diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus
asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak
mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
kegiatan sendiri terabaikan.
1) Faktor Predisposisi
a) Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka
akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan
dapat menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas

Masa Bayi Menetapkan rasa percaya

Mengembangkan otonomi dan awal


Masa Bermain
perilaku mandiri

Belajar menunjukkan inisiatif, rasa


Masa Prasekolah
tanggung jawab, dan hati nurani

Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan


Masa Sekolah
berkompromi

Menjalin hubungan intim dengan teman


Masa Praremaja
sesama jenis kelamin.

Menjadi intim dengan teman lawan jenis


Masa Remaja
atau bergantung pada orang tua.

Menjadi saling bergantung antara


Masa Dewasa Muda orangtua dan teman, mencari pasangan,
menikah, dan mempunyai anak.

Belajar menerima hasil kehidupan yang


Masa Tengah Baya
sudah dilalui.

Berduka karena kehilangan dan


Masa Dewasa Tua mengembangkan perasaan keterikatan
dengan budaya.

b) Faktor Komunikasi dalam Keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di
mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan di luar keluarga.
c) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah
dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak
produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan penyandang
cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d) Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah
otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak
seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel
dalam limbik dan daerah kortikal.
2) Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
a) Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b) Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya.
Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu
3) Mekanisme Koping
Koping yang digunakan klien adalah proyeksi, menghindar dan
kadang-kadang mencedrai diri.Klien apabila mendapat masalah takut
atau tidak mau menceritakannya pada orang orang lain (lebih sering
menggunakan koping menarik diri).
c. Masalah Keperawatan
Isolasi sosial
1) Data Mayor :
Data Subjektif
- Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang lain
tidak mau menerima dirinya, merasa orang lain tidak selevel.
Data Objektif
- Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-cakap dengan
orang lain
2) Data Minor :
Data Subjektif
- Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat bayangan,
merasa tak berguna
Data Objektif
- Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif
berhubungan dengan orang lain
d. Pohon Masalah ( Budi Anna Keliat, 1999)
Resiko Perubahan Sensori-Persepsi : Halusinasi

Effect

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Core Problem

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

Causa

 Terapi Modalitas Kelompok


a. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi
atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
2) Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
3) Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
4) Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
5) Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
6) Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
c. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk
apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah
sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.
Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering di sebut juga gaduh gelisah atau
amuk di mana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2007).
b. Rentang Respon Adaptof dan Mal Adaptif
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan :
1) Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan
2) Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
dapat menemukan alternative
3) Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4) Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol
5) Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control
Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan Agresif/Kekerasan
Pasif Asertif Agresif

Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan


Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, diri. Merendahkan
contohnya contohnya orang lain,
perkataan : perkataan : contohnya
“Dapatkah saya?” “Saya dapat…” perkataan :
“Dapatkah kamu?” “Saya akan….” “Kamu selalu…”
“Kamu tidak
pernah…”

Tekanan Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot


suara mengeluh

Posisi badan Menundukan Tegap dan santai Kaku, condong


kepala kedepan

Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak


dengan sikap acuh/ jarak yang akan menyerang
mengabaikan nyaman orang lain

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang

Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan


tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

c. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
c) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau perilaku
kekerasan,contohnya: pada masa anak-anak yang mendapat
perilaku kekerasan cenderung saat dewasa menjadi pelaku
perilaku kekerasan.
d) Perilaku
Kekerasan didapat pada saat setiap melakukan sesuatu maka
kekerasan yang diterima sehingga secara tidak langsung hal
tersebut akan diadopsi dan dijadikan perilaku yang wajar.
e) Sosial Budaya
Budaya yang pasif – agresif dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
kekerasan adalah hal yang wajar.
f) Bioneurologis
Beberapa berpendapat bahwa kerusaka pada sistem limbik,
lobus frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter ikut menyumbang terjadi perilaku kekerasan
2) Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan  dengan (Yosep, 2009):
a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
3) Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif,
denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka
yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang
yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi
tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah
diri (Harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang
lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak
diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan.
Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang
lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan,
dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi
klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga
tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar
masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan
keluarga tidak maksimal (regimen teurapeutik inefektif).
d. Masalah keperawatan
Perilaku kekerasan
1) Data Mayor :
Data Subjektif
- Mengancam, mengumpat, bicara keras dan kasar
Data Objektif
- Agitasi, meninju, membanting dan melempar
2) Data Minor :
Data Subjektif
- Mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar
suara yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya
Data Objektif :
- Menjau dari orang lain, katatonia
e. Pohon Masalah

Resiko mencederai diriorang lain dan lingkungan

effect

Perilaku Kekerasan/amuk

Core problem

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah


causa

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perilaku kekerasan
b. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi social

 Terapi Modalitas Kelompok


a. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi
atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
2) Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
3) Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
4) Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
5) Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
6) Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic

c. Tahapan Terapi Modalitas


Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk
apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah
sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo,
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC,
Keliat Budi Ana, 1999, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengertian
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian (Gail W. Stuart, 2006). Bunuh diri adalah pikiran
untuk menghilangkan nyawa sendiri (Isaacs, Ann, 2005). Bunuh diri adalah
ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif
dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan, 2004). Perilaku bunuh diri
meliputu isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan
mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri (Yosep, Iyus.
2009).
b. Rentang ResponAdaptif dan Mal Adaptif ( Menurut Yosep 2009)

Respon Adatif ResponMaladaptif

Peningkatkan Berisiko destruktif Destruktif diri Pencederaan


Bunuh Diri tidak langsungDiri

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.


Ancaman bunuh diri mungkin menunjukan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang
terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adatif pada diri
seseorang.
1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan
diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertolongan
diri. Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya
yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalakan diri sendri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpimnan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat atau maladaptive terhadap situasi yang membutuhkan
dirinya untuk mempertahankan diri. misalnya, karena pandangan
pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan
menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4) Pencederaan diri. Seorang melakukan percobaan bunuh diri tau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan tindakan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
c. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (2004), faktor predisposisi bunuh diri antara
lain :
a) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah rasabermusuhan, implisif dan depresi.
b) Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya
dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri.
c) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
d) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku
destrukif diri.
2) Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2006) faktor pencetus seseorang melakukan percobaan
bunuh diri adalah:
a) Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagalmelakukan hubungan yang berarti.
b) Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c) Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
d) Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
3) Mekanisme Koping
a) Mood/affek: Depresi yang persisten, merasa hopelessness,
helplessness, isolation, sedih, merasa jauh dari orang lain, afek datar,
sering mendengar atau melihat bunyi yang sedih dan unhappy,
membenci diri sendiri, merasa dihina, sering menampilkan sesuatu
yang tidak adekuat di sekolah, mengharapkan untuk dihukum.
b) Perilaku/behavior: Perubahan pada penampilan fisik, kehilangan
fungsi, tak berdaya seperti tidak intrest, kurang mendengarkan,
gangguan tidur, sensitive, mengeluh sakit perut, kepala sakit, perilaku
antisocial : menolak untuk minum, menggunakan obat-obatan,
berkelahi, lari dari rumah.
c) Sekolah dan hubungan interpersonal: Menolak untuk ke sekolah,
bolos dari sekolah, sosial teman-temannya, kegiatan-kegiatan sekolah
dan hanya interest pada hal – hal yang menyenangkan, kekurangan
system pendukung sosial yang efektif.
d) Keterampilan koping: Kehilangan batas realita, menarik dan
mengisolasikan diri, tidak menggunakan support system, melihat diri
sebagai orang yang secara total tidak berdaya.
d. Masalah Keperawatan
Risiko bunuh diri
1) Data Mayor
Data Subjrktif :
- Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan
pernah mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri
Data Objektif :
- Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri
2) Data Minor
Data Subjrktif :
- Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih baik
mati saja, mengatakan sudah bosan hidup
Data Objektif
- Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai
e. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan ( pada diri sendiri,


orang lain, lingkungan dan verbal)
Effect

Resiko Bunuh Diri


Core Problem

Harga Diri Rendah Kronik


Causa

2. Diagnosa Keperawatan
d. Risiko Bunuh Diri.
e. Harga diri rendah kronik
f. Risiko perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan
verbal.
 Terapi Modalitas Kelompok
a. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi
atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
5. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
6.
c. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk
apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah
sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.

.
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor.


Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) unSP 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, B. A. 1998. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Orientasi
Realitas. Jakarta: EGC.
Maramis, F. W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2000).
b. Rentang Respon Adaptif dan Mal Adaptif

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri (Solitude) Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsive
Kebersamaan Ketergantungan Narcisme
Saling ketergantungan
1) Menyendiri (Solitude)
Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
dilakukan dilingkungan sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi
diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2) Otonomi
Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide-ide
pikiran, perasaan dalam hubungan social
3) Kebersamaan
Kondisi dalam hubungan sosial interpersonal dimana individu mampu
saling member dan menerima.
4) Saling Ketergantungan
Hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal.

c. Etiologi
Faktor Predisposisi dan Faktor PresivitasiMenurut Depkes (2000: 20),
penyebab kurang perawatan diri adalah:
1) Faktor predisposisi
a) Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b) Biologis: Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
c) Kemampuan realitas turun: Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d) Sosial: Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor presipitasi
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri.Menurut Depkes (2000: 59)
Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
a) Body Image: Gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan
fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b) Praktik Sosial: Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan
diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal
hygiene.
c) Status Sosial Ekonomi: Personal hygiene memerlukan alat dan
bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang
semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d) Pengetahuan: Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya
pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga
kebersihan kakinya.
e) Budaya: Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan.
f) Kondisi fisik atau psikis: Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan
untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk
melakukannya.
3) Mekanisme Koping
d. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan diri
1) Data Mayor
Data Subjektif :
- Menyatakan malas mandi, tidak tahu cara makan yang baik, tidak
tahu cara dandan yang baik, tidak tahu cara eliminasi yang
baik.
Data Objektif
- Badan kotor, dandan tidak rapih, makan berantakan,
BAB/BAKsembarang tempat.
2) Data Minor
Data Subjektif :
- Merasa tidak berguna, merasa tak perlu merubah
penampilan,merasa tidak ada yang peduli
Data Objektif
- Tidak tersedia alat kebersihan, tidak tersedia alat makan,tidak
tersedia alat toileting
e. Pohon Masalah

Isolasi Sosial: menarik diri

effect

Defisit Perawatan Diri: mandi, berdandan

Core problem

Harga Diri Rendah Kronis

causa

2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit perawatan diri
b. Isolasi sosial
c. Harga diri rendah

3. Tindakan Keperawatan

 Terapi Modalitas Kelompok


a. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.
Terapi ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari
perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas
mendasarkan potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik
tolak terapi atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk
terapi keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan
mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan,
fase kerja, diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
5. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
c. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa
yang diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
untuk apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini
adalah sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur
kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan
kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk
mencapai tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan
maka diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan
dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd ed.
Jakarta : EGC.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1.
Bandung : RSJP.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH (HDR)

1. Pengkajian Keperawatan
a. Definisi
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya
sendiri.\Harga diri rendah adalah perasan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negativ terhadap diri
sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri,
merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri
(keliat, 2009)
b. Rentang Respon Adaptif dan Mal Adaptif

Respon adaptif Respon maldaptif


Aktualisasi diri Konsep diri Harga diri Kerancuan
Depersonalisasi Positif rendah identitas
Keterangan :
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat
diterima.
2) Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa
yang ada pada dirinya meliputi cita dirinya, ideal dirinya, harga
dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini
akan menunjukkan bahwa individu itu akan menjadi individu yang
sukses.
3) Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak
berguna, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik
diri sendiri dan atau orang lain, penurunan produktifitas, destruktif
yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam berhubungan,
perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perassan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir,
serta meanarik diri dari realitas.
4) Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan kerancuan identitas yaitu tidak ada kode moral,
sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal
eksploitasi, perassan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati
terhadap orang lain.
5) Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana
klien tidak dapat membedakan stimulus dari alam atau luar dirinya.
Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari
orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing
baginya.
b. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Dalam tinjuan life span history klien, penyebab terjadinya
harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi
pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja
keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak
diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan atau
pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya ( yosep,2009 ).
Menurut stuart (2006), faktor-faktor yang mengakibatkan harga diri
rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai
berikut :
1) Faktor predisposisi
a) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang
tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab yang tidak realistis,
kegagalan yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realitis.
b) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah sterotipe peran
gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
c) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidak
percayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan
struktur sosial.
2) Faktor presipitasi
Menurut yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga diri
rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan
penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas yang menurun.
Secara umum, gangguan konsep harga diri rendah dapat terjadi secara
situasional atau kronik.secara situasional karena trauma yang muncul
secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,perkosaan,atau
penjara, termasuk dirawat di rumah sakit bisa menyebabkan harga diri
rendah disebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu
yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah kronik, biasanya
dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
3) Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk
melindungi diri yang menyakitkan.
1) Pertahanan jangka pendek
- Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis
identitas (misal : bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
- Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara
(ikut serta dalam aktivitas sosial, agama, klub politik,
kelompok/geng)
- Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri
(misal : olahraga yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes
untuk mendapatkan popularitas)
- Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu
(misal : penyalahgunaan obat)
2) Pertahanan jangka panjang
- Penutupan identitas
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang penting
bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan
potensi diri individu tersebut
- Identitas negatif
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai
dan harapan masyarakat.
c. Masalah Keperawatan
Gangguan konsep diri : HDR
1) Data Mayor
Data Subjektif :
- Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
Data Objektif :
- Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain
2) Data Minor
Data Subjektif :
- Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati
d. Pohon Masalah

Isolasi Sosial: menarik diri

effect

Harga diri rendah kronik

Core problem

Koping individu tidak efektif

Causa

2. Diagnosa keperawatan
a. Harga diri rendah
b. Koping individu tidak efektif
c. Isolasi sosial

 Terapi Modalitas Kelompok


a. Definisi
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.
Terapi ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari
perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas
mendasarkan potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik
tolak terapi atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk
terapi keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan
mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan,
fase kerja, diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
5. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
c. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa
yang diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
untuk apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini
adalah sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur
kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan
kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk
mencapai tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan
maka diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor


Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan
dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd ed.
Jakarta : EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1.
Bandung : RSJP.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

1. Pengkajian Keperawatan
a. Definisi
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi merupakan salah satu masalah
keperawatan jiwa yang dpat ditemukan pada pasien gangguan jiwa.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada.
b. Respon Adaptif dan Mal Adaptif
c. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
a) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
b) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan
yang membesarkannya.
c) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).
d) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas.
e) Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
a) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock
(1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas
unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat
dari 5 dimensi yaitu:
(1) Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
(2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat
sesuatu terhadap ketakutannya.
(3) Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada
saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
(4) Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan
pada klien yang mengalami halusianasi adalah dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
(5) Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga
interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Klien yang mengalami halusiansi cenderung
menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya serta
halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
(6) Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan
menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping
tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan
sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil
3) Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri
4) Jenis-jenis Halusinasi
Jenis
Data objektif Data subjektif
halusinasi
Dengar/suara Bicara atau tertawa sendiri 1. Mendengar suara-
Marah-marah tanpa sebab suara atau
Mencodongkan telingan kegaduhan
kearah tetentu 2. Mendengar suara
Menutup telingan yang mengajak
bercakap-cakap
3. Mendengar suara
memerintah
melaukakn sesuatu
yang berbahaya
penglihatan Menunujuk-nunjuk kearah Melihat bayangan,
tertentu sinar, bentuk geometris,
Ketakutan pada sesuatu bentuk kartun, melihat
yang tidak jelas hantu atau monster
Penghidu Tampak seperti sedang Mencium seperti bau
mencium bau-bauan feses, urine, darah,
Menutup hidung
Pengecapan Sering meludah Merasakan rasa seperti
Muntah darah, urine dan feses
Perabaan Menggaruk-garuk Mengatakan ada
permukaan kulit serangga dipermukaan
kulit
Merasa seperti tersengat
listrik
d. Masalah Keperawatan
Perubahan persepsi sensori : halusinasi
1) Data Mayor
Data Subjektif:
- Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat bayangan
Data Objektif :
- Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab
2) Data Minor
Data Subjektif
- Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara-suara
Data Objektif
- Menyendiri, melamun
e. Pohon Masalah

Risiko mencederai diri, orang lain dan


lingkunganeffect

Perubahan sensori perseptual : halusinasi

Core problem

Isolasi sosial : menarik diri

Causa

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko perilaku mencederai diri berhubungan dengan halusinasi
pendengaran
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan
dengan menarik diri
c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
 Terapi Modalitas Kelompok
a. Definisi

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi


ini di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif. Terapi modalitas mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi
atau penyembuhannya. Tapi terapi ini bisa dipakai untuk terapi
keperawatan keluarga.
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
b. Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
Dasar-dasar Pemberian Terapi Modalitas
1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku
manusia
2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah
kondisi yang mengandung reaksi( respon yang baru )
3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya
faktor-faktor yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu
sehingga reaksi indv tersebut dapat diprediksi ( reward dan
punishment )
4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam
menunjuang dan menghambat perilaku individu dalam kelompok
social
5. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental
emosional dan sosial ke arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara
holistic
c. Tahapan Terapi Modalitas
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk
apa aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah
sebagai model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok,
meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok.
Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja. Di fase kerja terapis
membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus pada keadaan
here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota kelompok
melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai
tujuan terapi.
Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama
kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan
perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleran si terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir
dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai