Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

Oleh :
Riska Amalia Adilla
Nim.19020074

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS)
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI

1.1 Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulanga kibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto,2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulan-!ulang
yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2010)
Epilepsi adalah sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang bersifat akut) merupakan
suatu runtutan kejang umum yang terjadi tanpa adanya perbaikan kesadaran
penuh di antara serangan. Status epileptikus menimbulkan kebutuhan
metabolicsar dan berpengaruh terhadap pernafasan. Pada saat kejang, terdapat
beberapa kejadian henti nafas yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia
pada otak. Faktor – faktor yang mencetuskan status epileptikus meliputi gejala
putus obat antikonvulsan, demam, serta adanya infeksi penyerta (Muttaqin,
2008).

1.2 Etiologi
Menurut Rilianto (2015) epilepsi merupakan manifestasi akut dari
penyakit infeksi system saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksis,
gangguan metabolic dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah.
Gangguan serebrovaskuler menjadi penyebab SE tersering di Negara maju,
sedangkan pada negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan
saraf pusat
Secara umum penyebab status epileptikus dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
a. Idiopatik
Tidak diketahui penyebabnya namun umumnya mempunyai predisposisi
genetik
b. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik,
gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik
Disebabkan oleh adanya kelainan/lesi pada susunan saraf pusat misalnya
adanya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, serta kelainan neuro degenerative.

1.3 Klasifikasi
Klasifikasi menurut International Leage Against Epilepsy (ILAE)
a. Kejang parsial (fokal)
1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala otonomik
d) Dengan gejala psikis
2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan
kesadaran
1) Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
2) Dengan automatisme
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
1) Dengan gangguan kesadaran saja
2) Dengan automatisme.
3. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik), tonik atauklonik)
a) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
b) Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
c) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum.
b. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
a. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang (dewasa)
b. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso (anak).
c. Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan
ekstensi tungkai (anak)

Gambar a. Kejang Fase Tonik


d. Tonik – klonik
Epilepsi ini sering terjadi pada usia di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu kejang. Pasien tiba-tiba pingsan,
kaku pada otot seluruh tubuh. Kejang kaku berlangsung kira- kira ¼
- ½ menit diikuti kejang- kejang seluruh tubuh. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dalam beberapa
saat lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat ketika kejang,
mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas.

Gambar b.Fase Tonik-Klonik


e. Atonik
Mendadak lemas pada otot-otot seluruh tubuh sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi
ini terutama sekali dijumpai pada anak.

Klasifikasi epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :


1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
1) Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
2) Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b. Simptomatik
1) Lobus temporalis
2) Lobus frontalis
3) Lobus parietalis
4) Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
1) Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
2) Benign myoclonic epilepsy in infancy
3) Childhood absence epilepsy
4) Juvenile absence epilepsy
5) Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
6) Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
7) Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi umum kriptogenik atau simptomatik
1) West’s syndrome (infantile spasms)
2) Lennox gastaut syndrome
3) Epilepsy with myoclonic astatic seizures
4) Epilepsy with myoclonic absences
c.Simptomatic
1) Etiologi non spesifik
2) Early myoclonic encephalopathy
3) Specific disease states presenting with seizures

1.4 Patofisiologi
Menurut Rilianto (2015) kejang dipicu oleh rangsangan neuron secara
belebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktifitas fungsi
motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional)
secara local atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
1. Gangguan pembentukan ATP akibat kegagalan pompa Na-K, seperti
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas membrane sel syaraf
3. Perubahan relative neurotransmitter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara
GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang
Menurut Muttaqin (2008) Epilepsi disebabkan oleh instabilitas membran
sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik. Status epileptikus menimbulkan kebutuhan
metabolistik besar dan dapat mempengaruhi pernafasan. Terdapat beberapa
kejadian henti nafas pada puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti
vena dan hipokia otak. Episode berulang anoksia dan pembengkakan serebral
dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tak reversible dan fatal. Faktor-
faktor yang mencetuskan status epileptikus meliputi gejala putus obat
antikonvulsan, demam dan infeksi penyerta.
1.6 Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar atau mulut yang bergerak tak
terkontrol, bicara tidak dapat dimengerti, mungkin dapat mengalami
perubahan penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau
tak menyenangkan.
2. Kejang parsial
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis
tetapi tidak bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan,
marah kegiangan atau peka rangsangan yang berlebihan, tidak
mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
3. Kejang Umum (kejang grand mall)
Mengenal kedua hemister otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh
diikuti dengan perubahan kedutan dari reaksi otot dan kontraksi
(kontraksi tonik klonik umum)
Menurut Rilianto (2015) epilepsi dihubungkan dengan perubahan
fisiologis sistemik hasil peningkatan kebutuhan metabolic akibat kejang
berulang dan perubahan autonomy termasuk takikardia, aritmia, hipotensi,
dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia,
hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit
memerlukan intervensi media. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan
neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus menerus.
Fase Serangan Kejang
a. Fase Prodromal
Terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan kejang yang ditandai
dengan perubahan alam rasa (mood) dan tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal terjadinya serangan seperti gangguan perasaan,
pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak
menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, sianosis, tonus spinkterani
meningkat, kesadaran menurun, tubuh rigid-tegang-kaku, stridor dilatasi
pupil, hipersalivasi dan lidah resiko tergigit,
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan ditandai dengan : amnesia
retrograd,confuse lama, lemah, sakit kepala, nyeri otot, mual dan isolasi
diri.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Lumbal Punksi
Proses inflamasi menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan
ensefalitis maupun proses sistemik lain. Sampai saat ini pemeriksaan
LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada
pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
2. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di
area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal
sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat
antikonvulsan terutama pada epilepsi.
3. Pencitraan
Pencitraan hanya dilakukan jika dicurigai adanya kelainan anatomis
otak dan dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi.
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT-scan,

1.8 Penatalaksanaan Medis


1. Status Penderita
Tahap ini meliputi usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki
fungsi vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan
jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal
canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan,
hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan
untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah
lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas
darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan
oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera
diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im
2. Menghentikan Kejang
Manajemen Status Epileptikus Konvulsi
Waktu Tindakan
0-5 menit Tatalaksanaan umum:
1. Oksigenasi
2. Stabilitas jalan napas, pernapasan, dan hemodinamik
3. Akses IV dan berikan infus normal salin dengan tetesan lambat
4. Pemeriksaan darah ke laboratorium
5. Cek kadar glukosa
6. Monitoring EKG
5-10 menit 1. Tiamin 100 mg IV dan D50% ml IV
2. Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV
dalam 1-2 menit, ulangi setelah 5 menit jika masih
kejang
3. Jika tidak ada akses IV, berikan diazepam per rektal
atau midazolam intranasal, bukal, atau
intramuscular (Rilianto, 2015).
10-20 menit 1. Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 20mg/kg
IV (50 mg/ menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV (150
mg/ menit). Jika masih kejang, tambahkan 5-10 mg/kg
(Rilianto, 2015).
20-30 menit 1. Intubasi, pasang kateter urin, mulai perekaman EEG,
cek temperature
2. Berikan fenobarbital dengan loading dose 20 mg/kg
IV (100 mg/menit) (Rilianto, 2015)

40-60 menit Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan:
1. Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/k
IV bolus setiap 5 menit hingga maksimal loading
dose 2 mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,005-
2,9 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG, atau
2. Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5
menit sampai kejang berhenti dengan loading dose
maksimal 10 mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi
dengan monitoring EEG
3. Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, bolus hingga
kejang berhenti, lanjutkan infus pentobarbital 1
mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam untuk
memastikan bangkitan kejang berhenti dengan
pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah
dan pernafasan. Jika perlu berikan pressor untuk
mempertahankan tekanan darah (Rilianto, 2015).

Status Epileptikus Non Konvulsif (Menurut, Kustiowati, dkk 2003)

Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain


SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV
SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorasepam /
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin, Lamotrigin,
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif Fenition IV atau Fenobarbital Anastesi dengan tiopenton,
pada pasien koma penobarbital, propofol atau
Midazolam

Status Epileptikus Refrakter (Kustiowati,dkk 2003)

Kombinasi OAE Indikasi


Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial / bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrgin Bangkitan Parsial / Bangkitan Umum

1.9 Diagnosa banding


1. Sinkope
Sinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan
aliran darah kedalam otak dan anoks ia. Sebabnya adalah tensi darah yang
menurun mendadak biasanya saat penderita sedang berdiri. Pada fase
permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa
pusing, pandangan kabur. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi
melemah, tekanan darah rendah. Dengan dibaringkan horizontal penderita
segera membaik.
2. Gangguan jantung
Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan
yang mungkin pula mengakibatkan pingsan.
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-
macam sebab dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada
keadaan ini dijumpai kelainan-kelainan neurologis seperti diplopia,
disartria, ataksia, dan lain-lain.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemis didahului rasa lapar, berkeringat, paltisipasi, tremor, mulut
kering. Kesadaran dapat menurun perlahan.
5. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.
Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin
menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau
perubahan pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan
yang terjadi menyerupai kejang tonik klonik, tetapi bisa menyerupai
sindroma hiperventilasi. Timbulnya serangan sering berhubungan dengan
stress.
6. Paralisis tidur
Biasanya terjadi kejang menjelang tidur atau bangun dan sering didahului
halusinasi visual dan auditoris. Serangan ini sering merekrutkan penderita
karena ia dapat bemafas, menggerakkan mata, namun tidak dapat bergerak.
Sentuhan ringan atau rangsang auditoris dapat mengakhiri paralisis
tersebut yang biasanya berlangsung hanya beberapa detik.

1.10 Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh
stress emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan
kepribadian seperti:

a. Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual


b. Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya
gangguan pada hippocampus, anomia (ketidakmampuan untuk
mengulang kata atau nama benda).
c. Kepribadian keras : agresif dan defensif
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
a. Aspirasi atau muntah
b. Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
c. Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
d. Status epileptikus
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang
tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat
berkembang pada setiap tipe kejang tetapi yang paling sering adalah
kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin menyebabkan kerusakan
pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin fatal.
Komplikasi meliputi: Aspirasi Aritmia Dehidrasi Fraktur Serangan jantung
Trauma kepala

1.11 Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1. Pengkajian kondisi/kesehatan
umum Kondisi umum Klien
nampak sakit berat
2. Pengkajian Status kesadaran
Pengkajian eye atau membuka mata dengan cara dipanggil atau
dirangsang dengan nyeri kemudian untuk verbalnya menanyakan
nama pasien dan untuk mengetahui status motorik pasien dengan
cara memberi perintah.
3. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk
mengidentifikasi dengan segera masalah aktual dari kondisi life
treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan ABCDE:
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.
Digunakan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan
gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya
sehingga menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah,
mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan
perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada
fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase ini terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien
biasanya dalam keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien
merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks,
apakah ada cedera tambahan akibat kejang
4. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa.
Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi,
kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita
sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera
otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol.
Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain /
keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan,
tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati
dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan
involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada
post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot
relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan
lunak
5. Pemeriksaan Neurologis dan Fisik
1. Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
a. Refleks hammer
b. Garputala
c. Kapas dan lidi
d. Penlight atau senter kecil
e. Opthalmoskop
f. Jarum steril
g. Spatel tongue
h. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
i. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
j. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
k. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula,
atau cuka
l. Baju periksa
m. Sarung tangan
2. Pemeriksaan Saraf Kranial
a) Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya,
b) Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
1) Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak
baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
2) Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,
minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah
mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda
yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta, mengucapkan ya
bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama
dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien
saat pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat
fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
c) Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
1) Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
2) Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
3) Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya.
d) Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
1) Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien
mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
2) Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
3) Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
4) Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala
yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga dacerah wajah tadi dan
minta klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
5) Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah
mata dan lihat refleks menutup mata.
6) Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.
e) Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
1) Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi
untuk gula dan asam
2) Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua alis berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta
klien memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta
pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
f) Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
1) Cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
2) Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien
berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu
observasi adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa
mengubah posisi, lihat apakah klien dapat mempertahankan posisi
g) Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
1) Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum,
normal bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
2) Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang
faring menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
3) Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air
sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa
getaran pita suara saat klien berbicara.
h) Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
1) Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
2) Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke
bahu kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi
rentang pergerakan sendi
3) Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien
dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak
tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya
dorong.
4) Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong.
i) Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
1) Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
2) Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu
pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah,
dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain
3. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks
cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus
pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
1. Massa otot: hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot: Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada
berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk
secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu
tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu
mencerminkan tonus otot.
a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi, Keadaan
otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah,
melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan
spastis, Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi
bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji
tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi
pergelangan tangan.
c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
3. Kekuatan otot:
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara
aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji
biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan
otot dengan skala Lovett's (memiliki nilai 0-5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan
atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
4. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan
yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan
pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan
baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap
beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis
stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai
perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning),
rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan
tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching /kedutan, miotonia,
cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan
yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya),
untuk pemeriksaan stereognosis
c. Pena / pensil, untuk graphesthesia.
5. Pemeriksaan Fungsi Refleks
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan
refleks hammer, Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1= hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2= normal (++)
3= lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah:
1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi
kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan
tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa
kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.
2. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900, supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa), Jari
pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku),
kemudian dipukul dengan refleks hammer Normal jika timbul
kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan
gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan
fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps
diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2
cm diatas olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot
triceps, sedikit meningkat bila ckstensi ringan dan hyperaktif bila
ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu
atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan
refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas
tungkai bawah kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks
hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
5. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah
umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas
dan kearah daerah yang digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. la hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah
kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking
dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul
jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.
Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui
rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan:
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga
dagu tidak dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan
tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski
I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien
pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan
tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah
membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas. Kemig (+) bila
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan
menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
1. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus
corticospinal. Nampak kedua lengan atas menutup kesamping,
kedua siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua
kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar
fleksi.
2. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain,
pons atau diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan
pronasi, ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus
keluar dan kaki plantar fleksi.
6. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:
1) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan
dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
2) Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan
acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
3) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
4) Somnolen(nilai GCS 9-7) yaitu kondisi sescorang yang mengantuk namun
masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan
tertidur kembali.
5) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
6) Semi-coma(nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama
sekali, respon terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kormea
dan pupil masih baik.
7) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada
respons terhadap rangsang nyeri

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
epilepsi adalah:
a. Risioko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
c. Gangguan pertukana gas
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
e. Hipertermia
f. Nyeri akut
g. Risiko cidera
h. Intoleransi aktifitas
i. Hambatan mobilitas fisik
j. Ansietas
k. Distress spiritual
3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan Intervensi


keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Manajemen edema serebral (2540)
jam, Ketidakefektifan perfusi jaringan otak teratasi. 1. Monitor karakteristik cairan serebrospinal: warna,
ketidakefektifan
kejernihan, konsistensi
perfusi jaringan Kriteria hasil: Perfusi jaringan serebral (0406) 2. Monitor TIK dan CPP
3. posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau
otak Kode Indikator s.a s.t
lebih
04060 Tekanan intrakranial 3 5 4. lakuka tindakan pencegahan terjadinya kejang
2 5. Dorong keluarga atau orang yang penting untuk
04060 Sakit kepala 3 5 bicara pada pasien
3 6. kolaborasi dengan tim medis lain terkait pemerian
04061 Penurunan tingkat 3 5 diuretik osmotik atau active loop
6 kesadaran
04062 Refleksi saraf terganggu 3 5
0
2. Penurunan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Monitor tekanan intrakranial (TIK)
jam, Penurunan kapasitaf adaptif internal teratasi. 1. Monitor kualitas dan karakteristik gelombak TIK
kapasitaf adaptif
2. Monitor status neurologis
internal Criteria hasil: Status Neurologis (0909) 3. Bantu menyiapkan perangkat pemantauan TIK
Kode Indikator s.a s.t 4. Rekam pembacaan tekanan TIK
09090 Fungsi sensorik dan 3 5 5. berikan informasi kepada pasien dan keluarga atau
3 motorik kranial orang penting lainyan
09090 Ukuran pupil 3 5 6. beri tahu dokter untuk peningkatan TIK yang tidak
8 bereaksi sesuai peraturan perawatan
09091 Pola gerakan mata 3 5
0
09091 Aktivitas kejang 3 5
4
3. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Pemberian analgesik (2210) :
jam, nyeri akut teratasi. 1. Monitor ttv setelah dan sebelum diberika analgesik
agens cedera
2. Cek adanya riwayat alergi obat
biologi (00132) Kriteria hasil: kontrol nyeri (1605) 3. Ajarkan pada keluarga pasien cara mengalihkkan
rasa nyeri
Kode Indikator s.a s.t 4. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya
16050 Mengenali kapan nyeri 3 5 apakah obat, dosis, dan rute pemberian .
2 Manajemen nyeri (1400) :
16050 Menjelaska faktor 3 5 1. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
1 penyebab nyeri
16050 Menggunakan tindakan 3 5 2. Lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi nyeri
4 pengurangan (nyeri). 3. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
4. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim
Keterangan : kesehatan untuk memilih tindakan penurunan nyeri
1 : berat farmakologi atau non farmakologi sesuai kebutuhan
2 : cukup berat
3 : sedang
4 : ringan
5 : tidak ada
4. Hipertermi b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 Manajemen hipertermia
jam Hipertermi teratasi 1. identifikasi penyebab hipertermia
iskemia
2. monitor suhu tubuh
Kriteria: Termoregulasi (0800) 3. sediakan lingkungan yang dingin
4. longgarkan atau lepaskan pakaian pasien
Indikator SA ST 5. berikan obat penurun panas
Kode 6. anjurkan tirah baring
080001 Peningkatan suhu 3 5 7. kolaborasi dengan tim medis lain terkait
kulit pemberian cairan dan elektrolit
080019 Hipertermia 3 5
080014 Dehidrasi 3 5
5 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam Manajemen asam basa (1910)
. pertukaran gas Gangguan pertukaran gas teratasi
berhubungan 1. Monitor adanya gejala kegagalan pernaafasan
dengan ketidak Kriteria: Status Pernafasan : pertukaran gas (0402) (misalnya rendahnya PaO2, dan meningkatnya
seimbangan level PaCO2, dan kelelahan otot pernafasan)
ventilasi perfusi Indikator SA ST
Kode 2. Monitor pola pernafasan
040208 Tekanan parsial oksigen 3 5
didarah ateri (PaO2) 3. Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yang
040209 Tekanan parsial 3 5 adekuat (misalnya membuka jalan nafas dan
karbondioksida didarah menaikan posisi kepala ditempat tidur)
ateri (PaCO2)
040210 PH arteri 3 5 4. Berikan terapi oksigen dengan tepat
040211 Status Oksigenasi 3 5
040214 Keseimbangan ventilasi 3 5 5. Berikan pengobatan yang sudah diresepkan
perfusi berdasarkan pada trend yang ada pada PH, PaCO2,
Keterangan: HCO2, dan serum elektrolit dengan cara yang
1. Deviasi berat dari kisaran normal tepat.
2. Deviasi cukupCukup berat dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi berat dari kisaran normal
6 Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam Manajemen jalan nafas (3140)
. bersihan jalan nafas Ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi
. berhubungan
dengan benda asing Kriteria: Status Pernafasan : kepatenan jalan nafas (0410) 1. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
dalam jalan nafas sebagaimana mestinya

2. Auskultasi suara nafas , catat ventilasinya menurun


dan suara tambahan

Indikator SA ST 3. Kelola udara atau oksigen yang dilembabkan


Kode sebagaimana mestinya
041012 Kemampuan untuk 3 5
mengeluarkan sekret 4. Kelola nebulazer ultrasonik sebagaimana mestinya
041007 Suara nafas tambahan 3 5
041015 Dispnea 3 5 5. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam,
Keterangan: berputar, dan batuk
1. sangat berat
2. berat 6. Kelola pemberian bronkodilator
3. cukup
4. ringan
5. tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The


treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;
83:415
Nanda-I Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifikasi 2018-2020
NOC (nursing outcames classification) edisi keenam 2018
NIC (nursing intervemtion classification) edisi ke tujuh 2018
Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang
Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung
Darto Saharso. 2016. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu
Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/ Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Klien dengan Ganggguan Sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
Rilianto, Beny (2015). Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Continuing
Medical Education, 42(10), 1-5. Retrieved from kalbemed.com

Anda mungkin juga menyukai