Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGERTIAN TAKSONOMI DAN PERANAN BINATANG PENGANGGU


DALAM KESEHATAN

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Odi R. Pinontoan, MS

SEMESTER VII

KESEHATAN LINGKUNGAN

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Josefien Rolita Tiwow 18111101011

Syutrika Chandra 18111101040

Linda Tangimanu 18111101141

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala tuntunan-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian Taksonomi dan
Peranan Binatang Pengganggu dalam Kesehatan” ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat membantu menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca sehingga kedepannya dapat
memperbaiki makalah ini dengan lebih baik.

Makalah ini penyusun akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang
dimiliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, penyusun berharap kepada para
pembaca agar kiranya memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Manado, September 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................... 2

1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Taksonomi............................................................................................ 3

2.2 Vektor Penyakit dan Binatang Pengganggu........................................................... 3

2.3 Hubungan Vektor Penyakit dengan Binatang Penggaggu Terhadap

ii
Kehidupan Manusia.......................................................................................................4

2.4 Peranan Binatang Pengganggu dalam Kesehatan....................................................5

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................................13

3.2 Saran......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat, baik secara endemis maupun sebagai penyakit baru yang
berpotensi menimbulkan wabah. Oleh karenya, untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014
tentang Kesehatan Lingkungan, perlu mengatur ketentuan mengenai standar baku
mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan untuk vektor dan binatang
pembawa penyakit serta pengendaliannya.
Penyakit yang ditularkan melalui vektor dan binatang pengganggu masih
menjadi penyakit endemis di Indonesia bahkan dibeberapa bagian belahan dunia
lainnya. Beberapa diantaranya yang saat ini masih endemis di Indonesia antara
lain adalah penyakit malaria, demam berdarah dengue, filariasis, pes, kolera, dan
lain lain. Penyakit-penyakit tersebut jika tidak dicegah dapat menjadi wabah atau
kejadian luar biasa (KLB) serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat hingga menyebabkan kematian.
Salah satu tujuan MDG’s (millenium development goal’s) adalah
pengendalian penyakit malaria yaitu tujuan ke-6 dan mempengaruhi tujuan
MDG’s lainnya seperti tujuan ke-4 dan ke-5 yaitu penurunan angka kematian ibu
dan anak. Angka kematian ibu dan anak merupakan salah satu indikator kualitas
derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu pengendalian vektor dan binatang
penggangu untuk mencegah penularan penyakit-penyakit tertentu sangat penting
dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
termasuk penyakit yang diakibatkan karena keberadaan Vektor dan Bintang
Pengganggu yang menjadi perantara dan penyebab penyakit seperti DBD,
Malaria, Kaki Gajah, Demam Kuning, Diare, Pes, Salmomeloasis dan penyakit
lainnya yang kategori penyakit Karantina maupun yang bukan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Taksonomi ?
2. Bagaimana peranan binatang pengganggu dalam kesehatan ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Taksonomi
2. Untuk mengetahui peranan binatang pengganggu dalam kesehatan

1.4 Manfaat Penulisan


1. Kepada Masyarakat, menambah wawasan tentang pengertian Taksonomi dan
peranan binatang pengganggu dalam kesehatan.
2. Manfaat untuk penulis, sebagai acuan dan menambah pengetahuan lebih luas
tentang pengertian Taksonomi dan peranan binatang pengganggu dalam
kesehatan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Taksonomi


Istilah taksonomi berasal dari bahasa Yunani taxis (susunan) dan nomos
(hukum/aturan), yang pertama kali diusulkan oleh Candolle (1813) sebagai teori
klasifikasi tumbuhan. Dalam perkembangannya, taksonomi diberi batasan sebagai
teori dan praktek klasifikasi organisme. Taksonomi terbagi menjadi dua cabang,
yaitu: taksonomi mikro dan taksonomi makro. Taksonomi mikro diterapkan pada
tingkat spesies, sedangkan taksonomi makro digunakan untuk klasifikasi taksa
yang lebih tinggi.
Taksonomi adalah disiplin biologi tertua tetapi masih banyak hal yang
menjadi tugas taksonomi belum terselesaikan. Meskipun sebagian besar hewan
daratan dan lautan dari zona temperate sudah diidentifikasi dengan baik, hewan
dari daerah tropik masih banyak yang belum dikoleksi dan dideskripsikan.
Sebagai gambaran, dari perkiraan 30 juta spesies serangga di daerah tropik, hanya
sekitar satu juta spesies yang sudah diidentifiksi. Penemuan spesies bukan hanya
satu-satunya tugas taksonomi yang belum selesai. Kelas-kelas baru bahkan filum
baru dari hewan terus ditemukan.

2.2 Vektor Penyakit dan Binatang Pengganggu


Secara umum, vektor mempunyai peranan yaitu sebagai pengganggu dan penular
penyakit. Vektor yang berperan sebagai pengganggu yaitu nyamuk, kecoa/lipas,
lalat, semut, lipan, kumbang, kutu kepala, kutu busuk, pinjal, dll. Penularan
penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal sebagai
arthropod-borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector-borne diseases.
Agen penyebab penyakit infeksi yang ditularkan pada manusia yang rentan dapat
melalui beberapa cara yaitu :
a. Dari orang ke orang

3
b. Melalui udara
c. Melalui makanan dan air
d. Melalui hewan
e. Melalui vektor arthropoda (Chandra,2003)
Vektor penyakit dari arthropoda yang berperan sebagai penular penyakit
dikenal sebagai arthropod – borne diseases atau sering juga disebut sebagai
vector – borne diseases.
Binatang Pengganggu atau pembawa penyakit adalah “Binatang selain
artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi sumber
penular penyakit” (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 50 tahun 2017 tentang
Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk
Vektor & Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya).

2.3 Hubungan Vector Penyakit dengan Binatang Pengganggu terhadap


Kehidupan Manusia
Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga
dikenal sebagai arthropod-borne diseases atau sering juga disebut sebagai vektor-
borne diseases ada 3 jenis cara transmisi arthropod-borne diseases, yaitu :
1) kontak Langsung
Arthropoda secara langsung memindahkan penyakit atau investasi dari
satu orang ke orang lain melalui kontak langsung. Contohnya adalah scabies
dan pediculus.
2) Transmisi secara Mekanik
Agen penyakit ditularkan secara mekanik oleh arthropoda, seperti
penularan penyakit diare, typhoid , keracunan makanan dan trachoma oleh
lalat. Secara karakteristik arthropoda sebagai vektor mekanik membawa agen
penyakit darimanusia berupa tinja, darah, ulkus supersisial, atau eksudat.
Kontaminasi bisa hanya pada permukaan tubuh arthropoda tapi juga bisa
dicerna dan kemudian dimuntahkan atau dikeluarkan melalui ekskreta.Agen
penyakit yang paling banyak ditularkan melalui arthropoda adalah enteric

4
bacteria yang ditularkan oleh lalat rumah. Diantaranya adalah
salmonellatyphosa, species lain dari salmonella, Escherichia coli, dan Shigella
dysentry yang paling sering ditemui dan paling penting. alat rumah dapat
merupakan vektor dar iagen penyakit tuberculosis, anthra;, tularemia, dan
brucellosis.

2.4 Peranan Binatang Penganggu dalam Kesehatan


1) Nyamuk Aedes Aegypti
a. Ketahanan hidup
Cuaca memegang peranan penting dalam daur hidup nyamuk sebagai
vector demam berdarah. Faktor yang berpengaruh adalah curah hujan, suhu,
kelembaban dan kecepatan angin. Berkaitan denganClimate change, semua
factor menjadi tidak dominan karena ketidak pastian cuaca memberikan
kombinasi yang beragam (Tjatur, 2013). Perkembangan telur nyamuk tampak
telah mengalami embrionisasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam
temperature udara 25-30 C dan dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum
untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25- 27C dan pertumbuhan nyamuk akan
berhenti sama sekali Bila suhu kurang dari 10C atau lebih dari 40C.
Kalimantan merupakan daerah tropis, suhu udara 25% merupakan suhu
optimum untuk perkembangbiakan jentik (Ridha, 2013).
b. Kebiasaan menggigit
Aktivitas mengigit mencapai puncak pada saat perubahan intensitas
cahaya tetapi bisa mengigit sepanjang hari dan tertinggi sebelum matahari
terbenam. Jarak terbang pendek yaitu 50-100 meter kecuali terbawa angin
(Soegijanto, 2006). Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai
kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus
gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian
nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).
c. Perilaku istirahat

5
Nyamuk akan istirahat pada tempat-tempat yang gelap dan sejuk apabila
sudah menghisap darah, sampai proses penyerapan darah untuk
perkembangan telur selesai. Nyamuk akan mencari tempat berair untuk
meletakan telurnya, kemudian bertelur dan kemudian nyamuk akan mulai
mencari darah lagi untuk siklus bertelur berikutnya (Soegijanto, 2006).
d. Kebiasaan berkembangbiak (Breeding Habit)
Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air
seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, dan barang bekas yang dapat
menampung air hujan di daerah urban dan suburban (Soegijanto, 2006).
e. Tata cara Pengendalian Nyamuk dengan larvasida, pengasapan, dan spraying.
 Pengasapan (Fogging ) Pengasapan atau fogging
Dengan menggunakan jenis insektisida misalnya, golongan
organophospat atau pyrethroid synthetic (Supartha, 2008). Contohnya,
malathion dan fenthoin, dosis yang dipakai adalah 1 liter malathion 95% EC +
3 liter solar. Pengasapan dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan sore
antara jam 15.00-17.00 secara serempak (Depkes RI, 2004). Penyemprotan
dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan pertama,
semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infentif) dan
nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan kedua bertujuan agar nyamuk baru
yang infektif akan terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang lain.
Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan,
akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap
jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah-
rendahnya (Chahaya, 2005).
 Repelen
Repelen yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat mengganggu
kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan dari hewan atau manusia.
Dengan kata lain, bahan itu berkhasiat mencegah nyamuk hinggap dan
menggigit. Bahan tersebut memblokir fungsi sensori pada nyamuk. Jika
digunakan dengan benar, repelen nyamuk bermanfaat untuk memberikan

6
perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk selama jangka
waktu tertentu (Kardinan, 2007). Nyamuk dalam mengincar mangsanya lebih
mengandalkan daya cium dan panas tubuh calon korbannya. Daya penciuman
itulah yang menjadi target dalam menghalau nyamuk (Diah, 2008).

2) Nyamuk Anopheles
Bionomi Anopheles Perilaku Berkembang Biak nyamuk Anopheles
betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau tempatuntuk
berkembang biak yang sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya ada
spesies yangsenang pada tempat-tempat yang kena sinar matahari langsung
ada pula yangsenang pada tempat-tempat teduh. Speies yang satu berkembang
dengan baik diair payau,campuran tawar dan air laut) misalnya dan seterusnya
oleh Karen perilaku berkembang biak ini sangat bervariasi, maka diperlukan
suatu survai yang intensif untuk inentarisasi tempat perindukan, yang sangat
diperlukan dalam program pemberantasan.kepadatan populasi nyamuk
Anopheles sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi. entik-jentik nyamuk
ini mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2 minggu setelah
tanamdan paling banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga
sampai menjelang panen.di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan
sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk
ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puak kepadatan yang terjadi
sekitar bulan februari-april dan sekitar bulan juli-agustus.
Pengendalian nyamuk anopheles penyebab penyakit malaria seharusnya
pengendaliannya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan antara
Host,Agent. Dan evironment, pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan
kepada sasaran yang tepat, yaitu dengan pemberantasan vektor.
penanggulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa
(penyemprotan rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk
maka parasit yang ada dalam tubuh, pertumbuhannya di dalam tubuh tidak
selesai, sehingga penyebaran transmisi penyakit dapat terputus. Demikian

7
juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempat-tempat
perindukan, sehingga perkembangan jumlah nyamuk dapat dikurangi dan
akan berpengaruh terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria.

3) Tikus
Tikus adalah salah satu hama yang banyak menimbulkan ganguan/kerugian
baik pada area perkebunan, pertanian, pergudangan, pabrik pengolahan
makanan, transportasi, supermarket, perhotelan, restoran, perkantoran sampai
ke rumah tinggal. Berikut ini kerugian yang ditimbulkan oleh tikus :
a. Merusak fasilitas/konstruksi gedung, mengerat pintu, melubangi plafon,
mengerat kabel sehingga menimbulkan resiko arus pendek.
b. Merusak material di tempat penyimpanan baik dari segi kualitas dan
kuantitas.
c. Menularkan berbagai bibit penyakit pada hewan dan manusia antara lain :
 Plague yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis.
 Murine Typus yang disebabkan oleh organisme ricketsial sejenis bakteri.
 Salmonelllosis (keracunan makanan) yang disebabkan oleh bakteri.
 Rat-bite Fever(demam akibat gigitan tikus) yang disebabkan oleh bakteri
Streptobacillis monoliformis yaitu pada air liur tikus.
 Leptospirosis yang disebakan oleh bakteri Leptospira menyebar melalui
urine tikus.
 Merusak estetika karena menimbulkan kesan daerah tersebut jorok, kotor
dan tidak sehat.
Upaya Pengendalian Tikus :
a. Sanitasi, Yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan dari ceceran makanan
dan minuman sehingga makan dan minuman tersebut tidak tersedia bagi tikus.
b. Rodent, Yaitu melakukan penutupan terhadap jalur – jalur yang dapat dilalui
oleh tikus untuk masuk kedalam bangunan.
c. Harborage Removel ( pemindahan dan penghilangan sarang )

8
d. Penggunaan perangkap ( Trapping ) Biasanya digunakan Live Traps atau
Glue Traps pada area yang tidak memungkinkan penggunaan bahan kimia.
e. Cara Kimiawi ( Rodentisida ) Yaitu dengan menggunakan racun akut
(efeknya cepat) dan atau racun kronis/anti koagulan (efeknya lambat) dengan
system pengendalian 3 Ring yaitu : 1. Ring 1 yaitu pemasangan Rodent Bait
station ( RBS) pada sepanjang sisi dalam pagar dengan jarak 20 – 25 meter. 2.
Ring 2 yaitu pemasangan RBS pada sepanjang sisi luar dinding bangunan
dengan jarak 15 – 20 meter. 3. Ring 3 yaitu pemasangan bait station pada area
dalam bangunan dengan jarak 8 – 10 meter baik dengan menggunakan
trapping maupun rodentisida (tergantung kondisi dan kegunaan fasilitas ).

4) Lalat
Lalat termasuk dalam kelompok serangga yang berasal dari subordo
Cyclorrapha dan ordo Diptera. Secara morfologi, lalat mempunyai struktur
tubuh berbulu, mempunyai antena yang berukuran pendek dan mempunyai
sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil (berfungsi menjaga kestabilan
saat terbang). Lalat mampu terbang sejauh 32 km dari tempat
perkembangbiakannya. Meskipun demikian, biasanya lalat hanya terbang 1,6-
3,2 km dari tempat tumbuh dan berkembangnya lalat. Lalat juga dilengkapi
dengan sistem penglihatan yang sangat canggih, yaitu adanya mata majemuk.
Sistem penglihatan lalat ini terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka terhadap
gerakan. Bahkan ada beberapa jenis lalat yang memiliki penglihatan tiga
dimensi yang akurat. Model penglihatan lalat ini juga menjadi “ilham” bagi
ilmuwan kedokteran untuk menciptakan sebuah alat pencitraan (scan) baru.
Mata lalat dapat mengindra getaran cahaya 330 kali per detik. Ditinjau dari
sisi ini, mata lalat enam kali lebih peka daripada mata manusia.
Pada saat yang sama, mata lalat juga dapat mengindra frekuensi-
frekuensi ultraviolet pada spektrum cahaya yang tidak terlihat oleh kita.
Perangkat ini memudahkan lalat untuk menghindar dari musuhnya, terutama
di lingkungan gelap. Beberapa jenis lalat dapat menyerang suatu peternakan.

9
Namun 95% jenis lalat yang sering ditemukan dipeternakan ialah lalat rumah
(Musca domestica) dan little house fly (Fanny canicularis). Jenis lalat lainnya
seperti lalat buah (Lucilia sp.), lalat sampah berwana hitam (Ophyra
aenescens) maupun lalat pejuang (soldier flies) juga sering mengganggu
lingkungan peternakan.
a. Siklus hidup lalat
Siklus hidup semua lalat terdiri dari 4 tahapan, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat dewasa. Lalat dewasa akan menghasilkan telur berwarna
putih dan berbentuk oval. Telur ini lalu berkembang menjadi larva
(berwarna coklat keputihan) di feses yang lembab (basah). Setelah larva
menjadi dewasa, larva ini keluar dari feses atau lokasi yang lembab
menuju daerah yang relatif kering untuk berkembang menjadi pupa. Dan
akhirnya, pupa yang berwarna coklat ini berubah menjadi seekor lalat
dewasa. Pada kondisi yang optimal (cocok untuk perkembangbiakan
lalat), 1 siklus hidup lalat tersebut (telur menjadi lalat dewasa) hanya
memerlukan waktu sekitar 7-10 hari dan biasanya lalat dewasa memiliki
usia hidup selama 15-25 hari.
Dalam waktu 3-4 hari, seekor lalat betina mampu menghasilkan telur
sebanyak 500 butir. Dengan kemampuan bertelur ini, maka dapat
diprediksikan dalam waktu 3-4 bulan, sepasang lalat dapat beranak- pinak
menjadi 191,01 x 1018 ekor (dengan asumsi semua lalat hidup). Bisa kita
bayangkan, dengan kemampuan berkembang biak lalat tersebut dapat
memberikan ancaman tersendiri.
b. Pengendalian lalat
Setelah mengetahui akibat berkembangnya lalat di peternakan kita,
sudah merupakan suatu kebutuhan bahwa kita harus bisa mengendalikan
lalat tersebut. Sudah barang tentu, pengendalian lalat ini membutuhkan
teknik yang tepat. Jika tidak, bukan tidak mungkin garagara lalat ini kita
akan mengalami kerugian yang besar bahkan ditutupnya usaha kita. Lalat
tergolong salah satu insect atau serangga yang “bandel”. Keberadaannya

10
di kandang sangat mudah ditemui, terlebih lagi saat musim penghujan.
Beberapa hal yang menjadikan lalat bandel, ialah :
 Mobilitas lalat sangat tinggi karena dilengkapi dengan sepasang sayap
sejati (asli) dan sepasang sayap kecil (yang menstabilkan terbang
lalat).
 Lalat mempunyai sistem penglihatan yang sangat baik, yaitu mata
majemuk yang tersusun atas lensa optik yang sangat banyak sehingga
lalat mempunyai sudut pandang yang lebar. Kepekaan penglihatan
lalat ini 6 x lebih besar dibandingkan manusia. Selain itu, lalat juga
dapat mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada spetrum cahaya
yang tak terlihat oleh manusia. Dengan dua kemampuan ini (mobilitas
dan penglihatan), lalat dapat dengan mudah mengubah arah geraknya
seketika saat ada bahaya yang mengancam dirinya.
 Lalat mempunyai kemampuan berkembang biak yang cepat dan dalam
jumlah yang banyak. Terlebih lagi jika kondisi lingkungan cocok bagi
perkembangbiakan lalat.
Melihat ketiga kemampuan lalat tersebut, maka diperlukan teknik
khusus untuk mengatasi atau membasmi lalat. Langkah pengendalian lalat
pun harus dilakukan secara komprehensif (menyeluruh) dan terintegrasi.
Langkah pengendalian lalat secara garis besar ialah kontrol manajemen,
biologi, mekanik dan kimia.
 Kontrol Manjemen
Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering
merupakan teknik pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu,
feses yang lembab menjadi tempat perkembangbiakan lalat yang
sangat baik (termasuk tempat perkembangbiakan bibit penyakit).
Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat dijadikan tempat berkembang
biak (melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor lalat. Feses yang baru
dikeluarkan oleh ayam yang memiliki kadar air sebesar 75-80%
merupakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan lalat. Feses ini harus

11
segera diturunkan kadar airnya menjadi 30% atau kurang untuk
mencegah perkembangbiakan lalat.
 Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat
perkembangbiakan lalat ialah :
1. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini
berdasarkan lama siklus hidup lalat, dimana lalat bertelur setiap
seminggu sekali
2. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai,
terutama kandungan protein kasar dan garam. Ransum dengan
kandungan protein kasar dan garam yang tinggi dapat memicu
ayam minum banyak sehingga feses menjadi encer (basah)
3. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu pada litter sehingga
dapat membantu mengembalikan kemampuan tanah menyerap air
4. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum. Jangan
sampai air minum tumpah. Selain itu perhatikan kondisi tempat
minum atau paralon dan segera perbaiki kondisi genting yang
bocor
5. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu (kadar
air < 30%) dengan cara dijemur diterik matahari (jika
memungkinkan). Feses yang disimpan dalam kondisi lembab bisa
mempercepat perkembangbiakan larva lalat
6. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi
kandang yang baik dapat mempercepat proses pengeringan feses
7. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Taksonomi adalah teori dan praktek klasifikasi organisme. Sedangkan
Binatang Pengganggu atau pembawa penyakit adalah Binatang selain artropoda
yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi sumber penular
penyakit.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentu dapat di pertanggung
jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa
untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan dan sangat di harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah di
kemudian hari.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, D. 2010. http://fkmutu.blogspot.com/2010/12/makalah-pengendalian-vektor-


penyakit.html diakses pada tanggal 5 Maret 2011

Anwar, N. (2004). Taxonomy, Biology’s first ontology, and the Tree of Life,
Biology’s grandest endeavour. http://www.iscb.org/ismb2004/posters/
n.anwarATudcf.gla.ac.uk_836.html. (24 Nopember 2007)

Bapelkes Lemah Abang (2011). Modul MI-6, Pengendalian Vektor di daerah


Tanggap Darurat, Jakarta.

Budiman dan Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan
Lingkungan.Jakarta : EGC

Chandra,budi. 2003.Vektor Penyakit Menular Pada Manusia. http://files.buku-


kedokteran.webnode.com/200000024-3716638102/Vektor%20Penyakit.pdf .
diakses tanggal 4 maret 2011.

Iskandar, Adang, H,SKM dkk (1985). Pedoman Bidang Studi Pemberantasan


Serangga dan Binatang Pengganggu, Depkes RI, Jakarta.

Mader, S.S. (2001). Biology. Boston: McGraw-Hill.

Mayr, E. and P.D. Ashlock. (1991). Principles of Systematic Zoology. 2nd Edition.
New York: Mc-Graw-Hill Inc.

Modul Bahan Ajar MK “Pengendalian Vektor Dan Biatang Pengganggu” Tahun


2019. http://winbonang.com/wp-content/uploads/2019/12/MATERI-modul-
Bahan-Ajar-PVBP-B.pdf Diakses pada 3 September 2021.

Murakami, K. (2006). The Divine Message of DNA. Terjemahan: W. Prasetyowati.


Bandung: Mizan.

14
Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentan Kesehatan Lingkungan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor & Binatang
Pembawa Penyakit & Pengendaliannya.

Pough, H., Janis, C.M., Heiser, J.B. (2002). Vertebrate Life. 6th Edition. New Jersey:
Prentice Hall.

Tarigan, Y. Modul Vektor Penyakit Dan Penyakit.


file:///C:/Users/User/Downloads/modul_vektor_penyakit.pdf. Diakses pada 3
September 2021.

Torrey, T.W., Feduccia, A. (1979). Morphogenesis of Vertebrates. New York: John


Wiley & Sons. Wolfe, S.L. (1993). Molecular and Cellular Biology. California:
Wadsworth Inc. Yahya, H. (2006). Atlas of Creation.
http://www.hidayatullah.com. (3 Juli 2007)

World Health Organization (WHO). Environmental Health. Disitasi dari :


http://www.WHO.int. Last Update : Januari 2008

15

Anda mungkin juga menyukai