Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENGENDALIAN VEKTOR DAN TIKUS

Peranan Vektor dan Binatang Penggangggu (Tikus) Bagi Kehidupan

Dosen : Drs. Pangestu, M.Kes

Disusun Oleh :

1. Dinda Suci D P21345121022

2. Fatimah Azzahra P21345121026

3. Haydar Ahmad F P21345121031

4. Kanza Hayuningtyas P21345121039

5. Mitra Syahriani Putri P21345121045

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


JAKARTA II

2022
Jl. Hang Jebat III No.4, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 12120 Web : www.poltekkesjkt2.ac.id , Email:
poltekkesjakarta2@Email.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai “Peranan Vektor dan
Binatang Pengganggg (Tikus) Bagi Kehidupan”.

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Pengendalian Vektor dan Tikus oleh Bapak Drs.
Pangestu, M.Kes sebagai nilai tugas kelompok semester tiga jurusan Kesehatan Lingkungan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari penyusunan,
bahasa, dan penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pembaca, guna menjadi acuan dalam hal bekal pengalaman
penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan manfaat untuk pengembangan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 28 Agustus 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................................1
1.3 Tujuan ............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................

2.1 PengertianVektor dan Binatang Pengganggu....................................................................


2.2 Peranan Vektor dan Binatang Pengganggu Dalam Kesehatan..........................................
2.3 Konsep Pengendalian .......................................................................................................

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................


3.2 Saran .................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi


sumber penularan penyakit pada manusia. vektor yang berperan sebagai penular
penyakit dikenal sebagai arthropoda borne diseases atau sering juga disebut sebagai
vector borne diseases yang merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat
endemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai kematian (Permenkes R.I
No. 374, 2010).

Penyakit menular bersumber vektor yang masih berjangkit di masyarakat diantaranya


penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kecoa yang umumnya berkembang
pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk (Amalia, 2010). “Penyakit yang
ditularkan melalui vektor masih menjadii penyakit endemis yang dapat menimbulkan
wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran vektor”
(Permenkes R.I No. 374, 2010). Upaya pemberantasan dan pengendalian penyakit
menular seringkali mengalami kesulitan karena banyak faktor yang mempengaruhi
penyebaran penyakit menular tersebut. Lingkungan hidup di daerah tropis yang
lembab dan bersuhu hangat menjadi tempat hidup ideal bagi serangga yang
berkembangbiak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian vektor dan binatang pengganggu?
2. Apa peranan vektor dan binatang pengganggu dalam kesehatan?
3. Bagaimana konsep pengendalian?

1.3 Tujuan
1. Bagaimana pengertian vektor dan binatang pengganggu?
2. Apa peranan vektor dan binatang pe

3. ngganggu dalam kesehatan?


4. Bagaimana konsep pengendalian?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Vektor dan Binatang Pengganggu


Menurut PERMENKES RI Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor, vektor adalah artroproda yang dapat menularkan,
memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
Artropoda yang banyak berperan sebagai vektor pada kehidupan di bumi ini adalah
golongan hexapoda atau disebut juga serangga (insekta). Vektor dapat memindahkan
atau menularkan agent penyakit yang berada di dalam atau pun yang menempel dan
terdapat di bagian luar tubuh vektor tersebut, misalnya suatu makhluk hidup terutama
manusia dapat tertular penyakit melalui vektor yang membawa agent penyakit,
misalnya dengan menggigit dan menghisap darah dari orang yang sakit lalu kepada
orang yang rentan, sehingga ia pun dapat tertular dan menjadi sakit. Vektor penyakit
merupakan serangga yang menjadi penular agent penyakit tertentu, misalnya vektor
penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti betina dan vektor penyakit diare yaitu
Periplaneta Americana (kecoa) dan Musca domestica (lalat rumah). Jadi suatu vektor
penyakit sudah lebih spesifik mengenai apa penyakit yang ditularkan oleh vektor
tersebut.
Jumlah populasi vektor di lingkungan sekitar terkadang dapat mengalami
peningkatan karena dipengaruhi beberapa faktor, misalnya perubahan musim,
pencahayaan ruangan, kebersihan lingkungan, dan lain sebagainya, sehingga jumlah
orang sakit karena tertular pun akan meningkat pula. Maka dari itu perlu dilakukan
pengendalian terhadap vektor penyakit. Menurut PERMENKES RI Nomor
374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor, pengendalian vektor adalah
semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor
serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya
penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat
dengan vektor sehingga penularaan penyakit tular vektor dapat dicegah.
Pengendalian vektor penyakit merupakan semua usaha yang dilakukan untuk
mengurangi populasi vektor untuk mencegah penyakit tertentu yang ditularkan oleh
vektor penyakit tersebut. Pengendalian vektor harus dilakukan untuk menjaga
kepadatan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kesehatan
masyarakat.
Sedangkan pengertian dari binatang pengganggu adalah binatang yang dapat
mengganggu, menyerang ataupun menularkan penyakit terhadap manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan. Contoh: tikus, kecoa, ngengat

2.2 Peranan Vektor dan Binatang Pengganggu Dalam Kesehatan

Dalam PERMENKES RI No 374/MENKES/PER/III/2010, pengendalian vektor adalah


semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk:

1. Menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi


beresiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau
2. Menghindari kontak dengan vekor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat
dicapai dengan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta dengan
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.

Salah satunya tikus. Tikus merupakan hama nomor satu untuk beberapa tanaman di
Indonesia selain itu tikus merupakan pembawa masalah di bidang kesehatan. Tikus termasuk
hewan menyusui (kelas Mamalia, ordo Rodentia). Ordo Rodentia (hewan yang mengerat)
merupakan kelompok mamalia utama (42%) yang dapat berkembang pada berbagai
lingkungan di seluruh dunia, dengan jumlah yang tercatat lebih dari 2.050 spesies. Dari
jumlah tersebut, 18% hidup endemis di wilayah kepulauan, dan yang paling banyak terdapat
di Pulau Luzon (20 genus), Papua Nugini (19 genus), Sulawesi (12 genus),dan Madagaskar (9
genus) (Amori dan Clout 2003).

Khusus di Sulawesi diketahui terdapat lebih dari 51 spesies dari family. Lindu Sulawesi
Tengah ditemukan 21 spesies dari famili Muridae dan satu spesies dari Sciuridae.
Perkembangan tikus sangatlah cepat, umur 1 sampai 5 bulan sudah dapat
berkembangbiak,setelah 21 hari setiap ekor dapat melahirkan 6 samapi 8 ekor anak, 21 hari
kemudian pisah dari induknya dan setiap tahun seekor tikus dapat melahirkan 4 kali. Dari
data tersebut dapat kita ketahui perkembangan tikus sangatlah cepat dan merugikan tentunya
Kehadiran populasi tikus yang sangat banyak mulai dirasakan menimbulkan masalah

6
kesehatan. Selain menimbulkan masalah kesehatan, populasi tikus yang banyak juga
menyebabkan kerugian ekonomi.

Untuk meminimalkan perkembangbiakan tikus dapat dilakukan pengendalian yang


comprehensive. Dengan pengendalian seperti ini dapat melibatkan semua aspek yang
mempengaruhi keberadaan atau tempat yang biasanya di tempati oleh tikus tersebut. Selama
ini pengendalian yang banyak kita temui adalah pengendalian dengan pestisida yang
terkadang juga menimbulkan masalah baru yakni terjadinya resistance serta menimbulkan
potensial kesehatan manusia dan mengancam spesies hewan lain. Pengendalian yang dapat
kita lakukan adalah mengetahui perkembangbiakan tikus yang nantinya dapat dilakukan
pengendalian secara tepat. Dalam tugas ini kami akan membahas mengenai upaya
pengendalian tikus. Dimana pengendalian tikus dapat dilakukan dengan mengetahui
morfologi tikus dan siklus hidup tikus

Siklus Hidup
a. Masa Kawin Tikus akan berkembang biak dengan cara melahirkan pada usia 2-3
bulan dengan masa kehamilan selama 19- 21 hari. Setiap satu ekor tikus dapat
melahirkan 6-8 ekor anak. Dalam satu tahun seekor tikus dapat melahirkan 4 kali.
Setelah lahir anak tikus memiliki berat badan 2-4 gram berwarna merah daging dan
tidak berbulu, setelah 4 hari warna akan 93 berubah menjadi biru keabuan dan pada
umur 7-10 hari tumbuh bulu berwarna kelabu dan coklat saat ini mata masih tertutup.
Mata anak tikus akan terbuka setelah umur 12-14 hari.
b. Masa Menyusui Akan berlangsung selama 18-21 hari. Setelah itu sang induk akan
melakukan penyapihan.
c. Masa Dewasa Setelah disapih tikus akan mengalami pertumbuhan untuk menjadi
dewasa selama umur 5- 6 minggu. Seekor anak tikus akan matang secara seksual dan
siap kawin pada usia 3-4 bulan.
Masalah Kesehatan yang Ditimbulkan
a. Leptospirosis
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus,
anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira ictero
haemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus . Leptospira ditularkan melalui
urin yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat
terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang
tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24
hari di tanah. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh
darah kapiler berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit. Keadaan ini
dapat ditemukan pada semua organ yang terkena. Vaskulitis ini menimbulkan petekie,
perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa. Pada
vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru. Masa inkubasi adalah 4-19 hari.
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun
dan fase penyembuhan.
 Fase Leptospiremia Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit
kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi
relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir
dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.
 Fase Imun Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga
gambaran klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi
ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan anifestasi perdarahan
spontan.
 Fase Penyembuhan fase ini terjadi pada minggu ke 2-4 dengan patogenesis
yang belumjelas. Gejala klinis pada penelitian ditemuka berupa demam
dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk,
hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali. Berikut
merupakan komplikasi dari Leptospirosis.
 Pada Hati : Kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
 Pada Ginjal : Gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada Jantung : Berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung
yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
Pada Paru-Paru : Batuk darah, nyeri dada, sesak nafas. Perdarahan karena
adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran
pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva)
 Pada Kehamilan : Keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.
b. PES
Pes merupakan penyakit zoonosa terutama pada tikus atau rodent lain yang dapat
ditularkan kepada manusia. Penyakit yang dikenal dengan nama pesteurellosis atau
yersiniosis ini bersifat akut disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis)
(Ditjen PPM & PL, Depkes RI,2000). Pes merupakan penyakit bersifat akut. Penyakit

8
Pes dikenal ada 2 macam yaitu Pes bubo ditandai dengan demam tinggi, tubuh
menggigil, perasaan tidak enak, malas, nyeri otot, sakit kepala hebat, pembengkakan
kelenjer (lipat paha,ketiak dan leher). Sedangkan Pes pneumonic ditandai dengan
gejala batuk hebat, berbuih, air liur berdarah, dan sesak nafas (Simanjuntak, 2006).
Pess terbagi menjadi 2 yaitu :
 Pes Bubo
Pes Bubo merupakan penyakit yang mempunyai gejala demam tinggi,
tubuh dingin, menggigil, nyeri otot, sakit kepala hebat, dan ditandai dengan
pembengkakan kelenjar getah bening di pangkal paha, ketiak dan leher
(bubo).Pada pemeriksaan cairan bubo di laboratorium ditemukan kuman PES
(Yersinis pestis).
 Pes Pneumonik

Pes pneumonik adalah penyakit yang mempunyai gejala batuk secara


tiba-tiba dan keluar dahak, sakit dada, sesak nafas, demam, muntah darah.Pada
pemeriksaan sputum atau usap tenggorok ditemukan kuman PES (Yersinis
pestis), dan apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan darah untuk
menemukan zat antinya. Penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus,
gigitan/cakaran binatang yang terinfeksi Plague, dan kontak dengan tubuh
binatang yang terinfeksi. Kutu yang terinfeksi dapat membawa bakteri ini
sampai berbulan - bulan lamanya. Selain itu pada kasus Pneumonic Plague,
penularan terjadi dari dari percikan air liur penderita yang terbawa oleh udara.

c. Scrub typhus Sama halnya pada pes, Scrub typus tidak hanya melibatkan tikus.
Penyakit scrub typhus disebabkan oleh Rickettsia yang hidup pada salah satu vektor
tungau (Mite) yang bernama Trombiculla akamishi atau Trombiculla deliensis. Pada
stadium dewasa hidupnya bebas di tanah tetapi stadium larva hidup dari darah tikus.
Jika Trombiculla terkena Rickettsia maka akan berkembangbiak. Larva yang keluar
akan mencari host baru dan larva yang membawa Rickettsia akan menghisap darah
manusia karena tidak menemukan.
d. Murine typhus Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia mooseri, merupakan penyakit
yang dekat hubungannya dengan penyakit pes sehingga kemungkinan infeksinya
dapat terjadi secara bersamaan, karena vektor maupun hostnya juga sama dengan
penyakit pes yaitu Xenopshylla cheopis dan Rattus tanezumi.
Upaya Pengendalian
a. Rat Proofing Upaya rat proofing bertujuan untuk mencegah masuk dan keluarnya
tikus dalam ruangan serta mencegah tikus bersarang di bangunan tersebut. Upaya rat
proofing dapat ditempuh dengan jalan (Ristiyanto dan Hadi, 1992) :
1. Membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan terbuat dari bahan yang kuat,
dan tidak ditembus oleh tikus.
2. Lantai hendaknya terbuat dari bahan beton minimal 10 cm.
3. Dinding dari batu bata atau beton dengan tidak ada keretakan atau celah yang
dapat dilalui oleh tikus.
4. Semua pintu dan dinding yang dapat ditem bus oleh tikus (dengan gigitannya),
dilapisi plat logam hingga sekurang -kurangnya 30 cm dari lantai. Celah antara
pintu dan lantai maksimal 6 mm.
5. Semua lubang atau celah yang ukurannya lebih dari 6 mm, harus ditutup
dengan adukan semen.
6. Lubang ventilasi hendaknya ditutup dengan kawat kasa yang kuat dengan
ukuran lubang maksimal 6 mm.
b. Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat Bila ditemukan tempat yang sanitasinya
kurang baik dan bisa menjadi factor penarik tikus atau bahkan sumber makanan tikus
atau menjadi tempat sarang tikus, maka akan merekomendasikan diadakan perbaikan
oleh klien. Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan menjadikan lingkungan tidak
menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus. Tujuan dari perbaikan
sanitasi lingkungan adalah menciptakan lingkungan yang tidak favourable untuk
kehidupan tikus.
Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh dengan (Ehlers et.al, 1950) :
1. Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi di tempat yang
kedap tikus.
2. Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah yang terbuat dari
bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara
dengan baik.
3. Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas fondasi beton atau
semen, rak atau tonggak.
4. Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari.
5. Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat sehingga tidak dapat
dipergunakan tikus untuk berlindung atau bersarang.

10
6. Treatment Tikus (Rodent Control) Pengendalian tikus menggunakan Rat
Baiting. Penggunaan trap untuk jangka panjang menimbulkan tikus jera
umpan dan neophobia terhadap trap. Penggunaan trap hanya untuk tempat-
tempat yang sangat khusus dengan populasi tikus yang rendah. Penempatan
Rodent Bait dilaksanakan pada area tertentu yang akan menarik tikus dari
dalam sarang ke luar, atau ketempat yang tidak sensitive, seperti area
parkir/garden, setelah itu baru difokuskan untuk tikus yang aktifitasnya
dengan radius pendek yakni tikus nyingnying (mice/Mus musculus), umpan
ditempatkan di dalam. Keraguan akan adanya resiko bau bangkai dapat diatasi
dengan konfigurasi penempatan umpan untuk setiap kategori jenis tikus, jadi
dengan penempatan umpan pada suatu lokasi dapat dideteksi sampai sejauh
mana lokasi tempat tikus tersebut mati, ditambah tenaga serviceman cukup
berpengalaman mengatasi masalah tikus di puluhan Rumah (housing), Mall,
industri (pergudangan), Rumah Sakit, Hotel / Apartemen.
c. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia
yang dapat membunuh tikus atau dapat mengganggu aktivitas tikus. Secara umum
pengendalian secara kimiawi dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu umpan
beracun, bahan fumigasi, bahan kimia repellent, bahan kimia antifertilitas.
1. Rodentisida
Rodentisida atau umpan racun merupakan teknologi pengendalian yang paling
banyak digunakan oleh para petani. Rodentisida yang dipasarkan pada
umumnya dalam bentuk siap pakai atau dicampur sendiri dengan bahan
umpan. Rodentisida digolongkan menjadi racun akut dan antikoagulan. Racun
akut dapat membunuh tikus langsung setelah memakan umpan. Sedangkan
rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah lima hari
memakan umpan. Namun, jenis rodentisida antikoagulan mempunyai efek
sekunder negatif terhadap predator tikus. Penggunaan rodentisida dalam
pengendalian tikus sebaiknya merupakan alternatif terakhir karena sifatnya
dalam mencemari lingkungan.
2. Fumigasi Asap belerang dan karbit merupakan bahan fumigant yang paling
sering digunakan oleh petani. Penggunaan emposan asap belerang merupakan
cara pengendalian tikus yang efektif, mudah dilakukan, dan biayanya murah.
Teknik menggunakan asap belerang merupakan teknik untuk membunuh tikus
di dalam sarang. Sebaiknya teknik fumigasi dengan emposan asap belerang
dilakukan pada saat tikus sedang beranak di dalam sarang agar dapat
membunuh anak tikus dan induknya di dalam sarang (Sudarmaji, 2004). Cara
fumigasi lainnya yang dapat dilakukan adalah “tiram, yaitu suatu cara
fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif belerang.
Tiram dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan sumbunya, maka
asap belerang akan keluar dan membunuh tikus.
3. Repellent Repellent merupakan bahan untuk membuat tikus tidak nyaman
berada di daerah yang dikendalikan. Beberapa bahan alami nabati seperti akar
wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus, namun masih perlu
dilakukan penelitian yang lebih intensif.
4. Antifertilitas Beberapa jenis bahan kimia yang digunakan untuk pemandulan
manusia juga dapat digunakan untuk memandulkan tikus. Kesulitan dalam
penggunaan bahan antifertilitas di lapangan pada umumnya menyangkut dosis
umpan yang dikonsumsi oleh tikus. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus
communis) telah diteliti dapat digunakan sebagai rodentisida dan antifertilitas
nabati pada dosis sublethal. Perlakuan dosis sublethal secara oral dapat
menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan kemandulan pada
tikus betina.

2.3 Konsep Pengendalian

Menekan kepadatan vektor, sehingga tidak menyebabkan masalah


(menularkan penyakit) bagi manusia dan ternak. Usaha pemberantasan
(eradikasi) vektor adalah tidak memungkinkan (konsep di ubah menjadi
pengendalian) Tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap tata
lingkungan hidup.

Metode Pengendalian Vektor

Metode pengendalian vektor bertujuan untuk memutuskan rantai


kehidupan vektor pada tingkat kehidupan yang paling lemah, baik tingkat
pradewasa maupun dewasa. Tujuan pengendalian vektor adalah:
1. Menghindari atau mengurangi gigitan vektor
2. Membunuh vektor terinfeksi parasit (utama)
3. Membunuh vektor stadium pradewasa

12
4. Menghilangkan atau mengurangi habitat vektor

Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa


macam penyakit karena berbagai alasan :
a. Penyakit ada belum ada vaksin atau obatnya, seperti hampir semua
penyakit yang disebabkan oleh virus.
b. Belum ada obat ataupun vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat
tadi belum efektif, teruama untuk penyakit parasiter.
c. Berbagai penyakit didapat pada anyak hewan selain manusia,
sehingga sulit dikendalikan
d. Penyakit epat manjalar, karena vektornya yang bergerak cepat,
seperti insekta yang bersayap.
e. Sering menimbulkan cacat dan kematian, seperti filariasis, malaria,
dan demam berdarah dengue (DBD).

1. Macam Pengendalian Vektor

a. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian vektor selama 30-40 tahun terakhir ini dilakukan


secara kimiawi dengan menggunakan insektisida. Hasil yang dicapai
cukup memadai, tetapi karena pemberantasan tersebut terputus-putus
akibat masalah politis, maka terjadi resistensi vektor terhadap
insektisida. Selain itu, insek- tisida yang digunakan bersifat persisten
(DOT) sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Karenanya
dibutuhkan jenis insektisida yang baru lagi mudah terurai. Jadi
pemberantasan kimiawi ini menjadi semakin mahal. Selain itu,
pertumbuhan penduduk yang cepat membutuhkan lebih banyak lahan
untuk bercocok tanam, bermukim dan berkarya, sehingga terjadi
sarang-sarang insekta baru, terutama di daerah kumuh dan
persawahan, persampahan dan drainase.
b. Pengendalian Biologi

Pengendalian secara biologis dilakukan dengan dua cara, yakni:


1) Memelihara musuh alaminya

Musuh alami insekta dapat berupa pemangsanya


ataupun mikroba penyebab penyakitnya. Untuk ini perlu
diteliti lebih Ian jut pemangsa dan penyebab penyakit
mana yang paling efektif dan efisien mengurangi populasi
insekta. Untuk ini perlu juga dicari bagaimana caranya
untuk melakukan pengendalian pertumbuhan pemangsa
dan penyebab penyakit ini apabila populasi vektor sudah
terkendali jumlahnya.

2) Mengurangi fertilitas insekta.

Untuk cara kedua ini pemah dilakukan dengan


meradiasi insekta jantan sehingga steril dan
menyebarkannya di antara insekta betina. Dengan
demikian telur yang dibuahi tidak dapat menetas. Cara
kedua ini dianggap masih terlalu mahal, dan efisiensinya
masih perlu dikaji.
c. Pengendalian Rekayasa

Pengendalian secara rekayasa pada hakekatnya ditujukan untuk


mengu- rangi sarang insekta (breeding places) dengan melakukan
pengelolaan ling- kungan, yakni melakukan manipulasi dan
modifkasi lingkungan. Manipulasi adalah tindakan sementara
sehingga keadaan tidak menunjang kehidupan vektor. Sebagai
contoh adalah perubahan niveau air atau membuat pintu air
sehingga salinitas air dapat diatur. Modifikasi adalah tindakan
untuk memper- baiki kualitas lingkungan secara permanen, seperti
pengeringan, penimbunan genangan, perbaikan tempat pembuangan
sampah sementara maupun akhir (TPS,TPA), dan konstruksi serta
pemeliharaan saluran drainase. Pada hake- katnya pengelolaan ini
bersifat lebih permanen ( jangka panjang) dibanding dengan cara
kimiawi, tetapi memerlukan modal awal yang cukup tinggi,
sehingga di negara berkembang pengendalian vektor secara
rekayasa sering kali menjadi terkebelakang. Saat ini, pengendalian
vektor sebaiknya menjadi suatu program kerja yang terpadu dalam
14
semua proyek pembangunan, mengingat bahwa pembangunan
dapat menimbulkan sarang insekta, sehingga di satu fihak
diinginkan peningkatan kesejahteraan ataupun mencegah penyakit
(penyakit diare dengan memberi penyediaan air bersih), tetapi di
lain pihak proyek tadi menimbulkan penyakit baru, bawaan vektor
(genangan air buangan, bak mandi sebagai sarang nyamuk Aedes
penyebar DHF).

Pengendalian Vektor Terpadu

Strategi ini dilaksanakan atas dasar ekologi vektor, sehingga


diketahui berbagai karakteristik vektor seperti habitat, usia hidup, probabilitas
terjadi infeksi pada vektor dan manusia, kepekaan vektor terhadap penyakit, dan
lain-lainnya. Atas dasar ini, dapat dibuat strategi pengendalian yang menyeluruh
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, kerjasama sektoral, dan lain-
lainnya
1. Pemantauan

Pengendalian vektor penyakit ini merupakan konsep yang relatif


baru. Pada awalnya orang berpikir tentang pembasmian vektor. Akan
tetapi kemudian tampak bahwa pembasmian itu sulit dicapai dan
kurang realistis dilihat dari segi ekologis. Oleh karenanya
pengendalian vektor saat ini hanya ditujukan untuk mengurangi dan
mencegah penyakit bawaan vektor sejauh dapat dicapai dengan
keadaan sosial- ekonomi yang ada serta keadaan endemi penyakit yang
ada.
Oleh karenanya pemantauan keadaan populasi insekta secara
kontinu menjadi sangat penting. Pengendalian secara terpadu
direncanakan dan dilaksanakan untuk jangka panjang, ditunjang
dengan pemantauan yang kontinu. Untuk ini diperlukan berbagai
parameter pemantauan dan pedoman tindakan yang perlu diambil
apabila didapat tanda-tanda akan terjadinya kejadian luar biasa/wabah.
Parameter vektor penyakit yang dipantau antara lain adalah:

1) indeks lalat untuk kepadatan lalat;

2) indeks pinjal untuk kepadatan pinjal;


3) kepadatan nyamuk dapat dinyatakan sebagai Man
Biting Rate (MBR), indeks kontainer, indeks rumah,
dan/atau indeks Breteau;
Tindakan khusus diambil apabila kepadatan insekta meningkat
cepat dan dikhawatirkan akan terjadi wabab karenanya. Tindakan
sedemikian dapat berupa:
1) intensifikasi pemberantasan sarang seperti perbaikan saluran
drainase, kebersihan saluran dan reservoir air,
menghilangkan genangan, mencegab pembusukan sampah,
dan seterusnya;
2) mobilisasi masyarakat untuk berperan serta dalam
pemberantasan dengan memelihara kebersihan lingkungan
masing-masing; dan
3) melakukan penyemprotan insektisida terhadap vektor dewasa
didahului dengan uji resistensi insekta terhadap insektisida yang
akan digunakan

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut PERMENKES RI Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor, vektor adalah artroproda yang dapat menularkan,
memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.

Dalam PERMENKES RI No 374/MENKES/PER/III/2010, pengendalian vektor


adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk:
1. Menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya
tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di
suatu wilayah

2. Menghindari kontak dengan vekor sehingga penularan penyakit tular


vektor dapat dicapai dengan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT)
merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metode
pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan,
rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta dengan
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.

Macam Pengendalian Vektor

a. Pengendalian Kimiawi
b. Pengendalian Biologi
c. Pengendalian Rekayasa

3.2 SARAN
Pembahasan makalah yang berjudul peranan vektor dan binatang pengganggg
(tikus) bagi kehidupan, diharapkan pembaca dapat mengetahui dan
memahami tentang vektor dan tikus bagi kehidupan sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 374/Menkes/PER/III/2010 Tentang


Pengendalian Vektor. https://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-menteri-
kesehatan-nomor-374-menkes-per-iii-2010-tentang-pengendalian-vector.pdf. Diakses pada
tanggal 27 Agustus 2022.

Handiny, Febry Ns dkk. 2020. Buku Ajar Pengendalian Vektor. Malang: Ahlimedia Press.

Djafar Baco.2011.Pengendalian Tikus Pada Tanaman Padi Melalui Pendekatam Ekologi.


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.

Birley, martin H, 1991. Guidelines for Forcasting the Vector Borne Disease Implications. 2
nd ed. Geneva WHO PEEM Secr.

Mattingly, P. F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. New York: American ElsevierMattingly,
P.

Kuat Prabowo; pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu,Depkes RI,PAM-


SKL,Jakarta,1991.

https://repo-dosen.ulm.ac.id/handle/123456789/2177

18

Anda mungkin juga menyukai