Dosen Pengampu:
Rahayu Sri Pujiati, S.KM., M.Kes.
Disusun oleh:
Zulfah Wahyu Romadhani 202110101052
Irodatus Sholihah 202110101039
Mafaza Imania Sahputra 202110101049
Dida Putri Awal Mardika 202110101078
Amanda Agustine 202110101122
Almira Aisha Devi 202110101126
Mareta Putri Khoeriyah 202110101132
Farhan Dwi Purnama 202110101167
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik,
karunia, serta hidahah-Nya sehingga pembuatan makalah yang berjudul
“Pengendalian Vektor Flea Dan Kutu Busuk” ini dapat selesai tanpa halangan
suatu apapun dan dapat selesai dengan tepat waktu.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah
Pengendalian Vektor dan Rodent, Ibu Prehatin Trirahayu N., SKM., M.Kes yang
telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota yang berkontribusi dengan baik
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kesalahan maupun
kekuarngan. Oleh karena itu kami sangat terbuka dan menerima segala kritik dan
saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan kami di penyusunan
makalah selanjutnya.
Jember, Mei 2022
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Gangguan atau penyakit yang disebabkan oleh flea maupun kutu busuk
dapat dikendalikan dan juga dicegah melalui upaya yang sesuai. Namun
sebelumnya perlu diketahui dimana keberadaan flea maupun kutu busuk tersebut
sehingga pemberantasannya dapat dilakukan secara optimal. Oleh karena itu,
penulis menyusun makalah ini sebagai upaya pencegahan dan pengendalian flea
dan kutu busuk agar tidak terjadi penyakit yang disebabkan oleh kutu busuk
maupun flea.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami morfologi dan daur hidup flea dan kutu busuk serta
rangakaian proses pengawetan flea dan kutu busuk
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami rangkaian proses identifikasi dan pengawetan flea dan kutu
busuk dengan baik dan benar.
2. Memahami hasil identifikasi flea dan kutu busuk yang telah didapatkan.
3. Mengetahui masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan
flea.
4. Memahami bagaimana cara mengatasi permasalahan kesehatan yang
timbul akibat vektor kutu busuk dan flea.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vektor
Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan
atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia (Permenkes, 2010).
Pendapat lain mengatakan vector adalah hewan tidak bertulang belakang
(invertebrata) yang mampu memindahkan bibit penyakit dari hewan yang satu
ke hewan yang lain dan jasad renik mengalami proses daur hidup (life cycle)
terlebih dahulu atau tidak. Kejadian penyakit tular vektor dipengaruhi oleh
beberapa faktor risiko, yaitu perubahan iklim, perpindahan penduduk ke daerah
endemis, keadaan rumah, sanitasi buruk, dan belum memadainya pelayanan
kesehatan (Handiny, 2020).
Penularan penyakit oleh vektor dapat terjadi secara mekanik dan
biologik. Penularan secara mekanik atau dapat disebut juga dengan penyebaran
pasif adalah perpindahan bibit penyakit yang telah dibawa oleh vektor kepada
bahan-bahan yang digunakan manusia misalnya makanan, Ketika makanan
tersebut sudah masuk kedalam perut manusia maka dapat menyebabkan
penyakit pada manusia. Contoh vektor yang dpaat menyebakan penyakit pada
manusia yaitu kutu busuk dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Penularan
yang kedua adalah secara biologik atau disebut sebagai penyebaran aktif,
penularan penyakit secara biologik berarti bibit penyakit hidup dan
berkembang di dalam tubuh vektor dan ketika vektor menggigit manusia maka
bibit tersebut dapat berpindah ke dalam tubuh manusia dan timbullah penyakit.
Contohnya yaitu nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria, DBD, JE,
ilariasis, dan chikungunya (Marlina et al., 2021).
Sedangkan dalam pengendalian vektor ini merupakan kegiatan atau
tindakan yang bertujuan dalam menurunkan populasi vektor sekecil mungkin
agar tidak lagi beresiko dalam terjadinya penularan penyakit disuatu wilayah
dan menghindari kontak dengan vector agar penularan dapat dicapai dengan
Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) yang merupakan pengendalian vektor
4
2.2 Flea
Flea atau sering disebut dengan pinjal termasuk dalam filum
Arthropoda dengan kelas Insecta dan ordo Siphonaptera. Flea atau pinjal
sendiri merupakan serangga ektoparasit yang biasanya hidup bergantung
dengan tubuh inangnya, misalnya tubuh tikus, anjing, kucing, kelinci, ungags
atau ayam, kelelawar, dan hewan berkantung (marsupialia (Harsoyo Sigit,
2006). Gigitan dari flea dapat menyebabkan gatal-gatal, tetapi setiap manusia
dan hewan yang digigit akan mengalami reaksi yang berbeda-beda. Tubuh
hewan mungkin memiliki flea ketika tidak sengaja bermain dengan hewan
lainnya yang memiliki flea, sehingga flea tersebut melompat ke tubuh hewan
yang bersih (Elsheikha et al., 2019).
5
tubuh inangnya seperti kucing, tikus, anjing, dan lain sebagainya. Warna pada
flea dewasa adalah coklat atau hitam mengkilap, memiliki bentuk pipih dari
sisi ke sisi, serta memiliki 6 kaki yang digunakajn dalam berlari dan melompat.
Selain itu flea memiliki satu set rambut yang biasanya disebut sisir di
persimpangan kepala dan dada (sisir pronotal) dan disekitar bagian mulut flea
(sisir genal dan oral) (Elsheikha et al., 2019). Flea memiliki kepala yang kecil
berbentuk segitiga dengan sepasang mata dan 3 ruas antenna yang berada
dibagian lekuk antenna dibelakang mata. Mulut flea mengarah kebawah,
sedangkan pada bagian toraks terdiri dari 3 ruas yaitu protoraks, mesotoraks,
dan metatoraks. Flea betina memiliki spermateka yang berada pada ruas ke- 6
hingga 8 abdomen, dan flea jantan maupun betina memiliki lempeng cembung
dengan duri-duri sensori pada bagian dorsal ruas abdomen ke- 8 yang disebut
dengan pygidium (Harsoyo Sigit, 2006).
Perbedaan yang dapat dilihat dari pinjal jantan dan betina adalah bentuk
dari alat reproduksinya yang dapat dilihat dengan menggunakan bantuan
mikroskop. Pada pinjal jantan memiliki bagian alat reproduksi yang berbentuk
setengah lingkaran seperti siput dengan tampak tembus pandang pada
pertengahan abdomen. Sedangkan pada flea betina memiliki kantung sperma
(spermatakea) yang berbentuk koma. Spermatakea sendiri berfungsi sebagai
penampung sperma pada saat perkawinan (Harsoyo Sigit, 2006)
6
2.2.3 Habitat
Flea dapat berkembang biak dengan baik pada negara beriklim tropis
dan subtropic yang hangat. Negara atau wilayah yang memiliki iklmi lembab
dan hangat memiliki flea paling banyak dibandingkan dengan tempat yang
beriklim dingin dengan kelembaban rendah ataupun yang beriklim kering
dengan tingkat kelembaban rendah pula. Daerah dengan kasus kutu yang buruk
hamper sepanjang tahun adalah di pesisir Italia, Spanyol, Prancis selatan, dan
Portugal. Flea akan mulai aktif di bulan-bulan hangat, sedangkan pada musim
dingin larva dan telur flea dapat mati karena kelembaban yang rendah, akan
tetapi flea dapat bertahan hidup serta berkembang biak (Harsoyo Sigit, 2006).
Flea dapat tumbuh dengan subur pada suhu 16℃ (60℉) ke atas dan
juga dengan adanya adanya inang maka flea dapat bertahan hidup serta dapat
berkembang biak dengan baik. Ketika suhu lingkungan pada flea baik, maka
setidaknya sekitar 50% dari larva flea akan menetas. Selain itu flea dapat
ditemukan hampir diseluruh dunia dengan kondisi iklim yang hangat, maka tak
jarang dengan kondisi disuatu wilayah atau negara yang hangat akan
ditemukan banyak flea ditubuh binatang inangnya (Elsheikha et al., 2019).
Daur hidup pada hewan peliharaan yang tidak memiliki alergi terhadap
flea, maka flea tersebut dapat bertahan hidup kurang lebih selama 100 hari.
Sedangkan jika hewan peliharaan tersebut memiliki alergi terhadap flea dan
sering menggaruk tubuh sendiri ataupun merawat tubuh hewan tersebut maka
9
kutu hanya dapat bertahan hidup sekitar 1-2 minggu saja (Elsheikha et al.,
2019).
2.4 Kutu busuk atau kepinding termasuk dalam ordo Hemiptera dan tergolong
famili Cimicidae. Kutu busuk sering juga disebut bedbug atau kutu Kasur
karena sering ditemukan dicelah tempat tidur. Cimex Hemipterus adalah
jenis kutu busuk yang banyak dijumpai di Indonesia. Kutu busuk
merupakan parasite yang sering menyerang manusia untuk menghisap
darah. Tidak hanya darah manusia saja yang menjadi makanannya, tetapi
juga darah hewan peliharaan, ungas, dan kelelawar. Berikut taksonominya
(Hadi, 2018).
2.3.1 Morfologi
Kutu busuk memiliki ukuran 4-6 mm, tubuhnya berbentuk oval, gepeng
darsoventral, dan berwarna cokelat kekuningan atau coklat gelap. Pada bagian
kepala, hewan ini memiliki sepasang antena yang panjang dan mata majemuk
yang menonjol di lateral. Memiliki mulut yang khas sebagai proboscis yang
dapat dilipat ke belakang di bawah kepala dan thoraks bila tidak digunakan.
Saat digunakan untuk menghisap darah, bagian mulutnya menjulur ke depan.
Dengan labrum berukuran kecil dan tidak dapat digerakkan. Labium
membentuk satu tabung yang terdiri atas empat ruas, mengandung stilet
maksila, dan mandibula yang berguna untuk menusuk dan mengisap. Protoraks
10
(dada depan) ukurannya besar degan lekukan yang dalam di bagian depan
tempat kepala menempel. Memiliki sayap, tetapi tidak terlihat karena pangkal
sayapnya tidak berkembang (vestigial). Mempunyai sembilan ruas abdomen
dengan seluruh tubuhnya ditutupi oleh rambut kasar (seta) dan beberapa rambut
halus. Kakinya terdiri dari tiga ruas pada tibia yang panjang dan tarsinya. Pada
Kutu busuk dewasa mempunyai sepasang kelenjar bau di dadanya (ventral
toraks), begitu pula pada kutu busuk muda yang memiliki kelenjar serupa di
dorsal abdomen. Perbedaan yang sangat khas dari kutu busuk jantan dan betina
adalah perut betina berbentuk oval sedangkan jantan lebih ramping. Betina
biasanya memiliki ukuran tubuh lebih panjang dan lebih lebar dari pada jantan.
Pada betina rambut halus lebih banyak pada bagian segmen terakhir sekitar
perut dari pada jantan (Hadi, 2018).
Dewasa Nimfa
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan flea
Kutu busuk atau Hemiptera dan pinjal atau Siphonaptera merupakan
hewan yang tergolong dalam ektoparasit. Kutu busuk dan pinjal dapat hidup
pada bagian permukaan kulit dan di sela-sela rambut host. Kutu busuk biasanya
menggigit pada bagian permukaan kulit manusia. Sedangkan kutu pinjal
biasanya menggigit pada bagian permukaan kulit atau di sela-sela rambut dari
hewan seperti kucing dan anjing. Kedua jenis kutu tersebut menimbulkan
beberapa dampak negatif yang dapat merugikan bagi host baik manusia
maupun hewan. Hewan tersebut dapat menyebabkan gatal-gatal, ruam, iritasi,
peradangan, dan reaksi alergi lainnya yang terjadi pada tubuh host. Hal tersebut
dapat terjadi karena kutu busuk dan flea akan menggigit permukaan kulit dari
host, kemudian kutu tersebut akan menghisap darah host yang ditumpanginya.
Ketika menggigit, air ludah dari kutu busuk dan flea akan ikut masuk ke dalam
16
berpotensi untuk terkena anemia. Selain itu, gigitan kutu busuk atau Cimex
hemipterus juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti cemas,
insomnia hingga ketakutan (Ronawati, dkk, 2022).
membawa agen penyakit seperti bakteri kepada host (hewan), sehingga dapat
menyebabkan penyakit yang berbahaya seperti PES, leptospirosis, dan
penyakit cacing Nematoda. Contoh bakteri yang dapat dibawa oleh kutu dan
tinggal pada hewan pengerat seperti tikus adalah bakteri Yersinia pestis yang
dapat menyebabkan penyakit PES. Tikus yang membawa pinjal atau flea
biasanya ditemukan pada tempat atau pemukiman yang memiliki sanitasi
buruk, rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat, dan sumber air yang sudah
tercemar, sehingga tikus berpinjal mudah berkembang biak dan menularkan
penyakit. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pencegahan untuk menghindari
perkembang biakan dari tikus berpinjal dan penularan penyakit. Menurut
Riyanto dalam jurnal berjudul “Eksistensi Pinjal dalam Rodent di Wilayah
Pengamatan Kejadian PES di Nongkojajar Kabupaten Pasuruan” ditemukan
beberapa cara pencegahan dan pengendalian. Cara pencegahan tersebut
diantaranya:
dan moxifloxacin (Jawetz Melnick dan Adelbergs, 2017). Gigitan kutu busuk
juga dapat mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan yang cukup berbahaya
seperti penurunan Hb hingga anemia. Masalah kesehatan ini dapat diatasi
dengan cara meningkatkan kadar hemoglobin dengan mengonsumsi makanan
yang mengandung zat besi, asam folat, dan vitamin B12 seperti daging, hati,
bayam, dan makanan lainnya. Kemudian, juga dapat mengonsumsi suplemen
penambah darah (Ronawati, dkk, 2022).
20
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Vektor adalah hewan jenis artropoda yang dapat memindahkan bibit
penyakit dari hewan lain dan jasad renik. Penularan penyakit oleh vektor dapat
terjadi secara mekanik ataupun biologik. Penularan secara mekanik atau dapat
disebut juga dengan penyebaran pasif adalah perpindahan bibit penyakit yang
telah dibawa oleh vektor kepada bahan-bahan yang digunakan manusia
misalnya makanan. Penularan yang kedua adalah secara biologik atau disebut
sebagai penyebaran aktif, penularan penyakit secara biologik berarti bibit
penyakit hidup dan berkembang di dalam tubuh vektor dan Ketika vektor
menggigit manusia maka bibit tersebut dapat berpindah ke dalam tubuh
manusia dan timbullah penyakit.
Flea atau biasa dikenal sebagai pinjal adalah arthropodan dengan kelas
insectayang termasuk jenis serangga ekto parasit. Flea hidup dengan
bergantung dengan tubuh inangnya, misalnya tubuh tikus, anjing, kucing,
kelinci, ungags atau ayam, kelelawar, dan hewan berkantung. Tubuh hewan
sehat dapat tertular apabila bermain dnegan hewan yang mungkin memmeliki
flea di tibuhnya. Flea akan menular pada tubuh hewan sehat dengan cara
melompat. Flea dapat berkembang biak dengan baik pada negara beriklim
tropis dan subtropis yang hangat.
Kutu busuk atau biasa disebut dengan kutu kasur adalah arthropoda
yang tergolong dalam ordo hemiptera. Kutu busuk sering ditemukan di celah
tempat tidur. Kutu busuk merupakan parasite yang sering menyerang manusia,
hewan peliharaan, ungas, dan kelelawar untuk menghisap darah. Kutu busuk
dapat merayap dan menyusup ke dalam celah yang sangat sempit karena
bentuk tubuhnya yang gepeng. Tusukkan bagian mulutnya sangat menyakitkan
dan menimbulkan rasa gatal disertai bentol-bentol yang cukup mengganggu.
Setelah mengisap darah biasanya kutu busuk ini akan bersembunyi di celah-
celah tersebut selama beberapa hari, kemudian bertelur.
21
4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, kami berharap masyarakat dapat lebiih
memahami cara pengenddalian, pencegahan, ataupun lebih perhatian kepada
kebersihan lingkungan sehingga dapatt mengurangi resiko penyebaran penyakit
yang disebabkan oleh flea dan kutu busuk.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, I. (n.d.). Fakta tentang kutu busuk (bed bugs), Cimex hemipterus
(Hemiptera:Cimicidae) dan cara pengendaliannya. 3.
Elsheikha, H., Wright, I., & Dryden, M. (2019). Top 100 questions and answers
about fleas and pets. CABI.
Harsoyo Sigit, S. (2006). HAMA PERMUKIMAN INDONESIA.
Hadi, U & Soviana, S. 2018. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Terbitan I Elektronik. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Handiny, F., Rahma, G., dan Rizyana, N. 2020. Buku Ajar Pengendalian Vektor.
Cetakan I. Malang: Ahli Media Press.
Lampiran Notulensi