Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENGENDALIAN VEKTOR FLEA DAN KUTU BUSUK


(Disusun untu memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Vektor dan Rodent
Kelas B Semester 4 Tahun Ajaran 2022)

Dosen Pengampu:
Rahayu Sri Pujiati, S.KM., M.Kes.

Disusun oleh:
Zulfah Wahyu Romadhani 202110101052
Irodatus Sholihah 202110101039
Mafaza Imania Sahputra 202110101049
Dida Putri Awal Mardika 202110101078
Amanda Agustine 202110101122
Almira Aisha Devi 202110101126
Mareta Putri Khoeriyah 202110101132
Farhan Dwi Purnama 202110101167

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik,
karunia, serta hidahah-Nya sehingga pembuatan makalah yang berjudul
“Pengendalian Vektor Flea Dan Kutu Busuk” ini dapat selesai tanpa halangan
suatu apapun dan dapat selesai dengan tepat waktu.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah
Pengendalian Vektor dan Rodent, Ibu Prehatin Trirahayu N., SKM., M.Kes yang
telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota yang berkontribusi dengan baik
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kesalahan maupun
kekuarngan. Oleh karena itu kami sangat terbuka dan menerima segala kritik dan
saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan kami di penyusunan
makalah selanjutnya.
Jember, Mei 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................... 2
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Vektor ....................................................................................................... 3
2.2 Flea ........................................................................................................... 4
2.2.1 Morfologi Flea .................................................................................. 5
2.2.2 Jenis-jenis Flea .................................................................................. 6
2.2.3 Habitat ............................................................................................... 7
2.2.4 Daur Hidup ........................................................................................ 7
2.3 Kutu Busuk ............................................................................................... 9
2.3.1 Morfologi .......................................................................................... 9
2.3.2 Jenis Kutu Busuk............................................................................... 9
2.3.3 Perilaku dan Habitat ........................................................................ 12
2.3.4 Daur Hidup ...................................................................................... 13
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 15
3.1 Masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan flea ....... 15
3.2 Cara mengatasi permasalahan Kesehatan yang timbul akibat vektor kutu
busuk dan flea ........................................................................................... 17
BAB 4 PENUTUP ............................................................................................... 20
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20
4.2 Saran ....................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vektor merupakan hewan yang biasanya dapat menularkan penyakit dari
agen ke host. Salah satu hewan yang termasuk ke dalam vektor adalah flea
(pinjal) dan kutu busuk. Flea adalah hewan ektoparasit yang dapat merugikan
beberapa hewan dan manusia karena gigitannya. Flea lebih suka berada pada
hewan yang memiliki bulu cukup lebat sehingga nyaman digunakan untuk
tumbuh dan berkembang biak (Purnamasari, D., 2018).
Flea merupakan salah satu vektor yang dapat hidup dan berkembang
biak pada hewan inangnya. Hewan yang ditempati oleh flea antara lain tikus,
kucing, anjing, sapi, dan kerbau. Flea merupakan serangga penghisap darah
inangnya. Ketika flea menghisap darah pada inangnya mungkin akan muncul
iritasi akibat dari gigitan flea tersebut yang dapat disebut Flea Allergic
Dermatitis. Selain pada hewan, flea juga dapat berpindah ke manusia dengan
cara meloncat (Riyanto, 2019).
Kutu busuk memiliki nama ilmiah Cimex hemipterus merupakan
serangga yang sangat mengganggu kehidupan manusia karena serangga ini
menghisap darah manusia dan menimbulkan rasa gatal, selain itu juga
meninggalkan bekas luka pada bagian tubuh manusia yang digigitnya. Darah
yang dihisap untuk perkembangbiakkan kutu busuk dimana kutu busuk memiliki
masa berkembang biak sekitar 5 bulan (Ahmad, n.d.). Serangga ini banyak
ditemui di celah-celah kasur, di almari kayu dan juga di dinding yang retak
dalam beberapa ukuran. Identifikasi almari kayu yang ditempati tinggi adalah
terdapatnya titik-titik hitam di permukaan kayu dan lipatan kasur. Kutu busuk
berukuran kecil dengan bentuk pipih, sedangkan telur kutu busuk berwarna putih
dan berbentuk seperti biji beras. Akibat dari gigitan kutu busuk adalah reaksi
alergi seperti rasa gatal, rasa perih, rasa nyeri hingga muncul bengkak pada
bagian gigitan (Kusumasari, R., n.d.).
2

Gangguan atau penyakit yang disebabkan oleh flea maupun kutu busuk
dapat dikendalikan dan juga dicegah melalui upaya yang sesuai. Namun
sebelumnya perlu diketahui dimana keberadaan flea maupun kutu busuk tersebut
sehingga pemberantasannya dapat dilakukan secara optimal. Oleh karena itu,
penulis menyusun makalah ini sebagai upaya pencegahan dan pengendalian flea
dan kutu busuk agar tidak terjadi penyakit yang disebabkan oleh kutu busuk
maupun flea.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana rangkaian proses identifikasi dan pengawetan flea dan kutu
busuk?
2. Bagiamana hasil identifikasi flea dan kutu busuk yang telah didapatkan?
3. Masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan flea?
4. Cara mengatasi permasalahan kesehatan yang timbul akibat vektor kutu
busuk dan flea?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami morfologi dan daur hidup flea dan kutu busuk serta
rangakaian proses pengawetan flea dan kutu busuk
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami rangkaian proses identifikasi dan pengawetan flea dan kutu
busuk dengan baik dan benar.
2. Memahami hasil identifikasi flea dan kutu busuk yang telah didapatkan.
3. Mengetahui masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan
flea.
4. Memahami bagaimana cara mengatasi permasalahan kesehatan yang
timbul akibat vektor kutu busuk dan flea.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vektor
Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan
atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia (Permenkes, 2010).
Pendapat lain mengatakan vector adalah hewan tidak bertulang belakang
(invertebrata) yang mampu memindahkan bibit penyakit dari hewan yang satu
ke hewan yang lain dan jasad renik mengalami proses daur hidup (life cycle)
terlebih dahulu atau tidak. Kejadian penyakit tular vektor dipengaruhi oleh
beberapa faktor risiko, yaitu perubahan iklim, perpindahan penduduk ke daerah
endemis, keadaan rumah, sanitasi buruk, dan belum memadainya pelayanan
kesehatan (Handiny, 2020).
Penularan penyakit oleh vektor dapat terjadi secara mekanik dan
biologik. Penularan secara mekanik atau dapat disebut juga dengan penyebaran
pasif adalah perpindahan bibit penyakit yang telah dibawa oleh vektor kepada
bahan-bahan yang digunakan manusia misalnya makanan, Ketika makanan
tersebut sudah masuk kedalam perut manusia maka dapat menyebabkan
penyakit pada manusia. Contoh vektor yang dpaat menyebakan penyakit pada
manusia yaitu kutu busuk dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Penularan
yang kedua adalah secara biologik atau disebut sebagai penyebaran aktif,
penularan penyakit secara biologik berarti bibit penyakit hidup dan
berkembang di dalam tubuh vektor dan ketika vektor menggigit manusia maka
bibit tersebut dapat berpindah ke dalam tubuh manusia dan timbullah penyakit.
Contohnya yaitu nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria, DBD, JE,
ilariasis, dan chikungunya (Marlina et al., 2021).
Sedangkan dalam pengendalian vektor ini merupakan kegiatan atau
tindakan yang bertujuan dalam menurunkan populasi vektor sekecil mungkin
agar tidak lagi beresiko dalam terjadinya penularan penyakit disuatu wilayah
dan menghindari kontak dengan vector agar penularan dapat dicapai dengan
Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) yang merupakan pengendalian vektor
4

dengan asas keamanan, rasionalitas, efektivitas dalam pelaksanaannya, dan


selalu mempertimbangkan kelestarian keberhasilan, menurut PERMENKES RI
No 374/MENKES/PER/III/2010. Konsep pengendalian vektor selalu
menekankan terhadap kepadatan vektor, agar tidak menularkan penyakit bagi
manusia dan ternak. Sedangkan dalam metode pengendalian vektor, ini
bertujuan dalam memutuskan rantai kehidupan vekyor pada tingkat kehidupan
yang paling rendah atau lemah baik dari tingkatan pradewasa ataupun dewasa.
Dalam hal ini pengendalian vektor bertujuan untuk membunuh vektor utama,
membunuh vektor stadium pradewasa, mengurangi gigitan vektor, dan
menghilangkan habitat vektor (Marlina et al., 2021).

2.2 Flea
Flea atau sering disebut dengan pinjal termasuk dalam filum
Arthropoda dengan kelas Insecta dan ordo Siphonaptera. Flea atau pinjal
sendiri merupakan serangga ektoparasit yang biasanya hidup bergantung
dengan tubuh inangnya, misalnya tubuh tikus, anjing, kucing, kelinci, ungags
atau ayam, kelelawar, dan hewan berkantung (marsupialia (Harsoyo Sigit,
2006). Gigitan dari flea dapat menyebabkan gatal-gatal, tetapi setiap manusia
dan hewan yang digigit akan mengalami reaksi yang berbeda-beda. Tubuh
hewan mungkin memiliki flea ketika tidak sengaja bermain dengan hewan
lainnya yang memiliki flea, sehingga flea tersebut melompat ke tubuh hewan
yang bersih (Elsheikha et al., 2019).
5

2.2.1 Morfologi Flea


Flea berukuran kecil dengan diameter sekitar 2-5 mm atau setara
dengan hingga inci. Flea tidak memiliki sayap dan bergantung hidup pada

tubuh inangnya seperti kucing, tikus, anjing, dan lain sebagainya. Warna pada
flea dewasa adalah coklat atau hitam mengkilap, memiliki bentuk pipih dari
sisi ke sisi, serta memiliki 6 kaki yang digunakajn dalam berlari dan melompat.
Selain itu flea memiliki satu set rambut yang biasanya disebut sisir di
persimpangan kepala dan dada (sisir pronotal) dan disekitar bagian mulut flea
(sisir genal dan oral) (Elsheikha et al., 2019). Flea memiliki kepala yang kecil
berbentuk segitiga dengan sepasang mata dan 3 ruas antenna yang berada
dibagian lekuk antenna dibelakang mata. Mulut flea mengarah kebawah,
sedangkan pada bagian toraks terdiri dari 3 ruas yaitu protoraks, mesotoraks,
dan metatoraks. Flea betina memiliki spermateka yang berada pada ruas ke- 6
hingga 8 abdomen, dan flea jantan maupun betina memiliki lempeng cembung
dengan duri-duri sensori pada bagian dorsal ruas abdomen ke- 8 yang disebut
dengan pygidium (Harsoyo Sigit, 2006).
Perbedaan yang dapat dilihat dari pinjal jantan dan betina adalah bentuk
dari alat reproduksinya yang dapat dilihat dengan menggunakan bantuan
mikroskop. Pada pinjal jantan memiliki bagian alat reproduksi yang berbentuk
setengah lingkaran seperti siput dengan tampak tembus pandang pada
pertengahan abdomen. Sedangkan pada flea betina memiliki kantung sperma
(spermatakea) yang berbentuk koma. Spermatakea sendiri berfungsi sebagai
penampung sperma pada saat perkawinan (Harsoyo Sigit, 2006)
6

2.2.2 Jenis-jenis Flea


Spesies flea yang diketahui berkisar lebih dari 2.500 jenis spesies di
seluruh dunia. Semua spesies flea tersebut memiliki tubuh yang serupa tetapi
tidak sama, morfologi flea jika dilihat dengan mikroskop maka akan berbeda
dengan flea spesies lainnya (Elsheikha et al., 2019). Flea memiliki beberapa
spesies yang penting seperti Tunga (pinjal chigoe), Ctenochephalides (pinjal
kucing dan anjing), Echidnophaga (pinjal ayam), Pulex, Ceratophyllus dan
Xenopsylla (pinjal tikus). Di Indonesia sendiri genus yang paling sering
ditemui adalah Xenopsylla cheopis, Pulex irritans, Ctenochephalides felis, dan
C. canis (Harsoyo Sigit, 2006).

(a). Echidnophaga gallinacean, (b). Pulex iritasi, (c). Xenopsylla cheopis


7

2.2.3 Habitat
Flea dapat berkembang biak dengan baik pada negara beriklim tropis
dan subtropic yang hangat. Negara atau wilayah yang memiliki iklmi lembab
dan hangat memiliki flea paling banyak dibandingkan dengan tempat yang
beriklim dingin dengan kelembaban rendah ataupun yang beriklim kering
dengan tingkat kelembaban rendah pula. Daerah dengan kasus kutu yang buruk
hamper sepanjang tahun adalah di pesisir Italia, Spanyol, Prancis selatan, dan
Portugal. Flea akan mulai aktif di bulan-bulan hangat, sedangkan pada musim
dingin larva dan telur flea dapat mati karena kelembaban yang rendah, akan
tetapi flea dapat bertahan hidup serta berkembang biak (Harsoyo Sigit, 2006).
Flea dapat tumbuh dengan subur pada suhu 16℃ (60℉) ke atas dan
juga dengan adanya adanya inang maka flea dapat bertahan hidup serta dapat
berkembang biak dengan baik. Ketika suhu lingkungan pada flea baik, maka
setidaknya sekitar 50% dari larva flea akan menetas. Selain itu flea dapat
ditemukan hampir diseluruh dunia dengan kondisi iklim yang hangat, maka tak
jarang dengan kondisi disuatu wilayah atau negara yang hangat akan
ditemukan banyak flea ditubuh binatang inangnya (Elsheikha et al., 2019).

2.2.4 Daur Hidup


Metamorphosis pada flea diawali dengan telur, larva, pupa dan dewasa.
Seekor flea betina dapat menghasilkan sebanyak 400-500 butir telur sepanjang
hidupnya, ukuran Panjang telur flea berkisar 0,5 mm dan berbentuk oval serta
memiliki warna telur keputih-putihan. Telur flea yang sudah keluar dapat
menetas dalam kurun waktu dua hari atau lebih sesuai dengan suhu dan
kelembaban pada lingkungannya. Menetasnya telur flea diakibatkan oleh duri
(spina) pada bagian kepala larva instar peratama (Harsoyo Sigit, 2006).
Larva flea memiliki bentuk yang memanjang seperti ulat, memiliki 3
ruas toraks dan 10 ruas abdomen dengan masing-masing dilengkapi oleh
beberapa bulu-bulu yang panjang. Bagian tubuh larva memiliki dua tonjolan
kait yang berada di ruas abdomen dan biasa disebut anal struts dengan fungsi
untuk memgang kepada substrata tau digunakan dalam lokomosi. Larva flea
8

memiliki mulut yang digunakan dalam menggigit dan megunyah makanan


yang dapat berupa darah kering, larva tersebut berwarna kuning kream serta
memiliki pergerakan yang aktif. Sebelum berubah menjadi pupa, larva akan
berganti kulit (moulting) sebanyak tiga kali. Selain itu periode larva sendiri
berlangsung selama 7-10 hari atau dapat lebih tergantung dengan suhu dan
kelembaban lingkungannya (Harsoyo Sigit, 2006).
Larva dewasa atau mature memiliki Panjang sekitar 6 mm dan larva ini
dapat menggulung atau mengkerut badannya hingga berukuran 4 2 mm dan
akan berubah menjadi pupa. Periode pupa akan berlangsung selama 10-17 hari
dalam suhu yang sesuai, namun periode pupa dapat menjadi berbulan-bulan
Ketika suhu yang kurang optimal, serta ketika suhu terlalu rendah maka akan
merubah menjadi imago yang tetap terbungkus dalam kokon. Stadium pupa
sensitive terhadap adanya perubahan konsentrasi karbon dioksida dan
lingkungan sekitar, serta terhadap getaran dan vibrasi. Ketika perubahan
tersebut dirasakan maka menyebabkan keluarnya flea dewasa dari kepompong
dan akan segera mencari inangnya. Fela akan keluar dari kokon setelah
berumur 5-8 hari, sedangkan untuk flea jantan akan keluar sekitar 7-10 hari
(Harsoyo Sigit, 2006).

Daur hidup pada hewan peliharaan yang tidak memiliki alergi terhadap
flea, maka flea tersebut dapat bertahan hidup kurang lebih selama 100 hari.
Sedangkan jika hewan peliharaan tersebut memiliki alergi terhadap flea dan
sering menggaruk tubuh sendiri ataupun merawat tubuh hewan tersebut maka
9

kutu hanya dapat bertahan hidup sekitar 1-2 minggu saja (Elsheikha et al.,
2019).

2.3 Kutu Busuk


Kingdom: Animalia
Phylum: Arthropoda
Class : Insecta
Order : Hemiptera
Family : Cimicidae
Genus : Cimex
Gambar 2.3 Kutu busuk.
Sumber: ttps://www.cdc.gov/dpdx/bedbugs/index.html

2.4 Kutu busuk atau kepinding termasuk dalam ordo Hemiptera dan tergolong
famili Cimicidae. Kutu busuk sering juga disebut bedbug atau kutu Kasur
karena sering ditemukan dicelah tempat tidur. Cimex Hemipterus adalah
jenis kutu busuk yang banyak dijumpai di Indonesia. Kutu busuk
merupakan parasite yang sering menyerang manusia untuk menghisap
darah. Tidak hanya darah manusia saja yang menjadi makanannya, tetapi
juga darah hewan peliharaan, ungas, dan kelelawar. Berikut taksonominya
(Hadi, 2018).

2.3.1 Morfologi
Kutu busuk memiliki ukuran 4-6 mm, tubuhnya berbentuk oval, gepeng
darsoventral, dan berwarna cokelat kekuningan atau coklat gelap. Pada bagian
kepala, hewan ini memiliki sepasang antena yang panjang dan mata majemuk
yang menonjol di lateral. Memiliki mulut yang khas sebagai proboscis yang
dapat dilipat ke belakang di bawah kepala dan thoraks bila tidak digunakan.
Saat digunakan untuk menghisap darah, bagian mulutnya menjulur ke depan.
Dengan labrum berukuran kecil dan tidak dapat digerakkan. Labium
membentuk satu tabung yang terdiri atas empat ruas, mengandung stilet
maksila, dan mandibula yang berguna untuk menusuk dan mengisap. Protoraks
10

(dada depan) ukurannya besar degan lekukan yang dalam di bagian depan
tempat kepala menempel. Memiliki sayap, tetapi tidak terlihat karena pangkal
sayapnya tidak berkembang (vestigial). Mempunyai sembilan ruas abdomen
dengan seluruh tubuhnya ditutupi oleh rambut kasar (seta) dan beberapa rambut
halus. Kakinya terdiri dari tiga ruas pada tibia yang panjang dan tarsinya. Pada
Kutu busuk dewasa mempunyai sepasang kelenjar bau di dadanya (ventral
toraks), begitu pula pada kutu busuk muda yang memiliki kelenjar serupa di
dorsal abdomen. Perbedaan yang sangat khas dari kutu busuk jantan dan betina
adalah perut betina berbentuk oval sedangkan jantan lebih ramping. Betina
biasanya memiliki ukuran tubuh lebih panjang dan lebih lebar dari pada jantan.
Pada betina rambut halus lebih banyak pada bagian segmen terakhir sekitar
perut dari pada jantan (Hadi, 2018).

Gambar 2.3.1.1 1a Betina dewasa C. hemipterus (tampak dorsal). 1b.


Betina dewasa C. hemipterus (tampak ventral). 2a. Jantan dewasa
C. hemipterus (tampak dorsal). 2b. Jantan dewasa C. hemipterus (tampak
ventral).
Sumber: Khan, H. R. (2012). Morphology and Biology of The Bedbug, Cimex
Hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) In the Laboratory.
11

Panah menunjukkan mulut Panah menunjukkan sayap


Gambar 2.3.1.1 Proboscis & sayap C. lectularius
Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/bedbugs/index.html

2.3.2 Jenis Kutu Busuk


Serangga dari ordo Hemiptera terdiri atas 55.000 jenis yang terbagi
menjadi 2 subordo, yaitu Heteroptera dan Homoptera. Namun dalam famili
Cimicidae terdapat 2 spesiaes kutu busuk yang sering menyerang manusia,
yaitu Cimex hemipterus dan Cimex lectularius. Cimex hemipterus banyak
dijumpai di daerah tropis termasuk Indonesia. Spesies ini tidak hanya
menyerang manusia saja, tetapi juga hewan peliharaan, ungags, dan kelelawar.
Sedangkan Cimex lectularius sering ditemui di negera subtropika, seperti di
Amerika dan Eropa. Kedua spesies ini memiliki bentuk yang mirip, tetapi pada
Cimex lectularius memiliki pronotum yang lebih lebar (Hadi, 2018).

Gambar 2.3 Jenis kutu busuk


Sumber: https://slideplayer.com/amp/7776671/
12

2.3.3 Perilaku dan Habitat


Cimex hemipterus sangat terkenal di Indonesia karena mudah
mengenalinya hanya dengan baunya yang khas apabila dipencet. Kutu busuk
dapat merayap dan menyusup ke dalam celah yang sangat sempit karena
bentuk tubuhnya yang gepeng. Kutu busuk sering bersembunyi di celah kursi
kayu, rotan, Kasur, lemari, perabot rumah, restoran, gedung bioskop, serta
celah-celah kendang hewan dan ungas yang terbuat dari kayu atau bambu.
Kutu busuk aktif di malam hari untuk mengisap darah manusia dan hewan.
Tusukkan bagian mulutnya sangat menyakitkan dan menimbulkan rasa gatal
disertai bentol-bentol yang cukup mengganggu. Setelah mengisap darah
biasanya kutu busuk ini akan bersembunyi di celah-celah tersebut selama
beberapa hari, kemudian bertelur (Hadi, 2018).

Gambar 2.3 Habitat kutu busuk


Sumber: https://www.beres.id/blog/inilah-7-tanda-keberadaan-kutu-kasur-pada-
tempat-tidur-di-rumah-deteksi-dan-basmi/

Kutu busuk sangat rentan terhadap kelembaban dan suhu tinggi di


atas 44-45˚C. Banyak orang memberantas kutu busuk ini dengan cara
menyiram air panas atau menjemur di bawah terik matahari tempat-tempat
persembunyian dan perabotan yang terinfestasi kutu busuk (Hadi, 2018).
Kutu busuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain melalui baju,
tas, atau peralatan kandang yang mengandung kutu busuk. Biasanya sumber
pemencaran yang paling bertanggung jawab dalam proses ini adalah kutu
busuk betina yang mengandung telur (gravid). Mobilitas orang dengan sanitasi
lingkungan yang buruk dapat meningkatkan penyebaran kutu busuk dari satu
tempat ke tempat (Hadi, 2018).
13

2.3.4 Daur Hidup


Kutu busuk bertamorfosis tidak sempurna. Pada semua tahap daur
hidupnya, kutu busuk perlu memakan darah dari inang berdarah panas, seperti
manusia. Seekor kutu busuk betina dapat memproduksi 150-200 butir telur
selama hidupnya. Telurnya berwarna putih krem, mempunyai operculum, dan
rata-rata panjangnya 1 mm. Telur akan menetas menjadi nimfa selama 3-14
hari pada suhu 23˚ C. Nimfa pertama akan berganti kulit menjadi nimfa ke-2,
3, dan demikian seterusnya sampai nimfa berganti kulit lagi menjadi instar
terakhir. Kutu busuk rata-rata berganti kulit antara 5-6 kali dan berbeda-beda
antara satu sama lain tergantung jenis, makanan, dan suhu. Hal tersebut juga
memengaruhi laju perkembangan kutu busuk. Bentuk nimfa menyerupai kutu
busuk dewasa, namun ukurannya lebih kecil dan tidak memiliki sayap. Nimfa 1
berwarna kuning pucat saat tidak diberi makan dan panjang rata-rata adalah 1,5
mm. Setelah memberi makan darah, warna tubuh berubah menjadi merah
menyerupai tetesan darah. Nimfa 2 berwarna kuning pucat saat tidak diberi
makan, setelah makan darah warna tubuhnya merah dan panjang rata-rata 2,0
mm. Nimfa 3 sedikit lebih gelap dari nimfa 2, warna tubuh setelah diberi darah,
merah dan panjang rata-rata nimfa adalah 2,5 mm. Nimfa 4 berwarna coklat
dalam kondisi tidak diberi makan dan merah setelah makan darah. Panjang
rata-rata adalah 3,0 mm. Mesothorax dan metathorax sedikit melengkung.
Nimfa 5 berwarna coklat kehitaman dalam kondisi tidak diberi makan dan
merah dalam kondisi diberi makan darah. Panjang rata-rata adalah 4,5 mm.
Bantalan sayap atau hemelytra mulai berkembang di mesothorax (Khan, 2012).
Pada suhu yang sesuai, stadium dewasa dicapai dalam waktu 8-13 minggu
setelah menetas. Perkawinan kutu busuk dewasa terjadi diluar inang. Proses ini
disebut inseminasi traumatis dimana kutu busuk jantan akan menembus
dinding perut betina dengan alat kelamin luarnya dan melakukan inseminasi ke
dalam rongga tubuhnya. Lama hidup (longevity) kutu busuk dewasa panjang
yaitu 6-12 bulan dan dapat bertahan hidup tanpa makan 4 bulan (Hadi, 2018).
14

Gambar 2.3.4.1 Daur hidup kutu busuk


Sumber: Khan, H. R. (2012). Morphology and Biology of The Bedbug, Cimex
Hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) In the Laboratory.

Dewasa Nimfa

Gambar 2.3.4.2 C. lectularius dewasa dan nimfa


Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/bedbugs/index.html

Gambar 2.3.4.3 a. Telur C. Hemipterus yang belum menetas. b. Telur C.


Hemipterus telah menetas
Sumber: Khan, H. R. (2012). Morphology and Biology of The Bedbug, Cimex
Hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) In the Laboratory.
15

Gambar 2.3.4.4. 5. nimfa 1 C. hemipterus (tampak dorsal). 6. nimfa 2 C.


hemipterus (tampak ventral). 7. nimfar 3 C. hemipterus (tampak dorsal). 8.
nimfa 4 C. hemipterus (tampak dorsal). 9. nimfa 5 C. hemipterus (tampak
dorsal).
Sumber: Khan, H. R. (2012). Morphology and Biology of The Bedbug, Cimex
Hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) In the Laboratory.

BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Masalah kesehatan yang timbul akibat vektor kutu busuk dan flea
Kutu busuk atau Hemiptera dan pinjal atau Siphonaptera merupakan
hewan yang tergolong dalam ektoparasit. Kutu busuk dan pinjal dapat hidup
pada bagian permukaan kulit dan di sela-sela rambut host. Kutu busuk biasanya
menggigit pada bagian permukaan kulit manusia. Sedangkan kutu pinjal
biasanya menggigit pada bagian permukaan kulit atau di sela-sela rambut dari
hewan seperti kucing dan anjing. Kedua jenis kutu tersebut menimbulkan
beberapa dampak negatif yang dapat merugikan bagi host baik manusia
maupun hewan. Hewan tersebut dapat menyebabkan gatal-gatal, ruam, iritasi,
peradangan, dan reaksi alergi lainnya yang terjadi pada tubuh host. Hal tersebut
dapat terjadi karena kutu busuk dan flea akan menggigit permukaan kulit dari
host, kemudian kutu tersebut akan menghisap darah host yang ditumpanginya.
Ketika menggigit, air ludah dari kutu busuk dan flea akan ikut masuk ke dalam
16

jaringan kulit tubuh, sehingga dapat menyebabkan peradangan dan alergi


(Hadi, 2018).
Flea atau kutu pinjal juga dapat membawa agen penyakit ke dalam
tubuh host atau inangnya. Hewan ektoparasit seperti kutu busuk dan pinjal
dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya atau serius apabila tidak segera
ditangani oleh tenaga medis. Contohnya, pada penyakit PES yang disebabkan
oleh bakteri Yersinia pestis, bakteri tersebut dibawa dan disebarkan oleh kutu
yang tinggal pada hewan pengerat seperti tikus. Host akan tertular melalui
gigitan kutu maupun tikus yang terinfeksi bakteri tersebut. Penyakit PES biasa
disebut dengan penyakit black death karena gejala khas dari penyakit tersebut
yaitu menghitamnya kulit penderita yang disebabkan oleh adanya pendarahan
subdermal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dalam jurnal kesehatan
lingkungan berjudul Eksistensi Pinjal dalam Rodent di Wilayah Pengamatan
Kejadian PES di Nongkojajar Kabupaten Pasuruan oleh Riyanto pada tahun
2019, ditemukan hasil penelitian. Hasil yang diperoleh dalam penelitian
tersebut adalah banyak tikus yang ditemukan dalam rumah-rumah warga dan
tikus tersebut terinfeksi pinjal, sehingga semakin meningkatkan penularan
penyakit PES dan penyakit lainnya seperti leptospirosis, dan penyakit riketsia
di masyarakat (Riyanto, 2019).
Berdasarkan penelitian dalam Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas yang disusun oleh Ronawati, dkk. pada tahun 2022 mengenai
Faktor Perilaku yang Berhubungan dengan Keberadaan Cimex sp di Desa
Purbayasa, Purbalingga Tahun 2021 diperoleh suatu hasil penelitian. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian tersebut yaitu keberadaan kutu busuk atau
Cimex sp disebabkan oleh sikap dan praktik dari masyarakat itu sendiri. Sikap
masyarakat Penelitian dalam jurnal tersebut menemukan kutu busuk dengan
spesies Cimex hemipterus. Keberadaan Cimex hemipterus dalam jurnal tersebut
ditemukan pada tempat yang lembab dan tertutup seperti dalam kamar tidur
yaitu di sela-sela kasur dan ruang tamu. Berdasarkan penelitian tersebut
menunjukkan bahwa gigitan kutu busuk dapat menyebabkan penurunan kadar
Hb apabila gigitan kutu tersebut dalam frekuensi yang lama, sehingga
17

berpotensi untuk terkena anemia. Selain itu, gigitan kutu busuk atau Cimex
hemipterus juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti cemas,
insomnia hingga ketakutan (Ronawati, dkk, 2022).

3.2 Cara mengatasi permasalahan Kesehatan yang timbul akibat


vektor kutu busuk dan flea
Kutu busuk dan flea merupakan hewan ektoparasit yang mudah
ditemukan di tempat-tempat yang gelap dan lembab, keberadaan kedua hewan
tentu dapat merugikan manusia dengan menimbulkan penyakit. Permasalahan
kesehatan akibat kutu busuk dan flea bisa disebabkan oleh lingkungan yang
kurang bersih, terawat, maupun terjaga, sehingga kutu busuk dan flea akan
semakin berkembang biak. Oleh karena itu, diperlukan adanya tindakan
pencegahan untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang timbul karena
adanya kutu busuk dan flea. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan lingkungan dengan memelihara kebersihan tempat tinggal.
Selain itu, menurut Ronawati, dkk dalam jurnal yang berjudul “Faktor Perilaku
yang Berhubungan dengan Keberadaan Cimex sp di Desa Purbayasa,
Purbalingga Tahun 2021”, terdapat beberapa pengendalian yang dapat
dilakukan untuk membasmi adanya kutu busuk. Pengendalian tersebut berupa:
1. Telur kutu busuk biasanya ditemukan dalam jumlah yang banyak dan
bergerombol yang disertai dengan adanya nimfa kutu busuk. Adanya telur
kutu busuk tersebut dapat dibersihkan atau dihilangkan dengan cara
mencuci perabotan rumah seperti kasur, sprei, pakaian, dan lain-lain
dengan air panas (diatas 60⁰C), lalu disikat hingga bersih dan dijemur di
bawah sinar matahari. Pembersihan tersebut dapat dilakukan secara
berulang dan rutin.
2. Selalu menjaga kebersihan dan sanitasi rumah, seperti mengganti sprei
kasur secara rutin dan berulang.
3. Selalu menjaga kebersihan tubuh.
Flea merupakan kutu yang dapat ditemukan dan hidup pada permukaan
kulit dan di sela-sela rambut hewan seperti tikus. Flea atau kutu pinjal dapat
18

membawa agen penyakit seperti bakteri kepada host (hewan), sehingga dapat
menyebabkan penyakit yang berbahaya seperti PES, leptospirosis, dan
penyakit cacing Nematoda. Contoh bakteri yang dapat dibawa oleh kutu dan
tinggal pada hewan pengerat seperti tikus adalah bakteri Yersinia pestis yang
dapat menyebabkan penyakit PES. Tikus yang membawa pinjal atau flea
biasanya ditemukan pada tempat atau pemukiman yang memiliki sanitasi
buruk, rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat, dan sumber air yang sudah
tercemar, sehingga tikus berpinjal mudah berkembang biak dan menularkan
penyakit. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pencegahan untuk menghindari
perkembang biakan dari tikus berpinjal dan penularan penyakit. Menurut
Riyanto dalam jurnal berjudul “Eksistensi Pinjal dalam Rodent di Wilayah
Pengamatan Kejadian PES di Nongkojajar Kabupaten Pasuruan” ditemukan
beberapa cara pencegahan dan pengendalian. Cara pencegahan tersebut
diantaranya:

1. Menjaga sanitasi atau kebersihan lingkungan dengan baik, agar tidak


menjadi sarang bagi tikus yang berpinjal, terutama pemukiman atau
tempat tinggal.
2. Menjaga perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Mengeliminasi sarang tempat tinggal tikus berpinjal.
4. Memasang perangkap dengan lem atau perangkap lainnya untuk
menangkap dan membunuh tikus yang berpinjal, sehingga jumlah tikus
yang berpinjal dapat berkurang dan mengurangi penyebaran penyakit.
5. Melakukan perencanaan program untuk pencegahan dan pengendalian
tikus (rodent) yang membawa pinjal.
Tindakan kuratif juga dapat diberikan pada penyakit seperti PES dan
anemia, karena kedua penyakit tersebut termasuk dalam penyakit yang
membahayakan. Apabila penyakit PES telah menginfeksi host atau manusia,
maka dibutuhkan tindakan kuratif yaitu pengobatan penyakit. Metode
pengobatan yang dilakukan oleh dokter adalah pemberian antibiotik dosis kuat,
seperti ciprofloxacin, chloramphenicol, gentamicin, doxycycline, levofloxacin,
19

dan moxifloxacin (Jawetz Melnick dan Adelbergs, 2017). Gigitan kutu busuk
juga dapat mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan yang cukup berbahaya
seperti penurunan Hb hingga anemia. Masalah kesehatan ini dapat diatasi
dengan cara meningkatkan kadar hemoglobin dengan mengonsumsi makanan
yang mengandung zat besi, asam folat, dan vitamin B12 seperti daging, hati,
bayam, dan makanan lainnya. Kemudian, juga dapat mengonsumsi suplemen
penambah darah (Ronawati, dkk, 2022).
20

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Vektor adalah hewan jenis artropoda yang dapat memindahkan bibit
penyakit dari hewan lain dan jasad renik. Penularan penyakit oleh vektor dapat
terjadi secara mekanik ataupun biologik. Penularan secara mekanik atau dapat
disebut juga dengan penyebaran pasif adalah perpindahan bibit penyakit yang
telah dibawa oleh vektor kepada bahan-bahan yang digunakan manusia
misalnya makanan. Penularan yang kedua adalah secara biologik atau disebut
sebagai penyebaran aktif, penularan penyakit secara biologik berarti bibit
penyakit hidup dan berkembang di dalam tubuh vektor dan Ketika vektor
menggigit manusia maka bibit tersebut dapat berpindah ke dalam tubuh
manusia dan timbullah penyakit.
Flea atau biasa dikenal sebagai pinjal adalah arthropodan dengan kelas
insectayang termasuk jenis serangga ekto parasit. Flea hidup dengan
bergantung dengan tubuh inangnya, misalnya tubuh tikus, anjing, kucing,
kelinci, ungags atau ayam, kelelawar, dan hewan berkantung. Tubuh hewan
sehat dapat tertular apabila bermain dnegan hewan yang mungkin memmeliki
flea di tibuhnya. Flea akan menular pada tubuh hewan sehat dengan cara
melompat. Flea dapat berkembang biak dengan baik pada negara beriklim
tropis dan subtropis yang hangat.
Kutu busuk atau biasa disebut dengan kutu kasur adalah arthropoda
yang tergolong dalam ordo hemiptera. Kutu busuk sering ditemukan di celah
tempat tidur. Kutu busuk merupakan parasite yang sering menyerang manusia,
hewan peliharaan, ungas, dan kelelawar untuk menghisap darah. Kutu busuk
dapat merayap dan menyusup ke dalam celah yang sangat sempit karena
bentuk tubuhnya yang gepeng. Tusukkan bagian mulutnya sangat menyakitkan
dan menimbulkan rasa gatal disertai bentol-bentol yang cukup mengganggu.
Setelah mengisap darah biasanya kutu busuk ini akan bersembunyi di celah-
celah tersebut selama beberapa hari, kemudian bertelur.
21

Penyakit PES adalah salah sau permasalahan kesehatan yang dapat


ditimbukan oleh flea. Penyakit PES yang disebabkan oleh bakteri Yersinia
pestis, bakteri tersebut dibawa dan disebarkan oleh flea yang tinggal pada
hewan pengerat seperti tikus. Host akan tertular melalui gigitan flea yang
terinfeksi bakteri tersebut. Banyaknya tikus yang ditemukan dalam rumah-
rumah warga yang terinfeksi pinjal semakin meningkatkan penularan penyakit
PES dan penyakit lainnya seperti leptospirosis, dan penyakit riketsia di
masyarakat. Permasalahan yaang timbul akibat gigitan kutu busuk adalah
menyebabkan penurunan kadar Hb apabila gigitan kutu tersebut dalam
frekuensi yang lama, sehingga berpotensi untuk terkena anemia. Selain itu,
gigitan kutu busuk atau Cimex hemipterus juga dapat menyebabkan gangguan
kesehatan mental seperti cemas, insomnia hingga ketakutan.
Permasalahan kesehatan akibat kutu busuk dan flea bisa disebabkan
oleh lingkungan yang kurang bersih, terawat, maupun terjaga, sehingga kutu
busuk dan flea akan semakin berkembang biak. Oleh karena itu, diperlukan
adanya tindakan pencegahan untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang
timbul karena adanya kutu busuk dan flea. Pencegahan hadirnya tikus berpinjal
dapat diatasi dengan memasang perangkap tikus atau jaga kebersihan rumah
agar tidak menjadi habitat tikus berpinjal. Untuk mencegah hadirnya kutu
bususk selalu menjaga kebersihan dan sanitasi rumah, seperti mengganti sprei
kasur secara rutin dan berulang. Apabila ditemukan telur atau nimfa kutu busuk
di perabot rumah segera cuci perabot menggunakan air panas dengan suhu 60
derajat celcius dan sikat hingga bersih.

4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, kami berharap masyarakat dapat lebiih
memahami cara pengenddalian, pencegahan, ataupun lebih perhatian kepada
kebersihan lingkungan sehingga dapatt mengurangi resiko penyebaran penyakit
yang disebabkan oleh flea dan kutu busuk.
22

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. (n.d.). Fakta tentang kutu busuk (bed bugs), Cimex hemipterus
(Hemiptera:Cimicidae) dan cara pengendaliannya. 3.

Elsheikha, H., Wright, I., & Dryden, M. (2019). Top 100 questions and answers
about fleas and pets. CABI.
Harsoyo Sigit, S. (2006). HAMA PERMUKIMAN INDONESIA.
Hadi, U & Soviana, S. 2018. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Terbitan I Elektronik. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Handiny, F., Rahma, G., dan Rizyana, N. 2020. Buku Ajar Pengendalian Vektor.
Cetakan I. Malang: Ahli Media Press.

Jawetz Melnick dan Adelbergs. (2017). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:


Salemba Medika.

Khan, H. 2012. Morphology and Biology of The Bedbug, Cimex Hemipterus


(Hemiptera: Cimicidae) In the Laboratory. Journal Biolology. 21(2): 125-
130.

Marlina, L., Khairiyati, L., Waskito, A., & Rahmat, A. N. (2021).


PENGENDALIAN VEKTOR DAN BINATANG PENGGANGGU.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pengendalian Vektor, No.


374/MENKES/PER/III/2010. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Riyanto, S. (2019). The Existence of Fleas in Rodents at Plague Observation Area


in Nongkojajar Pasuruan District. JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN,
11(3), 234. https://doi.org/10.20473/jkl.v11i3.2019.234-241
Ronawati, D. A. et al. (2022) „Faktor Perilaku Yang Berhubungan Dengan
Keberadaan Cimex spp Di Desa Purbayasa, Purbalingga Tahun 2021‟,
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 7(1), pp. 375–381. doi:
10.14710/jekk.v7i1.13114.
Purnamasari, D. (2018). Kutu ektoparasit pada kerbau di wilayah kuningan jawa
barat.
23

Kusumasari, R. (2019). Gigitan atau Sengatan Serangga.


https://parasito.fkkmk.ugm.ac.id/gigitan-atau-sengatan-serangga/
24

Lampiran Notulensi

1. Hikmatul Laili Risqi (202110101023)_ Pada PPt disebutkan mengenai


masalah kutu busuk menyebabkan anemia dalam jangka panjang. Bagaimana
Maksud dalam jangka panjang tersebut? Apakah penyebabnya ?
Jawaban :
Maksud dari kalimat tesebut adalah apabila kutubususk menggigit tubuh
manusia dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia. Hal
tersebut disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang kuurang baik. Gigitan kutu
busuk dapat menembulkan gangguan pada tidur sesorang, yang membuat
kalitas tidur menurun, menimbulkan frustasi akibat gigitan kutu busuk yang
dapat mengakibatkan keleahan saat bangun nanti. Apa bila hal tersebut
berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi kadar Hb
dalam darah sehingga menimbulkan anemia.

Anda mungkin juga menyukai