Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KONSEP DASAR DAN PENGENDALIAN VEKTOR FLEA


(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengendalian Vektor
Rodent Kelas D)

Dosen Pengampu:
Ellyke, S.KM., M.KL

Disusun oleh
Kelompok 7:
Nadia Fransisca 182110101023
Ivan Rizalfiandrinata 182110101036
Luluk Darma Yanti 182110101041
Anisa Maulidatul Ifrohah 182110101060
Yunita Permata Sari 182110101098
Zulfa Mazida 182110101114
Ainaya Annisa Wicaksono 182110101132

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis mengucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mengenai “Konsep Dasar dan Pengendalian Vektor Flea”.
Makalah ini penulis susun dengan maksimal atas bantuan dari berbagai
pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Ellyke, S.KM., M.KL. selaku Dosen mata kuliah Pengendalian Vektor
dan Rodent Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember yang telah
memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis dalam menyusun
makalah ini.
2. Rekan-rekan kelompok yang telah bekerja sama demi terselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu, penulis menerima
segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami
bisa melakukan perbaikan sehingga menjadi makalah yang baik dan benar. Akhir
kata semoga makalah “Konsep Dasar Pengendalian Vektor Flea” ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
1.3 Tujuan Masalah .............................................................................................. 6
BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................... 7
2.1 Identifikasi Flea Secara Umum ....................................................................... 7
2.2 Identifikasi, Morfologi dan Siklus Hidup pada Jenis-Jenis Flea ....................... 9
2.2.1 Flea pada Kucing ..................................................................................... 9
2.2.2 Flea pada Tikus ......................................................................................12
2.2.3 Flea pada Anjing ....................................................................................15
2.3 Tempat Istirahat Flea (Breeding Flea) ........................................................... 18
2.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Flea ............................................................. 20
2.4.1 Penyakit Sampar/PES............................................................................. 21
2.4.2 Tifus Endemik .......................................................................................23
2.4.3 Leptospirosis ..........................................................................................23
2.6 Teknik Pengendalian Flea ............................................................................. 24
2.6.1 Pengendalian pada Hewan ......................................................................25
2.6.2 Pengendalian pada Manusia ...................................................................25
BAB 3. PENUTUP ........................................................................................... 28
3.1 Kesimpulan................................................................................................... 28
3.2 Saran ............................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 29

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Morfologi Pinjal Betina .......................................................................... 7

Gambar 2 Morfologi Pinjal Jantan ........................................................................... 7


Gambar 3 Siklus Hidup Flea pada Kucing ............................................................. 10
Gambar 4 Flea Pada Tikus ..................................................................................... 12
Gambar 5 Morfologi Flea Pada Tikus .................................................................... 13
Gambar 6 Flea pada Anjing ................................................................................... 16
Gambar 7 Daur Hidup Flea pada Anjing ................................................................ 17
Gambar 8 Tangan Orang Penyakit PES ................................................................. 21
Gambar 9 Penderita Pentakit PES .......................................................................... 21
Gambar 10 Penyakit Leptospirosis......................................................................... 23

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vektor adalah hewan golongan avertebrata (tidak bertulang belakang)
atau golongan serangga yang dapat membawa dan menularkan penyakit dari
host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang masih rentan. Vektor dapat di
bagi menjadi dua golongan yaitu vektor mekanik dan vektor biologi. Vektor
mekanik adalah hewan avertebrata yang menularkan penyakit tanpa adanya
perubahan pada agen, maka agen dapat berasal dari tinja atau urin dari
penderita lalu menempel pada tubuh vektor dan dapat menempel atau
dipindahkan ke makanan atau minuman pada waktur vetor tersebut hinggap
atau menyerap makanan dan minuman. Sedangkan vektor biologi dalam hal
penularan penyakit agen telah mengalami perkembangbiakan atau
pertumbuhan dari satu tahap ke tahap yang lebih lanjut.
Dalam menularkan dan menyebarkan penyakit vektor akan
menyebarkannya melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau dapat
juga secara tidak langsung terkontaminasi di dalam makanan. (Tri, 2008).
Salah satu yang menjadi vektor penyakit adalah flea (kutu loncat) flea (kutu
loncat) ini merupakan serangga ektoparasit yang hidup di luar tubuh
inangnya. Yang menjadi inang bagi flea adalah kucing, tikus, anjing, kelinci,
dan kelelawar. Sebagai serangga ektoparasit,.
Agar terhindar dari penyakit yang di tularkan oleh salah satu vektor
yaitu flea maka sebaiknya melakukan pengamaan keberadaan flea dengan
berbagai cara, salah satu cara yang sederhana adalah dengan cara berjalan
keliling rumah menggunakan kaos kaki jika pada rumah tersebut terdapat flea
maka flea akan menempel pada kaos kaki yang di gunakan, bisa juga dengan
cara menggunakan penyedot debu. Jika sudah mengetahui keberadaan flea
maka bisa dilakukan pemilihan cara pembasmian flea, bisa dengan cara
menggunakan bahan kimia maupun dengan cara lain yang tidak
menggunakan bahan kimia yaitu dengan cara pembersihan lingkungan rumah.

5
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana identifikasi flea secara umum?
2. Bagaimana identifikasi, morfologi dan siklus hidup dari setiap jenis flea?
3. Bagaimana tempat peristirahatan yang disukai oleh flea?
4. Apa saja gangguan penyakit yang ditimbulkan oleh flea?
5. Bagaimana upaya pengendalian pada flea?

1.3 Tujuan Masalah


Adapun tujuan penyusunan makalah yakni sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami identifikasi flea secara umum
2. Mengetahui dan memahami identifikasi, morfologi dan siklus hidup dari
setiap jenis flea
3. Mengetahui dan memahami tempat peristirahatan yang disukai oleh flea
4. Mengetahui dan memahami gangguan penyakit apa saja yang ditimbulkan
oleh flea
5. Mengetahui dan memahami upaya pengendalian pada flea.

6
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Identifikasi Flea Secara Umum

Gambar 2 Morfologi Pinjal Jantan Gambar 1 Morfologi Pinjal Betina

Sumber: https://slideplayer.info/slide/4870883/

Flea dalam bahasa indonesia berarti pinjal. Pinjal merupakan serangga


ektoparasit yang hidup diluar tubuh inangnya. Inang pinjal antara lain tikus,
kucing, anjing, kelinci dan kelelawar. Secara morfologi tubuh pinjal dewasa
berbentuk pipih bilateral sehingga dapat dilihat dari samping. Bentuk tubuh yang
unik ini sesuai dengan inangnya, hewan-hewan berbulu lembut menjadi inang
yang nyaman. Berdasarkan klasifikasinya pinjal masuk kedalam filum arthropoda,
kelas insecta dan ordo Siphonaptera. Terdapat beberapa genus pinjal yang penting
yaitu Tunga, Ctenocephalides, dan Xenopsylla berbentuk pipih lateral dibanding
dengan kutu manusia (Anoplura) yang berbentuk pipih, tetapi rata atau horizontal
khas, yakni berbentuk pipih horizontal, tidak bersayap, tanpa mata majemuk,
memiliki dua oseli, antena pendek tetapi kuat, alat-alat mulut dimodifikasi dalam
bentuk menusuk dan menghisap, bagian eksternal tubuh memiliki struktur seperti
sisir dan duri-duri, bersifat ektoparasit pada hewan hewan berdarah panas. Pinjal
termasuk ordo Sinophonaptera yang mulanya dikenal sebagai ordo Aphniptera.
Terdapat sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Sekarang ini
baru 200 spesies pinjal yang telah diidentifikasi. Pinjal mempunyai ukuran kecil,
larvanya berbentuk cacing (vermiform) sedangkan pupanya berbentuk kepompong
dan membungkus diri dengan seresah.

7
Pinjal mengalami metamorfosis sempuma. Perilaku pinjal secara umum
merupakan parasit temporal, yaitu berada dalam tubuh hospes saat membutuhkan
makan. Jangka hidup pinjal bervariasi pada spesies pinjal tergantung pada mereka
mendapatkan makanan atau tidak. Pinjal yang tidak mendapatkan makanan tidak
dapat hidup dalam lingkungan kering, tetapi pada lingkungan lembab terutama
apabila ada reruntuhan/tempat persembunyian maka pinjal dapat hidup selama
berbulan-bulan. Pinjal mempunyai peranan penting dalam penularan penyakit,
karena sebagai vektor berbagai penyakit pada hewan (zoonosis) maupun manusia.
Sebagai ektoparasit, pinjal sering memberikan gangguan karena gigitannya dapat
menyebabkan iritasi kulit. Beberapa spesies penting ialah Pulex iritans (pinjal
manusia), Xenopsylla cheopis (pinjal tikus asia), Ctenophalides canis (pinjal
anjing), dan Ctenophalides Felis (pinjal kucing) (Kesuma, 2007).
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna, yang didahului dengan telur, larva,
pupa, kemudian dewasa. Pinjal betina akan meninggalkan inangnya untuk
meletakan telurnya pada tempat-tempat yang dekat dengan inangnya, seperti
sarang tikus atau anjing, celah-celah lantai atau karpet, di antara debu dan kotoran
organik, atau kadang-kadang di antara bulu-bulu inangnya. Telurnya menetas
dalam waktu 2-24 hari tergantung kondisi lingkungannya. Larva pinjal sangat
aktif, makan berbagai jenis bahan organik disekitarnya termasuk feses inangnya.
Larvanya terdiri atas 3-4 instar (mengalami 2-3 kali pergantian kulit instar)
dengan waktu berkisar antara 10-21 hari. Larva instar terakhir bisa mencapai
panjang 4-10 mm, setelah itu berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon.
Kondisi pupa yang berada dalam kokon seperti itu merupakan upaya perlindungan
terhadap sekelilingnya. Tahap dewasa akan keluar 7-14 hari setelah terbentuknya
pupa. Lamanya siklus pinjal dari telur sampai dengan dewasa berkisar antara 2-3
minggu pada kondisi lingkungsn yang baik. Pinjal dewasa akan menghindari
cahaya, dan akan tinggal diantara rambut-rambut inang, pada pakaian atau tempat
tidur manusia. Baik pinjal betina maupun jantan keduanya menghisap darah
beberapa kali pada siang atau malam hari.

8
2.2 Identifikasi, Morfologi dan Siklus Hidup pada Jenis-Jenis Flea
2.2.1 Flea pada Kucing
a. Identifikasi
Kutu pada kucing berukuran sangat kecil (1-2 mm) sehingga
sulit untuk melihat dan menemukannya. Kutu ini berada di helai-
helai rambut kucing. Selain itu, kutu kucing ini senang meloncat-
loncat sehingga tak jarang oleh mayoritas masyarakat sering
disebut sebagai kutu loncat. Kutu ini sering juga menggigit dan
gigitannya luar biasa sakitnya.
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies: Ctenocephalides felis
b. Morfologi
Ukuran flea pada kucing sangat kecil yaitu 1-2 mm. Kutu ini
biasanya berwarna coklat tua dan hitam, tubuh pipih vertikal. Kutu
berumur rata-rata 6 minggu, namun ada beberapa jenis tertentu
yang dapat bertahan hidup hingga usia 1 tahun. Kutu betina dapat
menghasilkan telur hingga 20-28 butir tiap harinya. Selama
hidupnya,kutu betina bisa menghasilkan telur hingga 800 butir.
Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval, dan berwarna keputih-
putihan . Telur bisa saja jatuh dari tubuh kucing dan menetas
menjadi larva diretakan lantai atau celah kandang (Suwed,
Muhammad A. dan Rodame M. Napitupulu).
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing seperti
ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen , yang masing-
masng dilengkapi dengan beberapa bulu yang panjang. Larva
berwarna kuning krem dan sangat aktif serta menghindari cahaya.

9
Larva mempunyai alat mulut untuk menggigit dan mengunyah
makanan yang bisa berupa darah kering,feses, sisa protein organik
seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa.
Flea pada kucing ini tidak memiliki sayap, namun memiliki
kaki belakang yang kuat sehingga mampu melompat dan berlari
melewati rambut pada permukaan tubuh kucing. Flea ini juga
sering hidup pada bagian punggung kucing, yaitu daerah pangkal
ekor sampai leher. Selain bagian tersebut, flea ini sering ditemukan
pada bagian paha bagian dalam (Soeharsono, 2007).

c. Siklus hidup

Gambar 3 Siklus Hidup Flea pada Kucing


Sumber:
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/67320/1/B13jps_
IPH.pdf

Flea mengalami metamorfosis sempurna (holometabolous)


yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Pada kondisi ideal seluruh
tahapan siklus tersebut bisa dicapai dalam waktu dua sampai tiga
minggu. siklus dapat berkisar enam sampai 12 bulan. Panjang
waktu siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya
suhu dan kelembaban saat tahap larva dan pupa pinjal betina
bertelur tiga sampai 18 butir telur setiap harinya. Siklus hidup
beberapa jenis flea hampir sama.

10
1) Telur
Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval, dan berwarna
keputih-putihan. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang
kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva
akan muncul setelah dua sampai 6 hari (Bashofi, 2013).
2) Larva
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing seperti
ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen , yang
masing-masng dilengkapi dengan beberapa bulu yang panjang.
Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif serta menghindari
cahaya. Larva mempunyai alat mulut untuk menggigit dan
mengunyah makanan yang bisa berupa darah kering, feses, sisa
protein organik seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa.
Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan sehari-hari
inang definitifnya seperti sarang, tempat persembuyian di lantai,
reruntuhan gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah.
Larva akan mengalami dua sampai tiga kali pergantian kulit
menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari.
Larva dewasa panjangnya sekitar 6 mm.larva ini akan
menggulung atau mengkerut hingga berukuran sekitar 4x2 mm
dan berubah menjadi pupa (Sigit dan Hadi, 2006).
3) Pupa
Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan,
meskipun sedikit bergantung pada kelembaban yang tinggi
dibandingkan tahap sebelumnya. Stadium pupa berlangsung
dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa
berbulan-bulan padasuhu yangkurang optimal bagi pupa,dan
pada suhu rendah bisa menyebabkan imago / flea tetap
terbungkus di dalam kokon. Stadium pupa merupakan tahc_pan

11
yang tidak aktif/ makan: dan berada dalam kokon yang tertutupi
debris dan debu sekeliling. Stadium ini sensitif terhadap adanya
perubahan konsentrasi karbon dioksida di lingkungan sekitarnya,
juga terhadap getaran/ vibrasi. Adanya perubahan yang
signifikan terhadap kedua faktor ini, menyebabkan keluarnya
pinjal dewasa dari kepompong untuk segera mencari inangnya.
pada suhu 26,6 °C pinjal betina akan muncul dari kokon setelah
5-8 hari,sedangkan yang jantan setelah 7 - 10 hari (Sigit dan
Hadi, 2006).
4) Dewasa
Setelah muncul kutikula pada kokon, pinjal dewasa
biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan
suhu atau rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal
yang sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang
sebelum melakukan perkawinan.
2.2.2 Flea pada Tikus
a. Identifikasi
Selama hidup menempel pada rambut inang banyak ditemukan
menempel pada rambut punggung dan perut. Ciri-ciri kutu adalah
tubuh terbagi atas 3 bagian : kepala, dada (thoraks), dan perut
(abdomen), berukuran 0,5 mm – 1 mm, pipih dibagian perut (dorso
ventral), kepala lebih sempit daripada thoraks, tidak bersayap, di
ujung kaki-kakinya terdapat kuku besar untuk bergantung pada
rambut inang, pasif, berwarna putih dan banyak ditemukan
menempel pada rambut punggung dan perut.

Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Gambar 4 Flea Pada Tikus

12
Genus : Ctenocephalides
Spesies: Ctenocephalides niger

b. Morfologi

Gambar 5 Morfologi Flea Pada Tikus


1) Kepala; Memanjang ke depan membentuk segitiga
2) Antena; Terletak di sisi lateral, tegak dan tersusun atas 3-5
segmen
3) Mata; Mata sederhana berupa tonjolan ukular. Tidak berfungsi
baik.
4) Toraks; Toraks terbagi tiga segmen yang tidak jelas batasannya.
Terdapat tiga pasang kaki. Memiliki garis tebal di daerah
mesotoraks yang disebut satura mesopleura yang membagi
sternit menjadi 2 bagian
5) Alat mulut; Tipe mulut penusuk penghisap. Alat penusuknya
adalah stilet
6) Tubuh pinjal; Tubuh pinjal berbentuk pipih dorsoventral,
menempel erat pada rambut inang dan pasif
7) Kaki; Sangat kuat, menempel pada lempeng toraks. Menggegam
rambut. Kaki terdiri dari lempeng koksa yang lebar, trokanter
kecil, femur pendek, tibia pendek, tarsus panjang, kuku besar
dan melengkung
8) Abdomen; Terdiri atas 11 segmen. Organ genitalia terdapat pada
segmen ke 8-9, sedangkan yang jantan pada segmen ke 10.

13
c. Siklus Hidup
1) Telur
Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval, dan berwarna
keputih-putihan. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang
kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva
akan muncul setelah dua sampai 6 hari (Bashofi, 2013)
2) Larva
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing
seperti ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen ,
yang masing-masng dilengkapi dengan beberapa bulu yang
panjang. Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif serta
menghindari cahaya. Larva mempunyai alat mulut untuk
menggigit dan mengunyah makanan yang bisa berupa darah
kering,feses, sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan
kotoran pinjal dewasa. Larva hidup sesuai dengan tempat
peristirahatan sehari-hari inang definitifnya seperti sarang,
tempat persembuyian di lantai, reruntuhan gudang, padang-
padang rumput dan tempat sampah. Larva akan mengalami
dua sampai tiga kali pergantian kulit menjadi pupa yang
terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari. Larva dewasa
panjangnya sekitar 6 mm.larva ini akan menggulung atau
mengkerut hingga berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah
menjadi pupa (Sigit dan Hadi, 2006).
3) Pupa
Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan,
meskipun sedikit bergantung pada kelembaban yang tinggi
dibandingkan tahap sebelumnya. Stadium pupa berlangsung
dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa
berbulan-bulan padasuhu yangkurang optimal bagi pupa,dan
pada suhu rendah bisa menyebabkan imago / flea tetap
terbungkus di dalam kokon. Stadium pupa merupakan
tahc_pan yang tidak aktif/ makan: dan berada dalam kokon

14
yang tertutupi debris dan debu sekeliling. Stadium ini sensitif
terhadap adanya perubahan konsentrasi karbon dioksida di
lingkungan sekitarnya, juga terhadap getaran/ vibrasi. Adanya
perubahan yang signifikan terhadap kedua faktor ini,
menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong untuk
segera mencari inangnya. pada suhu 26,6 °C pinjal betina akan
muncul dari kokon setelah 5-8 hari, sedangkan yang jantan
setelah 7 - 10 hari (Sigit dan Hadi, 2006).
4) Dewasa
Setelah muncul kutikula pada kokon, pinjal dewasa
biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan
suhu atau rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal
yang sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang
sebelum melakukan perkawinan.
2.2.3 Flea pada Anjing
a. Identifikasi
Pinjal ini sangat mengganggu anjing karena dapat
menyebabkan Dipylidium caninum. Meskipun mereka memakan
darah anjing, kadang-kadang uga dapat menggigit manusia. Mereka
dapat bertahan hidup tanpa makanan . selama beberapa bulan,
tetapi spesies betina harus memakan darah sebelum menghasilkan
telur.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal,
berada dalam tubuh saat membutuhkan makanan, tidak permanen
seperti halnya kutu yang selalu menetap pada tubuh inang. Jangka
hidup pinjal bervariasi pada spesies pinjal, tergantung apakah
mereka makan a tau tidak, dan tergantung pada derajat kelembaban
lingkungan sekitarnya. Pinjal yang tidak makan tidak dapat hidup
lama di lingkungan kering, tetapi di lingkungan yang lembab, bila
terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian,
maka ia bisa hidup selama 1-4 bulan (Sigit dan Hadi, 2006).

15
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies: Ctenocephalides canis Gambar 6 Flea pada Anjing

b. Morfologi

Seperti jenis flea secara umum, flea anjing memiliki bentuk


tubuh pipih vertikal dan berwarna cokelat. Flea pada anjing ini
tidak memiliki sayap, namun memiliki kaki belakang yang kuat
sehingga mampu melompat dan berlari melewati rambut pada
permukaan tubuh anjing. Flea ini juga sering hidup pada bagian
punggung anjing, yaitu daerah pangkal ekor sampai leher. Selain
bagian tersebut, flea ini sering ditemukan pada bagian paha bagian
dalam. Bagian-bagian tubuh yang sering ditempati oleh flea anjing
tergolong sulit dijangkau oleh anjing, sehingga anjing cenderung
menggosok-gosokkan punggungnya pada lantai atau tanah dan
menyebabkan penularan flea anjing lebih meluas (Soeharsono,
2007).

16
c. Siklus Hidup

Gambar 7 Daur Hidup Flea pada Anjing


Sumber: http://infoobatkutuhewan.blogspot.com/2016/03/tanda-
anjing-terkena-kutu-dan-tips.html#.XKAIyPZuJYc

1) Telur
Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval, dan berwarna
keputih-putihan. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang
kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva
akan muncul setelah dua sampai 6 hari (Bashofi, 2013)
2) Larva
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing
seperti ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen , yang
masing-masng dilengkapi dengan beberapa bulu yang panjang.
Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif serta menghindari
cahaya. Larva mempunyai alat mulut untuk menggigit dan
mengunyah makanan yang bisa berupa darah kering, feses, sisa
protein organik seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa.
Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan sehari-hari
inang definitifnya seperti sarang, tempat persembuyian di lantai,
reruntuhan gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah.
Larva akan mengalami dua sampai tiga kali pergantian kulit
menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari.
Larva dewasa panjangnya

17
sekitar 6 mm.larva ini akan menggulung atau mengkerut hingga
berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa (Sigit dan
Hadi, 2006).
3) Pupa
Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan,
meskipun sedikit bergantung pada kelembaban yang tinggi
dibandingkan tahap sebelumnya. Stadiumpupa berlangsung
dalamwaktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa
berbulan-bulan padasuhu yangkurang optimal bagi pupa, dan
pada suhu rendah bisa menyebabkan imago / flea tetap
terbungkus di dalam kokon. Stadium pupa merupakan tahc_pan
yang tidak aktif/ makan: dan berada dalam kokon yang tertutupi
debris dan debu sekeliling. Stadium ini sensitif terhadap adanya
perubahan konsentrasi karbon dioksida di lingkungan sekitarnya,
juga terhadap getaran/ vibrasi. Adanya perubahan yang
signifikan terhadap kedua faktor ini, menyebabkan keluarnya
pinjal dewasa dari kepompong untuk segera mencari inangnya.
pada suhu 26,6 °C pinjal betina akan muncul dari kokon setelah
5-8 hari,sedangkan yang jantan setelah 7 - 10 hari (Sigit dan
Hadi, 2006).
4) Dewasa
Setelah muncul kutikula pada kokon, pinjal dewasa
biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan
suhu atau rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal
yang sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang
sebelum melakukan perkawinan.
2.3 Tempat Istirahat Flea (Breeding Flea)
Ketika hewan piara yang bersih dari pinjal dan tiba-tiba terdapat
pinjal, maka hewan tersebut mendapat dari pinjal hewan lain yang
berpindah atau kemungkinan lainnya. Pinjal betina biasanya bertelur di
tubuh inang kemudian telur tersebut akan jatuh. Telur yang menetas
tersebut menjadi larva pinjal. Larva pinjal sendiri mendapatkan makanan

18
dari sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa.
Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan sehari-hari inang
definitifnya, seperti: sarang, tempat persembuyian di lantai, reruntuhan
gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah. Lalu larva pinjal
menjadi pupa. Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan serta
sedikit bergantung pada kelembaban yang tinggi. Pinjal muda biasanya
terdapat pada karpet, celah dinding atau lantai dan barang barang ruah
tangga. Ketika pinjal muda mendapatkan induk semang untuk
mendapatkan makanan, biasanya akan tinggal dan menetap disana hingga
telur (jika betina) tersebut siap diletakkan pada tubuh inang. Pinjal yang
sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang sebelum melakukan
perkawinan Selain itu, tempat istirahat pinjal dewasa ialah saat pinjal muda
muncul kutikula pada kokon, pinjal dewasa biasanya tetap di dalam kokon
sampai mendapat rangsangan suhu atau rangsangan lain yang disebabkan
oleh inang.
Pinjal memiliki tubuh yang besar, sehingga tidak perlu
menggunakan kaca pembesar untuk melihatnya. Untuk hewan kucing dan
anjing, bagian tubuh yang disukai pinjal adalah daerah punggung mulai
dari pangkal ekor hingga tengkuk (Soeharsono, 2007).
Selain pada kucing dan anjing, pinjal juga tinggal di tubuh ayam
dan tikus. Pada pinjal dewasa hanya melekat pada hospes selama
menghisap darah, sedangkan larva tingga di dalam sangkar bertelur atau di
berbagai bagian kandang dan peralatan lainnya (Tabbu, 2002). Menurut
Sucipto (2011) pinjal merupakan parasite temporal, berada dalam tubuh
inang saat membutuhkan makanan, tidak permanen seperti halnya kutu
yang selalu melekat pada tubuh inang, sedangkan larva pinjal dapat
ditemukan di celah dan retakan lantai, dibawah karpet, dan tempat-tempat
serupa lainnya.
Jangka hidup pinjal bervariasi tergantung apakah mereka sudah
makan atau tidak, dan tergantung pada derajat kelembaban lingkungan
sekitarnya. Pinjal yang tidak makan mereka tidak dapat hidup lama di
lingkungan kering, tetapi di lingkungan yang lembab, bila terdapat

19
reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian, maka ia bisa hidup
selama 1-4 bulan (Sucipto, 2011).
2.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Flea
Flea dapat menggangu manusia dan juga hewan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung biasanya terjadi pada manusia
yang bermain dengan kucing atau anjing yang menjadi induk semang dari
flea tersebut, atau menempati rumah yang telah lama kosong dan tidak
terawatt yang dihuni oleh kucing atau anjing liar. Apabila flea tersebut
mengigit dan air liurnya masuk ke dalam kulit, maka akan menimbulkan
reaksi alergi berupa gatal atau disebut Flea Allergy Dermatitis. Reaksi ini
merupakan reaksi hiperkeratinasi kulit terhadap komponen antigenic yang
terdapat pada air liur flea. Reaksi alergi tersebut berbeda-beda, ada yang
terasa sangat gatal dan ada yang bersifat ringan. Dermatitis tersebut dapat
diperparah dengan infeksi sekunder sehingga dapat berlanjut dengan
alopecia difus (kegundulan) akibat dari penggarukan yang berlebihan
(Sucipto, 2011).
Gangguan yang ditimbulkan pada anjing maupun kucing tidak begitu
hebat apabila jumlah flea di tubuhnya tidak begitu banyak. Namun, jika
jumlah flea cukup banyak maka ia akan merasa gatal pada tubuhnya.
Selain itu, gangguan tidak langsung yang ditularkan oleh flea berupa
penyakit yang berbahaya yang menyerang manusida dan juga hewan.
Seperti penyakit klasik bullonic plaque atau yang biasa disebut pes yang
disebabkan oleh Pasteurella pestis, yang dimana ditularkan oleh vektor
Xenopsylla cheopsis.

20
2.4.1 Penyakit Sampar/PES

Gambar 8 Tangan Orang Penyakit PES


Gambar 9 Penderita Pentakit PES

Sumber:http://www.hellsangelssonomaco.com/healthy/benarkah-penyakit-
pes-disebabkan-oleh-kutu-yang-melekat-pada-hewan-peliharaan/
https://akurat.co/gayahidup/id-80777-read-wabah-pes-tewaskan-124-
orang-di-madagaskar
Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit
yang menyerang hewan rodensia tetapi dapat menular ke manusia melalui
gigitan pinjal. Masyarakat awam kurang menyadari bahwa penyakit ini
ada kemungkinan bisa diderita oleh manusia modern pada masa sekarang.
Anggapan semacam ini perlu diperbaharui, karena sejarah telah
membuktikan bahwa penyakit ini pernah menjadi wabah di berbagai
belahan dunia serta telah menelan banyak korban yang meninggal akibat
penyakit ini, dengan jumlah korban yang mencapai ribuan di setiap kasus
wabah.
Penyakit pes disebabkan oleh enterobakteria yang bernama Yersinia
pestis,dan nama ini diambil dari nama seorang ahli bakteri berkebangsaan
Prancis yaitu AJE Yersin. Bakteri ini disebarkan oleh sejenis hewan
pengerat dan dalam banyak permukiman di berbagai negara di seluruh
dunia. Tikus merupakan jenis hewan pengerat yang cukup akrab ditemui
sebagai penyebab penyakit pes.
Tikus terinfeksi Y. Pestis melalui gigitan pinjal. Y. Pestis
menggunakan tubuh pinjal sebagai hospes. World Health Organization
(WHO) melaporkan telah terjadi 119 kasus pes (31 Agustus 2014 –16

21
November 2014) di Madagaskar terjadi KLB pes dan 40 orang meninggal.
Dua kasus yang ditemukan di sebuah rumah sakit di Antananarivo
berpotensi menularkan pes pada populasi yang padat penduduk,sanitasi
buruk, pembuangan sampah yang tidak baik, kelemahan sistem kesehatan.
Di kota Antananarivo belum memiliki aturan yang ketatuntukpara turis
lokal/internasional yang datang dan pergi dari kota ini, sehingga
dikuatirkan akan menyebar ke berbagai wilayah dan mengakibatkan
pandemi.
Penyakit pes termasuk penyakit re-emerging diseases, yaitu penyakit
yang dapat sewaktu-waktu muncul kembali sehingga berpotensi untuk
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah Indonesia maupun
dunia menetapkan penyakit pes menjadi salah satu penyakit karantina
seperti yang tercantum dalam UU No.1 tahun 1962 tentang Karantina
Laut, UU No.2 yahun 1962 tentang Karantina Udara, dan tercatat dalam
Internasional Health Regulation. Penyakit Pes juga termasuk dalam
Public Health Emergency of International Concern(PHEIC) atau
Kedaruratan Kesehatan yang meresahkan dunia.Terdapat empat wilayah
provinsi di Indonesiayangmenjadi daerah pengawasan pes, yaitu di
Ciwidey Kabupaten Bandung(JawaBarat), Kecamatan Selo dan
Cepogo,Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), di Kecamatan Tutur, Tosari,
Puspo, dan Pasrepan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), dan Cangkringan
Kabupaten Sleman (Yogyakarta).
Yersinia pestis ditransmisikan melalui pinjal yang terinfeksi,
manusia yang terinfeksi mampumenularkan pes secara langsung ke
manusia yang lain. Penggunaan antibiotika untuk menangani Y. Pestis
masih dapat dilakukan. Y. Pestis masih suseptibelterhadap antibiotika,
walaupun masih diperlukan monitoring untuk mengetahui tingkat
resistensi terhadap antibiotika. Oleh karena itu penyakit pes dapat
kendalikan dengan melakukan pengendalian pada vektornya yaitu X.
Cheopis. (Sukendra, 2015)

22
2.4.2 Tifus Endemik
Penyakit tifus endemik (murine thypus) disebabkan oleh Rickettsia
prowuzeki var typhi. Organisme ini ditularkan dari tikus ke tikus yang
lain dan dari tikus ke manusia oleh pinjal Xenopsylla cheopsis dan
Nosopsyllus fasciatus (Chandra, 2006). Penularan pada manusia
biasanya terjadi melalui luka pada kulit yang tercemar kotoran pinjal
atau hancuran tubuh pinjal yang terhirup (Mulyono & dkk, 2014).
Gejala yang ditimbulkan yaitu demam dan nyeri otot, kadang disertai
ruam atau bintik kemerahan.
2.4.3 Leptospirosis

Gambar 10 Penyakit Leptospirosis


Gambar 2. 1 Penyakit Leptospirosis

Sumber: http://hobiberita.com/penyakit-leptospirosis-dan-cara-penularan-
pencegahan-serta-pengobatanya/
Penyakit leptospirosis ditularkan melalui urine tikus, dan biasanya
para petani yang bekerja disawah terkena penyakit ini. Urine tikus yang
mencemari air sawah dapat menularkan penyakit kepada petani lewat luka
atau goresan kulit. Namun tidak hanya melalui luka saja melainkan melalui
selaput lendir mata dan selaput lendir mulut. Gejala yang timbul berupa
demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mengigil, mata merah dan muntah.

23
2.4.4 Flea Allergy Dermatitis (FAD) atau penyakit kulit alergi pinjal.
Pinjal atau kutu loncat akan memasukkan ludah ke dalam kulit
hewan ketika sedang menggigit. Hewan yang tergigit akan membuat reaksi
alergi terhadap ludah/ saliva (FAD) sehingga menyebabkan rasa gatal yang
amat sangat, itu sebabnya hewan sering menggaruk atau menggigit-gigit di
daerah ekor, selangkangan, telinga, dan punggung. Benjolan juga akan
muncul di sekitar leher dan punggung hewan (Wahyuni, Makomulamin, &
Sari, Desember 2017).
2.4.5. Dipylidiasis oleh cacing pita (Dipylidium canium)
Pinjal juga berperan sebagai inang cacing pita pada anjing atau
kucing. Umunya telur cacing pita masuk pada pinjal saat dalam fase larva
yang mencari makan berupa bahan organik disekitar inang. Telur cacing
pita akan menetas dalam tubuh larva dan menetas dampai pinjal dewasa.
Apabila pinjal dewasa termakan oleh inang, maka cacing otomatis masuk
ke dalam pencernaan inang dan berkembang menjadi cacing dewasa.
Cacing dewasa akan bertelur dan telur itu akan keluar bersama kotorang
inang (anjing atau kucing). Hal ini merupakan salah satu pemicu kejadian
cacingan pada manusia yang biasanya terjadi pada anak-anak yang sering
bermain dengan kucing atau anjing yang tidak terjaga kebersihannya
(Wahyuni, Makomulamin, & Sari, Desember 2017).

2.6 Teknik Pengendalian Flea


Pengendalian vektor merupakan suatu tindakan atau kegiatan dengan
penggunaan cara yang baru diaplikasikan/diperkenalkan ataupun yang sudah
ada di suatu lingkungan, dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mempertahankan kepadatan populasi pinjal pada tingkat yang lebih rendah
daripada tingkat populasi pada saat kegiatan tersebut tidak dilakukan. Untuk itu
perlu diterapkan teknologi yang sesuai.
Cara pengendalian vektor penyakit dapat dilakukan dengan pengendalian
vector terpadu. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan
menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta

24
dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya (Permenkes 374/2010
tentang Pengendalian Vektor).
Banyak sekali cara atau teknik yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
flea baik pada hewan maupun manusia, diantaranya:
2.6.1 Pengendalian pada Hewan
Cara mengatasi gangguan yang ditimbulkan oleh flea pada anjing
maupun kucing yaitu dengan cara memandikannya menggunakan shampo
obat yang berfungsi untuk meredakan luka atau peradangan kulit akibat
terlalu menggosokkan badannya ke lantai karena gatal. Gunakan obat tetes
dan spray antikutu untuk membunuh flea dan telurnya serta menyuntikkan
Ivermectin untuk membasmi extoparasit seperti kutu, pinjal, caplak, dan
tungau dibawah pengawasan dokter hewan (Indonesia, 2014). Selain itu
apabila telah menimbulkan peradangan kulit bisa memberikan obat
antihistamin untuk meredakan alergi pada kulitnya dan rutin melakukan
medical check up ke dokter hewan untuk mendapatkan perawatan yang
baik dan benar.
2.6.2 Pengendalian pada Manusia
1. Pengendalian Secara Fisik dan Mekanis
a. Pengendalian pinjal secara mekanik dilakukan dengan cara
membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang
biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan
vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk
membersihkan telur, larva dan pupa pinjal yang ada
b. Tindakan fisik dilakukan dengan memberikan lampu pada kandang
hewan peliharaan, membiarkan cahaya masuk ke dalam rumah
karena beberapa pinjal ada yang menghindari cahaya (fototaksis
negatif)

2. Pengendalian Secara Biologis


a. Melakukan pengendalian pada rodensia inang untuk
mengendalikan Xenopsylla cheopis

25
Tetap menjaga populasi tikus supaya tidak mengalami
peledakan jumlah di daerah rural ataupun urban dengan cara
sanitasi lingkungan, mengolah sampah dengan baik, dan
memperbaiki sanitasi lingkungan yang rusak yang dapat
dijadikan sebagai sarang tikus. (Sukendra, 2015)
b. Tidak memelihara binatang seperti kucing atau anjing, apabila
memelihara maka harus senantiasa menjaga sanitasi
lingkungannya dengan baik
c. Memberikan obat anti kutu kepada hewan peliharaan
Pinjal pada hewan peliharaan yaitu Ctenocephalides felis dan
Ctenocephalides canis dapat diputus siklus hidupnya dengan
menggunakan bahan pengatur perkembangan serangga (Insect
Growth Regulator / IGR). IGR memiliki efek menghambat
kitin dan hormon juvenil (jouvenile hormone and chitin
inhibitor). IGR berfokus pada pengendalian pinjal pra dewasa,
baik pada inang maupun lingkungan. Bentuk-bentuk IGR
dapat berupa spray, shampoo collar bahkan dalam bentuk
tablet yang diminumkan pada hewan peliharaanPengendalian
biologi dapat dilakukan dengan mengendalikan

3. Pengendalian Secara Kimia


a. Metode dusting untuk mengendalikan Xenopsylla cheopis
Metode dusting dilakukan dengan melakukan penaburan
bubuk insektisida pada jalan tikus. Metode dusting memiliki
kelebihan yaitu mampu menurunkan populasi pinjal, sedangkan
kelemahan metode ini adalah ada pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh bubuk insektisida yang dipergunakan.
Pelaksanaan metode dusting adalah dengan cara bubuk
insektisida ditaburkan sepanjang tempat yang dilalui tikus, dan
sarang tikus (dalam dan luar rumah) dengan menggunakan alat
dusting. Ketebalan insektisida 1 cm dan lebar 15 cm. Setiap
rumah diberikan 2-4 kg insektisida. Setelah 5-7 hari serbuk
insektisida dibersihkan. Hasil penggunaan metode ini efektif

26
menurunkan indeks umum pinjal dalam waktu 15-19 minggu.
Penurunan indeks umum pinjal 54-87% terjadi ± 10 hari setelah
aplikasi
b. Metode fogging / aerosol
Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan
menggunakan insektisida berbentuk aerosol berbahan methalatiol
malation 2% atau fenklorfos 2% untuk fumigasi rumah yang
diindikasi terdapat pinjal.

27
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Flea (kutu loncat) ini merupakan serangga ektoparasit yang hidup di luar
tubuh inangnya. Flea menjadikan hewan sebagai inangnya karena sejatinya flea
adalah kutu yang terdapat pada hewan. Yang menjadi inang bagi flea adalah
kucing, tikus, anjing, kelinci, dan di berbagai hewan lainnya..
Karena flea diketahui sebagai serangga ektoparasit, ia akan memberikan
gangguan berupa gigitan yang akan mengakibatkan iritasi pada kulit karena
flea memperoleh makanannya dari darah hewan. Selain iritasi pada kulit, flea
juga dapat mengakibatkan penyakit pes (pes plague), murinae thypus,
tularemia, dan listeriosis. Penularan tersebut dapat terjadi karena gigitan yang
di lakukan flea terutama flea betina karena membutuhkan darah untuk
pengembangan telur. Maka dari itu perlunya pengendalian baik dari hewan,
pengendalian dari manusia, dan pengendalian dari lingkungan agar terbebasdari
penyakit yang diakibatkan oleh vektor flea.
3.2 Saran
Meningkatkan derajat kesehatan dan menjaga kebesian lingkungan sekitar
termasuk ketika kita memiliki hewan peliharaan, kitaharus turut serta menjaga
kebersihan hewan tersebut agar terhindar dari berbagai macam penyakit yang
mana salah satunya dapat disebabkan oleh vektor seperti flea.

28
DAFTAR PUSTAKA
Bashofi, A. (2013). Infeksi Pinjal dan Infeksi (Dipylidium caninum) pada Kucing
Liar di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bashofi, A., Soviana , S., & Ridwan, Y. (2016). Infestasi Pinjal dan Infeksi
Dipylidium Caninum Linnaeus pada Kucing Liar di Lingkungan Kampus
Institut Pertanian Bogor, Kecamatan Dramaga. Jurnal Entomologi
Indonesia Volume 12 No 2, 108.
Chandra, B. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kedokteran EGC.
Kesuma, A. P. (2007). Pinjal (Flea). Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit
Bersumber Binatang Banjarnegara Volume 4 No 1.
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/view/1237.
(diakses pada 10 April 2020).
Mulyono, & dkk. (2014). Studi Populasi Vektor Muryne Typhus (Xenopsyella
cheopsis) di Daerah Endemis Leptospirosis, Kota Semarang, Jawa Tengah.
https://www.researchgate.net/publication/308362847_STUDI_POPULASI
_VEKTOR_MURINE_TYPHUS_XENOPSYELLA_CHEOPIS_DI_DAE
RAH_ENDEMIS_LEPTOSPIROSIS_KOTA_SEMARANG_JAWA_TEN
GAH_Study_Population_of_Murine_Typhus_Vektor_Xenopsyella_cheopi
s_in_Leptospirosis_Endemic_ (diakses pada 9 April 2020).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374 tahun 2010
Tentang Pengendalian Vektor.
Sigit, & Hadi. (2006). Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Boilogi dan
Pengendalian. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Soerhasono. (2007). Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. https://books.google.co.id/books?
id=zNxQ4udDP8MC&printsec=frontcov
er&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false (diakses
10 Maret 2020).
Sucipto, C. d. (2011). Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

29
Sukendra, D. M. (2015). Resistensi Pinjal tikus (Xenopsylla cheopis) Terhadap
Insektisida dalam Penanggulangan Penyakit PES. Jurnal Spirakel Volume
7, hal 30-31.
Sukendra, D. M. (2015). RESISTENSI PINJAL TIKUS (XENOPSYLLA
CHEOPIS) TERHADAP INSEKTISIDA DALAM
PENANGGULANGAN PENYAKIT PES. SPIRAKEL, 7, 30-31.
Tabbu, C. R. (2002). Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. https://books.google.co.id/books?
id=9QnxNifPCQgC&pg=PR5&dq=Peny
akit+Ayam+dan+Penanggulangannya+Volume+2&hl=en&sa=X&ved=0a
hUKEwiblovnwLToAhW8lEsFHVqCDHUQ6AEIKDAA#v=onepage&q=
Penyakit%20Ayam%20dan%20Penanggulangannya%20Volume%202&f=
false (diakses pada 24 Maret 2020).
Wahyuni, D., Makomulamin, & Sari, N. (2017). Entomologi dan Pengendalian
Vektor. Ypgyakarta: Deepublish.
Wahyuni, D., Makomulamin, & Sari, N. P. (Desember 2017). Entomologi dan
Pengendalian Vektor. Yogyakarta: Deepublish.

30

Anda mungkin juga menyukai