Anda di halaman 1dari 15

1.

Gambarkan menggunakan bagan dan jelaskan bagaimana obat dari mulai


dirancang sampai dipasarkan!

- Discovery : suatu proses uji praklinik, yang mana uji praklinik dilakukan sekitar 2
– 5 tahun. Uji praklinik dilakukan di laboratorium pada hewan uji.
- Phase 1 : uji klinik yang dilakukan pada 20 – 80 orang sehat dan dilihat apa yang
terjadi pada orang sehat tersebut.
- Phase 2 : uji klinik yang dilakukan pada 100 – 300 pasien dan diamati efek terapi
hingga efek sampingnya.
- Phase 3 : uji klinik yang dilakukan pada 1000 – 5000 pasien dan dipantau reaksi
yang merugikan dalam jangka panjang.
- Phase 4 : Produk mulai dipasarkan, tetapi tetap diamati kondisinya dipasaran
2. Apa saja makromolekul dalam tubuh yang dapat menjadi sel target ?
Jawaban
Ada 7 makromolekul dalam tubuh yang dapat menjadi sel target, diantaranya:
a. Enzim
Enzim adalah senyawa yang mengkatalis senyawa kimia dalam tubuh material
yang digunakan untuk memulai katalisis enzim reaksi tersebut substrat.
b. Reseptor
c. Protein pembawa
d. Lipid
e. Karbohidrat
f. Struktur protein
g. Asam nukleat
3. Jelaskan yang anda ketahui tentang :
a. Aktif side
Wilayah enzim dimana molekul substrat mengikat dan mengalami reaksi
kimia aktif yang terdiri dari residu yang membentiuk ikatan sementara dengan
substrat dan residu yang mengkatalisis reaksi dari substrat (siklus katalitik)
b. Binding side
Wilayah pada protein atau potongan DNA atau RNA dimana ligan (molekul
dan / atau ion spesifik) dapat membentuk ikatan kimia. Suatu ekuilibrium ada
antara ligan yang tidak terikat dan ligan terikat.
c. Chemical messanger
Adalah senyawa yang berfungsi untuk mengirimkan pesan.
bisa merujuk pada:
1. Hormon, kurir kimia jarak jauh
2. Neurotransmitter, berkomunikasi dengan sel yang berdekatan
3. Neuropeptida, urutan protein yang bertindak sebagai hormon atau
neurotransmitter
4. Feromon, faktor kimia yang memicu respons sosial pada anggota spesies yang
sama
d. Agonis
Senyawa agonis adalah senyawa yang dapat menghasilkan respon biologis
terterntu serupa dengan senyawa agonis endogen.
e. Antagonis
Senyawa antagonis adalah senyawa yang dapat menetralisir atau
menghilangkan respon biologis senyawa agonis.Pada umumnya senyawa
antagonis mempunyai dasar struktur yang mirip dengan senyawa agonis.
f. Inhibitor kompetitif
Menghambat kerja enzim dengan menempati sisi aktif enzim. Inhibitor ini
besaing dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim. Pengambatan
bersifat reversibel (dapat kembali seperti semula) dan dapat dihilangkan dengan
menambah konsentrasi substrat.
Inhibitor kompetitif misalnya malonat dan oksalosuksinat, yang bersaing dengan
substrat untuk berikatan dengan enzim suksinat dehidrogenase, yaitu enzim yang
bekerja pada substrat oseli suksinat
g. Gugus farmakofor
Gugus farakofor adalah gugus atau bagian dari molekul obat yang dapat
memberikan aktifitas atau aksi farmakologi
h. Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di
antara neuron. Neurotransmiter terbungkus oleh vesikel sinapsis, sebelum
dilepaskan bertepatan dengan datangnya potensial aksi.
Beberapa neurotransmiter utama, antara lain:
Asam amino: asam glutamat, asam aspartat, serina, GABA, glisina
Monoamina: dopamin, adrenalin, noradrenalin, histamin, serotonin, melatonin
Bentuk lain: asetilkolin, adenosina, anandamida, dll.
i. Inhibitor non kompetitif
Inhibitor ini biasanya berupa senyawa kimia yang tidak mirip dengan substrat
dan berikatan pada sisi selain sisi aktif enzim. Ikatan ini menyebabkan perubahan
bentuk enzim sehingga sisi aktif enzim tidak sesuai lagi dengan substratnya.

Contohnya antibiotik penisilin menghambat kerja enzim penyusun dinding sel


bakteri. Inhibitor ini bersifat reversible tetapi tidak dapat dihilangkan dengan
menambahkan konsentrasi substrat.

gambar: (atas) Kerja enzim seperti gembok-anak kunci


dan (bawah) Inhibitor kompetitif dan non kompetitif (Campbell, 2006
4. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara enzim dan reseptor

Persamaan dan Perbedaan Enzim & Reseptor


Memiliki site yang dapat menghasilkan suatu reaksi
Terdapat aktif site yang memiliki sisi aktif untuk Terdapat binding site yang memliki sisi
menghasilkan suatu reaksi yaitu dapat berikatan ikatan untuk menghasikan suatu reaksi yaitu
dengan substrat dan menghasilkan suatu produk. dapat mengikat ligan dengan spesifitas
tinggi.
Memerlukan faktor yang dapat berikatan dengan site
Substrat Ligan
Merupakan protein
Semua enzim merupakan protein, baik protein Protein-protein regulator, perantara senyawa
tunggal maupun gabungan protein. Kimia endogen seperti:
1. Neurotransmitter yaitu Asetilkolin
(seluruh tubuh), Noradrenalin
( ystem saraf simpatik), Serotonin
( ystem saraf pusat) dan Dopamin
( ystem saraf pusat)
2. Attacked
3. Hormone
Teori Gembok-Kunci (Lock and Key)

Memliki daya hambat dalam suatu reaksi


Antagonis kompetitif :
1. Agonis dan antagonis
inhibitor kompetitif yang berstruktur sama dengan memperebutkan kedudukannya pada
substrat mengganggu sisi aktif. Inhibitor akan reseptor pada sisi ikatan yang sama
mencegah substrat untuk berikatan. dengan agonis,
inhibitor non-kompetitif yang ber-struktur sama 2. Sisi agonis dan antagonis pada
dengan kofaktor mengganggu sisi alosterik. reseptor berdekatan, ikatan
Inhibitor akan mencegah enzim untuk mengubah- antagonis pada sisi aktifnya
ubah bentuk sisi aktif (kaku). mengganggu secara fisik interaksi
Sisi alosterik yaitu sisi yang berikatan dengan agonis dengan sisi aktifnya,
kofaktor (aktivator) enzim. 3. Sisi agonis dan antagonis berbeda,
Kofaktor yaitu bagian enzim berupa senyawa non- namun ikatan antagonis pada sisi
protein. Kofaktor dapat mengubah-ubah bentuk sisi aktifnya mempengaruhi reseptor
aktif sehingga dapat ditempeli substrat tertentu. agonis sehingga memungkinkan
agonis dan antagonis tidak dapat
secara bersamaan berinteraksi
dengan reseptor. Bersifat reversible
dan irreversible.
Antagonis non-kompetitif
1. Agonis dan antagonis berikatan pada
waktu yang bersamaan pada daerah
selain reseptor
2. Sebagian proses antagonisme non-
kompetitif bersifat irreversible oleh
agonis, meskipun beberapa ada yang
bersifat reversible.
Contoh adalah aksi papaverin
terhadap histamin pada reseptor
histamin-1 otot polos trakea.
Berfungsi sebagai aktivator
Kofaktor adalah bagian enzim berupa senyawa non- Agonis yaitu suatu ligand yang bila
protein. Kofaktor dapat mengubah-ubah bentuk sisi berinteraksi dapat menghasilkan efek (efek
aktif sehingga dapat ditempeli substrat tertentu. maksimum).
1. Gugus prostetik (Ikatan Kovlen) Agonisme Langsung
adalah kofaktor berupa senyawa anorganik 1. Respon berasal dari interaksi agonis
(mineral) yang berikatan secara kovalen dengan reseptornya →menyebabkan
dengan enzim. perubahan konformasi reseptor
Contoh: Cl- dan Ca2+ pada enzim amilase, →reseptor aktif →menginisiasi
Fe pada hemoglobin, dan Mg pada klorofil. proses biokimiawi sel
2. Koenzim (Ikatan Non Kovlen 2. Interaksi bisa berupa stimulasi atau
Adalah kofaktor berupa senyawa organik penghambatan respon seluler
(vitamin) yang berikatan secara non- 3. Proses agonisme langsung
kovalen dengan enzim. merupakan hasil aktivasi reseptor
Contoh: koenzim NAD+. oleh obat yang mempunyai efikasi
(aktivitas intrinsik)
Contoh : aktivasi adrenalin thd
reseptor adrenergik →kontraksi
otot polos vaskuler
Agonisme tidak Langsung
1. Senyawa obat mempengaruhi
senyawa endogen dalam
menjalankan fungsinya
2. Melibatkan proses modulasi atau
potensiasi efek senyawa endogen
3. Umumnya bersifat Alosterik
Contoh :
Benzodiazepin dan barbiturat pada
reseptor GABAA
→memperkuat aksi GABA pada
reseptor tersebut

Memiliki satu inducefit → Lock and Key Memiliki 3 inducefit → Ligand gate ion
channel, -Protein dan Tyrosin kinase

5. Berikan sekurang nya 10 contoh natural chemical messanger serta targetnya.


a. Insulin : berikatan dengan reseptor insulin (glikoprotein) yang spesifik
pada permukaan sel sasaran di otot lurik dan jaringan adiposa.  pengaturan
kadar glukosa di dalam darah.
b. Asetilkolin : kanal Ca2+ membuka presinaptik --> Ca2+ memobilisasi Asetilkolin
untuk lepas dari presinaptik --> berikatan dengan reseptor nikotinik --> Kanal Na
membuka --> depolarisasi parsial --> membuka kanal Na yang lain --> depolarisasi
berlanjut --> membuka kanal Ca2+ di RE/RS --> Ca2+ masuk ke sitoplasma -->
kontraksi Pengaturan atensi, memori, rasa haus, pengaturan mood, tidur
REM, memfasilitasi perilaku sexual dan tonus otot.
c. GABA : lepas dari ujung saraf dan berikatan dengan reseptor GABAA/
GABAA --> membuka kanal Cl --> Cl masuk --> hiperpolarisasi --> penghambatan
transmisi saraf --> depresi CNS berperanan penting dalam gejala-gejala pada
gangguan jiwa.
d. Tiroid : berdifusi lewat membran plasma dan berikatan dengan reseptor
spesifiknya (hTR-α1 dan 2 serta hTR -β1) di nukleus sel sasaran  peningkatan
denyut jantung, curah jantung dan laju ventilasi.
e. Adrenalin : Aktivasi adrenalin terhadap reseptor adrenergik  kontraksi otot
polos vaskuler.
f. Noradrenalin : mengikat dan mengaktifkan reseptor noradrenergik yang terletak
pada permukaan sel  pengaturan seluruh aktivitas dan perasaan, seperti peningkatan
kewaspadaan.
g. Prostagladin :
 Prostagladin E Pada sel otot polos di dinding pembuluh darah yang
mengaliri paru-paru berikatan dengan reseptor PGE 1,2 3, dan F  relaksasi
otot, memperlebar pembuluh darah dan mendorong pengikatan oksigen oleh
darah
 Prostagladin F Pada sel otot polos di dinding pembuluh darah yang mengaliri
paru-paru berikatan dengan reseptor prostaglandin 2α (PGF 2α )  kontraksi
otot, mempersempit pembuluh darah da nmengurangi aliran darah ke paru-
paruoleh darah.
h. Dopamin : Aktivasi Dopamin terhadap reseptor dopamin D1, D2, D3, D4,
dan D5  transmisi impuls saraf yang berperan dalam mengendalikan beberapa
gerakan tubuh, respon emosional dan kemampuan untuk merasakan kesenangan serta
rasa sakit.
i. Aktivasi Glisin terhadap reseptor glisin  korida memasuki neuron melalui
reseptor inotropik menyebabkan terjadinya potensial inhibisi post sinaps pada sistem
saraf pusat, terutama pada medula spinalis, brainstem, dan retina.
j. Aspartat (basa konjugasi dari asam aspartat) : neurotransmiter yang bersifat eksitasi
terhadap sistem saraf pusat dengan merangsang reseptor NMDA (N-metil-D-
Aspartat)  pembangkit neurotransmisi di otak dan saraf otot.

6. Jelaskan mengapa aspek absorpsi harus menjadi pertimbangan pada drug design
karena obat dapat memberikan efek farmakologi harus melalui tahap- tahapannya,
dimulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan eskresi, jika obat tidak diperhatikan
bentuknya agar mudah diabsorpsi oleh tubuh maka obat itu tidak berguna sama sekali,
berbeda dengan obat Intra vena
7. Pada distribusi
Karena untuk mengetahui apakah obat yang akan dibuat mampu untuk berdistribusi
atau tidak. Obat berdistribusi ke seluruh tubuh sangat penting untuk mencapai efek
farmakologis yang diinginkan.

Distribusi ↔ jaringan pengikat merupakan salah satu dari fase farmakokinetik


dimana proses suatu obat yang secara reversibel meninggalkan aliran darah dan
masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan atau ke sel-sel jaringan. Distribusi obat
terjadi setelah mencapai sirkulasi dimana obat terikat pada protein plasma dengan
tingkat yang berbeda-beda dan transportasi didalam darah. Setelah obat masuk ke
dalam sirkulasi darah, obat tersebut akan dibawa ke seluruh tubuh oleh aliran darah
dan jaringan-jaringan tubuh dimana distribusi terjadi. Setelah masuk ke sistem
peredaran darah hanya sebagian kecil obat yang tetap utuh dan mencapai drug target
(reseptor) pada jaringan, sebagian besar obat berubah atau berikatan pada biopolymer.
Distribusi obat : darah → dari plasma, obat melintasi membran kapiler untuk
datang keruang interstitial. Dan kemudian harus menyebrangi sel membran untuk
masuk ke dalam cairan intraseluler → intraseluler.
Faktor yang mempengaruhi tingkat distribusi:
1. Tingkat tergantung pada
a. Aliran darah
b. Ukuran molekul
c. Kelarutan lemak
d. pH, pKa
e. pengikat protein plasma
f. jaringan pengikat
Faktor yang mempengaruhi laju distribusi :
a. permeabilitas membran ditentukan oleh
- Struktur kapiler (sawar darah otak, sawar uri)
- Struktur obat
b. laju perfusi darah
Distribusi obat berdasarkan penyebarannya didalam tubuh ada 2 fase:
1. ke organ yg perfusinya sangat baik (jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan otak)
2. mencakup jaringan yg perfusinya tidak sebaik organ diatas (jaringan lemak,
tulang, otot, kulit, dan jaringan ikat)
c. volume distribusi (Vd)
untuk membandingkan distribusi dari suatu obat dengan volume kompartemen
cairan didalam tubuh. Berikut kompartemen cairan tubuh :
- Plasma 0.0045 I/kg (45% of BW)
- Cairan ekstraseluler 0.20 I/kg (20% of BW)
- Total cairan tubuh 0.60 I/kg (60% of BW)
Sebagian besar obat terdistribusi kedalam beberapa kompartemen, sering
berikatan dengan komponen-komponen misalnya lipid, protein, dll.
Satu parameter yang penting adalah mengenai volume distribusi (Vd). Volume
distribusi adalah suatu volume yang mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan
tertentu di dalam tubuh (volume hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh).
Volume distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat
(C) dalam darah atau plasma.
Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi mempunyai
konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular daripada obat-obat
yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni obat-obat tersebut tidak
didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat yang dapat bertahan secara
keseluruhan di dalam bagian vaskular yang terpisah, pada dasarnya mempunyai
kemungkinan minimum Vd yang sama dengan komponen darah di mana komponen-
komponen tersebut didistribusi.
Pengikatan obat mengikuti administrasi → penyerapan
a. Interstisial & interselular
b. Tingkat pengiriman dan distribusi:
- Curah jantung
- Aliran darah
-.Volume jaringan
c. Tahap I
- Hati, ginjal, otak paling banyak (disempurnakan dengan baik)
- Otot, jeroan, lemak → Lebih lambat
d. Tahap II
- Menit → jam sebelum jaringan di ekuilibrium dengan darah
- Ditentukan oleh partisi (lebih banyak massa pada Tahap II)
- Faktor : kelarutan lemak, mengikat protein plasma
e. Protein plasma (darah larut dalam air)
- Dalam aliran darah; obat → protein (albumin)
- Afinitas ~ Availabilitas → Tingkat pengiriman
f. Jaringan
- Seperti 1000 kali
- Afinitas ~ tipe reseptor
g. Redistribusi
- Terminasi → metabolisme & ekskresi
- Contoh : anestetik larut dalam lemak
Aliran darah tinggi ke otak → konsentrasi otak tinggi CEPAT.
h. SSP & CSF
- Tergantung pada kemampuan untuk melintasi persimpangan yang ketat
(BBB)
- Membutuhkan I.T injeksi yang banyak
i. Transfer Plasenta
- Faktor : Kelarutan lipid, ikatan plasma, derajat ionisasi.
Contoh kasus
Misalnya: jika dalam suatu unit darurat dihadapi seorang penderita status
asmatikus berat, di mana sebagai tindak lanjut diagnosis dan evaluasi klinik
diputuskan untuk memberikan terapi teofilina per infus. Dengan melihat beratnya
serangan asma yang diderita, klinikus menginginkan kadar teofilina dalam keadaan
tunak (steady state = Css) sebesar 12 ug/ml. Untuk menentukan berapa kecepatan
infus yang perlu diberikan, dan berapa besarnya bolus yang diberikan bisa
diperhitungkan dari perhitungan-perhitungan farmakokinetika yaitu :
- Kecepatan infus = Cl x Css (rumus 1)
- Cl adalah klirens tubuh total, yakni menggambarkan kemampuan individu untuk
mengeliminasi obat yang ditunjukkan dengan besarnya volume darah yang dibersihkan
dari obat per unit waktu.
- Karena, Cl = Vd x K el (rumus 2) Maka, Kecepatan infus = V d x K el x Css (rumus 3)
- Ket: Vd  = volume distribusi yang merupakan volume hipotetis penyebaran obat dalam
cairan  tubuh
- K el = tetapan kecepatan eliminasi obat per unit waktu
- Persamaan (3) juga bisa ditulis seperti berikut,
- Kecepatan infus = Vd x (0,693/t1/2) x Css (rumus 4)
- Ket: t1/2 adalah waktu paruh obat yang menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk
mengubah jumlah obat di dalam tubuh menjadi separuh dari jumlah sebelumnya.
- Karena jika infus diberikan dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan tadi, kadar obat
dalam keadaan tunak (steady state) baru akan tercapai 4 x, maka untuk kasus-kasus berat
seperti di atas perlu diberikan suatu dosis pengisi (loading) agar tercapai Css dalam
waktu cepat
- Besarnya dosis pengisi dapat diperhitungkan,
- Dosis pengisi (loading dose) = kecepatan infus /  K el (rumus 5)
- Atau  = Vd x Css (rumus 6)
Pada contoh di atas, kadar terapeutik bisa dicapai dengan memperhitungkan
kecepatan infus jika bisa diketahui nilai volume distribusi (Vd) maupun waktu paroh
(t1/2) dan bioavailabilitas. Dari contoh tersebut, kita dapat menentukan aturan dosis dan
pemberiannya setelah parameter-parameter kinetika yang diperlukan bisa diketemukan.
Namun yang menjadi persoalan adalah perlu atau tidaknya menentukan parameter
kinetika terlebih dahulu sebelum menentukan aturan dosis dan pemberiannya pada setiap
penderita.   Dalam buku-buku standar farmakologi klinik atau farmakokinetika,
sebenarnya data mengenai parameter-parameter farmakokinetika dari berbagai obat bisa
dicari dan dijadikan pedoman untuk memperkirakan nilai parameter kinetika yang
diperlukan (approximate value). Namun demikian perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:
a. Sebagian besar (hampir semua) data kinetika obat didapatkan pada orang-
orang Barat (ras Kaukasoid), dan makin banyak diketahui adanya variasi antar
etnik yang cukup bermakna untuk beberapa obat.
b. Keaneka-ragaman antar individu dalam satu populasi dari satu kelompok etnik
untuk berbagai obat sering terlalu besar untuk bisa diambil suatu nilai
perkiraan rata-rata yang dapat diterapkan pada setiap individu.
8. Pada metabolisme
Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga
sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya
ditujukan untuk perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh
tubuh terhadap senyawa endogen, sedangkan biotransformasi peristiwa yang sama
bagi senyawa eksogen (xenobiotika).
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara
biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup. Produk dari
perubahan kimiawi semacam itu disebut "metabolit". Dalam prakteknya, semua
xenobiotik mengalami transformasi pada organisme hidup. Secara umum,
biotransformasi mengubah xenobiotik lipofilik menjadi senyawa polar, dan
memudahkannya untuk diekskresi melalui urin. Organ utama metabolisme meliputi
hati, ginjal dan saluran pencernaan, namun obat dapat dimetabolisme di tempat lain,
termasuk paru-paru dan plasma.
Implikasi untuk metabolisme obat meliputi interaksi obat, karsinogenesis,
toksisitas (bioaktivasi), penghambatan substrat, induksi enzim, serta penghentian aksi
obat. Metabolisme bisa mengubah agen tidak aktif (prodrug) menjadi agen aktif yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan efek terapeutik. Banyak contoh obat yang
setelah mengalami proses metabolisme di tubuh menghasilkan metabolit aktif.
Penemuan bahwa efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya,
mempunyai peran penting dalam penggunaan metabolit itu sendiri sebagai obat, oleh
karena :
a. Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih rendah
dibanding pro-drug.
b. Secara umum metabolit mengurangi variasi respons klinik dalam populasi yang
disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu atau
oleh adanya penyakit tertentu.
Di sisi lain, metabolisme dapat menyebabkan ‘efek tertunda’ setelah memulai
perawatan reguler dari obat tertentu sebagai hasil dari akumulasi metabolit berumur
panjang, yang pada saat bersamaan merupakan penyebab utama overdosis dan
kemunculan reaksi sekunder atau bahkan merugikan.
Pertimbangan faktor farmakokinetik dan metabolik menunjukkan bahwa, pada
prinsipnya:
a. modifikasi sintetis rasional dapat dilakukan pada kandidat obat untuk memastikan
penyerapan, distribusi dan clearence yang menguntungkan; (b) kelompok fungsional
yang sesuai, atau bagian lain seperti kelompok pembawa yang mengalami
metabolisme yang dapat diprediksi dapat dihubungkan ke farmakofor untuk
mengarahkan rute pengaktifan atau penonaktifan spesifik sesuai kebutuhan. Prinsip
panduan ini harus mengarah pada pengembangan obat dengan indeks terapeutik yang
tinggi.

Modifikasi obat dengan pertimbangan metabolisme


1. Modifikasi untuk memperpendek masa kerja obat
Pemasukan ke molekul obat gugus-gugus yang mudah diserang (gugus vulnerable)
oleh proses metabolisme dalam tubuh, akan memberikan masa kerja yang lebih singkat
dibanding senyawa induk. Diperkirakan hasil modifikasi tersebut tidak mengubah
aktivitas, penyerapan, dan distribusi senyawa induk. Sangat sedikit contoh-contoh yang
diketahui bahwa lebih diinginkan turunan dengan efek terapetik yang lebih singkat
dibanding senyawa induk, kecuali untuk obat-obat yang digunakan untuk operasi
pembedahan.
Bila diperlukan anestesi dengan masa kerja singkat, suatu bahan dipolarisasi dengan
masa kerja yang panjang seperti dekametonium, menyebabkan rasa nyeri yang tidak
menyenangkan, setelah pasien sadar. Dalam keadaan ini lebih baik digunakan relaksan
otot yang mempunyai masa kerja singkat, seperti suksametonium klorida.
Suksametonium mengandung dua gugus ester vulnerable diantara dua atom N-kationik,
sehingga senyawa mudah dimetabolisis. Hidrolisis suksametonium klorida oleh enzim
esterase plasma akan menghasilkan senyawa inert, asam suksinat dan kolin, sehingga
masa kerja obat menjadi lebih singkat.

2. Modifikasi untuk memperpanjang masa kerja obat


Suatu senyawa induk mungkin diubah menjadi obat dengan masa kerja yang lebih
panjang melalui beberapa cara. Gugus-gugus pada senyawa induk yang mudah
dimetabolisis (gugus vulnerable) akan memberikan masa kerja yang lebih panjang
bila:
a. Dilindungi dari serangan metabolik, yaitu dengan menempatkan gugus tertutup lain
di dekatnya sehingga efek halangan ruang menjadi lebih besar
b. Diganti dengan gugus-gugus yang lebih sulit dimetabolisis
c. Meningkatkan efek halangan ruang pada gugus vulnerable.
Gugus-gugus vulnerable pada senyawa induk obat dapat diberikan efek halangan
ruang terhadap proses metabolic, dengan cara memasukkan gugus alkil di
sekitarnya. Keberhasilan metode ini terlihat pada kenaikan waktu paro biologis dari
seri alcohol.
Jalur metabolisme obat
Telah disampaikan bahwa tempat metabolisme obat terutama pada hati. Enzim
yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondrial atau
mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim metabolisme
diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme dalam
epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi
sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama (first-pass effect)  yang
mengakibatkan penurunan bioavailabilitas.

Reaksi metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :


1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik)
2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik)

Metabolisme obat fase I


Reaksi metabolisme obat ini disebut juga fase non sintetik atau reaksi
fungsional. Reaksi metabolisme obat ini bukan reaksi sintesis atau pembentukan suatu
senyawa yang baru tetapi menciptakan gugus fungsional reaktif bagi senyawa
tersebut. Enzim reaksi metabolisme obat fase I biasanya terdapat pada mikrosomal
(retikulum endoplasma). Makna dari reaksi metabolisme fase I ini adalah
meningkatkan efek atau potensi bagi suatu senyawa dan memudahkan suatu senyawa
untuk bereaksi dengan enzim-enzim metabolisme obat fase II. Contoh metabolisme
obat fase I adalah reaksi oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450, oksidasi, reduksi,
hidrolisis dan dehalogenasi.
Metabolisme obat fase II
Reaksi metabolisme obat fase II disebut juga fase sintetik atau reaksi
konjugasi. Reaksi metabolisme obat fase II ini merupakan jalur detoksifikasi. Pada
reaksi ini menciptakan suatu senyawa yang baru dan biasanya metabolitnya berupa
senyawa tidak aktif yang mudah dieksresikan. Makna dari reaksi metabolisme fase II
adalah metabolit yang terbentuk umumnya bersifat polar atau mudah terionisasi pada
pH fisiologi sehingga lebih mudah diekskresikan dan mengubah molekui obat yang
aktif menjadi metabolit yang relatif kurang aktif. Contoh metabolisme obat fase II
adalah reaksi konjugasi sulfat, konjugasi glukuronat dan konjugasi merkapturat.

9. Pada ekskresi
Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat telah dimetabolisis menjadi
senyawa yang lebih polar, dapat diekresikan dari hati, melewati empedu, menuju
keusus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk
terkonjugasi dengan asam glukoronat, asam sulfat atau glisin. Diusus bentuk konjugat
tersebut secara langsung diekresikan melalui tinja ataupun mengalami proses
hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang besifat nonpolar,
sehingga di absorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati dan dimetabolisme dan
di keluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya hingga
dinamakan siklus entherohepatik. Dimana siklus ini mempunyai masa kerja obat
menjadi lebih panjang.
Contohnya adalah ampicilin diekresi kedalam empedu, dan dimanfaatkan dengan
memberika ampicillin untuk infeksi dari saluran empedu. Beberapa obat dikethui
mengalami siklus ini adalah dioksin, rifamfisin, stilboestrol, glutethimide,
klorampenikol, indometacin dan morfin (Zaman, 2002).
Contoh mekanismenya : antara probenesid dengan penisillin. Dimana probenesid
adalah obat asam urat yang merebut medium transport dari penisilin, sehingga
menyebabkan ekskresi penisliin terhambat. Penisilin tertahan lama dalam ginjal.
Sehingga menyebabkan efek penisilin lebih panjang.

10. Jelaskan tujuan dari metabolisme obat


Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekasresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian diubah menjadi
lebih aktif, kurang aktif atau menjadi toksik (Syarif, amir, dkk. 1995)

11. Berikan minimal 10 contoh senyawa obat dan makromolekul targetnya


a. Suramin : protein plasma
b. Kuinakrin : asam nukleat
c. Epinefrin : adenil siklase
d. Asetosal : postaglandin sintetase
e. Streptomicin : ribosom 30 s
f. Kloramfenikol : ribosom 50 s
g. Benzodiazepin : neurotransmiter
h. Norepinefrin : neurootransmiter
i. Linkomisin : kaolin pektin
j. Aldosteron : mineralkotikoid

Anda mungkin juga menyukai