Anda di halaman 1dari 19

TES WARNA

TRI HITA KARANA

Disampaikan oleh : Putu Desy Widia Dariyanti


Naskah Dharma Wacana RSPD, Sabtu 27 Mei 2017

OM SWASTYASTU

Selamat Pagi para pendengar dan umat sedharma yang berbahagia..., selamat berjumpa
lagi dalam Renungan Pagi Agama Hindu. Dalam kesempatan yang berbahagia ini ijinkanlah
Saya Putu Desy Widia Dariyanti mengisi ruang dan waktu para pendengar dan umat sedharma
dalam mengawali segala aktifitas anda hari ini. Dan Pada kesempatan yang baik ini, Rasa
bahagia tak terlukiskan menyelimuti hati saya manakala saya, diperkenankan untuk
menyampaikan pesan dharma sebagai wujud persembahan saya kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Sebagaimana anjuran yang tersirat didalam kitab suci Bhagawadgita, bahwa apapun yang
kita kerjakan jadikanlah sebagai persembahan kita kepada beliau. Untuk itu di hari yang baik ini
ijinkanlah saya membawakan pesan dharma dengan tema “Himsa Karma ” Namun sebelumnya
marilah kita awali dengan doa,

OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHHAM


OM SIDHIRASTU TAD ASTU SWAHA,

Om Hyang widhi, Smoga atas perkenanan-Mu,


tiada halangan bagi hambamu atas pekerjaan yang hambamu lakukan hari ini,
dan semuanya boleh dapat berjalan dengan baik

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya kasihi dimanapun berada ...

Banyak hal yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang ini sebagai akibat dari sadar
dan tidak sadar merupakan prilaku yang salah dari pribadi kita sendiri. Apa yang kita lakukan
terlihat sepele namun secara tidak langsung sudah berdampak besar bahkan dapat mengikis
secara perlahan hubungan keharmonisan di antara kita. Hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan lingkungan tempat ia
tinggal.

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya Terkasih ...

Ketiga hubungan tersebut dalam ajaraan agama kita disebut dengan Tri Hita Karana

 Apa itu TRI HITA KARANA?


 Bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari?

Nah... pada kesempatan ini saya akan berusaha memberikan jawaban secara khusus mengenai
pertanyaan-pertanyaan tadi.

Tri yang artinya tiga, hita yang artinya kesejahteraan/kebahagiaan dalam


keharmonisan sedangkan karana yang berarti jalan atau penyebab. Jadi, secara etimologis tri hita
karana berarti tiga cara atau jalan penyebab kebahagian atau kesejahteraan dalam keharmonissan.
Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya kasihi ...

Katiga bagian dari tri hita karana akan diuraikan sebagai berikut:

1. Prahyangan
Prahyangan berasal dari kata hyang yang berarti sembah. Dalam arti luas prahyangan
merupakan segala sesuatu yang menyangkut hubungan keharmonisan antara manusia
dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa.
Nah.... dari pengertian diatas saya ingin bertanya! Apakah hubungan kita saat ini
dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa sudah dapat dikatakan harmonis? Dan apakah kita
sudah melaksanakan kewajiban kita sebagai umat yang memiliki sradha dan bakti di
hadapan Ida Shang Hyang idhi Wasa? Siapa pun di dunia ini tidak ada yang bisa
menjawabnya, kecuali diri kita sendiri. Mari kita lihat dari hal yang paling sederhana.
Sudahkah kita melakukan puja trisandia 3 kali dalam sehari? Ingat umat sedarma
ketulusan, kemurnian, kesucian, dan keiklasan hadir dalam hubungan yang harmonis.
Sesibuk-sibuknya, sepadat-padatnya semua aktifitas dan rutinitas yang kita lakukan setiap
harinya, minimal satu kali dalam sehari kita melakukan puja trisandya itu sudah lebih dari
cukup dibandingkan tidak sama sekali. Buat apa mengejar-ngejar harta duniawi jika kita
tidak mampu meluangkan waktu 5 menit saja untuk sekedar mengucapkan rasa syukur
atas apa yang kita miliki di hadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Seperti yang
dikatakan dalam Bhagawan Gita
Satatam kirtayotam mam
Yatantas ca drasha wrtatah
Namasyantas ca mam bhatya
Ni tyayuktah upsate

Yang artinya:

Berbuatlah selalu hanya untuk memuji ku, dan lakukanlah tugas pengabdian itu
dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memuja ku dengan tiada henti-hentinya,
itu serta dengan kebaktian yang kekal adalah dekat dengan ku.

Nah .... dari Bhagawan Gita tadi, sangat jelas dikatakan bahwa barang siapa yang
mampu menjaga keharmonisan hunbungan antara dirinya dengan Ida Shang Hyang Widhi
Wasa maka ialah yang berhak dekat dengan Nya. Yakinlah..... keharmonisan akan hadir
jika kita berhasil meakukan hal sederhana tadi. Ingat umat sedharma semua yang kita dapat
baik gelar, jabatan, maupun prestasi dan lain sebagainya. Semua itu akan hampa adanya
tanpa Ida Shang Hyang Widhi Wasa.

2. Pawongan
Pawongan berarti segala sesuatu yang menyangkut keharmonisan hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
Para Pendengar dan Umat sedharma yang Berbahagia ...

Sebagai umat hindu, kita tidak hanya berkewajiban untuk menyelaraskan hubungan
antara manusia dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa saja namun kita juga memiliki tugas
untuk menjaga hubungan keharmonisan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya. Agar keharmonisan hubungan itu dapat terlakana, maka tali persahabatan dan
persaudaraan harus tetap terjalin degan baik. Seperti yang dikatakan dalam Manu Smerti
II,138
satyam bruyat priam bruyam
na bruyam satyam,
priam canartam bruyat esa dharmah sanatanah
yang artinya:
berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata-kata yang kasar. Walaupun
kata-kata itu benar, jangan pula mengungkapkan kata-kata lemah lembut namun dusta,
inilah hukum susila yang abadi (sanatana dharma).
Nah dari sloka tadi, mengajarkan kepada kita untuk mengawali segala sesuatu
dengan berfikir terlebih dahulu sehingga apa yang akan kita katakan, apa yang kita
lakukan, tidak sampai menyinggung perasaan orang lain. contoh kecil yang kini mulai
terlupakan yaitu saling bertegur sapa mengucapkan salam om swastiastu. Salam ini
sepertinya hanya diperuntkan bagi orang tua saja sedangkan para remaja menganggap itu
sebagai hal bodoh dan sangat memalukan bila dilakukan. Prilaku ini merupakan prilaku
buruk yang harus dihilangkan. Ketahuilah , ketika kita mengucapkan salam kepada orang
lain secara tidak langsung kita telah mendoaakan satu sama lain. Dari prilaku itu,
Kenyamanan, kebahagiaan dan keharmonisan akan tercipta dengan sendirinya.

3. Palemahan
Palemahan berarti segala sesuatu yang menyangkut dengan keharmonisan hubungan
antara manusia dengan alam tempat ia tinggal. Palemahan juga dapat dikatakan sebagai
buana agung (alam semesta).
Bapak ibu Umat sedharma yang brbahagia.......
Manusia hidup di muka bumi memerlukan ketenangan, ketentraman, kesejukkan dan
kebahagiaan. Maka dari itu, untuk mencapai tujuan tersebut, manusia tidak bisa hidup
tanpa buana agung (alam semesta), karena manusia hidup di alam dan tumbuh dari hasil
alam. Hal inilah yang melandasi hubungan keharmonisan antara manusia dengan alam
semesta. Semua yang ada di dunia ini telah disediakan dengan rapih dan indah, apapun
yang dibutuhkan manusia telah disediakan tanpa kurang satu apapun oleh Beliau. Namun,
rasa kurang bertanggungjawab dari diri kita sendiri perlahan telah merusak semua yang
Beliau berikan.
Tingginya angka kematian akibat bencana alam yang belakangan ini terjadi sangat
meresahkan kita semua, kasus-kasus yang seharusnya tidak perlu terjadi kini justru makin
menjadi-jadi. Seperti kasus Illegal Loging yang terus membengkak sehingga banyak terjadi
penggundulan hutan yang tak terkontrol, meluapnya air sungai saat hujan yang memicu
terjadinya banjir, semakin meluasnya kawasan bahaya lumpur lapindo akibat pengeboran
yang tiada henti-hentinya, bencana tanah longsor yang memakan banyak korban jiwa, serta
masih banyak lagi bencana-bencana lainnya yang sangat merugikan.

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya Banggakan ...

Bencana –bencana alam tadi, sebenarnya muncul karena kesalahan-kesalahan kecil


yang kerap kali kita sepelekan. Seperti, membuang sampah sembarangan. Coba kita
bayangkan bersama! Sekarang saya memiliki sebuah permen, setelah memakannya, kulit
permen ini saya buang begitu saja. Nah.... kita semua pasti berpikir, Cuma sampah kecil
saja, apa sih dampaknya? Ketika kita berpikir demikian tanpa kita sadari, semua orang di
dunia ini memikirkan hal yang sama. Apa jadinya dunia ini? Hancur, bukan! Wajar saja,
jika banyak bencana alam yang terjadi. Sampah-sampah pun bertambah banyak setiap
harinya. Maka dari tiu, mari kita semua tenamkan dalam diri kita masing-masing, dengan
mengatakan bahwa SAYA BISA. Lebih baik, ada satu orang yang berubah daripada tidak
ada sama sekali. Ingat umat sedharma! Sedikt perubahan sangat berarti bagi dunia kita ini.

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya cintai ...

Demikian penjelasan mengenai arti dari TRI HITA KARANA, mengapa kita harus
mempelajarinya, serta apa manfaatnya dalam kehidupan kita sehari-hari? Sesungguhnya,
secara keseluruhan mengenai TRI HITA KARANA yaitu, ingin mengajarkan kepada kita
semua agar senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Idha
Shang Hyang Widhi Wasa, manusia dengan sesamanya serta manusia dengan tempat
dimana ia tinggal. Ketiga bagian dari TRI HITA KARANA tersebut sangatlah berkaitan
antara yang satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan tidak bisa kita dapatkan hanya dengan
menekuni satu bagian saja. Namun, kita juga harus menyeimbangi ketiga bagian dari TRI
HITA KARANA tersebut.

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya kasihi dimanapun berada ...

Demikian pesan dharma yang dapat saya sampaikan smoga semoga dapat menambah pemahaman kita. Semoga
Hyang Brahman -Tuhan Yang Maha Esa- melimpahkan segala wara nugrahaNya. Sebelum saya akhiri saya
mohon maaf apabila apa yang sudah saya sampaikan terdapat tutur kata yang salah, yang kurang berkenan bagi
Bapak, Ibu Umat sedharma sekalian. Dan akhirnya pesan dharma ini saya tutup dengan parama shanty.

OM SANTI SANTI SANTI OM

Mengetahui Soe, 27 Mei 2017


Ketua PHDI TTS Pembawa Renungan

Ir. GEDE WITA DARMA,MM PUTU DESY WIDIA DARIYANTI


HIMSA KARMA
Disampaikan oleh : Putu Yudiartini,S.Pd
Naskah Dharma Wacana RSPD ‘ Sabtu 13 Mei 2017

OM SWASTYASTU
Selamat Pagi para pendengar dan umat sedharma yang berbahagia..., selamat berjumpa lagi dalam
Renungan Pagi Agama Hindu. Dalam kesempatan yang berbahagia ini ijinkanlah kembali Saya Putu
Yudiartini mengisi ruang dan waktu para pendengar dan umat sedharma dalam mengawali segala aktifitas
anda hari ini. Dan Pada kesempatan yang baik ini, Rasa bahagia tak terlukiskan menyelimuti hati saya
manakala saya, diperkenankan untuk menyampaikan pesan dharma sebagai wujud persembahan saya
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagaimana anjuran yang tersirat didalam kitab suci
Bhagawadgita, bahwa apapun yang kita kerjakan jadikanlah sebagai persembahan kita kepada beliau.
Untuk itu di hari yang baik ini ijinkanlah saya membawakan pesan dharma dengan tema “Himsa Karma ”
Namun sebelumnya marilah kita awali dengan doa,

OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHHAM


OM SIDHIRASTU TAD ASTU SWAHA,

Om Hyang widhi, Smoga atas perkenanan-Mu,


tiada halangan bagi hambamu atas pekerjaan yang hambamu lakukan hari ini,
dan semuanya boleh dapat berjalan dengan baik

Para pendengar dan Umat sedharma yang budiman,....

Salah satu sloka dalam ajaran Veda mengatakan; “Ahimsaya paro dharmah” yang bisa
diartikan: “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah ahimsa”. Apa itu ahimsa? Beberapa orang
mengatakan bahwa ahimsa berasal dari kata “a” yang artinya tidak dan “himsa” yang artinya
membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa ahimsa artinya tidak membunuh.
Permasalahannya adalah apakah mungkin dalam kehidupan ini kita lepas dari pembunuhan?
Setiap mahluk hidup dari yang terbesar sampai kepada yang terkecil memerlukan makanan
dalam mempertahankan hidupnya dan semua itu tidak mungkin lepas dari pembunuhan.
Manusia yang menjalani kehidupan frutarian yang hanya memakan daging buah sekalipun
tidak akan pernah luput dari pembunuhan. Setiap udara yang dia hirup akan membawa
sejumlah jasat renik yang akhirnya binasah akibat sistem pertahanan tubuhnya. Setiap air
yang dia masak sudah pasti mengandung jutaan bakteri dan virus. Dan setiap gerak langkah
aktivitasnya meski dilakukan secara tidak sengaja, sudah pasti berkaitan dengan
pembunuhan. Sehingga dengan demikian, tidaklah tepat jika “ahimsa” diartikan sebagai tidak
membunuh.

Srila Prabhupada dalam Bhagavad Gita menurut aslinya sloka 10.5, 13.8, 16.2, dan 17.14
mengartikan ahimsa sebagai tidak melakukan kekerasan. Memang benar bahwasanya
membunuh adalah salah satu bentuk dari tindakan kekerasan. Tetapi ada pembunuhan-
pembuhuhan yang diijinkan dan bahkan diwajibkan oleh ajaran Veda. Membunuh untuk
mempertahankan hidup bukanlah tindakan himsa karma. Bahkan Bhagavad Gita yang
disabdakan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna adalah merupakan perintah
kepada Arjuna untuk bangkit dan melakukan kewajibannya membunuh lawan-lawannya di
medan perang. Pembunuhan harus dilakukan dalam rangka melakukan tugas dan kewajiban.
Seorang Brahmana yang berkualifikasi dapat pembunuhan binatang dalam rangka korban
suci. Seorang Ksatria seperti Arjuna yang tugas dan kewajibannya bela negara dan
menghancurkan musuh demi dharma maka harus siap melakukan pembunuhan walaupun
yang harus dia bunuh adalah sanak keluarga, guru dan saudara-saudaranya sendiri. Begitu
juga dengan seorang Hakim sebagaimana disampaikan dalam kitab hukum Hindu, Manu
Samhita tidak boleh disalahkan hanya karena dia menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi
mati narapidana yang telah terbukti melakukan dosa berat membunuh orang lain. Seseorang
yang membela diri dari serangan perampok demi mempertahankan jiwa raga dan harta
bendanya pun tidak boleh disalahkan karen membunuh si perampok. Begitu juga semua
mahluk hidup yang melakukan pembunuhan demi makan dan mempertahankan hidupnya
tidak bisa serta merta kita salahkan.
Para pendengar dan Bapak/Ibu Umat Sedarma ...

 
Meskipun demikian, hendaknya kita harus menyikapi “hak” membunuh ini dengan
sangat hati-hati. Jangan beranggapan bahwasanya kita bisa melakukan pembunuhan
sembarangan dengan alasan bahwa sang roh tidak pernah terbunuh meski badan materialnya
terbunuh. Karena tidakan membunuh seperti ini bertentangan dengan prinsip bahwasanya
jika suatu mahluk hidup dibunuh tanpa aturan kitab suci, itu berarti kita telah menghalangi
proses evolusi sang roh mahluk hidup bersangkutan. Karena itulah dikatakan pula bahwa
ahimsa dapat diartikan tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup mana pun yang
maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain. Dalam melakukan
pembunuhan kita juga harus memandang kualifikasi personal kita. Sebagai contoh,
pembunuhan binatang dalam korban suci diijinkan dengan tujuan agar roh binatang yang
dikorbankan tersebut bisa naik derajatnya dan mencapai sorga. Permasalahannya adalah
apakah saat ini masih ada Brahmana yang berkualifikasi? Apakah kita sanggup mengangkat
roh binatang yang kita bunuh tersebut mencapai sorga sementara diri kita sendiri belum tentu
bisa mencapai sorga? Karena itulah kitab suci Veda sebagaimana tertuang dalam Vishnu
Puräna 6.2.17, Padma Puräna Uttara Kanda 72.25, Brhan-Naradiya Puräna 38.97, Bhägavata
Puräna 11.5.32 dan 12.3.52, Narayana Samhita serta banyak lagi sloka-sloka Veda yang
lainnya menegaskan bahwa pada Kali Yuga ini korban suci binatang tidak dianjurkan karena
hampir tidak ada Brahmana yang memiliki kualifikasi melakukan korban binatang.
 
Demikian juga dalam hal membunuh untuk alasan makanan demi mempertahankan
hidup. Benarkah tindakan kita membunuh suatu binatang untuk mempertahankan hidup atau
hanya demi memenuhi nafsu kita memakan berbagai jenis daging? Pada jaman sekarang
yang kita katakan sebagai peradaban modern, manusia berusaha mengembangkan teknologi
peternakan, rumah pemotongan hewan dan pemrosesannya menjadi berbagai macam produk
makanan instan siap saji dengan berbagai cita rasanya. Manusia cenderung melakukan
perburuan berbagai jenis makanan mulai dari kuliner tradisional yang mudah di dapat sampai
pada makanan yang diolah dari daging binatang langka yang tidak seharusnya di bunuh dan
bahkan juga ada yang diolah dari janin manusia sebagaimana pemberitaan yang pernah santer
di dunia maya. Apakah kuliner seperti ini dapat kita kategorikan sebagai tindakan membunuh
untuk mempertahankan hidup yang dibenarkan oleh ajaran Dharma ? Pada jaman dahulu,
para Ksatria secara rutin pergi ke hutan untuk berburu. Perburuan yang mereka lakukan
adalah dalam rangka melatih ilmu memanah dan bela diri mereka. Jenis binatang yang
mereka jadikan target pun tidaklah sembarangan. Biasanya mereka akan berburu rusa, babi
hutan dan beberapa jenis burung. Sebagai konsekuensi dari pembunuhan ini, maka daging
binatang tersebut tidak boleh mereka buang, tetapi harus di makan atau dibakar dengan
mengikuti aturan upacara pembakaran mayat manusia sebagaimana yang masih diikuti oleh
beberapa kelompok masyarakat di Jaipur – India sampai saat ini. Demikian juga para petani,
mereka biasanya melakukan perburuan terhadap binatang-binatang yang menjadi hama bagi
lahan pertanian mereka. Para petani menangkap berbagai jenis serangga seperti jangkrik dan
belalang yang kemudian mereka konsumsi sebagai lauk-pauk. Binatang-binatang pengerat
seperti tupai, tikus dan babi hutan juga sering kali menjarah lahan pertanian mereka sehingga
mereka harus memburu dan membunuhnya. Dan tentunya, binatang hasil buruan ini harus
mereka santap dari pada dibuang percuma. Bahkan beberapa sistem masyarakat di Bali masih
mengikuti tradisi Veda dengan melakukan upacara pengabenan bangkai tikus hasil perburuan
di sawah.

Para pendengar dan Bapak/Ibu Umat Sedarma ...

Hanya saja apa yang terjadi sekarang? Babi yang dulunya merupakan hama, malahan
sekarang dipelihara dan diternakkan hanya karena alasan dagingnya. Demikian juga degan
binatang-binatang lainnya yang dipelihara bukan lagi dengan tujuan mempertahankan hidup,
tetapi sudah mengarah pada pemenuhan selera makan semata.
Padahal kalau manusia mau berpikir cerdas tanpa mendahulukan nafsu makannya semata,
akan jauh lebih bijak jika mereka mengkonsumsi langsung tumbuhan atau biji-bijian yang
diberikan ke binatang yang mereka ternakkan dari pada menunggu daging binatang ternah
tersebut siap dikonsumsi. Menurut penelitian, untuk 1 hektar lahan jika digunakan
menggemukkan 1 ekor sapi maka kita dapat menghasilkan protein sekitar 0,5 Kg. Sementara
itu dalam kurun waktu yang sama, jika lahan tersebut digunakan untuk menanam kedelai dan
kedelai itu langsung dapat dikonsumsi manusia maka dapat dihasilkan protein sekitar 8,5 Kg.
Jadi dengan kata lain untuk bisa menikmati daging dalam jumlah yang sama kita memerluka
17 kali luas lahan jika dibandingkan dengan mengkonsumsi produk nabati. Begitu juga jika
kita beternak binatang yang lain. Pada kenyataanya, maksimal hanya 10% dari seluruh
makanan yang kita berikan kepada binatang tersebut yang terkonversi menjadi daging,
sementara selebihnya hanya akan terbuang percuma menjadi kotoran. Sehingga secara
hitung-hitungan ekonomi, dengan mengurangi konsumsi daging sebenarnya kita bisa
berhemat sumber daya alam sampai 90%.

Saat ini terjadi bencana kelaparan di mana-mana bukan karena Bumi tidak mampu
menyediakan makanan bagi mahluk hidup yang ada di atasnya, tetapi karena keserakahan
manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam. Paul dan Anne Ehrlich dalam bukunya
berjudul “Population, Resources And Environtment” mengatakan bahwa di Amerika, Untuk
menghasilkan 1 pon gandum memerlukan 60 pon air, sementara untuk menghasilkan 1 pon
daging perlu air 2.500 – 6.000 pon. Dan dari penjabaran-penjabaran yang dia sampaikan,
diambil kesimpulan jika seluruh masyarakat dunia memiliki gaya hidup seperti orang
Amerika, maka kita memerlukan 3 buah planet bumi lagi untuk menyokong kehidupan kita.
Andaikan masyarakat kita peduli dengan krisis seperti ini, seharusnya bahan nabati yang
dijadikan pakan ternak bisa dialihkan untuk dapat dikonsumsi langsung dan disalurkan ke
daerah-daerah yang memerlukan sehingga tidak ada lagi bencana kelaparan seperti sering
kali kita dengar akhir-akhir ini.

Jika lingkungan kita menyediakan begitu banyak makanan nabati dan tidak ada serangan
hama binatang yang berarti, itu artinya sama sekali tidak ada alasan pembunuhan binatang
untuk bahan makanan. Pembunuhan hanya diijinkan jika lingkungan memang benar-benar
tidak mendukung. Seperti contoh suku eskimo yang hidup di Alaska dimana di sana sama
sekali tidak terdapat biji-bijian dan sayuran sehingga mereka hanya bisa bertahan hidup
dengan berburu anjing laut, dan berbagai jenis ikan. Begitu juga dengan mereka yang hidup
di gurun dan savana yang tandus. Mungkin mereka hanya bisa bertahan hidup dengan
berburu binatang liar atau berternakk beberapa jenis binatang untuk diambil susu dan
dagingnya. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti semua binatang boleh dibunuh dan
dimakan dagingnya. Ṛg Veda 9.46.4 mengatakan: “gobhiḥ prīṇita-matsaram” yang berarti
bahwa orang yang sudah puas sepenuhnya dengan susu tetapi ingin membunuh sapi berada
dalam kebodohan yang paling kasar. Visnu Purana 1.19.65 juga mengatakan: “namo
brahmaṇya-devāya go-brāhmaṇa-hitāya ca jagad-dhitāya kṛṣṇāya govindāya namo namaḥ,
Tuhan yang hamba cintai, Andalah yang mengharapkan kesejahteraan sapi dan para
brahmana, dan Anda mengharapkan kesejahteraan seluruh masyarakat manusia dan dunia”.
Sehingga dengan demikian, andaipun kita harus membunuh untuk mempertahankan hidup
dari kurangnya sumber makanan, tetapi sapi sebagai binatang yang sering kali juga disebut
“mata” atau ibu dalam kitab suci Veda sama sekali tidak boleh dibunuh.

Para pendengar dan Bapak/Ibu Umat Sedarma ...

Dari penjabaran tadi, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwasanya Veda tidak
pernah mengatakan tidak boleh membunuh dan tidak juga mengatakan pola hidup Vegetarian
wajib bagi seluruh penganut Veda. Vegetarian adalah sebuah usaha pengendalian diri dari
nafsu bagi mereka yang ada dalam tingkatan spiritualitas tertentu dan juga merupakan
anjuran kitab suci Veda dalam upaya menjaga keseimbangan alam dengan cara menghindari
pola hidup mengeksploitasi sumber daya alam seperti contoh peternakan modern saat ini.
Jika kita hidup dalam lingkungan yang miskin bahan makanan nabati, maka kita boleh
membunuh dan mengkonsumsi binatang.
Jika dalam lahan pertanian kita terdapat banyak binatang yang merupakan hama, maka
binatang itu dapat kita bunuh dan santap dagingnya. Tetapi jika kita hidup dalam lingkungan
yang sangat mudah mendapatkan biji-bijian dan sayur-sayuran tetapi kita masih saja
bersikeras memaksakan diri membunuh dan menyantap binatang, maka kita mungkin harus
segera merenung. Apa benar pembunuhan yang kita lakukan sesuai dengan aturan dalam
kitab suci Veda?

Bapak / Ibu Umat Sedharma Serta Para Pendengar yang Berbahagia ......

Mungkin pertanyaan itu yang akan menjadi perenungan bagi kita semua. Dan hanya pada
pribadi kita masing – masing yang dapat menjawabnya. Demikian pesan dharma yang dapat
saya sampaikan, smoga dapat bermanfaatdan sebelum saya akhiri saya mohon maaf apabila
terdapat tuturkata yang kurang berkenan bagi Bapak / Ibu Umat Sedharma, Para pendengar
dimanapun anda berada. Akhir kata saya aturkan parama canthi

OM SANTHI SANTHI SANTHI OM

Mengetahui Soe, 13 Mei 217


Ketua PHDI TTS Pembawa Renungan

Ir. GEDE WITA DARMA,MM PUTU YUDIARTINI,S.Pd


Read more http://narayanasmrti.com/2011/02/23/pembunuhan-dan-vegetarianisme/
Diposkan oleh dewa darmayante

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

GENDER MENURUT AGAMA HINDU


Disampaikan oleh : Putu Yudiartini,S.Pd
Naskah Dharma Wacana Pasraman Giri Suci Soe Hari Minggu Tanggal 17 April 2016
OM SWASTYASTU
Selamat Pagi para pendengar dan umat sedharma yang berbahagia..., selamat berjumpa lagi dalam
Renungan Dharma pada Pasraman Giri Suci Soe. Dalam kesempatan yang berbahagia ini ijinkanlah
kembali Saya Putu Yudiartini mengisi ruang dan waktu para pendengar dan umat sedharma dalam
mengawali segala aktifitas anda hari ini. Dan Pada kesempatan yang baik ini, Rasa bahagia tak
terlukiskan menyelimuti hati saya manakala saya, diperkenankan untuk menyampaikan pesan dharma
sebagai wujud persembahan saya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagaimana anjuran yang
tersirat didalam kitab suci Bhagawadgita, bahwa apapun yang kita kerjakan jadikanlah sebagai
persembahan kita kepada beliau. Untuk itu di hari yang baik ini ijinkanlah saya membawakan pesan
dharma dengan tema “ Geder Menurut Agama Hindu ” Namun sebelumnya marilah kita awali dengan
doa,

OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHHAM


OM SIDHIRASTU TAD ASTU SWAHA,

Om Hyang widhi, Smoga atas perkenanan-Mu,


tiada halangan bagi hambamu atas pekerjaan yang hambamu lakukan hari ini,
dan semuanya boleh dapat berjalan dengan baik.

Bapak/Ibu Guru dan Anak-anak Pasraman yang saya Hormati ...

Sangat berbahagia rasa di hati saya, dimana pada saat ini di berikan kesempatan untuk bertutur tentang
pesan dharma yang berhubungan dengan status GENDER menurut keyakinan kita di hadapan pengelingsir dan
semeton sedharma. Semua ini tentu tidak lepas dari karunia Hyang Widhi Wasa (Brahman-Tuhan YME)
melalui waranugrahaNya dalam bentuk Keselamatan dan Kesehatan, teristimewa anugrah Kesempatan saat ini.
Semoga pesan-pesan Dharma ini akan menggema atas wara nugrahaNya. Dalam kehidupan sosial kita dewasa
ini, begitu banyak bermunculan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah Gender. Pada
pandangan dan pemahaman umum, kata atau istilah Gender lebih di artikan sebagai persoalan kaum wanita.
Pembahasan masalah Gender, di anggap sebagai pembahasan sebuah upaya peningkatan PERAN dan HAK dari
WANITA, dengan membuang jauh kemungkinan-kemungkinan penghentian hegemoni laki-laki dalam bentuk
pembenaran berlakunya EGOISME kaum Laki-laki. Berdasarkan kenyataan-kenyataan kehidupan sosial seperti
itulah, maka saya menyampaikan Pesan-pesan Dharma itu dengan Judul "GENDER MENURUT AGAMA
HINDU".

Bila kita berbicara tentang gender, maka secara langsung di kepala kita akan tergambar segala sesuatu
yang berhubungan dengan wanita. Secara otomatis akan demikian. Oleh karena itu kita harus mengetahui dan
memahami apa sebenarnya yang di maksud.kan dengan istilah GENDER itu. Jadi, makna kata gender menurut
Kamus Bahasa Indonesia, Gender berarti JENIS KELAMIN. Ini berhubungan dengan manusia, dalam arti
manusia di bagi dan di bedakan menurut jenis kelaminnya. Dalam bahasa Inggris, secara khusus di sebut dengan
istilah SEX, pengertiannya juga JENIS KELAMIN. Berdasarkan pengertian tersebut, maka Manusia menurut
jenis kelaminnya di bagi dalam dua (2) kelompok, yaitu Laki-Laki dan Wanita. Laki-laki dalam bahasa Inggris
di sebut MALE dan Wanita sebagai FEMALE, yang memiliki sifat Maskulin dan Feminim. Dalam susastra
Veda, manusia dalam bahasa Sanskrta di bagi ke dalam LAKI dan SWANITA, juga Laki-laki di sebut Purusha
dan Wanita adalah Pradhana, istilah yang lebih dalam dan lebih halus lagi, laki-laki adalah Lingga dan Wanita
sebagai Yoni. Demikian halus dan dalamnya VEDA memaknai esensi manusia dalam eksistensinya sebagai
laki-laki dan wanita.

Bapak/Ibu Guru dan Anak-anak Pasraman yang saya Cintai ...

Di luar sana, pengertian dan pemaknaan atas status gender sebagai laki-laki dan wanita, sungguh-
sungguh menumbuhkan polemik  di berbagai lapisan masyarakat. Persoalan gender mengemuka sebagai
perwujudan dari ketimpangan dari rasa keadilan sosial  yang berakibat buruk. Di berbagai belahan dunia,
termasuk di Indonesia ini, setiap manusia dengan dalih "SUARA LANGIT" , defenisi dan status gender tidaklah
horisontal, tetapi menjadi vertikal. Artinya ada perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan wanita, di mana
wanita di beri hak dan kesempatan setelah kaum laki-laki. Ini terjadi di berbagai aspek sosial. Nah apalagi bila
di hubungkan dengan segala ketentuan ADAT TRADISI yang ada dan anuti oleh setiap kelompok masyarakat
kita.

Sebut saja misalnya dalam Adat Istiadat Bali, wanita sebagai bagian dari Gender manusia, belum
mendapat haknya secara seimbang, bahkan cenderung ada dalam posisi yang memprihatinkan. Misalnya saja
dalam hal pendidikan, hak dalam warisan, dan sebagainya. Dalam tradisi adat Bali, laki-laki sebagai Purusha di
anggap menjadi yang utama, hak meneruskan keturunan, hak penguasaan atas warisan, hak yang lebih atas
usaha pendidikan, dan sebagainya. Lalu....di mana POSISI WANITA ???. Dalam berbagai tradisi Adat di
Negara kita ini, selain tugas "mengandung anak", "melayani suami", "melayani kebutuhan rumah tangga" dan
kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas-tugas suami (Laki-laki), wanita berada pada sisi yang
bersebrangan dengan suami. Tradisi dengan Hukum Adatnya telah memunculkan tatanan khusus terhadap apa
yang di masa kini di sebut sebagai Gender. Kita dalam tradisi menganut paham PATRIARKI, artinya bahwa
keturunan dari sebuah perkawinan itu merupakan penerus dari TRAH atau WANGSA kaum lelaki. Adat tradisi
telah menjadi SANGKAR BAJA yang menghalangi pandangan kita terhadap Tugas Kewajiban dari Wanita,
yang sangat Utama dan Mulia.

Bapak/Ibu Guru dan Anak-anak Pasraman yang Berbahagia ...

Tidakkah kita sadar, bahwa HARKAT DAN MARTABAT suatu bangsa sebenarnya sangat di tentukan
oleh WANITA???. Tidakkah kita menyadari, bahwa martabat sebuah rumah tangga dan keluarga bergantung
pada martabat dan kewibawaan wanitanya? Mari kita tengok apa yang di suratkan oleh Veda mengenai status
gender ini. Apakah sama dengan apa yang di akui sebagai "Suara Langit" oleh sebagian manusia di bumi,
bahwa wanita berjalan di belakang laki-laki?. Ataukah Veda memiliki "Suara Suci" yang dapat menjadi
Amertha bagi wanita...? Veda, sebagai Kitab Suci Agama Hindu adalah hukum standar yang menjadi rujukan
utama dalam memaknai setiap persoalan. Veda menjadi sumber dari segala sumber hukum manusia, karena
mengandung sifat Rta, yaitu hukum Brahman yang Kekal. Demikian pula yang berhubungan mengenai Status
dan Kedudukan serta tugas bagi Gender manusia. Di dalam masyarakat Hindu, Gender dalam arti Manusia
sebagai Laki-laki dan Wanita memiliki status yang mulia. Lihat saja penggambaran Dewa-dewa sebagai wujud
kekuatan Supra kosmis, selalu di gambarkan sebagai laki-laki. Demukian halnya Semua bentuk kekuatan dan
kemuliaan selalu di gambarkan sebagai Wanita. Keperkasaan dan Keunggulan  oleh Veda di gambarkan sebagai
Laki-laki, sementara Kemuliaan, Keagungan, Kecerdasan, Kelemah lembutan, keluhuran dan kasih sayang
selalu di gambarkan sebagai wanita. Dari surat-surat wahyu yang tetuang dalam Veda, menggambarkan bahwa
Gender dalam bentuknya yang berbeda pada dasarnya memiliki STATUS yang SETARA.

Bapak/Ibu Guru dan Anak-anak Pasraman yang saya Cintai ...

Coba kita renungi apa yang di suratkan dalam RG VEDA III.53.4.: Jayed astam maghavan set u
yonih,  artinya : Ya Sang Hyang Indra, istri sebenarnya adalah wujud rumah itu. Dia adalah dasar
kemakmuran keluarga.

Atau kita cermati apa yang di nyatakan dalam YAJUR VEDA XIX.94.: Patni sukrtam bibharti, artinya : Istri
melaksanakan upacara keagamaan, atau di katakan: Tanpa kehadiran wanita yajna tidak
sempurna. Demikian mulia dan luhurnya Veda memberi penghormatan kepada Wanita, dimana dalam hal ini
sehubungan dengan tugas-tugas khusus yang di tanggung oleh wanita. Bila dalam kehidupan sosial selama ini,
wanita di anggap tidak memiliki hak suara terhadap segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan serta
kebahagiaan umum, tetapi Veda kemudian mengingatkan kita, bahwa wanita memiliki kedudukan dan fungsi
yang vital, yang utama. Dalam masyarakat Hindu, Laki-laki memiliki kebebasan memilih dan melakukan
kewajibannya di luar rumah, sesuai dengan bakat, kemampuan serta kesempatan yang dapat di raihnya untuk
memenuhi kebutuhan dan menghadirkan kesejahteraan serta kebahagiaan bagi seluruh keluarganya. Jadi kaum
laki-laki secara umum telah di terima secara layak untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Sementara wanita
melakukan kewajiban mengatur dan menata keluarganya dengan segala kemampuannya. Pendidikan terhadap
anak, dalam hal ini menjadi tugas khusus bagi wanita. Kesempatan wanita berkumpul sepanjang waktu dengan
bagian-bagian keluarganya, menjadikan wanita sebagai pusat pergaulan. Maka dalam hal ini, wanita merupakan
ujung tombak moralitas keluarga, karenanya kesucian wanita merupakan kewibawaan bagi dirinya sendiri
sekaligus keluarganya secara umum.

Para PendengarDan Umat Sedarma Yang Saya Sucikan ...

Veda sebagai dasar hukum dalam pengaturan tatanan masyarakat mengedepankan konsep Varna
(Warna), yang membagi manusia berdasarkan bakat dan fungsi. Secara umum konsep ini tidak membedakan
pembagian itu atas dasar Gender atau jenis kelamin. Artinya secara khusus Konsep Catur Varna tidak
menyebutkan bahwa ada pembedaan dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam bentuknya sebagai BAKAT
dan FUNGSI bagi laki-laki dan wanita. Keduanya memiliki kesempatan yang sama secara seimbang dalam
bentuknya yang berbeda. Ini bukan pembedaan dalam arti "DAHULU dan KEMUDIAN", tetapi penekanannya
pada pembagian fungsi manusia secara utuh. Demikian pula bagi mereka yang lahir dengan kepribadian ganda
(bersifat Netral), umumnya kita menyebut sebagai "Banci, Tomboy, Bencong, dan lain-lain istilah", Veda secara
nyata memberi kesempatan yang sama terhadapnya dalam interaksi sosial untuk merengkuh kesempatannya
secara luas tanpa batasan yang bersifat khusus. Dalam hal ini Veda tidak  secara spesifik mengatur hal-hal yang
bersifat tidak umum seperti itu, sampai pada yang bersangkutan menyatakan secara formal atas pilihan yang di
tentukannya. Kenyataannya begitu banyak wanita-wanita yang telah mengambil pilihan yang tidak umum,
seperti yang mendedikasikan diri mereka sebagai penyebar dan pelayan Dharma.

Bhagavan Manu dalam Manava Dharmasastra III.56 menyatakan hukum bagi manusia : Di mana wanita
di hormati, disanalah para Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak di hormati, tidak ada upacara suci
apapun yang akan berpahala". Demikian tegas Veda menyuratkan akan keutamaan fungsi atau peran wanita
dengan sifat-sifatnya yang khusus. Kenyataan ini memberi makna bahwa sesungguhnya status dan kedudukan
dari Gender adalah SETARA. Sebagaimana para Wipra (Brahmana ahli) menyatakan hukum (wahyu) SETARA
ini dengan kata Ardhanarisvarya yang bermakna Sesungguhnya manusia terdiri dari setengah laki-laki
dan setengah bagian lainnya di sebelah kiri adalah wanita. Tidak cukup alasan dan referensi susastra, yang
memberi makna atas Gender sebagai bentuk pembagian manusia dalam kedudukan yang veryikal. Veda dengan
mantram-mantram serta Sloka-slokanya menyatakan dengan jelas akan kedudukan manusia dengan gendernya.
Maka pembatasan-pembatasan atas hak-hak sebagai bentuk kewajiban dari  Wanita merupakan pengingkaran
dari Dharma, di banding sebagai cara perlindungan baginya. Jadi sesungguhnyalah Veda telah menyatakan
kepada kita, bahwa manusia dalam gendernya masing-masing, memberi kesempatan dan kedudukan yang sama
kepada kita sebagai Laki-laki dan Wanita sesuai dengan fungsinya. Artinya bahwa wanita dengan tugas-
tugasnya yang khusus, selayaknya memiliki kesempatan yang sama di berbagai aspek sosial. Haruslah mampu
kita pahami, misalnya pemberian pendidikan yang SETARA dengan Laki-laki sesuai dharma baginya, pada
dasarnya merupakan pemberian kesempatan kepada wanita untuk memberikan pendidika moralitas yang lebih
baik kepada anak-anaknya serta keluarganya. Bila sebaliknya maka akan sangat berpengaruh pada merosotnya
moralitas masyarakat secara umum.

Para PendengarDan Umat Sedarma Yang Saya Sucikan ...

Dalam Veda status manusia berdasarkan gendernya adalah setara. Laki-laki maupun wanita memiliki
kesempatan dan kedudukan yang sama. Laki-laki memiliki kewajiban di luar rumah, sementara wanita adalah
pemimpin di dalam rumahnya. Tidak ada alasan yang legal bagi keduanya untik saling membatasi dalam
pelaksanaan dharmanya masing-masing. Kesetaraan yang di maksudkan oleh Veda adalah KESETARAAN
MUTUALISME, yang artinya secara spesifik keduanya memiliki hak atas dan di dasarkan dharmanya. Tak ada
yang lebih utama dari salah satunya. Namunpun demikian, kesetaraan dalam hak dan kesempatan secara sosial,
bukanlah sebagai bentuk pembebasan atas hak-hak yang menjadi kewajibanya yang bersifat khusus.
Pengingkaran atas hak wanita sebagaimana di suratkan Veda, lebih merupakan bentuk pengingkaran atas tugas-
tugas mulia yang di tanggungnya, di banding sebagai bentuk pernyataan untuk perlindungannya. Jadi, selama
anak-anak manusia belum bisa DITURUNKAN LANGSUNG DARI LANGIT, maka selama itu pula Manusia
dalam wujud Wanitanya di butuhkan. Olehnya, Laki-laki tanpa wanita adalah Bayangan di kegelapan,
sebagaimana halnya Wanita tanpa Laki-laki merupakan Sungai tanpa Air.

Para Pendengar dan Umat sedharma yang saya kasihi dimanapun berada ...

Demikian pesan dharma yang dapat saya sampaikan smoga semoga dapat menambah pemahaman kita. Semoga
Hyang Brahman -Tuhan Yang Maha Esa- melimpahkan segala wara nugrahaNya. Sebelum saya akhiri saya
mohon maaf apabila apa yang sudah saya sampaikan terdapat tutur kata yang salah, yang kurang berkenan bagi
Bapak, Ibu Umat sedharma sekalian. Dan akhirnya pesan dharma ini saya tutup dengan parama shanty.

OM SANTI SANTI SANTI OM

Mengetahui Soe, 17 April 2016


Ketua PHDI TTS Pembawa Renungan

Ir. GEDE WITA DARMA,MM PUTU YUDIARTINI,S.Pd

Menakar Kebenaran Menurut Hindu

 
1 Vote

Mendengar kata “kebenaran” akan terlintas dalam pikiran adalah sesuatu yang baik dan disetujui
oleh banyak orang, dibela oleh banyak orang dan banyak yang setuju jika yang benar tersebut
dijadikan ukuran bersama demi ketentraman hidup di dunia.

Ilustrasi Gambar: Alat Takar

Dalam prakteknya, kebenaran tidak dapat diukur dengan takaran yang sama antara satu tempat
dengan tempat lainnya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu Negara
dengan Negara lainnya. Perbedaan ukuran yang dipakai dalam menakar kebenaran disebabkan
oleh pandangan hidup kolektif yang dianggap baik dan benar dalam suatu masyarakat tertentu,
tidak sepenuhnya dapat dianggap baik dan benar pada masyarakat lainnya.

Tulisan ini secara khusus mempertimbangkan takaran kebenaran hakiki menurut ajaran Hindu
dan hendaknya dibedakan dengan pertimbangan kebenaran pada sebuah pengadilan oleh suatu
institusi negara. Pertimbangan kebenaran pengadilan sebuah institusi negara sering ikut serta
pertimbangan berdasarkan kemanusiaan demi keadilan di bumi ini. Sedangkan takaran
kebenaran menurut ajaran agama Hindu sesuai hukum Rta akan mempertimbangkan dunia dan
alam sunya (Sekala-Niskala), sebab agama Hindu memandang kehidupan terjadi pada dua
tempat yakni kehidupan yang tidak kekal terjadi di dunia ini, dan kehidupan yang tidak kekal
terjadi di dunia ini, dan kehidupan kekal ada di alam sunya yang disebut Moksa atau mukti yaitu
bersatunya Atman dengan Brahman.

Prihen temen dhrama dumaranang sarat


Saraga sang sadhu sireka tutana
Tanartha tan kama pidonia tan yasa
Ya sakti sang sajjana dharma raksaka.

Artinya:
Uttamakanlah kebenaran dengan sungguh-sungguh
Kepribadian orang budiman yang patut ditiru
Bukan keinginan, bukan balas jasa yang menjadi tujuan
Kekuatan orang yang berbuat kebaikan adalah kebenaran dipegang teguh
(Kakawin Ramayana, Sargha 24.89).

Seperti layaknya suatu pemerintahan sebuah Negara yang berdaulat memiliki hukum yang
dipakai sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan roda pemerintahan. Umat Hindu memiliki
hukum agama Hindu yang lebih sering disebut dengan hukum Hindu yang disebut “Rta” yang
bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber Kebenaran
Secara hirarki hukum Hindu ditegaskan dalam kitab Manawa Dharma Sastra II.6 sebagai
berikut:

Idhanim dharma pramananyaha


Wedo khilo dharma mulam
Smrticile ca tadwaidam
Acarascaiwa sadhunam
Atmanastutir ewaca

Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari dharma, kemudian adat istiadat, lalu
tingkah laku yang terpuji dari orang budiman yang mendalami pustaka suci weda, juga tata cara
peri-kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan diri pribadi.

Ajaran suci Weda adalah suatu kebenaran yang didengar langsung oleh para Maha Rsi yang
berasal dari Hyang Widi, oleh karenanya disebut Sruti (Sru = mendengar), Weda menjadi
sumber pertama segala kebenaran, kemudian Smrti (Dharmasastra) merupakan sumber hukum
Hindu sebagai rambu-rambu dalam mengarungi kehidupan. Selanjutnya adalah Acara (adat-
istiadat), tingkah laku terpuji dari orang suci juga merupakan sumber kebenaran yang patut
dicontoh, terakhir adalah Atmanastuti (rasa puas diri sendiri) tanpa menimbulkan kerugian orang
lain.

Prilaku suci juga merupakan sumber kebenaran, sebab prilaku bersumber pada tiga hal yakni
pikiran, perkataan dan perbuatan, yang sering disebut dengan istilah Tri Kaya Parisudha.
Idealnya apa yang dipikirkan itulah yang harus dikatakan, dan apa yang dikatakan itu pula yang
dilakukan. Namun dalam prakteknya bagi mereka yang mengingkari kebenaran sering
mengatakan yang tidak sebenarnya, apalagi prilakunya tidak sesuai dengan apa yang
dikatakannya.

Hidup ini sebetulnya merupakan kebiasaan atau dapat dibiasakan. Perhatikanlah ini; Biasa
makan nasi dengan daging, biasa makanan vegetarian, biasa makan roti, biasa minum kopi,
semuanya adalah prilaku yang dibiasakan. Demikian juga prilaku hidup suci, setiap saat
dibiasakan berpikir benar, jujur, bertindak sopan, bicara santun, berpakaian rapi, semua dapat
dibiasakan dengan keyakinan bahwa “SATYAM EVA JAYATE” (Kejujuran pasti menang)
karena hidup adalah “perang” yang harus dimenangkan. Perang melawan kebodohan, perang
melawan kemiskinan, perang melawan ketidak-benaran, perang melawan kebiasaan buruk dan
memenangkan perang terhadap hal tersebut harus menjadi kebiasaan yang benar.

Pikiran Sehat
“Benar belum tentu baik dan baik belum tentu benar”. Maksudnya adalah benar belum tentu baik
bagi semua orang. Ada kalanya perbuatan benar menjadi buruk dimata orang yang mengingkari
kebenaran. Bagi seorang penjahat yang sedang merampok orang lain dijalanan tanpa pikir
panjang langsung saja menodongkan senjata api kepada sasarannya dan yang ada di kepalanya
adalah hanya hasil jarahannya, bukan sama sekali takut akan hukum karma dan tidak pernah mau
tahu perbuatan benar atau salah.

Orang budiman akan memperhatikan situasi dan kondisi dimana dia berada. Pertimbangan
pertama dan utama dalam mengambil keputusan bagi orang budiman adalah; Seperti halnya
pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IRD) sebuah Rumah Sakit. Memberi pertolongan demi
menyelamatkan nyawa seseorang harus diutamakan, prihal asal-usul orang tersebut, entah dia
seorang penjahat maupun orang baik diabaikan terlebih dahulu, yang terpenting adalah
melakukan kewajiban pelayanan medis demi kemanusiaan. Setelah semua prosedur medis
dilaksanakan, kemudian standar administrasi harus dilakukan agar asal usul si pasien dapat
diketahui. Jika pasien berstatus orang jahat, maka standard keamanan harus dilaksanakan, ada
standar prosedur yang harus dipahami terlebih dahulu.

Memberi pertolongan kepada seekor macan yang terkena jerat pemburu di hutan hendaklah hati-
hati, setelah dilepas belum tentu akan lari menjauh atau sebaliknya akan menyerang manusia
yang menolongnya.

Seekor binatang apapun namanya, Sapi, Ular, Banteng, Harimau, Gajah, Singa, Buaya dan yang
lainnya, mudah dikenali akan sifat dan kelakuannya, namun siapa tahu mana manusia yang jahat
dan mana yang sungguh budiman?. Dalam melakukan penyamaran sifatnya, manusia hampir
sempurna melakukannya. Orang jahat berdasi sangat banyak di negeri ini. Banyak yang berlaku
seperti “Pedanda Baka” si Cangak yang berpura-pura alim demi memuluskan sifat jahatnya.
Berpakaian putih bersih, tutur katanya halus lembut, bicaranya rasional, segala cara dilakukan
demi tipu muslihat yang tersembunyi. Untunglah ada si Yuyu (ketam) yang bertindak sebagai
hakim yang memiliki kecerdasan intelektual, yang tahu akan segala tipu daya si Cangak dan
setelah mempertimbangkan si Yuyu memberi hukuman mati kepada Cangak dengan cara
memenggal kepalanya. Keputusan si “hakim Yuyu tanpa pamrih sama sekali, Keputusan
hukuman mati buat si Cangak adalah hanya demi keadilan.

Lain lagi ada manusia yang berprilaku seperti monyet yang sok sebagai pahlawan kebenaran
yaitu “monyet hakim penegak kebenaran”. Setiap orang yang datang berperkara meminta
keadilan, keduanya menjadi korban. Caranya ? Si “hakim monyet” menganggap keduanya
adalah kue yang harus ditimbang agar menjadi sama beratnya demi keadilan. Kue yang lebih
besar dan lebih berat akan dikurangi dengan cara digigit sedikit demi sedikit, demikian
seterusnya sampai kedua kue tinggal hanya sedikit dan timbangannya sudah rata demi keadilan.
Sudah pasti si” Hakim monyet” ini perutnya menjadi kenyang dan yang berperkara hanya
mendapat sisanya bahkan ampasnya saja. Pepatah mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi
abu” Bila demikian halnya, kebenaran macam apa yang menjadi pertimbangan si “hakim
monyet”? Oleh karenanya perlu hati-hati terhadap “hakim Monyet” bila akan mencari keadilan
dan kebenaran.

Lain halnya dengan si Empas (kura-kura) yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara
mencengkeram sebatang kayu kecil dan ditengah-tengahnya si Empas bergantung menggigit
batang kayu tersebut. Sebelum berangkat si Angsa telah menasehati kura-kura dengan tutur yang
bijak, agar dalam perjalanan empas tidak menghiraukan ejekan siapapun. Namun lacur dalam
perjalanan terbang bersama Angsa, Empas diejek seekor Anjing yang mengatakan si Angsa
membawa kotoran sapi kering bukan Empas, maka Empas yang tidak tahan ejekan berbicara dan
mulutnya terbuka dan lepas dari gigitan batang kayu yang membawanya, ia jatuh dan mati. Yang
dapat dipetik dari ceritra ini adalah tanpa dapat menahan diri mencari waktu yang tepat untuk
bicara sudah pasti celaka didapat. Sebelum tahu jelas persoalan yang harus dibicarakan jangan
cepat menanggapi agar tidak terjadi mis-komunikasi.

Satu-satunya alat menimbang sebuah kebenaran adalah mempergunakan timbangan yang


bermerek (trade mark) “Pikiran Sehat” yakni pikiran yang tidak terkontaminasi berlebihan oleh
nafsu rajah dan tamah. Ukuran berat timbangannya dalam menakar kebenaran bukanlah Gram
(gr) atau kilogram (Kg), seperti menimbang suatu barang melainkan menimbang dengan
menggunakan ukuran Tri Pramana sebagai berikut:

Pertama;
1. Saksi (ada Saksi yang melihat)
2. Bukti, (ada atau tidak bukti kejadian)
3. Ilikita, (Tertulis atau tidak)

Kedua:
1. Sastratah (mempertimbangkan berdasarkan sumber tertulis/sastra)
2. Gurutah (mempertimbangkan menurut Ajaran Guni)
3. Swatah (mempertimbangkan pengalaman sendiri)

Ketiga:
1. Agama (mempertimbangkan menurut ajaran agama)
2. Anumana (mempertimbangkan menurut pikiran sehat)
3. Pratiaksa (mempertimbangkan apa yang dilihat secara langsung)

Keempat:
1. Wartamana, (Mempertimbangkan sesuai pengalaman dahulu)
2. Atita (mempertimbangkan keadaan sekarang)
3. Nagata (mempertimbangkan keadaan yang akan datang)

Kelima:
1. Rasa (mempertimbangkan dengan perasaan)
2. Utsaha (mempertimbangkan atas prilakunya.
3. Lokika (mempertimbangkan dengan pikiran logis)

Keenam:
1. Sabda (mempertimbangkan dengan memberi saran)
2. Bayu (mempertimbangkan dengan keyakinan yang kuat)
3. Idep (mempertimbangkan dengan pikiran sehat)

Orang pintar dengan berbagai gelar kesaijanaannya kadang lupa alat timbangan Pikiran Sehat ini
Kepintarannya disalahgunakan. Keputusannya telah menyengsarakan banyak orang demi
menuruti nafsu serakah yang memandang benar bagi sendiri, sangat Egois, maka alat
timbangannya perlu ditera ulang agar menjadi standar dengan cara pensucian/menyucikannya.

Kitab Manawa Dharma Sastra V. 109. menyebutkan:

Adbhirgatrani sudhyanti,
Manah Satyena sudhyati,
Widhyatapobyam bhutatma,
Bhudhir jnanena sudhyati.

Artinya:
Tubuh disucikan dengan air,
Pikiran disucikan dengan kebenaran,
Jika manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata,
Kecerdasan disucikan dengan pengetahuan yang benar.

Air memang alat membersihkan badan, tetapi membersihkan badan tidak mempergunakan
sembarang air. Badan akan menjadi bersih apabila mandi dengan air bersih yang suci. Jika
berpegang teguh pada kebenaran maka kebenaran akan menjaganya sehingga pikiran menjadi
sehat. Melaksankan Tapa, Brata, Yoga, Semadi, adalah cara menyucikan Jiwa / Roh agar
menjadi sehat dan agar menjadi cerdas tentu harus banyak belajar, banyak membaca, banyak
mendengar pengetahuan yang benar.

Tegasnya menyucikan diri tidak ubahnya seperti orang menyapu, atau mengepel lantai rumah.
Alat yang dipakai menyapu atau mengepel harus bersih. Jika alatnya kotor maka hasil
pekerjaannya akan selalu kotor.

Pikiran Sakit
Albert Enstein pernah mengatakan “Kebenaran tidak dapat dijaga oleh tentara, melainkan hanya
harus dijaga dengan memahami persoalan”. Dengan memahami persoalan yang dihadapi, maka
keputusan yang benar tanpa cacat dapat diambil.

Sakit berarti tidak dalam keadaan normal. Jika pikiran sakit maka pikiran sedang tidak normal.
Setiap terjadi gangguan pada salah satu tubuh, yang paling merasakan adalah pikiran. Entah
dikatakan sakit, ngilu, nyeri mual dan semua keadaan tubuh dirasakan oleh pikiran.
Ada kalanya manusia dikuasai oleh sifat rajah dan tamah yang berlebihan karena tidak pernah
melaksanakan brata, yoga dan tapa. Yang diinginkan dan dilakukan adalah hanya meminta
kepada Tuhan agar selalu diberikan berkah oleh Hyang Widi. Karena terlalu berat sifat rajah dan
tamah yang dibawanya maka timbangannya berada dibawah. Menurut timbangan hukum Rta
(Tuhan) maka beban yang lebih berat akan berada dibawah. Kitab Kakawin Arjuna Wiwaha
pupuh 12 Sloka 5 menyebutkan:

Ana mara jadma tan pamihutang brata, yoga tapa


Angetula minta wirya sukaning widi sahasika
Binalikaken purihnika lewih tinemunia lara
Sinakitaning rajah tamah inandehaning prihati

Artinya:
Ada itu orang yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah melaksanakan brata, yoga dan tapa,
Hanya memohon kebahagiaan, keinginan Tuhan diperkosa,
Terbalik pahala yang didapat, sangat duka lara,
Disakiti oleh sifat rajah dan tamah, ditindih sakit hati.

Karena ditindih oleh rasa sakit hati yang mendalam maka dia kehilangan pikiran sehatnya, segala
tindaknya serba salah, rasa benci semakin jadi dan timbul krodha (kemarahan) yang semakin
menambah beban yang berat dan semakin dibawah (hina) tempatnya. Sebaliknya bagi yang
memiliki pikiran ringan berada diatas sambil bernyanyi kegirangan dikasihi Tuhan.
Pikiran sakit dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu:

1. Adyatmika duka adalah sakit karena pikiran sendiri, karena keterikatan pikiran akan sesuatu.
2. Adhidaiwika duka adalah pikiran sakit karena gaib misalnya kemasukan roh lain.
3. Adhibautika duka adalah pikiran sakit karena faktor luar, misalnya karena jatuh, kena senjata
tajam dan sebagainya.

Kitab Wrhaspati Tattwa sloka 16 menyebutkan perihal pikiran sebagai sumber arah kehidupan
berikut.

Moksah swargasca narakam


Tiryabhawasca manusam
Cittapapasya jayate
Cittasya hyanubhavatah

Artinya:
Pikiran yang menyebabkan sang pribadi mendapat sorga maupun neraka, pikiran menyebabkan
menjadi binatang dan manusia, pikiran menyebabkan mendapat kemenangan, pikiran yang
menyebabkan mendapatkan kelepasan.

Pikiran merupakan sumber perbuatan. Jika dia mengerjakan hal yang persis sama dan
menginginkan hasil yang berbeda ini adalah pikiran sakit.

Dari: Berbagai Sumber

Anda mungkin juga menyukai