Anda di halaman 1dari 9

Evaluasi Radiografi Pada Prevalensi Anomali Gigi di Populasi Iran

Tertentu

Abstrak
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevelensi anomaly gigi
menggunakan foto panoramic pada populasi di Iran.
Bahan dan Metode : Dalam studi cross-sectional ini, radiografi panoramic pada pasien berusia
18 tahun atau lebih, diantara tahun 2015 dan 2017 di tiga klinik swasta di Ba-bol dan Sari,
dievaluasi untuk dilihat ada atau tidaknya anomali (bentuk gigi, jumlah, struktur dan posisi).
Analisis data menggunakan uji chi square, Student’s t test, dan analisis varian. Dalam penelitian
ini, p ≤ 0,05 dianggap signifikan.
Hasil : Dari 8.018 kasus yang diperiksa, ditemukan anomali sebanyak 2250 kasus (28,06%),
dengan interval kepercayaan 95% dari 27,08 - 29,0; satu, dua, dan lebih dari dua jenis anomali
didapati pada tahun 1968 (24,5%), 267 (3,3%), dan 15 (0,2%) kasus, secara berturut-turut.
Dilaserasi akar merupakan anomali terbanyak (7,7%), diikuti oleh dens invaginatus (3,8%).
Impaksi didapati prevalensi 15,2%. Impaksi, dens invaginatus, dan gigi missing secara signifikan
lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pada pria, sementara gigi supernumerary dan
hipersementosis lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita (p<0,05).
Kesimpulan : Perilhal prevalensi anomali gigi yang relatif tinggi pada anomali gigi dilaserasi
akar dan dens invaginatus, penting untuk mempertimbangkan anomali ini secara hati-hati dalam
pengambilan keputusan pada perawatan.

Pendahuluan

Anomali gigi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari lingkungan maupun dari genetik
[1] Perkembangan anomali gigi dimulai saat masa pertumbuhan gigi, sedangkan anomali gigi
mulai bisa didapati setelah proses mature gigi [2-3]. Beberapa kondisi anomali gigi dan kelainan
pada massa perkembangan email menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, seperti gigi yang
sensitif dan masalah estetika [4]. Anomali lain, seperti impaksi dapat mengakibatkan maloklusi
[2]. Anomali gigi mempengaruhi oklusi dan panjang lengkung rahang, terutama di daerah
anterior pasien usia yang berusia muda; dengan demikian hal ini menjadi penting untuk
diperhatikan berkaitan dengan estetika gigi dan perawatan ortodontik [5-6]. Telah banyak
dilakukan penelitian yang membahas prevalensi anomali dan didapatkan hasil yang beragam, hal
ini mungkin disebabkan karena penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada populasi etnis yang
berbeda dan mungkin menggunakan tehnik pengambilan sampel dan metode diagnostik yang
berbeda [2, 7-9]. Gigi yang tidak tumbuh dari awal, atau gigi yang hilang, adalah salah satu
anomali jumlah gigi yang paling umum ditemukan, dan dapat mempengaruhi estetika dan fungsi
gigi [10-11]. Berbagai penelitian telah melaporkan prevalensi missing teeth terjadi pada 3,49% -
25,7% individu [2, 7, 9, 12]. Dilaserasi, yang merupakan anomali bentuk gigi, juga telah
dipelajari secara luas, terjadi pada prevalensi 0,5% - 21,11% [2, 7, 9, 13-14]. Gigi impaksi juga
sering ditemukan pada pasien; banyak penelitian telah melaporkan prevalensi impaksi gigi
sebesar 8,3% - 44,76% [2, 7, 9, 14-16]. Anomali pada massa perkembangan gigi yang lain dalam
hal bentuk gigi adalah dens invaginatus, terjadi pada prevalensi 0,4% -10,9% [2, 7-8, 14, 17-19].
Transposisi gigi adalah salah satu bentuk anomali posisi gigi, yang didefinisikan sebagai
perpindahan posisi gigi yang berdekatan ; gigi kaninus rahang atas merupakan yang paling sering
mengalami anomali ini [20-23]. Berbagai penelitian telah memperkirakan prevalensi transposisi
gigi sebesar 0,1% - 0,38% [7, 23-24]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
prevalensi anomali gigi pada populasi di Iran menggunakan bantuan foto radiografi. Berbagai
macam anomali diteliti dan dikategorikan menurut bentuk, jumlah, posisi, dan struktur gigi.

Bahan dan Metode

Dalam studi cross-sectional ini, radiografi panoramik dari pasien yang berusia 18 tahun
ke atas, dan diambil antara tahun 2015 dan 2017 di tiga klinik radiologi mulut dan maksilofasial
swasta di provinsi Mazandaran (di Babol dan Sari), diperiksa oleh tiga ahli radiologi
maksilofasial. Kriteria inklusinya adalah minimal berusia 26 tahun untuk yang mempunyai
anomali impaksi gigi molar 3 dan 18 tahun untuk anomali lainnya dan juga memiliki gambar
radografi dengan kualitas hasil yang baik. Kriteria eksklusi adalah kondisi sistemik yang dapat
mempengaruhi struktur gigi. Anomali yang diteliti dalam penelitian ini terkait dengan gigi
adalah (1) bentuk (yaitu fusi, taurodontisme, dens invaginatus, geminasi, dan dilaserasi akar
dengan kurva minimal 45 derajat), (2) jumlah gigi (missing, supernumery), walaupun molar
ketiga tidak masuk dalam hitungan, (3) struktur gigi (yaitu amelogenesis imperfecta,
dentinogenesis imperfecta, dan dentin displasia), (4) posisi gigi (yaitu transposisi), dan (5)
impaksi. Dibuat sebuh catatan untuk mencatat informasi demografis pasien dan ada atau
tidaknya anomali.
Data dianalisis menggunakan software SPSS (v.22); uji chi-square, uji-t Student, dan
analisis varians. Nilai probabilitas (p) ≤ 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Data deskriptif
dilaporkan sebagai frekuensi dan tingkat relative prevelensi diperkirakan dengan menggunakan
interval kepercayaan.

Hasil

Radiografi panoramik dari 8.018 pasien, dengan usia rata-rata ± standar deviasi 35,45 ±
10,94 tahun, diperiksa. Kasus terdiri dari 3470 laki-laki (43,4%; usia 36,13 ± 11,25 tahun) dan
4525 perempuan (56,6%; usia 34,92 ± 10,66 tahun)
Anomali ditemukan pada 2.250 kasus (28.06%), dengan interval kepercayaan 95% 27.08-
29.0. Satu jenis anomali ditemukan pada kasus tahun 1968 (24,5%), dua jenis anomali ditemukan
pada 267 kasus (3,3%), dan lebih dari dua jenis anomali ditemukan pada 15 kasus (0,2%). Tabel
1 menunjukkan persentase prevalensi dari anomali yang diteliti menurut jenis kelamin, dengan
interval kepercayaan 95%.
Talon cusp paling sering ditemui pada gigi insisivus lateral maksila (n=88, 1,1%) diikuti
oleh gigi kaninus maksila (n= 79, 1,0%). Invaginatus Dens ditemukan pada 477 gigi dari 301
pasien, dan paling banyak ditemukan pada gigi insisivus lateral rahang atas (n = 166, 2,1%) dan
pada wanita dibandingkan dengan pria (p= 0,028).
Dilaserasi akar, dengan kurva minimal 45 derajat, ditemukan pada 749 gigi dari 617
pasien (7,7%), dengan prevalensi 9,3%, paling sering pada gigi molar tiga mandibula (2,3%)
diikuti oleh gigi molar dua maksila. Tiga kasus dilaserasi mahkota juga ditemukan, dua di gigi
insisivus lateral dan satu di gigi molar tiga. Missing teeth ditemukan pada 134 (1,7%) pasien,
paling sering pada gigi insisivus lateral maksila (n = 91, 1,1%), diikuti oleh gigi premolar atas (n
= 18, 0,2%). Missing teeth secara signifikan lebih banyak ditemuka pada wanita dibandingkan
pria (p= 0,013).
Enam puluh sembilan kasus (0,86%) gigi supernumerary ditemukan pada 54 pasien
(0,7%). Gigi supernumerary yang paling umum adalah gigi geraham (n = 33, 0.41%) pada 26
pasien, diikuti dengan gigi supernumerary regio premolar (n = 31, 0,39%) pada 23 pasien.
Empat kasus (0,05%) mesiodense dan hanya satu kasus (0,01%) paramolar yang ditemukan.
Distomolar paling sering didapati di sisi kiri rahang atas.
Gigi impaksi ditemukan 1222 kasus pada 848 pasien dengan usia minimal 18 dan 26
masing-masing dan paling banyak ditemukan pada wanita (tabel 1). 1). Gigi molar tiga rahang
bawah paling sering mengalami impaksi (7%), diikuti oleh gigi molar tiga rahang atas (6,5%);
tidak ditemukan impaksi di regio insisivus lateral atau molar kedua. Prevalensi gigi impaksi
menurut jenis kelamin terdapat di Tabel 2. Jumlah gigi impaksi pada setiap pasien menurut
jenisnya terdapat pada Tabel 3.

Pembahasan
Dalam penelitian ini, persentase pasien dengan minimal satu jenis kelainan gigi adalah
24,5%, serupa dengan hasil yang dilaporkan oleh Shokri et al. [2] sebuah penelitian dilakukan
pada 1649 pasien Iran. Studi Patil et al. [7] pada 3.143 pasien India, Afify et al. [9] pada 778
pasien Arab, Ezoddini et al. [14] pada 480 pasien Iran, dan Gha banchi et al. [18] pada 414
pasien Iran melaporkan persentase masing-masing 40,8%, 33,8%, 36,7%, dan 49,0%. [7, 9, 14,
18]. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya adalah ukuran sampel yang telah
meningkat pesat dan selanjutnya akan meningkatkan akurasi hasil secara signifikan. Selain itu,
perbedaan tingkat prevalensi dapat dikaitkan dengan perbedaan dalam populasi etnis dan
anomali yang diteliti. Penelitian ini memiliki ukuran sampel terbesar di antara penelitian-
penelitian yang disebutkan sebelumnya, dengan 8018 radiografi panoramik yang diperiksa.
Pada penelitian ini, prevelensi dens invaginastus adalah 3,8% yang mana tidak sama
dengan penelitian sebelumnya oleh (Shokri et al. 0,24%, Ghaznawi 0,8%, Ghabanchi et al.
1,44%, dalili 10,9%) [2,17-19]. Prevelensi talon cusp adalah 2% pada penelitian ini, sementara
Gupta et al. (0,97%) dan Ezoddini et al. (0,6%) melaporkan tingkat prevalensi yang lebih rendah
[8,14]. Talon cusp paling sering ditemukan pada gigi insisiuvs lateral rahang atas, sama dengan
yang ditemukan pada penelitian sebelumnya [19, 25-27].
Prevalensi dilaserasi akar adalah 7,7%, serupa dengan temuan Shokri et al. (7,5%) dan
Nabvazeth et al (7,2%) [2, 13], sementara penelitian lainnya menampilkan hasil yang berbeda [7,
9, 14, 18-19, 28). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan jenis gambar radiografi
yang digunakan serta fakta bahwa dalam penelitian ini hanya akar yang melengkung lebih dari
45% yang dianggap sebagai dilaserasi.
Taurodontisme pada populasi saat ini diperkirakan terjadi pada prevalensi 0,2 %, yang
mana hal itu lebih rendah dari temuan Ghabanchi dkk. (0,9%) dan Dalili dkk. (0,5%) [18-19].
Perbedaan ini merupakan hasil dari lebih banyaknya ukuran sampel pasien pada penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Prevalensi gigi supernumerary adalah 0,7% pada
penelitian ini, lebih tinggi dari temuan Guttal et al. (0,43%) dan Dang et al. (0,28%) [25, 29].
Dua penelitian yang dilakukan di Iran melaporkan prevalensi gigi supernumerary adalahi 1,1%
dan 2,43% [2, 19]. Dalam penelitian ini, gigi distomolar dan supernumerary di regio premolar
adalah yang paling banyak ditemukan, sementara penelitian lain menemukan mesiodens sebagai
yang paling banyak ditemukan [8, 15].
Prevalensi missing teeth ditemukan 1,7%, serupa dengan Ghabanchi et al. (1,6%) [18],
tetapi lebih rendah dari Patil et al. (16,7%) dan Afify et al. (25,8%) [7, 9]. Perbedaan ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa kedua penelitian ini tidak mengecualikan gigi molar tiga. Faktor
genetik dan lingkungan juga dapat mempengaruhi prevalensi anomali ini. Penelitian ini
menunjukkan bahwa gigi yang hilang paling sering adalah terjadi secara bilateral pada gigi seri
lateral rahang atas, sejalan dengan penelitian oleh Shokri et al. dan Gupta et al. [2, 8] Prevalensi
hipersemantosis adalah 0,2% dalam penelitian ini.
Prevalensi transposisi adalah 0,06%, yang secara substansial lebih rendah dari penelitian
sebelumnya. Shokri et al., Patil et al., Ghaznawi et al., Dalili et al., dan Papa dopoulos et al.
menemukan prevalensi transposisi sebesar 0,33%, 0,1%, 0,24%, 0,2%, dan 0,1%, masing-masing
[2, 7, 17, 19, 24]. Satu-satunya perbedaan antara penelitian saat ini dan sebelumnya adalah
ukuran sampel yang lebih besar.
Dalam penelitian ini, prevalensi impaksi adalah sebesar 15,2%, serupa dengan penelitian
Shokri et al. [2] dan Ghabanchi et al. [18] yang melaporkan sebesar masing-masing 16,07% dan
16,6%. Afify et al. [9] melaporkan prevalensi impaksi sebesar 21,2%. Perbedaan ini disebabkan
oleh perbedaan kriteria pemilihan impaksi. Dalam sebuah studi oleh Dalili et al. [19] di Rasht,
Iran, prevalensi impaksi adalah 4,34%, yang tidak sesuai dengan temuan kami. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan jenis impaksi yang diteliti, dan rata-rata populasi yang diperiksa.
Dalam penelitian ini, gigi yang paling sering terkena impaksi adalah gigi molar tiga, mirip
dengan temuan Shokri et al. [2] Namun, Fardi et al. menemukan bahwa gigi taring rahang atas
adalah gigi yang paling sering terkena impaksi (8,8%).
Kesimpulan
Mengenai prevalensi anomali gigi yang relatif tinggi seperti dilaserasi akar dan dens invaginatus,
penting untuk mempertimbangkan anomali ini secara hati-hati dalam pengambilan keputusan
pengobatan dan perawatan.

Konflik Kepentingan
Penulis menjelaskan tidak ada konflik kepentingan.

Referensi

1. Uslu O, Akcam MO, Evirgen S, Cebeci I. Prevalence of dental anomalies in various


malocclusions. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 2009; 135: 328-335.
2. Shokri A, Poorolajal J, Khajeh S, Faramarzi F, Kahnamoui HM. Prevalence of dental
anomalies among 7- to 35-year-old people in Hamadan, Iran in 2012-2013 as observed
using panoramic radiographs. Imaging SciDent. 2014; 44: 7-13.
3. White SC, Pharoah MJ. Oral radiology: principles and interpretation. 7th ed. St. Louis:
Mosby Elsevier; 2014. p.582.
4. Harris EF, Clark LL. Hypodontia: an epidemiologic study of American black and white
people. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 2008; 134: 761-767.
5. Kositbowornchai S. Prevalence and distribution of dental anomalies in pretreatment
orthodontic Thai patients. Khon Kaen Univ Dent J. 2010; 13: 92-100.
6. Kapdan A, Kustarci A, Buldur B, Arslan D, Kapdan A. Dental anomalies in the primary
dentition of Turkish children. Eur J Dent. 2012; 6: 178-183.
7. Patil S, Doni B, Kaswan S, Rahman F. Prevalence of dental anomalies in Indian
population. J Clin Exp Dent. 2013; 5: e183-e186.
8. Gupta SK, Saxena P, Jain S, Jain D. Prevalence and distribution of selected
developmental dental anomaliesin an Indian population. J Oral Sci. 2011; 53: 231-238.
9. Afify AR, Zawawi KH. The prevalence of dental anomalies in the Western region of
saudi arabia. ISRN Dent. 2012; 2012: 837270.
10. Rakhshan V. Congenitally missing teeth (hypodontia): A review of the
literatureconcerning the etiology, prevalence, risk factors, patterns and treatment. Dent
Res J (Isfahan). 2015; 12:1-13.
11. Amini F, Rakhshan V, Babaei P. Prevalence and pattern of hypodontia in the permanent
dentition of 3374Iranian orthodontic patients. Dent Res J (Isfahan). 2012; 9: 245- 250.
12. Muller TP, Hill IN, Peterson AC, Blayney JR. A survey of congenitally missing
permanent teeth. J Am Dent Ass oc. 1970; 81: 101-107.
13. Nabavizadeh M, Sedigh Shamsi M, Moazami F, Abbaszadegan A. Prevalence of root
dilaceration in adult patients referred to Shiraz dentalschool (2005-2010). J Dent
(Shiraz). 2013; 14: 160-164.
14. Ezoddini AF, Sheikhha MH, Ahmadi H. Prevalence of dental developmental anomalies:
a radiographic study. Community Dent Health. 2007; 24: 140-144.
15. Fardi A, Kondylidou-Sidira A, Bachour Z, Parisis N, Tsirlis A. Incidence of impacted
and supernumerary teeth-a radiographic study in a North Greek population. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal. 2011; 16: e56-e61.
16. Kramer RM, Williams AC. The incidence of impacted teeth. A survey at Harlem
hospital. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1970; 29: 237-241.
17. Ghaznawi HI, Daas H, Salako NO. A clinical and radiographic survey of selected dental
anomalies and conditions in a saudi arabian population. Saudi Dental Journal. 1999; 11:
8–13.
18. Ghabanchi J, Haghnegahdar AA, Khodadazadeh SH, Haghnegahdar S. A radiographic
and clinical survey ofdental anomalies in patients referring to Shiraz dental school.
Journal of Dentistry, Shiraz University of Medical Sciences. 2010; 10: 26-31.
19. Dalili Z, Nemati S, Dolatabadi N, Javadzadeh A, Mohtavipoor S. Prevalence of
developmental and acquired dental anomalies on digital panoramic radiography in
patients attending the dental faculty of Rasht, Iran. J Dentomaxillofac Radiol Pathol
Surg. 2013; 1: 24–32.
20. Chattopadhyay A, Srinivas K. Transposition of teeth and genetic etiology. Angle Orthod.
1996; 66: 147-152.
21. Joshi MR, Bhatt NA. Canine transposition. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1971; 31:
49-54.
22. Shapira Y. Transposition of canines. J Am Dent Assoc. 1980; 100: 710-712.
23. Yilmaz HH, Türkkahraman H, Sayin MO. Prevalence oftooth transpositions and
associated dental anomalies in a Turkish population. Dentomaxillofac Radiol. 2005; 34:
32-35.
24. Papadopoulos MA, Chatzoudi M, Kaklamanos EG. Prevalenceof tooth transposition. A
meta-analysis. Angle Orthod.2010; 80: 275-285.
25. Guttal KS, Naikmasur VG, Bhargava P, Bathi RJ. Frequency of developmental dental
anomalies in the Indianpopulation. Eur J Dent. 2010; 4: 263-269.
26. Dash JK, Sahoo PK, Das SN. Talon cusp associated with other dental anomalies: a case
report. Int J Paediatr Den 2004; 14: 295-300.
27. Segura JJ, Jiménez-Rubio A. Talon cusp affecting permanent maxillary lateral incisors in
2 family members. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1999; 88: 90-92.
28. Hamasha AA, Al-Khateeb T, Darwazeh A. Prevalence of dilaceration in Jordanian
adults. Int Endod J. 2002; 35: 910-912.
29. Dang HQ, Constantine S, Anderson PJ. The prevalence of dental anomalies in an
Australian population. Aust Dent J. 2017; 62: 161-164. t

Anda mungkin juga menyukai