Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH KELOMPOK
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA
PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIK

KELAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TERINTEGRASI - D


FOCUS GROUP 3

Annisa Nur Ulandini 1706977922


Dinda Tasya 1706978004
Fiqih Aulia 1706978326
Khairrunnisa 1706978903
Nabila Nur Islami 1706978162
Rizky Fadilah 1706978446
Siti Khofifah 1706978364

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM S1 REGULER ILMU KEPERAWATAN
DEPOK 2020
ABSTRAK
Ketoasidosis Diabetik (KDA) merupakan gangguan metabolisme dan
kondisi gawat darurat dari diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia,
asidosis, dan ketosis. Ketoasidosis diabetik merupakan manifestasi awal dari DM
tipe 1 atau akibat dari peningkatan kebutuhan insulin DM tipe 1 pada keadaan
infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya. Di Indonesia angka
kejadian ketoasidosis diabetik tidak begitu tinggi dibandingkan negara barat,
tetapi angka kematian masih tinggi. Kematian pada usia muda dapat dicegah
dengan diagnosis dini, pengobatan yang rasional dan tepat sesuai patofisiologinya.
Oleh karena itu sebagai perawat gawat darurat harus dapat melakukan pengkajian,
initial assessment, dan pemeriksaan yang tepat agar dapat memberikan
pengobatan yang sesuai pada pasien. Keberhasilan pengobatan ketoasidosis
diabetik memerlukan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis, gangguan
elektrolit, identifikasi faktor pengendapan komorbid, dan pemantauan secara terus
menerus.
Kata Kunci: darurat, diabetik, gawat, ketoasidosis.

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes merupakan penyakit kronis yang sering dialami penduduk


dewasa di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar di tahun 2013
menunjukkan prevalensi diabetes mellitus pada penduduk dewasa Indonesia
sebesar 6,9%. Kemudian pada tahun 2018, melonjak pesat ke angka 8,5%.
World Health Organization (WHO) memprediksikan di tahun 20130, penyakit
DM akan menimpa lebih dari 21 juta penduduk Indonesia (FK UI, 2019).
Pada penderita diabetes, seringkali mengalami Ketoasidosis Diabetik (KDA).
KAD adalah gangguan metabolisme yang dapat mengancam jiwa seorang
penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Di Indonesia angka kejadian
ketoasidosis diabetik tidak begitu tinggi dibandingkan negara barat, tetapi
angka kematian masih tinggi. DKA merupakan manifestasi awal dari DM tipe
1 atau akibat dari peningkatan kebutuhan insulin DM tipe 1 pada keadaan
infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya (Curtis, & Ramsden,
2016). Kondisi kehilangan urin, air, kalium, amonium, dan natrium
menyebabkan hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, kadar glukosa darah
sangat tinggi, dan pemecahan asam lemak bebas menyebabkan asidosis dan
sering disertai koma. KAD ini termasuk komplikasi akut diabetes melitus
yang serius dan membutuhkan pengelolaan unit gawat darurat [ CITATION Tar12
\l 1033 ]. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran tenaga kesehatan khususnya
perawat gawat darurat untuk melakukan pengkajian, initial assessment, dan
pemeriksaan yang tepat agar dapat memberikan pengobatan yang sesuai pada
pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana triase dan justifikasinya pada kasus?
2. Bagaimana Inisial assessment pada kasus?
3. Apa saja pengkajian lainnya yang belum tercantum pada kasus?

3
4. Apa kegawatan yang terjadi pada kasus?
5. Bagaimana mekanisme timbulnya gejala yang dikaitkan dengan hasil
pemeriksaan fisik dan diagnostik?
6. Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat pada kasus?
7. Bagaimana Algoritma pada kasus KAD?
8. Bagaimana penanganan kolaboratif dan peran perawat pada kasus?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui triase dan justifikasinya pada kasus
2. Mengetahui inisial assessment pada kasus
3. Mengetahui apa saja pengkajian lainnya yang belum tercantum pada kasus
4. Mengetahui kegawatan yang terjadi pada kasus
5. Mengetahui bagaimana mekanisme timbulnya gejala yang dikaitkan dengan
hasil pemeriksaan fisik dan diagnostik?
6. Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat pada kasus
7. Mengetahui bagaimana agaimana Algoritma pada kasus KAD
8. Mengetahui bagaimana penanganan kolaboratif dan peran perawat pada
kasus

4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kasus Pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD)

Seorang pria berusia 40 tahun diantar ke IGD dengan keluhan penurunan


kesadaran, tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi
napas 34x/menit dan produksi urine 1000 cc/4 jam. Dari hasil pemeriksaan lab
menunjukan GDS 458 gr/dl, keton 3,4 mg/dl, serta hasil AGD menunjukan pH
7.31, PCO2 30, HCO3 13, PO2 82, BE -5.1. Pada pasien juga ditemukan adanya
luka gangren pada pedis sinistra.

2.2 Triase

Menurut Emergency Nurses Association (2010) triase dibagi menjadi 5 level.


Level I yaitu Resusitasi. Pada level ini keadaan pasien membutukan perawatan
dan penanganan medis segera, contohnya pda pasien henti jantung, trauma berat,
gangguan pernapasan yang parah, dan kejang. Level II yaitu emergent. Pada level
ini pasien perlu mendapatkan penanganan secara cepat. Contohnya cedera kepala,
stroke, nyeri dada, asma, dan cedera kekerasan seksual. Level III yaitu urgent.
Pada level ini pasien memerlukan perawatan yang cepat namun masih dapat
menunggu maksimal 30 menit. contohnya pada pasien dengan tandan-tanda
infeksi, gangguan pernapasan ringan, serta nyeri sedang. Level IV yaitu less
urgent. Pada level ini pasien madih dapat menunggu selama maksimal 1 jam
untuk mendapatkan perawatan. Level V yaitu non-urgent. Pasien dapat menunggu
untuk mendapatkan perawatan selama 2 jam atau lebih. Contohnya pasien dengan
gejala-gejala minor seperti sakit tenggorokan, kram menstruasi, dll.

Airway : tidak ada sumbatan jalan napas

Breathing : takipnea, RR 34x/menit

Circulation : TD 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, urine 1000cc/menit

Disasbility : pasien mengalami penurunan kesadaran

5
Exposure : terdapat luka gangrene pada pedis sinistra

Pasien dapat dikategorikan pada triase level II karena RR pasien cepat,


mengalami urin 1000cc/4 jam dan terjadi penurunan kesadaran, sehingga
memerlukan penanganan yang cepat.

2.3 Pengakajian Primer dan Sekunder

2.3.1 Pengkajian Primer

Prioritas pertama pada pasien dengan diabetes ketoasidosis adalah menetapkan


tingkat keparahan masalah dan perlunya intervensi segera (Curtis & Ramsden,
2016). Pengkajian primer dilakukan untuk menilai potensi atau ancaman aktual
terhadap jalan napas, pernapasan, sirkulasi, disability, dan exposure.

 Jalan napas (Airway)


Pengkajian jalan napas bertujuan untuk menilai kepatenan jalan napas
apakah terdapat obstruksi atau tidak. Identifikasi dan bebaskan jalan napas
sebagian atau seluruhnya, posisikan pasien untuk mempertahankan kepatenan,
jika diindikasikan masukkan oropharyngeal atau nasopharyngeal airway
(Emergency Nurses Association, 2013)
 Pernapasan (breathing)
Tentukan efektivitas upaya pernapasan dan identifikasi kelainan adanya
kelainan pernapasan, seperti pola napas abnormal, suara abnormal, dll).
Pada kasus pemicu, frekuensi napas 34x/menit  takipnea, Pada kasus
diabetes ketoasidosis, napas pasien mungkin berbau aseton (bau manis seperti
buah) sebagai akibat meningkatnya kadar badan keton. Selain itu, terjadi
hiperventilasi dimana pernapasan mungkin menjadi sangat dalam tetapi tidak
berat atau sulit. Pernapasan kussmaul ini menunjukkan bahwa tubuh berupaya
mengurangi asidosis dalam melawan efek pembentukan badan keton
(Emergency Nurses Association, 2013). Pasien merasakan dorongan secara
tidak sadar untuk bernapas dengan cepat dan dalam
 Sirkulasi (circulation)
Evaluasi keberadaan dan kualitas denut nadi, nilai capillary refill, warna
dan suhu kulit, dan adanya diaforesis. Penurunan volume intravaskular dapat

6
menimbulkan denyut nadi yang lemah dan cepat, kemungkinan hipertermia,
kulit biasanya panas dan kering, serta turgor kulit menjadi berkurang
(Emergency Nurses Association, 2013)
 Disabilitas (disability)
Tentukan tingkat kesadaran pasien dan identifikasi penyebab potensial
perubahan kesadaran dan nilai ukuran dan reaktivitas pupil. Pada kasus
pemicu, pasien mengalami penurunan kesadaran. Pasien juga dapat mengalami
penglihatan yang kabur dan kelemahan. Pada diabetes ketoasidosis terjadi
perubahan status mental yang bervariasi antara pasien satu dengan pasien
lainnya. Pasien dapat terlihat sadar, mengantuk (letargik) atau koma. Hal ini
dipengaruhi oleh osmolaritas plasma (konsentrasi partikel aktif-osmotis)
(Smeltzer et al., 2010).
 Paparan dan lingkungan (exposure)
Pengkajian eksposur dilakukan untuk memeriksa adanya paparan cedera
pasien, perdarahan, atau lainnya. Periksa pasien dengan penilaian yang
dilakukan secara menyeluruh. Pada kasus pemicu, pasien ditemukan adanya
luka gangrene pada pedis sinistra.

Gambar 1. Manifestasi klinis diabetes ketoasidosis.


Sumber: p 653, (Curtis & Ramsden, 2016)

2.3.2 Pengkajian Sekunder

7
Pengkajian sekunder dilaukan dengan mengetahui keluhan dan riwayat kesehatan
(SAMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

A. Keluhan dan riwayat kesehatan dapat diketahui dengan menanyakan langsung


kepada pasien, apabila pasien mengalami penurunan kesadaran dapat diketahui
melalui anggota keluarga terdekat. Pengkajian riwayat kesehatan menggunakan
komponen SAMPLE (Emergency Nurses Association, 2013):
 Subjective: pria berusia 40 tahun diantar ke IGD dengan keluhan
penurunan kesadaran.
 Allergies (alergi): Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
 Medications (obat-obatan): Dilakukan untuk mengetahui obat-obatan yang
dikonsumsi pasien saat ini atau 24 jam terakhir, obat yang terakhir
diminum dan kapan terakhir kali meminumnya  riwayat pola makan dan
pengaturan makan
 Past health history (riwayat kesehatan masa lalu): Pasien memiliki riwayat
diabetes melitus.
 Last meal eaten (makanan yang terakhir dikonsumsi): Riwayat asupan
makanan pasien maupun makanan dan minuman yang terakhir kali
dikonsumsi
 Event leading to the illness/injury (Hal-hal yang berhubungan dengan
penyakit/cedera): Kapan gejala DM muncul, adanya infeksi terkini yang
muncul, riwayat pengaturan regimen terapetik dan riwayat pemantauan
kadar glukosa darah mandiri.

Data yang ditemukan pada kasus:

- Pria berusia 40 tahun dengan penurunan kesadaran


- Tekanan darah 90/60 mmHg
- Frekuensi nadi 100x/menit
- Frekuensi napas 34x/menit
- Produksi urine 1000 cc/4 jam
- Pasien ditemukan adanya luka gangren pada pedis sinistra.

B. Pemeriksaan fisik

8
Pada kasus pemicu, pasien ditemukan adanya luka gangren pada pedis sinistra 
periksa telapak kaki untuk melihat adanya luka, tanda-tanda infeksi, penurunan
sensasi dan palpasi serta dokumentasi denyut kaki peripheral. Selain itu lakukan
pemeriksaan kulit, meliputi lesi dan tempat injeksi insulin serta pemeriksaan
neurologis berupa getaran dan sensorik menggunakan refluks tendon
monofilamen.

C. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan (Huecker & Plantz, 2016):


1. Hasil AGD: pH 7.31, PCO2 30, HCO3 13, PO2 82, BE -5.1  asidosis
metabolik terkompensasi sebagian, tingkat PCO2 30 mencerminkan
kompensasi respiratorik (pernapasan kusmaul terhadap asidosis metabolik.
2. GDS 458 gr/dl
3. Keton 3,4 mg/dl
4. Asidosis metabolik yang ditunjukkan dengan konsentrasi bikarbonat serum
rendah < 15 m Eq/L dan pH < 7.3
5. Profil biokimia serum (termasuk elektrolit, nitrogen urea darah (BUN) dan
tingkat kreatinin, urinalisis, dan tingkat keton.
a. Ketonemia dihasilkan dari -hydroxybutyrate and acetoacetate. Tes kualitatif
(misalnya, tes nitroprusside) mendeteksi asetoasetat tetapi tidak
hidroksibutirat.
b. Gangguan elektrolit mungkin ada, tergantung pada status hidrasi pasien.
- Kadar natrium dan kalium dapat rendah, normal, atau tinggi.
- Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN), hemoglobin dan
hematokrit juga dapat terjadi pada dehidrasi.
- Diuresis osmotik secara bertahap menyebabkan hilangnya natrium,
klorida, kalium, fosfor, kalsium, dan magnesium.
c. Pemeriksaan lain, seperti complete blood count (CBC).

9
Gambar. Hasil temuan pada diabetes ketoasidosis

Sumber: p 653, (Curtis & Ramsden, 2016)

D. Pemeriksaan penunjang, dapat diindikasikan untuk mengidentifikasi presipitasi


penyebab, sebagai berikut (Curtis & Ramsden, 2016):
- Rontgen dada
- Elektrokardiogram

2.4 Patofisiologi

Ketoasidosis diabetikum atau biasa disebut dengan KAD merupakan


komplikasi akut yang dapat mengancam jiwa seorang penderita diabetes mellitus
yang tidak terkontrol. Ketoasidosis diabetik (KAD) didefinisikan sebagai
katabolisme yang tidak terkontrol terkait defisiensi insulin yang terlihat pada
pasien diabetes. Hal ini menyebabkan hiperglikemia, ketosis yang menyebabkan
asidosis metabolik, dan diuresis osmotik yang mengakibatkan dehidrasi berat
(Crouch et al., 2017). Kondisi kehilangan urin, air, kalium, amonium, dan natrium
menyebabkan hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, kadar glukosa darah
sangat tinggi, dan pemecahan asam lemak bebas menyebabkan asidosis dan sering

10
disertai koma. Maka dari itu KAD adalah komplikasi akut diabetes melitus yang
serius dan membutuhkan pengelolaan unit gawat darurat [ CITATION Tar12 \l 1033 ].

Ketoasidosis diabetikum (KAD) selalu dikaitkan dengan diabetes tipe 1


dan sangat jarang merupakan ciri diabetes tipe 2. Terlepas dari presentasi pertama
diabetes tipe 1, KAD biasanya dipicu oleh stres fisiologis, terutama infeksi
(misalnya infeksi saluran kemih dan dada), stroke, dan trauma. Stres ini terjadi
pada kadar glukagon, katekolamin, dan glukokortikoid yang bersirkulasi, yang
semuanya adalah kadar glukosa darah (Crouch et al., 2017). Karena patofisiologi
DM tipe 1 yang tidak diobati berlanjut, defisit insulin menyebabkan simpanan
lemak rusak, mengakibatkan hiperglikemia yang berlanjut. Produksi glukosa oleh
hati meningkat, penggunaan glukosa perifer menurun, mobilisasi lemak
meningkat dan ketogenesis (pembentukan keton) dirangsang (LeMone et al.,
2017). Peningkatan kadar glukagon mengaktifkan jalur glukoneogenik dan
ketogenik di hati. Dengan adanya defisiensi insulin, produksi betahidroksibutirat
dan asam asetoasetat (badan keton) yang berlebihan di hati menyebabkan
peningkatan konsentrasi keton dan pelepasan asam lemak bebas. Akibat hilangnya
bikarbonat (yang terjadi saat keton terbentuk), buffer bikarbonat tidak terjadi dan
terjadi asidosis metabolik, yang disebut DKA. Depresi sistem saraf pusat akibat
akumulasi keton dan asidosis yang dihasilkan dapat menyebabkan koma dan
kematian jika tidak ditangani (LeMone et al., 2017).

No Gambaran Klinis Data pada kasus


1. Hiperventilasi Napas kussmaul
34x/menit
2. Poliuria Produksi urine 1000
cc/4jam
3. Hipotensi 90/60 mmHg
4. Takikardia 100 x/menit
5. Penurunan kesadaran Diantar ke IGD karena
penurunan kesadaran
6. Polidipsia (serangan rasa haus)

11
7. Acethone breathe
8. Mual dan muntah
9. Nyeri abdomen
(Crouch et al., 2017)

Ketika KAD memburuk maka pasien akan merasakan mual sampai


muntah, nafsu makan menurun, dan nyeri abdomen. Pasien mengalami perubahan
tingkat kesadaran, kebingungan tentang kejadian baru-baru ini, atau respons yang
lambat terhadap pertanyaan. Letargi bisa berkembang menjadi koma. Pernapasan
kussmaul cepat, dalam, dan biasanya tercium pada napas. Bau aseton ini
mengindikasikan KAD yang memburuk. Penyebab pernapasan kussmaul adalah
kompensasi pernapasan untuk asidosis metabolik. Nilai gas darah dari penderita
pernafasan kussmaul akan menunjukkan penurunan kadar PCO 2 karena adanya
peningkatan pernafasan yang dipaksakan (meniup CO2). Nilai rendah pada
tekanan darah bisa terjadi akibat dehidrasi parah. Kulit biasanya panas, kering,
dan turgor kulit berkurang (ENA, 2012).

Pemeriksaan laboratorium awal harus diperoleh lebih awal dan terapi cairan
dimulai saat tiba di UGD. Kadar glukosa serum lebih tinggi dari 300 mg / dL dan
kadar kalium normal atau meningkat biasanya ada. Kadar kreatinin dan nitrogen
urea darah (BUN) dapat meningkat akibat dehidrasi. Pengujian keton serum
berdasarkan pengukuran β-hidroksibutirat (BOHB atau β- OHB, asam keto utama
penyebab asidosis) direkomendasikan untuk diagnosis dan pemantauan. Rata-rata
kadar BOHB di DKA sekitar 7 mmol / L, tetapi dapat berkisar dari 4 hingga 42
mmol / L. Hasil gas darah biasanya menunjukkan asidosis metabolik. Infeksi
dapat memicu DKA, sehingga kultur darah harus diperoleh bila dicurigai adanya
infeksi. Setelah kultur diperoleh, terapi antibiotik harus dimulai (ENA, 2012).

2.5 Algoritma KAD

12
Komponen penting dalam tatalaksana ketoasidosis diabetic (KAD) ada
tiga, yaitu resusitasi cairan, insulin dan penggantian kalium. Terapi resusitasi
cairan adalah terapi utama pada kasus ketoasidosis diabetik. Resusitasi cairan
harus sudah diinisiasi sejak hasil lab dalam tahap proses pemeriksaan. Dengan
resusitasi yang tepat dan cepat volume cairan intravaskular bisa dikembalikan
serta perfusi ke organ vital dapat membaik (Newton,2005).

Complete initial evaluation, start IV fluids (1.0 L of 0.9 % NaCl per hour initialy) or 15 -20 ml/Kg

IV fluid Insulin potasium Bicarbonate

If K+ <
Determine hydration status IV insulin infus 3.3mmol/L,hold After 1 hr
\ (0.1U/Kg/hr) isnulin and give 40 hydration
Hypovolemi Mild Cardiogenic mmol/L until
c shock hypotension shock K+≥3.3mmol/L pH ≥7
pH < 7

Check BG /hr, if
does not fall ≤ 50
0.9 %NaCl (1 L/hr) or Hemodynamic mg/l in 1st hr, If K+≥5 No NaBic
plasma expander or double dose mmol/,don’t
both monitor hourly until BG fall give K, check K/2
hr
Dilute NaBic
Evaluate corrected Na+ 44.6 mmol)
in 200 ml
H2O. Infuse
at rate of
Serum Na+ Serum Na+ Serum Na+ 200ml/hour
High normal low

0.45 %NaCl (4-14 0.9 %NaCl (4-


ml/Kg/hr) 14ml/Kg/hr)
depending depending hyration Repeat
hydration status status NaBic / 2hr
If K+≥ 3.3 - < 5 until pH>7.
mmol/L, give Monitor K
20-30 mmol
2.6 Penanganan Kolaboratif dan Peran Perawat Check
When BG 150 – 250 mg/L. D5% with K+/IV fluid to
check BG / 4hr and start
0.45% NaCl and ↓ Insulin 0.05- chemistry/2-4
maintain at 4-5hr
SC insulin
0.1U/Kg/hr until keton – or Osm ≤320 until stable. Look
mmol/kg for precipatating 13
2.6.1 Penanganan Kolaboratif

Penatalaksanaan KAD dilakukan tidak hanya menurunkan kadar gula darah, tetapi
juga menghentikan proses asidosis [ CITATION Ika17 \l 1033 ]. Penatalaksanaan
KAD dilakukan untuk memenuhi volume pasien, mengembalikan konsekuensi
metabolik dari insufisiensi insulin, koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa, mengobati penyebab pencetus, dan menghindari komplikasi. Prioritas utama
terapeutik bagi pasien KAD, dimana volume menjadi bagian awal dan penting
bagi pasien, koreksi defisit kalium, kemudian pemberian insulin. Gangguan
metabolisme harus diperbaiki di perkiraan tingkat kejadian atau > 24-36 jam
[ CITATION Tin15 \l 1033 ]

1. Terapi cairan
Terapi cairan menjadi prioritas utama pada penatalaksanaan KAD.
pemberian cairan intravena sangat penting untuk pasien KAD karena dapat
mengembalikan sirkulasi darah [ CITATION Ika17 \l 1033 ] . Sangat penting untuk
memahami penentuan defisit cairan sebelum memberikan terapi cairan.
Targetnya yaitu dengan penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan
cairan dalam 8-12 jam pertama dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Total
kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB atau sebesar 5-8
liter [ CITATION Wir10 \l 1033 ] . Pada pasien dewasa, terapi cairan awal
langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan
ekstravaskular, serta menjaga perfusi ginjal. Pemakaian cairan NaCL 0,9%
perlu diberikan sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan, diberikan dengan
kecepatan awal 1 L/jam untuk 2-3 jam pertama. Respon klinis dan keluaran
urin merupakan indikator dari status cairan [ CITATION Mar16 \l 1033 ].
Cairan dapat diberikan dengan kecepatan 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih
selama satu jam pertama (± 1-1,5 L). Pemberian cairan dapat dilakukan
dengan 1 liter di jam pertama, 1 liter di 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter
setiap 4 jam sampai pasien terhidrasi dengan tetap menyesuaikan status hidrasi
pasien [ CITATION Tin15 \l 1033 ] . Tujuannya yaitu untuk memperbaiki perfusi
jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Cairan yang
digunakan yaitu cairan kristaloid bukan koloid. Jika kadar natrium serum
pasien tinggi (> 150 mEq/l) dapat diberikan cairan NaCL 0,45% untuk

14
mengoreksi peningkatan kadar Na+ serum [ CITATION Eme10 \l 1033 ].
Pemberian cairan Ringer Laktat disarankan untuk mengurangi kemungkinan
jika pasien mengalami hiperkloremia saat pemakaian normal saline.
Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik
(perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan input output, dan pemeriksaan
klinis. Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan
dalam jangka waktu 24 jam pertama dan kecepatan cairan intravena harus
dihitung untuk merehidrasi dalam waktu sedikitnya 48 jam [ CITATION Wir10 \l
1033 ]
Jika pasien mengalami komplikasi edema serebri, pemberian cairan
dikurangi, tetapi dapat diberikan manitol intravena. Manitol intravena dapat
diberikan dengan dosis 0,25-1 gram/kg selama 20 menit sebelum ancaman
gagal nafas. Pemberian tersebut dapat diulang setelah dua jam jika tidak ada
respons awal. Pemberian NaCl hipertonik (3%) 5-10 ml/kg selama 30 menit
juga dapat menjadi alternatif, selain itu juga pasien mungkin perlu diberikan
intubasi dan ventilasi [ CITATION Ika17 \l 1033 ].
2. Terapi insulin
Dilakukan setelah pasien terdiagnosis KAD dan rehidrasi memadai, serta
setelah pemberian cairan dimulai. Pemberian insulin dapat menurunkan kadar
hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari
jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan [ CITATION Ika17
\l 1033 ]. Tujuan diberikan insulin untuk mencapai kadar glukosa normal dan
mengatasi ketonemia. Insulin diberikan secara intravena sebagai infus
kontinyu menggunakan teknik dosis rendah (yaitu, 5-10 U/jam) sampai
ketonemia dan asidosis sembuh [ CITATION Mar16 \l 1033 ]. Pemberian insulin
dengan drip insulin intravena dosis rendah dapat dilakukan, karena dapat
mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah menjadi lebih
lambat, efek insulin cepat menghilang, kalium masuk ke intrasel lebih lambat,
dan adanya komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit [ CITATION
Wir10 \l 1033 ]. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal
di jam pertama, lakukan pemeriksaan status hidrasi pasien. Jika status hidrasi

15
mencukupi, dapat menaikan infus insulin 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar
gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1
u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%. Setelah itu
kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose disesuaikan untuk
menjaga nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik [ CITATION Tin15 \l
1033 ].
Jika saat kondisi klinik pasien tidak dapat diberikan insulin intravena,
maka insulin diberikan dalam dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB yang terbagi
menjadi setengah dosis secara intravena dan setengah dosis secara subkutan
atau intramuskular, selanjutnya dapat diberikan insulin secara intramuskular
atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam[ CITATION Kat16 \l 1033 ] . Selama pasien
melakukan terapi KAD, lakukan pemeriksaan kadar elektrolit, glukosa, BUN,
serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2-4 jam, serta
kadar glukosa kapiler diperiksa setiap 1-2 jam. Jika parameter KAD (pH,
anion gap, konsentrasi beta hidroksi butirat) tidak mengalami perbaikan, dapat
melakukan evaluasi ulang pasien, dosis insulin, dan penyebab lain penyebab
pasien tidak berespon terhadap terapi insulin (misalnya infeksi atau salah
dalam pengenceran insulin, dll)[ CITATION Ika17 \l 1033 ].
3. Natrium
Natrium menjadi salah satu indikator hidrasi, sehingga kadar Na+ pada pasien
harus dalam kisaran normal yaitu 135-145 mEq/L [ CITATION Ika17 \l 1033 ].
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang
rendah, karena gula darah yang tinggi. Setiap peningkatan gula darah di atas
100 mg/dL, maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/L dari
kadar yang diukur. Kandungan natrium dalam cairan perlu ditambahkan, jika
kadar natrium serum rendah dan tidak meningkat sesuai dengan penurunan
kadar glukosa darah [ CITATION Wir10 \l 1033 ]
4. Kalium
Penggantian kalium diperlukan dan harus berdasarkan pengukuran kadar
kalium serum. Pemberian kalium dimulai segera jika pasien hipokalemia atau
diberikan bersamaan dengan dimulainya terapi insulin. Kalium 20 mEq/L

16
harus ditambahkan ke dalam cairan intravena pada awal terapi untuk
memperbaiki defisiensi kalium berat. Selama hari pertama pengobatan, pasien
biasanya membutuhkan 100-200 mEq kalium untuk memelihara kadar kalium
serum dalam range normal yaitu 4-5 mEq/L [ CITATION Tin15 \l 1033 ]. Selain
itu dapat dilakukan terapi KCl 40 mEq/L, dan menunda terapi insulin hingga
kadar kalium > 3,3 mEq/L untuk menghindari terjadinya aritmia atau gagal
jantung, serta kelemahan otot pernapasan [ CITATION Ika17 \l 1033 ] . Jika pasien
hiperkalemia, tunda kalium sampai didapat output urin. Kalium fosfat dengan
kalium klorida atau asetat dapat diberikan untuk mencegah terjadinya asidosis
hiperkloremia dan hipokalsemia. Contohnya seperti kalium fosfat diberikan 20
mEq/L, sedangkan kalium klorida juga 20 mEq/L. Pemberian kalium harus
dilakukan secara terus menerus selama pasien mendapatkan cairan intravena
[ CITATION Eme10 \l 1033 ].
5. Bikarbonat
Pada orang dewasa dengan pH <6,9 dapat diberikan 100 mEq (100 mmol)
natrium bikarbonat dalam 400 mL air dengan 20 mEq (20 mmol) KCl pada
200 mL/jam selama 2 jam sampai pH >7.0. Jika pH tetap <7.0 meskipun
pasien telah diinfus, ulangi infus tersebut sampai pH >7.0 [ CITATION Tin15 \l
1033 ]. Pemberian bikarbonat diberikan pada pasien dengan KAD berat,
karena pemberian bikarbonat dapat menurunkan pH intraseluler akibat difusi
CO2 yang dilepas karbonat, gangguan fungsi serebral, hipertonis dan
kelebihan natrium. Pemberian bikarbonat secara hati-hati juga dapat diberikan
pada pasien dengan asidemia berat dengan penurunan kontraktilitas jantung
dan vasodilatasi perifer yang dapat mengganggu perfusi jaringan dan pada
pasien hiperkalemia yang mengancam nyawa [ CITATION Wir10 \l 1033 ].
Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi hiperkalemia berat atau jika pH
darah <6,8. Dosisnya adalah 1-2 mEq/kgBB diberikan IV selama lebih dari 60
menit [ CITATION Ika17 \l 1033 ].
6. Fosfat
Kadar fosfat dapat menurun dengan terapi insulin. Pemberian fosfat secara
hati-hati diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau
depresi pernapasan, serta pasien dengan kadar serum fosfat < 1,0 mg/dL.

17
Ketika pasien memerlukan kalium fosfat, dapat diberikan 20-30 mEq/L
ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan dengan tetap melakukan
pemantauan secara kontinu [ CITATION Mar16 \l 1033 ]. Pada awal terapi dapat
diberikan fosfat IV K2PO4, 2,5-5 miligram/kg (0,08- 0,16 milimol/kg). Pantau
kadar kalsium serum jika memberikan fosfat tambahan [ CITATION Tin15 \l 1033
].
7. Magnesium
Pasien dengan KAD Biasanya memiliki defisit magnesium sebesar 1-2
mEq/L. biasanya kadar magnesium dipengaruhi oleh pemakaian obat, salah
satunya diuretik yang dapat menurunkan kadar magnesium darah [ CITATION
Ika17 \l 1033 ]. Jika memang berada di bawah normal dan disertai gejala,
pasien dapat dipertimbangkan untuk pemberian magnesium. Pemberian
magnesium sulfat 2 gram IV selama 1 jam. Melakukan pemantauan setiap 2
jam jika terdapat atau dicurigai adanya hipomagnesemia atau hipokalsemia
[ CITATION Tin15 \l 1033 ]
8. Penatalaksanaan terhadap Infeksi yang Menyertai
Pasien dapat diberikan antibiotika sesuai indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi pada pasien belum
ditemukan, maka dapat diberikan antibiotika spektrum luas [ CITATION Wir10 \l
1033 ]
9. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)
Terapi ini diberikan pada penderita dengan resiko tinggi, salah satunya jika
pasien dalam keadaan tidak sadar, imobilisasi, dan hiperosmolar berat. Dosis
yang dianjurkan 5000 iu setiap 8 jam secara subkutan [ CITATION Wir10 \l
1033 ].
10. Oksigen bila tekanan O2 pasien kurang dari 80 mmHg
11. Heparin jika pasien mengalami DIC atau hiperosmolar (lebih dari 380
mOsm/L)

2.6.2 Peran Perawat

Peran perawat bagi pasien dengan KAD, yaitu [ CITATION Rob17 \l 1033 ]:

18
- Memastikan jalan napas pasien paten dan memberikan O2 dengan aliran
tinggi.
- Melakukan resusitasi sesuai indikasi dan memantau jika pasien mengalami
rehidrasi berlebihan. Melakukan penggantian cairan, umumnya 0,9% natrium
klorida. Pada orang dewasa, liter pertama biasanya diberikan selama 60 menit,
dan liter kedua lebih dari 2 jam.
- Melakukan penggantian dari 0,9% natrium klorida menjadi glukosa 5% ketika
glukosa darah <15 mmol/L mengikuti terapi insulin untuk mengurangi risiko
hipoglikemia dan koreksi osmolalitas dan edema serebral.
- Melakukan monitor TTV (pernafasan, nadi, tekanan darah, suhu), denyut
jantung, dan bila perlu pasien dapat dipasang dauer kateter.
- Melakukan pemeriksaan dan mencatat setiap jam, kesadaran, GDS
(glukometer), dosis insulin, dan balans cairan (jika terdapat penurunan
kesadaran maka perlu dipasang kateter urin). Manajemen cairan yang hati-hati
dilakukan untuk mengganti defisit dan cairan perawatan selama 48 jam
bersama dengan koreksi ketidakseimbangan elektrolit.
- Memeriksa dan mencatat setiap 4 jam Analisa Gas Darah, keton darah, keton
urin, elektrolit darah, tetapi pasien dengan KAD berat elektrolit harus
diperiksa setiap jam.
- Melakukan penggantian elektrolit, dengan terapi cairan dan insulin yang dapat
menyebabkan pergerakan K + intraseluler dengan cepat, jika nilai K + plasma
<5,5 mmol / L, K + perlu ditambahkan ke cairan pengganti
- Pada KAD berat, melakukan monitoring dengan EKG dapat membantu
menentukan hiperkalemia atau hipokalemia
- Pemberian Insulin harus diberikan 1 jam setelah pemberian cairan. Gula darah
harus dikurangi perlahan pada <5 mmol/L/jam. Pemberian insulin (0,1
unit/kg/jam Actrapid atau Humulin S).
- Perhatikan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
edema serebral.
- Melakukan terapi penyebab yang mendasari, mis. infeksi, MI

19
- Pertimbangkan pemberian selang NG jika pasien muntah terus-menerus,
kateter urin (jika pasien oliguria atau anuria), dan pemantauan CVP pada
pasien kritis.
- Melakukan observasi adanya tanda-tanda edema serebri, seperti tiba-tiba sakit
kepala hebat, perubahan TTV (hipertensi, bradikardi, apnea), kejang, muntah,
perubahan status neurologis (iritabilitas, mengantuk, inkontinensia) atau tanda
neurologis spesifik (parese saraf kranial-opthalmoplegia, pelebaran pupil, dan
respon pupil terganggu), menurunnya saturasi oksigen.
- Lakukan pemantauan keton urin.
- Memberikan cairan oral jika pasien sudah terlihat adanya perbaikan klinis.
2.7 Asuhan Keperawatan

2.7.1 Pengkajian

A. Identitas
Nama : Tn.A
Usia : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Keluhan : Penurunan kesadaran
B. Pemeriksaan Fisik:
 Airway:
- Jalan napas paten dan tidak ada sumbatan
 Breathing:
- RR 34x/menit
 Circulation:
- Tekanan darah 90/60 mmHg;
- Nadi 100x/menit;
- Produksi urine 1000 cc/4jam
 Disability:
- Pasien mengalami penurunan kesadaran
 Exposure:

20
- Terdapat luka gangren pada pedis sinistra
C. Pemeriksaan Lab:
- GDS 458 gr/dl
- Keton 3,4 mg/dl
- Hasil AGD:
 pH 7,31
 PCO2 30
 HCO3 13
 PO2 82
 BE -5,1
2.7.2 Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan
Data Diagnosis Keperawatan
Data Objektif:
 Tekanan darah 90/60 mmHg
 Nadi 100x/menit 00032 - Pola Napas Tidak Efektif
 RR 34x/menit
 Hasil AGD: Definisi: Inspirasi dan / atau
- pH 7,31 ekspirasi yang tidak memberikan
- PCO2 30 ventilasi yang memadai (Herdman,
- HCO3 13 & Kamitsuru, . 2018).
- PO2 82
- BE -5,1
Data Subjektif: -
Data Objektif: Defisien Volume Cairan
- Pasien tampat mengalami Definisi: Penurunan cairan
penurunan kesadaran intravaskular, interstisial, dan/atau
- Tekanan darah 90/60 mmHg intraseluler. Ini mengacu pada
- Nadi 100x/menit dehidrasi, kehilangan cairan saja
- RR 34x/menit tanpa perubahan kadar natrium
- Produksi urine 1000 cc/4jam (NANDA, 2018).
- GDS 458 gr/dl
- Keton 3,4 mg/dl

21
- AGD: pH 7,31, PCO2 30, HCO3
13, PO2 82, BE -5,1
- Terdapat luka gangren pada pedis
sinistra.
Data Subjektif: -

2.7.3 Rencana Keperawatan


Diagnosis Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
00032 - Pola Napas 0403 Status Pernapasan: 3320 Terapi oksigen
Tidak Efektif Ventilasi
Definisi: Pemberian
Definisi: Keluar oksigen dan pemantauan
masuknya udara dari dan mengenai efektifitasnya.
ke dalam paru Aktivitas:
- Siapkan peralatan
Kriteria hasil: oksigen
- (040301) Frekuensi - Berikan oksigen
pernapasan pada tambahan sesuai
rentang normal dengan yang
- (040302) Irama dianjurkan
pernapasan pada - Monitor aliran
rentang normal oksigen
- (040309) Penggunaan - Monitor efektifitas
otot bantu napas pada terapi oksigen
rentang normal (seperti tekanan
(Moorhead, Johnson, oksimetri, ABGs)
Maas, & Swanson, - Monitor kecemasan
2013). pasien yang
berkaitan dengan
kebutuhan
mendapatkan terapi
oksigen.
(Bulechek, Butcher,

22
Dochterman, & Wagner,
2013).
Kekurangan Volume 0601 Keseimbangan 4120 Manajemen Cairan
Cairan Cairan Definisi: Meningkatkan
Definisi: Keseimbangan keseimbangan cairan dan
cairan di dalam ruang pencegahan komplikasi
intraselular dan yang dihasilkan dari
ekstraselular tubuh. tingkat cairan tidak normal
Kriteria Hasil: atau tidak diinginkan.
- Tekanan darah dalam Aktivitas:
rentang normal - Pertahankan intake
- Denyut nadi radial dan catat output
dalam rentang normal dengan akurat
- Keseimbangan intake (Rasional:
dan output dalam 24 Menggambarkan
jam dalam rentang status cairan pasien
normal dan kemampuan kerja
(Moorhead, Johnson, ginjal)
Mass, & Swanson, - Monitor status hidrasi
2013). (membran mukosa
lembab, denyut nadi
adekuat, dan tekanan
darah ortostatik
(Rasional:
Menggambarkan
status cairan pasien)
- Monitor tanda-tanda
vital pasien (Rasional:
Hipovolemia ditandai
dengan hipotensi dan
takikardia)
- Monitor
makanan/cairan yang

23
dikonsumsi dan hitung
asupan kalori harian
(Rasional: Membantu
proses pemulihan)
- Berikan terapi IV,
sesuai indikasi dan
tingkatkan asupan oral
(Rasional:
Mempertahankan
hidrasi dan sirkulasi)

(Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner,
2013).

24
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keto Asidosis Diabetikum (KAD) merupakan salah satu kompliasi


akut DM akibat defisiensi hormone insulin yang tidak dikenal dan bila
tidak mendapat pengobatan segera akan menyebabakan kematian. Etiologi
dari KAD adalah Insulin tidak diberikan dengan dosis yang kurang,
keadaan sakit atau infeksi pada DM, manifestasi pertama pada penyakit
diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.

Ada tiga gambaran kliniks yang penting pada diabetes ketoasidosis


yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Dehidrasi disebabkan
mekanisme ginjal dimana tubuh terjadi hiperglikemia, sehingga ginjal
mensekresikan dengan natrium dan air yang disebut poliuri. Kehilangan
elektrolit merupakan kompensasi dari defisiensi insulin. Sedangkan
asidosis adalah peningkatan pH dan diiringi oleh penumpukan benda keton
dalan tubuh. Keadaan ketoasidosis merupakan keadan yang memerlukan
banyak pengontrolan dan pemantauan insulin dan cairan elektrolit, karena
bila kekurangan atau malah terjadi kelebihan akan mengakibatkan
komplikasi yang sulit untuk ditanggulangi.   

3.2 Saran

Bila menemukan klien yang DM tetapi belum terjadi KAD berikan


informasi tentang KAD dan pencegahan terhadap KAD. Bila menemukan
klien dengan KAD, sebaiknya selalu kontrol pemberian insulin dan cairan
elektrolit sehingga meminimalkan terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan.

25
Daftar Pustaka

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. (2013).


Nursing Intervention Classification. Missouri: Elsevier.

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr, A.C. (2010). Nursing care plans:
Guidelines for individualizing client care across the life span.
Philadelphia: F. A. Davis Company.
Crouch, R., Charters, A., Dawood, M., & Bennett, P. (2017). Oxford Handbook of
Emergency Nursing 2nd edition. United Kingdom: Oxford University
press.
Curtis, K., & Ramsden, C. (2016). Emergency and Trauma Care: for Nurses and
Paramedics. Australian: Elsevier.
Emergency Nurses Association. (2010). Sheehy's Emergency Nursing: Principles
and Practice 6th edition. Philadelphia: Elsevier.
FK UI.(2019). Hari Diabetes Nasional 2019: Atasi Obesitas, Hindari Diabetes.
Retrieved from https://fk.ui.ac.id/berita/hari-diabetes-nasional-2019-atasi-
obesitas-hindari-diabetes.html#

Gotera, W., & Budiyasa, D. G. (2010). Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik


(KAD). Jurnal Penyakit Dalam, Vol.11, No.2, 126-138.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Nursing Diagnoses Definition and
Classification. New York: Thieme.

Huecker, M., & Plantz, S. H. (2016). Step-up to Emergency Medicine.


Philadelphia: Wolters Kluwer.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2017). Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1. Retrieved from
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Panduan-
Praktik-Klinis-Ketoasidosis-Diabetik-dan-Edema-Serebri.pdf
LeMone, Burke, Bauldoff, Gubrud, Levett-Jones, Hales, Berry, Carville, Dwyer,
Knox, Moxham, Raymond, & Reid-Searl. (2017). Medical Surgical Nursing
(Third, Vols. 1–3). PEARSON.

26
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, L. M., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification 5th Edition. Missouri: Elsevier.

Newton CRH (2005). Clinical Emergency Medicine : Diabetes-Related


Emergencies. New York: Cambridge University Press; 2005. P. 223-227.
Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., & Cheever, K. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing (12th ed., Vol. 1). Phila: Lippincott
Williams & Wilkins
Tarwoto, Wartono, & Taufiq, I. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Sistem Endokrin. Jakarta: CV Trans Info Media.
Tintinalli, J. E., Stapczynski, J. S., Ma, O. J., Yealy, D. M., Meckler, G. D., &
Cline, D. M. (2015). Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide. 8th edition. USA: McGraw-Hill Education.
Tscheschlog, B. A., & Jauch, A. (2015). Emergency Nursing made Incredibly
Easy. Philladelphia: Wolters Kluwer.
Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Wibisono, S (2012). Emergency in diabetes management. Surabaya: Diabetes and


Nutrition Centre – dr. Sutomo Hospital

27

Anda mungkin juga menyukai