Anda di halaman 1dari 12

Penyebab Kegagalan Desentralisasi Dalam Penyelengaraan

Pemerintahan Lokal
1
Arif Nugroho
2
Natta Sanjaya
3
Jumanah
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

Corresponding Author ariyul88@gmail.com

Abstract

Artikel ini membahas factor – factor yang menyebabkan kegagalan dari desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Asumsi yang dibangun didasarkan pada fakta –
fakta empiris atas pengalaman beberapa Negara yang menemui kegagalanya dalam
mengimplementasikan desentralisasi pada pemerintahan lokalnya. Artikel ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yakni dengan mengumpulkan data – data
hasil riset terdahulu yang fokus serta konteksnya cukup relevan dengan praktik desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal di beberapa Negara, sehingga dengan begitu dapat
ditarik ke sebuah asumsi umum atas factor – factor yang menyebabkan kegagalan. Hasilnya
diketahui bahwa yang menghambat suksesnya desentralisasi itu diantaranya bersumber dari
campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar terhadap pemerintah daerah atau
organisasi yang berada di bawahnya (desentralisasi parsial), kemudian lemahnya struktur dan
kapasitas pemerintah daerah (kapasitas kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam
menjalankan kewenangan yang diberikan, dan lain sebagainya. Beberapa alternatif terkait
dalam mendukung keberhasilan dalam desentralisasi diantaranya yaitu pemerintah harus
ditopang oleh sistem administrasi yang kuat dan sistematis, berorientasi pada pelatihan pada
struktur desentralisasi administratif dan distribusi sumber daya berbasis kinerja serta
Kepemimpinan administratif yang dinamis karena diaggap lebih efektif dalam
penyelenggaraan pemerintahan lokal.

Kata Kunci : Desentralisasi, Otonomi Lokal/Daerah, Pemerintahan Lokal

PENDAHULUAN
P. King (1982:125) cite (Smith, Brian 1985:3) menjelaskan jika kebutuhan atas
desentralisasi nampaknya bersifat universal, bahkan Negara – Negara kecil sekalipun yang
mempunyai pemerintahan lokal dengan kadar otonomi tertentu. Premdas (1982) Cite (Smith,
Brian 1985) menyebutkan Negara – Negara yang berpenduduk kecil secara geografis dan etnis
memerlukan desentralisasi seperti halnya kepulauan Solomon yang berpenduduk 180 ribu
orang yang tersebar dalam kepulauan dengan luas daratan 29 ribu kilometer persegi dan luas
lautan 803 Kilometer persegi serta memiliki 74 bahasa yang berbeda. Dalam Pembentukan
daerah otonom, aspek masyarakat tampak menjadi penentu yang cukup strategis. Analoginya
adalah desentralisasi merupakan otonomisasi masyarakat pada area tertentu di lingkup
Negara. Dalam pembentukan daerah otonom, faktor masyarakat ditentukan oleh level
kohesinya. Kohesi masyarakat identik dengan pembentukan komunitas masyarakat dalam
suatu wilayah pemerintahan daerah (Salomo, Jannah, dan Muslim 2008). Yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan, bahwa efektivitas dan efisiensi merupakan tujuan yang hendak
dicapai dalam Desentralisasi / otonomi daerah, seperti halnya dalam peyelenggaraan urusan
harus mampu (1) Menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang, (2) Meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. (2) Menumbuhkan kemandirian daerah.(3) Meningkatkan daya
saing daerah dalam proses pertumbuhan (Widjaja 2001)

Ketata Kelolaan Desentralisasi yang dimaknai sebagai perubahan kekuasaan dalam


mengatur dan mengurus baik itu anggaran serta pembuatan keputusan berskala lokal yang
diberikan oleh pemerintah pusat ke satuan Pemerintah tingkat regional hingga lokal (daerah),
banyak dimulai di Amerika Latin sebelum tahun 1980-an. (Tim Campbell 2004) Kebijakan
desentralisasi dilakukan dilakukan agar terjadi perubahan cepat/ quiet revolution’ (revolusi
damai) dan sebetulnya ia pesimis perubahan cepat dalam quiet revolution yang dimaksud akan
mampu menciptakan model governance baru yang bercirikan dengan kepemimpinan yang
segar, partisipasi yang meluas, dan kemauan baru untuk mengerahkan revenue (pendapatan).
Namun dibalik kepesimisannya menunjukan terjadi Perubahan Keuangan Subnasional
Negara-negara Amerika Latin kurun waktu 1974- 1994 sebagaimana dalam table 1 berikut;

Tabel 1
Perubahan Keuangan Subnasional Negara-negara Amerika Latin Yang Dipilih, 1974-94
(persentase pengeluaran atau pemasukan untuk semua tingkat pemerintah)

Sumber: Dana Moneter Internasional, 1994. Cite (Tim Campbell 2004)


Tabel 1 di atas menunjukkan semua tingkat pemerintah selain pemerintah pusat.
Data meliputi transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah subnasional. Tanda panah
menunjukkan perubahan 5 point persen atau lebih. Dimana data selama 1974 atau 1994
tidak tersedia (ditunjukkan oleh cetak miring), data untuk tahun terdekat yang ada
digunakan. Data untuk Mexico selama tahun 1974 diestimasi. Dari penjelasan table 1
tersebut dapat ditafsirkan bahwasanya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah memerlukan
dukukungan dari pemerintah sentral.

Terkait dengan itu Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012 digambarkan sebagai
berikut ;
Gambar 1
Governance Effectiveness Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012

120

100

S'pore
80
Malaysia
India
60 Thailand
Philippines
China
40 Indonesia
Vietnam
20

0
1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 1012

Sumber : (Camilleri dan Falk 2013)

Berdasarkan Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012 dapat diketahui bahwa
Singapore stabil dalam kurun waktu 1996 sampai dengan 2012 pada 100 dan sempat
sedikit menurun di 90 pada tahun 2000 hingga 2002. Kemudian melaysia berada pada
urutan kedua stabil di kisaran 80, selanjutnya Thailand di 60, Philipina dan China
cenderung sama di kisaran 45 dan pada tahun 2012 mencapai 50, Untuk Indonesia dan
Vietnam pada posisi bawah di awal 1996 kurang dari 40 dan berjalan fluktuatif antara
40 hingga 45 pada puncaknya tahun 2005, kemudian di tahun 2012 merosot pada 40.

Merujuk kompilasi riset seperti (Kaur et al. 2017), ( Nannyonjo and Okot 2013),
(De Smet, Peeters, dan Sterckx 2016). (Osavelyuk et al. 2015). (Abbott et al. 2016)
Landwehr and Böhm (2011). (Murthy dan Mahin 2015), Santoso (2010) Kemmochi,
Kato, Uchium. (2016), Emerick, Mothusi & Molaodi, (2004) tidak sedikit Negara
mengalami kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi. Beberapa factor
yang mempengaruninya diataranya campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar
terhadap pemerintah daerah, kemudian Lemahnya struktur dan kapasitas pemerintah
daerah (kapasitas kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan dan lain sebagainya.

Terkait dengan itu, dalam artikel ini akan sangat menarik jika lebih lanjut
dibahas fakta empiris praktik penyelenggaran pemerintahan lokal dan factor – factor
yang mempengaruhi kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi
berdasarkan temuan – temuan penelitian di berbagai Negara, sehingga pada bagian
akhir bisa dibagun asumsi generic terjadinya kegagalan serta rekomendasi dalam
memininalisir kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi.

KAJIAN PUSTAKA

Desentralisasi
“… In Europe, local government has been historically cohesion derived from close contact
between inhabitants of towns and villages, the religious and cultural aspects of community life, and the
social, commercial and economic characteristics of towns” (Smith, 1985) cite (Salomo, Jannah, dan
Muslim 2008). Ozmen, (2014:419) dikutip (Nugroho et al. 2019) desentralisasi merupakan
“Divert authority in planning, decision making, and mastery of public functions from a higher level to
individuals, organizations or other organizations at a lower level. transferring authority in planning,
measuring and implementing the managerial functions of the public from organizations that have a
higher level to lower level organizations”. Mawhood, (1983) dikutip dari (Muluk 2008)“the creation
of bodies separated by law from the center, in which local representatives are given formal power to decide
on a range of public matters. Their political base is locality ... Their area of authority is limited, but
within that area their right to make decisions is entrenched by law and can only be altered by new
legislation. They have resources which, subject to the stated limits, are spent and invested at their own
discretion”. Rondinelli dan Cheema, (1983:18) dikutip oleh (Sarundayang 2001) “Decentralization
is the transfer of planning, decisimaking, or administrative authority from the central government to its
field organization, local administrative units, semi autonomus and parastatal organizations, local
government organization” desentralisasi adalah transfer atau perencanaan, pembuatan kebijakan
atau wewenang administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi di wilayahnya,
unit/bagian lokal, organisasi semi otonom dan yang masih tergantung, pemerintah lokal dan
organisasi non pemerintah (NGO).

Tujuan Desentralisasi

Prasojo et al. (2006:1) dikutip dari (Nugroho dan Maulana 2019) desentralisasi memiliki
berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel
penting yaitu pendekatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan (strucrural
efficiency model) dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan (local democracy model). Pada umumnya setiap Negara memiliki titik berat yang
berbeda beda dalam dalam tujuan desentralisasinya.

(Widjaja 2001) tujuan dari pelaksanaan Desentralisasi / otonomi daerah adalah


mencapai efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan urusan yang meliputi : (1)
Menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, (2) Meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. (2) Menumbuhkan kemandirian daerah.(3) Meningkatkan daya saing daerah
dalam proses pertumbuhan.

METODE

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data


yakni dengan mengumpulkan data – data hasil riset terdahulu yang fokus serta
konteksnya cukup relevan dengan praktik desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan lokal di beberapa Negara, sehingga dengan begitu dapat ditarik ke
sebuah asumsi umum atas factor – factor yang menyebabkan kegagalandari
desentralisasi pemerintahan lokal. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan model analisis data interaktif dari Miles, Huberman dan Saldana (2014)
cite (Nugroho dan Habibi 2019). Penggambaran model analisis datanya dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:(1) Kondensasi data (data condensation); (2)
Penyajian data (data display),; (3) Penarikan kesimpulan (conclusions drawing)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut disajikan temuan – temuan penelitian bersumber dari artikel ilmiah yang
dianggap relevan dengan problematika implementasi penyelenggaraan pemerintahan
lokal otonomi sebagai akibat dari desentralisasi ;

Siti Zuhro, Pelaksanaan Otonomi Daerah Masih Gagal (2010)


(R. Siti Zuhro 2010) menjelaskan bahwa problem desentralisasi/otonomi daerah
yakni konsistensi pemerintah dalam bidang hukum, persepsi daerah soal kewenangan,
kolaborasi elit dalam pengelolaan daerah, dan pembagian hasil daerah, implementasi
otonomi daerah yang baik tidak bisa dilepaskan dari peran birokrasi. Bila birokrasi
belum tereformasi, desentralisasi dan otonomi daerah pun tidak akan bisa dilaksanakan
secara maksimal. Birokrasi yang tidak profesional dan tidak netral membuat pelayanan
kepada masyarakat menjadi terhambat. Solusi yang ditawarkan adalah reformasi
birokrasi dan penertiban dalam kebijakan di tingkat pusat hingga daerah. Sebab,
kebijakan yang dibuat dalam bentuk aturan selama ini sering tidak berpihak kepada
rakyat. Membuat grand design otonomi daerah, grand strategi penataan daerah,
menatang ulang reformasi birokrasi, menata peraturan pilkada, mengawasi banyaknya
Perda bermasalah, dan menata peraturan tentang desa agar pembagian hasil daerah
merata,
Manmeet Kaur, Shankar Prinja, Pravin K Singh & Rajesh Kumar Decentralization of
Health Services in India: Barriers and Facilitating Factors (2012)

(Kaur et al. 2012) di India, proses desentralisasi pelayanan kesehatan dimulai


pertengahan tahun1990-an. Reformasi sistemiknya berupa pendelegasian tanggung
jawab administrasi dan keuangan di tingkat pemerintah lokal dalam pengelolaan
lembaga kesehatan di 23 negara bagian India pada tahun 1999. Reformasi ini menjadi
bagian dari Misi Kesehatan Desa Nasional (NRHM) yang diluncurkan pada tahun 2005.
Penelitiannya bertujuan untuk mendokumentasikan proses desentralisasi dalam
pelayanan kesehatan dengan mereferensikan secara khusus hambatan dan faktor-faktor
yang memfasilitasinya selama perumusan dan pelaksanaan kebijakan reformasi.
Komitmen politik dan birokrasi dalam mereformasi menjadi faktor fasilitator yang
paling penting. Orientasi pelatihan pada struktur desentralisasi administratif dan
distribusi sumber daya berbasis kinerja adalah fasilitator penting lainnya. Perubahan
struktural dalam prosedur administratif menyebabkan perbaikan dalam sistem
manajemen keuangan. Perbaikan yang signifikan dalam infrastruktur kesehatan
masyarakat juga diamati. Dari tahun 2004 hingga 2008, pemerintah negara bagian
meningkatkan anggaran sektor kesehatan hampir 60 %. Selain itu, perubahan frekuensi
dalam administrasi tingkat atas di negara ternyata menghambat proses desentralisasi.
Kepemimpinan administratif yang dinamis di Kabupaten ternyata lebih efektif
daripada yang lain.

Justine Nannyonjo and Nicholas Okot Decentralization, Local Government Capacity


and Efficiency of Health Service Delivery in Uganda (2013)

Studi yang dilakukan (J dan N 2013) meneliti dampak desentralisasi dan


kapasitas pemerintah daerah pada efisiensi pelayanan kesehatan di Uganda dengan
menerapkan analisis kualitatif di 44 kabupaten selama periode 2008/09 dan 2009/10.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Uganda bermasalah
dengan lemahnya kapasitas kelembagaan yang secara spesifik terkait dengan
kurangnya staf yang memadai yang memang merupakan tantangan besar untuk
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa desentralisasi di sektor kesehatan yang efektif dan akuntabel di
Uganda biasanya dibatasi oleh tingkat kapasitas kepegawaian yang lemah, baik kantor
kabupaten dan di dalam unit kesehatan .

Andries De Smet, Wouter Peeters and Sigrid Sterckx the Delegated Authority


Model Misused as A Strategy of Disengagement In The Case Of Climate Change
(2016)

(De Smet, Peeters, dan Sterckx 2016) menjelaskan, penelitianya bertujuan untuk
memeriksa apakah kegagalan dalam merancang kebijakan yang menghormati hak asasi
manusia adalah karena keengganan pada perwakilan politik atau karena memang tidak
layak untuk dilakukan. Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan memberikan
perhatian khusus terhadap masukan-sisi model kewenangan didelegasikan, mengacu
pada individu yang mendelegasikan tanggung jawab mereka ke tingkat kolektif ketika
tanggung jawab tersebut sulit untuk “dilepaskan” pada tingkat individu. Bersembunyi
di belakang model kewenangan yang didelegasikan harus ditandai sebagai mekanisme
melepaskan tanggung jawab moral sehingga orang bisa menyangkal tanggung jawab
masing-masing dengan cara yang dibenarkan. Kami akan berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini dan mengeksplorasi bagaimana hal ini mempengaruhi
tanggung jawab kami untuk mengatasi perubahan iklim. Karena kita gagal untuk
mendelegasikan tanggung jawab kita ke tingkat kolektif dengan cara yang konsisten,
kita tidak bisa lagi berargumen bahwa pendelegasian kewenangan adalah alasannya.
Dalam rangka untuk membuat klaim yang meyakinkan bahwa itu adalah tugas dari
lembaga pemerintah dan supranasional untuk mengatasi perubahan iklim, kita
setidaknya memiliki kewajiban untuk memilih partai yang secara eksplisit mendukung
kebijakan yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim. Jika kita gagal untuk memenuhi
tugas minimalis ini, menyerukan agar ada pendelegasian tanggung jawab sama saja
dengan melepaskan moral, yaitu melalui difusi dan perpindahan tanggung jawab. Jika
kita tidak memilih partai yang paling mungkin untuk membuat perbedaan, kita tidak
bisa lagi bersembunyi di balik argumen kewenangan yang didelegasikan dan harus
menerima keterlibatan kami dalam pelanggaran besar-besaran hak asasi manusia yang
disebabkan oleh kegagalan untuk berhasil mengatasi perubahan iklim.

Alexey Mikhailovich Osavelyuk, Svetlana Alekseevna Munkueva, Larisa Valerevna


Tipaeva, Jean Budaevich Dorzhiev, Ayuna Batomunkuevna Namzhilon. Theoretical
Base of Delegation of Some State Authority of Territorial Entities of the Russian
Federation to Local Self-Government Bodies (2015)

(Kaur et al. 2012) dalam penelitianya berfokus pada sebuah lembaga investasi
pemerintah daerah yang dipisahkan dari (kekuatan) negara sebagai salah satu bentuk
interaksi antara badan-badan kekuasaan negara dan pemerintah daerah. Hubungan
otoritas-otoritas yang disajikan dari tingkat yang berbeda memperoleh aktualisasi
khusus dalam badan otonomi pemerintah daerah. Karena itu, lembaga investasi dengan
kekuatan negara terpisah menuntut teori lebih lanjut dan perbaikan hukum. Lembaga
investasi pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk interaksi otoritas publik dan
pemerintahan setempat. Lembaga tersebut menuntut peningkatan karena adanya dua
masalah, yaitu masalah teoritis dan hukum, serta masalah praktis. Tujuan dari
pembangunan lembaga ini tidak hanya agar pelaksanaan negara dan manajemen lokal
berjalan efektif, tetapi juga menjadi berguna secara maksimal bagi masyarakat dan
negara. Pemisahan kekuasaan negara yang ditransfer ke pemerintah daerah harus
didasarkan oleh alasan rasionalitas, kebijaksanaan dan efisiensi tempat yang
pelaksanaannya untuk kepentingan warga tanpa pelanggaran prinsip konstitusional
pemerintah daerah. Lembaga investasi harus “saling menguntungkan” baik untuk
otoritas publik maupun lokal.
Kenneth W. Abbott, Philipp Genschel, Duncan Snidal and Bernhard Zangl Two
Logics of Indirect Governance: Delegation and Orchestration (2015)

(Abbott et al. 2016) dalam penelitianya memperkenalkan konsep orkestrasi


sebagai perantara mobilisasi orkestra (yang dilakukan oleh pemerintah) secara sukarela
dalam mencapai tujuan pemerintahan bersama. Teori Perantara-Orkestra memberikan
model pemerintahan tidak langsung yang model suplemen delegasinya didasarkan
pada teori principal-agent. Gubernur meningkatkan kapasitas pemerintahan mereka
dengan sesuai kemampuan pihak ketiga. Sedangkan delegasi didasarkan pada hard
control 'kontrak' atas agen. Penelitianya membahas keadaan di mana masing-masing
model ternyata lebih cocok diterapkan pada masalah di dunia nyata, serta adanya
keterbatasan kunci dari masing-masing model. Antara lain, orkestrasi relatif lebih
mungkin diterapkan pada sistem demokratis daripada sistem otoriter. Orkestrasi tidak
selalu lebih diinginkan daripada delegasi, tetapi memberikan alternatif penting pada
beberapa keadaan. Singkatnya, daya tarik orkestrasi tergantung pada keadaan dan
perspektif kedua belah pihak. Aktor pemerintahan yang tidak memiliki kemampuan
untuk mendelegasikan, atau kekurangan kapasitas pemantauan dan penegakan yang
kuat, akan berubah menjadi pemain orkestra untuk mencapai tujuan mereka (jika
perantara yang sesuai tersedia).

Claudia Landwehr and Katharina Böhm Delegation and Institutional Design in


Health-Care Rationing (2011)

(Landwehr, Claudia and Böhm 2011) dalam penelitianya dijelaskan,


pendelegasian kekuasaan untuk pengambilan keputusan pada nonmajoritarian
(lembaga yang tidak utama), lembaga independen telah menjadi fenomena yang
signifikan pada banyak bidang kebijakan. Salah satunya adalah sektor kesehatan,
dimana keputusan pada berbagai layanan ditutup dalam sistem pemerintah, di
sebagian besar negara maju, keputusan itu telah didelegasikan kepada badan-badan
khusus. Penelitianya berusaha untuk mengeksplorasi cara-cara pemerintah di berbagai
negara mengatasi tantangan pengaturan penjatahan pada badan yang ditunjuk. Secara
lebih jauh adalah terkait desain kelembagaan badan-badan strategis dan seberapa jauh
himpunan pilihan tersedia bagi politisi yang dibatasi oleh struktur yang ada dan
menjadi bagian dari sistem perawatan kesehatan. Apakah hal-hal yang relevan yang
membedakan terkait prosedur dan lembaga di berbagai negara, dan apa penjelasan atas
pilihan mereka. Mengingat bahwa pemerintah memiliki insentif dan kesempatan untuk
memanipulasi desain kelembagaan badan yang ditunjuk sesuai dengan preferensi
partisan dalam rangka mencapai tujuan strategis, fokus yang penting dalam penelitian
di masa depan terkait delegasi adalah efek distributif atas pilihan desain institusional.
Prosedur dan lembaga pengambilan keputusan terutama yang mengenai alokasi
barang penting seperti perawatan kesehatan yang bersangkutan, tidak pernah
sepenuhnya netral tapi selalu mempromosikan nilai-nilai dan kepentingan beberapa
kelompok daripada perorangan. Dalam hal ini, pilihan desain kelembagaan, setidaknya
menjadi bagian dalam keputusan distributifnya. Inilah sebabnya mengapa pilihan yang
terbentang di depan harus dengan sungguh-sungguh diamati, terkait dengan motif dan
efek yang mengikuti di belakangnya, tidak hanya oleh para peneliti tetapi juga secara
kritis informatif oleh masyarakat yang demokratis.

Sharmila L. Murthy and Maya J. Mahin Constitutional Impediments to


Decentralization In The World’s Largest Federal Country (2015)

(Murthy dan Mahin 2015) desentralisasi sering dianjurkan sebagai sarana


meningkatkan demokrasi lokal dan meningkatkan apa yang disebut oleh ekonom
sebagai efisiensi alokatif. Di negara-negara federal, di mana kekuasaan sudah dibagi
antara nasional dan pemerintah negara bagian, desentralisasi melibatkan devolusi
kekuasaan dari negara untuk pemerintah daerah. negara federal yang terbesar di dunia,
India, mengambil langkah yang tidak biasa untuk memajukan desentralisasi: melewati
74 kali Amandemen Konstitusi Undang-Undang untuk memberikan status
konstitusional di kota. Desentralisasi belum berhasil di India karena tiga alasan kunci.
Pertama, desentralisasi hanya diimplementasikan secara parsial: bahasa dalam
amandemen konstitusi telah menghambat secara efektif. Desentralisasi politik,
keunggulan komparatif lembaga parastatal telah membuat desentralisasi administratif
sulit, dan pelimpahan tanggung jawab -tapi tidak dalam pendapatan- bagi pemerintah
kota telah menghambat desentralisasi fiskal. Kedua, analisis telah mengungkapkan
sebuah ironi; yaitu kebijakan yang terpusat. Pendekatan top-down ini telah mengurangi
pentingnya pengambilan keputusan lokal, sehingga mengurangi keuntungan efisiensi
desentralisasi. Faktor ketiga telah relatif lemahnya struktur pemerintahan lokal. Tanpa
perlu kapasitas administratif dan sumber daya keuangan, negara tidak akan
mengalihkan kekuasaan politik untuk kota. Investasi di kota mungkin memerlukan
proses desentralisasi yang lambat dengan menyediakan manajer kota dengan
keterampilan dan pelatihan yang diperlukan untuk terlibat dalam proses perencanaan.
Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah merupakan langkah kunci untuk
memastikan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal yang lebih besar.

Mai Kemmochi, Yusuke Kato, Mari Uchium. Research concerning the state of
decentralization within cities and the participation in city planning. (2016)

(Mai Kemmochi, Yusuke Kato 2016) desentralisasi dalam kota semakin


diperkenalkan karena dianggap dapat memperbesar skala kota. "desentralisasi di
dalam kota" berarti pemerintah kota mempercayakan kewenangannya untuk
dilimpahkan pada organisasi lebih kecil bagian kota yang didirikan. Terutama, dalam
kaitannya dengan desentralisasi untuk dewan pemerintahan, warga setempat, sendiri
sering menjadi penerimanya, dan mereka diharapkan untuk memainkan peran sentral
dalam mengkonsolidasikan berbagai pendapat dari warga negara dalam tahap
perencanaan kota. Penelitian ini pertama menyentuh pada kategori dewan untuk
penduduk pemerintahan sendiri diklasifikasikan oleh dasar hukum dan menganalisa
keadaan desentralisasi dalam kota berdasarkan survei kuesioner. Kemudian, dengan
memeriksa upaya dari Toyota Kota, Izumo City, Kota Tochigi dan Musashino kota, ia
mengungkapkan pentingnya dan masalah di desentralisasi di dalam kota di bidang
perencanaan kota.

Nancy Meyer Emerick, Bashi Mothusi & Daniel K. Molaodi, Decentralisation of


Service Delivery As Adopted By The Central District Counsil In Botswana. (2004)

(Meyer-Emerick, Mothusi, dan Molaodi 2004) dalam dalam artikelnya


menggambarkan hasil awal dari desentralisasi pelayanan di counsil distrik pusat (CDC
atau District) di Botswana yang dimulai pada Januari 1998. Keputusan CDC untuk
mendesentralisasikan layanan dari markas distrik di Serowe pada lima sub-district yang
ada, adalah upaya yang pertama di Botswana. dan District besar lainnya seperti North
West, sebelah Selatan, Kweneng dan Ghanzi juga didirikan sub-district tapi belum
mendapatkan delegasi pelayanan. Saat ini, ada sangat sedikit data komparatif tentang
efek desentralisasi dalam hal produktivitas atau efisiensi. Dalam rangka untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut, penulis melakukan wawancara dengan para
pejabat senior dan staf di kantor mereka di lima sub-district di Jully dan Agustus 2002.
Smoke (2003) menyatakan, banyak literatur desentralisasi berfokus pada kasus
anekdotal keberhasilan atau rethoric antusias manfaatnya. Sementara wawancara
mungkin dianggap bukti anekdotal, yang membahas persepsi individu-individu yang
menerangkan struktur unik sosio-ekonomi dan sejarah politik Botswana dalam rangka
untuk menafsirkan efek dari proses.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan uraian hasil di atas, sebagian besar masalah yang timbul atau
menghambat suksesnya desentralisasi itu bersumber dari
1) Campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar terhadap pemerintah
daerah atau organisasi yang berada di bawahnya (desentralisasi parsial),
2) Lemahnya struktur dan kapasitas pemerintah daerah (kapasitas
kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam menjalankan kewenangan
yang diberikan kepadanya menjadi masalah lain yang juga harus
mendapat perhatian,
3) Kondisi di lapangan yang relatif dinamis yang relatif berbeda antara
daerah satu dengan daerah yang lainya,
4) Aktor pemerintahan yang tidak memiliki kemampuan untuk
mendelegasikan, atau kekurangan kapasitas pemantauan dan penegakan
yang kuat akan berubah menjadi pemain orkestra untuk mencapai tujuan
mereka,
5) Pendekatan top-down mengurangi pentingnya pengambilan keputusan
lokal, sehingga mengurangi keuntungan efisiensi desentralisasi,
6) Desentralisasi tidak terkelola secara optimal karena office politics yang
berlangsung didomain pemerintah
Beberapa alternatif terkait dalam mendukung keberhasilan dalam desentralisasi
yaitu pemerintah harus ditopang oleh sistem administrasi yang kuat dan sistematis,
berorientasi pada pelatihan pada struktur desentralisasi administratif dan distribusi
sumber daya berbasis kinerja serta Kepemimpinan administratif yang dinamis di
pemerintah lokal ternyata lebih efektif dan warga negara setidaknya memiliki
kewajiban untuk memilih anggota legislatif yang secara eksplisit mendukung hal
tersebut, sehingga tidak ada lagi argumen politis atas kegagalan pelaksanaan
penyerahan kewenangan ( desentralisasi) tersebut di lapangan.

REFERENSI

Abbott, Kenneth W., Philipp Genschel, Duncan Snidal, dan Bernhard Zangl. 2016. “Two
Logics of Indirect Governance: Delegation and Orchestration.” British Journal of
Political Science 46(4): 719–29.

Camilleri, Joseph, dan Jim Falk. 2013. “Economic Governance.” Worlds in Transition
(February).

J, Nannyonjo, dan Okot. N. 2013. “Efficiency of Health Service Delivery in Uganda.”


African Development 15(1): 125–58.

Kaur, Manmeet, Shankar Prinja, PravinK Singh, dan Rajesh Kumar. 2012.
“Decentralization of health services in India: barriers and facilitating factors.”
WHO South-East Asia Journal of Public Health 1(1): 94.

———. 2017. “Decentralization of health services in India: barriers and facilitating


factors.” WHO South-East Asia Journal of Public Health 1(1): 94.

Landwehr, Claudia and Böhm, Katharina. 2011. “Delegation and Institutional Design in
Health-Care Rationing.” : 1–30.

Mai Kemmochi, Yusuke Kato, Mari Uchium. 2016. “Research concerning the state of
decentralization within cities and the participation in city planning.” 51(3): 253–60.

Meyer-Emerick, Nancy, Bashi Mothusi, dan Daniel K. Molaodi. 2004. “Decentralisation


of service delivery as adopted by the Central District Council in Botswana.” Public
Administration and Development 24(3): 225–33.

Muluk, KHuirul M.R. 2008. “KNOWLEDGE MANAGEMENT (Kunci Sukses Inovasi


Pemerintahan Daerah).” : 1–300.

Murthy, Sharmila L., dan Maya Mahin. 2015. “Constitutional Impediments to


Decentralization in the World’s Largest Federal Country.” SSRN Electronic Journal:
79–139.
Nugroho, Arif, dan Fikri Habibi. 2019. “Camat Sebagai Pengawal Agenda
Pembangunan (Studi Pada Tugas dan Fungsi Camat di Pemerintah Kabupaten
Pandeglang).” Sawala : Jurnal Administrasi Negara 7(1): 29–47.

Nugroho, Arif, dan Delly Maulana. 2019. “Kedudukan Ganda Kecamatan Sebagai
Perangkat Daerah dan Perangkat Wilayah : Penyelenggaraan Kecamatan di
Kabupaten Pandeglang Berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014.”
Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah 3(2): 97–112.

Nugroho, Arif, Bambang Supriyono, Tjahjanulin Domai, dan M R Khairul Muluk. 2019.
“Realizing the Effectiveness of Districts Administration at the Government of
Pandeglang Regency, Banten Province, Indonesia.” Arif Nugroho/ JPAS 1(4): 19–25.

Osavelyuk, Alexey Mikhailovich et al. 2015. “Theoretical base of delegation of some


state authority of territorial entities of the Russian Federation to local self-
government bodies.” Mediterranean Journal of Social Sciences 6(5S3): 239–48.

R. Siti Zuhro. 2010. “LIPI: Pelaksanaan Otonomi Daerah Masih Gagal.” Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia: http://lipi.go.id/berita/lipi:-pelaksanaan-otonomi.
http://lipi.go.id/berita/lipi:-pelaksanaan-otonomi-daerah-masih-gagal/4931.

Salomo, R O Y V, Lina Miftahul Jannah, dan M U H Azis Muslim. 2008. “Evaluasi


Pemekaran Kabupaten Sambas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129
Tahun 2007 1.” 15.

Sarundayang, SH. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

De Smet, Andries, Wouter Peeters, dan Sigrid Sterckx. 2016. “The delegated authority
model misused as a strategy of disengagement in the case of climate change.”
Ethics and Global Politics 9(1): 1–21.

Smith, Brian, C. 1985. Smith. Masyarakat ilmu Pemerintahan IPDN.

Tim Campbell. 2004. Leadership and Innovation in Subnational Government Leadership


and Innovation in Subnational Government.

Widjaja, H.A.W. 2001. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai