Draft Jurnal Desentralisasi Gap
Draft Jurnal Desentralisasi Gap
Pemerintahan Lokal
1
Arif Nugroho
2
Natta Sanjaya
3
Jumanah
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
Abstract
Artikel ini membahas factor – factor yang menyebabkan kegagalan dari desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Asumsi yang dibangun didasarkan pada fakta –
fakta empiris atas pengalaman beberapa Negara yang menemui kegagalanya dalam
mengimplementasikan desentralisasi pada pemerintahan lokalnya. Artikel ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yakni dengan mengumpulkan data – data
hasil riset terdahulu yang fokus serta konteksnya cukup relevan dengan praktik desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal di beberapa Negara, sehingga dengan begitu dapat
ditarik ke sebuah asumsi umum atas factor – factor yang menyebabkan kegagalan. Hasilnya
diketahui bahwa yang menghambat suksesnya desentralisasi itu diantaranya bersumber dari
campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar terhadap pemerintah daerah atau
organisasi yang berada di bawahnya (desentralisasi parsial), kemudian lemahnya struktur dan
kapasitas pemerintah daerah (kapasitas kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam
menjalankan kewenangan yang diberikan, dan lain sebagainya. Beberapa alternatif terkait
dalam mendukung keberhasilan dalam desentralisasi diantaranya yaitu pemerintah harus
ditopang oleh sistem administrasi yang kuat dan sistematis, berorientasi pada pelatihan pada
struktur desentralisasi administratif dan distribusi sumber daya berbasis kinerja serta
Kepemimpinan administratif yang dinamis karena diaggap lebih efektif dalam
penyelenggaraan pemerintahan lokal.
PENDAHULUAN
P. King (1982:125) cite (Smith, Brian 1985:3) menjelaskan jika kebutuhan atas
desentralisasi nampaknya bersifat universal, bahkan Negara – Negara kecil sekalipun yang
mempunyai pemerintahan lokal dengan kadar otonomi tertentu. Premdas (1982) Cite (Smith,
Brian 1985) menyebutkan Negara – Negara yang berpenduduk kecil secara geografis dan etnis
memerlukan desentralisasi seperti halnya kepulauan Solomon yang berpenduduk 180 ribu
orang yang tersebar dalam kepulauan dengan luas daratan 29 ribu kilometer persegi dan luas
lautan 803 Kilometer persegi serta memiliki 74 bahasa yang berbeda. Dalam Pembentukan
daerah otonom, aspek masyarakat tampak menjadi penentu yang cukup strategis. Analoginya
adalah desentralisasi merupakan otonomisasi masyarakat pada area tertentu di lingkup
Negara. Dalam pembentukan daerah otonom, faktor masyarakat ditentukan oleh level
kohesinya. Kohesi masyarakat identik dengan pembentukan komunitas masyarakat dalam
suatu wilayah pemerintahan daerah (Salomo, Jannah, dan Muslim 2008). Yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan, bahwa efektivitas dan efisiensi merupakan tujuan yang hendak
dicapai dalam Desentralisasi / otonomi daerah, seperti halnya dalam peyelenggaraan urusan
harus mampu (1) Menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang, (2) Meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. (2) Menumbuhkan kemandirian daerah.(3) Meningkatkan daya
saing daerah dalam proses pertumbuhan (Widjaja 2001)
Tabel 1
Perubahan Keuangan Subnasional Negara-negara Amerika Latin Yang Dipilih, 1974-94
(persentase pengeluaran atau pemasukan untuk semua tingkat pemerintah)
Terkait dengan itu Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012 digambarkan sebagai
berikut ;
Gambar 1
Governance Effectiveness Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012
120
100
S'pore
80
Malaysia
India
60 Thailand
Philippines
China
40 Indonesia
Vietnam
20
0
1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 1012
Berdasarkan Index of Seven Asian Economies 1996 – 2012 dapat diketahui bahwa
Singapore stabil dalam kurun waktu 1996 sampai dengan 2012 pada 100 dan sempat
sedikit menurun di 90 pada tahun 2000 hingga 2002. Kemudian melaysia berada pada
urutan kedua stabil di kisaran 80, selanjutnya Thailand di 60, Philipina dan China
cenderung sama di kisaran 45 dan pada tahun 2012 mencapai 50, Untuk Indonesia dan
Vietnam pada posisi bawah di awal 1996 kurang dari 40 dan berjalan fluktuatif antara
40 hingga 45 pada puncaknya tahun 2005, kemudian di tahun 2012 merosot pada 40.
Merujuk kompilasi riset seperti (Kaur et al. 2017), ( Nannyonjo and Okot 2013),
(De Smet, Peeters, dan Sterckx 2016). (Osavelyuk et al. 2015). (Abbott et al. 2016)
Landwehr and Böhm (2011). (Murthy dan Mahin 2015), Santoso (2010) Kemmochi,
Kato, Uchium. (2016), Emerick, Mothusi & Molaodi, (2004) tidak sedikit Negara
mengalami kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi. Beberapa factor
yang mempengaruninya diataranya campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar
terhadap pemerintah daerah, kemudian Lemahnya struktur dan kapasitas pemerintah
daerah (kapasitas kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan dan lain sebagainya.
Terkait dengan itu, dalam artikel ini akan sangat menarik jika lebih lanjut
dibahas fakta empiris praktik penyelenggaran pemerintahan lokal dan factor – factor
yang mempengaruhi kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi
berdasarkan temuan – temuan penelitian di berbagai Negara, sehingga pada bagian
akhir bisa dibagun asumsi generic terjadinya kegagalan serta rekomendasi dalam
memininalisir kegagalan dalam mewujudkan tujuan dari desentralisasi.
KAJIAN PUSTAKA
Desentralisasi
“… In Europe, local government has been historically cohesion derived from close contact
between inhabitants of towns and villages, the religious and cultural aspects of community life, and the
social, commercial and economic characteristics of towns” (Smith, 1985) cite (Salomo, Jannah, dan
Muslim 2008). Ozmen, (2014:419) dikutip (Nugroho et al. 2019) desentralisasi merupakan
“Divert authority in planning, decision making, and mastery of public functions from a higher level to
individuals, organizations or other organizations at a lower level. transferring authority in planning,
measuring and implementing the managerial functions of the public from organizations that have a
higher level to lower level organizations”. Mawhood, (1983) dikutip dari (Muluk 2008)“the creation
of bodies separated by law from the center, in which local representatives are given formal power to decide
on a range of public matters. Their political base is locality ... Their area of authority is limited, but
within that area their right to make decisions is entrenched by law and can only be altered by new
legislation. They have resources which, subject to the stated limits, are spent and invested at their own
discretion”. Rondinelli dan Cheema, (1983:18) dikutip oleh (Sarundayang 2001) “Decentralization
is the transfer of planning, decisimaking, or administrative authority from the central government to its
field organization, local administrative units, semi autonomus and parastatal organizations, local
government organization” desentralisasi adalah transfer atau perencanaan, pembuatan kebijakan
atau wewenang administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi di wilayahnya,
unit/bagian lokal, organisasi semi otonom dan yang masih tergantung, pemerintah lokal dan
organisasi non pemerintah (NGO).
Tujuan Desentralisasi
Prasojo et al. (2006:1) dikutip dari (Nugroho dan Maulana 2019) desentralisasi memiliki
berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel
penting yaitu pendekatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan (strucrural
efficiency model) dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan (local democracy model). Pada umumnya setiap Negara memiliki titik berat yang
berbeda beda dalam dalam tujuan desentralisasinya.
METODE
Berikut disajikan temuan – temuan penelitian bersumber dari artikel ilmiah yang
dianggap relevan dengan problematika implementasi penyelenggaraan pemerintahan
lokal otonomi sebagai akibat dari desentralisasi ;
(De Smet, Peeters, dan Sterckx 2016) menjelaskan, penelitianya bertujuan untuk
memeriksa apakah kegagalan dalam merancang kebijakan yang menghormati hak asasi
manusia adalah karena keengganan pada perwakilan politik atau karena memang tidak
layak untuk dilakukan. Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan memberikan
perhatian khusus terhadap masukan-sisi model kewenangan didelegasikan, mengacu
pada individu yang mendelegasikan tanggung jawab mereka ke tingkat kolektif ketika
tanggung jawab tersebut sulit untuk “dilepaskan” pada tingkat individu. Bersembunyi
di belakang model kewenangan yang didelegasikan harus ditandai sebagai mekanisme
melepaskan tanggung jawab moral sehingga orang bisa menyangkal tanggung jawab
masing-masing dengan cara yang dibenarkan. Kami akan berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini dan mengeksplorasi bagaimana hal ini mempengaruhi
tanggung jawab kami untuk mengatasi perubahan iklim. Karena kita gagal untuk
mendelegasikan tanggung jawab kita ke tingkat kolektif dengan cara yang konsisten,
kita tidak bisa lagi berargumen bahwa pendelegasian kewenangan adalah alasannya.
Dalam rangka untuk membuat klaim yang meyakinkan bahwa itu adalah tugas dari
lembaga pemerintah dan supranasional untuk mengatasi perubahan iklim, kita
setidaknya memiliki kewajiban untuk memilih partai yang secara eksplisit mendukung
kebijakan yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim. Jika kita gagal untuk memenuhi
tugas minimalis ini, menyerukan agar ada pendelegasian tanggung jawab sama saja
dengan melepaskan moral, yaitu melalui difusi dan perpindahan tanggung jawab. Jika
kita tidak memilih partai yang paling mungkin untuk membuat perbedaan, kita tidak
bisa lagi bersembunyi di balik argumen kewenangan yang didelegasikan dan harus
menerima keterlibatan kami dalam pelanggaran besar-besaran hak asasi manusia yang
disebabkan oleh kegagalan untuk berhasil mengatasi perubahan iklim.
(Kaur et al. 2012) dalam penelitianya berfokus pada sebuah lembaga investasi
pemerintah daerah yang dipisahkan dari (kekuatan) negara sebagai salah satu bentuk
interaksi antara badan-badan kekuasaan negara dan pemerintah daerah. Hubungan
otoritas-otoritas yang disajikan dari tingkat yang berbeda memperoleh aktualisasi
khusus dalam badan otonomi pemerintah daerah. Karena itu, lembaga investasi dengan
kekuatan negara terpisah menuntut teori lebih lanjut dan perbaikan hukum. Lembaga
investasi pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk interaksi otoritas publik dan
pemerintahan setempat. Lembaga tersebut menuntut peningkatan karena adanya dua
masalah, yaitu masalah teoritis dan hukum, serta masalah praktis. Tujuan dari
pembangunan lembaga ini tidak hanya agar pelaksanaan negara dan manajemen lokal
berjalan efektif, tetapi juga menjadi berguna secara maksimal bagi masyarakat dan
negara. Pemisahan kekuasaan negara yang ditransfer ke pemerintah daerah harus
didasarkan oleh alasan rasionalitas, kebijaksanaan dan efisiensi tempat yang
pelaksanaannya untuk kepentingan warga tanpa pelanggaran prinsip konstitusional
pemerintah daerah. Lembaga investasi harus “saling menguntungkan” baik untuk
otoritas publik maupun lokal.
Kenneth W. Abbott, Philipp Genschel, Duncan Snidal and Bernhard Zangl Two
Logics of Indirect Governance: Delegation and Orchestration (2015)
Mai Kemmochi, Yusuke Kato, Mari Uchium. Research concerning the state of
decentralization within cities and the participation in city planning. (2016)
Berdasarkan uraian hasil di atas, sebagian besar masalah yang timbul atau
menghambat suksesnya desentralisasi itu bersumber dari
1) Campur tangan pemerintah pusat yang relatif besar terhadap pemerintah
daerah atau organisasi yang berada di bawahnya (desentralisasi parsial),
2) Lemahnya struktur dan kapasitas pemerintah daerah (kapasitas
kelembagaan yang ada di bawahnya) dalam menjalankan kewenangan
yang diberikan kepadanya menjadi masalah lain yang juga harus
mendapat perhatian,
3) Kondisi di lapangan yang relatif dinamis yang relatif berbeda antara
daerah satu dengan daerah yang lainya,
4) Aktor pemerintahan yang tidak memiliki kemampuan untuk
mendelegasikan, atau kekurangan kapasitas pemantauan dan penegakan
yang kuat akan berubah menjadi pemain orkestra untuk mencapai tujuan
mereka,
5) Pendekatan top-down mengurangi pentingnya pengambilan keputusan
lokal, sehingga mengurangi keuntungan efisiensi desentralisasi,
6) Desentralisasi tidak terkelola secara optimal karena office politics yang
berlangsung didomain pemerintah
Beberapa alternatif terkait dalam mendukung keberhasilan dalam desentralisasi
yaitu pemerintah harus ditopang oleh sistem administrasi yang kuat dan sistematis,
berorientasi pada pelatihan pada struktur desentralisasi administratif dan distribusi
sumber daya berbasis kinerja serta Kepemimpinan administratif yang dinamis di
pemerintah lokal ternyata lebih efektif dan warga negara setidaknya memiliki
kewajiban untuk memilih anggota legislatif yang secara eksplisit mendukung hal
tersebut, sehingga tidak ada lagi argumen politis atas kegagalan pelaksanaan
penyerahan kewenangan ( desentralisasi) tersebut di lapangan.
REFERENSI
Abbott, Kenneth W., Philipp Genschel, Duncan Snidal, dan Bernhard Zangl. 2016. “Two
Logics of Indirect Governance: Delegation and Orchestration.” British Journal of
Political Science 46(4): 719–29.
Camilleri, Joseph, dan Jim Falk. 2013. “Economic Governance.” Worlds in Transition
(February).
Kaur, Manmeet, Shankar Prinja, PravinK Singh, dan Rajesh Kumar. 2012.
“Decentralization of health services in India: barriers and facilitating factors.”
WHO South-East Asia Journal of Public Health 1(1): 94.
Landwehr, Claudia and Böhm, Katharina. 2011. “Delegation and Institutional Design in
Health-Care Rationing.” : 1–30.
Mai Kemmochi, Yusuke Kato, Mari Uchium. 2016. “Research concerning the state of
decentralization within cities and the participation in city planning.” 51(3): 253–60.
Nugroho, Arif, dan Delly Maulana. 2019. “Kedudukan Ganda Kecamatan Sebagai
Perangkat Daerah dan Perangkat Wilayah : Penyelenggaraan Kecamatan di
Kabupaten Pandeglang Berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014.”
Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah 3(2): 97–112.
Nugroho, Arif, Bambang Supriyono, Tjahjanulin Domai, dan M R Khairul Muluk. 2019.
“Realizing the Effectiveness of Districts Administration at the Government of
Pandeglang Regency, Banten Province, Indonesia.” Arif Nugroho/ JPAS 1(4): 19–25.
R. Siti Zuhro. 2010. “LIPI: Pelaksanaan Otonomi Daerah Masih Gagal.” Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia: http://lipi.go.id/berita/lipi:-pelaksanaan-otonomi.
http://lipi.go.id/berita/lipi:-pelaksanaan-otonomi-daerah-masih-gagal/4931.
Sarundayang, SH. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
De Smet, Andries, Wouter Peeters, dan Sigrid Sterckx. 2016. “The delegated authority
model misused as a strategy of disengagement in the case of climate change.”
Ethics and Global Politics 9(1): 1–21.
Widjaja, H.A.W. 2001. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rineka Cipta.