Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK I

Absensi No. 1-5


Anggota :
- Sarah Michelin Yunita (1901031002)
- M. Ghian Perdana (1901031003)
- Fildzah Aulia Putri (1901031006)
- Cindy Silvia Rahmi A. (1901031007)
- Lena Gustiani (1901031016)

1. Masalah Bangsa yang dapat diantisipasi melalui Pendidikan kewarganegaraan


Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid-19
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum,
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya adalah


• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
• penggelapan dalam jabatan,
• pemerasan dalam jabatan,
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Beberapa pengertian korupsi, disebutkan bahwa :


1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerima uang sogok dan
sebagainya
3. Koruptor adalah orang yang melakukan korupsi

Dengan demikian arti korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan
kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan
keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan
penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Sedangkan pengertian tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana. (Arief, 2010)
Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, disebutkan.

“ Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Berbagai macam bentuk korupsi yang telah terjadi di Indonesia misalnya : korupsi
pengadaan barang dan jasa , mark up anggaran , proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran dan
suap, bahkan bantuan-bantuan sosial (Bansos) untuk rakyat miskin seperti jaring pengaman
sosial dan bantuan untuk korban bencana alam pun tidak luput dari praktek korupsi.
Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39 Tahun 2012
mengenai Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah memberikan definisi Bantuan Sosial (Bansos), adalah :
pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang
bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Sehubungan dengan korupsi dana bantuan sosial hal ini melahirkan sejumlah pelaku
utama korupsi seperti kepala daerah, pejabat di lingkungan pemerintah daerah, serta anggota
dan pimpinan parlemen daerah. Hal tersebut sungguh ironis, karena korupsi akan menjadi faktor
penghambat pembangunan di segala bidang. Uang yang idealnya digunakan untuk pembiayaan
pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan sebagainya menjadi
terhambat karena anggaran telah dikorupsi oleh pejabat, selain daripada itu dampak lain dari
korupsi juga memperbesar tindak pidana pencucian uang. Beberapa contoh kasus dana bantuan
sosial yang di korupsi oleh pejabat negara antara lain sebagai berikut :
1. Kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) adalah yang dilakukan Laonma Tobing
(Kepala BPKAD) Provinsi Sumatera Selatan dan Ikhwanuddin (mantan Kepala
Kesbangpol Prov. Sumatera Selatan). Total kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp.
2,1 triliun, dimana pada awalnya APBD menetapkan untuk hibah dan bansos hanya Rp.
1,4 triliun namun terjadi perubahan. Lalu, pada perencanaan hingga pelaporan
pertanggung jawaban terdapat dugaan pemotongan dan ketidaksesuaian anggaran. ( kasus
masih berlanjut di Kejagung).
2. Kasus dana bantuan sosial di Sumatera Utara, Gatot diduga menyalahgunakan wewenang
dalam pencairan dana. Ia ditengarai menyetujui pencairan dana tanpa melalui verifikasi

tim anggaran pemerintah daerah. Dana bantuan sosial ini diduga dipakai untuk
pemenangan Gatot saat maju menjadi calon Gubernur pada tahun 2013.
Berdasarkan beberapa kasus di atas membuktikan tindak pidana korupsi tambah
merajalela walaupun telah banyak perangkat hukum yang mengaturnya. Menurut peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang - Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
2. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
3. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
4. Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Khusus untuk dana bantuan sosial ada beberapa peraturan yang telah mengaturnya, antara lain:
1. Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dengan adanya penerbitan peraturan perundangan yang terkait dengan pemberantasan
korupsi dana bantuan sosial tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melihat lebih jauh
bagaimana pertanggung jawaban hukum bagi pelaku korupsi dana bantuan sosial (bansos) dan
juga mengetahui lebih jelas lagi apa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak
pidana korupsi dana bansos tersebut. Karena diharapkan dengan adanya peraturan-peraturan
yang terkait dengan tindak pidana korupsi dapat membuat para pelaku korupsi menjadi takut
untuk melakukan tindak pidana korupsi.
2. Data dan Informasi lebih lanjut tentang masalah tersebut
Dalam pengelolaan dan penyaluran bansos acap kali berpotensi terjadinya tindak
pidana korupsi. Hal ini senada dengan pendapat Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi
Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) yang mengungkapkan pemberian dana bansos di
situasi bencana rentan membuka celah korupsi (Lumbanrau, 2020). Maraknya kasus
tindak pidana korupsi dana bansos tersebut selalu berkaitan dengan besarnya jumlah dana
yang digelontorkan oleh Pemerintah (Sembiring, 2014). Di masa pandemi Covid-19 saat
ini, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah menggelontorkan anggaran dalam
rangka penyelenggaraan bantuan sosial sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Pemerintah Pusat telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 405 Triliun yang
didalamnya meliputi dana bansos sebesar Rp. 110 Triliun. Sedangkan Pemerintah Daerah
menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 67,32 Triliun yang didalamnya meliputi Rp. 25
Triliun dalam bentuk bansos yang akan diberikan kepada masyarakat (Rais, 2020).
Menurut laporan singkat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan agenda “Langkah-langkah antisipasi KPK dalam
melakukan pengawasan terhadap anggaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh Pemerintah”
dijelaskan bahwa titik rawan korupsi penanganan Covid-19 meliputi pengadaan
barang/jasa, filantropi/sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi anggaran
Covid19, serta penyelenggaraan bantuan sosial (social safety net). Selanjutnya dijelaskan
juga secara spesifik titik rawan bantuan sosial penanganan Covid-19 ialah fiktif, exclusion
error, inclusion error, kualitas dan kuantitas (DPR, 2020).
Rawannya penyalahgunaan bantuan sosial penanganan Covid-19 dapat dibuktikan
dengan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada 3 Juli 2020, terdapat
total 621 keluhan masyarakat terkait penyaluran bantuan sosial. Keluhan tersebut meliputi
268 laporan tidak menerima bantuan padahal sudah terdaftar, 66 laporan bantuan tidak
dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, 47 laporan bantuan sosial yang diterima
jumlahnya kurang dari yang seharusnya, 31 laporan penerima fifktif (nama di daftar
bantuan tidak tertera), 6 laporan bantuan yang diterima kualitasnya buruk, 5 laporan
seharusnya tidak menerima bantuan tapi kenyataannya telah menerima dan 191 beragam
laporan lainnya (Hariyanto, 2020).
Sementara itu, menurut laporan dari Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi
Humas Polri, pada saat ini terdapat beberapa kasus dugaan korupsi bansos di beberapa
daerah di Indonesia yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian yang meliputi 38 kasus
di Polda Sumatera Utara, 12 Kasus di Polda Jawa Barat, 8 Kasus di Polda Nusa Tenggara
Barat, 7 Kasus di Polda Riau, 4 Kasus di Polda Sulawesi Selatan, serta masing-masing 3
kasus di Polda Banten, Polda Jawa Timur, Polda Sulawesi Tengah, dan Polda Nusa
Tenggara Timur (Halim, 2020).
Dalam tataran praktis terlihat beberapa kasus konkret terkait dugaan korupsi
bantuan sosial sebagai berikut:
1. Kasus Mark-up dana bansos Covid-19 yang dilakukan oleh Kepala Biro
Kesejahteraan Sosial (Kessos) Pemerintah Provinsi Lampung yang
menyalahgunakan dana bansos berupa sembako untuk masyarakat yang terdampak
pandemi Covid-19 di wilayah Lampung. Modus yang dilakukan ialah dengan cara
melakukan mark up anggaran setiap item barang yang akan didistribusikan dan
mengondisikan pihak ketiga selaku penyedia barang (Anonim, 2020).
2. Kasus korupsi bansos di Jawa Barat yang melibatkan aparatur kewilayahan
mulai camat, kepala desa, perangkat desa hingga ketua RT dengan modus
memotong dana yang seharusnya menjadi hak masyarakat yang membutuhkan
serta dengan mengganti isi dus bansos berupa kebutuhan pokok dengan produk
yang lebih rendah kualitas dan nilai harganya (Redaksi, 2020).
3. Kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Kepala Dusun dan Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Banpares, Kecamatan Tuah Negeri,
Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan dengan modus memotong dana bantuan
langsung tunai (BLT) miliki warga yang terdampak pandemi Covid-19 (Putra,
2020).
Beberapa kasus korupsi bansos tersebut menunjukkan bahwa dana bansos yang
seharusnya dialokasikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 sangat
rentan untuk disalahgunakan oleh para pihak yang tidak bertanggungjawab. Menurut
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan
bahwa penyebab terjadinya penyalahgunaan dana bantuan sosial disebabkan oleh beberapa
hal: Pertama, Database yang kacau dimana hal ini terjadi dikarenakan data penerima
bantuan sosial yang simpang siur, selalu terjadi penerima ganda dan data yang fiktif.
Kedua, lemahnya pengawasan dan audit untuk meminimalisasi penyelewengan dana
bantuan sosial. Hal tersebut disebabkan karena Pemerintah tidak membuat skema yang
serius untuk mengawasi dana bansos mulai penyaluran hingga pelaporannya (Dzulfaroh,
2020). Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, rentannya penyalahgunaan dana bansos
di masa pandemi Covid-19 yang membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab melakukan korupsi ialah karena belum adanya sistem pelayanan publik
yang transparan dan akuntabel dalam proses distribusi dana bansos ke masyarakat dari
tingkat pusat hingga daerah. Menurut Ombusdman sebagai lembaga pengawas pelayanan
publik, pintu masuknya korupsi adalah maladministrasi, sehingga memberikan pelayanan
publik dengan mencegah maladministrasi akan secara otomatis mencegah korupsi
(Harahap, 2020). Oleh karena itu guna mencegah korupsi dana bantuan sosial Covid-19
agar peruntukannya lebih tepat sasaran, dibutuhkan suatu sistem pelayanan publik yang
transparan dan akuntabel sekaligus memberikan pengawasan yang ketat dalam proses
distribusi bansos hingga sampai ke tangan masyarakat. Selain itu dibutuhkan juga skema
sistem yang terintegrasi dan koordinatif antar lembaga guna menciptakan sistem
pelayanan publik dalam penyaluranan dana bansos Covid-19 yang optimal sebagai
langkah untuk mencegah terjadinya korupsi

3. Program Pendidikan kewarganegaraan untuk mengantisipasi masalah


• Penyuluhan tentang anti korupsi
• Memberikan sosialisasi tentang pentingnya berbagi
• Meningkatkan ekstrakurikuler yang meningkatkan jiwa bela negara, seperti
pramuka, dll.
• Menambah jam pelajaran Pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah.
4. Susunan program
• Penyuluhan anti korupsi : memberikan pemahaman mendalam tentang korupsi
dan pemberantasan korupsi baik itu kepada masyarakat, pelajar, dan mahasiswa.
• Sosialisasi tentang pentingnya berbagi : Dengan melakukan penanaman akhlak
mengikuti kegiatan keagamaan mengenai arti berbagi kepada sesama terutama
yang sedang terkena dampak covid-19.
• Ektrakurikuler Bela Negara : Aktif untuk ikut serta dalam kegiatan yang berbau
bela bela negara seperti pramuka, mapala, dll.
• Menambah jam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan : Dengan
memberikan durasi yang cukup banyak untuk terus memperdalam pemahaman
tentang bela negara sebagai warga negara Indonesia dan memperkuat Pendidikan
kewarganegaraan.

Anda mungkin juga menyukai