Anda di halaman 1dari 127

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343110976

BUKU DEMAM TIFOID HASTA 2020

Book · July 2020

CITATIONS READS

0 4,594

1 author:

Hasta Handayani Idrus


Universitas Muslim Indonesia
41 PUBLICATIONS   42 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Effect of Manila Palm Extract (Achras Zapota L) on mRNA Gene Expression High Motility Group Box 1 (Hmgb1) and Solubel Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) in Mice
Infected with Salmonella Typhi. View project

Obesity View project

All content following this page was uploaded by Hasta Handayani Idrus on 21 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan


rahmat dan hidayahNya penulis telah dapat menyelesaikan
buku dengan judul “Mengenal Demam Tifoid” Tak lupa
kita hanturkan salam dan sholawat atas junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya yang
telah membimbing dan menuntun kita untuk tetap istiqomah
dijalanNya.

Penulis bermaksud memberikan sumbangsih buku


terkait penyakit demam tifoid. Hal tersebut karena tingginya
angka kasus demam tifoid yang banyak terjadi bukan hanya
di Indonesia tapi juga dibeberapa negara berkembang di
dunia.

Penulis sepenuhnya mengakui dan menyadari tidak


terlepas dari bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai
pihak, meskipun tanggung jawab akhir penulisan buku ini
berada pada penulis sendiri. Dalam kesempatan ini dengan
sepenuh hati penulis mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Suamiku yang sangat aku cintai Syarifuddin,


ST,MM yang telah memberikan dukungan penuh
untuk menulis buku serta selalu mendukung setiap
pencapaian saya selama ini.
2. Ayahanda tercinta Drs. H. Idrus, MM dan Ummiku
tersayang Hj.Hastati Hasan, SE ibunda tersayang
dan seluruh saudara, ipar dan sepupu yang telah
memberikan banyak pelajaran hidup, motivasi, doa,
dan kesabaran.
3. Putra-putraku tersayang Rifqi Aunur Rahman Syarif
dan Waritzu Ataya Naufal Syarif yang selalu
mendampingi, memberikan perhatian dan pengertian
kepada maminya sehingga dapat berkonsentrasi
dalam menyelesaikan buku ini.
4. Sahabat dunia akhiratku yang telah banyak
memberikan dukungan dan doa.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu yang telah ikut berperan membantu sehingga
buku ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dibalik usaha yang maksimal


dalam pembuatan buku ini masih terdapat kekurangan
sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu
kritik dan saran yang membangun senantiasa ditunggu
untuk memperbaiki kualitas buku ini demi perkembangan
ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang. Akhir kata
semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang dimasa yang
akan datang.

Amin Ya Rabbal Aalamin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Juli 2020

Hasta Handayani Idrus


A. MENGENAL DEMAM TIFOID
Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut
bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme
Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan
Salmonella typhi. Penyakit ini masih sering dijumpai di
negara berkembang yang terletak di subtropis dan daerah
tropis seperti Indonesia.
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa
disebut tifus merupakan penyakit menyerang bagian saluran
pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah . Demam tifoid
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Demam tifoid dikenal juga dengan
sebutan typhus abdominalis, typhoid fever, atau enteric
fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
typhos yang berarti kabut, karena umumnya penderita
sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai
yang berat.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut bersifat
sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella
enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella
typhi (S. typhi). Penyakit ini masih sering dijumpai di
negara berkembang yang terletak di subtropis dan daerah
tropis seperti Indonesia.
Menurut WHO, ada 3 macam klasifikasi demam tifoid
dengan perbedaan gejala klinik:
1) Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam
berkepanjangan abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada
pasien dewasa, dan diare pada anak- anak), sakit kepala,
malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada
fase awal penyakit selama periode demam,sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada,
abdomen dan punggung
2) Demam tifoid dengan kompilkasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat
berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan
keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi,
mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan
abdomen.
3) Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1- 5% pasien, tergantung
umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi
Salmonella typhi di feses.
Perjalanan penyakit S. typhi melalui beberapa proses,
diawali dengan masuknya kuman melalui makanan dan
minuman yang tercemar melalui jalur oral-fekal. Yang
kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan
melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun
sistemik, spesifik dan non-spesifik serta humoral dan
seluler.
S. typhi yang masuk ke saluran cerna tidak selalu akan
menyebabkan infeksi, karena untuk menimbulkan infeksim
S. typhi harus dapat mencapai usus halus. Keasaman
lambung (PH ≤ 3,5) menjadi salah satu faktor penting yang
menghalangi S. typhi mencapai usus halus. Namun sebagian
besar kuman S. typhi dapat bertahan karena memiliki gen
ATR (acid tolerance response). Achlorhydria akibat
penuaan, gastrektomi, pompa proton inhibitor, pengobatan
histamin antagonis reseptor H2, atau pemberian antacid
dapat menurunkan dosis infektif yang mempermudah
kuman untuk lolos menuju usus halus.
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus
halus, S. typhi akan menemui dua mekanisme non spesifik
yaitu motilitas dan flora normal usus berupa bakteri-bakteri
anaerob. Motilitas usus bersifat fisik berupa kekuatan
peristaltik usus untuk menghanyutkan kuman keluar. Di
usus halus kuman akan menembus mukosa usus
diperantarai microbial binding terhadap epitel
menghancurkan Microfold cells (M cells) sehingga sel-sel
epitel mengalami deskuamasi, menembus epitel mukosa
usus, masuk dalam lamina propria, menetap dan
berkembang biak. Kuman akan berkembang biak dalam sel
mononuklear sebelum menyebar ke dalam aliran darah.
Di dalam sel fagosit mononuklear, kuman masuk
menginfeksi Peyer’spatches, yaitu jaringan limfoid yang
terdapat di ileum terminal dan bermultiplikasi, kemudian
kuman menembus kelenjar limfoid intestinal dan duktus
torasikus masuk ke dalam aliran darah sistemik. Setelah 24-
72 jam terjadi bakteriemia primer namun jumlah kuman
belum terlalu banyak maka gejala klinis belum tampak.
Bakteriemia primer berakhir setelah kuman masuk ke dalam
organ retikuloendotelial system (RES) di hati limpa, kelenjar
getah bening mesenterium dan kelenjar limfoid intestinal
untuk berkembang biak. Di organ ini kuman menjalani
masa inkubasi selama 10-14 hari, dalam organ RES kuman
berkembang pesat dan kembali masuk ke peredaran darah
dan menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat terjadi
bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis
dari demam tifoid.
Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya
menyangkut antibody, limfosit B dan T dan komplemen
yang terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral.
Respon imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan
penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel
limfosit T dan fagosit mononuclear, untuk membunuh
mikroorganisme yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme
mikrobisidal humoral dan fagosit polimorfonuklear. Adanya
antigen kuman akan merangsang limfosit T untuk
membentuk factor aktivasi makrofag, sehingga akan
berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas
humoral. Akibat stimulasi antigen kuman, sel ini akan
berubah menjadi sel plasma dan mensintasis
immunoglobulin. Imunoglobulin G dan M adalah
immunoglobulin yang dibentuk paling banyak. Peningkatan
titer mulai terjadi mulai minggu pertama kemudian
meningkat pada minggu-minggu berikutnya, sedangkan
immunoglobulin A meningkat pada minggu kedua.
Imunoglobulin M adalah immunoglobulin pertama uang
dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM yang
tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya
antibody humoral ini biasayna dipakai sebagai dasar
berbagai pemeriksaan laboratorium, misalnya tes Widal dan
pemeriksaan lainnya.
Sitokin tersebut pula yang menimbulkan dampak pada
pusat nafsu makan menyebabkan nafsu makan menurun,
memengaruhi ambang nyeri, sehingga timbul nyeri pada
kepala,sendi, otot-otot, dan nyeri pada daerah saluran cerna.
Sitokin memengaruhi perubahan pada plaque peyeri,
inflamasi pada mukosa saluran cerna, menyebabkan
motilitas saluran cerna terganggu, sehingga muncul keluhan
mual, muntah, diare, nyeri abdomen, perdarahan,
perdarahan, perforasi, sedangkan konstipasi terjadi pada
tahap lanjut. Kondisi patologis akibat infeksi merangsang
hiperativitas RES dan menimbulkan pembengkakan hati dan
limpa.

1. Epidemiologi Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang
dijumpai di seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan
subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air
yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi
yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam
keadaan endemis.
Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah
endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun
sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003
insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000
penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara
Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per
100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk.
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per
100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk
perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun
600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam
tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%.
Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara
berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi
serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang
bersangkutan.
2. Patogenesa Demam Tifoid
Perjalanan penyakit Salmonella typhi melalui beberapa
proses, diawali dengan masuknya kuman melalui makanan
dan minuman yang tercemar melalui jalur oral-fekal. Yang
kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan
melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun
sistemik, spesifik dan non-spesifik serta humoral dan
seluler.
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna tidak
selalu akan menyebabkan infeksi, karena untuk
menimbulkan infeksim Salmonella typhi harus dapat
mencapai usus halus. Keasaman lambung (PH ≤ 3,5)
menjadi salah satu faktor penting yang menghalangi
Salmonella typhi mencapai usus halus. Namun sebagian
besar kuman Salmonella typhi dapat bertahan karena
memiliki gen ATR (acid tolerance response). Achlorhydria
akibat penuaan, gastrektomi, pompa proton inhibitor,
pengobatan histamin antagonis reseptor H2, atau pemberian
antacid dapat menurunkan dosis infektif yang
mempermudah kuman untuk lolos menuju usus halus
(Gambar 1).
Gambar 1. Infeksi Salmonella di epitel usus
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus
halus, Salmonella typhi akan menemui dua mekanisme non
spesifik yaitu motilitas dan flora normal usus berupa
bakteri-bakteri anaerob. Motilitas usus bersifat fisik berupa
kekuatan peristaltik usus untuk menghanyutkan kuman
keluar. Di usus halus kuman akan menembus mukosa usus
diperantarai microbial binding terhadap epitel
menghancurkan Microfold cells (M cells) sehingga sel-sel
epitel mengalami deskuamasi, menembus epitel mukosa
usus, masuk dalam lamina propria, menetap dan
berkembang biak. Kuman akan berkembang biak dalam sel
mononuklear sebelum menyebar ke dalam aliran darah.
Di dalam sel fagosit mononuklear, kuman masuk
menginfeksi Peyer’spatches, yaitu jaringan limfoid yang
terdapat di ileum terminal dan bermultiplikasi, kemudian
kuman menembus kelenjar limfoid intestinal dan duktus
torasikus masuk ke dalam aliran darah sistemik. Setelah 24-
72 jam terjadi bakteriemia primer namun jumlah kuman
belum terlalu banyak maka gejala klinis belum tampa.
Bakteriemia primer berakhir setelah kuman masuk ke dalam
organ retikuloendotelial system (RES) di hati limpa, kelenjar
getah bening mesenterium dan kelenjar limfoid intestinal
untuk berkembang biak. Di organ ini kuman menjalani
masa inkubasi selama 10-14 hari, dalam organ RES kuman
berkembang pesat dan kembali masuk ke peredaran darah
dan menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat terjadi
bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis
dari demam tifoid.
Pada dinding sel Salmonella typhi terdapat pirogen LPS
(endotoksin) dan sedikit peptidogikan. Endotoksin
merupakan pirogen eksogen yang sangat poten untuk
merangsang respons imun makrofag dan sel lain untuk
menginduksi sekresi sitokin. Sebagai reseptor, Komponen
CD14 akan berikatan dengan LPS. Ikatan tersebut kemudian
berikatan pula dengan kelompok molekul Toll-like
receptors (TLR). Aktivasi yang terjadi akan menstimulasi
produksi sitokin dan aktivasi reseptor sitokin : reseptor
sitokin tipe I (untuk IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, IL-9, IL-
11, IL-12, IL-13, IL-15) ; reseptor sitokin tipe II (untuk
1FN-á/â, IFN-ã, IL-10); reseptor TNF (untuk TNF, CD4OL,
Fas); reseptor superfamili immunoglobulin (IL-1, M-CSF).
Laju infeksi demam tifoid sangat ditentukan oleh aktivitas
aktivasi reseptor tersebut. Berbagai sitokin tersebut
mengikuti sirkulasi sistemik, menginduksi produksi
prostaglandin, memengaruhi stabilitas pusat termoregulasi
berefek terhadap pengaturan suhu tubuhdan menyebabkan
demam.
Sitokin tersebut pula yang menimbulkan dampak pada
pusat nafsu makan menyebabkan nafsu makan menurun,
memengaruhi ambang nyeri, sehingga timbul nyeri pada
kepala, sendi, otot-otot, dan nyeri pada daerah saluran
cerna. Sitokin memengaruhi perubahan pada plaque peyeri,
inflamasi pada mukosa saluran cerna, menyebabkan
motilitas saluran cerna terganggu, sehingga muncul keluhan
mual, muntah, diare, nyeri abdomen, perdarahan,
perdarahan, perforasi, sedangkan konstipasi terjadi pada
tahap lanjut. Kondisi patologis akibat infeksi merangsang
hiperaktivitas RES dan menimbulkan pembengkakan hati
dan limpa.
Pentingnya imunitas dalam penegakan diagnosis
ditunjukkan dari kenaikan titer antibodi terhadap antigen
Salmonella typhi. Peran imunitas seluler yaitu dalam
penyembuhan penyakit. Pada infeksi primer, respon
humoral melalui sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang akan merangsang terbentuknya
immunoglobulin (Ig). Pada infeksi akut, yang pertama
terbentuk antibodi O (IgM) yang muncul pada hari ke 3-4
demam, kemudian disusul antibodi pada infeksi kronik yaitu
antibodi flagela H (IgG).

Gambar 2. Patofosiologi demam tifoid


Gambar 3. Respon Imun terhadap bakteri
3. Gejala Klinis Demam Tifoid
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam
tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan
bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau
perdarahan.
Hal ini mempersulit penegakan diagnosis
berdasarkan gambaran klinisnya saja. Gejala klinis demam
tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20
hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis
terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid.
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia
oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada
Salmonella typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan
pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di
daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin
disebabkan oleh malaria. Demam tifoid dan malaria dapat
timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala
hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis, di sisi lain Salmonella typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi
gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma.
Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis.
Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus. Gejala klinis yang biasa
ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama
minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering
dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih
kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat
terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak
berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi
sopor, koma atau gelisah.
4. Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan
tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak
5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula
terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke
seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi
perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik,
trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan
kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis,
dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis,
spondilitis, dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan
sindrom katatonia.

5. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada
manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan
laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam
tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat
ini.
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada
isolasi Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi
anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari karakteristik
demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik
adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitive. Kultur
darah adalah gold standard dari penyakit ini. Dalam
pemeriksaan laboratorium diagnostik, dimana patogen
lainnya dicurigai, kultur darah dapat digunakan. Lebih dari
80% pasien dengan demam tifoid terdapat Salmonella typhi
di dalam darahnya. Kegagalan untuk mengisolasi organisme
dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Keterbatasan media laboratorium
2. Penggunaan antibiotik
3. Volume spesimen, atau
4. Waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat demam
selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin
dibandingkan dengan pasien yang memiliki kultur
darah positif .
Aspirasi sum-sum tulang adalah standar emas untuk
diagnosis demam tifoid dan sangat berguna bagi pasien
yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah
panjang penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang
negatif. Aspirasi duodenum juga telah terbukti sangat
memuaskan sebagai tes diagnostik namun belum diterima
secara luas karena toleransi yang kurang baik pada aspirasi
duodenum, terutama pada anak-anak. Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia,
jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat,
mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari
darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urin dan feses.
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur
yang paling efektif dalam menduga demam enterik, dimana
kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga
dari kasus septikemia yang diperoleh dari komunitas yang
dirawat di rumah sakit. Kultur darah adalah prosedur untuk
mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi
dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob,
identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik yang
diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu klinisi
dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan rasional.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut. Masing-masing koloni terpilih diamati
morfologinya, meliputi: warna koloni, bentuk, diameter 1-2
mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya
untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya
untuk menghemolisa sel darah merah. Hasil yang
menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan
cara kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang
mengancam jiwa, maka pendeteksiannya dengan segera
sangat penting.
Indikasi kultur darah adalah jika dicurigai terjadi
bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin
akan timbul gejala seperti : demam, mual, muntah,
menggigil, denyut jantung cepat (tachycardia), pusing,
hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam
sistem organ dan atau laboratoris. Biakan darah terhadap
Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada
minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik,
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
resiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang. Hasil biakan yang
positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang
diambil, perbandingan volume darah dari media empedu
dan waktu pengambilan darah.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan
turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku
emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan
hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada
fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir
ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari.
Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum
dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi pada
anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang. Volume 5-10 ml
dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak
dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri
dalam sumsum tulang juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah.
Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume
sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Spesifisitasnya walaupun tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-
7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
c. Uji Serologis
a. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku
dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal
adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan
infeksi ini. Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi
terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu
reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji
Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid.
Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hapusan (slide test) dan uji tabung (tube
test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan. Uji hapusan
dilakukan dengan menggunakan antigen Salmonella typhi
komersial yang tersedia, setetes suspensi antigen
ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga
terinfeksi Salmonella typhi. Hasil penapisan positif
membutuhkan determinasi kekuatan dari antibody.
Di Indonesia pengambilan titer O aglunitin ≥ 1/40
dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Campuran suspensi antigen dan antibodi
diinkubasi selama 20 jam pada suhu 370 C di dalam air. Tes
ini dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89%
pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif
sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.
Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus
memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis);
faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas
dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita
demam tifoid (penanda infeksi). Uji Widal saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer
uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada orang sehat di populasi dimana pada daerah endemis
seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi
O dan H pada orang-orang sehat. Kelemahan lain adalah
banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada tes
ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil
terlalu dini dari fase tifoid.
Pemberian antibiotik merupakan salah satu peyebab
penting terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif
lainnya adalah tidak adanya infeksi Salmonella typhi, status
karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup
untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam
melakukan tes dan variabilitas antigen. Hasil positif palsu
dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes demam
tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen
Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan
antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya
standar pemeriksaan antigen, infeksi malaria atau bakteri
enterobacteriaceae lainnya, serta penyakit lain seperti
dengue.
b. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif
kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk
dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella
typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel
latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella
typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil
positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmmonella
paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat
imunodominan sehingga dapat merangsang respon imun
secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut,
respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga
deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk
infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya
dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3
macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang
juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen
A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung
partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan
antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk
melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25
µL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 µL)
reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 µL)
ditambahkan ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada
kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan
diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm.
Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna
larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor,
yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut. Jika
serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini
bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet
rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh
reagen B (H. J. Kim et al., 2016).
Sampel darah pasien dengan diagnosis klinis demam
tifoid untuk membandingkan spesifisitas, sensitivitas,
positive predictive value (PPV) dan negative predictive
value uji Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut,
didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100% (Widal:
53,1%), spesifisitas 90% (Widal: 65%), PPV 94,11%
(Widal: 70,8%), NPV 100% (Widal: 46,4%) (Sabbagh et
al., 2019).
c. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi.
Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi
IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa. Pada penelitian
Gopalakhrisnan dkk 2002, didapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji
sebesar 84%. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini
hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan
78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG)
teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi.
IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian
IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada
kasus uji primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini
kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji
Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 lebih
sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3
jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.
d. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella
typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat)
gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella
typhi.
Spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas
yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Kendala
yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif
palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan
secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.
Metode Bakteriologi Untuk Isolasi Salmonella
1. Kultur pada medium diferensial
Medium EMB MacConkey atau deoksikolat memungkinkan
deteksi cepat organisme yang tidak memfermentasi laktosa
(bukan hanya salmonella dan shigella, tetapi juga proteus,
Serratia, Pseudomonas dan sebagainya). Pertumbuhan
organisme gram-positif sedikit terhambat. Medium bismuth
sulfite memungkinkan deteksi cepat salmonella yang
membentuk koloni hitam karena produksi H2S. Banyak
salmonella menghasilkan H2S.
2. Kultur pada medium selektif
Spesimen diinokulasi pada agar salmonella-shigella (SS),
agar enteric Hektoen, XLD, atau agar deoxycholate-citrate
yang menunjang pertumbuhan salmonella dan shigella
daripada Enterobacteriaceae lainnya.
3. Kultur pada medium diperkaya
Spesimen (biasanya feses) juga ditempatkan dalam kaldu
tetrahionate atau selenit F, keduanya menghambat replikasi
bakteri usus noral dan memungkinkan multiplikasi
salmonella. Setelah inkubasi 1-2 hari, hasil kultur
dipindahkan ke medium diferensial dan selektif.
4. Identifikasi akhir
Koloni yang diduga merupakan salmonella dari medium
solid diidentifikasi dengan pola reaksi biokimia dan
pemeriksaan aglutinasi slide dengan menggunakan serum
spesifik.
Imunitas
Infeksi oleh Salmonella Typhi atau Salmonella Paratyhpi
biasanya memberikan imunitas dalam derajat tertentu.
Infeksi ulang dapat terjadi, tetapi sering kali lebih ringan
daripada infeksi pertama. Antibodi sirkuler terhadap antigen
O dan Vi berkaitan dengan resistensi terhadap infeksi dan
penyakit. Namun, kekambuhan dapat terjadi dalam 2-3
minggu pascapemulihan meskipun telah terbentuk antibodi.
Antibodi IgA sekretorik dapat mencegah perlekatan
salmonella ke epitel usus.
Terapi
1. Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi
2. Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, anti
emetik, cairan yang adekuat)
3. Antibiotik dengan pilihan antara lain :
a. Kloramfenikol 4 x 500 mg.hari per oral/IV
hingga 7 hari bebas demam
b. Tiamfenikol 4 x 500 mg
c. Cotrimoxazole 2 x 960 mg selama 2 minggu
d. Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/KgBB
selama 2 minggu
e. Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
selama ½ jam perinfus sekali sehari. Selama
3-5 hari
f. Golongan flourokuinolon:
i. Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama
14 hari
ii. Siprpfloksasin 2 x 500 mg/hari
selama 6 hari
iii. Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7
hari
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada tifoid toksik,
peritonitis atau perforasi, syok septik
5. Pada kehamilan : ampsilin, amoksisilin, seftriakson.
Sejak diperkenalkan, kloramfenikol telah menjadi standar
emas antimikroba untuk pengobatan. Tidak ada obat yang
telah begitu baik menunjang reaksi klinis yang diharapkan,
yang biasanya menjadi nyata dalam waktu 24-48 jam
setelah dimulainya pengobatan dalam dosis yang sesuai (3
sampai 4 g/hari pada orang dewasa atau 50 sampai 75
mg/KgBB per hari pada anak yang lebih muda). Obat
diberikan per os selama 2 minggu, dan dosis dapat
dikurangi sampai 2 g/hari atau 30 mg/Kg per hari jika
pasien tidak demam, yang biasanya terjadi setelah hari
kelima pengobatan. Walaupun demikian, karena spektrum
anemia aplastic yang terkait kloramfenikol, obat ini tidak
banyak digunakan. Regimen oral efektif lainnya adalah
amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi
pada orang dewasa atau 100 mg/Kg per hari pada anak),
trimetropim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan,
dalam dua dosis harian terbagi pada orang dewasa atau 185
mg/m2 luas permukaan tubuh perhari dari komponen
trimethoprim pada anak-anak), atau 4-flourokuinolon
seperti siprofloksasin atau ofloksasin pada individu yang
berusia lebih dari 17 tahun.
Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol
ataupun trimethoprim-sulfametoksazol dapat diberikan
secara intravena pada individu yang tidak mampu menelan
obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah
ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam dan 4-
flourokuinolon. Walapun demikian, tidak ada satupun yang
aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya dibandingkan
dengan seftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik
daripada kloramfenikol dalam kecepatan penurunan panas.
Sejak itu, rekomendasi awal pemberian 7 hari tidak
diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang
dewasa atau 80 mh/Kg sekali sehari, selama 5 hari pada
anak, tanpa kehilangan daya guna (efikasi).
Prevalensi S. Typhi yang resisten terhadap obat oral garis
pertahanan pertama telah meningkat pada negara sedang
berkembang, karena kemahiran plasmid menyadikan β-
laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil
transferase. Di daerah dengan resistensi banyak obat ini
merupakan masalah, seftriakson atau 4-flourokuinolon
sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa
yang berusia lebih dari 17 tahunm dengan seftriakson
sebagai pilihan terbaik untuk anak-anak, sekurang-
kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk
anak-anak yang lebih muda. Biaya seftriakson yang lebih
mahal sedikit menutupi kerugian karena kemanjuran jangka
pendek dan pemberian dosis satu kali sehari secara
ekonomis.
Penggunaaan awal antimikroba yang efektif berhubungan
dengan angka kekambuhan yang relative tinggi; angka
kekambuhan 20 persen dapat diharapkan, dibandingkan
dengan 5 sampai 10 persen pada pasien yang tidak diterapi.
Hal ini agaknya karena terapi yang cepat menghambat
perkembangan respon imun yang memadai. Kekambuhan
biasanya lebih ringan daripada serangan awal dan akan
beraksi terhadap antimikroba yang sama yang digunakan
secara dini.
Karier
Setelah manifestasi atau infeksi subklinis, salmonella tetap
berada dalam jaringan beberapa individu tersebut selama
beberapa periode yang bervariasi (karier convalescent atau
karier permanen yang sehat). Tiga persen orang yang
sembuh dari tifoid menjadi karier permanen, membawa
organisme tersebut di dalam kandung empedu, saluran
empedu atau kadang-kadang usus atau saluran kemih.
Eradikasi keadaaan karier menahun, khususnya jika terdapat
batu empedu, sangat sulit. Regimen tradisional telah
menggunakan 100 mg/Kg per hari ampisilin atau
amoksisilin plus probenesid (30 mg/kg per hari) atau
trimethoprim-sulfametoksazol (160/800 mg) dua kali sehari
sekurang-kurangnya 6 minggu. Penelitian mutakhir
menganjurkan bahwa terapi 4 minggu dengan 4-
flourokuinolon setidak-tidaknya sama baiknya, dan
mungkin jauh lebih baik karena kumannya sangat peka
secara in vitro dan obatnya dapat mencapai lumen usus,
hati, empedu, dan kandung empedu dalam bentuk aktif.
Kuinolon baru memberikan kemungkinan paling baik untuk
membasmi S. Typhi bersama batu empedu, dan karena
kesederhanaan dan keamanannya, obat ini merupakan
pilihan terbaik untuk supresi menahun kekambuhan tifoid
pada pasien AIDS juga. Beberapa karier kronis berhasil
disembuhkan dengan ampisilin saja, tetapi kebanyakan
kasus, kolisistektomi harus dikombinasikan dengan terapi
medikamentosa.
Pencegahan dan Pengendalian
Pengalaman sedunia menunjukkan bahwa perbaikan sanitasi
lingkungan, termasuk pembuangan limbah dan pemasokan
air, akan menurunkan insiden demam tifoid dengan tajam.
Tindakan ini harus dilakukan untuk mecegah kontaminasi
makanan dan air oleh hewan pengerat atau hewan lainnya
yang membawa salmonella. Unggas, daging, dan telur yang
terinfeksi harus dimasak hingga matang. Jika pendekatan ini
belum dimungkinkan, dan bagi para pelancong, imunisasi
telah digunakan. Vaksinasi dianjurkan untuk turis yang
hendak bepergian ke daerah endemic, khususnya jika
mereka mengunjungi daerah pedesaan atau perkampungan
kecil dengan pilihan makanan yang terbatas. Daya guna
perlindungan oleh dosis majemuk vaksin tifoid yang secara
menyeluruh diekstraksikan dengan fenol, dan dibunuh
dengan panas secara tradisional, paling-paling hanya 65
persen dan berlansung hanya beberapa bulan, dengan nyeri
setempat tertentu dan demam. Vaksin ini telah sama sekali
diganti di Amerika Serikat dengan tiga dosis vaksin oral
hidup generasi pertama (Ty21a).
Strain ini invasive, karena secara metabolic cacat, dan mati
setelah beberapa daur replikasi, sehingga tidak virulen.
Walaupun demikian, vaksin ini memberikan perlindungan
yang sejajar dengan vaksin mati dan bertahan sekurang-
kurangnya beberapa tahun. Di Eropa, satu dosis vaksin
polisakarida Vi yang murni telah terbukti efektif dan
bertahan lama seperti dosis majemuk Ty21a, walaupun
demikian produk ini nyatanya tidak tersedia di Amerika
Serikat. Vaksin baru tifoid hidup yang direkayasa secara
genetik sedang dikembangkan melalui mutasi gen jaras
biosentesis aromatic, adenilat siklase dan gen pengaturan
cAMP, atau gen virulensi lain atau melalui gabungan
beberapa perubahan genetik pada strain kandidat yang
sama. Disampinh itu, konjungat protein-Vi sedang dibuat
dan dievaluasi sebagai imunogen yang cocok untuk bayi,
terutama daerah endemic tempat tifoid infantile prevalen
dan masih merupakan penyakit berbahaya.
Prognosis
Terapi demam tifoid yang cocok, terutama jika pasien perlu
dirawat secara medis pada stadium dini, sangat berhasil.
Angka kematian baru di bawah 1 persen, dan hanya sedikit
penyulit yang terjadi.
B. MENGENAL SALMONELLA THYPHI

Salmonella typhi merupakan bakteri penyebab


salmonellosis yang merupakan salah satu penyakit edemis
dan menimbulkan kerugian yang serius terutama di Negara
berkembang termasuk Indonesia. Bakteri salmonella
ditularkan melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kotoran atau tinja dari seorang penderita
tifoid. Bakteri masuk melalui mulut bersama makanan dan
minuman, kemudian berlanjut kesaluran pencernaan. Jika
bakteri yang masuk dengan jumlah yang banyak maka
bakteri akan masuk ke dalam usus halus selanjutnya masuk
ke dalam sistem peredaran darah sehingga menyebabkan
bakterimia, demam tifoid, dan komplikasi organ lain.
Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk
batang bergerak yang khas memfermentasikan glukosa dan
manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak
memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Salmonella
menghasilkan H2S. Isolat salmonella pada media SSA pada
suhu 37oC maka koloni akan tampak cembung, transparan,
bercak hitam dibagian pusat. Bakteri salmonella akan mati
pada suhu 60o C selama 15 – 20 menit melalui pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinasi.
1. Epidemiologi
Salmonella typhi merupakan flora normal dalam
usus dimana infeksi terjadi akibat kontaminasi makanan dan
minuman yang mengakibatkan bakteri masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar penderita tifoid merupakan sebagai
agen pembawa (carier) yang terletak pada kandung empedu,
saluran empedu, dan sebagian pada usus atau saluran kemih.
Di Indonesia, tifoid tidak dijumpai secara endemis namun
sering dijumpai pada kota-kota besar.
Kejadian kasus penyakit pada pria dan wanita tidak
terdapat perbedaan namun angka kejadian tertinggi
ditemukan pada usia remaja. Data yang ditemukan pada
rumah sakit menunjukkan peningkatan jumlah penderita
tiap tahunnya sekitar 500/100000 penduduk dimana angka
kematian yaitu 0,6 - 5 %. Terjadinya kematian tersebut
akibat terlambatnya penanganan, pengobatan dan tingginya
biaya pengobatan.
2.Klasifikasi Salmonella Thypi
Klasifikasi Salmonella bersifat kompleks karena organisme
ini merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan,
dan bukan satu spesies umum. Anggota genus Salmonella
awalnya diklasifikasikan berdasarkan epidemiologi, pejamu,
reaksi biokimia dan struktur antigen O,H dan Vi (jika ada).
Penelitian hibridasi DNA telah menunjukkan adanya tujuh
kelompok evolusioner. Saat ini, genus salmonella dibagi
menjadi dua spesies yang masing-masing terbagi atas
banyak subspecies dan serotype. Kedua spesies tersebut
adalah Salmonella enterica dan Salmonella bongori (dahulu
disebut subspecies V). Salmonella enterica terdiri dari lima
subspesies. Subspesies enterica (subspesies I); subspesies
salamae (subspesies II); subspecies arizonae (subspecies
IIIa); subspesies diarizonae (subspesies IIIb); subspesies
houtenae (subspesies IV) dan subspesies indica (subspesies
VI).
Menurut nomenklatur yang baru, Salmonella dibedakan
menurut adanya keterkaitan DNA-nya, sehingga sekarang
hanya terdapat dua spesies Salmonella yaitu Salmonella
bongori dan Salmobella enterica. Nama semula S..Thypi
menjadi S. enterica serovar Thypi yang disingkat S.Tyhpi.
Salmonella yang menyerang manusia disebut sebagai strain
dalam subspecies I atau S.enterica.
Gambar 1. Klasifikasi S.Thypi
Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan
oleh galur subspesies I. Sesekali infeksi pada manusia dapat
disebabkan oleh subspesies IIIa dan IIIb atau subspecies
lain yang biasanya ditemukan pada hewan berdarah-dingin,
misalnya reptil. Nomenklatur klasifikasi yang mungkin
akan diterima secara luas adalah sebagai berikut : S.enterica
subspesies enterica serotype Thypimurium, yang dapat
dipersingkat menjadi Salmonella Thypimurium dengan
nama genus yang dituliskan dalam bentuk miring dan nama
serotipe dituliskan dalam bentuk regular.
Terdapat lebih dari 2.500 serotipe salmonella, meliputi lebih
dari 1.400 serotipe dalam grup I hibridisasi DNA yang
dapat menginfeksi manusia. Empat serotype salmonella
yang dapat menyebabkan demam enteric dapat
diidentifikasi di laboratorium klinis melalui pemeriksaan
serologis dan biokimia. Serotipe tersebut harus secara rutin
diidentifikasi karena kepentingan klinisnya. Keempat
serotype tersebut adalah Salmonella Paratyphi A (serogrup
A), Salmonella Paratyphi B (serogrup B), Salmonella
Cholerasius (serogrup C1) dan Salmonella Thypi (serogrup
D). Lebih dari 1.400 salmonella lain yang diisolasi di
laboratorium klinis dikelompokkan ke dalam serogrup
berdasarkan antigen O yang dimilikinya menjadi serogrup
A,B,C1,C2,D dan E.
3. Morfologi Salmonella Typhi
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif batang, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan berflagella
(bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
pada pH 6-8 pada suhu 15-410C (suhu optimal 37 0C ).
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan 54,4 0C selama
satu jam dan suhu 600C selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. Terjadinya penularan S. typhi
pada manusia yaitu secara jalur fekal-oral. Sebagian besar
akibat kontaminasi makanan atau minuman yang tercemar.

4. Anatomi Bakteri
Bakteri tersusun atas dinding sel dan isi sel.
Disebelah luar dinding sel terdapat selubung atau kapsul. Di
dalam sel bakteri tidak terdapat membrane dalam
(endomembran) dan organel bermembran seperti kloroplas
dan mitkondria. Struktur tubuh bakteri dari lapisan luar
hingga bagian dalam sel yaitu flagela, dinding sel,
membrane sel, mesosom, lembaran fotosintetik, sitoplasma,
DNA, plasmid, ribosom, dan endospore
1. Flagela
Flagela terdapat salah satu ujung, pada kedua ujung
atau pada perukaan sel. Fungsinya untuk bergerak. Berdasar
letak dan jumlahnya, tipe flagella dapat dibedakan menjadi
montrik, amfitrik, lofotrik, dan peritrik. Flagela terbuat dari
protein yang disebut flagelin. Flagella berbetuk seperti
pembuka sumbat botol. Fungsinya adalah untuk bergerak.
Flagella berputar seperti baling-baling untuk menggerakkan
bakteri.
Gambar 2 Flagela Salmonella melekat pada membrane sel
2. Dinding sel
Dinding sel tersusun atas peptidoglikan yakni
polisakarida yang berikatan dengan protein. Dengan adanya
dinding sel ini, tubuh bakteri memiliki bentuk yang tetap.
Fungsi dinding sel adalah untuk melindungi sel.
Berdasarkan struktur protein dan polisakarida yang
terkandung di dalam dinding sel ini, bakteri dapat
dibedakan menjadi bakteri gram positif dan gram negatif.
Pada bakteri gram negatif, peptidoglikan terletak di antara
membran plasma dan membran luar dan jumlahnya lebih
sedikit. Umumnya bakteri gram negatif lebih pathogen.
Bakteri gram-negatif dinding sel gram negatif
mengandung 10-20 % peptidoglikan, diluar lapisan
peptidoglikan ada struktur membran yang tersusun dari
protein fostolipida dan lipopolisakarida. Apabila diberi
pewarna gram menghasilkan warna merah.

Gambar 3 protein fostolipida dan lipopolisakarida Salmonella


Thypi
Di sebelah luar dinding sel terdapat kapsul. Tidak
semua sel bakteri memiliki kapsul. Hanya bakteri patogen
yang berkapsul. Kapsul berfungsi untuk mempertahankan
diri dari antibodi yang dihasilkan selinang. Kapsul juga
berfungsi untuk melindungi sel dari kekeringan. Kapsul
bakteri tersusun atas persenyawaan antara protein dan
glikogen yaitu glikoprotein.
Dinding sel S. typhi dibentuk 20% nya oleh lapisan
lipoprotein. Sementara itu lapisan fosfolipid dan LPS
membentuk 80% dinding sel kuman S. typhi.
Lipopolisakarida yang terdiri dari lipid A, oligosakarida,
dan polisakarida yang merupakan bagian terpenting dan
utama yang menentukan sifat antigenik dan aktivitas
eksotoksin. Lipid A merupakan asam lemak jenuh yang
menentukan aktivitas endotoksin dari LPS yang selanjutnya
dapat mengakibatkan demam dan reaksi imunologis sang
pejamu.
Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
berfungsi sebagai sawar untuk mengendalikan aktivitas
masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma serta
berfungsi sebagai reseptor bakteriofag dan bakteriolisin.
Antigen OMP merupakan bagian dinding sel yang
terletak di luar membrane sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu bagian
protein porin dan protein no porin. Porin merupakan
komponen utama OMP, terdiri atas ompC, ompD dan ompF
dan merupakan saluran hidrofilik yang berfubngsi untuk
difusi solute dengan BM < 6.000. Sifat resisten terhadap
proteolysis dan denturasi pada suhu 85-1000C. Protein non
porin terdiri atas protein ompA, protein A dan lipoprotein,
bersifat sensitive terhadap protease, tetapi fungsinya masih
belum diketahui dengan jelas.

Gambar 4 Struktur dinding bakteri gram negative


3. Membrane sel
Membrane sel tersusun atas molekul lemak dan
protein, seperti halnya membran sel organisme yang lain.
Membrane sel bersifat semipermiable dan berfungsi
mengatur keluar masuknya zat keluar atau ke dalam sel.
Gambar 5 Membrane sel Salmonella thypi

4. Mesosom

Gambar 6 Mesosom Salmonella Thypi


Pada tempat tertentu terjadi penonjolan membran sel
kearah dalam atau ke sitoplasma. Tonjolan membrane ini
berguna untuk menyediakan energi atau pabrik energi
bakteri. Organ sel (organel) ini disebut mesosom. Selain itu
mesosom berfungsi juga sebagai pusat pembentukan
dinding sel baru diantara kedua sel anak pada proses
pembelahan.
5. Lembar fotosintetik
Khusus pada bakteri berfotosintesis, terdapat
pelipatan membrane sel kearah sitoplasma. Membrn yang
berlipat-lipat tersebut berisi klorofil,dikenal sebagai lembar
fotosintetik (tilakoid). Lembar fotosintetik berfungsi untuk
fotosintesis contohnya pada bakteri ungu. Bakteri lain yang
tidak berfotosintesis tidak memiliki lipatan demikian.
6. Sitoplasma
Sitoplasma adalah cairan yang berada di dalam sel
(cytos = sel, plasma= cairan). Sitoplasma tersusun atas
koloid yang mengandung berbagai molekul organik seperti
karbohidrat, lemak, protein, mineral, ribosom, DNA, dan
enzim-enzim. Sitoplasma merupakan tempat berlangsungya
reaksi-reaksi metabolisme.
7. DNA
Asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid,
disingkat DNA) atau asam inti, merupakan materi genetic
bakteri yang terdapat di dalam sitoplasma. Bentuk DNA
bakteri seperti kalung yang tidak berujung pangkal. Bentuk
demikian dikenal sebagai DNA sirkuler. DNA tersusun atas
dua utas polinukleotida berpilin. DNA merupakan zat
pengontrol sintesis protein bakteri, dan merupakan zat
pembawa sifat atau gen. DNA ini dikenal pula sebagai
kromosom bakteri. DNA bakteri tidak tersebar di dalam
sitoplasma, melainkan terdapat pada daerah tertentu yang
disebut daerah inti. Materi genetik inilah yang dikenal
sebagai inti bakteri.

Gambar 7 Materi Genetik Salmonella thypi


Gambar 8 Susunan Genetik DNA Salmonella thypi
8. Plasmid
Selain memiliki DNA kromosom, bakteri juga
memiliki DNA nonkromosom. DNA nokromosom
bentuknya juga sirkuler dan terletak di luar DNA
kromosom. DNA nonkromosom sirkuler ini dikenal sebagai
plasmid. Ukuran plasmid sekitar 1/1000 kali DNA
kromosom. Plasmid mengandung gen-gen tertentu misalnya
gen kebal antibiotik, gen patogen. Seperti halnya DNA yang
lain, plasmid mampu melakukan replikasi dan membentuk
kopi dirinya dalam jumlah banyak. Dalam sel bakteri dapat
terbentuk 10-20 plasmid.

Gambar 9 Plasmid bakteri Salmonella thypi


9. Ribosom
Ribosom merupakan organel yang berfungsi dalam
sintesis protein atau sebagai pabrik protein. Bentuknya
berupa butir-butir kecil dan tidak diselubungi membran.
Ribosom tersusun atas protein dan RNA. Di dalam sel
bakteri Escherichia coli terkandung 15.000 ribosom, atau
kira-kira ¼ masa sel bakteri tersebut. Ini menunjukkan
bahwa ribosom memiliki fungsi yang penting bagi bakteri.
Gambar 10 Ribosom Bakteri Salmonella Thypi
10. Endospora
Bakteri ada yang dapat membentuk endospora,
pembentukan endospora merupakan cara bakteri mengatasi
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Endospora
tahan terhadap panas sehingga tidak mati oleh proses
memasak biasa. Spora mati di atas suhu 120 C. jika kondisi
telah membaik, endospora dapat tumbuh menjadi bakteri
seperti sedia kala.
11. Reproduksi bakteri
Bakteri bereproduksi secara vegetatif dengan
membelah diri secara biner. Pada lingkungan yang baik
bakteri dapat membelah diri tiap 20 menit. Pembuahan
seksual tidak dijumpaipada bakteri, tetapi terjadi
pemindahan materi genetik dari satu bakteri ke bakteri lain
tanpa menghasilkan zigot. Peristiwa ini disebut proses
paraseksual. Ada tiga proses paraseksual yang telah
diketahui, yaitu transformasi, konjugasi, dan transduksi.

Gambar 11 Reproduksi Bakteri salmonella Thypi


Gambar 12 S. typhi secara skematik

Sifat Biokimia Salmonella sp


Salmonella sp. bersifat aerob dan anaerob falkultatif,
pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH
6-8. Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas
hasilnya positif , Pada media BAP (Blood Agar Plate)
menyebabkan hemolisis. Pada media MC (Mac Conkay)
tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa
Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi
glukosa, manitol dan maltosa disertai pembentukan asam
dan gas kecuali S. typhi yang tidak menghasilkan gas.
Kemudian pada media indol negatif, MR positif, Vp negatif
dan sitrat kemungkinan positif. Tidak menghidrolisiskan
urea dan menghasilkan H2S.
Struktur Antigen S. typhi
Struktur antigen S. typhi terdiri dari 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigenik somatik) merupakan bagian
terpenting dalam menentukan virulensi kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida disebut
endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Antigen ini bersifat hidofilik, tahan terhadap pemanasan
suhu 1000C selama 2-5 jam dan tahan alkohol 96 % dan
etanol 96% selama 4 jam pada suhu 370C tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid. Antibodi yang dibentuk adalah IgM
(Karsinah et al, 1994). Namun antigen O kurang
imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat. Maka
kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat
67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa
faktor. Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih
rendah dari pada antibodi H.
2. Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan
fimbria (pili) dari kuman. Flagel ini terdiri dari badan basal
yang melekat pada sitoplasma dinding sel kuman, struktur
kimia ini berupa protein yang tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol pada suhu 60
0
C, selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filamen
yang terdiri dari komponen protein polimerase yang disebut
flagelin dengan BM 51-57 kDa yang dipakai dalam
pemeriksaan asam nukleat kuman S. typhi. Antigen H pada
Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan
fase II : non spesifik. Antigen H sangat imunogenik dan
antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990).
3. Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul
(envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis. Struktur kimia proteinnya dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya karier dan akan rusak
jika diberi pemanasan selama 1 jam pada suhu 60 0C dan
pada pemberian asam serta fenol. Antigen Vi adalah
polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat
dibagian paling luar dari badan kuman bersifai termolabil.
Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada
hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan
terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat
berguna untuk diagnosis cepat kuman S. Adanya antigen Vi
menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan
pembawa kuman (carrier).
Gambar 13 Antigen bakteri S. typhi
Ketiga komponen antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam
antibodi yang lazim disebut agglutinin. Salmonella
diklasifikasikan berdasarkan Kauffman dan White
berdasarkan struktur antigen somatik nya dan antigen
flagellanya.
Tabel 1. Klasifikasi Salmonella menurut Kauffman-White
H antigens
Grup Salmonella SerotypeO Antigens
Phase 1 Phase
A S. Paratyphi A 1, 2, 12 A -
B S. Paratyphi B 1, 4, (5), 12 B 1,2
S. Stanley 1, 4, (5), 12, 27 D 1,2
S. Typhimurium 1, 4, (5), 12 I 1,2
C1 S. Paratyphi C 6, 7, (Vi) C 1,5
S. Choleraesuis 6, 7 C 1,5
C2 S. Manhattan 6, 8 D 1,5
D S. Sendai 1, 9, 12 A 1,5
E1 S. Typhi 9, 12, Vi d -
S. Dublin 1, 9, 12, (Vi) g. p -
S. Anatum 3, 10 e. h 1, 6

Sifat Kuman S. typhi


Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi dari family
Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri gram
negatif batang, tidak membentuk spora, motil, berkapsul
dan berflagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini
dapat hidup pada pH 6-8 pada suhu 15-410C (suhu optimal
37 0C ). Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan 54,4 0C
selama satu jam dan suhu 600C selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Terjadinya
penularan S. typhi pada manusia yaitu secara jalur fekal-
oral. Sebagian besar akibat kontaminasi makanan atau
minuman yang tercemar.
Dinding sel S. typhi dibentuk 20% nya oleh lapisan
lipoprotein. Sementara itu lapisan fosfolipid dan LPS
membentuk 80% dinding sel kuman S. typhi.
lipopolisakarida yang terdiri dari lipid A, oligosakarida, dan
polisakarida yang merupakan bagian terpenting dan utama
yang menentukan sifat antigenik dan aktivitas eksotoksin.
Lipid A merupakan asam lemak jenuh yang menentukan
aktivitas endotoksin dari LPS yang selanjutnya dapat
mengakibatkan demam dan reaksi imunologis sang pejamu.
Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
berfungsi sebagai sawar untuk mengendalikan aktivitas
masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma serta
berfungsi sebagai reseptor bakteriofag dan bakteriolisin.
Mekanisme Respon Imunitas terhadap Salmonella thypii
Respon imunitas yang terjadi akibat adanya invasi
bakteri Salmonella thypii sebagai antigen ketika masuk
kedalam tubuh akan dieliminasi oleh neutrophil dan
makrofag sebagai perannya dalam system imun innate.
Makrofag juga dapat berperan sebagai antigen presenting
cells (APC). Bakteri akan difagositosis dalam makrofag
kemudian dikenali oleh major histocompatibility complex II
(MHC II) selanjutnya akan dipresentasikan dalam bentuk
antigen peptida. MHC II kemudian akan berikatan dengan
limfosit T. Limfosit T mempunyai beberapa molekul
permukaan atau cluster of differentiation (CD). Antigen
peptida yang telah dipresentasikan oleh MHC II akan
berikatan dengan limfosit T helper (CD4) pada bagianT Cell
Receptor (TCR)12. Mekanisme utama dari respon imunitas
seluler bakteri Salmonella thypii adalah menginvasi secara
local dan mengakibatkan toksisitas di usus.
Pertahanan umum dari pejamu adalah dengan cara
opsonisasi oleh immunoglobulin Dan dibunuh oleh fagosit.
Makrofag merupakan sumber utama sitokin inflamasi yang
Bertanggungjawab terhadap shock septik. Infeksi gram
negatif seperti Salmonella thypii mampu menghasilkan
respon sitokin sistemik.
Gambar 14 mekanisme respon imunitas bakteri intraseluler
Sel dendritik dan fagosit yang diaktifkan oleh
mikroba mensekresi sitokin, yang menyebabkan infiltrasi
leukosit ke lokasi infeksi sehingga leukosit menelan dan
menghancurkan bakteri. Pada tahap awal infeksi
peptidoglikan sebagai salah satu komponen bakteri
Salmonella thypii menyebabkan keluarnya sitokin seperti
TNF-α, IL-6, dan IL-1 sebagai mediator utama syok
septik12,15.IFN-γ dan IL-12 juga dapat berkontribusi dalam
perkembangan infeksi.
Stimulasi makrofag oleh IFN-γ, TNF-α, Interleukin,
LPS dan peptidoglikan akan memacu transkripsi gen yang
menyebabkan peningkatan kadar NOS dan Nitric
OxydeSynthase (NOS). Jika NOS meningkat maka sekresi
NO juga meningkat. Respon imunitas nonspesifik untuk
bakteri intraseluler terutama terdiri dari fagositosis dan sel
NK. Bakteri intraseluler mengaktifkan sel-sel NK Dengan
merangsang produksi makrofag dari IL-12.
Sel NK menghasilkan IFN-γ yang Juga
mengaktifkan makrofag dan memicu fagositosis bakteri.
Respon imunitas nonspesifik ini dapat membatasi
pertumbuhan bakteri sampai dengan hari ketujuh, Untuk
mengatasi infeksi membutuhkan respon imunitas yang
Diperantarai respon imunitas spesifik setelah hari ketujuh.

Gambar 15 respon imunitas spesifik setelah terpapar antigen


Senyawa flavonoid yang terdapat dalam Sawo
manila (Achras zapota L) ini dapat meningkatkan aktivitas
IL-2 dan proliferasi limfosit, yang mempengaruhi sel CD4+
kemudian menyebabkan sel Th1 teraktivasi. Sel Th1 yang
teraktivasi akan mempengaruhi IFN-γ mengaktifkan
makrofag, sehingga mengalami peningkatan metabolik,
motilitas, dan aktivitas fagositosis secara cepat dan efisien
dalam membunuh mikroba pathogen.
Flavonoid sebagai antioksidan secara langsung
dengan mendonorkan ion hydrogen sehingga ion radikal
bebas berubah menjadi stabil. Keadaan ion yang telah stabil
menyebabkan menurunnya keadaan stress oksidatif di
dalam jaringan. Mekanisme penurunan stress oksidatif
dalam jaringan merupakan mekanisme anti inflamasi dari
senyawa flavonoid. Keadaan ini direspon oleh system imun
dengan menurunkan transduksi sinyal Toll Like Receptor
(TLR), sehingga dapat menurunkan stimulus sitokin
proinflamasi seperti TNF-α.
Tumor necrosis factor alpha (TNF-α)_ _merupakan
sitokin utama pada respon inflamasi akut terhadap bakteri
Gram-negatif dan mikroba lainnya. Infeksi yang berat dapat
memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang
menimbulkan reaksi sistemik. TNF disebut TNF-α atas
dasar historis dan untuk membedakannya dari TNF-β atau
limfotoksin sumberutama TNF-α _ialah fagosit
mononuklear dan sel T yang diaktifkan antigen, sel NK, dan
sel mast. Lipopolisakarida merupakan rang-sangan poten
terhadap makrofag untuk menyekresi TNF. IFN-γ _yang
diproduksi sel T dan sel NK juga merangsang makrofag
antara lain meningkatkan sintesis TNF.
TNF mempunyai beberapa fungsi dalam proses
inflamasi, yaitu dapat meningkatkan peran pro trombotik
dan merangsang molekul adhesi dari sel leukosit serta
menginduksi sel endotel, berperan dalam mengatur aktivitas
makrofag dan respon imun dalam jaringan dengan
merangsang faktor pertumbuhan dan sitokin lain, berfungsi
sebagai regulator dari hematopoetik serta komitogen untuk
sel T dan sel B serta aktivitas sel neutrofil dan makrofag.
TNF-α juga memiliki fungsi tambahan yang
menguntungkan termasuk peranannya dalam respon imun
terhadap bakteri, virus, jamur, dan invasi parasite.
Gambar 16 Reaksi Inflamasi akibat Infeksi salmonella
thypi
Hampir semua proses inflamasi mengakibatkan
aktivasi makrofag jaringan dan infiltrasi monosit darah.
Aktivasi ini menyebabkan banyak perubahan dalam sel, di
antaranya ialah produksi TNF, IL-1, dan IL-6, yaitu sitokin-
sitokin yang meyebab-kan efek multipel pada hospes. Efek-
efek ini meliputi: 1) induksi demam; 2) respon fase akut
hepatik yang disertai lekositosis dan produksi protein fase
akut seperti C-Reactive Protein (CRP);3) diferensiasi atau
aktivasi dari sel T, sel B dan makrofag.
Mengenal Sistem Imunitas Pada Infeksi Bakteri
Tubuh manusia dilengkapi dengan sederetan
mekanisme pertahanan yang bekerja untuk mencegah
masuk dan menyebarnya agen infeksi yang disebut sebagai
sistem imun.6 Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau
non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired).
Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan
molekul larut yang disekresi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel
utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel
B, sel T, dan sel NK), fagosit (neutrofil,eosinofil, monosit,
dan makrofag), sel asesori (basofil,sel mast, dan trombosit),
sel-sel jaringan, dan lain-lain. Bahan larut yang disekresi
dapat berupa antibodi, komplemen, mediator radang, dan
sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari
respon imun, sel-sel lain dalam jaringan juga dapat berperan
serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau berespons
terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit dan
makrofag.
Sistem imun berfungsi mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan
dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbentuk dari
gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam
melawan infeksi. Respons imun terbentuk dari koordinasi
dan komunikasi reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-
molekul dan bahan lainnya.
Imunitas (kekebalan) merupakan terminologi yang
digunakan untuk respons spesifik dari sistem imun.
Kekebalan terhadap infeksi, baik yang terbentuk mengikuti
paparan organisme penyebab maupun yang dapat
dirangsang secara buatan dengan imunisasi terutama untuk
resiko paparan. Pada gambar 2.1 dengan jelas menerangkan
pembagian sistem imun. Sistem imunitas terdiri atas sistem
imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native)
dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
Imunitas didefinisikan sebagai pertahanan terhadap
penyakit, terutama penyakit infeksi. Kumpulan sel-sel,
jaringan dan molekul-molekul yang berperan dalam
pertahanan infeksi disebut sistem imun, sedangkan reaksi
terkoordinasi sel-sel dan molekul tersebut dalam
pertahannan terhadap infeksi, disebut sebagai respon imun.
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun,
termasuk respon terhadap mikroba pathogen, dan kerusakan
jaringan serta peranannya pada penyakit.
Imunitas didefinisikan sebagai pertahanan terhadap
penyakit, terutama penyakit infeksi. Kumpulan sel-sel,
jaringan dan molekul-molekul yang berperan dalam
pertahanan infeksi disebut sistem imun, sedangkan reaksi
terkoordinasi sel-sel dan molekul tersebut dalam
pertahannan terhadap infeksi, disebut sebagai respon imun.
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun,
termasuk respon terhadap mikroba pathogen, dan kerusakan
jaringan serta peranannya pada penyakit.
Mekanisme pertahanan inang terdiri dari imunitas
alami, yang memberikan perlindungan segera terhadap
infeksi, dan imunitas adaptif yang berkembang lebih lambat
namun memberikan perlindungan yang lebih spesialistik
terhadap infeksi.

Gambar 1. Imunitas alami dan adaptif (Abbas, Lichtman, and Pillai


2014)
Mekanisme pertahanan inang terdiri dari imunitas
alami, yang memberikan perlindungan segera terhadap
infeksi, dan imunitas adaptif yang berkembang lebih lambat
namun memberikan perlindungan yang lebih spesialistik
terhadap infeksi. Sistem imun berfungsi dalam
mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan
patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus,
fungus dan parasit. Sistem ini merupakan gabungan sel,
molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi. Pertahanan imun terdiri atas sistem imun
alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan
didapat atau spesifik (adaptive/acquried).
Imunitas alami (juga disebut natural immunity dan
native immunity) selalu ada pada individu-individu sehat,
dan disiapkan untuk menghambat masuknya mikroba dan
untuk mengeliminasi mikroba yang berhasil memasuki
jaringan inang (host) secara cepat. Imunitas adaptif (disebut
juga imunitas spesifik atau imunitas dapatan) memerlukan
ekspansi dan diferensiasi limfosit sebagai respon terhadap
mikroba sebelum memberikan pertahanan yang efektif.
Imunitas ini beradaptasi terhadap adanya infasi mikroba.
Pertahanan lini pertama pada imunitas alami
dilakukan oleh barrier epitel kulit dan mukosa serta oleh sel
dan antibiotik alami yang berada di epitel, yang semuanya
berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila
mikroba menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau
sirkulasi, mereka diserang oleh fagosit, limfosit spesifik
yang disebut sel limfoid alami misalnya sel Natural Killer
(NK), dan beberapa protein plasma, termasuk protein dari
sistem komplemen.
Keseluruhan mekanisme imunitas alami ini secara
spesifik mengenali dan bereaksi terhadap mikroba. Selain
memberikan pertahanan awal terhadap infeksi, respon imun
alami meningkatkan respon imun adaptif terhadap agen-
agen infeksius.
Sistem imun adaptif terdiri atas limfosit dan produk-
produknya, misalnya antibodi. Respon imun adaptif
terutama penting terhadap pertahanan mikroba infeksius
yang bersifat patogenik terhadap manusia (yaitu dapat
menyebabkan penyakit) dan mampu melawan imunitas
alami. Sementara mekanisme imunitas alami mengenali
struktur-struktur yang sama-sama dimiliki oleh berbagai
kelas mikroba, sel-sel imunitas adaptif (limfosit),
mengekspresikan reseptor yang secara spesifik mengenali
berbagai molekul yang diproduksi oleh mikroba serta
molekul-molekul non infeksius.
Setiap bahan yang secara spesifik dapat dikenali
oleh limfosit dan antibody disebut antigen. Respon imun
adaptif seringkali menggunakan sel-sel serta molekul dari
sistem imun alami untuk mengeliminasi mikroba, dan
fungsi imunitas adaptif untuk memperkuat mekanisme
antimikroba imunitas alami.
Dua tipe reaksi utama terhadap sistem imun alami
adalah inflamasi dan pertahanan anti virus. Inflamasi terdiri
dari akumulasi dan aktivasi leukosit dan protein plasma
pada lokasi infeksi atau kerusakan jaringan. Sel-sel dan
protein tersebut bertindak bersama untuk membunuh
terutama mikroba ekstraseluler dan eliminasi jaringan yang
rusak. Pertahanan imun alami terhadap virus intraseluler
diperantarai oel sel Natural Killers (NK) yang membunuh
sel yang terinfeksi virus dan oleh sitokin yang disebut
interferon tipe 1 yang menghambat replikasi virus di dalam
sel inang (Abbas et al., 2014)
Sistem imun alami memberi respon yang sama
terhadap pertemuan kembali dengan sebuah mikroba,
sedangkan sistem imun adaptif berespons lebih efesien pada
tiap pertemuan kembali dengan suatu mikroba. Dengan kata
lain sistem imun alami tidak mengingat pertemuan pertama
dengan mikroba dan akan kembali ke dasar setelah setiap
pertemuan, sehingga memori merupakan gambaran utama
pada sistem imun adaptif.
Imunitas alami (juga disebut natural immunity dan
native immunity) selalu ada pada individu-individu sehat,
dan disiapkan untuk menghambat masuknya mikroba dan
untuk mengeliminasi mikroba yang berhasil memasuki
jaringan inang (host) secara cepat. Imunitas adaptif (disebut
juga imunitas spesifik atau imunitas dapatan) memerlukan
ekspansi dan diferensiasi limfosit sebagai respon terhadap
mikroba sebelum memberikan pertahanan yang efektif.
Imunitas ini beradaptasi terhadap adanya infasi mikroba.
Pertahanan lini pertama pada imunitas alami
dilakukan oleh barrier epitel kulit dan mukosa serta oleh sel
dan antibiotik alami yang berada di epitel, yang semuanya
berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila
mikroba menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau
sirkulasi, mereka diserang oleh fagosit, limfosit spesifik
yang disebut sel limfoid alami misalnya sel Natural Killer
(NK), dan beberapa protein plasma, termasuk protein dari
sistem komplemen.
Keseluruhan mekanisme imunitas alami ini secara
spesifik mengenali dan bereaksi terhadap mikroba. Selain
memberikan pertahanan awal terhadap infeksi, respon imun
alami meningkatkan respon imun adaptif terhadap agen-
agen infeksius.
Sistem imun adaptif terdiri atas limfosit dan produk-
produknya, misalnya antibodi. Respon imun adaptif
terutama penting terhadap pertahanan mikroba infeksius
yang bersifat patogenik terhadap manusia (yaitu dapat
menyebabkan penyakit) dan mampu melawan imunitas
alami. Sementara mekanisme imunitas alami mengenali
struktur-struktur yang sama-sama dimiliki oleh berbagai
kelas mikroba, sel-sel imunitas adaptif (limfosit),
mengekspresikan reseptor yang secara spesifik mengenali
berbagai molekul yang diproduksi oleh mikroba serta
molekul-molekul non infeksius.
Setiap bahan yang secara spesifik dapat dikenali
oleh limfosit dan antibody disebut antigen. Respon imun
adaptif seringkali menggunakan sel-sel serta molekul dari
sistem imun alami untuk mengeliminasi mikroba, dan
fungsi imunitas adaptif untuk memperkuat mekanisme
antimikroba imunitas alami.
Dua tipe reaksi utama terhadap sistem imun alami
adalah inflamasi dan pertahanan anti virus. Inflamasi terdiri
dari akumulasi dan aktivasi leukosit dan protein plasma
pada lokasi infeksi atau kerusakan jaringan. Sel-sel dan
protein tersebut bertindak bersama untuk membunuh
terutama mikroba ekstraseluler dan eliminasi jaringan yang
rusak. Pertahanan imun alami terhadap virus intraseluler
diperantarai oel sel Natural Killers (NK) yang membunuh
sel yang terinfeksi virus dan oleh sitokin yang disebut
interferon tipe 1 yang menghambat replikasi virus di dalam
sel inang.
Sistem imun alami memberi respon yang sama
terhadap pertemuan kembali dengan sebuah mikroba,
sedangkan sistem imun adaptif berespons lebih efesien pada
tiap pertemuan kembali dengan suatu mikroba. Dengan kata
lain sistem imun alami tidak mengingat pertemuan pertama
dengan mikroba dan akan kembali ke dasar setelah setiap
pertemuan, sehingga memori merupakan gambaran utama
pada sistem imun adaptif.
Ssitem imun adaptif menggunakan strategi berikut
untuk memerangi sebagian besar mikroba :
1. Antibodi yang disekresi akan mengikat mikroba
ekstraseluler, menghambat kemampuan mereka untuk
menginfeksi sel inang dan merangsang penelanan serta
penghancuran oleh fagosit.
2. Fagosit menelan mikroba dan membunuh mereka, dan sel T
helper memperkuat kemampuan mikrobisidal fagosit.
3. Sel T helper mengerahkan leukosit untuk menghancurkan
mikroba dan meningkatkan fungsi pertahanan epitel untuk
mencegah masuknya mikroba.
4. Limfosit T sitotoksik membunuh sel yang terinfeksi
mikroba.
Respon imun adaptif berkembang dalam tahapan-tahapan,
yang masing-masing sesuai dengan reaksi tertentu limfosit.
Imunitas Humoral dan Imunitas Seluler
Dua jenis imunitas adaptif yaitu imunitas humoral
dan imunitas seluler, diperantarai oleh sel-sel dan molekul
yang berbeda dan masing-masing dirancang untuk
memberikan pertahanan terhadap mikroba ekstra dan intra
seluler.
1. Imunitas Humoral
Imunitas humoral diperantarai oleh protein yang
dinamakan antibodi, yang diproduksi oleh sel-sel yang
disebut limfosit B. Antibodi masuk ke dalam sirkulasi dan
cairan mukosa, lalu menetralisir dan mengeliminasi
mikroba serta toksin mikroba yang berada diluar sel-sel
inang, dalam darah, cairan ekstraseluler yang berasal dari
plasma dan di dalam lumen dari organ-organ mukosa,
seperti traktus gastrointestinalis dan traktus respiratorius.
Salah satu fungsi terpenting antibody adalah
menghentikan mikroba yang berada pada permukaan
mukosa dan dalam darah agar tidak mendapatkan akses
menuju sel-sel inang dan tidak membentuk koloni di dalam
sel serta jaringan ikat inang. Melalui cara ini, antibody
mencegah infeksi berkembang. Antibodi tidak dapat
mencapai mikroba yang hidup dan membelah di dalam sel
yang terinfeksi.
Salah satu fungsi terpenting antibody adalah
menghentikan mikroba yang berada pada permukaan
mukosa dan dalam darah agar tidak mendapatkan akses
menuju sel-sel inang dan tidak membentuk koloni di dalam
sel serta jaringan ikat inang. Melalui cara ini, antibody
mencegah infeksi berkembang. Antibodi tidak dapat
mencapai mikroba yang hidup dan membelah di dalam sel
yang terinfeksi.
Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi serum,
yang merupakan protein yang disekresi oleh sel B. Sel B
yang diaktifkan, akan mensekresi antibodi, setelah
pengikatan antigen ke membran molekul imunoglobulin
(Ig), yaitu reseptor sel B (BCR), yang diekspresikan oleh sel
B tersebut. Sudah diperkirakan bahwa setiap sel B
mengekspresikan sampai 105 BCR dari spesifisitas yang
sama.
Sekali diikat, sel B menerima signal untuk memulai
mensekresi bentuk imunoglobulin ini, yang merupakan
suatu proses yang menginisiasi respon antibodi yang
optimal dengan maksud untuk mengeliminasi antigen dari
hospes. Antibodi adalah suatu campuran heterogenus dari
globulin serum, yang saling bekerja sama untuk
menunjukkan kemampuan mengikat antigen spesifik.
Semua globulin serum dengan aktivitas antibodi dinamakan
immunoglobulin.
Semua molekul immunoglobulin mempunyai
struktur umum yang memungkinkan untuk melakukan dua
hal : (1) mengenal dan mengikat secara spesifik struktur
unik yang ada pada antigen, yang disebut epitop, dan (2)
menampilkan fungsi biologik setelah berkombinasi dengan
antigen. (Uraian tentang struktur imunoglobulin lebih lanjut,
diberikan oleh pengampu mata kuliah imunologi yang lain).
Ikatan antara antigen dengan antibodi tidak kovalen,
tetapi tergantung pada bermacam-macam ikatan dengan
kekuatan yang lemah, seperti ikatan hidrogen, van der
Waals, ikatan hidrofobik. Karena sifat ikatan yang lemah
ini, kesuksesan ikatan antara antigen dan antibodi
tergantung pada area yang sangat dekat dan sesuai, yang
dapat dibayangkan seperti kontak antara kunci dan gembok
(a lock and a key). Elemen lain yang penting dalam respon
imun humoral adalah system komplemen.
Reaksi antara antigen dan antibodi mengaktifkan
sistem komplemen ini, yang terdiri dari satu seri enzim
serum, dan akhir dari reaksi aktivasi komplemen adalah lisis
sel target atau meningkatkan proses fagositosis oleh sel
fagosit. Aktivasi komplemen (lihat BAB I) juga
menghasilkan rekrutmen sel PMN (phagocytic
polymorphonuclear), yang merupakan bagian sistem imun
perolehan. Aktivitas ini memaksimalkan efektivitas respon
imun humoral terhadap agen yang menyerbu.
Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein
fase akut, mediator asal fosfolipid, sitokin IL-1, IL-6, TNF-
α. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila
diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan
berperan dalam respons inflamasi. Komplemen berperan
sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis
bakteri dan parasite.
Protein fase akut terdiri dari CRP, lektin, dan protein
fase akut lain α1-antitripsin, amyloid serum A, haptoglobin,
C9, faktor B dan fibrinogen. Mediator asal fosfolipid
diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien.
Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui
peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai
molekul larut. Faktor larut lainnya diproduksi ditempat yang
lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui
sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, mediator
asal fosfolipid dan sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α.
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral
adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang dirangsang oleh
benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap
infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralkan
toksinnya.
Imunitas humoral diperantarai oleh protein yang
dinamakan antibodi, yang diproduksi oleh sel-sel yang
disebut limfosit B. Antibodi masuk ke dalam sirkulasi dan
cairan mukosa, lalu menetralisir dan mengeliminasi
mikroba serta toksin mikroba yang berada diluar sel-sel
inang, dalam darah, cairan ekstraseluler yang berasal dari
plasma dan di dalam lumen dari organ-organ mukosa,
seperti traktus gastrointestinalis dan traktus respiratorius.

Gambar 2. Imunitas humoral dan seluler (Abbas et al. 2014)


Salah satu fungsi terpenting antibody adalah
menghentikan mikroba yang berada pada permukaan
mukosa dan dalam darah agar tidak mendapatkan akses
menuju sel-sel inang dan tidak membentuk koloni di dalam
sel serta jaringan ikat inang. Melalui cara ini, antibody
mencegah infeksi berkembang. Antibodi tidak dapat
mencapai mikroba yang hidup dan membelah di dalam sel
yang terinfeksi.
2. Imunitas Seluler

Pertahanan terhadap mikroba intraseluler tersebut


dinamakan imunitas seluler karena prosesnya diperantarai
oleh sel-sel yang disebut sel limfosit T. Beberapa limfosit T
mengaktivasi fagosit untuk menghancurkan mikroba yang
telah dimakan oleh sel fagosit ke dalam fagosit intraseluler.
Limfosit T lainnya membunuh berbagai jenis sel inang yang
terinfeksi mikroba infeksius di dalam sitoplasmanya. Dalam
kedua kasus tersebut, sel T mengenali antigen yang
ditampilkan pada permukaan sel, yang menunjukkan adanya
mikroba di dalam sel tersebut.
Imunitas seluler, terutama diperantarai oleh sel T.
Tidak seperti sel B, yang memproduksi antibodi larut yang
disirkulasi untuk mengikat antigen spesifik, setiap sel T,
mengekspresikan beberapa reseptor antigen yang identik,
yang dinamakan T cell receptors (TCR), bersirkulasi
langsung di sisi aktif antigen dan membentuk fungsinya,
apabila berinteraksi dengan antigen.
Ada bermacam-macam subpopulasi sel T, yang
setiap subpopulasi mempunyai spesifisitas yang sama untuk
suatu determinan antigenik (epitop), meskipun fungsinya
berbeda. Hal ini analog dengan klas imunoglobulin yang
berbeda, yang mempunyai spesifisitas yang identik tetapi
fungsi biologiknya berbeda. Fungsi yang ada berasal dari
bermacam-macam subset sel T, yaitu :
1. Bekerja sama dengan sel B, meningkatkan produksi
antibodi. Sel T yang demikian disebut sel T helper (TH) dan
fungsi yang disebabkan oleh sitokin yang dilepas
menyediakan bermacam-macam signal aktivasi untuk sel B.
2. Efek inflamatori. Ketika aktivasi, subpopulasi sel T tertentu
melepas sitokin, yang menginduksi migrasi dan aktivasi
monosit dan makrofag, yang menyebabkan reaksi
inflamatori delayed-type hypersensitivity, dan subset sel T
tersebut adalah sel TDTH.
3. Efek sitotoksik. Sel T pada subset ini menjadi sel kiler
sitotoksik yang jika kontak dengan sel target akan
menyebabkan kematian sel target. Sel ini disebut sel T
cytotoxic (Tc).
4. Efek regulator. Sel T helper dapat dibagi kedalam subset
yang fungsinya berbeda yang ditetapkan dengan sitokin
yang niereka lepas, yaitu TH! Dan Tn2. Keduanya dapat
saling meregulasi dengan efek negatif.
5. Signal via sitokin. Sel T dan sel lainnya yang terlibat dalam
system imun (misal makrofag) mempengaruhi efek pada
bermacam-macam sel limfoid dan non limfoid, melalui
sitokin yang berbeda yang mereka lepas. Jadi, secara
langsung atau tidak langsung sel T berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan berbagai tipe sel.
Selama bertahun-tahun, para peneliti dibidang
imunologi telah mengetahui bahwa sel diaktifkan antigen,
menunjukkan bermacam-macam fenomena efektor. Hanya
pada abad terakhir ini mereka memperhatikan adanya
kompleksitas kejadian yang ada dengan adanya aktivasi
oleh antigen dan komunikasi dengan sel yang lain.
Sekarang sudah diketahui bahwa hanya kontak
antara reseptor sel T dengan antigen saja tidak cukup untuk
mengaktifkan sel tersebut. Dalam kenyataannya, paling
tidak dua signal harus dikirim ke antigen spesifik sel T
untuk terjadinya aktivasi: Signal 1 melibatkan pengikatan
TCR ke antigen, yang harus dipresentasikan oleh sel APC
yang sesuai. Signal 2 melibatkan molekul kostimulatori
yang diekspresikan pada sel T dan sel APC. Jika mekanisme
ini telah tercapai, maka akan terjadi serangkaian kejadian
yang kompleks dan sel yang diaktifkan mensintesis dan
melepas sitokin. Sebaliknya, sitokin-sitokin ini kontak
dengan reseptor yang sesuai pada sel yang berbeda dan
menunjukkan efeknya pada sel-sel tersebut.
Terdapat beberapa perbedaan penting antara sel B
dan sel T. Sebagian besar sel T hanya mengenali antigen
protein saja, sedangkan sel B dan antibody mampu
mengenali berbagai jenis molekul, yaitu protein,
karbohidrat, asam nukleat dan lemak.
Imunitas pada seseorang dapat diinduksi oleh infeksi
atau vaksinasi (imunitas aktif) atau diberikan pada
seseorang melalui transfer antibody atau limfosit dari
seseorang yang terimunisasi aktif (imunitas pasif).
Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan
dalam sistem imun non spesifik seluler. Sel-sel imun
tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau
jaringan.Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi
adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B, sel
NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam
jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel
plasma, dan sel NK.
Fagositosis adalah garis pertahanan kedua tubuh
terhadap agen infeksius. Pertahanan ini terdiri dari proses
penelanan dan pencernaan mikroorganisme serta toksin
setelah berhasil menembus tubuh. Limfosit T atau sel T
berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas
beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel
CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel
Tr atau Th3.
Fungsi utama sistem imun spesifik seluler ialah
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus,
jamur, parasit, dan keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel
Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel
terinfeksi. Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-γ.7 Th2
memproduksi IL-4 dan IL-5.7 Treg yang dibentuk dari
timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF-β dan
IL-10 yang diduga merupakan petanda supresif.2 IL-10
menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedang TGF-β
menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.
Pertahanan terhadap mikroba intraseluler tersebut
dinamakan imunitas seluler karena prosesnya diperantarai
oleh sel-sel yang disebut sel limfosit T. Beberapa limfosit T
mengaktivasi fagosit untuk menghancurkan mikroba yang
telah dimakan oleh sel fagosit ke dalam fagosit intraseluler.
Limfosit T lainnya membunuh berbagai jenis sel inang yang
terinfeksi mikroba infeksius di dalam sitoplasmanya. Dalam
kedua kasus tersebut, sel T mengenali antigen yang
ditampilkan pada permukaan sel, yang menunjukkan adanya
mikroba di dalam sel tersebut.
Terdapat beberapa perbedaan penting antara sel B
dan sel T. Sebagian besar sel T hanya mengenali antigen
protein saja, sedangkan sel B dan antibody mampu
mengenali berbagai jenis molekul, yaitu protein,
karbohidrat, asam nukleat dan lemak.
Imunitas pada seseorang dapat diinduksi oleh infeksi
atau vaksinasi (imunitas aktif) atau diberikan pada
seseorang melalui transfer antibody atau limfosit dari
seseorang yang terimunisasi aktif (imunitas pasif).
Stimulasi Respon Imunitas Alami Melawan Mikroba
Jika mikroba hinggap dikulit maka ia akan terlempar
oleh aliran udara dan keringat dipermukaan kulit, atau
dibunuh oleh peptide antimikroba (misal β defensin) yang
ada pada kulit. Jika mikroba ingin masuk melalui saluran
napas maka mikroba akan dihalangi oleh bulu hidung.
Kalau berhasil masuk lebih dalam, akan bertemu musin
yang akan membungkusnya, kemudian dikirim keluar
melalui “escalator” silia epitel saluran napas, atau bertemu
dengan antibakteri β-defensin dan cathelcidins yang akan
membunuhnya. Kalau berhasil masuk lebih dalam lagi
sampai alveolus, sudah menunggu makrofag alveolar yang
akan menelannya. Demikian adalah contoh simulasi
“pergulatan” mikroba sebagai penyerang dengan sistem
pertahanan imunitas alami manusia.
Kerusakan fisik epitel (misalnya luka) akan
mempermudah mikroba masuk melewatinya, sesampainya
di jaringan di bawah epitel (subepitelial) telah ditunggu oleh
sel dendritic dermal, makrofag dan sel mast yang berjaga.
Mikroba dikenal kedatangannya karena memiliki penanda
PAMPs yang segera akan berikatan dengan reseptor
(misalnya TLR) dari ketiga jenis penjaga subepitelial. Pada
saat reseptor-reseptor itu menangkap ligannya (PAMPs)
maka muncullah sinyal aktivasi yang akan mengaktifkan
ketiga sel imunitas innate ini. Ketiga jenis sel tersebut
kemudian melepas sejumlah sitokin proinflamasi seperti IL-
1 (oleh sel dendritic dan makrofag), TNFα (oleh sel
dendritic dan makrofag) dan histamine (oleh sel mast),
untuk memicu respon inflamasi di jaringan subepitelial
yang didatangi mikroba itu.
Sitokin TNFα dan IL-1 yang dilepas oleh makrofag
bersama dengan histamine dan TNFα dari sel mast menuju
ke endotel pembuluh darah unutk memicu peran endotel
menghentikan neutrophil yang lewat. Endotel berespon
dengan mengeluarkan molekul adhesi ke permukaannya
(selektin dan ligan integrin) untuk menahan neutrophil.
Selanjutnya neutrophil difasilitasi oleh endotel melalui
peningkatan permeabilitas kapiler untuk keluar dari aliran
darah menuju ke jaringan yang ada mikroba.
Mikroba yang lolos masuk ke jaringan dan
ditangkap oleh fagosit (makrofag, neutrophil, dan sel
dendritic) akan difagositosis sehingga mikroba berada
dalam vakuol yang disebut fagosom (endosom). Fagosom
ini segera menyatu dengan lisosom yang didalamnya ada
enzim lisozim membentuk fagolisosom, maka bertemulah
mikroba dengan enzim pencerna protein ini sehingga
mikroba dicerna dan hancur. Memang ada mikroba yang
tidak mempan oleh lisozim, karena dinding selnya terdiri
atas lemak (misal mikobakterium), tetapi fagosit masih
punya senjata penghancur lain berupa radikal bebas yaitu
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitrite Oxyde (NO).
Sel dendritic yang menangkap mikroba dan
menghancurkannya dalam fagolisosom, terutama bertugas
memperkenalkan sejumlah antigen yang ada pada mikroba
yang sudah dihancurkan itu, ke sel T naif yang menunggu
(menjaga) dilimfonodus. Untuk itu sel dendritic memajang
antigen-antigen itu di permukaannya, menggunakan
molekul major histocompatibility complex (MHC) dan
dibawa ke limfonodus terdekat lewat aliran limfe untuk
dipresentasikan kepada sel T naif (peran sebagai Antigen
Presenting Cell, APC). Proses ini akan memulai respon
imunitas adaptif (Cell Mediated Immunity, CMI).
Sebagian dari kuman atau bahan kuman sudah
hancur akan hanyut terbawa aliran limfe menuju
limfonodus. Disana sudah menunggu sel B naif dan sel
dendritic folikular yang akan menangkapnya.
Imunitas alami atau imunitas innate adalah garis pertahanan
pertama yang dipersiapkan untuk melindungi manusia dari
serangan patogen dan membersihkan jaringan tubuh dari
sel-sel mati dan produknya. Imunitas ini merupakan tahap
awal yang penting dalam pertahanan inang terhadap infeksi.
Imunitas alami menghambat invasi mikroba melalui
pertahanan epitel, menghancurkan berbagai mikroba yang
masuk ke dalam tubuh serta mengontrol bahkan eradikasi
infeksi.
Fungsi imunitas innate :
1. Respon awal terhadap mikroba untuk mencegah,
mengontrol dan menghilangkan infeksi pada manusia.
Keberhasilan atau kegagalan imunitas innate sangat
diperngaruhi oleh tingkat virulensi pathogen. Kegagalan
terutama disebabkan oleh adanya kemampuan pathogen
untuk menghindar dari respon imun, makanya diperlukan
respon imun yang lebih kuat untuk mengatasi keadaan ini
yaitu imunitas adaptif.
2. Memicu timbulnya imunitas adaptif terhadap pathogen dan
mempengaruhi penampilan imunitas adaptif agar lebih
optimal mengeliminasi pathogen sesuai tipe pathogen
(intraseluler atau ekstraseluler). Tidak ada imunitas adaptif
tanpa imunitas innate. Perangkat imunitas innate tetap
dipakai selama imunitas adaptif berlangsung, tergantung
pada kebutuhan sesuai tipe pathogen yang dilawan.
3. Imunitas innate bukan hanya merespon pathogen tetapi juga
mengeliminasi sel-sel mati dan produknya, berperan sebagai
cleaning service sehingga proses penyembuhan (repair)
jaringan dapat berlangsung. Berbagai keadaan yang
mengakibatkan kematian sel (mis. Hipoksia, trauma) tanpa
kehadiran mikroba dapat memicu munculnya respon
imunitas innate yang menyebabkan inflamasi steril.
Pengenalan Mikroba oleh Imunitas Alami
Kemamapuan pathogen memasuki tubuh manusia
(untuk mencari kehidupan) dan kemampuan tubuh manusia
untuk mendeteksi kedatangannya (sebagai musuh manusia)
adalah bentuk keadlilan Tuhan terhadap semua makhluknya
(manusia dan pathogen sama-sama makhluk Tuhan). Pada
pathogen telah ada penanda dalam bentuk molekul yang
akan dikenal oleh pertahanan manusia (sistem imunitas
innate) sehingga kedatangan musuh ini dapat diantisipasi
manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Karakteristik molekul
penanda pada pathogen yaitu :
1. Pathogen-Associated Moleculer Patterns (PAMPs)
Penanda ini hanya ada pada mikroba yang
membahayakan manusia, tidak ada pada sel manusia
(mamalia). PAMPs ini berbeda-beda tergantung jenis
pathogen (virus, bakteri gram negative, bakteri gram positif,
dan jamur), tetapi satu jenis PAMPs dapat ditemukan pada
jenis pathogen yang berbeda. Penanda ini hanya ada pada
mikroba pathogen sehingga menjadi pembeda yang
membuat imunitas alami hanya berespon terhadap mikroba
pathogen dan tidak terhadap sel sendiri.
Penanda-penanda itu adalah molekul-molekul yang
sangat vital untuk kehidupan pathogen bersangkutan
sehingga sepanjang zaman tidak bisa berubah (mutasi)
misalnya double-stranted RNA pada virus, LPS
(lipopolisakarida) pada bakteri gram negative, lipoteicholic
acid pada bakteri gram positif. Kecepatan evolusi pada
mikroba lebih cepat dari manusia sehingga mutasi lebih
gampang terjadi pada mikroba. Akan tetapi telah diciptakan
PAMPs yang tidak dapat bermutasi sejak imunitas innate
berkembang, PAMPs tidak berubah sampai sekarang.

2. Damaged-Associated Moleculer Patterns (DAMPs)


Imunitas innate dapat mengenal molekul
endogenous yang diproduksi atau dilepas oleh sel yang
rusak atau mati. Kematian atau kerusakan sel dapat terjadi
akibat infeksi atau sebab lain seperi racun kimia, trauma,
terbakar, taua iskemia/hipoksia (steril injury).
Ada dua perangkat pada imunitas innate untuk mengenal
PAMPs atau DAMPs yaitu:
1. Pattern Recognition Receptors (PRRs)
Bermacam-macam tipe reseptor seluler yang dapat
mengikat PAMPs dan DAMPs berada pada berbagai sel
yang berperan dalam imunitas innate seperti fagosit
(makrofag, neutrophil, dan sel dendritic) dan sel epitel yang
membatasi tubuh dengan dunia luar.
Patogen yang berbeda dapat memiliki PAMPs yang
sama sehingga spesifisitas imuniats innate tidak spesifik
terhadap antigen pathogen tertentu seperti imunitas adaptif,
tetapi spesifik PAMPs. Oleh karena itu mikroba yang
berbeda tetapi memilik PAMPs yang sama dapat dikenal
oleh reseptor yang sama (Tabel 2)
Tabel 1. Cell-associated PRRs pada imunitas innate

PRRs Lokasi Contoh PAMP / DAMP


ligands
Toll-like receptors Membran plasma TLR 1-9 LPS, peptidoglikan,
(TLRs) dan membrane produk sel rusak
endosomal sel
dendritic, fagosit,
sel B, sel endotel,
dll

NOD-like receptors Sitoplasma NOD1/2 Flagelin, LPS, Kristal


(NLRs) fagosit, sel epitel NLRP family urat, produk sel rusak
dan sel lain (inflammasome)

RIG-like receptors Sitoplasma RIG-1, MDA-5 RNA virus


(RLRs) fagosit dan sel
lain

C-type lectin like Membrane Reseptor mannose Karbohidrat pada


receptors plasma fagosit Dektin permukaan mikroba
dengan terminal
mannose dan fructose,
Glukan pada dinding sel
jamur

Scavenger receptor Membran plasma CD36 Microbial


fagosit diacylglycerides

N-formyl met-leu-phe Membran plasma FPR dan FPRL 1 Peptida mengandung


receptors fagosit residu N-
formylmethionyl

NOD, nucleotide oligemerization domain-containing protein; RIG-1, retinoic acid-inducible gene


1; MDA-5, melanoma differentiation-associated gene 5
Gambar 3. Lokasi seluler dari PRRs pada imunitas innate (Abbas
AK, Lichtman AH 2014)
2. Soluble Recognition Molecules (SRMs)
Berbagai protein dalam darah dan cairan
ekstraseluler yang dapat mengenal PAMPs. Protein-protein
ini berperan memfasilitasi pembersihan mikroba dari darah
atau cairan ekstraseluler dengan cara meningkatkan
penangkapan mikroba oleh sel-sel imunitas innate dan
mengaktifkan pembunuhan kuman ekstraseluler.


Tabel 2. SRMs pada Imunitas Innate
SRMs Lokasi Contoh PAMP ligands
Pentraxins Plasma C-reactive Microbial phosphorylcholine dan
protein phosphotidylethanolamine

Collectins Plasma Mannose- Karbohidrat pada permukaan mikroba


binding lectin dengan terminal mannose dan fructose.
Berbagai struktur mikroba

Alveoli Surfactant
proteins (SP-
A dan SP-B)

Ficolins Plasma Ficolin N-Acetylglucosamine dan lipoteichoic acid


yang ada pada dinding sel bakteri gram
positif

Complement Plasma C3 Permukaan mikroba misalnya LPS

Natural Plasma IgM Phosphorylcholine pada membrane bakteri


antibodies dan membrane sel apoptotik

Pentraksin
Pentraksin (protein pentamerik) terdiri atas sejumlah
protein plasma yang juga mampu mengenal stuktur tertentu
pada mikroba dan berpartisipasi dalam imunitas innate.
Yang termasuk dalam golongan pentarksin adalah C-
reactive protein (CRP), Serum amyloid P (SAP) dan PTX3.
CRP sangat meningkat jumlahnya dalam darah pada
inflamasi akut sehingga disebut acute-phase reactant. CRP
diproduksi oleh hati atas stimulasi sitokin IL-1 dan IL-6
yang disintesis oleh fagosit aktif dalam respon imunitas
innate. CRP mengenal molekul ligan pada membrane
mikroba, jamur dan sel apoptotic.
Stimulasi Respon Imunitas Alami Melawan Mikroba
Jika mikroba hinggap dikulit maka ia akan terlempar
oleh aliran udara dan keringat dipermukaan kulit, atau
dibunuh oleh peptide antimikroba (misal β defensin) yang
ada pada kulit. Jika mikroba ingin masuk melalui saluran
napas maka mikroba akan dihalangi oleh bulu hidung.
Kalau berhasil masuk lebih dalam, akan bertemu musin
yang akan membungkusnya, kemudian dikirim keluar
melalui “escalator” silia epitel saluran napas, atau bertemu
dengan antibakteri β-defensin dan cathelcidins yang akan
membunuhnya. Kalau berhasil masuk lebih dalam lagi
sampai alveolus, sudah menunggu makrofag alveolar yang
akan menelannya. Demikian adalah contoh simulasi
“pergulatan” mikroba sebagai penyerang dengan sistem
pertahanan imunitas alami manusia.
Kerusakan fisik epitel (misalnya luka) akan
mempermudah mikroba masuk melewatinya, sesampainya
di jaringan di bawah epitel (subepitelial) telah ditunggu oleh
sel dendritic dermal, makrofag dan sel mast yang berjaga.
Mikroba dikenal kedatangannya karena memiliki penanda
PAMPs yang segera akan berikatan dengan reseptor
(misalnya TLR) dari ketiga jenis penjaga subepitelial. Pada
saat reseptor-reseptor itu menangkap ligannya (PAMPs)
maka muncullah sinyal aktivasi yang akan mengaktifkan
ketiga sel imunitas innate ini. Ketiga jenis sel tersebut
kemudian melepas sejumlah sitokin proinflamasi seperti IL-
1 (oleh sel dendritic dan makrofag), TNFα (oleh sel
dendritic dan makrofag) dan histamine (oleh sel mast),
untuk memicu respon inflamasi di jaringan subepitelial
yang didatangi mikroba itu.
Sitokin TNFα dan IL-1 yang dilepas oleh makrofag
bersama dengan histamine dan TNFα dari sel mast menuju
ke endotel pembuluh darah unutk memicu peran endotel
menghentikan neutrophil yang lewat. Endotel berespon
dengan mengeluarkan molekul adhesi ke permukaannya
(selektin dan ligan integrin) untuk menahan neutrophil.
Selanjutnya neutrophil difasilitasi oleh endotel melalui
peningkatan permeabilitas kapiler untuk keluar dari aliran
darah menuju ke jaringan yang ada mikroba.
Mikroba yang lolos masuk ke jaringan dan
ditangkap oleh fagosit (makrofag, neutrophil, dan sel
dendritic) akan difagositosis sehingga mikroba berada
dalam vakuol yang disebut fagosom (endosom). Fagosom
ini segera menyatu dengan lisosom yang didalamnya ada
enzim lisozim membentuk fagolisosom, maka bertemulah
mikroba dengan enzim pencerna protein ini sehingga
mikroba dicerna dan hancur. Memang ada mikroba yang
tidak mempan oleh lisozim, karena dinding selnya terdiri
atas lemak (misal mikobakterium), tetapi fagosit masih
punya senjata penghancur lain berupa radikal bebas yaitu
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitrite Oxyde (NO).
Sel dendritic yang menangkap mikroba dan
menghancurkannya dalam fagolisosom, terutama bertugas
memperkenalkan sejumlah antigen yang ada pada mikroba
yang sudah dihancurkan itu, ke sel T naif yang menunggu
(menjaga) dilimfonodus. Untuk itu sel dendritic memajang
antigen-antigen itu di permukaannya, menggunakan
molekul major histocompatibility complex (MHC) dan
dibawa ke limfonodus terdekat lewat aliran limfe untuk
dipresentasikan kepada sel T naif (peran sebagai Antigen
Presenting Cell, APC). Proses ini akan memulai respon
imunitas adaptif (Cell Mediated Immunity, CMI).
Sebagian dari kuman atau bahan kuman sudah
hancur akan hanyut terbawa aliran limfe menuju
limfonodus. Disana sudah menunggu sel B naif dan sel
dendritic folikular yang akan menangkapnya. Jika sel B naif
sudah mengenal kehadiran antigen maka mulailah respon
imunitas adaptif (imunitas humoral)
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, and P. J. (2014). Imunologi Dasar


Abbas Fungsi dan Kelainan Sistem Imun. In Elsevier
publishing book (Vol. IV, pp. 4–20).

Ali, M. S., Starke, R. M., Jabbour, P. M., Tjoumakaris, S. I.,


Gonzalez, L. F., Rosenwasser, R. H., … Dumont, A. S.
(2013). TNF- a induces phenotypic modulation in cerebral
vascular smooth muscle cells : implications for cerebral
aneurysm pathology. Journal of Cerebral Blood Flow &
Metabolism, 33(10), 1564–1573.
https://doi.org/10.1038/jcbfm.2013.109.

Alia, M., Iriani, Y., & Anwar, Z. (2014). Kadar Tumor Necrosis
Factor Alpha ( TNF- α ) Sebagai Prediktor Demam
Berdarah Dengue Pada Hari Ketiga. Jurnal E-Biomedik
(eBm), 46(3), 176–180.

Anders, Schaefer, H.-J., & Liliana. (2014). Beyond Tissue


Injury—Damage-Associated Molecular Patterns, Toll-Like
Receptors, and Inflammasomes Also Drive Regeneration
and Fibrosis. Journal of the American Society of
Nephrology, 25(7), 1387–1400.
https://doi.org/10.1681/asn.2014010117.

Angus, D. C., Yang, L., Kong, L., Kellum, J. A., Delude, R. L.,
Tracey, K. J., … Investigators, G. (2017). Circulating high-
mobility group box 1 (HMGB1) concentrations are elevated
in both uncomplicated pneumonia and pneumonia with
severe sepsis*. Lippincott Williams & Wilkins Journal,
35(4), 1061–1067.
https://doi.org/10.1097/01.CCM.0000259534.68873.2A.
Ayu, D., & Dharmayanti, N. (2015). Peran Sistem Kekebalan
Non-spesifik dan Spesifik pada Unggas terhadap Newcastle
Disease. Jurnal Wartazoa, 25(3), 135–146.

Baltazar, M., Ngandjio, A., Holt, K. E., Lepillet, E., Pardos, M.,
Gandara, D., Dougan, G. (2015). Multidrug-Resistant
Salmonella enterica Serotype Typhi, Gulf of Guinea
Region, Africa. Emerging Infectious Diseases, 21(4), 655–
659. https://doi.org/10.3201/eid2104.141355.

Bhutia, W., Pal, R. K., Sen, S., & Jha, S. K. (2011). Response of
different maturity stages of sapota ( Manilkara achras Mill .)
cv . Kallipatti to in-package ethylene absorbent. Journal
Food Technology, 48(8), 763–768.
https://doi.org/10.1007/s13197-011-0360-x.

Budayanti, N. S., Mertaniasih, N. M., Ratam, F. A., Wande, I.


N., Ayu, I. G., Ratnayanti, D. (2016). The Influences Of
Time In The Histopathology Of Lung Granuloma In Mice
After Infection Of Mycobacterium Tuberculosis And Silica
Intervension. Journal of Veteriner, 14(1), 53–60.

Carthy, N. M. C., Reen, F. J., Buckley, J. F., Frye, J. G., Boyd,


E. F., & Gilroy, D. (2014). Sensitive and Rapid Molecular
Detection Assays for Salmonella enterica Serovars
Typhimurium and Heidelberg. Journal of Food Protection,
72(11), 2350–2357.

Chaochaoa, Q., & Chena, G. L. Y. Y. P. C. J. H. Z. (2017).


Macrophage Inflammatory Protein-2 in High Mobility
Group Box 1 Secretion of Macrophage Cells Exposed to
Lipopolysaccharide. Cellular Physiology Cell Physiol
Biochem Journal, 3(7), 913–928.
https://doi.org/10.1159/000478646.
Choudhary, R. K., & Kumar, R. (2017). Assessment of clinical
profile in enteric fever. International Journal of Medical
and Health Research, 3(7), 72–74. Retrieved from
www.medicalsciencejournal.com

Crump, J. A., Gordon, M. A., & Parry, C. M. (2015).


Epidemiology, Clinical Presentation, Laboratory Diagnosis,
Antimicrobial Resistance, and Antimicrobial Management
of Invasive Salmonella Infections. Clinical Microbiology
Reviews, 28(4), 901–937.
https://doi.org/10.1128/CMR.00002-15.

Das, N., Dewan, V., Grace, P. M., & Gunn, R. J. (2016).


HMGB1 activates proinflammatory signaling via TLR5
leading to allodynia. HHS Public Access, 17(4), 1128–1140.
https://doi.org/10.1016/j.celrep.2016.09.076.HMGB1

Davies, J. E., Apta, B. H. R., & Harper, M. T. (2018). Cross-


reactivity of anti-HMGB1 antibodies for HMGB2. Journal
of Immunological Methods, (November 2017), 0–1.
https://doi.org/10.1016/j.jim.2018.02.006.

Diana Krisant Jasaputra, Dewi Kurniawati, T. B. baskara. (2014).


The Th1/Th2 Imbalance, Atopic Eczema, And Herbal
Medicine. Jurnal Medika Planta, 1(1), 93–98.

Diefenbach, A. (2013). Innate Lymphoid Cells In The Defense


Against Infections. European Journal of Microbiology and
Immunology, 3(3), 143–151.
https://doi.org/10.1556/EuJMI.3.2013.3.1.

Doll, D. N., Rellick, S. L., Barr, T. L., Ren, X., Simpkins, J. W.,
Virginia, W., … Virginia, W. (2016). Rapid mitochondrial
dysfunction mediates TNF-alpha-induced neurotoxicity.
HHS Public Access, 132(4), 443–451.
https://doi.org/10.1111/jnc.13008.Rapid

Edye, M. E., Lopez-castejon, G., Allan, S. M., & Brough, D.


(2013). Acidosis Drives Damage-associated Molecular
Pattern ( DAMP ) -induced Interleukin-1 Secretion via a
Caspase-1-independent Pathway. The Journal of Biological
Chemistry, 288(42), 30485–30494.
https://doi.org/10.1074/jbc.M113.478941

Frech, G., Y, M. W., M, E. N., Rabsch, W., & Y, S. S. (2015).


Molecular characterization of Salmonella enterica subsp .
enterica serovar Typhimurium DT009 isolates : di ¡
erentiation of the live vaccine strain Zoosaloral from ¢ eld
isolates. FEMS Microbiology Letters, 167(45), 2–7.

Garai, P., Gnanadhas, D. P., & Chakravortty, D. (2012).


Salmonella enterica serovars Typhimurium and Typhi as
model organisms Revealing paradigm of host-pathogen
interactions. Landes Bioscience Journal, 2(2), 10–14.
https://doi.org/10.4161/viru.21087.

Garcia, M. (2014). Typhoid Fever in Nineteenth-Century


Colombia : Between Medical Geography and Bacteriology.
Cambridge University Press, 58(1), 27–45.
https://doi.org/10.1017/mdh.2013.70.

Gauld, J. S., Hu, H., Klein, D., & Levine, M. M. (2018). Typhoid
fever in Santiago , Chile : Insights from a mathematical
model utilizing venerable archived data from a successful
disease control program. Neglected Tropical Diseases, 4(2),
1–18.
Ge, X., Antoine, D. J., Lu, Y., Arriazu, E., Leung, T., Klepper,
A. L., … Nieto, N. (2014). High Mobility Group Box-1 (
HMGB1 ) Participates in the Pathogenesis of Alcoholic
Liver Disease ( ALD ). The Journal of Biological
Chemistry, 289(33), 22672–22691.
https://doi.org/10.1074/jbc.M114.552141.

Ghosh, A., Bandyopadhyay, A., Ghosh, P., & Chatterjee, P.


(2013). Isolation of a novel terpenoid from the rhizome of
Curcuma caesia Roxb. Journal of Scientific and Innovative
Research, 2(4), 777–784.

Gilchrist, J. J., Rautanen, A., Fairfax, B. P., Mills, T. C.,


Naranbhai, V., Trochet, H., … Hill, A. V. S. (2017). Risk of
nontyphoidal Salmonella bacteraemia in African children is
modified by STAT4. Nature Communications, 1014(9), 1–
11. https://doi.org/10.1038/s41467-017-02398-z

Guo, S., Messmer-blust, A. F., Wu, J., & Song, X. (2014). Role
of A20 in cIAP-2 Protection against Tumor Necrosis Factor
α ( TNF- α ) -Mediated Apoptosis in Endothelial Cells.
International Journal of Molecular Sciences, 2(5), 3816–
3833. https://doi.org/10.3390/ijms15033816.

Handerson. (2017). Typhoid Fever. Emerging and Acute


Infectious Disease Guidelines, 4(2), 359–367.

Hatta, M., Surachmanto, E. E., Islam, A. A., & Wahid, S. (2017).


Expression of mRNA IL ‑ 17F and sIL ‑ 17F in atopic
asthma patients. BMC Research Notes, 1–5.
https://doi.org/10.1186/s13104-017-2517-9.

Hayashi, Y., Tsujita, R., Tsubota, M., Saeki, H., Sekiguchi, F.,
Honda, G., & Kawabata, A. (2018). Biochemical and
Biophysical Research Communications Human soluble
thrombomodulin-induced blockade of peripheral HMGB1-
dependent allodynia in mice requires both the lectin-like
and EGF-like domains. Biochemical and Biophysical
Research Communications, 495(1), 634–638.
https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2017.11.079.

Irawati, L., Acang, N., & Irawati, N. (2016). Factor-Alpha (Tnf-


Α) And Interleukin-10 (Il-10) Tumor Expression In
Infection. Journal of Biomedical Science, 10(2).

Kajiwara, M., Id, S., Parry, C. M., & Id, S. Y. (2018). Modelling
the cost-effectiveness of a rapid diagnostic test ( IgMFA )
for uncomplicated typhoid fever in Cambodia. Neglected
Tropical Diseases, 45(3), 1–18.

Kaljee, L. M., Pach, A., Thriemer, K., Ley, B., Ali, S. M.,
Jiddawi, M., … Clemens, J. (2013). Utilization and
Accessibility of Healthcare on Pemba Island , Tanzania :
Implications for Health Outcomes and Disease Surveillance
for Typhoid Fever. The American Society of Tropical
Medicine and Hygiene, 88(1), 144–152.
https://doi.org/10.4269/ajtmh.2012.12-0288.

Kamaraj, C., Rajakumar, G., Bagavan, A., Zahir, A. A., &


Elango, G. (2012). Feeding deterrent activity of synthesized
silver nanoparticles using Manilkara zapota leaf extract
against the house fly , Musca domestica ( Diptera :
Muscidae ). Journal of Parasitol, 111(1), 2439–2448.
https://doi.org/10.1007/s00436-011-2689-5.

Kaur, A., Kapil, A., Elangovan, R., Jha, S., & Kalyanasundaram,
D. (2018). Highly-sensitive detection of Salmonella typhi in
clinical blood samples by magnetic nanoparticle-based
enrichment and in-situ measurement of isothermal
amplification of nucleic acids. Plos Pathogens Journal,
25(3), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0194817.

Keddy, K. H., Smith, A. M., Sooka, A., Tau, N. P., Ngomane, H.


M. P., Radhakrishnan, A., … Benson, F. G. (2018). The
Burden of Typhoid Fever in South Africa : The Potential
Impact of Selected Interventions. The Americal Socienty of
Tropical Medicine and Hygiene, 99(3), 55–63.
https://doi.org/10.4269/ajtmh.18-0182
Keddy, K. H., Sooka, A., Smith, A. M., Musekiwa, A., Tau, P.,
Klugman, K. P., & Angulo, F. J. (2016). Typhoid Fever in
South Africa in an Endemic HIV Setting. Journal of PLOS
One, 8(4), 1–12.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0164939.

Kema, Zhang, H., & Baloch, Z. (2016). Pathogenetic and


Therapeutic Applications of Tumor Necrosis Factor- α (
TNF- α ) in Major Depressive Disorder : A Systematic
Review. International Journal of Molecular Sciences,
14(6), 2–21. https://doi.org/10.3390/ijms17050733.

Khan, R. T. (2014). The Host Immune Response of MOLF/Ei


mice to Salmonella typhimurium infection: Studying the
Ity2 and Ity3 loci. Journal of Immuno Target and Therapy,
65(20), 234–269.

Kim, D., Seo, S., Zeng, M. Y., Kamada, N., & Inohara, N.
(2019). Mesenchymal Cell − Specific MyD88 Signaling
Promotes Systemic Dissemination of Salmonella
Typhimurium via Inflammatory Monocytes. The Journal of
Immunology, 2(1), 10–15.
https://doi.org/10.4049/jimmunol.1601527.
Kim, H. J., Park, S. H., Lee, T. H., Nahm, B. H., Chung, Y. H.,
Seo, K. H., & Kim, H. Y. (2016). Identification of
Salmonella enterica Serovar Typhimurium Using Specific
PCR Primers Obtained by Comparative Genomics in
Salmonella Serovars. Journal of Food Protection, 69(7),
1653–1661.

Kinases, I. S., Ogura, K., Terasaki, Y., Miyoshi-akiyama, T.,


Terasaki, M., Moss, J., … Yahiro, K. (2017). Vibrio
cholerae Cholix Toxin-Induced HepG2 Cell Death is
Enhanced by Tumor Necrosis Factor-Alpha Through.
Toxicological Sciences Oxford Journals, 156(2), 455–468.
https://doi.org/10.1093/toxsci/kfx009.

Kintz, E., Heiss, C., Black, I., Donohue, N., Brown, N., Davies,
M. R., … Woudea, M. van der. (2017). Salmonella enterica
Serovar Typhi Lipopolysaccharide O-Antigen Modification
Impact on Serum Resistance and Antibody Recognition.
Infection and Immunity, 85(4), 1–10.
https://doi.org/10.1128/IAI.01021-16.

Kurniawati, A., Darusman, L. K., & Rachmawaty, R. Y. (2014).


Pertumbuhan, Produksi dan Kandungan Triterpenoid Dua
Jenis Pegagan (Centella asiatica L. (Urban)) Sebagai Bahan
Obat pada Berbagai Tingkat Naungan. Jurnal Bul.Agron,
67(33), 62–67.

Land, W. G. (2015). The role of damage-associated molecular


patterns (DAMPs) in human diseases part II: DAMPs as
diagnostics, prognostics and therapeutics in clinical
medicine. Sultan Qaboos University Medical Journal,
15(2), e157–e170.
Larossa, R., & Dyk, T. Van. (2019). Leaky Pantothenate and
Thiamin Mutations of Salmonella typhimurium Conferring
Sulphometuron Methyl Sensitivity. Journal of General
Microbiology, 26(1989), 2209–2222.

Lee, J., Tian, Y., Chan, S. T., Kim, J. Y., Cho, C., & Ou, J.
(2015). TNF- α Induced by Hepatitis C Virus via TLR7 and
TLR8 in Hepatocytes Supports Interferon Signaling via an
Autocrine Mechanism. Plos Pathogens Journal, 2(2), 1–19.
https://doi.org/10.1371/journal.ppat.1004937

Li, W., Zhu, S., Li, J., Assa, A., Jundoria, A., Xu, J., … Eissa, O.
(2017). EGCG stimulates autophagy and reduces
cytoplasmic HMGB1 levels in endotoxin-stimulated
macrophages. NIH Public Access, 81(9), 1152–1163.
https://doi.org/10.1016/j.bcp.2011.02.015.EGCG

Lo, N. C., Gupta, R., Stanaway, J. D., Garrett, D. O., Bogoch, I.


I., Luby, S. P., & Andrews, J. R. (2018). Comparison of
Strategies and Incidence Thresholds for Vi Conjugate
Vaccines Against Typhoid Fever : A Cost-effectiveness
Modeling Study. The Journal of Infection Diseases, 7(2), 2–
11. https://doi.org/10.1093/infdis/jix598.

Lu, L., Shi, W., Deshmukh, R. R., Long, J., Cheng, X., & Ji, W.
(2014). Tumor Necrosis Factor- a Sensitizes Breast Cancer
Cells to Natural Products with Proteasome-Inhibitory
Activity Leading to Apoptosis. Plos Pathogens Journal,
4(3), 1–21. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0113783.

Lu Yi, Lu-Jiang yang, Zhao Min, Li Zhi-hong, Y. Y. (2015).


Relationship between HMGB1 content and MHC-II ex-
pression in circulating monocytes and spleen of mice
challenged with zymosan. Chinese Journal of
Traumatology, 12(6), 339–343.
https://doi.org/10.3760/cma.j.issn.1008-1275.2009.06.004.

Martinotti, S., & Ranzato, E. (2015). Emerging roles for


HMGB1 protein in immunity , inflammation , and cancer.
Journal of Immuno Target and Therapy, 2(4), 101–109.

Marusic, J., Podlipnik, C., & Simona. (2012). Recognition of


Human Tumor Necrosis Factor a (TNF a) Therapeutic
Antibody Fragment. The Journal Of Biological Chemistry,
287(11), 8613–8620.
https://doi.org/10.1074/jbc.M111.318451.

Maskey, A. P., Day, J. N., Tuan, P. Q., Thwaites, G. E.,


Campbell, J. I., Zimmerman, M., Basnyat, B. (2012).
Salmonella enterica Serovar Paratyphi A and S . enterica
Serovar Typhi Cause Indistinguishable Clinical Syndromes
in Kathmandu , Nepal. Trop. and Subtrop. Fruits Journal,
3(3), 1247–1253.

Mcclelland, M., Sanderson, K. E., Spieth, J., Clifton, S. W.,


Latreille, P., Courtney, L., … Sun, H. (2015). Complete
genome sequence of Salmonella enterica serovar
Typhimurium LT2. Nature Journal, 413(25), 2–5.

Menezes, C. B., Vieira, D. B., Feijo, L., Silva, V., Silva, D. B.,
Lopes, N. P., … Tasca, T. (2017). Trichomonicidal and
parasite membrane damaging activity of bidesmosic
saponins from Manilkara rufula. Plos One, 2(2), 5–20.
https://doi.org/|
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0188531.
Milind, P., & Preeti. (2015). A Wonderful Gift From Nature.
International Journal Res Ayurveda Pharmacy, 6(August),
544–550. https://doi.org/10.7897/2277-4343.064102.

Miyaji, E. N., Carvalho, E., Oliveira, M. L. S., Raw, I., & Ho, P.
L. (2011). Trends in adjuvant development for vaccines:
DAMPs and PAMPs as potential new adjuvants. Brazilian
Journal of Medical and Biological Research, 44(6), 500–
513. https://doi.org/10.1590/S0100-879X2011007500064

Mogasale, V., Mogasale, V. V, Ramani, E., Lee, J. S., Park, J.


Y., Lee, K. S., & Wierzba, T. F. (2016). Revisiting typhoid
fever surveillance in low and middle income countries :
lessons from systematic literature review of population-
based longitudinal studies. BMC Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1186/s12879-016-1351-3.

Mori, H., Murakami, M., Tsuda, T., Kameda, K., Utsunomiya,


R., Masuda, K., … Sayama, K. (2018). Reduced-HMGB1
suppresses poly(I:C)-induced inflammation in
keratinocytes. Journal of Dermatological Science.
https://doi.org/10.1016/j.jdermsci.2018.01.007.

Mutai, W. C., Muigai, A. W. T., Waiyaki, P., & Kariuki, S.


(2018). Multi-drug resistant Salmonella enterica serovar
Typhi isolates with reduced susceptibility to ciprofloxacin
in Kenya. Mutai et Al. BMC Microbiology, 3(2), 4–8.
https://doi.org/10.1186/s12866-018-1332-3.

Nabanita Das, Watkins, L. R., Wilson, I. A., & Yin, H. (2016).


HMGB1 activates proinflamatory signaling via TLR5
leading to allodynia. HHS Public Access, 17(4), 1128–1140.
https://doi.org/10.1016/j.celrep.2016.09.076.HMGB1
Nasstrom, E., Tran, N., Thieu, V., Dongol, S., Karkey, A.,
Thwaites, G., … Baker, S. (2014). Salmonella Typhi and
Salmonella Paratyphi A elaborate distinct systemic
metabolite signatures during enteric fever. Elifescience
Journal, 23(4), 1–19. https://doi.org/10.7554/eLife.03100.

Nurindah, D., Muid, M., & Retoprawiro, S. (2014). Relationship


between Plasma Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF- α)
and Simple Fever Seizures in Children The Relationship
between Levels of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α)
Plasma and Simple Febrile Seizures in Children. Brawijaya
Medical Journal, 28(2), 115–119.

Nurliyani, Julia, M., Harmayani, E., & Baliarti, E. (2014).


Respon Imun Mukosa Dan Seluler Pada Tikus Yang Diberi
Bubuk Susu Kambing Dengan Infeksi Salmonella
Typhimurium [ Mucosal and Cellular Immune Response of
Rat Given Goat Milk Powder and Infected with Salmonella
Typhimurium ]. Jurnal Teknol Dan Industri Pangan, 24(1),
7–13. https://doi.org/10.6066/jtip.2013.24.1.7

Nuruzzaman, H., & Syahrul, F. (2016). Analisis risiko kejadian


demam tifoid berdasarkan kebersihan diri dan kebiasaan
jajan di rumah. Open Access under CC BY – SA License,
2(3), 74–86. https://doi.org/10.20473/jbe.v4i1.74-86.

Oliveira, E. C. De, Fernandes, C. P., Sanchez, E. F., Rocha, L.,


& Fuly, A. L. (2014). Inhibitory Effect of Plant Manilkara
subsericea against Biological Activities of Lachesis muta
Snake Venom. Hindawi Publishing Corporation BioMed
Research International, 2014(1), 1–7.
https://doi.org/10.1155/2014/408068.

Olmos, G., & Llado, J. (2014). Tumor Necrosis Factor Alpha : A


Link between Neuroinflammation and Excitotoxicity.
Hindawi Publishing Corporation Mediators of
Inflammation, 2014(4), 2–12.
https://doi.org/10.1155/2014/861231.

Osman, M. A., Rashid, M. M., Aziz, M. A., Habib, M. R., &


Rezaul, M. (2011). Inhibition of Ehrlich ascites carcinoma
by Manilkara zapota L . stem bark in Swiss albino mice.
Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 1(6), 448–
451. https://doi.org/10.1016/S2221-1691(11)60098-1.

Pan, Y., Ke, H., Yan, Z., Geng, Y., Asner, N., Palani, S., …
Zheng, G. (2017). The western-type diet induces anti-
HMGB1 autoimmunity in Apoe−/− mice. HHS Public
Access, 1(1), 31–38.
https://doi.org/10.1016/j.atherosclerosis.2016.05.027.

Park, K., Lee, M., Oh, T., Kim, K., & Ma, J. (2017).
Antibacterial activity and effects of Colla corii asini on
Salmonella typhimurium invasion in vitro and in vivo. BMC
Complementary and Alternative Medicine, 23(5), 1–9.
https://doi.org/10.1186/s12906-017-2020-9

Paul, U. K., & Bandyopadhyay, A. (2017). Typhoid fever : a


review. International Jornal of Advances in Medicine, 4(2),
300–306. https://doi.org/10.18203/2349-
3933.ijam20171035

Pham, O. H., & Mcsorley, S. J. (2015). Protective host immune


responses to Salmonella infection. Future Microbiology,
16(11), 101–110. https://doi.org/10.2217/fmb.14.98.

Pientaweeratch, S., Panapisal, V., & Tansirikongkol, A. (2016).


Antioxidant, anti-collagenase and anti-elastase activities of
Phyllanthus emblica, Manilkara zapota and silymarin: an in
vitro comparative study for anti-aging applications. Journal
of Pharmaceutical Biology, 1(1), 2–9.
https://doi.org/10.3109/13880209.2015.1133658.

Purwaningtyas, Essy, Kusumaningtyas, & Hilda. (2017).


Determination Of Dosage And Optimum Reaction Time Of
Sawo Fruit Extract (Achras Zapota L.) In Reducing
Cholesterol Levels. Journal of Biomedical Science, 13(7),
1–11.

Puspitasari, A. D., & Proyogo, L. S. (2015). Comparison Of The


Method Of Maseration And Socletation Extraction Total
Levels Of Kersen Leaf Ethanol Extracts (Muntingia
calabura). Jurnal Ilmiah Cendikia Eksakta, 2(3), 1–8.
Ramachandran, G., Aheto, K., Shirtliff, M. E., & Tennant, S. M.
(2016). Poor biofilm-forming ability and long-term survival
of invasive Salmonella Typhimurium ST313. Journals
Investing in Science, 74(5), 1–9.
https://doi.org/10.1093/femspd/ftw049.

Ramachandran, G., Panda, A., Higginson, E. E., Ateh, E.,


Detolla, J., & Tennant, S. M. (2017). Virulence of invasive
Salmonella Typhimurium ST313 in animal models of
infection. Neglected Tropical Diseases, 23(4), 1–14.
https://doi.org/10.1371/ journal.pntd.0005697.

Reed, K. R., Song, F., Young, M. A., Hassan, N., Daniel, J.,
Gemici, N. B., … Jenkins, J. R. (2016). Secreted HMGB1
from Wnt activated intestinal cells is required to maintain a
crypt progenitor phenotype. Impact Journals, 7(32), 51665–
51673. Retrieved from
www.impactjournals.com/oncotarget/
Robert Hotman Sirait, Mochammad Hatta , Muhammad Ramli,
Andi Asadul Islam, S. K. A. (2018). Systemic lidocaine
inhibits high ‑ mobility group box 1 messenger ribonucleic
acid expression and protein in BALB / c mice after closed
fracture musculoskeletal injury. Saudi Journal of Anesthesia
|, 395–398. https://doi.org/10.4103/sja.SJA

Rohana, Y. (2016). Difference Of Primary Knowledge And


Prevention Of Tifoid Fever Between Parents In Rural And
Urban. Open Access under CC BY – SA License, 2(2), 384–
395. https://doi.org/10.20473/jbe.v4i3.

Rubino, S. J., Geddes, K., & Girardin, S. E. (2012). Innate IL-17


and IL-22 responses to enteric bacterial pathogens. Trends
in Immunology, 33(3), 112–118.
https://doi.org/10.1016/j.it.2012.01.003.

Sabbagh, C., Forest, C. G., & Ferraro, E. (2019). Intracellular


survival of Salmonella enterica serovar Typhi in human
macrophages is independent of Salmonella pathogenicity
island ( SPI ) -2. Mocrobiology Research, 156(12), 3689–
3698. https://doi.org/10.1099/mic.0.041624-0.

Sharma, P., Pande, V. V, Moyle, T. S., Mcwhorter, A. R., &


Chousalkar, K. K. (2017). Correlating bacterial shedding
with fecal corticosterone levels and serological responses
from layer hens experimentally infected with Salmonella
Typhimurium. Veterinary Research, 1–11.
https://doi.org/10.1186/s13567-017-0414-9

Shiddiqi, T. (2017). Pengaruh Secretome Sel Punca Mesenkimal


Terhadap Ekspresi Interleukin-1β dan Capase-1 Pada
Mencit Model Lupus Dengan Induksi Pristan. Majalah
Biological Chemistry, IV, 39–50.
Sidabutar, S., & Satari, H. I. (2010). Pilihan Terapi Empiris
Demam Tifoid pada Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?
Jurnal Sari Pediatri, 11(6), 434–439.

Splichalova, Splichal, A., Chmelarova, I., & Petra. (2011).


Alarmin HMGB1 Is Released in the Small Intestine of
Gnotobiotic Piglets Infected with Enteric Pathogens and Its
Level in Plasma Reflects Severity of Sepsis. J Clin
Immunol, 31, 488–497. https://doi.org/10.1007/s10875-010-
9505-3

Supit, I., Pangemanan, D. H., & Marunduh, S. (2015). Tumor


Necrosis Factor Profile (Tnf-a) Based on Body Mass Index
(IMT) in Students of the Faculty of Medicine of Unsrat
2014. eBiomedik, 3(2).

Tang, Y., Zhao, X., Antoine, D., Xiao, X., Wang, H., Andersson,
U., … Lu, B. (2016). Regulation of Posttranslational
Modifications of HMGB1 During Immune Responses.
Antioxidant & Redox Signaling, 24(12), 620–634.
https://doi.org/10.1089/ars.2015.6409

Thanh, D. P., Thompson, C. N., Rabaa, M. A., Sona, S., Dougan,


G., Turner, P., … Baker, S. (2016). The Molecular and
Spatial Epidemiology of Typhoid Fever in Rural Cambodia.
Neglected Tropical Diseases, 5(3), 1–16.
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004785.

Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur, G., & Kaur, H. (2011).
Phytochemical screening and Extraction: A Review.
International Pharmaceutica Sciencia, 1(1). Retrieved from
http://www.ipharmsciencia.com
Uekane, T. M., Nicolotti, L., Griglione, A., Bizzo, H. R.,
Rubiolo, P., Bicchi, C., … Claudia, M. (2016). Studies on
the volatile fraction composition of three native amazonian-
brazilian fruits: Murici (Byrsonima crassifolia L.,
Malpighiaceae), bacuri (Platonia in- signis M., Clusiaceae),
and sapodilla (Manilkara sapota L., Sapotaceae). Journal of
Food Chemistry, 2(1), 25–35.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.09.098.

Upadhyay, R., Nadkar, M. Y., Muruganathan, A., Tiwaskar, M.,


Amarapurkar, D., Banka, N. H., … Sathyaprakash, B. S.
(2015). API RECOMMENDATIONS API
Recommendations for the Management of Typhoid Fever.
Journal of The Association of Physicians of India, 63(4),
77–96.

Valdes-ferrer, S. I., Hotamisligil, S., & Tracey, K. J. (2012).


Novel role of PKR in inflammasome activation and
HMGB1 release. Journal of Nature, 1–6.
https://doi.org/10.1038/nature11290.

Venereau, E., Ceriotti, C., & Bianchi, M. E. (2015). DAMPs


from cell death to new life. Frontiers in Immunology,
6(AUG), 1–11. https://doi.org/10.3389/fimmu.2015.00422

Verbrugghe, E., Vandenbroucke, V., Dhaenens, M., Shearer, N.,


Goossens, J., Saeger, S. De, … Pasmans, F. (2012). T-2
toxin induced Salmonella Typhimurium intoxication results
in decreased Salmonella numbers in the cecum contents of
pigs , despite marked effects on Salmonella -host cell
interactions. Veterinary Research, 43(1), 22.
https://doi.org/10.1186/1297-9716-43-22.
Vinod, N., Noh, H. B., Oh, S., Ji, S., Park, H. J., Lee, S., …
Choi, C. W. (2017). A Salmonella typhimurium ghost
vaccine induces cytokine expression in vitro and immune
responses in vivo and protects rats against homologous and
heterologous challenges. Plos Pathogens Journal, 54(23),
1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0185488.

Vishwasrao, C., Chakraborty, S., & Ananthanarayan, L. (2016).


Partial purification , characterisation and thermal
inactivation kinetics of peroxidase and polyphenol oxidase
isolated from Kalipatti sapota ( Manilkara zapota ).
Published Online inWiley Online Library, 1(1), 2–5.
https://doi.org/10.1002/jsfa.8215.

Wain, J., Hendriksen, R. S., Mikoleit, M. L., Keddy, K. H., &


Ochiai, R. L. (2014). Typhoid fever. The Lancet, 6736(24),
10–12. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(13)62708-7.

Warren, J. L., Crawford, F. W., & Weinberger, D. M. (2017).


The burden of typhoid fever in low- and middle-income
countries : A meta-regression approach. Neglected Tropical
Diseases, 7(4), 1–21.
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005376.

Wijedoru, L., Mallett, S., & Cm, P. (2017). Rapid diagnostic


tests for typhoid and paratyphoid ( enteric ) fever ( Review
). Cochrane Database of Systematic Reviews Rapid, 4(5).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD008892.pub2.www.co
chranelibrary.com

Wilson, V. R., Hermann, G. J., & Balows, A. (2014).


Preliminary Report of a New System for Typing Salmonella
typhimurium in the United States NOT ’ ES. Applied
Microbiology, 21(4), 774–776.
Wu, A. H., He, L., Long, W., Zhou, Q., Zhu, S., Wang, P., …
Wang, H. (2017). Novel Mechanisms of Herbal Therapies
for Inhibiting HMGB1 Secretion or Action. Hindawi
Publishing Corporation Mediators of Inflammation, 11.
https://doi.org/10.1155/2015/456305.

Yang, Q., Zheng, F., Zhan, Y., Tao, J., Tan, S., Liu, H., & Wu,
B. (2013). Tumor necrosis factor- α mediates JNK
activation response to intestinal ischemia-reperfusion injury.
World Journal of Gastroenterology, 19(30), 4925–4934.
https://doi.org/10.3748/wjg.v19.i30.4925.

Yang, W. S., Han, N. J., Kim, J. J., Lee, M. J., & Parka, S.-K.
(2016). TNF- α Activates High-Mobility Group Box 1 -
Toll-Like Receptor 4 Signaling Pathway in Human Aortic
Endothelial Cells. Cellular Physiology and Biochemistry,
38, 2139–2151. https://doi.org/10.1159/000445570

Yang, Z., Zhang, X. R., Zhao, Q., Wang, S. L., Xiong, L. L., &
Zhang, P. (2018). Knockdown of TNF ‑ α alleviates acute
lung injury in rats with intestinal ischemia and reperfusion
injury by upregulating IL ‑ 10 expression. International
Journal Molecular Medicine, 42(2), 926–934.
https://doi.org/10.3892/ijmm.2018.3674.

Youn, J. H., Kwak, M. S., Yeounjung, S. E., & Jin, H. (2017).


Identification of lipopolysaccharide-binding peptide regions
within HMGB1 and their effects on subclinical
endotoxemia in a mouse model. European Journal of
Microbiology and Immunology, 2753–2762.
https://doi.org/10.1002/eji.201141391

Zafar, M., Mehraj, H., Hamid, Z., Syed, A., Chowdri, N. A., &
Haq, E. (2016). Tumor necrosis factor- α ( TNF- α ) -308G /
A promoter polymorphism in colorectal cancer in ethnic
Kashmiri population — A case control study in a detailed
perspective. Meta Gene Journal of Elsevier, 9(3), 128–136.
https://doi.org/10.1016/j.mgene.2016.06.001.

Zhang, B., Wang, P., Cong, Y., Lei, J., Wang, H., Huang, H., …
Zhuang, Y. (2017). Anti-high mobility group box-1 (
HMGB1 ) antibody attenuates kidney damage following
experimental crush injury and the possible role of the tumor
necrosis factor- α and c-Jun N-terminal kinase pathway.
Journal of Orthopaedic Surgery and Research, 1(1), 4–10.
https://doi.org/10.1186/s13018-017-0614-z

Zhao, X., Che, P., Cheng, M., Zhang, Q., Mu, M., Li, H., …
Ding, Q. (2016). Tristetraprolin Down-Regulation
Contributes to Persistent TNF-Alpha Expression Induced by
Cigarette Smoke Extract through a Post- Transcriptional
Mechanism. Plos Pathogens Journal, 11(2), 1–19.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0167451.

Zhao, X., Dai, Q., Jia, R., Zhu, D., & Liu, M. (2017). Two Novel
Salmonella Bivalent Vaccines Confer Dual Protection
against Two Salmonella Serovars in Mice. Frontiers in
Celluler and Infection Micobiology, 7(2), 1–19.
https://doi.org/10.3389/fcimb.2017.00391
PROFIL PENULIS

Dr. dr. Hasta Handayani Idrus, M.Kes, Lahir di Sidrap 2


Mei 1988, Riwayat Pendidikan: Tamat di SD Negeri 103
Sinjai tahun 2000, SMP Negeri 2 Sinjai tahun 2003, SMA
Negeri 5 Sinjai Tahun 2006. Alumni Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia tahun 2012, Diangkat
menjadi Dosen tetap Fakultas Kedokteran pada Yayasan
Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada tahun
2013, Kemudian Menyelesaikan Pendidikan Magister
Kesehatan pada Pascasarjana UMI Pada Tahun 2016,
Memperoleh Beasiswa BUDI (Beasiswa Unggulan Dosen
Indonesia) LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)
pada Prodram Doktoral (S3) Fakultas Kedokteran UNHAS
dan menyelesaikan pendidikan S3 nya dengan predikat Cum
Laude dan Menjadi Wisudawan terbaik Program Doktor
tingkat Universitas Hasanuddin pada Wisudah Periode IV
tahun 2020, Pada tahun 2018 Mengikuti Program Short
Course di Coventry University United Ingdom (Inggris)
atas beasiswa dari Kementrian Riset dan Teknologi Dirjen
Pendidikan Tinggi (KEMENRISTEK DIKTI), Tahun 2019-
2020 Mengikuti Program Sandwich di Coventry University
United Ingdom (Inggris) atas beasiswa dari Kementrian
Riset dan Teknologi Dirjen Pendidikan Tinggi
(KEMENRISTEK DIKTI).
Pada tahun 2017 beliau menjadi best speaker pada Seminar
Internasional yang diadakan oleh RISTEKDIKTI dan
Australian Technology Network of University. Pada bulan
September tahun 2019 beliau menjadi Best Paper pada
Konferensi Internasional yang diadakan di Istanbul, Turki.
Saat ini beliau aktif sebagai dosen di fakultas kedokteran
Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Riviwer pada
Internasional Journal of Biochemistry Research and Riview.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai