Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ii
ABSTRACT
DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR. Law Design in Managing Outermost
Small Islands in the North Sulawesi Province. Under the supervision DIETRIECH G.
BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW,
and MARIA F. INDRATI.
RINGKASAN
Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan
Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan
kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain.
Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah
pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan
anggaran dan kebijakan pengelolaan.
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi Badan Nasional Pengelola
Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3,
mempunyai tugas : penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi
pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengoordinasian
penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengelolaan dan fasilitasi
penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas Wilayah Negara; inventarisasi
potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi,
pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan
Perbatasan; penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan anggaran
pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
sesuai dengan skala prioritas; pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan. Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai
pelaksana tugas dan fungsi adalah Menteri Dalam Negeri.
Mekanisme koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai pengelolaan
perbatasan negara dan konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil perbatasan negara:
(1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara
berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi
horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan.
Kata Kunci : Hukum Pesisir, Delimitasi ZEEI, Penegakan Hukum, Pengelolaan Pulau
Kecil Perbatasan Negara, Pertahan dan Keamanan Perbatasan Negara, Sertifikat
Pulau Negara.
vii
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ix
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja
Anggota Anggota
Dr. Ir. Victor Ph. Nikijuluw, M.Sc. Prof.Dr. Maria F. Indrati, S.H, M.H.
Anggota Anggota
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya
kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi sebagai
karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau
Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan
Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert
yang berasal dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan
pihak terkait lain.
1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS,
Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan
Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala
bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini
2 Prof Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc, selaku Dekan
dan Wakil Dekan beserta semua Staf Administrasi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor
3 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua
dan Sekretaris beserta semua Staf Administrasi, Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor
4 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku Penguji luar
komisi pada Ujian Tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan Prof.Dr.Ir.
Alex S.W Retraubun, MSc selaku Penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.
5 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, dr. Elly E. Lasut, MM,
selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati
Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi
6 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya
pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor
7 Rektor dan mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi, Dekan dan mantan Dekan
Fakultas Hukum beserta seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi.
8 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan mendorong,
dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D. Mait, S.Pi
(menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu), Grace M.F.
Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-cucu Kenneth
dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-anak Daryl dan
Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong, mendoakan keberhasilan
menyeselesaikan studi
xi
9 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Luar
Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya Energi dan
Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud
yang telah membantu data dan informasi
10 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL serta
semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di IPB Bogor
11 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang telah
membantu selama studi, mengumpulkan data dan informasi serta membantu
menganalisis data.
RIWAYAT HIDUP
Bersama penulis lainnya, tulisan telah diterbitkan dalam buku yang berjudul :
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia, telah dipublikasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerja sama dengan
Coastal Resources Management Project II (USAID) / Mitra Pesisir, Jakarta
September 2005.
Sebuah artikel ilmiah berjudul : Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif sebagai
Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara, telah di
publikasikan pada jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid 38 Nomor 4 Desember
2009, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ xi
1 PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………... 4
1.3 Kerangka Pemikiran ……………………………………………………. 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………… 9
1.5 Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 12
1.6 Manfaat Penelitian…………………………………………………….... 13
2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….. 15
2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil……… 15
2.1.1 Laut………………………………………………………………. 15
2.1.2 Wilayah pesisir…………………………………………………… 15
2.1.3 Pulau-pulau kecil………………………………………………… 16
2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara........................ 17
2.3 Hukum Laut Indonesia…………………………………………………. 19
2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan…………………………………… 21
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu …………………………………. 25
2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu…………..................... 27
2.6.1 Prinsip keterpaduan…………………………………………….... 28
2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan……....………………………... 29
2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat............ 29
2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama ……………………….. 30
2.8 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau-Pulau Kecil…………….. 31
xv
3 METODE.......................................................................................................... 43
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 43
3.2 Rancangan Penelitian................................................................................ 43
3.3 Tahapan Penelitian Analisis Data............................................................. 44
3.4 Metode Analisis........................................................................................ 47
3.4.1 Analisis Hierarchi Proses (AHP)..................................................... 48
3.4.2 Analisis SWOT .............................................................................. 51
3.4.3 Analisis diagnosa dan terapi hukum (Diagnosis and Theraphy....
Analisys of Law/DTAL) ................................................................ 53
DAFTAR TABEL
1 Daftar ekspert dan instansi responden................................................................ 47
2 Skala pendapat (nilai dan definisi)..................................................................... 49
3 Nilai konsistensi random................................................................................... 50
4 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum........................................ 51
5 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Sagihe........................................ 61
6 Jumlah kecamatan, luas kecamatan dan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten
Kepulauan Sangihe............................................................................................ 64
7 Jumlah dan kepadatan penduduk.............................................................. 65
8 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Talaud......................................... 67
9 Luas wilayah kecamatan dan jumlah kampung/kelurahan di Kabupaten.........
Kepulauan Talad................................................................................................ 69
10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kepulauan Talaud 70
11 Sasaran pertumbuhan beberapa indikator makro ekonomi Kabupaten .............
Kepulauan Talaud............................................................................................. 71
12 Tata Urutan Hukum.......................................................................................... 137
13 Matriks evaluasi faktor eksternal................................................................... 159
14 Matriks evaluasi faktor strategis internal....................................................... 161
15 Informasi untuk analisis expert....................................................................... 175
16 Hasil analisis faktor A.H.P............................................................................. 176
17 Prioritas elemen faktor.................................................................................... 176
18 Prioritas elemen alternatif strategi................................................................. 178
19 Analisis skenario............................................................................................. 181
20 Akternatif skenario.......................................................................................... 183
21 Hasil kuesioner responden.............................................................................. 184
22 Sosial ekonomi................................................................................................ 184
23 Hasil analisis A.H.P total............................................................................... 185
24 Daftar peraturan perundang-undagan yang berhubungan dengan.................
Pengelolaan wilayah pesisir............................................................................ 196
25 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota................................ 237
xxii
DAFTAR GAMBAR
1 Matriks kerangka berpikir............................................................................... 8
2 Peta Perbatsan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara.................................. 43
3 Diagram tahapan penelitian............................................................................. 45
4 Diagran Venn.................................................................................................. 46
5 Langkah umum AHP (modifikasi).................................................................... 49
6 Analisa S.W.O.T............................................................................................... 52
7 Penyusunan hirarki............................................................................................ 56
8 Bagan alir analisis rancangbangun hukum dalam pengelolaan ........................
pulau-pulau kecil terluar................................................................................... 57
9 Peta Provinsi Sulawesi Utara............................................................................ 58
10 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe........................................... 63
11 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Talaud........................................... 68
12 Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia – Filipina....................... 74
13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara......................... 78
14 Pulau Marore.................................................................................................... 79
15 Pulau Miangas................................................................................................... 80
16 Peta Perbatasan ................................................................................................ 82
17 Alur proses penyusunan peraturan daerah........................................................ 145
18 Matriks internal eksternal posisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di..
Provinsi Sulawesi Utara..................................................................................... 164
19 Matriks S.W.O.T............................................................................................... 166
20 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar………................................. 173
21 Hasil analisis faktor.......................................................................................... 176
22 Hasil analisis alternatif strategi........................................................................ 178
23 Hirarki hasik analisis AHP rancanbangun hukum dalam. pengelolaan ..........
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara...................................... 180
24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi.............................................................. 184
25 Sintesis rancangbangun penataan wilayah..................................................... 188
26 Dinamik sensitive............................................................................................. 189
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria rancangbangun hukum pesisir.............................................................. 261
2 Skema Proses Pengundangan dalam lembaran negara Republik Indonesia…..
dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia…………………………. 309
3 Skema proses ligitasi perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi.............. 310
4 Kuesioner survey pakar metode AHP................................................................ 311
5 Zona-zona maritim menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982)............ 313
6 Daftar 92 Pulau terluar Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden ..................
Nomor 78 Tahun 2005....................................................................................... 314
7 Matriks peraturan perundang-undangan........................................................... 318
8 Peta daerah penelitian Rancangbangun Hukum dalam ....................................
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. ................. 334
1
1 PENDAHULUAN
berbatu (rocky beach), hutan mangrove (mangrove foresh), estuaria, laguna, delta
dan pulau-pulau kecil.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
wilayah negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas wilayah negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan sumberdaya di
wilayah negara, dan hak–hak berdaulat.
perbatasan negara sebagai basis pertahanan negara dan lokasi acuan titik dasar
untuk mempertegas kedaulatan Indonesia pada wilayah tersebut. Di samping itu,
kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara perlu
memperhatikan aspek tata ruang untuk menghindari tumpang tindih dalam
pengelolaan dan konflik kepentingan, misalnya penentuan wilayah pulau kecil
sebagai daerah penangkapan, budidaya, wisata bahari, dan konservasi. Penentuan
alokasi ruang tersebut perlu dilengkapi dengan penyusunan rencana detail dan
pembagian zonasi untuk selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan rencana
pengelolaan, rencana bisnis dan rencana pertahanan keamanan.
Menurut beberapa penelitian (Clark 1996, Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay
and Alder 1999; Dahuri 2003) permasalahan umum yang menyebabkan coastal
disease/coastal problem di wilayah pesisir dan laut Indonesia adalah:
7
(1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat:
1) besarnya potensi sumberdaya, 2) terpusatnya mata pencaharian penduduk
kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, 3) meningkatnya jumlah
penduduk, 4) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, 5) meningkatnya
kepentingan dalam kawasan, 6) perubahan dan kompetisi teknologi, dan 7)
proses distribusi pasar. Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai
sumberdaya dan jasa dimaksud karena: 1) meningkatnya kepentingan, 2)
besarnya potensi dan produktivitas, dan 3) belum terintegrasi dan
implementasinya hukum dan peraturan pelaksanaan, 4) tidak diakui
berlakunya hukum adat.
(2) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan
(3) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan laut
(4) Perilaku manusia akibat: 1) ketidaktahuan, 2) rendahnya kesadaran, 3)
kemiskinan, dan 4) keserakahan.
(5) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu: 1) kegagalan hak kepemilikan, 2)
kegagalan kebijakan, dan 3) kegagalan informasi.
Internal Eksternal
Masalah Hukum di
Pulau-Pulau Kecil
RANCANG RANCANG
BANGUN BANGUN
HUKUM HUKUM
YANG
ANALISIS
YANG
SUDAH PERELEVAN RELEVAN
ADA SIAN (Peraturan
(Peraturan per UU yang
per UU dicita-
citakan)
yang
berlaku)
rata adalah 25.2°C. Kelembaban udara tercatat 73,4 persen, dan suhu atau
temperatur dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut. Provinsi
Sulawesi Utara yang beribukota di Manado, terletak pada posisi 0°30 - 5° 35’
Lintang Utara dan 123° 30’ - 127°00’ bujur timur dengan batas wilayah sebagai
berikut :
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan Laut
Maluku
(1) Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan
ditetapkan secara bersama antara kedua negara
(2) Berdampak positif terhadap hak berdaulat pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya di Zona Ekonomi Eklsklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK)
(3) Berpengaruh terhadap hukum, sosial, dan ekonomi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal sehingga daerah perbatasan sangat
terpengaruh dengan kehidupan negara Filipina
(4) Keterpencilan perbatasan wilayah Indonesia di Provinsi Sulawesi Utara yaitu:
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, sangat
12
(2) Penegakan hukum dalam pencapaian hasil optimal pembangunan kelautan dan
perikanan di Indonesia, terutama di wilayah perbatasan negara, untuk
peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia
(3) Penetapan batas laut negara dan penentuan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
termasuk landas kontinen, untuk menjamin kepastian hukum wilayah
kedaulatan negara yang diakui secara Internasional dan kepastian hak
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil di perbatasan negara
14
(4) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dan pemerintah daerah dalam
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara.
15
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS).
Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang
terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS).
wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti
pasang surut, intrusi air laut dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari
proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu
pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi
pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau
kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota.
Dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah
perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang
akan dikelola secara bertanggung-jawab.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian integral
dari pembangunan kelautan dan perikanan, perlu mendapat perhatian dengan skala
prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan
pembangunan nasional. Mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan tempat bermukim sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia
tinggal di wilayah pesisir), juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam
yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati,
sehingga dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil
memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan: ekologi, adminsitasi,
perencanaan, sosial, budaya, dan hukum.
Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi
manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan
penyerap limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan
manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk
kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan
dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang sangat
berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
kegiatan di atas permukaan laut, saat ini telah diarahkan pada pengelolaan
sumberdaya di zona ekonomi eksklusif, dasar laut dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalamnya, sehingga terjadi perubahan pengertian hukum laut yang
dahulu bersifat unidimensional sekarang telah menjadi pluridimensional, yang
sekaligus merubahn filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu (Mauna 2005).
Pulau Batubawaikang; (8) Pulau Miangas; (9) Pulau Marampit; (10) Pulau Intata;
(11) Pulau Kakorotan.
Pengelolaan perbatasan sampai saat ini belum memberikan filosofi riil dan
menyentuh semua aspek yang menyertainya, termasuk teknis pelaksanaannya di
lapangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil terluar yang merupakan landasan juridis yang secara khusus
berkaitan dengan pengelolaan di daerah daerah perbatasan. Beberapa hal yang
penting dalam pengelolaan tersebut adalah mencakup beberapaa bidang yaitu : (1)
bidang sumberdaya alam dan lingkungan; (2) infrastruktur dan perhubungan; (3)
pembinaan wilayah; (4) pertahanan dan keamanan; dan (5) sosial ekonomi dan
budaya.
(1) Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor
untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran
dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat
untuk memantau rencana tingkat nasional.
(2) Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.
(4) Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan
jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan
perencanaan.
(5) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan
arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh
27
(1) Untuk mencapai pembangunan daerah pesisir dan lautan yang berkelanjutan
(2) Untuk mengurangi gangguan alam yang membahayakan daerah pesisir dan
makhluk hidup yang terdapat di dalamnya
(3) Untuk mempertahankan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan, dan
keanekaragaman hayati di daerah pesisir dan lautan.
(1) Hak Akses adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki
batas-batas fisik yang jelas
(2) Hak Memanfaatkan adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan
cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang
berlaku
(3) Hak Mengatur adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan
stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan
(4) Hak Eksklusif adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak
akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain
(5) Hak Mengalihkan adalah hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak
tadi kepada orang lain.
Hak akses dan hak memanfaatkan lebih bersifat operasional dan melekat
dengan pemegang hak sebagai individu. Keputusan dalam menjalankan hak-hak
ini adalah keputusan individu dan pada hakekatnya tidak dipengaruhi orang lain.
Begitu hak ini diberikan kepada seseorang, dia dapat memutuskan langkah-
langkah operasionalnya sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Oleh
karena itu, kedua hak ini menjamin pemegangnya melakukan aksi-aksi pilihan
individu (individual-choice actions).
31
Hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya properti bersama ini boleh
diibaratkan dengan hak azasi seseorang. Pemilikan hak ini dapat melalui
pemberian, pembelian, penyewaan, perizinan, atau karena faktor warisan dan
keturunan. Seringkali hak-hak ini secara otomatis tanpa dukungan dan bukti
formal yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pelaksanaan
hak-hak ini berpengaruh secara langsung pada tingkat pemanfaatan sumberdaya
properti bersama (Nikijuluw 2002).
(1) Pemerintah, yaitu lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di daerah perbatasan.
(2) Masyarakat, termasuk masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang secara
terus menerus menetap dan memanfaatkan wilayah pesisir pulau kecil sebagai
tempat tinggal dan atau tempat bekerja, serta memanfaatkan wilayah pesisir
pulau kecil sebagai obyek mata pencaharian utama.
(3) Kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan berbeda dalam hal
pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil di daerah perbatasan.
(4) Swasta, yaitu pelaku ekonomi yang terlibat dalam pengusahaan
pengembangan perikanan, pariwisata dan lainnya.
(7) Sub Komisi Teknis Survey Penegasan dan Penetapan Batas Republik
Indonesia - Papua New Guinea, penangananya oleh MABES TNI.
(8) Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation Republik Indonesia
- Republik Demokratik Timor Leste, penanganannya oleh MABES TNI dan
BAKOSURTANAL.
(3) Dapat dijadikan sebagai obyek wisata ekslusif untuk mendapatkan devisa,
dengan menyediakan aturan yang berkaitan dengan investasi.
(Abubakar 2004).
38
terdiri dari 17 (tujuh belas) yaitu : (1) Menteri Pertahanan; (2) Menteri Luar
Negeri; (3) Menteri Perhubungan; (4) Menteri Pekerjaan Umum (5) Menteri
energi dan Sumberdaya Mineral; (6) Menteri Kesehatan; (7) Menteri Pendidikan
Nasional; (8) Menteri Keuangan; (9) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
(10) Menteri Kehutanan; (11) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13)
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; (14) Sekretaris Kabinet; (15)
Panglima Tentara Nasional Indonesia; (16) Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (17) Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
3 METODE
Persiapan
penelitian
Perumusan dan
Pengumpulan data
penyusunan
proposal penelitian
Penyusunan
kuesioner Studi
Pustaka
Data
Data Sekunder
Primer
Pusat
Provinsi
Kabupaten
skala rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsi-eigen. Matrik
tersebut berciri positif dan berbalikan, yakni aij = 1/ aji
Issue /
Goal
Define Criteria
and Sub Criteria
Structure the
criteria into a
Hierarchy
Check the
consistency of
the evaluation
DECISION /
Alternative
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993)
seperti dalam tabel skala pendapat sebagai berikut:
Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat
dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative)
Maximum - n
CI =
n -1
CI
CR =
RI
Konsistensi
0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Random
(1) Kuadran pertama merupakan kondisi yang paling baik, dimana pemerintah
memiliki banyak peluang dan kekuatan, dan strategi yang paling sesuai
adalah Strategi Pertumbuhan (Growth Oriented Strategy) atau Strategi
Agresif (Agresif Strategy)
(2) Kuadran kedua merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
kekuatan, akan tetapi kondisi lingkungan kurang menguntungkan karena
banyaknya ancaman, sehingga strategi yang sesuai adalah Stragegi
Divesifikasi (Diversification Strategy)
(3) Kuadran ketiga merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
peluang, akan tetapi tidak didukung kekuatan sehingga strategi yang
digunakan adalah Strategi Mengubah Haluan (Turn Around Strategy)
(4) Kuadran keempat merupakan kondisi yang paling tidak menguntungkan
dimana pemerintah memiliki banyak kelemahan dan ancaman sehingga
strategi yang sesuai adalah Strategi Bertahan (Defense Strategy)
53
3.4.3 Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum (Diagnosis and Therapy Analisys
of Law)
Permasalahan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi
terjadinya disharmoni hukum pengelolaan, dicerminkan oleh adanya faktor-faktor
sebagai berikut:
(1) Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku
untuk pengelolaan wilayah pesisir.
(2) Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan
wilayah pesisir.
(3) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang pengelolaan
wilayah pesisir.
(4) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders
sumber daya alam wilayah pesisir.
(5) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang
pengelolaan pesisir.
(6) Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum.
(7) Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan
kepentingan.
(8) Penerapan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat
kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost - diffused
benefit, diffused cost - concentrated benefit, concentrated cost - diffused
benefit, dan concentrated cost - concentrated benefit.
TINDAKAN
COASTAL
PROBLEMATIC
PENGELOLAAN PENEGAKAN
KEBIJAKAN SUMBERDAYA HUKUM
TERPADU
PENGAKUAN COMMUNITY
KEARIFAN LOKAL PENDANAAN BASED
MANAGEMENT
Sebagai tujuan investasi, provinsi ini juga memiliki berbagai sarana dan
prasarana penunjang diantaranya kawasan industri Bitung Industrial Estate yang
terletak di Bitung-Sulawesi Utara, Bandara Sam Ratulangi di Manado, Bandara
Naha Natuna di Kepulauan Sangihe, Bandara Melonguane di Kepulauan Taulud
dan Bandara Mopait di Bolaang Mongondow serta memiliki Pelabuhan UKI dan
Kotabunan, Pelabuhan Belang, Pelabuhan Tahuna, Pelabuhan Ulu Siau,
Pelabuhan Petta, Pelabuhan Manado, Pelabuhan Marore dan Pelabuhan Bitung.
Klaster Sangihe berada pada posisi geografis 30 17’ – 30 59’ LU dan 1250
20’ – 1250 50’ BT dengan luas mencapai + 702,27 km2 atau 69,33 % luas wilayah
kabupaten secara keseluruhan menjadikan klaster Sangihe sebagai terbesar dari
enam klaster yang ada. Klaster Sangihe merupakan klaster utama sebab pada
klaster ini terdapat pusat pemerintahan kabupaten serta fasilitas-fasilitas yang
berfungsi primer karena melayani seluruh kebutuhan penduduk kabupaten baik
dari sektor ekonomi (perdagangan dan jasa), sektor transportasi (darat, laut dan
udara), sektor pendidikan, sektor pertanian-perkebunan, sektor perikanan, sektor
kesehatan dan sektor pertahanan dan keamanan. Pusat kegiatan ini klaster terletak
di Tahuna yang juga merupakan ibukota kabupaten, pada klaster ini terdapat 10
wilayah administrasi kecamatan dan keterhubungan dengan pusat klaster pada
umumnya dilayani oleh angkutan darat.
63
April 2002. Secara administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2005
terbagi dalam 24 kecamatan.dengan jumlah desa dan kelurahan berjumlah 197
desa dan 26 kelurahan. Wilayah administrasi dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah.
4.1.1.3 Kependudukan
4.1.2.3 Kependudukan
investasi ini adalah berasal dari sektor Pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten),
swasta dan masyarakat.
Sasaran pendapatan per kapita dalam bentuk PDRB per kapita pada tahun
2005 adalah sekitar Rp. 3.803.188 – Rp. 3.970.083, dan diproyeksikan akan
meningkat setiap tahun sehingga dapat mencapai sekitar Rp. 4.370.966 – Rp.
4.965.334 pada tahun 2009. Proyeksi ini didasarkan pada angka perkiraan laju
pertumbuhan penduduk Kabupaten Kepulauan Talaud adalah sekitar 1,65 persen
per tahun selama periode tahun 2005 – 2009.
Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang ditargetkan ini diharapkan
akan dapat memperluas lapangan kerja secara berarti, sehingga meningkatkan
penyerapan dan pemanfaatan tenaga kerja di daerah, termasuk penyerapan tenaga
kerja perempuan.
Tabel 11 Sasaran Pertumbuhan Beberapa Indikator Makro Ekonomi Kabupaten
Kepulauan Talaud 2005 – 2009
Umum 2002 2005 2006 2007 2008 2009
1. Pertumbuhan
Ekonomi (%) 3,66 6,0 6,5 7,0 8,0 8,5
besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum dikelola, dan sebagian lagi
merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung yang memiliki nilai sebagai
world heritage yang perlu dijaga dan dilindungi.
Potensi pulau-pulau terluar di perbatasan laut cukup besar dan bernilai
ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Sangihe dan
Talaud misalnya, dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi dan kawasan
wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula
pulau yang memiliki potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, tidak seluruh
pulau dapat dikembangkan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan.
Provinsi Sulawesi Utara memiliki 11 (sebelas) pulau-pulau terluar dan yang
sangat strategis dan berbatasan langsung dengan negara Filipina dan dihuni oleh
manusia yaitu Pulau Miangas dan Pulau Marore. Pulau-pulau yang tidak dapat
dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu atau pulau karang dengan luasan
yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal seperti Pulau Batubawaikang
di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Secara umum, pulau-pulau kecil terluar menghadapi permasalahan yang
hampir serupa satu sama lain. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar merupakan
pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki infrastruktur
yang memadai.
dominasi oleh jenis ikan sebesar 9.776,6 ton atau sebesar 98,19 persen.
Perikanan darat meliputi perairan umum, tambak, budidaya kolam, keramba dan
sawah. Produksi perikanan darat tercatat hanya dari budidaya kolam sebesar 7,03
ton. Di Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat Pelabuhan Perikanan Dagho
yang terletak di Kecamatan Tamako yang telah memproduksi Es 20 Ton / hari
untuk mensuplai kapal-kapal perikanan yang menangkap ikan di daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
Subsektor perikanan mampu menjadi basis dari tahun 2002 sampai tahun
2007 saja. Di tahun 2008 subsektor perikanan ini memiliki pertumbuhan yang
berarti dan tapi hanya mampu memenuhi kebutuhan Kabupaten Kepulauan Talaud
saja dan tidak mampu mengekspor ke daerah lain. Namun bila dilihat secara rata-
rata dari tahun 2002 sampai tahun 2008 subsektor perikanan memiliki nilai rata-
rata sebesar 1,05. Hal ini berarti secara rata-rata subsektor perikanan mampu
menjadi subsektor basis.
Wilayah laut di Kabupaten Kepulauan Talaud yang lebih dari 90 persen
dari seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud menjadikan subsektor
perikanan berrpotensi untuk berkembang lebih optimal lagi. Namun sama halnya
dengan subsektor perkebunan, subsektor perikanan di Kabupaten Kepulauan
Talaud, juga masih merupakan perikanan tradisional. Data terakhir BPS
menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan masih menggunakan perahu jukung
(tanpa motor) dan pump boat (motor tempel), bahkan sebagian besar rumah
tangga perikanan tidak menggunakan perahu dalam menangkap ikan. Subsektor
perikanan di Kabupaten Kepulauan Talaud meliputi penangkapan ikan di laut dan
budidaya ikan di laut. Secara umum tampak bahwa perekonomian Kabupaten
Kepulauan Talaud masih bercirikan ekonomi tradisional dimana sektor pertanian
masih menjadi andalan di daerah.
74
Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut,
begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang
semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat
diakibatkan karena :
(1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan
peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk
mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan
bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh
76
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun,
pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
intenasional.
(2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat
pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan,
padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat
dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu,
adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal
fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang
perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus
yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan
kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.
(3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing
secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi
yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada
kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang
dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata
sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing
terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari
5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.
(4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing
para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di
Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan
masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi
izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya
penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap
kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.
77
(5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media
massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus
illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang
berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan
bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa
lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap
16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana
kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak
memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.
(6) Kurangnya koordinasi antar-Kementerian yang terkait dalam mengatasi
masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari
tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah
Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama
antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam
menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC.
Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling
melempar tanggung jawab.
(7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal
fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas
sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya
Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan
Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali
dapat diminimalkan.
mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang
ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13
tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu
karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15
persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari
pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana
yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.
oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari.
Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil
terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara
lain antara lain Pulau Miangas (05°34'02"U 126°34'54"T / TD.056 TR.056 antara
TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056A-
TD.057A = 57.91 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04°44'14"U
125°28'42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan
TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus
Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04°44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak
TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau
Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi.
Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur
28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai
bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban
manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang
dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar
negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya
termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Salah satu hal
penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah
yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah
negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas
maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga,
baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).
Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis
dengan peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, merupakan
landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara.
82
5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia
Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan
dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan
nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil
amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit
mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar
harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena
itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa
Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen)
disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan
86
eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa
pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.
Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA,
Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang
tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang
udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan
tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3
menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:
Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa
perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah
negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu :
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi
eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan
dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan
negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan
negara yang bersangkutan.
Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa :
Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak
terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau
garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik
terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara
tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia termaksud.
Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di
dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang
landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas
kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling
berdampingan dengan Indonesia.
wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan
kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.
Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup
kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan
dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah
atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan
olehnya.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihan-
perselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini
mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen
94
1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS
1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS 1982. Meskipun pengaturannya
hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982
dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab.
substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS 1982. Bahkan
dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex
specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut
beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam
UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE.
Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam
Pasal 4 UU ZEE.
(2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE
(3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures
(4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research)
Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi
(Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula
dalam pasal 4 UU ZEE.
UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan
wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau
buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban
memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE
mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara
di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan
dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61.
Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS
1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut
melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun
mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap
mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti
rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE.
Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan
UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan
negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur
perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme
penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara.
Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan
wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur
perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan
mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS 1982.
Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu
ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme
ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan
97
(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi
dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di
batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang
sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,
(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir,
air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan.
Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi
tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman
hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui
fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data
dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya.
Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan
masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga
swadaya masyarakat dan masyarakat lokal.
(2) Fungsi Sosial Budaya
Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih
mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan
kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional
yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang
berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan
budaya untuk membendung masuknya budaya asing.
(3) Fungsi Sosial Politik.
Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan
pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian
dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat
pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.
(4) Fungsi Sosial Ekonomi
Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem
dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus
diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh
ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan
100
5.7 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS
Tahun 1982
Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat
yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi
kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana
pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih
menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan.
Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi
kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa
dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional.
Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi
hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan
laut oleh berbagai negara. Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan
besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling
berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun
yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah
secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan
nasionalnya.
102
5.8.1 Perikanan
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa
pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku
usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan
ketersediaan sumber daya ikan.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
Negara, dan hak–hak berdaulat.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam
sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada
tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,
khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan
keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang
beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain
sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.
Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE
ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan
beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik
kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya
dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang
111
berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap
sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul.
bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat
merusak sediaan terkait.
Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara
tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar
bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua
negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan
dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan Undang-
Undang.
ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat
tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Era globalisasi saat ini yang berciri perdagangan bebas serta dilengkapi
sistem komunikasi dan informasi tanpa batas, dapat mengakibatkan penduduk
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan menjadi lebih dekat serta lebih
menguntungkan jika berhubungan dengan negara-negara lain dibandingkan
dengan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melingkupinya. Hal ini juga harus
117
Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia".
Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut yang
berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya dengan
batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sedangkan
yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk hak-hak
berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia (Pasal
4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-Undangan landas Kontinen
Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara
tetangga dan ketentuanketentuan hukurn internasional yang berlaku. Hal yang penting
lainnya adalah ketentuan yang menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi
Eksklusif dengan negara tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 )
yang berbunyi:
(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar
hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian
sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea, pada
Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal
299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian
dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir.
Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir
mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang
bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas zona
ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya
untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negara-
negara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa terakhir
ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat internasional.
Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada
Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani
suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-batas
Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini
merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin
122
Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua negara
tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulau-
pulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut :
ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.
Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang
lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas
daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90% sumber-
sumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas
keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang
ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat pada
ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk
menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua
Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai
mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber daya
alam yang terdapat di ZEE tersebut.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai
menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,
123
konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang
bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal
eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara
negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu
mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.
Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86
Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan melalui
suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan
yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang bersangkutan
wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya
dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang merinci datum
geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atas garis-garis penetapan batas
tersebut. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau
daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
124
Dari rumusan Pasal ini dapat diartikan bahwa negara pantai di ZEE
mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di perairan di atas laut, dasar
laut dan tanah di bawahnya.
Dasar laut dan tanah di bawahnya pada jarak 200 mil laut adalah juga
merupakan daerah landas kontinen. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas
mana yang termasuk bagian ZEE atau landas kontinen dapat kita lihat dalam
ketentuan Pasal 56 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: "Hak-hak yang tercantum
dalam Pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus
dilaksanakan sesuai dengan Bab VI"
Pada bab VI Konvensi ini dalam Pasal 76 ayat (1) dikatakan landas
kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang
kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga
suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur,
dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4) yang
berbunyi sebagai berikut:
"Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber
kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut
dan tanah dibawahnya, bersama dengan organisasi hidup yang tergolong
jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat
dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau dibawah dasar laut atau
tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan
dasar laut atau tanah di bawahnya".
Menurut Pasal ini bahwa jenis ikan sedenter yang terdapat di ZEE
termasuk sumber kekayaan hayati dasar laut pengaturannya tunduk pada
ketentuan landas kontinen.
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.
Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina
Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic
exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond
and from the baselines from which the territorial sea is measured.
Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan
sebagai berikut:
"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".
Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12 mil
laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut dikurangi
lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut.
Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara
pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah ditetapkan
dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi Ekslusif
Negara pantai mempunyai :
127
"(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan,
(ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut"
dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan
perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE
tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini merupakan
suatu konsepsi hukum internasional yang diakui.
Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori dan
praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang
memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi
berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan persetujuan.
Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum internasional tentang
penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana yang tercermin dalam
Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya
saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona
Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
131
Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan
dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum
nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan
metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan
dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas,
sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang
ada.
tersebut diperkuat kewibawaannya, paling tidak untuk Asia Selatan dan Tenggara
dan Pasifik Barat Daya.
bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara) perlu diadakan
penetapan batas-batasnya.
(1) Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam
penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi
keadilan yang dilibatkan.
(2) Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari
hukum internasional.
(3) Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga,
harus menghasilkan prinsip solusi yang adil.
(4) Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan
penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan.
jawab kepada publik dan menegakkan hukum (Turner and Hulme, 1997).
Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong
pengambilan keputusan secara lebih dewasa.
Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum
dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk
sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan
memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan
memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam
masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi
pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat.
Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan
perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi
semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan (Botchway, 2001).
Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan.
Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan
berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian,
setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak
mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat
dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan
menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia.
Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun
golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak
semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan
harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang
jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun.
Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang
menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ―Dalam membentuk peraturan
perUndang-Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan
perUndang-Undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
141
(8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik
untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain
dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam
suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai
struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial
(Clark, 1996).
Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal,
termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan
khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut (coastal waters),
yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan
pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12
mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan
tersebut. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan
sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut.
Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama,
dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas
tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah
dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah . Hal ini termasuk dalam hak-hak
pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hak-
hak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu
daerah.
Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi
Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berada di luar batas 12
mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan
kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, (Pasal 2
(3) (2) (a)), Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi,
memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di
perairan itu.
yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di
tetapkan pada tahun 2007. Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undang-
Undang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu
pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga
saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten
yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib
melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah
pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan
cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir.
Oleh karena sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir
disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang baru ditetapkan.
Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara
didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan
peraturan perUndang-Undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun
mekanisme dalam menggulirkan prosesnya. Sehingga, diharapkan akan
memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses
penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara.
153
strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa kelautan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
(2) Posisi geografis yang cukup strategis.
Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena
berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan kawasan
pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar bagi
Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Posisi
yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan keamanan
negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka pembangunan
pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.
(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau
kecil terluar.
Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya
program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian
dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil.
undangan yang sudah diberlakukan maka perlu dilakukan evaluasi eksternal atas
implementasi kebijakan berdasarkan penerapannya.
ANCAMAN
(9) Belum ada penetapan batas laut yang 0.113 1.733 0.197
disepakati bersama (ZEE)
(10) Masih lemahnya respon pengawasan 0.126 1.733 0.218
perbatasan laut antar negara
(11) Adanya konflik kepentingan antar
stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau 0.099 2.000 0.199
kecil terluar.
0.613
Total 1 2.339
Tinggi I II III
3,0
Total Skor EFE
Menengah IV VI
2,0 V
Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti
pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat
ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Salah
satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan
sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara
Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan
pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat
kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan
sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan
secara kontinu.
165
Peluang (O) SO WO
Kebijakan nasional
mendorong investasi (O1) Pelaksanaan program Pembangunan sistem dan
10 Kebijakan pemerintah dalam Pengelolaan SDA dan jasa sinergi kelembagaan
pemberian otoritas lingkungan kelautan pengelolaan pulau-pulau
pengelolaan wilayah (O2) (S1,S3, O1,O2,O3) kecil terluar (W4,O6)
11 Meningkatnya kebutuhan
pasar lokal dan internasional Penetapan Batas wilayah Pembangunan Sarana
terhadap hasil sumber daya yang disepakati Indonesia dan Prasarana Wilayah
alam (O3) dan Filipina (S2, O4, O5) (W1-3,O1-3)
12 Konvensi Internasional
terhadap hukum laut Peningkatan kerjasama Peningkatan kekuatan
Indonesia (O4) bilateral dan Internasional sistem pendanaan (W5,
13 Kerjasama bilateral antara (S2, O4, O5) O1)
Indonesia dengan negara
tetangga (O5) Penataan ruang wilayah
14 Kebijakan pemerintah untuk pulau-pulau kecil terluar di
membentuk kelembagaan Provinsi Sulawesi Utara
dalam pengelolaan pulau- (S1,S2, O1-3)
pulau kecil terluar (O6)
Ancaman (T) ST WT
15 Belum ada penetapan batas Penetapan Batas wilayah Perumusan Hukum dan
laut yang disepakati bersama yang disepakati Indonesia Peraturan Pengelolaan
(ZEE) (T1) dan Filipina (S2, T1, T2) Pulau-Pulau Kecil
16 Masih lemahnya respon Terluar (W6,T2)
pengawasan perbatasan laut
antar negara (T2) Peningkatan
17 Adanya konflik kepentingan Keterpaduan antar
antar stakeholder dalam stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil pengelolaan pulau-pulau
terluar (T3) kecil terluar (W4, T3)
Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut
pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya pemanfaatan
sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau untuk kesejahteraan
manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan datang. Kegiatan-kegiatan
tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan
berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini bencana alam, manajemen
kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang pesisir secara terpadu,
pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir, pengendalian
pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem mangrove, rehabilitasi
ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi
laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan laut.
168
5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2,
O4, O5)
Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu
ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang
belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar
yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama
penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan
kesejahteraan.
Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi
Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi
internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan yang
besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak
kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona
maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.
Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan
peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama
bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian
garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.
perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk
yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan
Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri,
sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam.
Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan
kementerian yang lain.
Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut
mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu
bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi
sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien.
5.26 Kriteria
Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun , kriteria yang ada di ukur dengan
membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam menunjang
tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara level 2 yaitu
factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan, kelembagaan
dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum pesisir,
dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya alam -
sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan, atau
kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub faktor
hirarki.
analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan
pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 16 dan hasil
prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20
bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya
permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, baik dari sisi
eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal, permasalahan hukum
yang terkait dengan negara tetangga adalah belum adanya penetapan batas negara
antara Indonesia dengan Filipina khususnya untuk pemanfaatan potensi pulau-
pulau kecil terluar.
Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih
kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum
menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber
daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum
merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan kewenangan
kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin sistem dan
mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif.
(2) Prioritas elemen strategi
Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar
dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi
Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut pemerintah,
[2]rancangbangun hukum menurut akademisi, [3]rancangbangun hukum
menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun hukum menurut penataan
batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun hukum menurut budaya lokal.
Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil analisis strategi dalam AHP dari
beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice dapat
dilihat pada Tabel 15 dan hasil prioritas elemen alternatif strategi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 18 dan analisis alternatif strategi pada Gambar 22
178
Gambar 23 RBH
181
3A 3B 3C
Program Pengelolaan Pelaksanaan program Pelaksanaan Pelaksanaan
SDA dan jasa kurang mendukung program tetap atau program berjalan
lingkungan kelautan kelestarian sumber statis efektif dan efisien
daya alam
4A 4B
Sinergi kelembagaan Tetap dalam arti Semakin kuat dan
masih adanya efektif dalam
tumpang tindih menjalankan
wewenang dan antar masing-masing
lembaga kurang perannya
bersinergi dalam
mencapai tujuan
5A 5B 5C
Sistem pendanaan Semakin lemah Tetap Semakin kuat
karena tidak adanya
keseriusan dalam
pengontrolan dana
6A 6B 6C
Hukum dan Peraturan Gagal karena Tetap Mendukung dalam
Pengelolaan kesadaran hukum penyelenggaraan
masih rendah pengelolaan
7A 7B
Penataan ruang Tetap Mendukung dalam
wilayah penyelenggaraan
pengelolaan
8A 8B 8C
Sarana dan Prasarana Memberikan dampak Tetap dalam arti Semakin
Wilayah negatif terhadap tidak berpengaruh meningkatkan
aspek sosial dan aksesbilitas yang
ekonomi masyarakat memberikan
karena dampak positif
ketidakbijakan dalam terhadap aspek
pemanfaatan sarana sosial dan ekonomi
dan prasarana masyarakat
tersebut
9A 9B 9C
Keterpaduan antar Semakin buruk Tetap Semakin terpadu
stakeholder karena tidak adanya karena adanya
prinsip keterbukaan prinsip
dan tingkat keterbukaan dan
kepercayaan peran serta antar
masyarakat yang stake holder dalam
rendah terhadap pengelolaan
pemerintah
183
Secara total, hasil kuisioner dari semua expert yang sudah dimasukan
dalam expert choice 2000 dapat dilihat dalam Table 23
Tabel 23 Hasil analisis AHP total
SUMBER
DAYA
ALAM 0.190 0.175 0.190 0.232 0.198
SOSIAL
EKONOMI 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
6 DPR - RI PENDANAA
N 0.222 0.157 0.194 0.283 0.145
HUKUM 0.189 0.196 0.233 0.233 0.149
KELEMBAG
AAN 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
SUMBER
DAYA
ALAM 0.221 0.186 0.206 0.201 0.185
DPRD SOSIAL
SULUT EKONOMI 0.174 0.194 0.205 0.234 0.194
7 PENDANAA
N 0.224 0.198 0.224 0.224 0.131
HUKUM 0.219 0.219 0.219 0.240 0.102
KELEMBAG
AAN 0.246 0.107 0.222 0.257 0.169
SUMBER
DAYA
ALAM 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.210 0.171 0.252 0.241 0.118
8 INDONESIA PENDANAA
N 0.258 0.101 0.178 0.247 0.137
HUKUM 0.252 0.14 0.223 0.252 0.126
KELEMBAG
AAN 0.186 0.199 0.191 0.257 0.167
SUMBER
DAYA
ALAM 0.247 0.160 0.255 0.212 0.117
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.165 0.170 0.202 0.259 0.203
9 FILIPINA PENDANAA
N 0.232 0.152 0.233 0.193 0.200
HUKUM 0.229 0.190 0.207 0.203 0.171
KELEMBAG
AAN 0.221 0.185 0.206 0.201 0.186
SUMBER
DAYA
ALAM 0.224 0.160 0.302 0.187 0.127
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.193 0.155 0.163 0.297 0.193
10 SULAWESI
PENDANAA
UTARA
N 0.259 0.149 0.196 0.225 0.171
HUKUM 0.21 0.109 0.252 0.252 0.169
KELEMBAG
AAN 0.253 0.149 0.199 0.231 0.168
SUMBER
DAYA
ALAM 0.167 0.148 0.295 0.195 0.295
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.211 0.105 0.160 0.340 0.176
KAB. PENDANAA
11 KEPULAUAN
N 0.219 0.184 0.197 0.202 0.176
SANGIHE
HUKUM 0.255 0.177 0.22 0.225 0.253
KELEMBAG
0.194 0.194 0.161 0.257 0.194
AAN
187
SUMBER
DAYA
ALAM 0.226 0.192 0.182 0.226 0.174
PEMERINTAH SOSIAL
KAB. EKONOMI 0.189 0.189 0.233 0.228 0.161
12 KEPULAUAN PENDANAA
TALAUD N 0.221 0.186 0.201 0.206 0.185
HUKUM 0.250 0.162 0.216 0.227 0.138
KELEMBAG
AAN 0.219 0.186 0.168 0.320 0.107
SUMBER
DAYA
ALAM 0.187 0.286 0.221 0.160 0.146
SOSIAL
EKONOMI 0.225 0.255 0.220 0.177 0.153
13 AKADEMISI PENDANAA
N 0230 0.236 0.192 0.192 0.150
HUKUM 0.226 0.226 0.156 0.229 0.160
KELEMBAG
AAN 0.225 0.225 0.194 0.208 0.149
SUMBER
DAYA
ALAM 0.194 0.174 0.205 0.234 0.194
SOSIAL
EKONOMI 0.188 0.188 0.208 0.208 0.208
14 INVESTOR PENDANAA
N 0.167 0.167 0.200 0.205 0.261
HUKUM 0.217 0.166 0.206 0.206 0.206
KELEMBAG
AAN 0.169 0.298 0.232 0.235 0.166
SUMBER
DAYA
ALAM 0.232 0.198 0.175 0.198 0.198
SOSIAL
TOKOH ADAT / EKONOMI 0.183 0.195 0.209 0.162 0.232
15 MASYARAKAT PENDANAA
N 0,216 0.121 0.24 0.288 0.134
HUKUM 0.229 0.203 0.190 0,207 0.171
KELEMBAG
AAN 0.186 0.164 0.204 0.211 0.235
5.30 Sintesis
Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi prioritas
dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah
188
rancangbangun hukum yang optimal dan sesuai dengan potensi sumber daya yang
ada dan ditunjang oleh semua aspek penunjang pelaksanaanya.
Metode yang dipakai untuk mencapai sasaran atau tujuan menggunakan
metode AHP, sasaran atau tujuan dalam analisis AHP merupakan bagian penting
sehingga sedemikian rupa ditempatkan paling atas pada susunan hirarki AHP.
Sasaran ini menjadi acuan secara langsung bagi kriteria faktor. Kriteria ini
diperlukan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan yang
berupa penetapan prioritas strategi. Elemen-elemen sasaran, kriteria, dan strategi
tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Konservasi
Undang- Undang
Perikanan
Undang- Undang
Pemerintahan Daerah
Undang- Undang
Wilayah Negara
Undang- Undang
Sumberdaya Alam
Undang- Undang
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
13 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan
14 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan
15 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman
16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Jalan
17 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan
18 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan
Tumbuhan
19 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran
20 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan
21 Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang
22 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan
23 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Tanah beserta
Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah.
24 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
25 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 Pangan
26 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian
27 Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
28 Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pajak
29 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
30 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup
31 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
32 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
33 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan
Nepotisme
35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
37 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi
38 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan
39 Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian
40 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
41 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan
42 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
43 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak Bumi
44 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan
45 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara
46 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
47 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung
48 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara
49 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi
50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
198
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
51 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman
52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air
53 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum
54 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Negara
55 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
56 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan
57 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 Kehutanan
56 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
59 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan
60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
61 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
62 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang
63 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
64 Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara
65 Peraturan Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Pemerintah Nasional
66 Peraturan Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air dan
Pemerintah Pengendalian Pencemaran Air
67 Peraturan Nomor 82 Tahun 2001 Pengendalian Pencemaran Dan/Atau
Pemerintah Perusakan Laut
68 Keputusan Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung
Presiden
69 Keputusan Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-
Menteri pulau Kecil yang berkelanjutan dan
Kelautan dan Berbasis Masyarakat
Perikanan
70 Keputusan Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan
Menteri Pengelolaan Pesisir Terpadu
Kelautan dan
Perikanan
71 Peraturan Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-
Pemerintah Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia
72 Peraturan Nomor 37 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
73 Peraturan Nomor Per.16/Men/2008 Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Menteri Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kelautan
74 Peraturan Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Presiden Terluar
75 Peraturan Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Presiden
76 Peraturan Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Daerah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
Kabupaten
77 Peraturan Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Daerah Provinsi Laut Terpadu Berbasis Masyarakat
199
undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-
undangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Teknik Pembuatan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundang-
undangan, sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi
prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
dicantumkan dalam dasar hukum ―mengingat‖.
Pembuatan atau prosedur pembuatannya apabila tidak benar atau
menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam
Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk undang-undang) dan Tata tertib DPRD
(untuk Peraturan Daerah) serta prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 dan undang-undang Pemerintahan Daerah (bagi Perda),
maka undang-undang dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh
oleh Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang) atau oleh Mahkamah Agung
(untuk Peraturan Daerah).
Berdasarkan pemahaman di atas maka Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan untuk:
(1) Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Undang-Undang (UU) adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari Presiden/Pemerintah), Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari DPR);
(3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Pasal 22
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
203
(4) Peraturan Pemerintah (PP) adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(5) Peraturan Presiden (Perpres) adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(6) Peraturan Daerah (Perda) adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
berkaitan dengan TAP MPR karena MPR tidak akan mengeluarkan lagi TAP
MPR yang mengikat ke luar sebagai jenis peraturan perundang-undangan.
Kebijakan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di perbatasan negara pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 dalam Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739.
Mengenai berapa lebar laut yang dapat dikuasai (laut wilayah) oleh suatu
negara menurut Bynkerhoek seorang sarjana Belanda, mengatakan, sampai di
mana kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan
selebihnya adalah bebas untuk dinikmati seluruh umat manusia. (Kusumaatmadja
1979 dan Hasjim. 1979).
Keterbatasan personil pada unit kerja di Pulau Miangas dan Pulau Marore
menyebabkan unit kerja kurang responsive dan harus selektif dalam penyelesaian
masalah keamanan dan konflik kepentingan yang sering terjadi. Konflik yang
sering terjadi di perbatasan adalah nelayan Filipina yang memasuki wilayah
perairan Indonesia, dan penyelundupan barang-barang yang dilakukan oleh
nelayan dan pelintas batas.
210
(4) Alternatif membentuk sebuah organisasi antar instansi baru yang dipimpin
oleh Presiden. Alternatif ini sama dengan alternatif 3, hanya saja Presiden
akan memimpin langsung organisasi baru ini. Kelebihan pilihan ini adalah
bahwa ada kewenangan yang jelas di atas para menteri, yang dapat
mengambil tindakan lintas sektoral. Kekurangannya, organisasi ini
mungkin tidak dapat menangani persoalan-persaolan yang lebih kecil
karena profilnya terlalu tinggi.
yang lebih dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau : atur
dan awasi (ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki:
(1) Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran;
(2) Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan
pasti (swift & sure responses);
(3) Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam
memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect).
5.53 Kelembagaan
Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah
pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan
kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan
proses untuk tiga jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai
pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1) koordinasi antara pemerintah
dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai
sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan pemerintahan akan
memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya pesisir di
Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara
khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat
keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi
tersebut mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu
didirikan organisasi yang baru sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
228
5.53.2 Mekanisme daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil
sebagai pelaksanaan otonomi daerah
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan peluang bagi
pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Untuk itu dibutuhkan
komitmen dan peran serta stakeholdes di daerah baik di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan desa-desa, untuk bersama-sama aktif mengatur dan menjaga
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta meminimumkan
munculnya konflik kewenangan dan pemanfaatan yang selama ini seringkali
muncul di wilayah pesisir.
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut
kewenangan pemerintah dan masyarakat daerah di wilayah pesisir, adalah
implementasi dari komitmen tadi sekaligus menjadi dasar bagi pengaturan
pengelolaan wilayah pesisir daerah. Peraturan daerah penting pula agar ada arahan
fungsi dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut daerah.
231
landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah meratifikasi UNCLOS
1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia (2004).
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan
himpunan.
(2) Hasil analisis menunjukkan bahwa penetapan batas wilayah menjadi prioritas
utama dan dengan meningkatkan konsultasi regional dalam bidang ekonomi
negara tetangga, serta meningkatkan intensitas pertemuan bilateral antar kedua
negara (Indonesia dan Filipina), untuk mencari titik temu posisi titik dasar dan
titik referensi di laut, sebagai acuan batas dalam peta wilayah negara, kemudian
hasil kesepakatan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara mempunyai tingkat kerawanan
terhadap pertahanan dan keamanan negara, terutama terhadap kejahatan
transnasional, namun fasilitas untuk menunjang sistem pengawasan masih
kurang terutama sarana dan prasarana, termasuk personil yang terlatih khusus
untuk menangkal aktivitas ancaman masuknya terorisme dan perdagangan
illegal seperti senjata dan bahan makanan.
(4) Kondisi sosial ekonomi masyarakat masih tergantung pada hasil sumberdaya
alam yang tersedia, sedangkan dalam musim-musim tertentu masyarakat
terperangkap tidak bisa keluar dari pulau akibat cuaca dan musim gelombang
laut yang tinggi. Sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kebutuhan
pangan harus di suplai dari negara tetangga karena jarak antar pulau terluar dan
pulau ibukota kabupaten sangat jauh.
(5) Pelintas batas masih terus berlangsung karena hubungan kekeluargaan yang
sudah terjalin sejak dahulu, sehingga para pelintas batas terutama masyarakat
Pulau Marore dan Pulau Miangas yang telah kawin-mawin dengan penduduk /
masyarakat Filipina hingga saat ini tetap melakukan perkunjungan. Ketidak
mampuan pemerintah daerah untuk memulangkan masyarakat Indonesia yang
tinggal di Pulau Mindanao, karena penghasilan mereka lebih memadai dan lebih
banyak apabila dibandingkan dengan hasil pendapatan apabila bekerja di pulau-
pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
(6) Karena penetapan kembali batas (delimitasi) ZEE sebagai konsep yang
dikembangkan oleh negara-negara kepulauan sejauh 200 mil yang menjadi hak
yurisdiksi belum ada kesepakatan, maka konsultasi bilateral dapat dilaksanakan
245
6.2 Saran
Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
(1) Praktek illegal fishing sangat merugikan masyarakat nelayan setempat dan
nelayan kapal perikanan Indonesia. Oleh karena itu perlu peningkatan
pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak TNI AL dan TNI AU termasuk
peran serta pemerintah daerah dan masyarakat lokal.
(2) Menjaga kerukunan kekeluargaan antara masyarakat lokal pulau-pulau terluar
dengan masyarakat lokal Pulau Mindanao dan sekitarnya yang telah menetap
di Filipina, dengan mengindentifikasi jumlah dan status kewarganegaraan. Hal
ini diperlukan untuk mengetahui berapa jumlah warga, pekerjaan, dan status
kewarganegaraannya.
(3) Sebagai tindakan sementara menunggu ditetapkannya perjanjian batas wilayah
ZEE antara Indonesia dan Filipina, pemerintah Indonesia dan Filipina
memperketat penjagaan keamanan wilayah tersebut dari tindakan-tindakan
pelanggaran yang terjadi.
(4) Pemerintah Indonesia dan pemerintah Filipina menangani secara serius
mengenai status para warga negara yang berada atau tinggal di masing-masing
247
negara lain, dengan tanpa alasan yang sah. Tindakan ini akan mengurangi
kemungkinan terjadinya pelanggaran di wilayah masing-masing negara.
(5) Pelanggaran di wilayah ZEE tersebut sangat merugikan kedua negara, maka
jalan keluar atas kondisi tersebut adalah merintis kembali dilakukannya
pembahasan tentang penetapan batas ZEE oleh pemerintah Indonesia dan
Filipina.
(6) Apabila diperlukan untuk penyusunan naskah akademis dan rancangan
undang-undangan khusus tentang pulau-pulau di perbatasan negara dan
peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (KepMen), Peraturan Daerah (Perda)
dan sebagainya, sebagai payung hukum yang berlaku secara vertikal maupun
secara horizontal.
(7) Perubahan status hukum dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau Terluar menjadi Undang-Undang.
(8) Penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil terluar di perbatasan
negara harus berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal, dan tidak
mengacu pada peta elektronik yang disajikan lewat internet oleh Google yang
salah mencantumkan informasi nama pulau Miangas dalam peta, padahal
dalam peta seharusnya pulau Sarangani dan pulau Balut di Filipina (Gambar
12). Oleh karena itu perlu usulan perbaikan dari pemerintah supaya peta
elektronik dari perusahan Google di Amerika Serikat agar di perbaiki sesuai
yang benar, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari karena
data dan informasi yang salah.
(9) Status semua pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara di Provinsi Sulawesi
Utara dibuatkan Sertifikat khusus sebagai Pulau Negara.
248
DAFTAR PUSTAKA
Agoes ER. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.
Agoes ER. 2004. Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan. Jurnal
Hukum Internasional Marine Law Affair Vol.1 No.3 April 2004. Hal. 441-463.
Aqorau T. 2000. Illegal Fishing and Fisheries Law Enforcement in Small Island
Developing States: The Pacific Islands Experience. The International Journal of
Marine and Coastal Law. Vol 15, No 1 Kluwer Law International.
Arsana IMA. 2007. Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Gajah Mada University Press, Jogyakarta.
Axelrod RM. 1984. The Evolution of Cooperation. Basic Books, New York, NY.
Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.
Beller W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Island.
Unesco, Paris.
Bess R, Rallapudi R. 2007. Spatial conflicts in New Zealand fisheries: The rights of
fishers and protection of the marine environment,.Marine Policy 31 : 719–729
Billiana CS, Robert KW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management :
Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.
Botchway F. 2001. Good Governance: Th e Old, the New, the Principle, and the
Elements, Florida Journal of International Law, Vol 13, pp. 159, 161.
Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher
series. Vol. 5.
Churchill RR. and Lowe AV. 1991. The Law of The Sea. Manchester University
Press.
Clark JR. 1996. Coastal Zone Management. Handbook. Lewis Publishers. CRC Press
LLC. Boca Raton, Florida USA.
Dahuri R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB Bogor
Dahuri R. Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua Gajah Mada
University Press. Jogyakarta.
Erceg D. 2006. Deterring IUU fishing through state control over nationals. Marine
Policy 30 : 173–179
Eriyatno. 1996. Rekayasa Sistem Perencanaan Industri Kecil Hasil Pertanian dalam
Jurnal Teknologi Industri Petanian Volume VI Nomor 1 Hal. 1-50 Maret 1996.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajement. Jilid
Satu IPB Press. Bogor Indonesia.
Fanning L, ed. all. 2007. A large marine ecosystem governance framework. Marine
Policy 31 : 434–443
251
Freire J, Fernández L, Muiňo R. 2006. Role of the Spanish scientific community in the
initial assessment and anagement of the environmental damages caused by the
Prestige oil spill. Marine Policy 30 : 308–314
Ginting SP. 2006. Pengelolaan Perbatasan Laut, Prosiding Konferensi Nasional 2006
Pengelolaan Pesisir Lautan untuk meningkatkan Marwah Negeri, Dirjen
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP,
Griffith, Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.
Griggs L, Lugten G. 2007. Veil over the nets (unravelling corporate liability for IUU
fishing offences.) Marine Policy 31 : 159–168
Hamzah A. 1988. Laut Teriritorial dan Perairan Indonesia, Akademi Presindo Jakarta.
Harrison J. 2007. Judicial Law-Making and the Developing Order of the Oceans. The
International Journal of Marine and Coastal Law 22 : 283
Heazle M, Butcher JG.2007. Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards
a regional regulatory regime. Marine Policy 31 : 276–286
Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management, Routiedge. New
York.
Keyuan Z. 2005. Implementing The United Nations Convention on The Law of The
Sea in East Asia : Issues and Trends. Singapore Year Book of International Law
and Contributors.
Keyuan Z. 2008. Law of the Sea Issues Between the United States and East Asian
States. Ocean Development & International Law 39 : 69–93.
Koers WA. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut, Suatu.
Ringkasan. Penerjemah Rusi M, M.Rizki & Wahyuni Bahar, Gajah Mada
University Press.Yogyakarta.
Laporan Bupati Kepulauan Talaud, 2005. Gambaran Umum dan Isu Strategis
Kabupaten Kepulauan Talaud 2005 pada kunjungan kerja Menteri Perikanan dan
Kelautan 14 Desember 2005.
Lindsay JM. 2000. Creating Legal Space for Community Based Management:
Principles and Dilemmas, in Decentralization and Devolution of Forest
Management in Asia and the Pacific, ed. Th omas Enters, Patrick B. Durst and
Michael Victor, RECOFTC Report No. 18 and RAP Publication, 2000, Bangkok,
Thailand.
253
Luntungan R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya dengan
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.
Maarif MS. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial IPB
Press Bogor.
Marpaung L. 1993. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta.
Mauna B. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni Bandung.
Miclat EFB, Ingles JA, 2006. Dumaup JNB. 2006. Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean & Coastal
Management 49 : 597–609
Mikalsen KH, Hernes HK, Jentoft S. 2007. Leaning on user-groups: The role of civil
society in fisheries governance. Marine Policy 31 : 201–209
Monintja DR. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia : Suatu
Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor.
Nainggolan PP. ed. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia, Ancaman
terhadap Integritas Teritorial. Tiga Putra Utama. Jakarta.
Nakajima, T and M. Machida. 1990. Island in Japan. In W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management. Man and
Biopher series. Vol. 5.
Nikijuluw PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, P3R. PT. Pustaka
Cidesindo Jakarta.
Nikijuluw PH. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal.
PT. Pustaka Cidesindo Jakarta.
Patlis JM. Knight M and Benoit J.2003. in press. Integrated Coastal Management in
Decentralizing Developing Countries: The General Paradigm, the U.S. Model
and the Indonesian Example, The Ocean Yearbook, Vol. 17, U. Chicago Press,
Chicago, IL.
Patlis JM. 2005. The role of law and legal institutions in determining the
sustainability of integrated coastal management project in Indonesia. Ocean and
Coastal Management 48 : 450-467.
Patlis JM. Purwaka TM. Perdanahardja WGH, editor. 2005. Menuju Harmonisasi
Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan Coastal
Resources Management Project II [USAID]. Jakarta.
Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. 2008. Edisi Kedua Cetakan Pertama. IPB Press.
Bogor.
255
Perry RI, Sumaila UR. 2007. Marine ecosystem variability and human community
responses: The example of Ghana, West Africa. Marine Policy 31 : 125–134
Raakjær JN, Degnbol P, Kuperan KV, Ahmed M, Hara M, Nik Raja-Abdullah NM.
2004. Fisheries co-management an institutional innovation? Lessons from South
East Asia and Southern Africa. Marine Policy 28 : 151–160.
Rasjidi L. dan Wyasa PIB. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju.
Bandung.
256
Rayfuse R, Warner R. 2008. Securing a Sustainable Future for the Oceans Beyond
National Juridiction : The Legal Basis for an Integrated Cross-Sectoral Regime
for High Seas Governance for 21st Century. The International Journal of Marine
and Coastal Law 23 : 399-421.
Rutherford RJ, Herbert GJ, Coffen-Smout SS. 2005. Integrated ocean management
and the collaborative planning process: the Eastern Scotian Shelf Integrated
Management (ESSIM) Initiative. Marine Policy 29 : 75–83
Saaty TL. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont California : Lifetime
Learning Publications.
Saaty TL. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka
Binaman Pressindo Jakarta.
Sabarno 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Majalah Perbatasan Januari 2003.
Schrank WE. 2007. Is there any hope for fisheries management?. Marine Policy 31 :
299–307
Syahmin AK. 1988. Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum laut Internasional.
Binacipta. Bandung.
Tamtomo JP.2006. Analisis Pemenfaatan Ruang Pesisir dal Laut dalam kerangka
“Marine Kadaster” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan
Riau) Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB.
Valencia MJ, Danusaputro SM. 1984. Indonesia: Law of the Sea and Foreign Policy
Issues. Indonesian Guarterly. Vol. XII No. 4. p 486.
Vandeer Zwaag DL, Powers A. 2008. The Protection of the Marine Environment
from Land-Based Pollution and Activities: Gauging the Tides of Global and
Regional Governance. The International Journal of Marine and Coastal Law 23 :
423-452.
Verlaan PA. 2007. Experimental activities that intentionally perturb the marine
environment: Implications for the marine environmental protection and marine
scientific research provisions of the 1982 United Nations Convention on the Law
of the Sea. Marine Policy 31 : 210–216
Wila MRC. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, Penerbit PT Alumni Bandung.
Wolff M. 2009. (Edited). Propical Water and their Livinf Resources : Ecology,
Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.
259
Lampiran :
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
D. Hukum
261
E. Kelembagaan
A. SDA
262
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
D. Hukum
263
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
265
D. Hukum
E. Kelembagaan
266
B. Sosial Ekonomi
267
C. Pendanaan
D. Hukum
E. Kelembagaan
268
Responden 5. TNI AL
B. Sosial Ekonomi
269
C. Pendanaan
D. Hukum
270
E. Kelembagaan
Responden 6. DPR- RI
B. Sosial Ekonomi
271
C. Pendanaan
D. Hukum
272
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
273
C. Pendanaan
D. Hukum
274
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
275
C. Pendanaan
D. Hukum
276
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
277
C. Pendanaan
D. Hukum
278
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
279
C. Pendanaan
D. Hukum
280
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
D. Hukum
282
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
D. Hukum
284
E. Kelembagaan
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
286
D. Hukum
E. Kelembagaan
287
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
288
D. Hukum
E. Kelembagaan
289
B. Sosial Ekonomi
C. Pendanaan
290
D. Hukum
E. Kelembagaan
291
Sintesis
292
293
Sensitivity Analysis
a. Performa Sensitivity
B. Gradient Sensitivity
a. Berdasarkan SDA
-
294
Berdasarkan SOSEK
Berdasarkan Pendanaan
295
- Berdasarkan Hukum
Berdasarkan Kelembagaan
296
Akademisi vs other
304
Berdasarkan
305
306
Matriks Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Rancangbangun Hukum dalam
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
1 Wilayah UU Dasar Negara Tahun 1945 Perubahan Ke IV Wilayah Negara 1. Psl 25 A Keutuhan Wilayah Telah di tetapkan
Negara dan 2. Psl 33 ayat 3 Negara Kesatuan dalam UU No.
Sumberdaya Republik Indonesia 43/2008
Bumi dan air dn
Alam dan kekajaan alam yang
Lingkungan terkandung
didalamnya
dikuasai oleh
Negara dan
digunakan untuk
sebesar-besar
kemakmuran rakyat
2 Pengelolaan Perppu Nomor 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia Batas Negara Pasal 1 Penentuan batas Analis Historikal Tidak berlaku
Pulau Kecil Lajur laut Pasal 2 dalam Territoriale ttg berlakunya UU lagi, digantikan
dan Perairan Pasal 3 Zee en Maritime penentuan wilayah dengan UU No.6
pedalaman Pasal 4 Kringen laut 3 mil laut Thn 1996
Kelembagaan Ordonantie 1939
Mil laut
Peta (Stb. 1939.No.442)
Lalulintas psl1:1 tidak lagi
damai sesuai karena
membagi wilayah
daratan terpisah
dengan laut
3 UU Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok- Hak atas tanah, Pasal 14 ayat 1 Hak atas Air, Hak Hak Kepemilikan
Pokok Agraria Air dan ruang Pasal 16 pemeliharaan dan dan pemanfaatan
angkasa serta penangkapan ikan, tanah, air dan ruang
pendaftaran hak guna ruang udara
tanah angkasa
4 UU Nomor 1 Tahun 1962 Karantina Laut Pencabutan Pasal 1 huruf j Pelabuhan/kapal Pengaturan tentang
Quarantaine dan huruf k, kegiatan yang
Ordonantie dilakukan di Zona
(Stb.No.277Th Pasal 4 Terjangkitnya Tambahan
n 1911) Pasal 6 pelabuhan
PP No.53 Thn Pasal 7 Penggolongan
1959 ttg Pasal 14 Kapal dan
penyakit Pasal 20 Pelabuhan
karantina Karantina
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
5 UU Nomor 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan Peningkatan Pasal 1 Perjanjian bagi Menghilangkan
kesejahteraan hasil penangkapan usaha pemerasan
nelayan ikan antara nelayan dan ketidak adilan
Pembagian dan nelayan dalam pengelolaan
bagi hasil pemilik, nelayan perikanan
Pembentukan penggarap
koperasi
Usaha Pasal 2 Perikanan laut
Perikanan laut
dan darat
6 UU Nomor 11 Tahun 1967 Ketentuan Pokok Pemanfaatan Pasal 3 Penggolongan Pencemaran Tidak berlaku
Pertambangan sumberdaya Pasal 4 galian lingkungan lagi, digantikan
alam, usaha dan Pasal5 pertambangan oleh UU
kuasa No4/2009
pertambangan,
7 UU Nomor 8 Tahun 1971 Perusahaan Pertambangan Perekonomian, Pasal 1 Eksplorasi dan Pengelolaan SDA
dan Gas Bumi Negara pertahanan eksploitasi
keamanan
Perusahan Pasal 2
Pertambangan Pasal 11
8 UU Nomor 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia Kedaulatan Pasal 1 Eksplorasi SDA di Pemanfaatan SDA
atas Pasal 3 landas kontinen di Landas
sumberdaya Kontinern
alam
Instalasi Pasal 6-7
Pencemaran Pasal 8
Yuridiksi Yuridiksi Negara di
Landas Kontinen
9 UU Nomor 10 Tahun 1976 Pengesahan Perjanjian Pemberantasan Pasal 1 Kerjasama yang Perjanjian ekstradisi
Ekstradisi antara Republik Kejahatan Pasal 2 efektif dalam dan hubungan luar
Indonesia dan Republik Hubungan penegakan hukum negeri
dalam bidang dan pelaksanaan
Philipina peradilan dalam
ekstradisi
pemberantasan
kejahatan terutama
ekstradisi
10 UU Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana Pelaksanaan Pasal 1 Proses Penegakan Penegakan Hukum
Peradilan Hukum
Penyidik Pasal 4- Pasal 8
Penuntut Pasal 13-14
Umum
Hakim Pasal 26-27
Bantuan Pasal 16-25
Hukum Pasal 69
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Proses
Penegakan Pasal 77
Hukum
Pelaksanaan Pasal 270-276
Putusan
Pengadilan
11 UU Nomor 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Pemanfaatan Pasal 1- Hak berdaulat Hak Berdaulat di
Indonesia SDAlam Pasal 18 dan ZEE
Hayati pemanfaatan
Penelitian SDAH Pengakuan rezim
Ilmiah Kegiatan laut 200 mil laut
Hak Berdaulat pemanfaatan di berdasarkan
Ketentuan ZEE
Peralihan/ Pasal 19- 21 Penegakan
Penutup Hukum di
wilayah laut
perbatasan
negara
12 UU Nomor 9 Tahun 1985 Perikanan Pemanfaatan Pasal 1 Pengelolaan, Pengelolaan SDI di Tidak berlaku
SD Ikan Pemanfaatan, wilayah Laut lagi, digantikan
Wilayah Pasal 2 Pembinaa, oleh UU
Perikanan Pengembangan, No31/2004
Pengelolaan Pasal 3 Penyerahan
SDI urusan
pembantuan
13 UU Nomor 2 Tahun 1986 Peradilan Umum Menjamin Konsiderans Penegakan Hukun Proses Penegakan Perubahan ke-1 :
persamaan Hukum UU No 8/2004
kedudukan Perubahan ke-2 :
warga negara UU No 49/2009
dalam hukum
Peradilan dan
Hakim
Pasal 1-Pasal 6
Pasal 12
14 UU Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Menjamin Pasal 1 Penegakan Hukum Proses Penegakan Perubahan ke-1 :
Negara persamaan Pasal 2 Hukum UU No 9/2004
kedudukan Pasal 8 Perubahan ke-2 :
warga negara UU No 51/2009
dalam hukum
Peradilan dan Pasal 12
Hakim
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
15 UU Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Menjaga Pasal 1 Pelindungan Pelestarian
Alam dan Ekosistemnya pemanfaatan Pasal 6,7,8 pemanfaatan SDAE Lingkungan dan
sumberdaya dari kepunahan penegakan hukum
alam hayati
selalu Pasal 38 Tugas perbantuan
terpelihara dan
mewujudkan
keseimbangan
Kawasan
Konservasi
Pemanfaatan Pasal 14
estari Pasal 26
16 UU Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan Perlindungan Pasal 3 Pemanfaatan SDA Kelembagaan dan Tidak berlaku
dan dan Budaya peranserta lagi, digantikan
Pemanfaatan masyarakat oleh UU No
Sumberdaya 10/2009
Alam dan
Budaya
Obyek dan Pasal 4,5 dan 9
Usaha Wisata
17 UU Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan Penuntutan, Pasal 1 Penuntutan dan Proses Penegakan Tidak berlaku
pelaksanaan Penegakan Hukum Hukum lagi, digantikan
pengadilan dan oleh UU No
Penegakan 16/2004
hukum
UU Nomor 9 Tahun 1992 Keimigrasian Lalu lintas Pasal 1 Masuk keluar Pencegahan dan Tidak berlaku
orang antar Pasal 3 wilayah Indonesia Penangkalan lagi, digantikan
bangsa Pasal 11 oleh UU No 37
Keberadaan Pasal 24 Penegakan Hukum /2009
orang asing
18 UU Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman Budidaya Pasal 1 Pelestarian Perlindungan SDA
Tanaman lingkungan
19 UU Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Transportasi dan Pasal 1 Prasarana Fasilitas masyarakat Tidak berlaku
Jalan perwujudan Pasal 6 lagi, digantikan
wawasan oleh UU No
nasional 22/2009
20 UU Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan Transportasi dan Pasal 1 Prasarana Fasilitas masyarakat
perwujudan Pasal 6 Kedaulatan
wawasan Wilayah Udara
nasional
21 UU Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan Penanggulangan Pasal 1 Masuknya hewan Perlindungan SDA
Tumbuhan dan pencegahan Pasal 5 dan tumbuhan dari dan masyarakat
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
penyakit Pasal 10 luar wilayah
Masuk keluarnya Indonesia
hewan dan
tumbuhan
22 UU Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran Transportasi Pasal 1 Prasarana Transportasi
dan Navigasi Pasal 7 Kedaulatan dan Komunikasi
Kapal Nakoda Pasal 35 Wilayah Perairan Fasilitas masyarakat
dan pekerja
Kepelabuhanan Pasal 21
23 UU Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan Peningkatan Pasal 1 Kesehatan Sumberdaya Tidak berlaku
penyelenggaraa Lingkungan Masyarakat lagi, digantikan
n upaya oleh UU No
kesehatan 36/2009
masyarakat
Pengamanan Pasal 44
Zat Aditif
24 UU Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang Kesatuan tata Pasal 1 Penataan Ruang Penyesuaian Tidak berlaku
lingkungan Pasal 7 – 14, 19 Pulau Perbatasan, pemanfaat dan lagi, digantikan
Pola Pasal 8 Pulau kecil, dan penataan kawasan oleh UU No
pembangunan pemanfaat untuk perbatasan 26/2007
yang jalur transportasi
berkelanjutan
dengan
mengembangk
an tata ruang
dalam satu
lingkungan
25 UU Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan Perekonomian Pasal 1- 2 Lalu lintas Eksport Import
nasional dan Pasal 7, 11, barang yang Barang di
perdangangan Pasal 18 masuk dan perbatasan
internasional Pasal 24 keluar daerah
Sarana Pasal 90 Pabean di
Pengangkut wilayah darat,
laut dan udara,
termasuk ZEE
dan Lanadas
Kontinen
26 UU Nomor 11 Tahun 1995 Cukai Punggutan Pasal 1 Barang dan jasa Barang kena Cukai Tidak berlaku
Negara Pasal 25 lagi, Digantikan
Pemasukan, oleh UU No
Pengeluaran, 39/2007
pengangkutan
dan
perdagangan
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
27 UU Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Hak Pasal 1 Agraria/pertanahan Status agraria
Tanah beserta Benda-benda Tanggungan/jami Pasal 4
yang berkaitan dengan nan
Tanah.
28 UU Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia Asas rezim Pasal 1 Wilayah Perairan Penegakan Hukum
hukum negara Pasal 3 sd 10 perbatasan dan dan kelembagaan
kepulauan pulau kecil
hukum negara
kepulauan
Hak Lintas Pasal 11 sd 22
Kapal Pasal 23
Pemanfaatan Pasal 24
lingkungan Pasal 24
perairan
Penegakan
kedaulatan
29 UU Nomor 7 Tahun 1996 Pangan Ketersediaan Pasal 1 Perlindungan Meningkatkan
Gizi, mutu Pasal 4 kesehatan kesejahteraan
pangan, dan masyarakat rakyat
kemanan pangan Peningkatan
pertumbuhan
ekonomi nasional
30 UU Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian Meningkatkan Pasal 1 Masyarakat Kependudukan Tidak berlaku
kesejahteraan Pasal 6 Pelintas batas lagi, Digantikan
rakyat Daya dukung oleh UU No
lingkungan 29/2009
31 UU Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Retribusi dan Pasal 1 Pembangunan Peningkatan Tidak berlaku
Daerah pendapatan Pasal 4 sektor publik kesejahteraan lagi, Digantikan
daerah masyarakat oleh UU No
34/2000,
kemudian diganti
dengan UU No
29/2009
32 UU Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pengelolaan Pasal 1 Meningkatkan Kepastian hukum
Pajak kekayaan negara Pasal 2 efisensi
perekonomian
33 UU Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas Kewajiban Pasal 1 Perpajakan Pentaatan Hukum
Tanah dan Bangunan kenegaraan Pasal 2 warga negara
34 UU Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Mendayagunak Pasal 1 Melestarikan dan Pembangunan Tidak berlaku
Hidup an sumberdaya Pasal 5 sd 7 mengembangkan berkelanjutan yang lagi, Digantikan
alam Pasal 8 kemampuan berwawasan oleh UU No
Pembangunan Pasal 14 lingkungan lingkungan hidup 32/2009
berkelanjutan Pasal 18 – 21
Pasal 22 - 24
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
35 UU Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan Kedaulatan Pasal 1 Rancangbangun Pentaatan kebijakan Tidak berlaku
Majelis Permusyawaratan rakyat dan Pasal 3 hukum dan pelaksanaan lagi, Digantikan
Rakyat, Dewan Perwakilan optimalisai peran Pasal 11 perundang- oleh UU No
undangan 22/2003
Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
36 UU Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan Pasal 1 Tugas Kelembagaan dan Tidak berlaku
Otonomi Daerah Pasal 2 perbantuan kebijakan publik lagi, Digantikan
Pasal 3 Wilayah laut oleh UU No
Pasal 7 daerah 32/2004
Pasal 10 Peraturan
Pasal 69 Daerah dan
Keputusan
Kepala Daerah
37 UU Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan Otonomi Pasal 1 Desentralisasi Kepastian Hukum
antara Pemerintah Pusat dan daerah Pasal 2 Dekonsentrasi Pembagian
Daerah Pengaturan Pasal 3 Tugas Kewenangan,
sumberdaya Pasal 4 pembantuan Tugas dan
nasional Pasal 6 tanggung jawab
38 UU Nomor 27 Tahun 1999 Perubahan KUH Pidana Keamanan Pasal 1 Pencegahan Kejahatan
yang berkaitan dengan Negara Pasal 107 a - Kejahatan dan Perbatasan Negara
Kejahatan Keamanan Pasal 107 f keamanan negara
Negara
39 UU Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Pasal 1 Penyelsaian di luar Penegakan hukum
Penyelesaian Sengketa Sengketa Pasal 6 pengadilan
40 UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Keuangan Pasal 1 Kerugian negara Penegakan hukum Tidak berlaku
Pidana Korupsi Negara dan Pasal 2 dan penghambat lagi, Digantikan
mewujudkan Pasal 21 pembangunan oleh UU No
Rasa keadilan 20/2001
dalam
masyarakat
41 UU Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi Pemerataan Pasal 1 Pemerataan Kelembagaan dan
Pembangunan Pasal 8 pembangunann dan penyedia jasa
Pasal 12 meningkatkan
hubungan antar
bangsa
42 UU Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan Kemakmuran Pasal 1 Pelestarian Kebijakan
rakyat Pasal 4 Lingkungan Kelembagaan
Daya dukung Pasal 5 wilayah Penegakan Hukum
lestari Pasal 46 perbatasan
negara
Perlindungan
hutan
Konservasi
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
43 UU Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian Penyelenggara Pasal 1 Penyelenggara Tugas perbantuan
pelayanan Pasal 2 tugas
aparatur negara Pasal 12 pemerintahan
Memperlancar
pelaksanaan
tugas
pemerintahan
dan
pembangunan
44 UU Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata Keadilan dan Pasal 1 Pendapatan negara Kebijakan Perubahan
Cara Perpajakan Kepastian Pasal 2 dan Pembangunan terhadap UU
Hukum Pasal 3 penyelenggaraan No6/1983
pembangunan
45 UU Nomor 24 Tahun 2000 Perjanjian Internasional Hubungan Pasal 1 Kerjasama Kebijakan dan
kerjasama Pasal 4 Internasiona kelembagaan
internasional Pasal 9 Pengelolaan
untuk Pasal 15 sumberdaya
Perdamaian Pasal 17 perbatasan
Dunia Pasal 18 negara
46 UU Nomor 25 Tahun 2000 Program Perencanaan Mewujudkan Pasal 2 Kebijakan Kebijakan Nasional
Nasional Pembangunan Kawasan dan Daerah
Nasional dan Perbatasan
Kesejahterann
masyarakat
47 UU Nomor 22 Tahun 2001 Minyak dan Gas Bumi Pemanfaatan Pasal 1 Lingkungan Penegakan Hukum
SDA Pasal 2, 3 Hidup
Kesejateraan
rakyat
Pembangunan
Nasional
48 UU Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan Kepastian dan Pasal 1 Kelembagaan dan Kebijakan Publik Tidak berlaku
ketertiba hukum Pasal 9 keuangan lagi, Digantikan
oleh UU No
28/2004
49 UU Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara RI Ketertiban Pasal 1 Penegakan hukum Kepastian Hukum
Umum Pasal 6 dan keadilan dalam
Pasal 13 masyrakat
50 UU Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara Perlindungan Pasal 1 Kesejahteraan Keblembagaan dan
terhadap bangsa Pasal 6 dan ketentraman kebijakan
dan negara Pasal 20 Pembangunan nasional/internasion
daerah dan al
Perlindungan
Sumberdaya
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
51 UU Nomor 8 Tahun 2002 Pembentukan Kabupaten Penyelenggaraan Pasal 1 Otonomi Daerah Kesejahteraan
Kepulauan Talaud Pemerintahan Pasal 2- 7 Tugas masyarakat dan
Daerah perbantuan pelestarian SDA
Pertahanan
Keamanan di
wilayah Perbatasan
negara
52 UU Nomor 15 Tahun 2002 Pencucian Uang Stabilitas Pasal 1 Penegakan Hukum Kebijakan dan Dirubah dengan
Ekonomi kelembagaan UU No 25/2003
54 UU Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian, Pendayagunaan Pasal 1 Penguasaan ilmu Kelembagaan
Pengembangan dan dan pemanfaatan Pasal 5 dan pengetahuan
Penerapan Ilmu teknologi Pasal 6 untuk kesejahteraan
Pengetahuan dan Teknologi
55 UU Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara Kewajiban Pasal 1 Perekonomian dan Kebijakan
negara sebagai Pasal 2 perdagangan Pemerintah
milik negara Pasal 3
56 UU Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi Pembangunan Pasal 1 Pengelolaan SDA Kebijakan dan
Nasional Pasal 4 kelembagaan
57 UU Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 Tenaga kerja Penegakan Hukum
Hubungan Industrial Pasal 2
Pasal 6
58 UU Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman Penegakan Pasal 1 Penegakan Hukum Keadilan dalam Tidak berlaku lagi,
Hukum dan Pasal 36 masyarakat Digantikan oleh UU
keadilan No 48/2009
59 UU Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air Sinergi dan Pasal 1 Konservasi SDA Kebijakan dan
keterpaduan Pasal kelembagaan
pengelolaan SDA Pasal 15-16
Pasal 20
60 UU Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum Tata kehidupan Pasal 2 Peradilan Peneggakan hukum Perubahan UU No
masyarakat yang dan tertib hukum 2/1986
tertib dan
berkeadilan
61 UU Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Tata Usaha Pasal 1 Keperdataan Penegakan Hukum Perubahan atas
Negara Negara Pasal 2 UU No 5/1986
62 UU Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Koordinasi dan Pasal 1 Harmonisasi Kebijakan dan
Perundang-Undangan proses Pasal 5 Hukum kelembagaan
pembentukan Pasal 6
peraturan Pasal 7
perundangan Pasal 8 -14
yang sesuai Pasal 15 – 16
dengan Pasal 17- 25
ketatanegaraan Pasal 26 – 31
RI Pasal 37 – 39
Pasal 40 – 43
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Pasal 44
Pasal 45 – 50
Pasal 51 – 52
Pasal 53
63 Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan Penuntutan Pasal 1 Hukum dan Penegakan Hukum
Pasal 30 Keadilan
65 UU Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan Pengelolaan Pasal 1 Pengelolaan dan Kebijakan
Lestari Pasal 6 pemanfaatan hutan
berkelanjutan
66 UU Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Pasal 1 Pembangunan Kebijakan dan
Pembangunan Nasional berkeadilan Pasal 3 Nasional kelembagaan
Demokratis Pasal 8 mewujudkan
Bertahap dan Kesejahteraan
berkesinambun bangsa dan negara
gan
67 UU Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan Perikanan Pasal 1 1. Pengelolaan dan 1. Budidaya 1.Peningkatan
Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan atas UU 31/2004 Pasal 5 pemanfaatan 2. Konservasi Pendapatan
Pasal 25- 45 sumberdaya 3. Kapal Negara sektor
Pasal 65 ikan dan 4. Nelayan perikanan
lingkungan 2.Kesejahteraan
2. Wilayah 1. Laut Teritorial masyarakat
Pengelolaan 2. ZEE
Perikanan 3. LK
3. Usaha Perikanan 4. Laut Lepas
4. Tugas 5. Izin Kapal
Pembantuan 1. Tradisional
2. Swasta
1. Pemda
68 UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan Pasal 1 Pembentukan Kelembagaan dan Dirubah oleh
Otonomi Daerah Pasal 4 Kawasan kebijakan publik Perpu 3/2005
Pasal 9 Khusus ditetapkan
Pasal 10 Perbatasan menjadi UU No
Pasal 42 Badan 8/2005
Pasal 195 Perbatasan Perubahan kedua
Daerah oleh UU No
Kersama 12/2008
Perbatasan
Tugas
perbantuan
69 UU Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Keuangan dan Pasal 1 Pendapatan Kebijakan Nsional
antara Pemerintah Pusat dan Otonomi Pasal 2 Daerah
Pemerintahan Daerah Pasal 4, Pasal 5 Pengelolaan
Pasal 10 SDA
Pasal 11
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
70 Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia Menegakkan Pasal 1 Pertahanan Kebijakan Nasional
kedaulatan Pasal 2 Keamanan dan
negara Pasal 4 Wilayah Negara
71 UU Nomor 12 Tahun 2006 Kewarganegaan RI Harkat, martabat Pasal 1 Status warga Kebijakan dan
dan Hak Asasi Pasal 4 negara Penegakan Hukum
Pasal 8 Pelintas Batas
masyarakat di
pertasan negara
72 UU Nomor 16 Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pemenuhan Pasal 1 Meningkatkan Kebijakan dan
Pertanian, Perikanan dan kebutuhan Pasal 4 kesejahteraan pelestarian SDA
Kehutanan pangan, papan, Pasal 5 dan 6 masyarakat
bahan baku,
lapangan kerja
dan lapangan
berusaha
73 UU Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi Pendataan Pasal 1 Pendataan Kebijakan dan
Kependudukan penduduk Pasal 2 masyarakat pelintas penegakan hukum
batas, dan
perbatasan
74 UU Nomor 17 Tahun 2007 Rencana Pembangunan Masyarakat Adil Pasal 1 Pembangunan Stategi Nasional
Jangka Panjang Nasional dan Makmur Pasal 2 Berkelanjutan Kebijakan
Tahin 2005 - 2025 Pasal 3 kelembagaan
75 UU Nomor 20 Tahun 2007 Pengesahan Persetujuan Hubungan Pasal 1 Keamanan dan Kebijakan
antara Pemerintah RI dan Kerjsama untuk pertahanan Internasional
Pemerintah Republik ketertiban negara Perbatasan
bertetangga Ekonomi
Filipina tentang Kegiatan
Sumberdaya
Kerjasama di bidang
Alam
Pertahanan dan Keamanan NKRI
76 UU Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Hak Asasi Pasal 1 Masyarakat Kebijakan dan
Pidana Perdagangan orang Manusia Pasal 2 Pelintas Batas Kelembagaan
Pasal 3 Perdagangan Penegakan
Pasal 19 Perempuan dan Hukum
anak-anak
77 UU Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang Kesatuan tata Pasal 1 Penataan Kebijakan Nasional Menggantikan UU
lingkungan Pasal 4,5,6 perbatasan No 24/1992
Pembangunan Pasal 10,11 negara
berkelanjutan Tugas
Perbantuan
78 UU Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pengelolaan dan Pasal 1 Kesejahteraan Kebijakan dan
Pesisir dan Pulau-Pulau keberlanjutan Pasal 2 masyarakat Kelembagaan
Kecil sumberdaya alam Pasal 3 Pemberdayaan
Pasal 5 masyarakat
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Pasal 6 s.d Penelitian
Pasal 80 Pemanfaatan
PPK
79 UU Nomor 17 Tahun 2008 Pelayaran Transportasi Pasal 1 Kesatuan Kebijakan Nasional
Nasional Pasal 3 wilayah Perairan dan Daerah
Pasal 4 Perdagangan
Pasal 6 – Pasal dan
17 perekonomian
80 UU Nomor 39 Tahun 2008 Kementerian Negara Membantu tugas Pasal 1 Koordinasi Stategi Kebijakan
Pemerintah Pasal 2 Sinkronisasi Nasional
bidang Pasal 4 Program
pemerintahan Pasal 5 pemerintah
Urusan Luar dan
Dalam Negeri
Pertahanan
81 UU Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara Kesatuan Pasal 1 s.d Wilayah Darat, Strategi Kebijakan
Wilayah RI Pasal 26 Laut, Tanah di Nasional
Wawasan bawahnya dan
Nusantara Penjelasan Raugn Udara di
Pasal demi atasnya
Pasal Sumberdaya
Alam yang
terkandung
Kepastian
Hukum
82 UU Nomor 1 Tahun 2009 Penerbangan Wawasan Pasal 1 Kedaulatan atas Strategi Kebijakan
Nusantara Pasal 5-9 wilayah udara Nasional
Transportasi
dalam dan luar
negeri
83 UU Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Pengelolaan Pasal 1 Perekonomian Kebijakan Nasional
Batubara Sumberdaya Pasal 4,5, 6,7, 8 nasional
Alam Pasal 9 - 33
Nilai Definisi
1 Sama penting (equal)
3 Sedikit lebih penting (moderate)
5 Jelas lebih penting (strong)
7 Sangat jelas penting (very strong)
9 Mutlak lebih penting (extreme)
2, 4, 6, 8 Apabila ragu antara dua nilai yang berdekatan
1 / (1 – 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9
Pembobotan kriteria
(Saaty 1993)
Pedoman penilaian :
Penjelasan :
Nilai A terhadap B = 1 diartikan : kriteria A sama penting dari kriteria B
Nilai A terhadap C = 3 diartikan : kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria C
Nilai A terhadap D = 1/5 diartikan : kriteria B jelas lebih penting dari kriteria A
Nilai A terhadap E = 4 diartikan : kriteria A ada keraguan sedikit lebih penting atau
jelas lebih penting dari kriteria E
Lembar Isian
1. Kriteria :
A : Perundang-undangan; B : Potensi Sumberdaya;
C : Program Pengelolaan
Kriteria A B C
A
B
C
2. Tujuan :
A : Data & Informasi; B : Penetapan Batas Negara; C : Sosial Ekonomi;
D : Coastal Problematic
Kriteria A B C D
A
B
C
D
3. Alternatif:
A : Tata Kelola Kelembagaan; B : Peran Aktor (Pemangku Kepentingan;
C : Basis Konservasi; D Penangan Terpadu; E. Pemanfaatan Kearifan Lokal
Kriteria A B C D E
A
B
C
D
E