Anda di halaman 1dari 349

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR


KASUS PULAU MARORE DAN PULAU MIANGAS
PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancangbangun hukum dalam


Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar: Kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas,
Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk cetakan dan atau bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun di dalam
dan di luar negeri. Sumber informasi yang bersumber atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Denny Benjamin Albrecht Karwur


NIM C251030051
iii

ABSTRACT
DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR. Law Design in Managing Outermost
Small Islands in the North Sulawesi Province. Under the supervision DIETRIECH G.
BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW,
and MARIA F. INDRATI.

Small islands border region has a tremendous potential in supporting national


development. The determination of management policy is very important because of the
strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of the
country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational crimes. The
concept of development policy of small islands in Indonesia must be planned and
implemented in an integrated manner for the development and welfare of the nation.
The northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the
Philippines is important for the integrity of the management of small islands and border
areas and of law enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies
explain the delimitation of the nation borders between Indonesia and the Philippines, in
particular the Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize the
management of natural resources.
Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local government
authority to carry out assistance duty of border management and stating Small Islands in
the border regions as state islands and given a special certificate.

Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Law Enforcement,


Management for Small Island State Border, Defense and security of state border, and
Certificate of State Island
iv

RINGKASAN

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR, Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan


Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DIETRIECH G.
BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW,
dan MARIA F. INDRATI.
Pulau-pulau kecil wilayah perbatasan memiliki potensi sangat besar dalam
menunjang pembangunan nasional. Penentuan kebijakan pengelolaan merupakan hal
yang sangat penting, karena keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan perbatasan
sangat strategis. Pulau-pulau di daerah perbatasan wilayah negara rentan terhadap
intervensi negara lain, dan kejahatan transnasional. Konsep kebijakan pembangunan
pulau-pulau kecil di Indonesia harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu
untuk pembangunan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Indonesia bagian utara yang berbatasan
dengan negara Filipina, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini mengkaji keterpaduan
pengelolaan pulau kecil didaerah perbatasan dan penegakan hukum Indonesia dengan
perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan elemen sasaran,
elemen dan strategi menunjukkan bahwa penetapan batas negara (delimitasi)
khususnya Zona Ekonomi Eksklusif, antara negara Indonesia dan Filipina yang
tumpang tindih sehingga tidak mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara
maksimal.
Rancangbangun hukum diarahkan pada hubungan diplomatik antar kedua
negara dengan pertemuan bilateral untuk menyelesaikan batas wilayah negara,
pengakuan wilayah secara bersama dan melaporkan kepada Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam bentuk Undang-Undang Perbatasan Negara dan lampiran Peta Batas
Negara. Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah melaksanakan tugas
pembantuan pengelolaan wilayah perbatasan. Pulau-Pulau Kecil di perbatasan
wilayah negara di tuangkan dalam bentuk Sertifikat Pulau Negara.
Nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5
mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif.
Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan
perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan yang
masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan
peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat
Nasional.
Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh
suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari gangguan asing.
Bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu
ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan,
pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah
maupun sumberdaya.
v

Faktor eksternal didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk


kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas
kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121. Dengan
kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005,
dan Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2010 diharapkan setiap lembaga yang
terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu
memainkan peran sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan
peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara
antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam
pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan
internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap
hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara
tetangga.
Faktor-faktor lain sebagai peluang dan pendukung bagi peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, adalah peranan langsung aspek hukum dan
kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga Filipina
mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak
masing-masing negara.
Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah
belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113.
Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan
diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik
yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun
antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Kondisi nyata dari pulau-pulau kecil perbatasan negara, saat ini adalah
pemanfaatan sumberdaya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini
dan masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Bukti nyatanya
adalah maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai saat ini diakibatkan
belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. Pada
aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut
masih mengalami keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga
dengan lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program
pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.
Komitmen pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan
baru dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No
78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam pengelolaan
perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri
dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan
vi

Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan
Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan
kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain.
Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah
pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan
anggaran dan kebijakan pengelolaan.
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi Badan Nasional Pengelola
Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3,
mempunyai tugas : penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi
pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengoordinasian
penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengelolaan dan fasilitasi
penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas Wilayah Negara; inventarisasi
potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi,
pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan
Perbatasan; penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan anggaran
pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
sesuai dengan skala prioritas; pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan. Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai
pelaksana tugas dan fungsi adalah Menteri Dalam Negeri.
Mekanisme koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai pengelolaan
perbatasan negara dan konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil perbatasan negara:
(1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara
berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi
horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan.

Kata Kunci : Hukum Pesisir, Delimitasi ZEEI, Penegakan Hukum, Pengelolaan Pulau
Kecil Perbatasan Negara, Pertahan dan Keamanan Perbatasan Negara, Sertifikat
Pulau Negara.
vii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM


PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
DI PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ix

Judul Disertasi : Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil


Terluar di Provinsi Sulawesi Utara
Nama : Denny Benjamin Albrecht Karwur
NIM : C261030051

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA.


Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja
Anggota Anggota

Dr. Ir. Victor Ph. Nikijuluw, M.Sc. Prof.Dr. Maria F. Indrati, S.H, M.H.
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


x

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya
kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi sebagai
karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau
Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan
Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert
yang berasal dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan
pihak terkait lain.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS,
Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan
Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala
bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini
2 Prof Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc, selaku Dekan
dan Wakil Dekan beserta semua Staf Administrasi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor
3 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua
dan Sekretaris beserta semua Staf Administrasi, Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor
4 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku Penguji luar
komisi pada Ujian Tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan Prof.Dr.Ir.
Alex S.W Retraubun, MSc selaku Penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.
5 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, dr. Elly E. Lasut, MM,
selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati
Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi
6 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya
pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor
7 Rektor dan mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi, Dekan dan mantan Dekan
Fakultas Hukum beserta seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi.
8 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan mendorong,
dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D. Mait, S.Pi
(menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu), Grace M.F.
Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-cucu Kenneth
dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-anak Daryl dan
Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong, mendoakan keberhasilan
menyeselesaikan studi
xi

9 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Luar
Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya Energi dan
Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud
yang telah membantu data dan informasi
10 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL serta
semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di IPB Bogor
11 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang telah
membantu selama studi, mengumpulkan data dan informasi serta membantu
menganalisis data.

Penulis menyadari hasil karya disertasi ini perlu masukan demi


penyempurnaannya, kiranya karya tulis ini bermanfaat dan memperkaya literatur ilmu
pengetahuan khususnya Ilmu Hukum dan Ilmu tentang Pengelolaan Pesisir dan
Lautan di Indonesia.

Bogor, Juli 2010

Denny Benjamin Albrecht Karwur


xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 28 November


1955 sebagai anak pertama dari ayah John Robert Karwur (almarhum) dan bunda
Dety Neltje Jansje Raintung (almarhumah), menikah pada tanggal 22 September
1977 dengan Ineke Togas, dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Arthur, Mercy dan
Grace.
Pendidikan Strata Satu (S1) di tempuh pada Fakultas Teknik Sipil Unsrat
tahun 1975-1978 (tidak dilanjutkan) kemudian pindah tahun 1980 pada Program
Studi Ilmu Hukum/ Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Strata Dua (S2)
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan / Hukum Lingkungan,
Pesisir dan Lautan, Universitas Sam Ratulangi, lulus pada tahun 1998.
Membantu Program UCE/CEPI – Indonesia-Canada tahun 1995-1997 dalam
Program Lingkungan Hidup di Manado, selanjutnya sebagai Konsultan Hukum pada
Proyek Pesisir/Mitra Pesisir/ CRMP I-II /USAID, tahun 2003-2005 dengan kegiatan
penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan Kampung/Desa Pesisir dan Peraturan
Daerah Kabupate Minahasa / Provinsi Sulawesi Utara tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat, dan pada tahun 2005-2007 membantu
Program MCRMP dan COREMAP/DKP, tahun 2005-2007, dalam kegiatan
penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun
2007, serta membantu di 15 Provinsi dan 42 Kabupaten Kota dalam penyusunan
Rancangan/Penetapan Peraturan Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut.
Tahun 2003 diterima untuk melanjutkan Pendidikan Strata Tiga (S3) pada
Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor,
dengan biaya pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional
Penulis diangkat sebagai Staf Pengajar / Pegawai Negeri Sipil sejak tahun
1988 sampai saat ini, pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.
xiii

Bersama penulis lainnya, tulisan telah diterbitkan dalam buku yang berjudul :
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia, telah dipublikasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerja sama dengan
Coastal Resources Management Project II (USAID) / Mitra Pesisir, Jakarta
September 2005.
Sebuah artikel ilmiah berjudul : Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif sebagai
Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara, telah di
publikasikan pada jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid 38 Nomor 4 Desember
2009, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
xiv

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ xi

1 PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………... 4
1.3 Kerangka Pemikiran ……………………………………………………. 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………… 9
1.5 Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 12
1.6 Manfaat Penelitian…………………………………………………….... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….. 15
2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil……… 15
2.1.1 Laut………………………………………………………………. 15
2.1.2 Wilayah pesisir…………………………………………………… 15
2.1.3 Pulau-pulau kecil………………………………………………… 16
2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara........................ 17
2.3 Hukum Laut Indonesia…………………………………………………. 19
2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan…………………………………… 21
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu …………………………………. 25
2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu…………..................... 27
2.6.1 Prinsip keterpaduan…………………………………………….... 28
2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan……....………………………... 29
2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat............ 29
2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama ……………………….. 30
2.8 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau-Pulau Kecil…………….. 31
xv

2.9 Dimensi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Kecil............................................ 32


2.10 Aspek Yuridis Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara........ 32
2.11 Penanganan Pulau-Pulau Kecil Perbatsan Negara................................... 35
2.12 Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan............................ 36
2.13 Kejahatan Wilayah Perbatasan.................................................................. 38
2.14 Dimensi Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan.................................... 38

3 METODE.......................................................................................................... 43
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 43
3.2 Rancangan Penelitian................................................................................ 43
3.3 Tahapan Penelitian Analisis Data............................................................. 44
3.4 Metode Analisis........................................................................................ 47
3.4.1 Analisis Hierarchi Proses (AHP)..................................................... 48
3.4.2 Analisis SWOT .............................................................................. 51
3.4.3 Analisis diagnosa dan terapi hukum (Diagnosis and Theraphy....
Analisys of Law/DTAL) ................................................................ 53

4 GAMBARAN UMUM DAN POTENSI WILAYAH....................................... 58


4.1 Gambaran Umum Wilayah....................................................................... 58
4.1.1 Kabupaten Kepulauan Sangihe........................................................ 60
4.1.1.1 Klaster pulau-pulau perbatasan .......................................... 61
4.1.1.2 Wilayah administrasi........................................................... 63
4.1.1.3 Kependudukan..................................................................... 65
4.1.1.4 Perekonomian wilayah........................................................ 66
4.1.2 Kabupaten Kepulauan Talaud......................................................... 66
4.1.2.1 Klaster pulau-pulau perbatasan........................................... 67
4.1.2.2 Wilayah administrasi........................................................... 68
4.1.2.3 Kependudukan..................................................................... 69
4.1.2.4 Perekonomian wilayah........................................................ 70
4.2 Potensi Wilayah........................................................................................ 71
4.2.1 Potensi perikanan kabupaten kepulauan........................................... 72
xvi

5 HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................... 74


5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara................................................................ 75
5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati.............. 79
5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia 85
5.4 Perbandingan antara ketentuan undang-Undang tentang.........................
Zona Ekonomi Ekslusif dan Undang-Undang tentang Pengesahan.........
UNCLOS 1982 ........................................................................................ 94
5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia......................................................... 95
5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.......................................... 97
5.7 Pengesahan UNCLOS Tahun 1982......................................................... 101
5.8 Perairan Indonesia.................................................................................. 102
5.8.1 Perikanan ................................................................................... 104
5.8.2 Pemerintahan Daerah.................................................................. 105
5.8.3 Penataan Ruang.......................................................................... 107
5.8.4 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.................................................. 108
5.8.5 Wilayah Negara............................................................................ 109
5.8.6 Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan- Ketentuan Konvensi.........
PBB tentang Hukum Laut yangberkaitan dengan Konservasi.....
dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang beruaya terbatas dan..........
sediaan ikan yang beruaya jauh..................................................... 110
5.8.7 Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal................
Kepulauan Indonesia.................................................................... 113
5.8.8 Peraturan Presiden Pengelolaan Pulau Kecil Terluar.................. 115
5.8.9 Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil...................... 116
5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif............................................ 119
5.10 Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina.................. 125
5.11 Prinsip Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina.................................. 130
5.12 Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia-Filipina............ 132
5.13 Kendala dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia dan Filipina............... 135
5.14 Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil............................... 136
xvii

5.15 Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat..................................... 138


5.16 Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil..................................... 139
5.17 Analisis Hierarki Proses Rancangbangun hukum pengelolaan...............
Pulau-pulau kecil................................................................................... 153
5.17.1 Faktor eksternal........................................................................ 153
5.17.1.1 Peluang dalam peningkatan pengelolaan...................
pulau-pulau kecil terluar........................................... 153
5.17.1.2 Ancaman dalam peningkatan pengelolaan................
pulau-pulau kecil terluar............................................ 154
5.17.2 Faktor Internal........................................................................ 155
5.17.2.1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan...............
pulau-pulau kecil terluar......................................... 155
5.17.2.2 Kelemahan dalam peningktan pengelolaan.............
pulau-pulau kecil terluar.......................................... 156
5.18 Hasil Evaluasi Faktor Ekternal dan Internal....................................... 158
5.18.1 Evaluasi faktor ekternal......................................................... 158
5.18.2 Evaluasi faktor internal........................... .............................. 161
5.19 Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Ekternal dan Internal................. 163
5.20 Analisis SWOT Rancanganbangun Hukum Pengelolaan ...................
Pulau-Pulau Kecil................................................................................ 165
5.21 Strategi Kekuatan – Peluang (Strength – Opportunities S-O)............. 167
5.21.1 Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan.......................
jasa lingkungan kelautan....................................................... 167
5.21.2 Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional............... 168
5.21.3 Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar............... 168
5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan.....
Filipina..................................................................................... 169
5.22 Strategi Kekuatan dan Ancaman (Strength – Threats (S-T) ................ 169
5.21.1 Strategi penetapan batas wilayah............................................ 170
xviii

5.21.2 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan......


Filipina.................................................................................. 170
5.23 Strategi Kelemahan – Peluang (Weakness – Opportunities (W-O) ... 170
5.23.1 Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan ..................
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.................................. 170
5.23.2 Pembangunan sarana dan prasarana wilayah........................ 171
5.23.3 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan............................. 172
5.24 Stategi Kelemahan – Ancaman (Weakness – Threats (W–T)............. 172
5.24.1 Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan ....................
pulau pulau kecil terluar........................................................ 172
5.24.2 Peningkatan keterpaduan antar stakeholders dalam..............
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar................................... 172
5.25 Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir.............................................. 173
5.26 Kriteria................................................................................................ 174
5.27 Expert Judgment.................................................................................. 174
5.28 Penilaian Kriteria................................................................................. 175
5.29 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan........................................
Pulau-Pulau Kecil Terluar................................................................... 181
5.30 Sintesis................................................................................................ 187
5.31 Sensitivitas Analisis............................................................................ 188
5.32 Sensitivitas dinamis............................................................................ 188
5.33 Analisis head to head......................................................................... 189
5.34 Penentuan Prioritas Strategi Pengelolaan...........................................
Pulau-Pulau Kecil Terluar.................................................................... 190
5.35 Elemen sasaran..................................................................................... 191
5.35.1 Elemen faktor.......................................................................... 191
5.35.2 Elemen strategi........................................................................ 191
5.36 Rancangbangun hukum menurut Pemerintah.......................................... 192
5.37 Rancangbangun hukum menurut Akademisi.......................................... 192
5.38 Rancangbangun hukum menurut Strategi Perwilayahan....................... 193
xix

5.39 Rancangbangun hukum menurut Budaya Lokal.................................... 194


5.40 Rancangbangun hukum menurut Penataan Batas Wilayah Negara...... 194
5.41 Rekomendasi Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil 195
5.42 Landasan Formil dan Materiil Konstitusional........................................ 199
5.43 Dasar Penetapan Batas Laut dan Penanangganan Hukum.................... 208
5.44 Politik dan Pertahanan Keamanan......................................................... 210
5.45 Prinsip dan Mekanisme Rancangbangun Hukum Pengelolaan.............
Pulau-Pulau Kecil Terluar...................................................................... 210
5.46 Prinsip Keterpaduan.............................................................................. 211
5.46.1 Keterpaduan antar ekosistem darat dan laut…………………… 212
5.46.2 Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen……….. 212
5.46.3 Keterpaduan program antar negara……………………………. 212
5.47 Prinsip pembangunan berkelanjutan sumberdaya perbatasan………. 212
5.47.1 Prinsip partisipasi dan keterbukaan…………………………… 213
5.47.2 Prinsip kepastian hukum……………………………………… 214
5.48 Objek dan Ruang Lingkup Pengaturan………………………………… 215
5.48.1 Mekanisme koordinasi pada tingkat pusat……………………… 215
5.48.2 Fasilitasi dan konsultasi dari pemerintah ke pemerintah daerah.. 218
5.49 Penegakan Hukum dan Sanksi………………………………………… 218
5.50 Penyelesaian konflik………………………………………………….. 220
5.51 Mekanisme pentaatan dan penegakan hukum………………………… 223
5.52 Mekanisme Sistem Kelembagaan……………………………………… 225
5.53 Kelembagaan…………………………………………………………. 227
5.53.1 Pelaksanaan mekanisme…………………………………………228
5.53.2 Peran daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan ………….
pulau-pulau kecil sebagai pelaksanaan otonomi daerah………. 230
5.53.3 Integrasi stakeholders di daerah bagi pengelolaan pesisir dan …
pulau-pulau kecil secara terpadu……………………………… 231
xx

5.54 Pembentukan institusi lintas sektoral bagi pengelolaan…………........


pulau-pulau kecil terluar…………………………………………….. 231
5.54.1 Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir……………..... 231
5.54.2 Peran aktif masyarakat dalam identifikasi potensi sumberdaya
bagi Perencanaan pengelolaan pulau kecil perbatasan……….. 232
5.54.3 Edukasi dan percontohan tentang pengelolaan dan pemanfaatan
yang Berkelanjutan bagi masyarakat pesisir………………….. 232
5.54.4 Permodaln dan investasi……………………………………… 232
5.55 Kebutuhan Pengaturan bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil…………..
Perbatasan Negara…………………………………………………… 233
5.56 Rekomendasi Hal-Hal Pokok bagi Rancangabangun Hukum dalam…
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ….…………………………………… 234
5.56.1 Aspek biofisik………………………………………………… 234
5.56.2 Aspek social, ekonomi dan budaya…………………………… 235
5.56.3 Aspek hukum dan kelembagaan………………………………. 236
5.57 Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi dan……………
Kabupaten/Kota……………………………………………………… 237
5.58 Proses Pembuatan Peraturan PerUndang-undangan…………………. 239

6 KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 243


6.1 Kesimpulan............................................................................................... 243
6.2 Saran........................................................................................................ 246

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 248


LAMPIRAN....................................................................................................... 259
xxi

DAFTAR TABEL
1 Daftar ekspert dan instansi responden................................................................ 47
2 Skala pendapat (nilai dan definisi)..................................................................... 49
3 Nilai konsistensi random................................................................................... 50
4 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum........................................ 51
5 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Sagihe........................................ 61
6 Jumlah kecamatan, luas kecamatan dan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten
Kepulauan Sangihe............................................................................................ 64
7 Jumlah dan kepadatan penduduk.............................................................. 65
8 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Talaud......................................... 67
9 Luas wilayah kecamatan dan jumlah kampung/kelurahan di Kabupaten.........
Kepulauan Talad................................................................................................ 69
10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kepulauan Talaud 70
11 Sasaran pertumbuhan beberapa indikator makro ekonomi Kabupaten .............
Kepulauan Talaud............................................................................................. 71
12 Tata Urutan Hukum.......................................................................................... 137
13 Matriks evaluasi faktor eksternal................................................................... 159
14 Matriks evaluasi faktor strategis internal....................................................... 161
15 Informasi untuk analisis expert....................................................................... 175
16 Hasil analisis faktor A.H.P............................................................................. 176
17 Prioritas elemen faktor.................................................................................... 176
18 Prioritas elemen alternatif strategi................................................................. 178
19 Analisis skenario............................................................................................. 181
20 Akternatif skenario.......................................................................................... 183
21 Hasil kuesioner responden.............................................................................. 184
22 Sosial ekonomi................................................................................................ 184
23 Hasil analisis A.H.P total............................................................................... 185
24 Daftar peraturan perundang-undagan yang berhubungan dengan.................
Pengelolaan wilayah pesisir............................................................................ 196
25 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota................................ 237
xxii

DAFTAR GAMBAR
1 Matriks kerangka berpikir............................................................................... 8
2 Peta Perbatsan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara.................................. 43
3 Diagram tahapan penelitian............................................................................. 45
4 Diagran Venn.................................................................................................. 46
5 Langkah umum AHP (modifikasi).................................................................... 49
6 Analisa S.W.O.T............................................................................................... 52
7 Penyusunan hirarki............................................................................................ 56
8 Bagan alir analisis rancangbangun hukum dalam pengelolaan ........................
pulau-pulau kecil terluar................................................................................... 57
9 Peta Provinsi Sulawesi Utara............................................................................ 58
10 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe........................................... 63
11 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Talaud........................................... 68
12 Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia – Filipina....................... 74
13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara......................... 78
14 Pulau Marore.................................................................................................... 79
15 Pulau Miangas................................................................................................... 80
16 Peta Perbatasan ................................................................................................ 82
17 Alur proses penyusunan peraturan daerah........................................................ 145
18 Matriks internal eksternal posisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di..
Provinsi Sulawesi Utara..................................................................................... 164
19 Matriks S.W.O.T............................................................................................... 166
20 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar………................................. 173
21 Hasil analisis faktor.......................................................................................... 176
22 Hasil analisis alternatif strategi........................................................................ 178
23 Hirarki hasik analisis AHP rancanbangun hukum dalam. pengelolaan ..........
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara...................................... 180
24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi.............................................................. 184
25 Sintesis rancangbangun penataan wilayah..................................................... 188
26 Dinamik sensitive............................................................................................. 189
xxiii

27 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah..................... 190


28 Head to head RH pemerintah.......................................................................... 192
29 Head to head RH.akademisi............................................................................ 193
30 Head to head RH strategi perwilayahan........................................................... 193
31 Head to head RH budaya lokal......................................................................... 194
32 Head to head RH penataan batas wilayah......................................................... 194
33 Rancangbangun hukum pengelolaan pulau kecil terluar 196
xxiv

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria rancangbangun hukum pesisir.............................................................. 261
2 Skema Proses Pengundangan dalam lembaran negara Republik Indonesia…..
dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia…………………………. 309
3 Skema proses ligitasi perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi.............. 310
4 Kuesioner survey pakar metode AHP................................................................ 311
5 Zona-zona maritim menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982)............ 313
6 Daftar 92 Pulau terluar Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden ..................
Nomor 78 Tahun 2005....................................................................................... 314
7 Matriks peraturan perundang-undangan........................................................... 318
8 Peta daerah penelitian Rancangbangun Hukum dalam ....................................
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. ................. 334
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan


(archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A


mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas secara
geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia
dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km2
serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009), beserta semua ekosistem
laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-pulau kecil. Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki keanekaragaman habitat yang
sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
kelautan yang sangat besar, yang terdiri atas sumberdaya alam dapat pulih
(renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak dapat pulih (non-renewable
resouces). Sumberdaya alam dapat pulih diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu
karang, lamun dan mangrove. Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi
minyak bumi, gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah,
bauksit serta bahan tambang lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang
sangat prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari.

Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem


yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang secara
permanen ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami
antara lain ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut
(seaweed), padang lamun (seagrass bads), pantai berpasir (sandy beach), pantai
2

berbatu (rocky beach), hutan mangrove (mangrove foresh), estuaria, laguna, delta
dan pulau-pulau kecil.

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang


pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan hal
yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah maka
keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan demikian,
penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-pulau kecil
terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh karena itu
konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang
direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan
lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas
pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan
sumberdaya alam dan jasa -jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor
pendukung pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang


akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas
pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat
pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan
lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil.

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman


baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti
pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan
(overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan
kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau
kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Kebijakan dan Strategi
Nasional pengelolaan pulau-pulau kecil dapat berfungsi sebagai referensi nasional
(national reference) atau pedoman bagi kegiatan lintas sektor baik pusat maupun
daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan pulau-pulau kecil, sehingga
kebijakan dan strategi hukum penetapan batas wilayah negara dan pengelolaan
3

pulau-pulau kecil perbatasan, sangat penting sehingga menyebabkan upaya


pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi optimal.

Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
wilayah negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas wilayah negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan sumberdaya di
wilayah negara, dan hak–hak berdaulat.

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan


di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam,
perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan wilayah
negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian
lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-
upaya pengelolaan wilayah negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di kawasan
perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan wilayah negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap
bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan
kawasan perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang
merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.

Peran Pemerintah dan Pemerintahan Daerah menjadi sangat penting terkait


dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan kawasan kepulauan perbatasan negara.

Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau keci di perbatasan negara harus


dilakukan secara komprehensif yang tidak terlepas dari potensi dan
karakteristiknya yang mencakup aspek sumberdaya alam (lingkungan hidup) baik
sumberdaya hayati maupun non hayati; aspek infrasutruktur yang meliputi
ekonomi, hukum, kelembagaan dan social budaya serta aspek geopolitik yaitu
pertahanan dan keamanan terutama terkait dengan fungsi pulau-pulau kecil di
4

perbatasan negara sebagai basis pertahanan negara dan lokasi acuan titik dasar
untuk mempertegas kedaulatan Indonesia pada wilayah tersebut. Di samping itu,
kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara perlu
memperhatikan aspek tata ruang untuk menghindari tumpang tindih dalam
pengelolaan dan konflik kepentingan, misalnya penentuan wilayah pulau kecil
sebagai daerah penangkapan, budidaya, wisata bahari, dan konservasi. Penentuan
alokasi ruang tersebut perlu dilengkapi dengan penyusunan rencana detail dan
pembagian zonasi untuk selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan rencana
pengelolaan, rencana bisnis dan rencana pertahanan keamanan.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik wilayah pesisir dan laut yang kompleks, terjadi konflik


pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung, hal ini dapat
disebabkan karena laju peningkatan penduduk, peningkatan teknologi
mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rusak dan
berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia.

Permasalahan kemiskinan dan lingkungan hidup merupakan masalah yang


multidimensi yang membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh dari berbagai
aspek. Kemiskinan tidak hanya dilihat dari pendapatan penduduk saja, namun
mencakup kerentanan dan kerawanan penduduk untuk menjadi miskin, dan
keterbatasan akses penduduk miskin terhadap kebijakan publik turut
mempengaruhi kondisi dan hak-hak dasar masyarakat.

Wilayah negara kepulauan Indonesia terdiri dari kesatuan kepulauan, pulau,


selat dan laut, jumlah pulau, nama pulau, batas laut dan batas darat. Permasalahan
pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki karakteristik yang khusus
disebabkan karena pulau kecil sangat rentan terhadap berbagai pengaruh ekternal
dan internal serta aktivitas pembangunan, keterbatasan sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia, sehingga pulau kecil terluar dengan beragam ekosistemnya
merupakan kawasan yang selalu berada dalam keadaan yang dinamis, dan penuh
dengan perubahan siklus waktu yang pendek. Dalam kondisi normal, dinamika
5

tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium), namun bila terjadi


kerusakan dampak negatifnya akan berpengaruh besar dan sangat kompleks
terhadap ekosistem wilayah sekitarnya.

Ancaman-ancaman dan tekanan yang sangat besar terhadap ekosistemnya


mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan, yang akhirnya berpengaruh pada
kelangsungan fungsional ekosistem pulau-pulau kecil. Permasalahan yang
menjadi ancaman terhadap ekosistem pesisir adalah: pencemaran, degradasi
habitat dan sumberdaya alam, sedangkan kendala pembangunan adalah luasan
ukuran yang kecil dan terisolasi, tidak menguntungkan dalam hal administrasi,
usaha produksi, transportasi, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan
seperti air tawar, vegetasi, tanah, satwa liar yang terbatas sangat berpengaruh
dalam penentuan daya dukung untuk menopang kehidupan manusia yang
menghuni pulau serta kegiatan pembangunan. Selain beberapa karakteristik yang
menjadi kendala pembangunan adalah kelembagaan dan penegakan hukum,
sehingga sering terjadi konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang, hal ini
berdampak pada keuntungan sektoral.

Permasalahan di wilayah pesisir sangat kompleks sehingga menggambarkan


keadaan pesisir dalam keadaan ―sakit‖ yang telah berlangsung terus menerus sejak
dahulu hingga saat ini seperti: tindakan penambangan terumbu karang, pasir,
penanggkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun, pencemaran
lingkungan dengan membuang limbah dari kegiatan rumah-tangga, pabrik,
pelabuhan laut, pertambangan, pemanfaatan ruang laut untuk reklamasi, kegiatan
budidaya perikanan, mutiara, rumput laut, serta pemanfaatan pulau-pulau kecil
untuk pariwisata dan lain-lain, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut berdampak
positif akan terjadi penurunan fungsi lingkungan dan konflik kepentingan antara
pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, sehinga apabila
kegiatan-kegiatan tersebut yang sudah berlangsung sejak dahulu kala telah
menjadi penyakit pesisir (coastal disease), dimana suatu keadaan dari lingkungan
pesisir yang menyebabkan tidak alamiah, disfungsi atau kesukaran terhadap
lingkungan yang dipengaruhi. Untuk menyembuhkan penyakit perlu kebijakan
dan program bersama pemerintah dan masayrakat. Semua tingkah laku yang
6

bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral, hak milik,


kekeluargaan, kerukunan, disiplin, lingkungan hidup, kemanusiaan, adat istiadat
dan hukum formal perlu untuk penanggulangannya secara komperehensif dan
dipertangung-jawabkan secara ilmiah adalah patologi pesisir (coastal pathology).

Dengan kemajuan teknologi, maka wilayah negara Indonesia tidak luput


dari masalah khusus yaitu yang terjadi di daerah perbatasan. Permasalah khusus
antara lain perubahan-perubahan tapal batas di daratan maupun titik koordinat di
laut yang mengakibatkan berkurangnya wilayah negara dan berdampak
bertambahnya wilayah negara lain yang berbatasan. Bertambah luasnya wilayah
laut Indonesia sebagai akibat penerapan Konsepsi Wawasan Nusantara sama
sekali tidak mengubah indentitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun,
batas-batas wilayah suatu negara tentunya harus jelas untuk menghindari
kemungkinan sengketa dengan negara-negara tetangga. Kejelasan batas-batas
wilayah mutlak kerena hanya di atas wilayah tersebut dapat berlakunya wewenang
suatu negara. Wewenang dan kedaulatan wilayah negara yang mencakup lautan
dan daratan perlu kejelasan batas negara untuk pengelolaannya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau


kecil sudah sangat memperihatinkan sehingga dapat disebut sebagai suatu
penyakit yang kronis karena tingginya kegiatan eksploitasi sumberdaya dan
pemanfaatannya yang berlangsung lama, dan terus menerus dilakukan untuk
berbagai kepentingan pemanfaatan pembangunan yang tidak memperhatikan
keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan laut,
pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain,
sehingga kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan
masalah pesisir (coastal problems) sehinga dapat menjadi penyakit pesisir
(coastal disease) dan perlu perhatian dan penangganan penanggulan (terapi)
secara khusus berdasarkan hasil penelitian (diagnosa).

Menurut beberapa penelitian (Clark 1996, Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay
and Alder 1999; Dahuri 2003) permasalahan umum yang menyebabkan coastal
disease/coastal problem di wilayah pesisir dan laut Indonesia adalah:
7

(1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat:
1) besarnya potensi sumberdaya, 2) terpusatnya mata pencaharian penduduk
kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, 3) meningkatnya jumlah
penduduk, 4) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, 5) meningkatnya
kepentingan dalam kawasan, 6) perubahan dan kompetisi teknologi, dan 7)
proses distribusi pasar. Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai
sumberdaya dan jasa dimaksud karena: 1) meningkatnya kepentingan, 2)
besarnya potensi dan produktivitas, dan 3) belum terintegrasi dan
implementasinya hukum dan peraturan pelaksanaan, 4) tidak diakui
berlakunya hukum adat.
(2) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan
(3) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan laut
(4) Perilaku manusia akibat: 1) ketidaktahuan, 2) rendahnya kesadaran, 3)
kemiskinan, dan 4) keserakahan.
(5) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu: 1) kegagalan hak kepemilikan, 2)
kegagalan kebijakan, dan 3) kegagalan informasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat alasan yang kuat tentang


pentingnya penelitian rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di Provinsi Sulawesi Utara, daerah perbatasan Negara Indonesia dan
Negara Filipina.

1.3 Kerangka Pemikiran


Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10 negara
di wilayah laut, dengan demikian Indonesia mempunyai peran dalam politik luar
negeri/internasional untuk menentukan persepsi kewilayahan dalam konteks
negara maritim, sehingga kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang
adalah batas negara merupakan suatu kajian yang harus segera diselesaikan
melalui berbagai pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun
multilateral untuk mendapat dukungan masyarakat internasional terhadap batas
negara, demi kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan
8

sumberdaya, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, keamanan dan pertahanan,


serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.

Internal Eksternal

Masalah Hukum di
Pulau-Pulau Kecil

PULAU KECIL TERLUAR DI PERBATASAN NEGARA


KEBIJAKAN TERPADU PENGELOLAAN PULAU –
Terluar
(coastal disease)

RANCANG RANCANG
BANGUN BANGUN
HUKUM HUKUM
YANG
ANALISIS
YANG
SUDAH PERELEVAN RELEVAN
ADA SIAN (Peraturan
(Peraturan per UU yang
per UU dicita-
citakan)
yang
berlaku)

AHP SWOT DTAL

Gambar 1 Matriks kerangka berpikir

Coastal disease / Coastal conflict


1. Batas wilayah negara
2. Hak berdaulat di ZEE & Landas Kontinen
3. Hukum, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
4. Keterpencilan
5. Kesenjangan ekonomi
6. Transnational crimes , illegal fishing, illegal logging, illegal imigrant,
trafficking, terorims, people smuggling, narcotics, politic problem
7. Sarana dan prasarana terbatas
8. Pemanfaatan sumberdaya belum optimal
9. Pertahanan dan keamanan (security)
9

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan


salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagian Timur yang
luasnya adalah 15.472,98 km2 terdiri dari beberapa pulau, diantaranya adalah:
Pulau Manado Tua, Pulau Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau
Mantehage, Pulau Bangka, Pulau Lembeh, Pulau Siau, Pulau Tagulandang, Pulau
Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu. Panjang garis pantai Sulawesi
Utara 1.837 kilometer dengan luas daratan sekitar 2.200 kilometer persegi.
Wilayah perairan laut memiliki 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan
kepulauan, yaitu: (1) Gugusan kepulauan Talaud yang letaknya paling utara
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Talaud, (2) Gugusan Sangir Besar
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sangihe, dan (3) Siau Tagulandang
dan Biaro (disingkat Sitaro) masuk dalam wilayah administratif Kepulauan Sitaro.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, maka Kabupaten Sangihe dan Talaud
merupakan satu kabupaten, kemudian sejak tanggal 10 April 2002, Pemerintah
menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara, maka terjadi pemekaran
dan pemisahan yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas wilayah
20.258,60 Km², dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas wilayah 27.061,16
Km2. Kabupaten Kepulauan Siau-Tagulandang-Biaro (SITARO) dengan luas
wilayah 275,96 Km². Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan
Talaud dan Kabupaten Kepulauan Sitaro merupakan tiga wilayah di Provinsi
Sulawesi Utara yang secara geografis dan administratif terletak di bagian utara
wilayah negara Indonesia, yang berbatasan langsung dengan negara Filipina dan
Malaysia.

Wilayah Provinsi Sulawesi Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh


angin muson. Pada bulan November sampai bulan April bertiup angin barat yang
menurunkan hujan. Sebaliknya angin tenggara yang bertiup dari bulan Mei sampai
Oktober mendatangkan musim kemarau. Curah hujan yang terjadi antara 2000-
4000 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan 90-120 hari. Suhu udara rata-
10

rata adalah 25.2°C. Kelembaban udara tercatat 73,4 persen, dan suhu atau
temperatur dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut. Provinsi
Sulawesi Utara yang beribukota di Manado, terletak pada posisi 0°30 - 5° 35’
Lintang Utara dan 123° 30’ - 127°00’ bujur timur dengan batas wilayah sebagai
berikut :

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina


(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
(3) Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan
(4) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku.

Berdasarkan hasil penelitian dari data sekunder maka di wilayah penelitian


perbatasan Indonesia dan Filipina, jumlah pulau terluar sebanyak 11 (sebelas)
pulau yaitu (1) Pulau Bangkit, (2) Pulau Manterawu (3) Pulau Makalehi (4) Pulau
Kawalusu (5) Pulau Kawio (6) Pulau Marore (7) Pulau Batubawaikang (8) Pulau
Miangas (9) Pulau Marampit (10) Pulau Intata (11) Kakorotan. Penelitian hanya
difokuskan pada dua pulau kecil terluar yang dinyatakan sebagai pulau yang
sangat srategis yaitu Pulau Miangas dengan koordinat 5° 34 2 LU, 126° 34 54
BT dan Pulau Marore koordinat 4° 44 14 LU, 125° 28 42 BT yang masuk
dalan wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten
Kepulauan Talaud.

Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas 11.863,58km2 yang


terdiri dari 105 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 26 pulau berpenghuni dan
79 pulau tidak berpenghuni, terdiri 14 kecamatan, 125 kampung dan 22 kelurahan,
yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dan tanah berbukit yang dikelilingi
oleh lautan. Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak diantara 02°04’13‖ sampai
04°44’22‖ Lintang Utara dan 125°9’28‖ sampai 125°56’57‖ Bujur Timur. Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah daerah perbatasan jang terdiri dari pulau-
pulau terbentang dari utara ke selatan dengan batas batasnya sebagai berikut :

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina


(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan SITARO
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi
11

(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan Laut
Maluku

Wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas 27.061,16 km2 yang


terdiri dari 112 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 30 pulau berpenghuni dan
82 pulau tidak berpenghuni, terdiri 24 kecamatan, 195 kampung dan 26 kelurahan.

Kabupaten Kepulauan Talaud dikategorikan sebagai Daerah Kepulauan, dimana


terdapat 4 gugusan kepulauan yakni : Gugusan Pulau Nanusa (8 pulau), Gugusan
Pulau Karakelang (3 pulau), Gugusan Pulau Salibabu (3 pulau) dan Gugusan
Pulau Kabaruan (2 pulau).

Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud adalah daerah perbatasan, juga


disebut daerah Kepulauan karena terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari
utara ke selatan. Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud terletak antara 4°01'00"
Lintang Utara dan 126°40'00‖ Bujur Timur dengan batas-batasnya sebagai berikut
:

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Republik Filipina


(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.

Permasalahan nasional dan internasional pulau-pulau kecil di wilayah


perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina sebagai berikut:

(1) Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan
ditetapkan secara bersama antara kedua negara
(2) Berdampak positif terhadap hak berdaulat pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya di Zona Ekonomi Eklsklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK)
(3) Berpengaruh terhadap hukum, sosial, dan ekonomi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal sehingga daerah perbatasan sangat
terpengaruh dengan kehidupan negara Filipina
(4) Keterpencilan perbatasan wilayah Indonesia di Provinsi Sulawesi Utara yaitu:
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, sangat
12

berdampak terhadap jaminan hukum, pertahanan dan keamanan negara


Indonesia
(5) Kesenjangan sosial ekonomi dengan negara tetangga semakin tajam
(6) Banyak terjadinya kegiatan transnational crimes, illegal fishing, illegal
logging, woman and child trades (trafficking), illegal imigrant, people
smuggling, peredaran narkotika, pintu masuk teroris, dan potensi konflik
sosial dan politik
(7) Sarana dan prasarana di pulau-pulau kecil terluar sangat terbatas, sehingga
terisolir
(8) Potensi ekonomi pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara belum
dimanfaatkan secara optimal.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah merancangbangun hukum dalam pengelolaan


pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara, dengan mempertimbangkan
keterpaduan pengelolaan pulau kecil di wilayah pesisir bagi keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya, kesejahteraan masyarakat dan pengakuan wilayah
negara Republik Indonesia. Keterpaduan mencakup aspek sumberdaya alam,
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan. Secara spesifik tujuan
penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi coastal problems/coastal disease di daerah perbatasan


negara untuk menyelesaikan problem yang sudah sejak dahulu dan hingga
saat ini berlangsung terus-menerus antara lain: pencurian ikan oleh nelayan
asing, jalur laut pelintasan kapal asing, perusakan dan pencemaran
lingkungan, perdagangan illegal antar negara, penyelundupan, pelintas batas
masyarakat lokal, termasuk kejahatan transnasional seperti jalur terorisme,
perdagangan senjata, perdagangan ikan di tengah laut, narkotika, woman
traficking dan lainnya
(2) Mengidentifikasi hukum internasional yang telah di ratifikasi dan hukum
nasional yang berlaku di wilayah pesisir dan laut sebagai upaya strategi dan
13

harmonisasi hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan


negara,
(3) Mengidentifikasi arah kebijakan penetapan kembali batas wilayah negara
(delimitasi) dan pulau perbatasan sebagai titik dasar (TD), serta titik referensi
(TR) pengukuran untuk pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia serta Landas Kontinen, dalam upaya meningkatan
pendapatan negara dan daerah pada sektor perikanan serta serta sektor lainnya
untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(4) Merancangbangun hukum dan arahan kebijakan nasional maupun regional
untuk perencanaan, pemanfaatan, pengawasan. dan pengendalian pulau-pulau
kecil terluar di perbatasan negara.

1.6 Manfaat Penelitian


Manfaat dalam rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di perbatasan negara antara lain adalah:

(1) Masukan penyusunan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, akan


efektif dan berkelanjutan jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh
negara yang bertetangga serta peningkatan pertahanan dan keamanan negara
terhadap hal-hal yang bersifat geopolitik dapat dibendung jika mengancam
bangsa dan negara Indonesia

(2) Penegakan hukum dalam pencapaian hasil optimal pembangunan kelautan dan
perikanan di Indonesia, terutama di wilayah perbatasan negara, untuk
peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia

(3) Penetapan batas laut negara dan penentuan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
termasuk landas kontinen, untuk menjamin kepastian hukum wilayah
kedaulatan negara yang diakui secara Internasional dan kepastian hak
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil di perbatasan negara
14

(4) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dan pemerintah daerah dalam
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara.
15

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


2.1.1 Laut
Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan
bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik saja, sedangkan laut menurut definisi
hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh
permukaan bumi (Mauna 2005).
Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (DKP 2001),
wilayah laut adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan atau aspek fungsional. Laut merupakan jalan raya yang
menghubungkan seluruh pelosok dunia, melalui laut masyarakat dari berbagai
bangsa mengadakan segala macam pertukaran dari komoditi perdagangan sampai
ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa laut merupakan sarana penting dalam
hubungan internasional, sebagai contoh-contoh kompetisi antar negara-negara
besar untuk menguasai laut, karena barangsiapa yang menguasai laut akan
menguasai lalu-lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu-lintas laut juga akan
menguasai dunia.

Khusus bagi negara pantai, dalam menjalankan kegiatan di laut, maka


perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara bersama oleh negara-negara
pantai melalui konvensi untuk menjaga kebebasan di laut lepas atau kepentingan-
kepentingan khusus negara pantai. (Mauna 2005).

Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS).
Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang
terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS).

2.1.2 Wilayah pesisir


Wilayah pesisir (coastal zone) belum dididefiniskan secara baku, namun
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al. 2001). Sebagai kawasan daratan,
16

wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti
pasang surut, intrusi air laut dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari
proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu
pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi
pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau
kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota.
Dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah
perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang
akan dikelola secara bertanggung-jawab.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian integral
dari pembangunan kelautan dan perikanan, perlu mendapat perhatian dengan skala
prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan
pembangunan nasional. Mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan tempat bermukim sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia
tinggal di wilayah pesisir), juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam
yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati,
sehingga dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil
memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan: ekologi, adminsitasi,
perencanaan, sosial, budaya, dan hukum.

2.1.3 Pulau-pulau kecil


Definisi pulau dalam Pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk
secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada
air pasang, sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 (Bab VIII Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah
massa daratan yang terbentuk secara alamiah, di kelilingi oleh air dan selalu
berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil
secara harafiah merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara
fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya
(mainland).
17

Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol menurut Griffith dan


Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:

(1) terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler


(2) memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan
(3) rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan
manusia
(4) memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan
(5) tidak memiliki daerah hinterland.

Menurut Brookfield (1990), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya


sekitar 1.000 km2 dan penduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini juga
digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida, 1990). Berkaitan dengan hal
tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP 2001) mendefinisikan pulau
kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 2.000 km2 dengan jumlah
penduduk sekitar 200.000 jiwa (Abubakar 2004).

Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi
manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan
penyerap limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan
manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk
kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan
dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang sangat
berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan, sebagai pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
beserta kesatuan ekosistemnya.

2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara


Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga
keberadaannya mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan.
18

Menurut Dahuri (1998), potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan


menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi
ekonomi, dan (3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara.
Lebih lanjut Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam
dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil terluar terdiri dari sumberdaya hayati
(padang lamun, terumbu karang, dan hutan manggrove), yang sangat berperan
dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota
perairan. Sementara itu, potensi sumberdaya non-hayati seperti bahan tambang,
energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.

Upaya untuk menjadikan pulau-pulau terluar sebagai basis pengembangan


komuditas pertanian, perikanan, peternakan atau industri, serta jasa lingkungan
bukan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini dikarenakan oleh
masing-masing sektor mempunyai peluang yang sama. Adakalanya
pengembangan jasa lingkungan pada pulau-pulau kecil terluar mendapat
tantangan dari para aktivis lingkungan, karena diduga dapat merusak lingkungan
ekosistem pesisirnya.

Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya


yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana
perekonomian seperti: jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga
perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan masyarakat
rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan
(Bengen 2004).

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan Pasal 5


dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi
manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
19

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan


dengan cara mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah; (b). antar Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah,
dunia usaha, dan Masyarakat; (e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
(f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

2.3 Hukum Laut Indonesia


Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah
diakui dunia internasional yang penetapannya sejak Indonesia meratifikasi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31 Desember 1985 melalui
Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan
terhadap status Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan dicantumkannya
Bab IV pasal 46 sampai pasal 54 tentang Negara Kepulauan. Menurut Konvensi
Hukum Laut 1982 Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari
berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai
berikut:
(1) Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut
(2) Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut
(3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan
(4) Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari
isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia


memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai
negara kepulauan Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada
sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada
perairan kepulauannya, dan pada zona maritim harus diukur dari garis-garis
pangkal atau garis dasar.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang


Perairan Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah
menetapkan batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di
laut, termasuk memberikan dasar dalam menetapkan garis batas (boundary)
20

dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, baik negara-negara yang


letaknya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Undang-
undang tersebut telah dilengkapi dengan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Karena Peraturan Pemerintah
tersebut, masih memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau
tersebut terdapat 3 (tiga) titik pangkal pengukuran dan letaknya sangat strategis
dalam mempertegas batas-batas terluar, sehingga Pengumunan Pemerintah
tersebut secepatnya dilakukan perubahan sehingga tidak menimbulkan
permasalahan yang baru di wilayah tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna


sebagai satu kesatuan wilayah, memiliki dua aspek utama yaitu keamanan
(security) dan kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan batas-batas terluar
wilayah sebagai yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang bertetangga
perlu dilaksanakan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan pembangunan nasional dibidang pertahanan
keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan
eksploitasi mineral-gas dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk harta warisan
muatan kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Penyempurnaan batas-batas
wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat menunjukkan tegaknya wibawa
Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terwujudnya rasa
aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu.

Posisi geografis Indonesia mempunyai batas dengan sepuluh negara di


perairan dan di daratan tiga negara, sehingga pengaturan wilayah perbatasan
penting diselesaikan karena sangat strategis. Oleh karena itu Indonesia
mengakomodasikan kepentingan internasional di perairan Indonesia, yakni
menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi
perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan,
bagi kapal-kapal asing. Dengan meningkatnya kepentingan keamanan nasional,
maka kebijakan di wilayah laut yang pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-
21

kegiatan di atas permukaan laut, saat ini telah diarahkan pada pengelolaan
sumberdaya di zona ekonomi eksklusif, dasar laut dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalamnya, sehingga terjadi perubahan pengertian hukum laut yang
dahulu bersifat unidimensional sekarang telah menjadi pluridimensional, yang
sekaligus merubahn filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu (Mauna 2005).

2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan

Pembangunan kawasan perbatasan menurut Dahuri yang diacu Pratikto et


al. (2006) mencakup beberapa aspek utama, seperti: (1) geografi (meliputi
pembuatan jaringan perhubungan laut, darat dan udara, serta sarana komunikasi),
(2) demografi (mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk
keperluan kekuatan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta), serta (3)
sumberdaya alam (untuk mengetahui secara rinci data dasar keseluruhan kekayaan
sumberdaya alam dan sistem pengamanannya). Selain aspek utama lainnya
berupa: (4) ideologi (berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan ideologi guna
menangkal ideologi asing), (5) politik (mencakup pemahaman sistem politik
nasional dan menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah
sebagai mitra pembinaan teritorial serta pemahaman politik internasional negara
tetangga), dan (6) perhubungan (mencakup pembangunan sarana perhubungan
sehingga terbuka akses pengembangan ekonomi, pendukung logistik,
pemberdayaan masyarakat dan wilayah pertahanan keamanan). Aspek lainnya
berupa: (7) ekonomi, sosial dan budaya (meliputi peningkatkan akses pasar,
kualitas komuditi, pendidikan kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta
meningkatkan ketahanan budaya guna membendung penetrasi budaya asing) dan
(8) pertahanan dan keamanan (seperti pembuatan pos-pos perbatasan),
pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai
dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa
masyarakat).

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal


memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah untuk
kepentingan nasional maupun internasional. Secara geografis penetapan batas
wilayah negara di darat maupun di laut belum tuntas diselesaikan dimana
22

Indonesia memiliki bagian laut yang langsung berbatasan dengan 10 (sepuluh)


negara tetangga yaitu (1) Australia, (2) Filipina, (3) India, (4) Malaysia, (5) Palau,
(6) Papua Nugini, (7) Singapura, (8) Timor Leste, (9) Thailand dan (10) Vietnam.
Berberapa penjanjian bilateral yang disepakati adalah garis batas laut teritorial,
ZEE dan landas kontinen dengan beberapa negara tetangga antara lain dengan
Singapura, Malaysia, Thailand, India, Papua Nugini dan Aurtralia, sedangkan
Filipina, Palau, Timor Leste, dan Vietnam belum mencapai persetujuan. (Agoes
2002).

Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu dilakukan


secara komprehensif dengan tidak mengabaikan potensi dan karakteristik yang
mencakup antara lain aspek sumberdaya alam hayati dan non-hayati; aspek sarana
dan pra-sarana pembangunan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya,
hukum, kelembagaan, serta geopolitik. Dengan tidak menyampingkan
kepentingan pembangunan pemanfaatan pulau-pulau kecil, maka penataan ruang
sangat penting untuk di dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan
konflik pengelolaan. Penataan ruang pesisir termasuk pulau-pulau kecil dapat
dilakukan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat
penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata, dan konservasi. Penetapan
pengelolaan pulau-pulau terluar dilakukan secara terencana dan
berkesinambungan, terus menenus (continous presence), kemudian dalam proses
penyusunan dituangkan dalam kebijakan jangka panjang di daerah pada dokumen-
dokumen Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana
Aksi.

Wilayah perbatasan Indonesia – Filipina dibatasi oleh pulau-pulau kecil


yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara, dan masuk dalam wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Jumlah pulau-
pulau kecil yang terdapat di dalam dua wilayah tersebut berdasarkan data dari
Dinas Hidrografi–Oseanografi (DISHIDROS) TNI Angkatan Laut November
2003 berjumlah 11 (sebelas) pulau yaitu (1) Pulau Bangkit; (2) Pulau Manterawu;
(3) Pulau Makalehi; (4) Pulau Kawalusu; (5) Pulau Kawio; (6) Pulau Marore; (7)
23

Pulau Batubawaikang; (8) Pulau Miangas; (9) Pulau Marampit; (10) Pulau Intata;
(11) Pulau Kakorotan.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan batas negara di wilayah laut


terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum
ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang
belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan
ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan.
Tindakan yang sering dan selalu terjadi di laut wilayah perbatasan negara yang
merupakan penyakit pesisir (coastal disease) antara lain pencurian ikan oleh
nelayan asing, di daratan kemiskinan masyarakat karena kesulitan akses dan
transportasi, kurang perhatian pembangunan sarana dan prasarana oleh
pemerintah, mobilitas masyarakat di pelintasan batas, pengelolaan sumberdaya
tidak terkontrol, dan kurangnya pengawasan aparat pemerintah, sulit melakukan
pemasaran dan kurang penentuan harga jual hasil perikanan dalam negeri
sehingga penjualan hasil perikanan dilakukan ke negara tetangga.

Menurut Sabarno (2003) dalam pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil


terluar terdapat permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga yang
meliputi :

(1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh


untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar;
(2) Penyelesaian permasalahan perbatasan negara saat ini masih tergantung pada
pertimbangan keuntungan dan kerugian dari wilayah tersebut;
(3) Penetapan batas negara masih menggunakan acuan survei dan pemetaan
wilayah yang bersifat parsial, sehingga realisasinya memerlukan koordinasi
yang panjang dan berbelit-belit;
(4) Penyelesaian permasalahan perbatasan masih bersifat insidentil dan
situasional.

Menurut Numberi (2006) isu tentang pembangunan pulau-pulau kecil


terluar diantaranya adalah kedaulatan, ekonomi dan penegakan hukum.
24

Pengelolaan perbatasan sampai saat ini belum memberikan filosofi riil dan
menyentuh semua aspek yang menyertainya, termasuk teknis pelaksanaannya di
lapangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil terluar yang merupakan landasan juridis yang secara khusus
berkaitan dengan pengelolaan di daerah daerah perbatasan. Beberapa hal yang
penting dalam pengelolaan tersebut adalah mencakup beberapaa bidang yaitu : (1)
bidang sumberdaya alam dan lingkungan; (2) infrastruktur dan perhubungan; (3)
pembinaan wilayah; (4) pertahanan dan keamanan; dan (5) sosial ekonomi dan
budaya.

Pengembangan pulau-pulau di wilayah perbatasan tidak terlepas dari visi-


misi pengembangan kawasan perbatasan secara umum dan kecenderungan
perubahan global dan regional yang terjadi diantaranya adalah:

(1) Liberalisasi perdagangan internasional dan tumbuhnya kawasan-kawasan


perdagangan bebas di ASEAN dan Asia Pasifik
(2) Meningkatkan kerjasama ekonomi sub-regional IMT-GT, IMS-GT, BIMP-
EAGA dan AIDA
(3) Kejahatan teroganisir lintas negara
(4) Perubahan iklim global, pemanasan suhu air laut, pencairan es di kutub utara
dan meningkatnya permukaan air laut, dan
(5) Pencemaran akibat angkutan laut dan pembuangan limbah berbahaya serta
beracun (Retraubun 2006).

Menurut Sarundajang (2006) pemerintah provinsi Sulawesi Utara harus


mampu menjaga wilayah kedaulatannya sebagai bagian kewenangan pengelolaan,
sehingga memberikan citra stabil di perairan nasional dan regional, mewujud-
nyatakan kewenangan pengelolaan di laut, penyelesaian sengketa batas wilayah
laut dengan negara tetangga Filipina dan Kerajaan Malaysia. Program
pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010, telah ditetapkan bahwa kegiatan-
25

kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan


sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berkelanjutan adalah:

(1) Pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis


masyarakat, khususnya di pulau-pulau terluar
(2) Sosialisasi peringatan dini dan penanggulangan bencana alam di laut dan
pesisir (mitigasi bencana)
(3) Managemen kawasan pesisir secara terpadu
(4) Rencana Tata Ruang Pembangunan kawasan pesisir secara terpadu
(5) Pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir
(6) Pengendalian pencemaran
(7) Bersih pantai dan laut
(8) Rehabilitasi ekosistem mangrove
(9) Rehabilitasi ekosistem karang
(10) Pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi laut daerah,
cagar alam laut, dan
(11) Identifikasi penamaan laut.

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu


Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun
2007 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kegiatan pembangunan dan pengalaman empiris, terbukti bahwa
perencanaan pembangunan yang dilakukan secara sektoral, tidak atau belum
membuahkan hasil maksimal dalam mencapai pemanfaatan ekosistem pesisir dan
laut secara berkelanjutan. Oleh karena itu dalam setiap perencanaan pembangunan
perlu pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu, dengan teknik bahwa
pengelolaan pesisir terpadu menjadikan fasilitator optimalisasi keuntungan
ekonomi sosial, pemanfaatan sumberdaya alam, serta jasa-jasa lingkungan di
26

wilayah pesisir. Pendekatan pengelolaan pesisir terpadu dapat menjamin


pemeliharaan struktur dan integritas fungsional ekosistem serta aliran sumberdaya
alam secara berkesinambungan, dan sangat baik untuk negara-negara yang sedang
berkembang dimana pembangunan ekonominya sangat tergantung pada kualitas
lingkungan dan sumberdaya alam.
Dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
seperti yang diatur dalam perundangannya yaitu :

(1) Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor
untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran
dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat
untuk memantau rencana tingkat nasional.

(2) Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.

(3) Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka


kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian
pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah
mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan
di zona yang ditetapkan.

(4) Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan
jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan
perencanaan.

(5) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan
arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh
27

Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan


teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada
gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah.

Dengan pelaksanaan perencanaan pembangunan pengelolaan pesisir secara


terpadu merupakan suatu proses yang dinamis dan terus menerus, dimana segala
keputusan dibuat untuk penggunaan yang berkelanjutan, serta pembangunan dan
perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998) tujuan pengelolaan pesisir terpadu


adalah:

(1) Untuk mencapai pembangunan daerah pesisir dan lautan yang berkelanjutan
(2) Untuk mengurangi gangguan alam yang membahayakan daerah pesisir dan
makhluk hidup yang terdapat di dalamnya
(3) Untuk mempertahankan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan, dan
keanekaragaman hayati di daerah pesisir dan lautan.

Pada prinsipnya pengelolaan pesisir terpadu dapat mengakomodasikan


adanya spektrum zonasi dari wilayah pesisir dan lautan yaitu (1) daerah
pedalaman (inland areas), (2) daerah pantai (coastal lands), (3) perairan pantai
(coastal water), (4) perairan lepas pantai (offshore waters), dan laut bebas (high
sea). Masing-masing zona tersebut memiliki kepemilikan, ketertarikan pemerintah
serta institusi yang berbeda. Melalui beberapa dimensi integrasi yang ada dalam
pengelolaan pesisir terpadu, proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan
menjadi sesuatu yang penting dalam keberlanjutan sumberdaya (Dahuri 2003).

2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Untuk memandu perencanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu


di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menentukan prinsip-prinsip
dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang diuraikan dalam Pedoman Umum
Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu, seperti dikutip secara utuh. Prinsip-prinsip
umum menguraikan mengenai kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi
28

pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, dan keterbukaan serta partisipasi


masyarakat. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: (1) keterpaduan,
(2) desentralisasi pengelolaan, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) keterbukaan dan
peran serta masyarakat, dan (5) kepastian hukum.

2.6.1 Prinsip keterpaduan

(1) Keterpaduan perencanaan sektor secara horisontal


Keterpaduan perencanaan horisontal adalah memadukan perencanaan dari
berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu,
sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri
maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor
pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu
Kabupaten/Kota, Provinsi, atau pemerintah pusat.
(2) Keterpaduan perencanaan secara vertikal
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan
perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi,
sampai tingkat Nasional.
(3) Keterpaduan ekosistem darat dan laut
Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan
kombinasi pendekatan batas ekologis, misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan
wilayah administratif Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis
perencanaan; sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan
pertanian dan industri, perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
(4) Keterpaduan sains dan manajemen
Pengelolaan pesisir terpadu perlu didasarkan pada masukan (input) data dan
informasi ilmiah yang absah untuk memberikan berbagai alternatif dan
rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi,
karakteristik sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan
setempat.
(5) Keterpaduan antar negara
Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan negara tetangga perlu mengintegrasikan
kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumber daya pesisir masing-masing
29

negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antarnegara antara


lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumber daya pesisir yang
bersifat lintas negara, seperti di pesisir antara Pulau Batam dengan Singapura.

2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan

Tujuan utama pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan


sumber daya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian
sumber daya pesisir dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Untuk itu, laju
pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju
regenerasi sumber daya hayati, atau laju inovasi untuk menemukan substitusi sumber
daya nir-hayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi
dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan
harus dilakukan dengan hati-hati (precautionary principles), selain mengantisipasi
dampak negatifnya.

2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat


Keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan akan
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami bahwasanya
perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan Pemerintah pada dasarnya adalah
untuk kepentingan masyarakat.
Prinsip ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut
berperan menyusun perencanaan, melaksanakan, serta memantau sekaligus
mengendalikan pelaksanaannya, sehingga masyarakat pesisir menjadi lebih
berdaya. Keterbukaan Pemerintah dalam menginformasikan rumusan kebijakan dan
rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang akan memberi
peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan gagasan, persepsi,
keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya pesisir. Keterbukaan tersebut juga dapat
menambah wawasan masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh pemerintah.
30

Dengan demikian, kebijakan atau kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah


dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang
muncul akibat penetapan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu, konsultasi publik
yang melibatkan stakeholders utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan, sampai
tahap pengendalian adalah sesuatu yang sangat penting.

2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama

Menurut Ostrom (1996), pemanfaatan sumberdaya properti bersama dibatasi


dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya. Hak-
hak tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Hak Akses adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki
batas-batas fisik yang jelas
(2) Hak Memanfaatkan adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan
cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang
berlaku
(3) Hak Mengatur adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan
stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan
(4) Hak Eksklusif adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak
akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain
(5) Hak Mengalihkan adalah hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak
tadi kepada orang lain.

Hak akses dan hak memanfaatkan lebih bersifat operasional dan melekat
dengan pemegang hak sebagai individu. Keputusan dalam menjalankan hak-hak
ini adalah keputusan individu dan pada hakekatnya tidak dipengaruhi orang lain.
Begitu hak ini diberikan kepada seseorang, dia dapat memutuskan langkah-
langkah operasionalnya sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Oleh
karena itu, kedua hak ini menjamin pemegangnya melakukan aksi-aksi pilihan
individu (individual-choice actions).
31

Hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya properti bersama ini boleh
diibaratkan dengan hak azasi seseorang. Pemilikan hak ini dapat melalui
pemberian, pembelian, penyewaan, perizinan, atau karena faktor warisan dan
keturunan. Seringkali hak-hak ini secara otomatis tanpa dukungan dan bukti
formal yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pelaksanaan
hak-hak ini berpengaruh secara langsung pada tingkat pemanfaatan sumberdaya
properti bersama (Nikijuluw 2002).

Di daerah perbatasan negara, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan


merupakan suatu sistem yang dinamis, karena adanya interaksi dan
interdependensi antar elemen-elemen (subsistem-subsistem) yang saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengelolaan di daerah
perbatasan melibatkan beberapa aktor yang berperan sebagai stakeholder yang
memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap wilayah pesisir di daerah
perbatasan. Stakeholder yang terlibat terdiri dari :

(1) Pemerintah, yaitu lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di daerah perbatasan.
(2) Masyarakat, termasuk masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang secara
terus menerus menetap dan memanfaatkan wilayah pesisir pulau kecil sebagai
tempat tinggal dan atau tempat bekerja, serta memanfaatkan wilayah pesisir
pulau kecil sebagai obyek mata pencaharian utama.
(3) Kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan berbeda dalam hal
pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil di daerah perbatasan.
(4) Swasta, yaitu pelaku ekonomi yang terlibat dalam pengusahaan
pengembangan perikanan, pariwisata dan lainnya.

2.8 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau-Pulau Kecil


Berbeda dengan pulau-pulau besar, masyarakat di pulau-pulau kecil
memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri, sebagai konsekuensi dari proses
evolusi budaya yang telah terjadi dalam suatu rangkaian proses interaksi manusia
dan lingkungannya. Interaksi manusia dengan lingkungannya terjadi dalam suatu
bentuk pola tingkah laku yang dilembagakan, kemudian menghasilkan sistem
adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas, yakni
32

budaya. Selanjutnya budaya yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan


adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek budaya yang berupa
sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut
sebagai cultural core. Oleh karenanya karakteristik inipun menjadi spesifik pada
tempat atau lokasi yang berbeda; sehingga penanganan sistem sosial bagi
pengembangan pulau-pulau kecil pun akan memiliki strategi yang berbeda pada
setiap saat.

2.9 Dimensi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Kecil


Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan pulau yang tidak
berpenghuni. Namun demikian tidak berarti bahwa pulau-pulau tersebut tidak
memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyrakat pesisir dan pemangku
kepentingan (stakeholders). Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang
atau berada pada posisi tertentu, walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki
nilai strategis baik secara sosial maupun ekonomi; misalnya pulau-pulau yang
memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga, terlebih pulau-pulau yang
berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam skala lokal, regional,
nasional maupun internasional.
Beragam ekosistem dan sumberdaya alam kelautan produktif di kawasan
pulau-pulau kecil, menjadikan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang sangat
potensial bagi perkembangan sosial-ekonomi kelautan (Dahuri 2003).

2.10 Aspek Yuridis Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara


Menurut Djalal (1979), Indonesia memiliki kedaulatan terhadap
pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil perbatasan mengacu pada berbagai
ketentuan hukum internasional yang berlaku. Ketentuan awal mengacu pada
ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritime, yang diumumkan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1939. Berdasarkan ketentuan tersebut,
batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut, sedangkan perairan laut diantara
pulau-pulau di dalam negara Indonesia merupakan laut bebas yang dapat
digunakan oleh berbagai negara.
Setelah posisi Indonesia dalam dunia Internasional semakin mantap,
maka Indonesia secara sepihak mengeluarkan deklarasi Djuanda pada tanggal
33

13 Desember 1957 dan menetapkan batas perairan laut teritorial Indonesia


adalah 12 laut. Deklarasi Juanda ini, secara ekplisit menunjukkan pada dunia
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Perairan laut yang ada diantara
pulau-pulau Indonesia merupakan laut nusantara (Mare Nostrum). Wilayah
ini merupakan wilayah kedaulatan mutlak bagi negara kesatuan Republik
Indonesia yang dikenal sebagai "archipelagic state". Batas terluar
"archipelagic state" ditetapkan dari base line pulau terluar Indonesia 12 mil
ke arah laut. Konsep "archipelagic state" menurut Djalal (1979) bahwa
Indonesia bukan berarti mengambil wilayah perairan Internasional tetapi
merupakan pemulihan hak yang sekian lama telah diambil oleh pemerintah
kolonial dari bangsa Indonesia.
Perjuangan Indonesia tentang prinsip "archipelagic state" akhirnya
diakui secara Internasional melalui keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa
pada tahun 1982, dalam bentuk konvensi hukum laut yang disebut United
Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang berlaku mutlak
pada tahun 1994.
Dengan berlakunya UNCLOS 1982, posisi Indonesia terhadap wilayah
laut sangat diuntungkan dan rezim wilayah laut Indonesia menjadi semakin
luas. Menurut Djalal (2000) dan Rais (2003), rezim itu mencakup:
(1) Perairan pedalaman.
Perairan pedalaman adalah perairan yang ditutup oleh garis dasar
penutup teluk, muara dan yang menutup lekukan selebar masksimal 24
mil. Wilayah ini merupakan bagian dari laut yang berada kearah daratan.
(2) Perairan kepulauan
Wilayah ini merupakan perairan yang ada dalam wilayah kepulauan.
Perairan ini lazim disebut perairan nusantara. Dengan demikian perairan
kepulauan merupakan kesatuan wilayah kedaulatan negara berikut ruang
udara, dan tanah yang terdapat di dalamnya.
(3) Laut teritorial
Wilayah ini merupakan bagian laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
dasar kepulauan ke arah laut. Garis dasar kepulauan itu sendiri merupakan
titik terluar dari pulau-pulau terluar. Pulau terluar itu termasuk pulau atol.
34

Batasan ini menunjukkan pulau-pulau kecil perbatasan mempunyai arti


penting sekurang-kurangnya sebagai titik dasar penetapan batas wilayah
kita. Pada wilayah ini Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah
laut teritorial, ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya. Disamping
itu, Indonesia juga berwenang membuat peraturan mengenai lintas laut yang
berkaitan dengan pelayaran.
(4) Zona tambahan (zona berdekatan).
Wilayah ini meliputi laut teritorial ditambah dengan perairan 12 mil ke arah
laut. Dalam zona tambahan ini Indonesia mempunyai wewenang tertentu
seperti pencegahan pelanggaran imigrasi, bea cukai, karantina, serta
menindak pelaku pelanggaran sesuai dengan peraturan.
(5) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona ini adalah bagian laut sejauh 200 mil laut diukur dari garis dasar laut
teritorial. Zona ini bukanlah wilayah kedaulatan dari suatu negara, tetapi
dengan konvensi UNCLOS negara pantai yang memiliki ZEE mempunyai:
1) Hak berdaulat (sovereign right) untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati dari
perairan diatas dasar laut.
2) Kewenangan untuk membangun pulau-pulau buatan dan instalasi di
laut, serta memberi izin atau riset ilmiah kelautan, serta perlindungan
lingkungan laut
(6) Landas kontinen
Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah di bawah dasar laut di luar laut
teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar
dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat
menetapkan dua kriteria landas kontinen. Pertama, wilayah yang lebarnya
dari zona landas kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar
batas teritorial diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200
mil dari garis dasar laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat
menetapkan batas melebihi 200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil
laut atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.
35

Berdasarkan butir 1 sampai 6, maka Indonesia mempunyai hak terhadap


pulau-pulau kecil perbatasan negara yang ada pada keenam wilayah perairan
tersebut. Menurut Djalal (2000) terdapat masalah yuridis batas laut Indonesia
dengan negara tetangga. Masalah tersebut menyangkut perairan Indonesia saat
ini, yaitu ketidakpastian tentang garis terluar, khususnya yang terkait dengan
titik-titik dasar dan batas terluar mulai perairan kepulauan Indonesia yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

2.11 Penanganan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara


Menurut Sabarno (2003), penanganan pulau-pulau kecil perbatasan
negara substansinya menyangkut justifikasi tentang administrasi perbatasan
negara, untuk menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan sosial dalam rangka
menjaga keutuhan NKRI.
Untuk menangani administrasi perbatasan negara Indonesia dengan
negara tetangga, pemerintahan membentuk beberapa lembaga-lembaga ad-hoc
seperti:
(1) General Border Committee (GBC) Republik Indonesia-Malaysia, yang
penangananya dilakukan oleh MABES TNI
(2) Joint Commission Meeting (JMC) Republik Indonesia-Malaysia,
penanganannya diserahkan kepada oleh Kementerian Luar Negeri RI.
(3) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia-Papua New Guinea,
penanganannya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI.
(4) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia - Republik Demokratik
Timor Leste, penanganannya dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam
Negeri RI.
(5) Sub Komisi Teknis Batas Landas Kontinental, penanganannya diserahkan
kepada Kementerian Luar Negeri.
(6) Sub Komisi Teknis Survey dan Demarkasi (untuk batas darat Republik
Indonesia - Malaysia), penangannya diserahkan kepada Kementerian Dalam
Negeri RI.
36

(7) Sub Komisi Teknis Survey Penegasan dan Penetapan Batas Republik
Indonesia - Papua New Guinea, penangananya oleh MABES TNI.
(8) Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation Republik Indonesia
- Republik Demokratik Timor Leste, penanganannya oleh MABES TNI dan
BAKOSURTANAL.

Lebih lanjut dikemukakan Sabarno (2003), bahwa kejelasan batas negara


Indonesia dengan negara tetangga harus mendapat prioritas utama, karena sangat
mempengaruhi kontinuitas pelaksanaan pembangunan. Pengalaman
menunjukkan bahwa secara yuridis formal pelaksanaan pembangunan di wilayah
perbatasan negara masih menghadapi kesulitan karena belum adanya kejelasan
kesepakatan perbatasan sehingga sejumlah program pembangunan tidak dapat
diimplementasikan.

2.12 Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara


Menurut Dahuri (2003), Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan
pulau-pulau kecil, saat digulirkannya wacana penyewaan pulau-pulau kecil oleh
Kementerian Eksplorasi Laut dan Perikanan pada pertengahan tahun 1999. Isu
ini bahkan menjadi bahan dengar pendapat di DPR. Wacana ini mendapat
sambutan hangat, karena saat itu Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi
yang cukup serius, sehingga penyewaan pulau-pulau kecil seakan merupakan
alternatif sumber pendapatan negara untuk pembiayaan pembangunan. Oleh
sebab itu, pemerintah melakukan penajaman dalam melihat potensi yang
dimiliki pulau-pulau kecil secara lebih terarah, namun kepentingan sektoral
masih terkesan sangat menonjol.

Posisi geografis yang strategis menyebabkan beberapa pulau-pulau kecil


perbatasan mempunyai potensi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk
berbagai kepentingan, karena:

(1) Berada pada jalur lintas perdagangan internasional, pemerintah telah


memutuskan beberapa kebijakan strategis.
(2) Dapat dijadikan pusat transit komoditas primer untuk tujuan ekspor ke
berbagai negara, antara lain: Pulau Marore dan Pulau Miangas.
37

(3) Dapat dijadikan sebagai obyek wisata ekslusif untuk mendapatkan devisa,
dengan menyediakan aturan yang berkaitan dengan investasi.

Sementara itu, secara institusional pemerintah telah memberikan


wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyusun
kebijakan nasional dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati di
pulau-pulau kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, juga menyusun strategi jangka
pendek dan jangka panjang.

Strategi jangka pendek yang ditempuh menurut Dahuri (2003) adalah:


(1) Membuat rancangan Keputusan Presiden tentang pengembangan pulau--
pulau kecil terluar yang mempunyai titik dasar untuk dikelola oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai basis pengembangan
perikanan terpadu yang berbasis potensi.
(3) Memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir ke masyarakat pulau di daerah
perbatasan.
(4) Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau kecil terluar.
(5) Mensosialisasikan pentingnya menjaga pulau-pulau kecil terluar.

Strategi jangka panjang meliputi :


(1) Menarik investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa
lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari.
(2) Mendeklarasikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi
sebagai kawasan konservasi.
(3) Melakukan penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil termasuk laut dan
pesisirnya.
(4) Meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan.

(Abubakar 2004).
38

2.13 Kejahatan Wilayah Perbatasan

Kejahatan (crime) dan pelanggaran (violation) perikanan adalah dua


bentuk tindakan atau perbuatan melawan peraturan perundang-undangan
perikanan. Pada perspektif nasional, hal tersebut berarti perbuatan melawan
hukum nasional, yaitu hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sejauh ini,
hukum positif perikanan yang merupakan payung serta rujukan bagi keseluruhan
aturan atau regulasi perikanan adalah Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU 31/2004).
UU 31/2004 ini mengatur secara komprehensif pokok-pokok pembangunan
perikanan yang berawal dari penataan atau pengelolaan sumberdaya perikanan,
pemanfaatan, pengawasan, hingga pengolahannya dan pemasaran produk
perikanan. UU 31/2004 ini juga memberikan arahan bagi pembangunan
masyarakat perikanan, terutama pemberdayaan nelayan serta pengembangan
usaha perikanan. Selain itu, UU 31/2004 memuat ketentuan tentang perbuatan
atau peristiwa pidana yang berkaitan dengan perikanan serta pengadilan atas
perbuatan atau peristiwa pidana tersebut. Perbuatan pidana atau peristiwa pidana
pada UU 31/2004 ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan
perikanan dan pelanggaran perikanan. (Nikijuluw 2008).

Kejahatan lainnya yang sangat rawan di daerah perbatasan adalah terorisme,


dimana daerah perbatasan dapat menjadi tempat masuk keluar terorisme dan
pulau-pulau kecil menjadi tempat persembunyian. Teroris bukan suatu peristiwa
yang baru di Indonesia.

2.14 Dimensi Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan


Ada tiga hal berkenaan dengan pengelolaan perbatasan, yaitu: (1)
alternatif lembaga pengelola wilayah perbatasan (2) kelebihan dan kekurangan
ketiga alternatif, dan (3) implikasi terhadap sebuah usulan kebijakan (Wila 2006).
Pertama mempertahankan struktur kelembagaan yang ada seperti sekarang ini,
kedua, perlu memiliki badan khusus yang langsung bertanggung jawab kepada
presiden, ketiga tidak perlu sebuah badan akan tetapi dibentuk forum, dewan atau
board perbatasan.
39

Kelebihan dan kekurangan dari ketiga alternatif kelebihannya adalah


mempertahankan stuktur yang telah ada seperti Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Dalam Negeri dan lainnya. Kelemahannya adalah penegakan
akuntabilitas publik dari pelaksanaan pengawasan atau implementasi dari masing-
masing peran dan tugas yang diemban oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Implikasi sebuah usulan kebijakan dengan konsep debirokratisasi atau


reinveting government dalam setiap kelembagaan perbatasan yang akan dibentuk
untuk mendukung ke arah akuntabilitas kelembagaan dan optimalisasi kinerja
yang semakin meningkat.

Menurut Dunn (2000), kebijakan meliputi tiga pendekatan yaitu: (1)


pendekatan empiris, yaitu pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari
kebijakan publik; (2) pendekatan evaluatif, yaitu pendekatan yang berkenaan
dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, (3) pendekatan
normatif, yaitu pendekatan yang berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang
dapat memecahkan masalah kebijakan. Dalam proses penelitian, analisis
kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yaitu: deskripsi, prediksi, evaluasi
dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan, maka
prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil sedangkan
deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.

Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan


pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Dalam
pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non
struktural yang berada di bawah dan bertangung jawab kepada Presiden.
Kelembagaan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilaksanakan oleh Tim
Koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator
Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Wakil Ketua I
merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II
merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan
40

terdiri dari 17 (tujuh belas) yaitu : (1) Menteri Pertahanan; (2) Menteri Luar
Negeri; (3) Menteri Perhubungan; (4) Menteri Pekerjaan Umum (5) Menteri
energi dan Sumberdaya Mineral; (6) Menteri Kesehatan; (7) Menteri Pendidikan
Nasional; (8) Menteri Keuangan; (9) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
(10) Menteri Kehutanan; (11) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13)
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; (14) Sekretaris Kabinet; (15)
Panglima Tentara Nasional Indonesia; (16) Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia; (17) Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar mengacu pada Tata Ruang


Wilayah oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali tentang batas di
wilayah laut terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini menjadi
penting untuk pelaksanaan pengelolaan dan kepentingan nasional keutuhan batas
negara serta implementasi dari ratifikasi UNCLOS Tahun 1982 yang telah
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nation Convention on the Law of The Sea.

Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama untuk menegakan


kedudukan dan kewenangan kelembagaan. Oleh karena itu penegakan hukum
harus dikembangkan untuk menjamin kepastian hukum sehingga setiap institusi
yang berkepentingan di bidang kelautan dan perikanan mampu memainkan peran
sesuai yang diharapkan. Penegakan Hukum yang efektif juga akan menjamin
sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif. Pengembangan
penegakan hukum dapat bersifat prefentif dan represif. Pengembangan penegakan
hukum yaitu mencakup pengembangan sistem dan prosedur penanganan
pelanggaran dan penyelesaian sengeketa di bidang kelautan dan perikanan di
wilayah perbatasan.

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara,


batasan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut
dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
41

teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Selanjutnya disebutkan tentang definisi wilayah perairan, wilayah


yuridiksi bahwa Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan,
dan laut teritorial. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara
yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan
di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah
kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional, sedangkan
Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak
berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak
pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal
Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi
Badan Nasional Pengelola Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3, mempunyai tugas :
(1) penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan;
(2) pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan,
pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan;
(3) pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas
Wilayah Negara;
(4) inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona
pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan
zona lainnya di Kawasan Perbatasan;
42

(5) penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana


perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan;
(6) penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas;
(7) pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan
(8) pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, BNPP menyelenggarakan fungsi di


antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi
pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Selain itu BNPP
memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan. BNPP juga berfungsi untuk menyusun program dan kebijakan
pembangunan sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan
perbatasan. Serta, menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas
wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas.

Susunan keanggotaan BNPP berdasarkan Pasal 6, terdiri dari (a) Ketua


Pengarah : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kamanan; (b) Wakil
Ketua Pengarah I : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; (c) Wakil Ketua
Pengarah II : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; (d) Kepala
BNPP : Menteri Dalam Negeri. Sedangkan anggota terdiri atas : (1) Menteri Luar
Negeri; (2) Menteri Pertahanan; (3) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (4)
Menteri Keuangan; (5) Menteri Pekerjaan Umum; (6) Menteri Perhubungan; (7)
Menteri Kehutanan; (8) Menteri Kelautan dan Perikanan; (9) Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; (10)
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; (11) Panglima Tentara Nasional
Indonesia; (12) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (13) Kepala Badan
Intelijen Negara; (14) Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional;
(15) Gubernur Provinsi terkait.
43

3 METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan


Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih
untuk penelitian sangat menarik karena berbatasan langsung dengan negara
Filipina. Waktu penelitian pengambilan data primer telah dilakukan pada bulan
Mei dan Juni, karena keadaan cuaca dan laut di wilayah penelitian sangat
menunjang untuk penelitian, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan
sejak penyusunan usulan penelitian hingga proses pengolahan data.

Sumber : Microsoft Encarta 2009

Gambar 2 Peta perbatasan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara

3.2 Rancangan Penelitian

Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar sangat strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta
pengelolaan pulau kecil dikaitkan dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu
diteliti dengan menganalisis potensi dan permasalahannya yang mencakup aspek
sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan termasuk
pertahanan dan keamanan.

Hasil yang ditemukan dari penelitian yaitu konsep tentang pengelolaan


pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara dan konsep peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang perbatasan negara.
44

3.3 Tahapan Penelitian Analisis Data

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud ditetapkan


sebagai lokasi penelitian setelah memperhatikan aspek-aspek yang spesifik yaitu:

(1) Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan


wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Filipina.
(2) Dari sekitar 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan kepulauan, maka terdapat
11 pulau yang posisinya tercatat sebagai pulau-pulau terluar, baik berpenghuni
maupun tidak berpenghuni.
(3) Terdapatnya potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan seperti: perikanan
laut, pertanian tanaman kelapa pala dan cengkih; pariwisata bahari, sehingga
penanganan serta pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, harus segera diimplementasikan.
(4) Perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil terluar harus lebih
ditingkatkan, karena sangat rentan terjadinya permasalahan: perusakan
lingkungan, pencurian ikan, pelintas batas, penyelundupan, dan perdagangan
manusia, pertahanan keamanan.
(5) Kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar belum tersedia secara
lengkap, sehingga penelitian ini dapat menghasilkan konsep formulasi hukum
dan pelaksanaannya serta informasi terkait untuk pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.

Berdasarkan kriteria di atas maka kegiatan penelitian telah dilakukan


dengan tahap persiapan yang mencakup penetapan lokasi, penyusunan kuesioner,
penentuan responden/key person untuk menjawab tujuan penelitian. Tahap
selanjutnya adalah pengumpulan data yang meliputi: data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden/key person dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara yang mendalam/indept interview.
Pengumpulan data dilakukan di tiga lokasi, yaitu: Jakarta, Provinsi Sulawesi
Utara, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud. Setelah
data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisis, kemudian dilanjutkan
dengan penyusunan disertasi sebagai tahap akhir. Skematis disajikan pada
Gambar dibawah ini:
45

Persiapan
penelitian

Perumusan dan
Pengumpulan data
penyusunan
proposal penelitian

Penyusunan
kuesioner Studi
Pustaka
Data
Data Sekunder
Primer
Pusat

Provinsi

Kabupaten

Pengolahan dan validasi data Analisis Data Penulisan Disertasi

Gambar 3 Diagram tahapan penelitian

Tahapan penelitian pengumpulan data sekunder menggunakan metode


partipafory appraisal dalam bentuk field research. Menurut Babbie (1991), bahwa
field research merupakan metode penelitian sosial yang menggunakan
pengamatan langsung terhadap status subjek penelitian pada kondisi yang
sebenarnya. Field research rnerupakan gabungan dari pengamatan partisipasi,
pengamatan langsung dan studi kasus, dan secara umum adalah metode penelitian
sosial yang bersifat kualitatif.
Teknik untuk melihat hubungan antar stakeholder dari berbagai lembaga
yang dijadikan expert berdasarkan analisis AHP, menggunakan teknik dengan
diagram Venn, yaitu merupakan teknik yang bermanfaat untuk melihat hubungan
masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di dalam lingkup penelitian.
Diagram venn memfasilitasi diskusi untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang
berkaitan secara langsung maupun tak langsung terhadap permasalahan yang
dihadapi, serta menganalisa dan mengkaji perannya, kepentingannya untuk
masyarakat dan kelembagaan. Lembaga yang dikaji meliputi lembaga-lembaga
46

lokal, lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga


swasta termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan orang-orang yang
berpengaruh. Diagram Venn bisa sangat umum atau topikal; mengenai orang atau
lembaga-lembaga tertentu yang menjadi objek informasi (expert), dan kegiatannya
berhubungan dengan kebijakan nasional, daerah dan hal-hal yang besifat khusus.

Gambar 4 Diagram Venn untuk hubungan stakeholder


sumber: http://www.ci.neenah.wi.us

Untuk kebutuhan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder.


Data sekunder berupa data akurat (valid) dari instansi terkait dalam penelitian,
berupa data dan informasi yang langsung diperoleh melalui pengamatan lapangan
dan wawancara dengan expert pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah
termasuk masyarakat di lokasi penelitian. Data dan informasi diperlukan untuk
memperoleh pemikiran key person dan responden sebagai bahan formulasi
kebijakan rancangbangun hukum dan pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di daerah perbatasan negara. Secara rinci key person yang dipilih yang
memiliki relevansi tugas dan fungsi secara langsung maupun tidak langsung
ditetapkan sebagai responden penelitian adalah yang memiliki peran strategis
tertera pada Tabel 1 berikut ini :
47

Tabel 1 Daftar ekspert dan instansi responden


No Expert Jabatan Fungsi
1 Kementerian Luar Kasubdit Perjanjian Politik, Keamanan Penyelesaian
Negeri, dan Kewilayahan, Ditjen Hukum dan Perbatasan
Perjanjian Internasional
2 Kementerian Dalam Kasubdit Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Pengelolaan Wilayah
Negeri Kecil Ditjen Bina Bangda Pesisir Daerah
(Pembangunan Daerah)
3 Kementerian Kelautan Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pengelolaan Wilayah
dan Perikanan Pulau Kecil Pesisir & PPK
4 Kementerian Pekerjaan Kasubdit Pembinaan Pemanfaatan dan Pembangunan
Umum Pengendalian Penataan Ruang Direktorat Infrastruktur
Penataan Ruang Wilayah II
5 TNI AL Kasi Hukum Lantamal VIII Manado Pertahanan
Keamanan Negara
6 DPR RI Anggota Dewan Penetapan Kebijakan
Nasional
7 DPRD SULUT Wakil Ketua DPRD Sulut Penetapan Kebijakan
Daerah
8 Pemerintah RI Diplomat / Ahli Hukum Laut Peran Internasional
di PBB
9 Pemerintah Filipina Konsulat Jenderal (Konjen) Filipina, di Peran Internasional
Manado di PBB
10 Pemerintah Provinsi Kabid Pengembangan Wilayah Bappeda Pelaksanaan tugas
SULUT Sulut pembantuan
11 Pemerintah Kabupaten Kepala Badan Perencanaan Pelaksanaan tugas
Kepulauan Sangihe Pembangunan Daerah pembantuan
12 Pemerintah Kabupaten Bupati Kepulauan Talaud Pelaksanaan tugas
Kepulauan Talaud pembantuan
13 Akademisi Dosen UNSRAT/UNPATI Kajian Akademik
14 Investor Ketua HNSI Sulut Pengembangan
Investasi
15 Tokoh Masyarakat/Adat Ketua Pusat Kajian Komunitas Adat dan Informasi Sejarah
Budaya Bahari Yayasan Marin-CRC dan Adat Istiadat
Manado

Tahapan analisis data rancangan bangun hukum dan pelaksanaan


pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan negara disajikan pada Gambar 3.
Analis data dilakukan dengan analisis kondisi awal dan kebijakan yang telah
dilakukan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara
dengan teknik field research / survey.

3.4 Metode Analisis


Sebagai bagian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka
dilakukan beberapa metode analisis yaitu :
48

3.4.1 Analytical hierarchy process (AHP)


Analisis kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP)
untuk pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode
ini menstrukturkan masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-
pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. (Saaty 2003). Analisis
kebijakan menggabungkan 5 (lima) prosedur umum yang lazim dipakai dalam
pemecahan permasalah, yaitu perumusan masalah (definisi), peramalan (prediksi)
rekomendasi (preskripsi), pemantauan, dan evaluasi (Dunn 2000). Perumusan
masalah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan
masalah kebijakan.

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan


dengan pendekatan system, Prosedur yang diwajibkan pada penggunaan metode
AHP adalah:
(1) Perumusan tujuan (sasaran), kriteria dan alternatif yang merupakan unsur-
unsur dari permasalahan yang dikaji,
(2) Penyusunan struktur hirarki,
(3) Penentuan prioritas bagi setiap kriteria dan alternatif dengan bantuan skala
nilai yang memadai, nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh kriteria dan alternatif, dan
(4) Konsistensi logis dengan menggunakan kriteria nilai consistency ratio (CR).

AHP digunakan untuk menurunkan skala rasio dari beberapa perbandingan


berpasangan yang bersifat diskrit maupun kontinu. Perbandingan berpasangan
tersebut dapat diperoleh melalui pengukuran aktual maupun pengukuran relative
dari derajat kesukaan, atau kepentingan atau perasaan. Dengan demikian metoda
ini sangat berguna untuk membantu mendapatkan skala rasio dari hal-hal yang
semula sulit diukur seperti pendapat, perasaan, prilaku dan kepercayaan.
Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan
dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama,
kriteria-kriteria, subkriteria-subkriteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas.
Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam
struktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matrik dengan
49

skala rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsi-eigen. Matrik
tersebut berciri positif dan berbalikan, yakni aij = 1/ aji
Issue /
Goal

Define Criteria
and Sub Criteria

Structure the
criteria into a
Hierarchy

Weight the criteria


using pairwise
comparisons

Check the
consistency of
the evaluation

Check the results and


reiterate if necessary

DECISION /
Alternative

Gambar 5 Langkah umum AHP (modifikasi)


sumber : www.cdo.unimelb.edu\cdo

Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993)
seperti dalam tabel skala pendapat sebagai berikut:

Tabel 2 Skala pendapat (nilai dan definisi)


Nilai Definisi
1 Sama penting (equal)
3 Sedikit lebih penting (moderate)
5 Jelas lebih penting (strong)
7 Sangat jelas penting (very strong)
9 Mutlak lebih penting (extreme)
2, 4, 6, 8 Apabila ragu antara dua nilai yang
berdekatan
1 / (1 – 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari
skala 1 – 9
Pembobotan kriteria
50

Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat
dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative)

Rasio Konsistensi AHP menurut Saaty bahwa di tentukan dengan


menggunakan nilai eigen max, dalam indeks konsistensi dari matriks berordo N,
dengan rumus :

Maximum - n
CI =
n -1

Dimana: CI = Indeks Konsistensi


max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

Nilai konsistensi dapat di cek melalui rasio konsistensi (CR) dengan

menggunakan table dibawah ini :

CI
CR =
RI

dimana CI = Indeks Konsistensui


RI = Nilai random

Table 3 Nilai konsistensi random


Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Konsistensi
0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Random

Pada akhirnya inkonsistensi yang merupakan bagian dari nilai konsistensi


yang di hasilkan tidak dapat melebihi 10%, sehingga hasil yang dihasilkan dapat
di katakan valid, jika nilai inkonsistensi di atas 10% maka kriteria dan
rekomendasi keputusan yang dihasilkan harus di perbaharui kembali.
51

Tabel 4 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum


No SASARAN ALTERNATIF
1 Pilihan rancang bangun 1.1 Perundang-undangan
hukum 1.1.1 Internasional
1.1.2 Nasional
1.1.3 regional
1.2 Kearifan lokal, adat /
tradisional
2 Pilihan pengelolaan pulau- 2.1 Pola konservasi
pulau kecil 2.2 Pola adat istiadat
2.3 Pola usaha
3 Pilihan target pengelolaan 3.1 Pasar lokal / nasional
sumberdaya 3.2 Swadaya masyarakat
3.3 Investasi
3.4. Swakelola
4 Pilihan kelembagaan 4. 1 Pola konservasi
4.2 Pola pemberdayaan
4.3 Pola kemitraan
5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional
5.2 Kebijakan regional
5.3 Kebijakan sektoral
5.4 Adat kebiasaan/tradisional

3.4.2 Analisis SWOT


Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan
strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan
kebijakan pemerintah dalam bidang hukum. Dengan demikian perencana strategis
(strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis pemerintah
(kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal
ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis
situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).
52

Gambar 6 Analisis SWOT

Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menentukan strategi


kebijakan pulau-pulau kecil terluar di wilayah perbatasan Negara, berdasarkan
analisa SWOT, dapat mengambil keputusan penentuan Strategi Wilayah Negara
di Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya antara negara Indonesia dan Filipina.

(1) Kuadran pertama merupakan kondisi yang paling baik, dimana pemerintah
memiliki banyak peluang dan kekuatan, dan strategi yang paling sesuai
adalah Strategi Pertumbuhan (Growth Oriented Strategy) atau Strategi
Agresif (Agresif Strategy)
(2) Kuadran kedua merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
kekuatan, akan tetapi kondisi lingkungan kurang menguntungkan karena
banyaknya ancaman, sehingga strategi yang sesuai adalah Stragegi
Divesifikasi (Diversification Strategy)
(3) Kuadran ketiga merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
peluang, akan tetapi tidak didukung kekuatan sehingga strategi yang
digunakan adalah Strategi Mengubah Haluan (Turn Around Strategy)
(4) Kuadran keempat merupakan kondisi yang paling tidak menguntungkan
dimana pemerintah memiliki banyak kelemahan dan ancaman sehingga
strategi yang sesuai adalah Strategi Bertahan (Defense Strategy)
53

3.4.3 Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum (Diagnosis and Therapy Analisys
of Law)
Permasalahan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi
terjadinya disharmoni hukum pengelolaan, dicerminkan oleh adanya faktor-faktor
sebagai berikut:
(1) Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku
untuk pengelolaan wilayah pesisir.
(2) Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan
wilayah pesisir.
(3) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang pengelolaan
wilayah pesisir.
(4) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders
sumber daya alam wilayah pesisir.
(5) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang
pengelolaan pesisir.
(6) Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum.
(7) Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan
kepentingan.
(8) Penerapan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat
kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost - diffused
benefit, diffused cost - concentrated benefit, concentrated cost - diffused
benefit, dan concentrated cost - concentrated benefit.

Berdasarkan disharmonisasi hukum maka permasalahan hukum dilakukan


dengan menggunakan analisis: Diagnosis and Therapy Analisys of Law (DTAL),
secara kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan nasional, regional dan
adat (tradisonal) termasuk hukum internasional yang diratifikasi.
Permasalahan di pulau-pulau kecil dijabarkan sebagai penyakit pesisir, di
diagnosa untuk mencari akar permasalahannya, kemudian dianalisis dengan
54

pendekatan sosio-yuridis, kemudian hasil yang diperoleh dilakukan terapi sebagai


upaya penanggulangan dan mengharmonisaikan pemberlakuan peraturan.
Data hukum yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan DTAL
melalui pendekatan-pendekatan, yaitu:
(1) Pendekatan historis (historical approach),
(2) Pendekatan undang-undang (statue approach),
(3) Pendekatan kasus (case approach),
(4) Pendekatan komparatif (comparative approach) dan
(5) Pendekatan konseptual (conceptual approach).

Analisis Pendekatan hukum meliputi:

(1) Pendekatan historis, (historical approach), dilakukan dengan menelaah latar


belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi
dan relevan dengan masa kini
(2) Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Dengan Pendekatan undang-undang akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara undang-undang dan UUD atau antara regulasi dan UU.
Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu
yang dihadapi
(3) Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi keputusan yang tetap apakah di pengadilan atau di luar pengadilan.
Kasus ini baik yang terjadi di Indonesia atau di negara lain. Di dalam
pendekatan kasus, beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu
hukum. Studi kasus (case study) merupakan yang terjadi dari berbagai aspek
hukum seperti hukum internasional, hukum pidana, hukum perdata, hukum
administrasi, hukum lingkungan dan hukum tata negara
(4) Pendekatan komparatif, (comparative approach), dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang negara
lain. Disamping undang-undang yang dapat diperbandingkan adalah putusan
55

pengadilan dan perjanjian-perjanjian negara bertetangga. Kegunaan


pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara
undang-undang tersebut
(5) Pendekatan konseptual, (conceptual approach), dilakukan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan dan doktrin, maka peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. (Marzuki 2005).

Mekanisme dalam mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan


dengan pendekatan historis, undang-undang, kasus, komparatif dan konseptual
maka pertama-tama perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan ―peraturan
perundang-undangan‖ yang dikenal dalam cabang ilmu hukum yang bernama
―Hukum Tata Pengaturan‖ (Regelingsrecht; Regelungsrecht), di luar ―peraturan
perundang-undangan‖ (wettelijke regels), ada lagi jenis peraturan lain yang
disebut ―peraturan kebijakan‖ (beleidsregels; pseudo wetgeving). Peraturan
perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau
lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusian dan delegasian.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah
pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangan-undang oleh Undang-
Undang Dasar atau Undang-Undang kepada lembaga negara/pemerintah.
Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa
sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.
Menurut Maria F. Indrati Soeprapto, berbeda halnya dengan peraturan
perundang-undangan, pada peraturan kebijakan tidak mudah diurutkan secara
hierarkis. Hal ini karena jenis peraturan kebijakan itu selain menyangkut lembaga
pemerintah yang sangat banyak, juga sifat peraturannya bermacam-macam.
56

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM


FOKUS PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR

SUMBER SOSIAL HUKUM &


TUJUAN DAYA ALAM EKONOMI KELEMBAGAAN
BUDAYA

PENGELOLAAN KESEJAHTERAAN PENETAPAN


BERKELANJUTAN MASYARAKAT BATAS NEGARA

TINDAKAN
COASTAL
PROBLEMATIC

KONSERVASI STAKEHOLDERS TATA KELOLA


KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN PENEGAKAN
KEBIJAKAN SUMBERDAYA HUKUM
TERPADU

PENGAKUAN COMMUNITY
KEARIFAN LOKAL PENDANAAN BASED
MANAGEMENT

Gambar 7 Penyusunan hirarki


57

ANALISIS ISI KEPUTUSAN

Pendekatan Historis Lintasan sejarah Dokumen


(historical pemanfaatan pulau- penunjang
approach) pulau kecil pengelolaan

Pendekatan Telaah hukum dan Pentaatan dan revisi


undang-undang pelaksanaannya
(statue approach)

Pendekatan kasus Keputusan Penegakan hukum


(case approach) pengadilan dan adat

Pendekatan Perbandingan Perjanjian


komparatif Internasional &
(comparative approach) Sistem Hukum ratifikasi

Pendekatan Perkembangan Penemuan hukum


konseptual hukum
(conceptual

Model Kebijakan Pembangunan &


harmonisasi hukum

Gambar 8 Bagan alir analisis rancangbangun hukum dalam


pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
58

4 GAMBARAN UMUM DAN POTENSI WILAYAH


4.1 Gambaran Umum Wilayah
Provinsi Sulawesi Utara dalam prospektif regional maupun internasional
berada pada posisi yang sangat strategis karena terletak di bibir Pasifik (Pasifik
Rim) yang secara langsung berhadapan dengan Negara-negara Asia Timur dan
Negara-negara Pasifik, sehingga menjadi lintasan antara dua benua yaitu Benua
Asia dan Australia serta dua Samudera yaitu Samudera India dan Pasifik. Posisi
strategis ini menjadikan Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang Indonesia ke
Pasifik dan memiliki potensi untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam
AFTA. Secara administratif, Provinsi Sulawesi Utara terbagi menjadi 6
kabupaten, 3 kota dengan Manado sebagai ibukota provinsi.

Gambar 9 Peta Provinsi Sulawesi Utara


59

Komoditi tanaman perkebunan yang potensial di provinsi ini adalah


kelapa, cengkeh, pala, kopi, kakao dan vanilli. Sektor Perikanan juga termasuk
salah satu sektor unggulan provinsi ini. Komoditi yang dihasilkan berupa
perikanan laut dan perikanan darat termasuk perikanan umum, tambak, kerambah
dan lain-lain. Provinsi ini juga memiliki komoditi sekunder yang diunggulkan
yaitu dari sektor industri pengolahan yang terdiri atas industri kelapa terpadu,
industri minyak goreng kelapa, minyak atsiri, pengolahan kopi, industri makanan
dari kacang-kacangan, pengalengan ikan, tepung ikan dan industri ikan beku. Kini
juga tengah dikembangkan teknik-teknik baru dalam budidaya perikanan laut,
meliputi ikan untuk umpan, ikan kerapu, baronang, rumput laut dan kerang
mutiara. Untuk budidaya perikanan darat fokus diarahkan untuk ikan mas dan
nila. Sektor industri telah banyak perusahaan yang sudah beroperasi dan
menanamkan modalnya di provinsi ini. Perusahaan-perusahaan ini bergerak dalam
bidang industri pengolahan makanan, minuman, kayu, hasil tambang, batubara,
minyak bumi, gas bumi, hasil perkebunan, karet, bahan dasar logam, barang
galian furnitur dan industri jasa.

Potensi sumberdaya perikanan di Provinsi Sulawesi Utara sangat


potensial, tetapi hingga sekarang potensi tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal, terutama di wilayah perairan laut utara Sulawesi Utara, perairan Teluk
Tomini, serta perairan darat di Bolaang Mongodow dan Minahasa.

Provinsi Sulawesi Utara juga memiliki kawasan hutan yang potensial.


Pemanfaatan hasil hutan baru mencapai sekitar 47,5 % dari seluruh areal hutan
produksi yang ada. Jenis hutan yang ada di Sulawesi Utara adalah hutan lindung,
hutan PPA, hutan bakau, dan hutan produksi yang terdiri dari hutan produksi
tetap, terbatas, dan konversi.

Di bidang pertambangan, sumber daya mineral, seperti tembaga, bijih besi,


nikel, emas, serta bahan galian batu kapur, kaolin, sangat potensial untuk
dikembangkan secara optimal. Selain itu, di daerah Lahendong, telah ditemukan
panas bumi yang potensial untuk dikembangkan menjadi tenaga listrik dengan
kekuatan ribuan megawatt. Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang
dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber daya ekonominya.
60

Potensi wisata di Sulawesi Utara cukup beragam, di antaranya wisata


alam, wisata bahari, dan wisata budaya. Keberadaan taman nasional, seperti
Taman Nasional Laut Bunaken dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,
juga berpotensi sebagai salah satu aset wisata alam di Sulawesi Utara.

Sebagai tujuan investasi, provinsi ini juga memiliki berbagai sarana dan
prasarana penunjang diantaranya kawasan industri Bitung Industrial Estate yang
terletak di Bitung-Sulawesi Utara, Bandara Sam Ratulangi di Manado, Bandara
Naha Natuna di Kepulauan Sangihe, Bandara Melonguane di Kepulauan Taulud
dan Bandara Mopait di Bolaang Mongondow serta memiliki Pelabuhan UKI dan
Kotabunan, Pelabuhan Belang, Pelabuhan Tahuna, Pelabuhan Ulu Siau,
Pelabuhan Petta, Pelabuhan Manado, Pelabuhan Marore dan Pelabuhan Bitung.

Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Provinsi


Kepulauan di Indonesia yang terletak di tepian Samudera Pasifik dan berbatasan
langsung dengan Negara Filipina. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Utara
15.466,25 km2 dengan Jumlah penduduk 2.176.000 jiwa, memiliki 6 Kabupaten 3
Kota yakni, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten, Minahasa, Kabupaten
Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe,
Kabupaten Kepulauan Talaud, Kota Bitung, Kota Tomohon, dan Kota Manado.
Dengan telah ditetapkannya 4 Daerah Otonom Baru 3 (tiga) Kabupaten dan 1
(satu) Kota sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Kotamobagu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Minahasa Tenggara, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007
Kabupaten Bolang Mongondow, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007
Kabupaten Kabupaten Siau Tagulandang Biaro maka Provinsi Sulawesi Utara saat
ini telah memiliki 9 (sembilan) Kabupaten dan 4 (empat) Kota.

4.1.1 Kabupaten Kepulauan Sangihe

Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di antara 02°04'13" sampai


04°44'22" Lintang Utara dan 125°9'28" sampai 125°56'57" Bujur Timur. Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah daerah perbatasan juga disebut daerah
Kepulauan karena terdiri dari pulau-pulau terbentang dari utara ke selatan dengan
batas-batasnya sebagai berikut :
61

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina


(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Talaud dan Laut Maluku

Sebagai sebuah daerah kepulauan, Pemerintah Kabupaten Kepulauan


Sangihe dengan kebijakan pengembangan wilayahnya menetapkan 3 (tiga)
gugusan kepulauan berupa gugusan kepulauan Sangihe, gugusan kepulauan Siau
dan gugusan kepulauan Tagulandang – Biaro. Selanjutnya gugusan kepulauan ini
dibagi dalam 6 klaster yang menunjukkan karakter dan ciri khasnya sendiri. Tabel
berikut memperlihatkan pembagian klaster yang ada di Kabupaten Kepulauan
Sangihe.

Tabel 5 Pembagian Klaster di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten


SITARO
No Klaster Nama Pulau
1 Pulau-pulau Marore, Ehise, Memanuk, Matutuang, Kawaluso dan
perbatasan Dumarehe
2 Sangihe Sangihe dan pulau-pulau sekitar pulau Sangihe
3 Tatoareng Para, Kalama, Kahikitang, Mahangetang, Salengkere,
Apelabu dan Nitu.
4 Siau Siau, Makalehi, Mahoro, Buhias, Pahepa, Kapuliha,
Masare, Laweang, Batu Tikus, Bawondeke dan
Sanggeluhang.
5 Tagulandang Tagulandang, Ruang, Pasighe, Walalang dan
Tahanusangputeng
6 Biaro Biaro dan pulau-pulau sekitar Biaro
Sumber: Bappeda Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2006

4.1.1.1 Klaster pulau-pulau perbatasan

Daerah perbatasan adalah berupa daerah terluar dan termasuk dalam


wilayah NKRI yang berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan daerah yang
dimaksud adalah pulau Marore dan pulau-pulau di sekitarnya. Pulau-pulau yang
masuk dalam wilayah perbatasan ini oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Sangihe ditetapkan dalam satu klaster yaitu klaster pulau-pulau perbatasan, dari
enam klaster yang ada.
62

Pada klaster pulau-pulau perbatasan, Pulau Marore merupakan pulau yang


terletak paling depan dan terdekat dengan perbatasan antara Negara Filipina dan
Indonesia, dengan kondisi tersebut menjadikan pulau Marore sebagai pintu
gerbang perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Marore terletak
paling utara dari wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan posisi geografi
40 44’ 14‖ LU – 1250 28’ 42‖ BT yang memiliki luas + 3,12 km2 dan dibatasi
oleh wilayah laut yang tidak dapat dilayari secara bebas karena jaraknya yang
jauh baik dari pusat kecamatan (ibukota kecamatan) bahkan dengan ibukota
kabupaten dan keadaan cuaca yang sering tidak bersahabat sehingga menjadi
hambatan bagi transportasi laut yang menjadi andalan keterhubungan pulau ini.
Kondisi ini pun berlaku pada pulau-pulau yang termasuk dalam klaster pulau-
pulau perbatasan. Situasi yang tidak menguntungkan, menyebabkan penduduk
terisolir dari wilayah dan kegiatan lain di Republik Indonesia dan sangat rentan
terhadap pengaruh-pengaruh asing.

Klaster Sangihe berada pada posisi geografis 30 17’ – 30 59’ LU dan 1250
20’ – 1250 50’ BT dengan luas mencapai + 702,27 km2 atau 69,33 % luas wilayah
kabupaten secara keseluruhan menjadikan klaster Sangihe sebagai terbesar dari
enam klaster yang ada. Klaster Sangihe merupakan klaster utama sebab pada
klaster ini terdapat pusat pemerintahan kabupaten serta fasilitas-fasilitas yang
berfungsi primer karena melayani seluruh kebutuhan penduduk kabupaten baik
dari sektor ekonomi (perdagangan dan jasa), sektor transportasi (darat, laut dan
udara), sektor pendidikan, sektor pertanian-perkebunan, sektor perikanan, sektor
kesehatan dan sektor pertahanan dan keamanan. Pusat kegiatan ini klaster terletak
di Tahuna yang juga merupakan ibukota kabupaten, pada klaster ini terdapat 10
wilayah administrasi kecamatan dan keterhubungan dengan pusat klaster pada
umumnya dilayani oleh angkutan darat.
63

Klaster Sangihe memiliki kondisi topografis yang bervariasi yaitu dari


dataran landai, kelerengan curam sampai dataran tinggi dan puncak gunung
dengan ketinggian mencapai + 1.320 m dpl. Klaster ini memiliki gunung berapi
aktif (Gunung Awu) yang berada di bagian utara pulau Sangihe Besar. Keaktifan
gunung berapi ini memberi pengaruh yang sangat besar bagi lahan-lahan pertanian
dan perkebunan yang ada disekitarnya. Pengaruh ini memberi dampak yang
sangat besar terhadap hasil bumi yang terdapat di kepulauan ini. Hasil perkebunan
berupa kelapa, cengkih dan pala yang juga berupa primadona bagi kabupaten,
kebanyakan berasal dari klaster ini.

Gambar 10 Peta administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe

4.1.1.2 Wilayah administrasi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan


Kabupaten Kepulauan Sangihe di Provinsi Sulawesi Utara, dan mulai tanggal 10
64

April 2002. Secara administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2005
terbagi dalam 24 kecamatan.dengan jumlah desa dan kelurahan berjumlah 197
desa dan 26 kelurahan. Wilayah administrasi dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah.

Tabel 6 Jumlah Kecamatan, Luas Kecamatan dan Jumlah Desa/Kelurahan Di Kabupaten


Kepulauan Sangihe
Ibukota Luas Jumlah Desa /
No Kecamatan Klaster
Kecamatan (Km2) Kelurahan
1 Biaro Lamanggo 20,85 5 Desa Biaro
2 Tagulandang Buhias 55,53 14 Desa Tagulandang
Tagulandang
3 Kisihang 21,63 5 Desa Tagulandang
Selatan
4 Tagulandang Utara Bawoleu 17,91 6 Desa Tagulandang
10 Desa / 4
5 Siau Timur Ulu 55,94 Siau
Kelurahan
6 Siau Timur Selatan Sawang 24,06 14 Desa Siau
7 Siau Barat Ondong 34,92 10 Desa Siau
8 Siau Tengah Beong 11,80 4 Desa Siau
9 Siau Barat Utara Hiung 18,20 7 Desa Siau
10 Siau Barat Selatan Talawid 15,10 7 Desa Siau
11 Tatoareng Kahakitang 4,57 6 Desa Tatoareng
12 Manganitu Selatan Lapango 87,98 9 Desa Sangihe
13 Tamako Tamako 69,42 16 Desa Sangihe
14 Tabukan Selatan Manalu 68,76 11 Desa Sangihe
Tabukan Selatan
15 Salurang 46,84 7 Desa Sangihe
Tengah
Tabukan Selatan
16 Pintareng 22,29 6 Desa Sangihe
Tenggara
17 Tabukan Tengah Kuma 87,39 15 Desa Sangihe
18 Manganitu Manganitu 66,46 15 Desa Sangihe
19 Tahuna Apengsambeka 18,55 8 Kelurahan Sangihe
Kolongan
20 Tahuna Barat 40,66 6 Kelurahan Sangihe
Mitung
21 Tahuna Timur Tona 32,36 8 Kelurahan Sangihe
Sangihe dan
22 Tabukan Utara Enemawira 121,18 17 Desa Pulau-pulau
perbatasan
23 Nusa Tabukan Nusa 14,73 4 Desa Sangihe
Sangihe dan
24 Kendahe Kendahe 55,79 9 Desa Pulau-pulau
perbatasan
197 Desa / 26
Jumlah 1.012,94
Kelurahan
Sumber : Bappeda Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2005
65

4.1.1.3 Kependudukan

Jumlah penduduk yang terbanyak di Kabupaten Kepulauan Sangihe saat


ini terdapat di Kecamatan Tabukan Utara yaitu sebesar 22.062 jiwa sampai
dengan tahun 2005 dan Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara merupakan
kecamatan yang paling sedikit penduduknya dengan jumlah 2.438 jiwa pada tahun
yang sama. Kepadatan penduduk yang tertinggi adalah di Kecamatan Tatoareng,
mencapai 1.098 jiwa/km2 , walaupun dengan luas wilayah yang relative kecil
yaitu 28,70 km2 sedangkan kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan
Tabukan Selatan Tengah dengan kepadatannya hanya mencapai 57 jiwa/km2 , dari
23 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Tabel 7 Jumlah dan Kepadatan Penduduk


No Kecamatan Luas Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan
(Km2) 2001 2002 2003 2004 2005 (jiwa/km2)
1 Biaro 20,85 3.391 2.983 3.133 3.139 150
2 Tagulandang 55,53 22.294 14.929 14.680 15.803 11.806 212
3 Tagulandang 21,63 3.851 178
Selatan
4 Tagulandang Utara 17,91 5.470 5.472 4.077 4.077 227
5 Siau Timur 55,94 21.905 14.646 15.499 15.365 15.365 274
6 Siau Timur Selatan 24,06 7.001 7.179 7.357 7.357 305
7 Siau Barat 34,92 16.357 12.919 8.956 9.181 7.340 210
8 Siau Tengah 11,80 1.761 149
9 Siau Barat Utara 18,20 4.141 4.114 4.222 231
10 Siau Barat Selatan 15,10 3.961 4.049 3.504 3.504 232
11 Manganitu Selatan 87,98 17.266 11.925 11.906 11.836 11.996 136
12 Tatoareng 28,70 5.359 5.161 5.019 5.019 1.098
13 Tamako 69,42 12.816 13.351 13.015 13.640 13.629 196
14 Tabukan Selatan 63,88 11.778 12.234 6.638 6.455 6.455 93
15 Tabukan Selatan 46,84 3.935 2.993 2.689 57
Tengah
16 Tabukan Selatan 22,29 1.831 2.438 2.438 109
Tenggara
17 Tabukan Tengah 87,39 11.124 11.637 11.485 11.485 11.254 128
18 Manganitu 68,76 13.412 14.544 14.595 13.887 13.887 208
19 Tahuna 18,55 28.190 30.065 30.763 30.385 13.729 740
20 Tahuna Barat 40,66 5.153 126
21 Tahuna Timur 32,36 11.396 352
22 Tabukan Utara 121,18 23.630 21.580 22.251 21.847 22.062 182
23 Nusa Tabukan 14,73 3.243 3.038 3.164 3.190 216
24 Kendahe 55,79 7.097 7.224 7.143 7.145 7.171 128
Jumlah 1.012,93 185.869 193.479 194.720 192.684 192.490 190
Sumber : RTRW Kab Kep Sangihe, Kab Sangihe dalam Angka, 2007
66

4.1.1.4 Perekonomian wilayah


Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang
terletak paling utara di Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara Filipina.
Jarak Tahuna sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe ke Manado sebagai
ibukota Provinsi Sulawesi Utara relatif hampir sama dengan jarak Tahuna ke
General Santos dan Davao City yang merupakan dua kota besar di Mindanao
Selatan. Beberapa gugus kepulauan di Utara Tahuna bahkan memiliki jarak yang
lebih dekat dengan beberapa wilayah di Mindanao Selatan. Walaupun komoditas-
komoditas yang dihasilkan oleh Kepulauan Sangihe relatif sama dengan
komoditas yang dihasilkan oleh beberapa wilayah di Mindanao Selatan, faktor
jarak yang relatif dekat membuat wilayah Filipina Selatan menjadi alternatif
tujuan pemasaran yang penting, disamping Manado dan Bitung yang menjadi
tujuan pemasaran selama ini. Demikian juga, berbagai kebutuhan rumah tangga,
mulai dari beras hingga peralatan dapur selama ini didatangkan dari Pulau Jawa,
baik secara langsung maupun melalui Manado atau Bitung. Dengan terbukanya
jalur perdagangan dengan Mindanao Selatan, maka berbagai kebutuhan rumah
tangga tersebut dapat didatangkan langsung dari sana. Karena faktor jarak, ada
kemungkinan komoditas yang dipasarkan ke Mindanao Selatan memperoleh harga
yang lebih tinggi, sedangkan berbagai kebutuhan rumah tangga yang didatangkan
dibayar dengan harga yang lebih murah. Dalam melaksanakan hubungan dagang
dengan Mindanao Selatan tersebut, kendala yang dihadapi adalah tidak
tersedianya transportasi reguler serta penggunaan mata uang untuk melakukan
transaksi.

4.1.2 Kabupaten Kepulauan Talaud


Daerah perbatasan adalah berupa daerah terluar dan termasuk dalam
wilayah NKRI yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud dan daerah yang
dimaksud adalah Pulau Miangas dan pulau-pulau di sekitarnya.

Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud adalah daerah perbatasan juga


disebut daerah Kepulauan karena terdiri dari pulau-pulau terbentang dari utara ke
selatan. Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud terletak antara 4°01'00" LU dan
126°40'00‖ BT dengan batas-batasnya sebagai berikut :
67

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Republik Filipina


(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.

Pulau-pulau yang masuk dalam wilayah perbatasan ini oleh Pemerintah


Kabupaten Kepulauan Talaud ditetapkan dalam satu klaster yaitu klaster pulau-
pulau perbatasan, dari empat klaster yang ada.

Tabel 8 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Talaud

No Klaster Nama Pulau


1 Nanusa Karatung, Marampit, Kakorotan, Miangas, Malo,
Mangupung, Intata dan Garat
2 Karakelang 3 Karakelang, Nusa Dolom, dan Nusa Topor
3 Salibabu 3 Salibabu, Sara Besar dan Sara Kecil
4 Kabaruan 2 Kabaruan dan Napombaru

4.1.2.1 Klaster pulau-pulau perbatasan

Pada klaster Nanusa, pulau-pulau perbatasan antara lain Pulau Miangas


merupakan pulau yang terletak paling depan dan terdekat dengan perbatasan
antara Negara Filipina dan Indonesia, dengan kondisi tersebut menjadikan Pulau
Miangas sebagai pintu gerbang perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pulau Miangas terletak paling utara dari wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud
dengan posisi geografi 5° 33’ 14‖ LU – 126° 34’ 42‖ BT yang memiliki luas +
3,15 Km2 dan dibatasi oleh wilayah laut yang tidak dapat dilayari secara bebas
karena jaraknya yang jauh baik dari pusat kecamatan (ibukota kecamatan)
bahkan dengan ibukota kabupaten dan keadaan cuaca yang sering tidak
bersahabat sehingga menjadi hambatan bagi transportasi laut yang menjadi
andalan keterhubungan pulau ini. Kondisi ini pun berlaku pada pulau-pulau yang
termasuk dalam klaster pulau-pulau perbatasan. Situasi yang tidak
menguntungkan, menyebabkan penduduk terisolir dari wilayah dan kegiatan lain
di Republik Indonesia dan sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh asing.
68

Gambar 11 Peta administrasi Kabupaten Kepulauan Talaud

4.1.2.2 Wilayah administrasi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan


Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara, dan mulai tanggal 2
Juni 2002 . Secara umum daerah Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki 4
(empat) karakteristik yang unik di bandingkan daerah lain yakni (1) daerah
perbatasan, (2) daerah kepulauan, (3) daerah tertinggal dan terisolasi (4) daerah
rawan bencana alam. Sebagai daerah perbatasan karena letaknya secara geografis
berada di bagian utara Indonesia yang berbatasan dengan negara Filipina. Disebut
sebagai daerah kepulauan karena terdapat 4 (empat) gugusan kepulauan yakni
gugusan pulau Nanusa 8 pulau, gugusan pulau Marore 4 pulau, gugusan pulau
Karakelang 3 pulau, gugusan pulau Salibabu 3 pulau dan gugusan pulau Kabaruan
2 pulau, dengan administrasi pemerintahan meliputi 17 kecamatan, termasuk di
dalamnya Kecamatan Khusus Miangas. Kondisi Kecamatan, Kampung dan
Kelurahan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini :
69

Tabel 9 Luas wilayah kecamatan dan jumlah kampung/ kelurahan, di Kabupaten


Kepulauan Talaud
No Kecamatan Ibukota Luas Jumlah Kelurahan /
Kecamatan (Km2) Desa
1 Melonguane Melonguane 125,74 3/10
2 Melonguane - 16.207,97 -/6
Timur
3 Beo Beo 279,65 -/13
4 Beo Utara - 144,57 2/6
5 Rainis Rainis 263.67 -/11
6 Essang Essang 172.75 -/18
7 Gemeh Gemeh 136.74 -/15
8 Lirung Lirung 223.81 3/4
9 Kabaruan Mangaran 115.61 -/12
10 Nanusa Karatung 60,79 -/9
11 Tanpa namma Dapalan 15.450 -/11
12 Salibabu Salibabu 120.123 -/6
13 Morenge - 12.604 -/6
14 Kalongan - 123.560 -/5
15 Pulutan - 8.426 -/5
16 Damau Damau 75.565 -/8
17 Miangas Miangas 3.15 -/1
Jumlah 1.271,68

Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Talaud, 2007

4.1.2.3 Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Talaud 84.682 jiwa (sumber data


Dinas Kependudukan Kabupaten Talaud, 2004) dengan laju pertumbuhan rata-
rata 1,2% per tahun. Tingginya pertumbuhan penduduk disebabkan oleh migran
dari beberapa daerah di luar Kabupaten Kepulauan Talaud. Keadaan penyebaran
penduduk belum merata, ada kecamatan yang penduduknya padat dan ada
kecamatan yang penduduknya jarang. Mata pencaharian penduduk 93% di bidang
pertanian. Dukungan terhadap sumbangan pendapatan daerah dan penghasilan
utama masyarakat seperti kelapa, cengkeh, pala, vanili, dan lain-lain. Sumbangan
dari sub-sektor perikanan masih relatif sedikit karena di daerah ini kegiatan
nelayan masih bersifat tradisional.

Kondisi kependudukan Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2007 adalah


sebagaimana dalam Tabel 10 berikut ini :
70

Tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten


Kepulauan Talaud

Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah


No L P Total KK
1 Melonguane 4794 4815 9609 1922
2 Melonguane Timur 1808 1804 3612 722
3 Beo 4320 4124 8444 1689
4 Beo Utara 1965 1878 3843 769
5 Rainis 5107 4737 9844 1969
6 Essang 3974 3840 7814 1563
7 Gemeh 3960 3980 7940 1588
8 Lirung 3138 2910 6048 1210
9 Kabaruan 3571 2678 6249 1250
10 Nanusa 2776 2804 5580 1116
11 Tanpa Namma 3556 3394 6950 1390
12 Salibabu 2808 2861 5669 1134
13 Morenge 1827 1893 3720 744
14 Kalongan 1451 1444 2895 579
15 Pulutan 1416 1284 2700 540
16 Damau 2265 2092 4357 871
17 Miangas 325 359 684 137
J umlah 49.061 46.897 95.958 19.192

Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2007

4.1.2.4 Perekonomian wilayah


Pertumbuhan ekonomi daerah ditargetkan sekitar 4,0 – 6,0 persen pada
tahun 2005 dan kemudian meningkat secara bertahap sehingga ditargetkan
mencapai sekitar 6,0 – 8,5 persen pada tahun 2009. Sejalan dengan itu, sasaran
PDRB daerah (dihitung dengan tahun dasar 2002) ditargetkan mencapai sekitar
Rp. 303,753 – Rp. 317,079 miliar pada tahun 2005, dan diproyeksikan meningkat
sehingga dapat mencapai sekitar Rp.372,72 – Rp. 423,404 miliar pada tahun 2009.
Untuk menunjang tercapainya pertumbuhan ekonomi tersebut, maka
diperhitungkan sasaran kebutuhan investasi daerah secara keseluruhan, yaitu
sekitar Rp. 46,731 – Rp. 71,792 miliar pada tahun 2005. Kebutuhan investasi ini
meningkat per tahun sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi, sehingga
mencapai sekitar Rp. 84,390 – Rp. 132,680 pada tahun 2009. sumber pembiayaan
71

investasi ini adalah berasal dari sektor Pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten),
swasta dan masyarakat.
Sasaran pendapatan per kapita dalam bentuk PDRB per kapita pada tahun
2005 adalah sekitar Rp. 3.803.188 – Rp. 3.970.083, dan diproyeksikan akan
meningkat setiap tahun sehingga dapat mencapai sekitar Rp. 4.370.966 – Rp.
4.965.334 pada tahun 2009. Proyeksi ini didasarkan pada angka perkiraan laju
pertumbuhan penduduk Kabupaten Kepulauan Talaud adalah sekitar 1,65 persen
per tahun selama periode tahun 2005 – 2009.
Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang ditargetkan ini diharapkan
akan dapat memperluas lapangan kerja secara berarti, sehingga meningkatkan
penyerapan dan pemanfaatan tenaga kerja di daerah, termasuk penyerapan tenaga
kerja perempuan.
Tabel 11 Sasaran Pertumbuhan Beberapa Indikator Makro Ekonomi Kabupaten
Kepulauan Talaud 2005 – 2009
Umum 2002 2005 2006 2007 2008 2009

1. Pertumbuhan
Ekonomi (%) 3,66 6,0 6,5 7,0 8,0 8,5

4,0 4,5 5,0 5,5 6,0

2. PDRB (Rp. M) 270,035 317,079 337,689 361,328 390,234 432,404

303,753 317,422 333,293 351,624 372,721

3. Investasi (Rp. M) 71,792 82,441 94,553 115,625 132,68

46,731 50,550 63,484 73,324 84,390

4. PDRB Per Kapita


(Rp) 3.970.038 4.159.448 4.378.353 4.651.901 4.965.334

3.803.188 3.909.812 4.038.642 4.191.639 4.370.966

Sumber : Bappeda Kabupaten Kepulauan Talaud

4.2 Potensi Wilayah


Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing, dengan
potensi yang berbeda antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Potensi yang
dimiliki oleh kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar adalah
potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan
kelautan) yang terbentang di sepanjang dan sekitar kawasan perbatasan. Sebagian
72

besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum dikelola, dan sebagian lagi
merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung yang memiliki nilai sebagai
world heritage yang perlu dijaga dan dilindungi.
Potensi pulau-pulau terluar di perbatasan laut cukup besar dan bernilai
ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Sangihe dan
Talaud misalnya, dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi dan kawasan
wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula
pulau yang memiliki potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, tidak seluruh
pulau dapat dikembangkan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan.
Provinsi Sulawesi Utara memiliki 11 (sebelas) pulau-pulau terluar dan yang
sangat strategis dan berbatasan langsung dengan negara Filipina dan dihuni oleh
manusia yaitu Pulau Miangas dan Pulau Marore. Pulau-pulau yang tidak dapat
dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu atau pulau karang dengan luasan
yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal seperti Pulau Batubawaikang
di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Secara umum, pulau-pulau kecil terluar menghadapi permasalahan yang
hampir serupa satu sama lain. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar merupakan
pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki infrastruktur
yang memadai.

4.2.1 Potensi perikanan Kabupaten Kepulauan


Sebagai kawasan Kepulauan Sangihe di daerah perbatasan dengan luas
wilayah laut yang dominan (95 %) dari luas total wilayah, Subsektor Perikanan
menjadi prime mover pembangunan di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Potensi
sumber daya pesisir dan kelautan, perikanan dengan keanekaragaman ekosistem
dan produktifitas hayati yang tinggi seperti ikan, binatang berkulit keras, binatang
berkulit lunak dan rumput laut didukung dengan kegiatan budidaya (perikanan
laut dan perikanan darat) serta lapangan kerja yang tersedia, memberi peluang
bagi pengembangan subsektor ini, walaupun diakui dukungan sarana prasarana
fisik dan pemanfaatn teknologi masih terbatas.
Produksi perikanan laut meliputi penangkapan ikan di laut dan budidaya
ikan di laut. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan ikan di laut di
73

dominasi oleh jenis ikan sebesar 9.776,6 ton atau sebesar 98,19 persen.
Perikanan darat meliputi perairan umum, tambak, budidaya kolam, keramba dan
sawah. Produksi perikanan darat tercatat hanya dari budidaya kolam sebesar 7,03
ton. Di Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat Pelabuhan Perikanan Dagho
yang terletak di Kecamatan Tamako yang telah memproduksi Es 20 Ton / hari
untuk mensuplai kapal-kapal perikanan yang menangkap ikan di daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
Subsektor perikanan mampu menjadi basis dari tahun 2002 sampai tahun
2007 saja. Di tahun 2008 subsektor perikanan ini memiliki pertumbuhan yang
berarti dan tapi hanya mampu memenuhi kebutuhan Kabupaten Kepulauan Talaud
saja dan tidak mampu mengekspor ke daerah lain. Namun bila dilihat secara rata-
rata dari tahun 2002 sampai tahun 2008 subsektor perikanan memiliki nilai rata-
rata sebesar 1,05. Hal ini berarti secara rata-rata subsektor perikanan mampu
menjadi subsektor basis.
Wilayah laut di Kabupaten Kepulauan Talaud yang lebih dari 90 persen
dari seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud menjadikan subsektor
perikanan berrpotensi untuk berkembang lebih optimal lagi. Namun sama halnya
dengan subsektor perkebunan, subsektor perikanan di Kabupaten Kepulauan
Talaud, juga masih merupakan perikanan tradisional. Data terakhir BPS
menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan masih menggunakan perahu jukung
(tanpa motor) dan pump boat (motor tempel), bahkan sebagian besar rumah
tangga perikanan tidak menggunakan perahu dalam menangkap ikan. Subsektor
perikanan di Kabupaten Kepulauan Talaud meliputi penangkapan ikan di laut dan
budidaya ikan di laut. Secara umum tampak bahwa perekonomian Kabupaten
Kepulauan Talaud masih bercirikan ekonomi tradisional dimana sektor pertanian
masih menjadi andalan di daerah.
74

5 HASIL DAN PEMBAHASAN


Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia sangat kompleks keberadaannya
ditinjau dari aspek pengelolaan sumberdaya alam, apabila dihubungkan dengan
kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan
negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar sangatlah
baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur pengelolaan dan tidak
dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi lingkungan dan konflik
antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar negara.
Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan
Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung antara
Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, seperti dilihat dalam
Gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina


75

5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change


(perubahan cuaca), drug trafficking (Peraturan Daerahgangan obat terlarang),
political violence out control (kekerasan politik), illegal fishing (pencurian ikan).
Kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di Indonesia diperkirakan mengalami
kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata
lain, 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih
besar, yakni antara Rp. 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing
tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Secara geografis,


hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan
dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber
perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya.
Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua
(Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan
wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun, daerah yang menjadi
titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi
Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia).

Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut,
begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang
semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat
diakibatkan karena :

(1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan
peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk
mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan
bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh
76

dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun,
pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
intenasional.
(2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat
pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan,
padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang
Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat
dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu,
adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal
fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang
perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus
yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan
kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.
(3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing
secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi
yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada
kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang
dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata
sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing
terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari
5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.
(4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing
para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di
Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan
masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi
izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya
penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap
kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.
77

(5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media
massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus
illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang
berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan
bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa
lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap
16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana
kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak
memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.
(6) Kurangnya koordinasi antar-Kementerian yang terkait dalam mengatasi
masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari
tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah
Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama
antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam
menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC.
Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling
melempar tanggung jawab.
(7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal
fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas
sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya
Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan
Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali
dapat diminimalkan.

Belum tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh


pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang
kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain.
Sebagai gambaran, dapat di lihat negara Filipina yang merupakan negara
mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor
itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara
78

mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang
ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13

Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara

Pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsidi, di mana kerugian


negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp. 500 miliar. Untuk
meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat Undang-
Undang Anti Illegal fishing karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, Pasal 29 dan 30, masih kurang memperhatikan nasib nelayan
dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut, bahkan UU
terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi
sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi
Eksklusif Indonesia).

Pelaksanaan kegiatan tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus


dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan
tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara
dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang
berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus
illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya. Dari gambaran di
atas, dilihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang
mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya


pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah,
79

tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu
karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15
persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari
pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana
yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati


Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan,
pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas
maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai
kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih
bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona
Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini disebabkan
jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada umumnya batas
maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak di Laut Sulawesi
dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku Utara. Panjang
garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona
Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai
yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau
Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.

Gambar 14 Pulau Marore


80

Pulau Marore merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan


Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas 3.12 Km² dimasukkan dalam
anggota gugusan pulau-pulau perbatasan yang langsung dengan negara Filipina.
Pulau Marore merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 61 pada
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar, tercatat pada nomor urut 26.

Pulau Miangas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan


Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Pulau seluas 3.20 Km² ini dimasukkan dalam
anggota gugusan Kepulauan Nanusa, yang merupakan daerah perbatasan langsung
dengan negara Filipina. Pulau Miangas merupakan pulau terluar yang tercatat
dalam nomor urut 63 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia,
sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tercatat pada nomor urut 28.

Gambar 15 Pulau Miangas

Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan


perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di
Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui
pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian yang serius dicurahkan
81

oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari.
Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil
terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara
lain antara lain Pulau Miangas (05°34'02"U 126°34'54"T / TD.056 TR.056 antara
TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056A-
TD.057A = 57.91 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04°44'14"U
125°28'42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan
TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus
Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04°44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak
TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau
Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi.
Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur
28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai
bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban
manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang
dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar
negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya
termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Salah satu hal
penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah
yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah
negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas
maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga,
baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).
Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis
dengan peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, merupakan
landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara.
82

Gambar 16 Peta Garis pangkal di perbatasan Indonesia dan Filipina

Penetapan batas terluar wilayah Negara Indonesia yang berbatasan


langsung di darat yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste,
sedangkan wilayah maritim yang berbatasan langsung yaitu (1) India, (2)
Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik
Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste, dan (10) Papua New Guinea (PNG).

Adapun permasalah yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan 10


negara antara lain :

(1) Perbatasan Indonesia-India.


Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau
Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-
titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman,
sudah disepakati oleh kedua negara. Permasalahan di antara kedua negara masih
timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak,
terutama yang dilakukan para nelayan.
83

(2) Perbatasan Indonesia-Malaysia.


Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah
perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas
maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan
dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas
belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua
negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan
penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia
Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam
menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.

(3) Perbatasan Indonesia-Singapura.


Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah
yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun 1970.
Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan
kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian
nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat
penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh
penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para
nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil
karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya
pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena
dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan
batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

(2) Perbatasan Indonesia-Thailand.


Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan
antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau
Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian
Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan
Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan
84

Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah


keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing
merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai
Indonesia.

(3) Perbatasan Indonesia-Vietnam.


Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan
Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur
landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di
antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan
perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

(4) Perbatasan Indonesia-Filipina.


Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan
Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang
harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint
Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang
secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua
negara secara bilateral.

(5) Perbatasan Indonesia-Republik Palau.


Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE
Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering
timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para
nelayan kedua pihak.

(6) Perbatasan Indonesia-Australia.


Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas
kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-
Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang
baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara
trilateral bersama Timor Leste
85

(7) Perbatasan Indonesia-Timor Leste.


Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada di perbatasan
masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi
secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan
ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan,
dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang
menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi
Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup
besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.

(8) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini.


Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan
maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat
menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan
kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan,
menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi
masalah kompleks di kemudian hari.

5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia
Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan
dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan
nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil
amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit
mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar
harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena
itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa
Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen)
disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan
86

eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa
pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.
Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA,
Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang
tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang
udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan
tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3
menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:

(1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di


Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
(2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
(3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa
perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah
negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara


merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang
harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, dimana
pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari
sumberdaya.
87

Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti


zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan
memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang
terdapat di zona ekonomi eksklusifnya. Dengan demikian maka untuk melindungi
kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani
bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber
daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan penting untuk dilaksanakan pengaturannya di zona
ekonomi eksklusif yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif dan disahkan di Jakarta pada
tanggal 18 Oktober 1983.
Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif, maka pemerintah telah mengeluarkan pengumuman
pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengumuman tersebut menegaskan
tentang rezim hukum internasional yaitu penetapan zona ekonomi eksklusif yang
telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui Konperensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara
(state practice) dimana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai
dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh
kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Di samping itu zona
ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan
negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah
kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona
tersebut. Melalui konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut telah
memberikan rekomendasi hukum kepada Republik Indonesia sebagai negara
pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang
terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak berdaulat tersebut.

Ketentuan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban pula


untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain
88

kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel


dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif. Khusus yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut
negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang
Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati
tersebut.

Di samping asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang


terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok
kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya
agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak
lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan
dengan demikian tercapai pula kepastian hukum.

Berhubung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan


hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik
Indonesia maka kebijakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di perbatasan negara dalam. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
sumberdaya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk
bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Selanjutnya sumber daya alam non hayati adalah unsur alam
bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya
serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Sumberdaya alam perlu di
konservasi sebagai upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan
sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; sedangkan perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Substansi Pasal 1 tersebut mensyaratkan akan tujuan dari Undang-
Undang Zona Ekonomi Eksklusif untuk menjaga dan memelihara ekosistem,
dalam hal ini ekosistem pulau-pulau kecil di perbatasan negara, apabila
berdampingan atau berdekatan dengan zona ekonomi eksklusif.
89

Penentuan batas zona ekonomi eksklusif diatur dalam Pasal 2


menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu :
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi
eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan
dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan
negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan
negara yang bersangkutan.

Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa :
Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak
terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau
garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik
terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara
tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia termaksud.

Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak


berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak
dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh
Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam
di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.

Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik


Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-
90

kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan


perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban
lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia
untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan
penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan
kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables
and pipelines).

Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di
dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang
landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas
kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling
berdampingan dengan Indonesia.

Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti


yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi
eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan
pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian
dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat
udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.

Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau


kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti
pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan
kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau
91

badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah


Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan


hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain
kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan


konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan
tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati,
Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari (maximum
sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia
berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang
diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum
dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan
tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah
kemampuan tangkap (capacity to harvest).

Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah


Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah
tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah
kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara
lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.

Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau


buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi
yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea
cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia
mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti
92

wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan
kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber


kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas
kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar
laut dan tanah di bawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan
kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat.
Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang
berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari
1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang
membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang
Landas Kontinen Indonesia.

Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan


diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk
menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu
Undang-Undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak
atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum.

Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup
kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan
dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah
atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan
olehnya.

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang


terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan
garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara
mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Landas Kontinen
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973.

Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas


Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan
93

wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4


Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin
diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya kekayaan
alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan/atau
di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang
termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya
tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak
kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di
bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan
kekayaan alam dilandas kontinen.

Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil terluar


di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Landas
Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen Indonesia,
termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, termasuk
berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas kontinen
dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara mengadakan
perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan dapat
dilakukan untuk kepentingan negara.

Ketentuan lain yang menyangkut eksploitasi kekayaan diatur dalam Pasal


10 ayat (1) yaitu Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam
di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:

(1) Pertahanan dan keamanan nasional;


(2) Perhubungan;
(3) Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut;
(4) Perikanan;
(5) Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya;
(6) Cagar alam.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihan-
perselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini
mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen
94

Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang


berlaku. Syarat lain diatur dalam ayat (3) yaitu apabila terjadi hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat
menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain
usaha yang bersangkutan.

5.4 Perbandingan antara ketentuan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi


Eksklusif dengan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nation
Convention on the Law of The Sea 1982

Secara historis, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang


Zona Ekonomi Eklsklusif (UU ZEE) umurnya satu tahun lebih muda
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS 1982. Dalam artian, bisa saja ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UU ZEE Indonesia adalah mengadopsi ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982.
Dengan mengenyampingkan bahwa Indonesia barulah meratifikasi UNCLOS
1982 pada tahun 1985, yakni 2 tahun setelah UU ZEE lahir. Namun patutlah
kiranya dapat disinkronkan antara UNCLOS 1982 dan UU ZEE dalam
pengambilan kebijakan penentuan wilayah negara di daerah perbatasan.
Dari segi struktur, UU ZEE terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. Dengan
masing-masing bab mengatur ketentuan tertentu. Sedangkan dalam UNCLOS

1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS
1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS 1982. Meskipun pengaturannya
hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982
dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab.

Dari segi substansi, ketentuan yang ada di dalam UU ZEE lebih


mengkhususkan pengaturannya pada hal-hal yang konkrit ada dan
terimplementasikan dalam wilayah Indonesia, sedangkan ketentuan dalam
UNCLOS 1982 lebih mengatur hal yang sifatnya umum dan universal bisa
diterapkan di berbagai negara yng meratifikasi. Meskipun UNCLOS 1982
tidaklah secara tegas dinyatakan sebagai bahan rujukan penyusunan UU ZEE,
dengan tidak memasukkanya pada konsiderans menimbang UU ZEE, namun
95

substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS 1982. Bahkan
dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex
specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut
beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam
UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE.

5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia


Selaras dengan ketentuan pasal 2 UU ZEE yang menyatakan bahwa Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia, maka pada pasal 55 UNCLOS 1982, tidak secara
menonjol terdapat perbedaan. Bahkan terlihat bahwa konsepsi yang ada dalam
UU ZEE merupakan konkretisasi dari ketentuan pasal 55 UNCLOS 1982.
disamping itu telah tercakup pula ketentuan lebar laut tertitorial yang diatur pasal
57 UNCLOS 1982 dalam ketentuan Pasal 2 UU ZEE ini.

Secara umum dalam UU ZEE dan UNCLOS 1982 menganut prinsip


hukum yang sama yakni terdiri dari:
(1) Hak berdaulat negara pantai
(2) Hak partisipasif bagi negara tak berpantai dan negara lain untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati
(3) Prinsip Keadilan

Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam
Pasal 4 UU ZEE.

Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Coastal


States mempunyai hak berdaulat untuk tujuan:
(1) Explorasi dan exploitasi, konservasi dan mengelola SDA
(2) Aktivitas lain untuk exploitasi ekonomi spt energy production
Coastal States mempunyai jurisdiction yang berkaitan dengan:
(1) Proteksi dan preservasi lingkungan laut
96

(2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE
(3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures
(4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research)
Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi
(Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula
dalam pasal 4 UU ZEE.

UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan
wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau
buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban
memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE
mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara
di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan
dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61.
Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS
1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut
melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun
mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap
mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti
rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE.
Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan
UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan
negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur
perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme
penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara.
Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan
wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur
perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan
mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS 1982.
Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu
ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme
ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan
97

ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 terdapat ketentuan pembebasan dengan


jaminan. Di samping itu terdapat ketentuan larangan untuk melakukan hukuman
badan dalam UNCLOS 1982. sedangkan pada UU ZEE, ketentuan ini tidak
diterapkan secara tegas.

5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil


Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir dan laut, yaitu sumberdaya alam
dan masyarakat, mutlak memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu bagi
keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut. Berdasarkan karakteristik dan
dinamika dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan,
serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir dan
laut, baik dari masyarakat maupun pemerintah, sehingga untuk pencapaian
pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan
melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis konservasi,
masyarakat dan pemerintah.

Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di


daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut
mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara
ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam pencapaian
pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya Alam, Sosial
Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan, yang
merupakan bagian dari pembangunan berlanjutanan.

Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus mengetahui


karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang biogeofisiknya
menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu :
(1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat
insuler,
(2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya
relatif kecil,
(3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran,
(4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,
98

(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi
dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di
batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang
sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,
(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan


pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari
pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu
dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam wilayah
hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan,
diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah.

Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan :


(1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem,
fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
(2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika
lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
(3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam
pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus


dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20
(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan
dituangkan dalam Peraturan Daerah. Fungsi keterpaduan pulau-pulau kecil terluar
terdiri dari fungsi (1) sumberdaya alam, (2) sosial budaya, (3) fungsi sosial politik
(4) fungsi sosial ekonomi, dan (5) fungsi pertahanan keamanan yaitu :
(1) Fungsi Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Alam merupakan satuan kehidupan (organisme hidup/biotik)
saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayati
(fisik/abiotik). Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil terluar
mencakup sumber daya hayati, meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
99

mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir,
air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan.
Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi
tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman
hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui
fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data
dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya.
Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan
masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga
swadaya masyarakat dan masyarakat lokal.
(2) Fungsi Sosial Budaya
Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih
mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan
kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional
yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang
berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan
budaya untuk membendung masuknya budaya asing.
(3) Fungsi Sosial Politik.
Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan
pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian
dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat
pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.
(4) Fungsi Sosial Ekonomi
Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem
dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus
diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh
ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan
100

dengan memperhatikan hak-hak atas tanah dan perairan. Pembangunan sarana


dan prasarana penunjang yang memperkuat ekonomi daerah, dan mendorong
kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat sehingga merupakan pilihan utama yang
harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Dengan pembangunan sosial ekonomi dapat berfungsi sebagai pendukung
logistik wilayah pertahanan keamanan dan pemberdayaan masyarakat
sekaligus kebijakan mengembangkan jalur kerja sama dengan negara tetangga
yang dapat mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, dan pertahanan
keamanan.
(5) Fungsi Pertahanan Keamanan
Secara geografis, pulau-pulau kecil di perbatasan negara sangat terisolasi,
juga mempunyai kepentingan geopolitis tinggi dalam menjaga keutuhan
kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau terluar ditetapkan
sebagai titik pangkal batas negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Saat ini
teridentifikasi berjumlah 92 pulau terluar, dengan 67 pulau berbatasan
langsung dengan 10 negara tetangga.
Pelaksanaan pertahanan dan keamanan, dengan pembuatan pos-pos
perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial
yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan
maupun swakarsa masyarakat dan meningkatkan patroli perbatasan.
Sebagai fungsi pertahanan dan keamanan maka peranan effective occupation
(penguasaan secara efektif) pemerintah pada aspek administrasi, dengan
melakukan kegiatan. Dengan demikian keberadaannya dapat berlangsung
terus menerus (continous presence). Upaya melindungi dan melestarikan
ekologi (maintenance and ecology preservation) juga bisa dilakukan sehingga
menjadikan pulau-pulau kecil sebagai beranda depan negara.
101

5.7 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS
Tahun 1982

Masyarakat internasional yang tergabung alam Perserikatan Bangsa-Bangsa


melalui forum Konperensi Hukum Laut III, telah berhasil merumuskan dan
menandatangani suatu konvensi hukum laut yang baru, pada tanggal 10 Desember
tahun 1982 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982.
Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, Konvensi ini
juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat
internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional
yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif
(progressive development) dalam hukum internasional.

Perkembangan ini disebabkan oleh bertambah pentingnya laut bagi


kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Meningkatnya peranan yang demikian
itu pula disebabkan oleh bertambahnya kemampuan manusia di dalam usaha
memanfaatkan laut sebagai salah satu sumber kehidupan.

Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat
yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi
kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana
pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih
menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan.

Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi
kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa
dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional.
Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi
hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan
laut oleh berbagai negara. Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan
besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling
berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun
yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah
secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan
nasionalnya.
102

Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya potensi kerawanan pada


perbatasan antar negara yang bersumber dari masalah-masalah kelautan, mengingat
klaim-klaim dari sejumlah negara yang tentunya tidak selamanya berdasarkan pada
aturan-aturan yang berlaku, dan kadangkala timbul klaim sepihak seperti Proklamasi
Truman 28 September 1945. Tindakan-tindakan seperti itu akan mendapat reaksi dari
sejumlah negara, khususnya negara-negara yang berkepentingan atas laut maupun
perbatasannya. Sebagai negara kepulauan juga dihadapkan pada masalah yang sama,
mengingat Indonesia memiliki pantai yang terbentang panjang dan luas, yang juga
dikelilingi oleh negara-negara lain baik yang berbatasan dengan daratan maupun
dengan lautan. Demikian pula dari segi geografis Indonesia yang berada pada posisi
silang yang sangat strategis dalam pelayaran internasional, dapat menjadi potensi
sengketa tentang masalah-masalah kelautan.

5.8 Perairan Indonesia


Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima
dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah
menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta)
yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara
kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh
Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan
nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia.
Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai
penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia
juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini
menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut
kepulauan bagi kapal-kapal asing.
103

Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia


tidak ber-maksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai
suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan
wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas
negara kepulauan ini akhirnya diterima dunia internasional.

Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957


dan Undang-Undang Nomor 4/Prp./Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia
bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian
diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara
kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut Tahun 1982.

Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam


Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara
kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp./ Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah
dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa
dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan
Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan
Indonesia terdapat lebih kurang 17.480 pulau yang berada di bawah kedaulatan
Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk


mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat
ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan
dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional
di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah
dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan
pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan
lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan
pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.
104

5.8.1 Perikanan
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa
pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku
usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan
ketersediaan sumber daya ikan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak


dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa
yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat
besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan
perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan
perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat,
keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara


optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan
peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara
berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat


penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara
terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan
perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian
105

hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-Undang ini


lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas
tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus
mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani
tindak pidana di bidang perikanan.

5.8.2 Pemerintahan daerah


Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-
benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu


berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk


menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan
cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan
106

teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,


pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan
dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah
eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan
sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik.
Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan
kawasan khusus tersebut.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat


concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap
urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara


proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota
maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan
pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan


urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan
yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan,
pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah.

Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan


pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional
menjadi kewenangan Pemerintah.
107

Selain itu yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa


pengelolaan urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang
berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-
dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau


Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.

5.8.3 Penataan ruang


Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada
di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan
nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca,
musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat
besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat
strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang
secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan
tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan
secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan,
dan kelestarian lingkungan hidup.
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya
tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan nusantara dan ketahanan nasional dalam Undang-Undang tata


ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan
108

pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.


Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun,
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.

5.8.4 Pengelolaan pulau-pulau kecil


Pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang
dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu,
akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di
pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang
didukung peraturan perUndang-Undangan yang ada sering menimbulkan
kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada
eksploitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis
masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e,
panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa
prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi
dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem
pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati
untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi
dengan sumber daya lain.
Keunikan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan
terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pulau-pulau kecil, perlu dikelola
secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian pulau
kecil dapat dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk
mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi
insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma pengelolaan
pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,
109

pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-


norma yang diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya.

5.8.5 Wilayah negara


Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak
berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A
mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem:

(1) pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap


bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(3) desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
(4) kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
Negara, dan hak–hak berdaulat.

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan


di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam,
110

perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah


Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian
lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-
upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di Kawasan
Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap
bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan
Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang
merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.

Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait


dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan.

5.8.6 Persetujuan pelaksanaan ketentuan-ketentuan konvensi Perserikatan


Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang berkaitan dengan
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam
sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada
tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,
khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan
keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang
beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain
sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.

Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE
ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan
beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik
kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya
dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang
111

berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap
sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul.

Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya


terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam satu wilayah Laut Lepas yang
seluruhnya dikelilingi oleh suatu wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari satu
Negara dan Negara tersebut harus bekerjasama untuk merumuskan tindakan-
tindakan konservasi dan pengelolaan yang berkaitan dengan sediaan tersebut di
wilayah Laut Lepas. Dengan memperhatikan karakteristik alamiah dari wilayah
tersebut, Negara-negara harus memperhatikan secara khusus untuk menetapkan
tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang cocok untuk sediaan tersebut
berdasarkan Pasal 7.

Langkah-langkah yang diambil dalam hal Laut Lepas harus


mempertimbangkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan
dari negara pantai sesuai dengan Konvensi, harus didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan juga harus memperhatikan tindakan-tindakan konservasi
dan pengelolaan yang diambil dan dilaksanakan dalam kaitannya dengan sediaan
yang sama sesuai dengan Pasal 61 dari konvensi oleh negara pantai di dalam
wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Negara-negara harus juga menyetujui
tindakan-tindakan pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum
untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan
dalam kaitannya dengan Laut Lepas.

Berdasarkan Pasal 8, negara-negara harus bertindak dengan iktikad baik


dan membuat setiap usaha menyetujui tanpa penundaan tindakan konservasi dan
pengelolaan untuk diterapkan dalam operasi penangkapan ikan dalam wilayah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Apabila, dalam jangka waktu yang layak,
negara-negara penangkap ikan terkait dan negara pantai tidak dapat menyetujui
tindakan tersebut, mereka harus, dengan memperhatikan ayat (1), menerapkan
Pasal 7 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), berkaitan dengan pengaturan-pengaturan
atau tindakan-tindakan sementara. Sementara menunggu penetapan pengaturan-
pengaturan atau tindakan-tindakan sementara, Negara-negara terkait harus
mengambil tindakan-tindakan berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan
112

bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat
merusak sediaan terkait.

Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui


organisasi-organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau
regional, untuk menjamin penaatan dan penegakan hukum bagi tindakan-tindakan
konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United


Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis
besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk
jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya
jauh (highly migratory fish). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut
dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS
of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling
Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing
Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang
mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang
beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63
dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11
Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan
standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah
menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi
Indonesia.

Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan


perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I
hingga Konferensi Hukum Laut III, namun hingga disahkan Konvensi Hukum
Laut 1982. Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang
komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut
Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang
berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing.
113

Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya


jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus
mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat
internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni
1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negara-
negara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan
multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, dan menjamin bahwa
perikanan di laut lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982.

5.8.7 Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan


Indonesia

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang


ditetapkan untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut, dalam Pasal 6 menentukan bahwa Garis-garis Pangkal
Kepulauan Indonesia harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai
untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai
referensi Datum Geodetis yang diperlukan.

Pembuatan peta laut perairan Indonesia yang memadai untuk


menggambarkan garis-garis pangkal kepulauan memerlukan waktu pembuatan
yang lama, di samping memerlukan dana dan sumber daya manusia yang besar.
Di samping itu perubahan pantai dan dasar laut di sekitarnya oleh kekuatan alam
menyebabkan bahwa kegiatan pembuatan Peta Navigasi memerlukan kegiatan
yang bertahap, terus-menerus, sistematis dan melembaga.

Pembuatan Peta Navigasi yang masih menunggu penyelesaiannya yang


dilakukan secara bertahap, perlu dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk kegiatan pelayanan dan penegakan
hukum di Perairan Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
114

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 Konvensi Perserikatan Bangsa-


Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dalam perairan kepulauan dapat ditarik
garis-garis penutup untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman di Teluk, di
Muara Sungai atau Terusan, di Kuala dan di daerah Pelabuhan. Ketentuan Pasal
50 tersebut tidak menentukan bahwa garis batas perairan pedalaman di perairan
kepulauan dapat ditarik di sepanjang pantai, perairan yang terletak pada sisi dalam
Garis Air Rendah sepanjang pantai mempunyai kedudukan sebagai perairan
pedalaman. Berhubung dengan itu garis rendah tersebut juga merupakan batas
perairan pedalaman dalam perairan kepulauan. Ketentuan mengenai penetapan
batas Perairan Pedalaman tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia tidak terdapat suatu ketentuan untuk diatur lebih
lanjut, namun demi kepastian hukum mengenai penetapan batas Perairan
Pedalaman dalam Perairan Kepulauan perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.

Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara
tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar
bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua
negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan
dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan Undang-
Undang.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Peraturan Pemerintah ini


dilampirkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Daftar Koordinat Geografis tersebut merupakan lampiran pada
Peraturan Pemerintah ini dan tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang
tubuh Peraturan Pemerintah ini, dengan tujuan agar perubahan atau pembubaran
(updating) data dalam Daftar Koordinat Geografis tersebut dapat dilakukan
dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah
ini. Namun demikian, lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Selain untuk kepentingan pelayanan dan untuk penegakan hukum di


perairan Indonesia, Daftar Koordinat tersebut juga dibuat untuk memenuhi
115

ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat
tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

5.8.8 Peraturan presiden pengelolaan pulau kecil terluar


Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di
bidang social, ekonomi, budaya, hokum, sumber daya manusia, pertahanan dan
keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai
Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah
Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen
Indonesia;
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi
sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar
adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu
kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang
menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional
dan nasional.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:


(1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan
nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan;
(2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan;
(3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b.


berkelanjutan; c. berbasis masyarakat.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang


Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara
116

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a. sumberdaya alam


dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c. pembinaan wilayah; d.
pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan budaya

5.8.9 Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil


Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup
besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi
seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan
hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki
potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan
hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas), dan teripang.
Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi
nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan.
Selama ini kawasan pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan
pembangunan yang berarti karena Pembangunan Nasional di waktu lampau lebih
berorientasi ke darat. Walaupun terdapat kegiatan pembangunan, kegiatan tersebut
lebih mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan dan bahkan seringkali memarjinalkan
masyarakat setempat. Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa perairan pulau-pulau
kecil yang memiliki potensi perikanan cukup tinggi cenderung menjadi tempat
penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan asing maupun nelayan lokal
dengan cara tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan, penggunaan
racun, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang
terpencil sering dijadikan sebagai tempat penyelundupan, pembuangan limbah
dan/atau penambangan pasir secara liar.

Era globalisasi saat ini yang berciri perdagangan bebas serta dilengkapi
sistem komunikasi dan informasi tanpa batas, dapat mengakibatkan penduduk
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan menjadi lebih dekat serta lebih
menguntungkan jika berhubungan dengan negara-negara lain dibandingkan
dengan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melingkupinya. Hal ini juga harus
117

menjadi pertimbangan dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil di wilayah


perbatasan dengan negara tetangga.

Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain :


(1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau
kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan
oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
kelestarian lingkungan.
(3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan sesuai
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).

Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai


berikut:

(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah


Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia usaha
sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan
penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan
tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat,
dan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun
rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan
pulau-pulau kecil di wilayahnya.
(4) Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang
berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil dan
membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.
118

(5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan


pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai
dengan hukum adat dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(6) Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri,
sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih
dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah.
(7) Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana
investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis
pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota.
(8) Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu
menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana
strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang dinilai oleh
Pemerintah.
(9) Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan
kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka
dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan
masyarakat setempat.
(10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak
ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) dan Rencana
(11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan
akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan
dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi
baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion
(OTEC), dan tenaga surya.
(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan
pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri
strategis sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
119

(14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat


menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan
sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2.
(15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau kecil
sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
(16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang
sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan.
(17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak
ketiga, harus ada jaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan
(environmental insurance) kepada Pemerintah.
(18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga,
yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan
nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk
mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa
persetujuan dari pihak ketiga.

5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif


Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1983 sebagai produk hukum nasional yang melanjutkan dan
mengembangkan isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasal-
pasal yang penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan
rancangbangun hukum.
Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2
berbunyi:

―Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan


dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-
120

Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia".

Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut yang
berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya dengan
batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sedangkan
yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk hak-hak
berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia (Pasal
4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-Undangan landas Kontinen
Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara
tetangga dan ketentuanketentuan hukurn internasional yang berlaku. Hal yang penting
lainnya adalah ketentuan yang menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi
Eksklusif dengan negara tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 )
yang berbunyi:

"Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona


Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dengan negara yang bersangkutan".

Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang


tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling
berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan untuk
kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan
bilateral.
Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk
menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi
Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut :
121

(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar
hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian
sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea, pada
Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal
299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian
dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir.
Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir
mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang
bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas zona
ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya
untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negara-
negara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa terakhir
ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat internasional.
Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada
Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani
suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-batas
Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini
merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin
122

berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara


tetangga yang belum terselesaikan.
Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang
tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan
mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi
Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan).

Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua negara
tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulau-
pulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut :

"Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya


adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut
(Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud)
dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut".

ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.
Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang
lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas
daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90% sumber-
sumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas
keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang
ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat pada
ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk
menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua
Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai
mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber daya
alam yang terdapat di ZEE tersebut.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai
menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,
123

konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang
bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal
eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara
negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu
mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.

Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum


khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut
lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim
tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal
batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas luar
laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi jarak
sejauh 200 mil laut.

Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86
Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan melalui
suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan
yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang bersangkutan
wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya
dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang merinci datum
geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atas garis-garis penetapan batas
tersebut. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau
daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
124

Hubungan ZEE dengan Landas Kontinen dapat diketahui dengan mengkaji


ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat dalam kedua rejim hukum tersebut, terutama
mengenai hak dan kewajiban Negara pantai. Di ZEE , Pasal 56 ayat (1) huruf (a)
menyebutkan bahwa:
"Dalam Zona Ekonorni Eksklusif Negara pantai mempunyai: (a) hak-hak
berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas
dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan
kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin"

Dari rumusan Pasal ini dapat diartikan bahwa negara pantai di ZEE
mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di perairan di atas laut, dasar
laut dan tanah di bawahnya.

Dasar laut dan tanah di bawahnya pada jarak 200 mil laut adalah juga
merupakan daerah landas kontinen. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas
mana yang termasuk bagian ZEE atau landas kontinen dapat kita lihat dalam
ketentuan Pasal 56 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: "Hak-hak yang tercantum
dalam Pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus
dilaksanakan sesuai dengan Bab VI"

Pada bab VI Konvensi ini dalam Pasal 76 ayat (1) dikatakan landas
kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang
kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga
suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur,
dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.

Dengan demikian pengelolaan sumber kekayaan alam yang terdapat di


dasar laut dan tanah dibawahnya di ZEE akan tunduk pada ketentuan landas
Kontinen. Begitu pula mengenai organisme jenis sedenter (menetap) dapat kita
lihat pada ketentuan Pasal 58 yang menyebutkan bahwa bagian ini tidak berlaku
125

bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4) yang
berbunyi sebagai berikut:

"Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber
kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut
dan tanah dibawahnya, bersama dengan organisasi hidup yang tergolong
jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat
dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau dibawah dasar laut atau
tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan
dasar laut atau tanah di bawahnya".

Menurut Pasal ini bahwa jenis ikan sedenter yang terdapat di ZEE
termasuk sumber kekayaan hayati dasar laut pengaturannya tunduk pada
ketentuan landas kontinen.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas terlihat dari dua rejim hukum yang


berbeda, yaitu rejim hukum ZEE dan landas kontinen yang mengatur masalah
yang sama mengenai hak-hak berdaulat Negara pantai atas kekayaan alam di
dasar laut dan tanah di bawahnya. Melalui kedua rejim ini Negara pantai dapat
menikmati hak-hak berdaulatnya untuk melakukan eksploitasi maupun eksplorasi
sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dari dasar laut maupun
tanah di bawahnya.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang berkembang antara ZEE dan


landas kontinen, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang berlaku di ZEE
bersifat melengkapi pengaturan hukum di landas kontinen, dan begitu pula
sebaliknya ketentuan hukum di landas kontinen melengkapi ketentuan hukum di
ZEE

5.10 Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina


Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
126

dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.
Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina
Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic
exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond
and from the baselines from which the territorial sea is measured.

Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55 Konvensi


Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa :

"Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan


dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara
pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh
ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini".

Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan
sebagai berikut:

"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".

Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui


dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang
berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai, dengan
lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari mana negara
pantai mengukur lebar laut teritorialnya.

Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12 mil
laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut dikurangi
lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut.

Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara
pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah ditetapkan
dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi Ekslusif
Negara pantai mempunyai :
127

"(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,


konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun
non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah
di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan
eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi
energi dari air, arus dan angin."

Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai


yurisdiksi yang berhubungan dengan:

"(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan,
(ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut"

Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak,


negara pantai juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk
memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-hak
untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan kebebasan
untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan laut lainnya
berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum internasional.
Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-ketentuan hukum
mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya untuk
menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain dalam melaksanakan kebebasan-
kebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum (laut) internasional tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum negara pantai di ZEE tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan


alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak
tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-kapal
dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu status
hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis").

Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential


Decree) Nomor 1599 tahun 1978. Dalam konsideran Keputusan Presiden tersebut
dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut dari garis
128

dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan
perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE
tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini merupakan
suatu konsepsi hukum internasional yang diakui.

Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah


yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar
darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE
Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan
atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries) akan
ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau sesuai
dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui.

Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori dan
praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang
memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi
berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan persetujuan.
Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum internasional tentang
penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana yang tercermin dalam
Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan


bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hak-
hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus
memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut :
(1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak
(living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah bawah
dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk eksploitasi
ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona tersebut, seperti
produksi energi dari air, arus dan angin;
(2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan
dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan
129

bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan


pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah;
(3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek
negara.

Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian yang


diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di bawah
wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan hal-hal
sebagai berikut:

(1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun;


(2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap sumber-
sumber alam;
(3) Melakukan penelitian;
(4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan,
terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau
(5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang
bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang
ditetapkan disini.

Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan ketentuan


angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Pasal 56
Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak, yurisdiksi dan
kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa


Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan navigasi
dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa dibawah laut,
dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang berhubungan
dengan navigasi dan komunikasi.
Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE.
130

5.11 Prinsip Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Filipina


Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk
ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah
internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan
bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang berdampingan atau
berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian antara kedua
negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negara-
negara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan
Filipina dapat mencontohnya.
Churchill dan Lowe, membenarkan praktek tersebut dengan menyatakan
bahwa selama ini sejumlah 70 atau lebih negara yang telah menetapkan ketentuan
tentang ZEE, dan lebih dari sepertiganya memasukkan dalam perUndang-
Undangannya yang merujuk pada prinsip sama jarak seperti suatu solusi
sementara sambil menunggu penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan.

Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai


kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain,
rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia
mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa
dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas
dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan
perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai
persetujuan.

Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya
saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona
Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
131

Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian


antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut
Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik
Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982,
khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa
batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan
harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai
suatu penyelesaian yang adil (the delimitation of the economic exclusive zone and
continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by
agreement on the basis of international law in order to achieve an equitable
solution).

Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan


penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan
persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978
menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai
sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur.
Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang
tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batas-
batas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan
negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas hukum internasional
tentang perbatasan yang umumnya diakui.

Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan
dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum
nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan
metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan
dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas,
sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang
ada.

Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir) antara


kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh melalui
132

pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat saling


pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan akhir. Hal
ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang menyatakan bahwa
sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dari
Pasal ini, negara negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian
dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan
sementara yang bersifat praktis dan selama masa peralihan ini tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Menurut
Churchill dan Lowe, sambil memutuskan penyelesaian sengketa, negara-negara
yang berbatasan tersebut dapat mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk
memberlakukan perjanjian sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan
Pasal 74 ayat (3) dan Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh
perjanjian tersebut antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis
sama jarak yang digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu
perbatasan yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan
bahwa selama perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984)
zona perikanan eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai
akan ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia,
dan persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang
mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan
didasar laut untuk kepentingan kedua negara.

5.12 Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Filipina


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa penetapan batas wilayah,
baik laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE sudah merupakan aturan umum
yang dipraktekkan negara-negara, bahkan ketentuan tentang penetapan batas
tersebut sudah menjadi bagian dalam perUndang-Undangan yang bersifat nasional
dari sejumlah negara.
Mochtar Kusumaatmadja membenarkan konsep ini dengan menyatakan
bahwa dengan diadakannya kurang lebih 10 perjanjian garis batas landas kontinen
dan laut teritorial yang didasarkan atas penggunaan azas garis tengah dan azas
sama jarak (median line and equidistance principle) maka azas atau ketentuan
133

tersebut diperkuat kewibawaannya, paling tidak untuk Asia Selatan dan Tenggara
dan Pasifik Barat Daya.

Dalam beberapa persetujuan penetapan batas antara Indonesia dengan


negara lain juga menggunakan prinsip sama jarak. Demikian juga dalam Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dikemukakan bahwa selama
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat
keadaan-keadaan khusus yang pe, dipertimbangkan, maka batas Zona Ekonomi
Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama
jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar
Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara-
negara, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang
pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia termaksud.

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 disebutkan


bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan
dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut
teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titik-
titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal darimana lebar
laut teritorial masing-masing negara diukur. Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.

Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah


mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun 1978. Sistim
yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama dengan
yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik Indonesia
maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan terjadinya
penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur dari garis-
garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi
kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan Mindanao) dan
134

bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara) perlu diadakan
penetapan batas-batasnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara


kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan,
maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara
kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di dalamnya
mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang berhadapan atau
bersampingan dengan negara lain.

Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa


dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu
sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang
sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-
garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi
ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas.

Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982


mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi
bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan
penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah.

Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam Konvensi


Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa batas
landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-negara yang
berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan kecuaii kalau
garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus, perbatasan akan
ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6
ayat (2).
135

Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana


disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang
paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi
Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai
keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini
dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau
utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran
terhadap garis sama jarak. Salah satu contoh konfigurasi dari pulau utama yang
menciptakan prinsip sama jarak yang tidak adil dan merupakan salah satu sumber
sengketa adalah peradilan dalam kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun
1969, yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak dari kecekungan atau
kelekukan garis pantai Republik Federal Jerman dan negara-negara yang
berdekatan, yaitu Denmark dan Belanda. Pembenaran penetapan batas
berdasarkan prinsip sama jarak juga mencontohi praktek dari sejumlah negara.

Berdasarkan sejumlah ketentuan konvensi dan yurisprudensi maka


Churchill & Lowe, menyimpulkan bahwa paling sedikit ada empat prinsip yang
dapat diterima dengan jelas mengenai penetapan batas, yaitu :

(1) Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam
penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi
keadilan yang dilibatkan.
(2) Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari
hukum internasional.
(3) Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga,
harus menghasilkan prinsip solusi yang adil.
(4) Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan
penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan.

5.13 Kendala-Kendala Dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina


Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan
lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia
dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-keadan khusus
136

(special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan Filipina. Sebagai


contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di wilayah Sangihe
Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao Selatan-Filipina) yang
jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang berada pada posisi
diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara Pulau Kawio (yang ada
di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di bagian selatan Filipina),
yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan kondisi geografis antara
Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten Kepulauan Talaud
Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin Filipina yang berjarak 50
mil laut.
Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang
berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang yang
diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat
dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE, berdasarkan
keadaan-keadaan tertentu.

5.14 Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil


Tata kelola sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan bagian tak
terpisahkan dari tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dari program pemerintah
secara umum. Oleh karena itu, tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil harus
mengikuti prinsip-prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance),
juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil yang
saat ini telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dan praktisi tata kelola
sumber daya pulau-pulau kecil.

Aturan hukum dibuat merupakan bagian tata kelola pemerintah untuk


membentuk perilaku individu dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan aturan hukum sangat tergantung pada
legitimasi dari masyarakat dan pemberian sanksi. Setiap upaya pembuatan
peraturan perundang-undangan harus mengacu pada kerangka hukum yang sudah
ada. Keseluruhan kerangka hukum inilah yang memberi identitas bagi sistem
hukum di Indonesia, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini :
137

Tabel 12 Tata Urutan Hukum yang dipergunakan di Indonesia

Hukum dan proses penyusunannya dapat digambarkan sebagai perangkat


utama dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan. Hukum akan menentukan
baik dan buruknya suatu tata kelola pemerintahan. Hukum yang berbasiskan pada
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seringkali disebut sebagai
faktor penentu keberhasilan pengelolaan yang berkelanjutan (Martin and Smith,
2000). Upaya menciptakan suatu sistem hukum yang bertalian dengan masyarakat
yang diaturnya haruslah didasarkan kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan
kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu, penyusunan suatu hukum harus
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1) menghindari pemberian
kewenangan yang berlebihan; (2) menghindari pengaturan dan persyaratan yang
tidak perlu, berlebihan, dan sulit diterapkan; (3) mengakomodasi ketetapan yang
bersifat transparan, akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan yang
benar; (4) melibatkan tokoh masyarakat setempat; (5) menyelenggarakan proses
pelibatan publik yang luas; dan (6) meningkatkan efektivitas mekanisme
penegakan hukum (Lindsay, 2000).
Seluruh ketentuan ini dirangkai dengan delapan prinsip tata kelola
pemerintahan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian dasar yaitu proses,
substansi, dan keberpihakan. Proses pembuatan peraturan peraturan perundang-
138

undangan hendaknya mengikuti prinsip-prinsip transparansi/keterbukaan,


partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan. Substansi peraturan perundangundangan
hendaknya menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-prinsip
kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah, sosial-ekonomi,
kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan. Penerapan menguraikan
penyelenggaraan dan penegakan hukum, yang dituangkan lewat prinsip-prinsip
akuntabilitas, pelaksanaan, keputusan yang adil, keutuhan proses, dan kesempatan
dengar pendapat yang sama (Patlis, 2003).

5.15 Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat


Proses yang transparan dalam pengambilan keputusan memberikan kepada
masyarakat: (1) informasi tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2)
peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan
terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah
bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat
memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung.
Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara pemerintah dan
non pemerintah.
Partisipasi mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk
kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman
komprehensif terhadap suatu isu (Axelrod, 1984). Partisipasi mengurangi
kemungkinan terjadinya konfl ik dalam menerapkan suatu keputusan (Ostrom,
1992) dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk
mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah (Estache, 1995). Partisipasi
publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap
rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3)
tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini
pemerintah.
Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara
pemerintah dan organisasi dalam pemerintah menyediakan mekanisme yang
139

melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan


memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi,
menekan konflik, membatasi ketidakefektifan, dan yang terpenting membatasi
jumlah produk hukum. Keterpaduan tidak mengurangi kewenangan suatu instansi,
melainkan sekadar mengurangi sifat keotonomiannya. Keterpaduan menghasilkan
pemerintah yang lebih efisien.

5.16 Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil


Akurasi llmiah dan pertimbangan sosial-ekonomi, dimana setiap peraturan
yang berhubungan dengan tata kelola wilayah pesisir hendaknya sarat dengan
keilmuan di dalamnya. Akan tetapi, pertimbangan sosial dan ekonomi akan
memperkaya nuansa dan muatan peraturan tersebut dalam upaya pengelolaan
wilayah pesisir. Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga
harus mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi
pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan kebutuhan
yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu kajian akademis terhadap
peraturan yang tengah dirancang atau ditetapkan perlu dilakukan, dengan
menekankan pertimbangan ilmiah, sosial, dan ekonomi di dalamnya.
Pendanaan berkelanjutan mengacu pada pendanaan yang cukup untuk
mengimplementasikan suatu peraturan. Pada sebagian besar wilayah, pendanaan
digunakan untuk keperluan administrasi dan operasional, dan hanya sedikit yang
digunakan untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada
alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan
merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Kejelasan peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan dengan
baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh masyarakat
(Seidman, et al., 2001; Botchway, 2001). Kejelasan mengacu pada bagaimana
suatu peraturan dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang
terdapat di dalamnya.
Akuntabilitas merupakan landasan dalam melaksanakan tata kelola
pemerintahan yang baik (Bennett, 2001), yang dapat mendorong perilaku
pemerintah, baik secara individu dan kelembagaan, untuk melaksanakan tanggung
140

jawab kepada publik dan menegakkan hukum (Turner and Hulme, 1997).
Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong
pengambilan keputusan secara lebih dewasa.
Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum
dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk
sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan
memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan
memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam
masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi
pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat.
Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan
perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi
semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan (Botchway, 2001).
Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan.
Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan
berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian,
setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak
mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat
dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan
menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia.
Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun
golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak
semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan
harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang
jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun.
Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang
menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ―Dalam membentuk peraturan
perUndang-Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan
perUndang-Undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
141

dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan


keterbukaan.‖
Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perUndang-
Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
adalah bahwa setiap jenis peraturan perUndang-Undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perUndang-Undangan yang berwenang.
Peraturan perUndang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Kesesuaian antara jenis dan
materi muatan adalah bahwa dalam pembentakan peraturan perUndang-Undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perUndang-Undangannya.
Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perUndang-Undangan harus memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa materi
142

muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut, yaitu


pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka
tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
(1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
(2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
(3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
(4) Asas kekeluargaan‖ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
(5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
(6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-Undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
143

(8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Selain asas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndang-
Undangan yang bersangkutan. Penjelasan, yang dimaksud dengan ―asas lain
sesuai dengan bidang hukum peraturan perUndang-Undangan yang
bersangkutan‖, antara lain: (a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapi dana, dan asas praduga tak
bersalah; (b) dalam Hukum Peraturan Daerah, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Secara formal, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau
Kepala Pemerintah Daerah. Penyusunan sebuah Peraturan Daerah hanya dapat
diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya
memerlukan sebuah Peraturan Daerah baru. Inisiasi awal penyusunan Peraturan
Daerah baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan
sumber daya wilayah pesisir, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan
legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, maupun
kelompok masyarakat.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa ―penyelenggara pemerintahan daerah
144

dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta


atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan
kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah….‖ Lebih
lanjut ditegaskan bawha kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta Peraturan Daerah lain.
Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan
sebuah Peraturan Daerah baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua
jalur penyusunan Peraturan Daerah, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif.
Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan
badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum
melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok
masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi
menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif.
Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip
penyusunan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat
kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Peraturan Daerah. Pada
intinya, pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan satu bentuk
pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan
masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang
akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana Peraturan Daerah yang diusulkan akan
dapat memecahkan masalah tersebut. Konsep atau draft rancangan Peraturan
Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah
diidentifikasi dan dirumuskan. Seperti layaknya usulan pemencahan masalah yang
memerlukan kajian empiris, draft Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara
empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar-instansi. Lebih jauh,
rancangan Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan
pemecahan masalah secara teoristis. Sebagai pemecahan masalah, Peraturan
Daerah yang baru hendaknya dicek secara silang (crosscheck). Peraturan Daerah
perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektifan yang
sebenarnya.
145

Secara umum, terdapat 6 (enam) langkah yang perlu dilalui dalam


menyusun suatu Peraturan Daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat
bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.
(1) Langkah 1: Identifi kasi isu dan masalah;
(2) Langkah 2: Identifi kasi legal baseline atau landasan hukum, dan
bagaimana Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) baru dapat memecahkan
masalah;
(3) Langkah 3: Penyusunan Naskah Akademik;
(4) Langkah 4: Penulisan Rancangan Peraturan Daerah;
(5) Langkah 5: Penyelenggaraan Konsultasi Publik;
• Revisi Rancangan Peraturan Daerah;
• Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan;
(6) Langkah 6: Pembahasan di DPRD
(7) Langkah 7: Pengesahan Peraturan Daerah.

Gambar 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah

Proses legislative drafting sebenarnya sudah dimulai dalam penyusunan


naskah akademik. Isu dan masalah ditelaah dan dianalisis, dan pemikiran-
pemikiran serta tema-tema disajikan secara tertulis di dalam naskah akademik.
Hal ini akan membentuk struktur atau sistematika penulisan Peraturan Daerah
yang baru. Idealnya, proses penyusunan naskah akademik berlanjut secara alami
menuju proses penyusunan legislative drafting atau rancangan Peraturan Daerah.
146

Secara umum, legislative drafting hendaknya dimulai dengan penulisan


secara garis besar, lalu dilanjutkan ke penulisan yang lebih detil atau rinci. Tim
dapat memulainya dengan membuat satu kerangka tulisan (outline), atau dengan
merumuskan tujuan dari Peraturan Daerah yang dibuat, yang mengidentifi kasi
tema-tema utama dan ruang lingkup dari Peraturan Daerah yang baru.
Telaah naratif berdasarkan naskah akademik dapat dimasukkan di sini.
Tim penyusun hendaknya menyempurnakan ruang lingkup Peraturan Daerah yang
baru, melalui serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan, serta
didukung dengan hasil kerja anggota tim secara individu yang dikerjakan di antara
pertemuan-pertemuan tersebut. Naskah akademik hendaknya dipakai sebagai
dasar dalam melakukan pengecekan silang (cross-checking) dari usulan-usulan
yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan ini.
Dalam tahap-tahap awal, konsep rancangan Peraturan Daerah sebaiknya
tidak ditulis menyerupai suatu Peraturan Daerah. Draft awal hendaknya tidak
ditulis dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim dapat memulai dengan sebuah
matriks yang mengidentifi kasi masalah, mengusulkan pemecahan masalah, dan
tulisan hukum secara singkat yang berkaitan dengan dua hal tersebut.
Materi muatan Peraturan Daerah tentang pulau kecil, tentunya tidak dapat
diseragamkan untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penyusunan
Peraturan Daerah pengelolaan pulau kecil di daerah perbatasan, materi muatannya
hendaknya disesuaikan dengan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masing-
masing daerah. Adapun materi muatan yang disajikan di bawah ini dimaksudkan
sebatas sebagai bahan acuan, yang penggunaannya harus mengikuti kebutuhan
masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Pada intinya, pengelolaan pulau kecil bertujuan untuk pengelolaan
berkelanjutan atas seluruh sumber daya yang berada di pulau kecil termasuk
wilayah pesisirnya dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku
kepentingan yang ada. Pengelolaan pulau kecil mengkoordinasikan dan
memadukan seluruh aktivitas di pulau kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya pesisir yang ada untuk tujuan ekonomi dan lainnya, dengan tetap
menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Konsep pengelolaan
pulau kecil memberi keleluasaan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk
147

tetap melakukan program dan aktivitasnya masing-masing di pulau kecil termasuk


wilayah pesisir. Seluruh sektor seperti kehutanan, pertambangan, perikanan dan
sebagainya masih tetap memiliki kewenangan masing-masing dalam mengelola
program dan aktivitas mereka di pulau kecil dalam wilayah pesisir. Program yang
dikehendaki adalah bahwa perencanaan dan pengelolaan seluruh program harus
dilakukan secara terpadu, agar semua program dan aktivitas yang dilakukan saling
memperkuat satu sama lain, tidak saling bertabrakan dan merugikan satu sama
yang lain.
Keterpaduan mutlak diperlukan dalam seluruh proses perencanaan dan
pengelolaan sumber daya pesisir yang bersifat multisektoral. Namun demikian,
mencapai keterpaduan perencanaan dan pengelolaan tersebut bukanlah hal yang
mudah. Apalagi, pengelolaan wilayah dan sumber daya pesisir sangat erat
kaitannya dengan tata kelola kepemerintahan yang kompleks, dan menghadapi
permasalahan-permasalahan sulit seperti kerancuan yurisdiksi, ketidakjelasan
kewenangan, serta status milik bersama (common property) dan akses terbuka
(open access) sumber daya pesisir pada umumnya. Untuk itulah, pengelolaan
sumber daya pesisir perlu melibatkan seluruh tingkatan, dari nasional hingga
pemerintahan desa, dan seluruh pemangku kepentingan pada setiap tingkatan
pemerintahan.
Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan melakukan pengelolaan pulau
kecil dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori. Kategori inilah yang
sedapat mungkin diikutsertakan dalam proses pengelolaan pulau kecil. Keempat
kategori tersebut ialah:
(1) Manfaat dari sumber daya laut dan darat (terrestrial) yang berkelanjutan,
termasuk ikan, karang, pantai, mangrove, estuari, laguna, dan sebagainya;
(2) Manfaaat pencegahan terjadinya pencemaran/polusi, baik yang berasal dari
darat maupun laut, dan perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat
pesisir;
(3) Peningkatan manfaat ekonomi dari industri pariwisata dan maritim;
(4) Pengembangan beberapa manfaat baru seperti energi dan ekowisata.
148

Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik
untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain
dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam
suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai
struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial
(Clark, 1996).

Di Indonesia, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan formal


tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu sudah berjalan selama beberapa
tahun. Di Sulawesi Utara, misalnya, warga di Desa Bentenan, Tumbak, Blongko,
dan Talise menyusun peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan daerah
perlindungan laut dan wilayah pesisir berbasis masyarakat pada tahun 2000-2002,
yang bertujuan menyediakan kerangka hukum di tingkat desa. Berikutnya, tahun
2002-2003, 24 desa di satu kecamatan (Likupang, Minahasa Utara) menetapkan
Perdes tentang pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir. Upaya
penyusunan Perdes di desa-desa lainnya di Sulawesi Utara kemudian dilakukan
oleh pihak-pihak terkait. Perdes di tingkat desa ini kemudian diikuti dengan
penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
jenjangnya, yaitu Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah berbasis
masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi. Di samping itu, upaya penyelesaian
rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tingkat nasional
saat ini sedang berlangsung.

Selain upaya-upaya yang telah di Sulawesi Utara, upaya serupa tengah


berlangsung di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi, yang difasilitasi oleh
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui proyek Marine and Coastal
Resources Management Project (MCRMP). MCRMP diikuti oleh 15 (lima belas)
provinsi dan 43 (empat puluh tiga) kabupaten/kota di Indonesia, yang sebagian
besar berupaya menyusun Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah
pesisir terpadu.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah, menjelaskan sejumlah pertanyaan, keraguan, dan inkonsistensi yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Banyak kerangka dasar
149

yang diboyong ke Undang-Undang baru. Pasal 2 dan 10 (10) pada Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencantumkan wewenang yang luas bagi
pemerintahan daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri. Jangkauan/lingkup
kewenangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 untuk provinsi dan Pasal 14 untuk
kabupaten dan kota, dan memasukkan masalah tata ruang, urusan
kemasyarakatan, monitoring lingkungan, dan beberapa urusan lain. Hak-hak
untuk Pemerintah Derah (provinsi dan kabupaten/kota), termasuk
mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam,
diatur dimuat dalam Pasal 21, dan pertanggungjawaban termasuk melindungi dan
melestarikan lingkungan dicantumkan dalam Pasal 22.
Pemerintah Provinsi perlu memiliki kemampuan dalam menangani
permasalahan-permasalahan antar-kabupaten/kota (Pasal 13), dan Pemerintah
Pusat dapat menolak peraturan-Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan
undang-undang (Pasal 136, 145). Bupati kepala daerah dipilih langsung, dan desa
diberi tanggung jawab lebih besar dalam menangani masalah-masalahnya,
meskipun tetap harus merujuk ke kabupaten (Pasal 200).
Undang-undang yang baru memberikan arahan lebih baik dibandingkan
dengan Undang-Unang Nomor 22 Tahun 1999 dalam mendorong tata kelola
pemerintahan yang baik. Masyarakat adat diakui dan diperhatikan, sesuai dengan
prinsip negara (Pasal 2). Prinsip-prinsip manajemen, akuntabilitas, dan efisiensi
menjadi pijakan bagi Pemerintah untuk bekerja (Pasal 11). Pengelolaan sumber
daya alam dilaksanakan dalam cara yang jujur dan harmonis (Pasal 26).
Masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah
(Pasal 139 ayat 1). Di sini dijelaskan juga bahwa Peraturan Daerah harus
mengikuti kerangka hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 139 ayat 2 dan
Pasal 145).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 4, menyatakan secara
umum bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatur dan
mengorganisasikan masyarakat setempat berdasarkan keputusan yang mereka
ambil dan aspirasi mereka sendiri. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wewenang
ini mencakup setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, hukum/keadilan, keuangan, dan agama. Pemerintah
150

Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal,
termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan
khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut (coastal waters),
yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan
pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12
mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan
tersebut. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan
sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut.
Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama,
dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas
tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah
dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah . Hal ini termasuk dalam hak-hak
pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hak-
hak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu
daerah.
Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi
Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berada di luar batas 12
mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan
kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, (Pasal 2
(3) (2) (a)), Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi,
memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di
perairan itu.

Hak pemerintah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Pasal 18 yaitu:
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumberdaya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah
dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
151

1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;


2) pengaturan administratif;
3) pengaturan tata ruang;
4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi
sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua)
provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari
wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku
terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyusun peraturan


perundang-undangan, dari tingkat desa sampai ke tingkat Pemerintah Pusat, yang
secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sampai saat
ini di Provinsi Sulawesi Utara, setidaknya terdapat beberapa peraturan desa dan
peraturan daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah dibuat dan disahkan
yaitu di tingkat Kabupaten yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2
Tahun 2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; sedangkan
satu Peraturan Daerah provinsi yang telah diberlakukan adalah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Berbasis Masyarakat, yang dibuat belum dilandasi dengan Undang-
Undang khusus mengenai pengelolaan wilayah pesisir, karena Undang-Undang
152

yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di
tetapkan pada tahun 2007. Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undang-
Undang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu
pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga
saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten
yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib
melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah
pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan
cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir.
Oleh karena sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir
disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan
dengan peraturan perUndang-Undangan yang baru ditetapkan.
Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara
didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan
peraturan perUndang-Undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun
mekanisme dalam menggulirkan prosesnya. Sehingga, diharapkan akan
memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses
penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara.
153

5.17 Analisis Hierahi Proses Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-


Pulau Kecil
Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing
condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi,
pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil
wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil terluar.
Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah,
akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan sebagai berikut :

5.17.1 Faktor eksternal


Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan
ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi eksternal
yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar tercapai.

5.17.1.1 Peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar


(1) Kebijakan nasional mendorong investasi.
Faktor ini menjadi peluang dengan alasan bahwa investasi adalah kunci
pertumbuhan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah dalam tataran nasional
untuk mendorong investasi maka pemanfaatan potensi sumber daya dalam
kaitannya dengan peningkatan pengelolaan di pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara semakin optimal. Investasi yang dapat dikembangkan
di pulau-pulau terluar berupa investasi di bidang pertanian, perikanan,
perkebunan, dan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya alam dan jasa
lingkungan yang dimiliki oleh pulau-pulau tersebut.
(2) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah.
Kebijakan pemerintah ini merupakan kebijakan pemberian kewenangan
kepada pemerintah daerah menurut kerangka perUndang-Undangan yang
154

berlaku untuk mengatur kepentingan pengelolaan daerah masing-masing.


Faktor ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan asli dareah
dengan mengembangkan sektor-sektor produktif.
(3) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber
daya alam.
Potensi pasar baik lokal, nasional, dan internasional akan kebutuhan hasil
olahan sumber daya alam menjadi dorongan untuk meningkatan nilai tambah
dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dan pemberdayaan aspek sosial
ekonomi masyarakat lokal pulau-pulau terluar
(4) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia.
Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk
menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas
maksimum yang sudah ditetapkan. Penetapan batas merupakan kepastian
hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan dalam pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di bidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata,
pelayaran dan pertambangan.
(5) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga.
Kerjasama ini diharapkan mampu mengkoordinasikan kegiatan ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
Indonesia dengan negara-negara tetangga sehingga terbentuk sebuah
perjanjian atau persetujuan yang mengakomodir kepentingan masing-masing
negara.
(6) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar.
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005.
Dalam pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi
non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
5.17.1.2 Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
(1) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE).
Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati
dan ditetapkan secara bersama antara kedua negara. Faktor ini menjadi
155

ancaman karena ketidakjelasan batas-batas wilayah suatu negara akan


menimbulkan sengketa dengan negara tetangga dalam memberlakukan
wewenang pengelolaan kekayaan sumber daya.
(2) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara.
Respon pengawasan yang lemah akibat lemahnya perangkat hukum dan
perangkat kelembagaan merupakan ancaman untuk pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar yang menyebabkan berkembangnya kegiatan illegal dan
eksploitasi di kawasan perbatasan. Kegiatan illegal di daerah perbatasan
sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang seperti illegal fishing, illegal
logging, illegal trading, dan penyelundupan. Tindakan ini merupakan
ancaman karena akan menghambat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
(3) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan
masyarakat memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kepentingan ini bisa menjadi sebuah
konflik yang menghambat peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
di Provinsi Sulawesi Utara.

5.17.2 Faktor internal


Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan
kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal
yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing condition dari
segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar tercapai.

5.17.2.1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar


(1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar
terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang,
lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat
prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi
156

strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa kelautan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
(2) Posisi geografis yang cukup strategis.
Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena
berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan kawasan
pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar bagi
Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Posisi
yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan keamanan
negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka pembangunan
pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.
(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau
kecil terluar.
Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya
program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian
dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil.

5.17.2.2 Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil


Terluar
(1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar.
Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah
terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit
untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial, budaya,
politik, hukum, dan pertahanan keamanan.
(2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian.
Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan prasarana
perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik,
lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan
157

masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini merupakan


penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar.
(3) Terbatasnya sarana prasarana sosial.
Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas
kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah.
Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan wilayah pulau-
pulau terluar.
(4) Lemahnya koordinasi antar lembaga.
Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar masih
lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan perannya
sendiri-sendiri bukan berdasar kebijakan bersama. Kelemahan ini
menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulau-
pulau kecil
(5) Kontrol Pendanaan yang lemah.
Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari
pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program
pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang
cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari
pelaksanaan program-program tersebut.
(6) Batas Maritim yang belum selesai.
Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan
percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan
hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas peta
belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga negara
Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang tersentuh
pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan pembangunan di
perbatasan dari berbagai sektor.
(7) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada
pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif.
Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum
laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam
158

berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara


tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut.
(8) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan
kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu sistem
Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan perspektif
sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan keutuhan dan
kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia.
(9) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau perbatasan
negara.
Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi
pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulau-
pulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-Undang
yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap untuk
dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

5.18 Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal


Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu
dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal.

5.18.1 Evaluasi faktor eksternal


Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat
diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari
gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan
hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga
terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan,
pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.

Sebagai upaya yang diharapkan untuk mengetahui dan mengevaluasi akan


keberhasilan penegakan huku di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
159

undangan yang sudah diberlakukan maka perlu dilakukan evaluasi eksternal atas
implementasi kebijakan berdasarkan penerapannya.

Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat


dan skor pada masing-masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut :

Tabel 13 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR


PELUANG
1 Kebijakan nasional mendorong investasi 0.107 0.533 0.272
2 Kebijakan pemerintah dalam pemberian 0.115 2.133 0.246
otoritas pengelolaan wilayah
3 Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan 0.099 2.267 0.225
internasional terhadap hasil sumber daya
alam
4 Konvensi Internasional terhadap hukum laut 0.105 2.733 0.288
Indonesia
5 Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan 0.113 2.933 0.332
negara tetangga
6 Kebijakan pemerintah untuk membentuk 0.121 3.000 0.363
kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Jumlah 1.726

ANCAMAN
(9) Belum ada penetapan batas laut yang 0.113 1.733 0.197
disepakati bersama (ZEE)
(10) Masih lemahnya respon pengawasan 0.126 1.733 0.218
perbatasan laut antar negara
(11) Adanya konflik kepentingan antar
stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau 0.099 2.000 0.199
kecil terluar.
0.613
Total 1 2.339

Berdasarkan Tabel 13, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau


kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai
skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi
ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal
adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot
0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan
penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit
160

kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan,


Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional.
Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk
membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang
merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu
melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran
sesuai kewenangannya.
Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong
investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah,
meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya
alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama
bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini dapat
dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek hukum dan
kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga
khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah
perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.
Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati
bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan
disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya
konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak
jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah.
Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.
161

5.18.2 Evaluasi faktor internal


Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat
dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat
kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan
utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal.
Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 14 berikut :

Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal


FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR
KEKUATAN
1. Adanya program dari pemerintah daerah 0.119 3.133 0.373
untuk pembangunan pulau-pulau kecil
terluar
2. Posisi geografis yang cukup strategis 0.105 3.200 0.335
3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan 0.105 2.667 0.279
kelautan yang besar
Jumlah 0.987
KELEMAHAN
1. Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar
2. Terbatasnya sarana dan prasarana
perekonomian. 0.100 2.200 0.220
3. Terbatasnya sarana prasarana sosial 0.115 2.133 0.245
4. Lemahnya koordinasi antar lembaga
5. Belum adanya UU yang khusus mengenai 0.113 2.067 0.234
pulau-pulau kecil terluar 0.116 2.200 0.256
6. Kontrol Pendanaan yang lemah 0.103 2.133 0.219
Jumlah
Total 0.125 2.067 0.258
1.431
2.418

Berdasarkan Tabel 14, total skor faktor strategis internal mendapatkan


angka 2.418. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa
faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan
faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
lemah.
Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah
daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.119.
Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan pulau-pulau
kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam meningkatkan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan.
162

Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan


internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang
lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting karena merupakan
anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil terluar
dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang diperoleh dari berbagai
sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya agar terwujud hasil
yang nyata dan efektif dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Jika dana tidak terkontrol maka peluang terjadi penyalahgunaan dana semakin
besar sehingga program pengelolaan wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu.
Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor
kelemahan yang cukup dominan dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya sarana
dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-perangkat
infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan
sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya program-program
pembangunan. Pembangunan infrastruktur seperti sarana perhubungan
mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasar-
pasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003)
Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil
terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas SDM
merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang akan terlibat
langsung dalam program-program pembangunan sedangkan mereka belum
memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti pentingnya
pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di kawasan itu
kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh pemberdayaan
SDM.
Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi
antar lembaga dengan bobot 0.116 dan belum adanya UU yang khusus mengenai
pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.103. Kedua faktor ini adalah
permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan
rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan
operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif.
163

Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah


posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam dan
jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot 0.105 dan keterpencilan pulau-
pulau kecil terluar dengan bobot 0.100. Faktor-faktor ini adalah bagian dari
keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan
maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat
kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya
sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup
strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang
ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan 2.667
untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah potensi
yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga terkait
mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka akan
didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang
berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan di
laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat
dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya
transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul di
Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh karena
itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan mengacu pada
harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

5.19 Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal


Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara
bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan ini
menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada Gambar
15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan internal
diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal adalah
2.339 dan total skor evaluasi faktor internal adalah 2.418. Posisi ini ditunjukkan
oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V pada Gambar 18.
164

Total Skor IFE

Kuat Rata-Rata Lemah

4,0 3,0 2,0 1,0

Tinggi I II III
3,0
Total Skor EFE

Menengah IV VI

2,0 V

Rendah VII VIII IX


1,0

Gambar 18 Matriks IE (Internal Eksternal) posisi pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar di Provinsi Sulawesi Utara

Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan pulau-


pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada kuadran V
artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang stabil atau
tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih belum
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari aspek
sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan.

Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti
pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat
ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Salah
satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan
sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara
Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan
pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat
kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan
sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan
secara kontinu.
165

Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan


perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari
faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara
membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatan-
kekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal
ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif
merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi.

5.20 Analisis SWOT Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau


Kecil
Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan
strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategis (strategic
planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis peengelolaan pulau kecil
terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini. Analisis SWOT adalah singkatan
dari lingkungan internal; Strenghts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal;
Opportunities dan Threats.
Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats)
ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan matriks
IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan ancaman akan
disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan sehingga dapat
menghasilkan beberapa strategi.
Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian
berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini di
lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks.
Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 19 Matriks SWOT yang
menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih.
166

Kekuatan (S) Kelemahan (W)


Internal SDA dan jasa lingkungan Keterpencilan pulau-
kelautan yang besar (S1) pulau kecil terluar (W1)
Posisi geografis cukup Terbatasnya sarana dan
tinggi (S2) prasarana perekonomian.
Adanya program dari (W2)
pemerintah daerah untuk Terbatasnya sarana
pembangunan pulau-pulau prasarana sosial (W3)
kecil terluar (S3) Lemahnya koordinasi
antar lembaga (W4)
Kontrol Pendanaan yang
lemah (W5)
Eksternal Belum adanya UU yang
khusus mengenai pulau-
pulau kecil terluar (W6)

Peluang (O) SO WO
Kebijakan nasional
mendorong investasi (O1) Pelaksanaan program Pembangunan sistem dan
10 Kebijakan pemerintah dalam Pengelolaan SDA dan jasa sinergi kelembagaan
pemberian otoritas lingkungan kelautan pengelolaan pulau-pulau
pengelolaan wilayah (O2) (S1,S3, O1,O2,O3) kecil terluar (W4,O6)
11 Meningkatnya kebutuhan
pasar lokal dan internasional Penetapan Batas wilayah Pembangunan Sarana
terhadap hasil sumber daya yang disepakati Indonesia dan Prasarana Wilayah
alam (O3) dan Filipina (S2, O4, O5) (W1-3,O1-3)
12 Konvensi Internasional
terhadap hukum laut Peningkatan kerjasama Peningkatan kekuatan
Indonesia (O4) bilateral dan Internasional sistem pendanaan (W5,
13 Kerjasama bilateral antara (S2, O4, O5) O1)
Indonesia dengan negara
tetangga (O5) Penataan ruang wilayah
14 Kebijakan pemerintah untuk pulau-pulau kecil terluar di
membentuk kelembagaan Provinsi Sulawesi Utara
dalam pengelolaan pulau- (S1,S2, O1-3)
pulau kecil terluar (O6)
Ancaman (T) ST WT
15 Belum ada penetapan batas Penetapan Batas wilayah Perumusan Hukum dan
laut yang disepakati bersama yang disepakati Indonesia Peraturan Pengelolaan
(ZEE) (T1) dan Filipina (S2, T1, T2) Pulau-Pulau Kecil
16 Masih lemahnya respon Terluar (W6,T2)
pengawasan perbatasan laut
antar negara (T2) Peningkatan
17 Adanya konflik kepentingan Keterpaduan antar
antar stakeholder dalam stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil pengelolaan pulau-pulau
terluar (T3) kecil terluar (W4, T3)

Gambar 19 Matriks SWOT


167

Berdasarkan Gambar 18, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk


peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari
10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

5.21 Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O)


Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain :

5.21.1 Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan

Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan


yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan
pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional
mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan
wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil
sumber daya alam.

Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut
pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya pemanfaatan
sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau untuk kesejahteraan
manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan datang. Kegiatan-kegiatan
tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan
berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini bencana alam, manajemen
kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang pesisir secara terpadu,
pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir, pengendalian
pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem mangrove, rehabilitasi
ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi
laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan laut.
168

Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan juga


dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap
hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. Kebutuhan
ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemanfaatan
jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang apabila
dikembangkan secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap
peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya.

5.21.2 Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional


Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna
meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki
posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan
Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki tingkat
kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka salah
satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan
keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan
internasional.

5.21.3 Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar


SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang
cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk
menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah terhadap
pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut.
Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk
menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan,
budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan agar
tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum
dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan
keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan pada
potensi pulau yang bersangkutan.
169

Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian otonomi


daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan penataan ruang
wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik menginvestasikan dana karena
melihat prospek yang cukup menguntungkan. Begitu juga dengan pemberian
otonomi daerah akan membuat pemerintah daerah menjadi lebih leluasa
menggunakan perannya dalam mengatur kepentingan pengelolaan daerah masing-
masing.

5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2,
O4, O5)
Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu
ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang
belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar
yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama
penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan
kesejahteraan.
Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi
Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi
internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan yang
besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak
kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona
maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.
Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan
peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama
bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian
garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.

5.22 Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T)


Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang
dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara
menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah :
170

5.22.1 Strategi penetapan batas wilayah


Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai
kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi
ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih
lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga ada di
dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda.

5.22.2 Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina


Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan pulau
pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan
kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta
peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi kesalahan
wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara.

5.23 Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O)


Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk
mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang
yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang dengan
cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki.

5.23.1 Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-


pulau kecil terluar.

Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang mempunyai


kewenangan pengelolaan seperti Dewan maritim nasional, Ditjen Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu mengakomodir
permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-lembaga lainnya yang
memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi dengan sinkronasi yang
baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam pelaksanaan di lapangan.
Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam pengelolaan
171

perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk
yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan
Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri,
sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam.
Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan
kementerian yang lain.
Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut
mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu
bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi
sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien.

5.23.2 Pembangunan sarana dan prasarana wilayah


Strategi yang bertujuan untuk mengatasi kelemahan berupa keterpencilan
pulau-pulau kecil terluar, terbatasnya prasarana ekonomi dan sosial untuk meraih
peluang pertumbuhan investasi, otoritas wilayah dan peningkatan taraf hidup
masyarakat terutama pada aspek sosial dan ekonomi.
Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan pembangunan
sarana dan prasarana wilayah baik dari aspek ekonomi dan sosial. Pada aspek
ekonomi perlu dilakukan pengembangan infrastruktur transportasi dari pulau ke
pulau secara kontinyu, pembangunan sarana pelabuhan guna mendukung aliran
barang dan jasa, pengembangan sarana listrik dan air bersih, penyediaan fasilitas
komunikasi, pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pasar sebagai pusat
Peraturan Daerahgangan serta pengembangan lembaga perbankan atau keuangan
lainnya yang menjadi sarana kelancaran pelaku ekonomi untuk melaksanakan
usahanya.
Pada aspek sosial perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan
pengembangan pendidikan formal dan informal serta pembinaan dalam kegiatan
perekonomian dan sosial sehingga SDM memiliki informasi dan wawasan yang
memadai untuk peningkatan taraf hidupnya.
172

5.23.3 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)


Sistem pendanaan perlu diperkuat untuk mengatasi kontrol pendanaan
yang lemah dengan cara pembuatan alokasi anggaran untuk pelaksanaan program-
program pembangunan dan pengawasan terhadap penggunaan alokasi anggaran
tersebut yang melibatkan lembaga-lembaga independen demi penegakan
akuntabilitas publik.

5.24 Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T)


Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

5.24.1 Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar (W6,T2)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang
khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon
pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan
peraturan sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.
Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang
mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi
Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan
keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan
pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan peraturan ini
akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun daerah dalam
pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.

5.24.2 Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-


pulau kecil terluar (W4, T3)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar
lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
173

terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga pemerintah


pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi konflik akibat
kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut.

5.25 Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir


Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun
Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3 level
di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu untuk
merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan level 2
adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang produk
hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial ekonomi,
pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut terdapat pula
sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa alternativ
rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang pendukung
yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan budaya. Seperti
pada Gambar 20

Rancang Bangun Hukum


Pulau-Pulau Kecil Terluar

Sumber Daya Sosial


Pendanaan Hukum Kelembagaan
Alam Ekonomi

@Perikanan @Pendidikan @APBN @Nasional @Nasional


@Perkebunan @Transportasi @APBD @International @Daerahl
@Adat-Istiadat @LOAN/GRANT
@Pemasaran

Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun


Rancang Bangun
Hukum Hukum Hukum Hukum
Hukum
Menurut Menurut Menurut Menurut
Menurut
Penataan Batas
Pemerintah Akademisi Strategi Perwilayaan
Wilayah Negara
Budaya Lokal

Gambar 19 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar


174

5.26 Kriteria
Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun , kriteria yang ada di ukur dengan
membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam menunjang
tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara level 2 yaitu
factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan, kelembagaan
dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum pesisir,
dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya alam -
sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan, atau
kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub faktor
hirarki.

5.27 Expert Judgment


Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini
diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian.
Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan (goal).
Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks
dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10), berdasarkan
hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para expert.
Penentuan expert didasarkan atas tingkat kepakarannya berdasarkan pendidikan,
pengalaman pekerjaan dan pengetahuan lainnya yang mempunyai hubungan erat
dengan maksud dan tujuan perolehan informasi dalam penelitian.
Pemilihan expert yang berhubungan dengan kebijakan, maka di tentukan
dan dipilih individu secara random dari kementerian yang ada kaitan dengan
kegiatan penelitian serta memenuhi kriteria-kriteria sebagai expert. Adapun yang
dipilih antara yaitu (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri
(3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum,
(5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah
Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe,
(12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor,
(15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 15
175

Tabel 15 Informasi untuk analisis expert


No EXPERT FUNGSI
1 Kementerian Luar Negeri, Penyelesaian Perbatasan
2 Kementerian Dalam Negeri Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah
3 Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK
4 Kementerian Pekerjaan Umum, Pembangunan Infrastruktur
5 TNI AL, Pertahanan Keamanan Negara
6 DPR RI, Penetapan Kebijakan Nasional
7 DPRD SULUT, Penetapan Kebijakan Daerah
8 Pemerintah RI, Peran Internasional di PBB
9 Pemerintah Filipina, Peran Internasional di PBB
10 Pemerintah Provinsi SULUT, Pelaksanaan tugas pembantuan
11 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pelaksanaan tugas pembantuan
12 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Pelaksanaan tugas pembantuan
13 Akademisi, Kajian Akademik
14 Investor, Pengembangan Investasi
15 Tokoh Masyarakat/Adat Informasi Sejarah dan Adat Istiadat

5.28 Penilaian Kriteria


Faktor/criteria diolah dengan menggunakan software AHP (Expert Choice
2000), penilaian dilakukan dengan membandingkan langsung (more important,
preferred or likely), beberapa penilaian akan objektif, warna hitam dalam table
matrik menunjukan angka masuk dan warna merah menunjukan 1 dibagi dengan
angka masukan. (angka masukan di dapat dari transformasi kuesioner dari para
expert).

Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari analisis


AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi. Hirarki analisis
AHP rancangbangun hukum dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar 18

Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini :

(1) Prioritas elemen faktor


Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil
176

analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan
pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 16 dan hasil
prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20

Tabel 16 Hasil analisis faktor AHP

Gambar 21 Hasil analisis faktor

Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu


program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17. Faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya
alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.

Tabel 17 Prioritas elemen faktor

No FAKTOR BOBOT PRIORITAS


1 Hukum 0.289 1
2 Sumber Daya Alam 0.255 2
3 Kelembagaan 0.231 3
4 Pendanaan 0.144 4
5 Sosial Ekonomi 0.081 5

Berdasarkan Tabel 17 faktor yang menduduki prioritas pertama yang


mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan
177

bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya
permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, baik dari sisi
eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal, permasalahan hukum
yang terkait dengan negara tetangga adalah belum adanya penetapan batas negara
antara Indonesia dengan Filipina khususnya untuk pemanfaatan potensi pulau-
pulau kecil terluar.
Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih
kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum
menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber
daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum
merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan kewenangan
kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin sistem dan
mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif.
(2) Prioritas elemen strategi
Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar
dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi
Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut pemerintah,
[2]rancangbangun hukum menurut akademisi, [3]rancangbangun hukum
menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun hukum menurut penataan
batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun hukum menurut budaya lokal.
Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil analisis strategi dalam AHP dari
beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice dapat
dilihat pada Tabel 15 dan hasil prioritas elemen alternatif strategi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 18 dan analisis alternatif strategi pada Gambar 22
178

Tabel 18 Prioritas elemen alternatif strategi


No STRATEGI RANCANGBANGUN BOBOT PRIORITAS
1 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas 0.226 1
Wilayah Negara
2 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah 0.222 2
3 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan 0.211 3
4 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi 0.180 4
5 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal 0.161 5

Gambar 22 Hasil analisis alternatif strategi

Berdasarkan Tabel 18 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan


adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara.
Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara penetapan batas
wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta peningkatan kerjasama
bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini menjadi prioritas pertama
karena penetapan batas laut negara di daerah perbatasan akan menjamin kepastian
hukum untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial
ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan lebih efektif jika penetapan
batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga. Oleh karena itu batas laut zona
ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan Filipina segera diselesaikan
melalui pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun multilateral
dan mendapat pengakuan masyarakat internasional terhadap batas pengelolaan
negara di wilayah laut, demi kepentingan pengelolaan negara pantai di wilayah
pesisir dan laut, keberlanjutan sumber daya, kesejahteraan sosial ekonomi
179

masyarakat, keamanan pangan di laut, keamanan dan pertahanan, serta kesatuan


wilayah negara Republik Indonesia.
Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam
forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia
diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines
South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas
dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan kedua negara.
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,
komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi
dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari
orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan
(prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan
perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan
Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun
diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/
development approach). Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di
dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, diperlukan pertimbangan
terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui
penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.
180

Sas Rancangbangun Hukum dalam rangka


peningkatan pengelolaan pulau-pulau

Sumber Sosial Penda Hukum Kelem


Fa Daya Ekonomi naan bagaa
- Perika - Pendidi - APB - Nasi - Nasi
nan kan N onal onal
- Transp

Rancang Ranca Rancan Rancangba Rancan


bangun ngban gbangu ngun gbangu
Alter Hukum gun n Hukum n

Gambar 23 RBH
181

5.29 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas


wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang
dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut
menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas
rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi
pertimbangan dalam pencapaian tujuan.
Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi
kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif
skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang dihasilkan
dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan usaha yang
komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan
sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis
alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa depan
untuk kurun waktu 5 – 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 19

Tabel 19 Analisis skenario


FAKTOR SKENARIO
1A 1B 1C
Penetapan Batas Penetapan batas Penetapan batas Batas Wilayah laut
wilayah yang wilayah justru akan wilayah masih antara Indonesia
disepakati Indonesia merugikan Indonesia berbelit-belit dan dan Filipina
dan Filipina tidak menghasilkan menjadi semakin
sebuah kesepakatan jelas dan
menghasilkan
kesepakatan yang
win-win solution
2A 2B
Kerjasama bilateral Tetap dan kurang Semakin
dan Internasional memiliki pengaruh berkembang dan
dalam memperkuat memiliki pengaruh
posisi geografis yang signifikan
Indonesia dalam memperkuat
posisi geografis
Indonesia
182

3A 3B 3C
Program Pengelolaan Pelaksanaan program Pelaksanaan Pelaksanaan
SDA dan jasa kurang mendukung program tetap atau program berjalan
lingkungan kelautan kelestarian sumber statis efektif dan efisien
daya alam
4A 4B
Sinergi kelembagaan Tetap dalam arti Semakin kuat dan
masih adanya efektif dalam
tumpang tindih menjalankan
wewenang dan antar masing-masing
lembaga kurang perannya
bersinergi dalam
mencapai tujuan
5A 5B 5C
Sistem pendanaan Semakin lemah Tetap Semakin kuat
karena tidak adanya
keseriusan dalam
pengontrolan dana
6A 6B 6C
Hukum dan Peraturan Gagal karena Tetap Mendukung dalam
Pengelolaan kesadaran hukum penyelenggaraan
masih rendah pengelolaan
7A 7B
Penataan ruang Tetap Mendukung dalam
wilayah penyelenggaraan
pengelolaan
8A 8B 8C
Sarana dan Prasarana Memberikan dampak Tetap dalam arti Semakin
Wilayah negatif terhadap tidak berpengaruh meningkatkan
aspek sosial dan aksesbilitas yang
ekonomi masyarakat memberikan
karena dampak positif
ketidakbijakan dalam terhadap aspek
pemanfaatan sarana sosial dan ekonomi
dan prasarana masyarakat
tersebut
9A 9B 9C
Keterpaduan antar Semakin buruk Tetap Semakin terpadu
stakeholder karena tidak adanya karena adanya
prinsip keterbukaan prinsip
dan tingkat keterbukaan dan
kepercayaan peran serta antar
masyarakat yang stake holder dalam
rendah terhadap pengelolaan
pemerintah
183

Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden


pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5
tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan.
Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Tabel 20 Alternatif skenario


No Skenario Uraian Keadaan
1 Sangat Optimistik Penyusunan Rancangbangun hukum di
wilayah perbatasan negara dan penetapan
batas negara termasuk ZEE
2 Cukup Optimisrtik Penyusunan Rancangbangun hukum dan
menyelesaikan perundingan bilateral batas
negara dan ZEE
3 Optimistik dengan syarat pertama Penyelesaian Perundingan Bilateral
mengenai Batas Negara dan Nota
kesepakatan ZEE
4 Optimistik dengan syarat kedua Perundingan Bilateral penetapan ZEE

5 Pesimistik Penyelesaian Mahkamah Internasional

Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu


program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17, faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber
daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.
Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini
maka dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice
2000. Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak
Kementerian Luar Negeri RI Tabel 21 dan Tabel 22 Sosial Ekonomi.
184

Tabel 21 Hasil kuesioner responden

Tabel 22 Sosial ekonomi

Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun


produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan
batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert
dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat :
berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah
rancangbangun hukum menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun
hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut penataan
batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi (0.193) dan
rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil 0.154). Untuk
rasio inkonsistensi adalah 0.04.

Gambar 24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi


185

Secara total, hasil kuisioner dari semua expert yang sudah dimasukan
dalam expert choice 2000 dapat dilihat dalam Table 23
Tabel 23 Hasil analisis AHP total

RANCANG HUKUM MENURUT


BUD INSKON
PAKAR
No KRITERIA PEME STRATEGI PENATAA SISTENS
(RESPONDEN) AKAD AYA
RINTA PERWILAY N BATAS I
EMISI LOK
H AHAN WILAYAH
AL
SUMBER
DAYA
ALAM 0.206 0.204 0.263 0.225 0.103
SOSIAL
KEMENTERI EKONOMI 0.232 0.193 0.223 0.200 0.152
1 AN LUAR PENDANAA
NEGERI N 0.193 0.168 0.221 0.292 0.127
HUKUM 0.198 0.190 0.190 0.232 0.175
KELEMBAG
AAN 0.226 0.193 0.203 0.25 0.127
SUMBER
DAYA
ALAM 0.207 0.206 0.245 0.23 0.112
SOSIAL
KEMENTERI EKONOMI 0.254 0.189 0.227 0.212 0.117
2 AN DALAM PENDANAA
NEGERI N 0.246 0.169 0.232 0.224 0.179
HUKUM 0.282 0.141 0.272 0.190 0.107
KELEMBAG
AAN 0.231 0.170 0.172 0.224 0.203
SUMBER
DAYA
ALAM 0.222 0.201 0.203 0.211 0.164
KEMENTERI SOSIAL
AN EKONOMI 0.234 0.193 0.215 0.229 0.13
3 KELAUTAN PENDANAA
DAN N 0.256 0.122 0.230 0.223 0.168
PERIKANAN
HUKUM 0.225 0.194 0.200 0.225 0.149
KELEMBAG
AAN 0.258 0.193 0.202 0.208 0.139
SUMBER
DAYA
ALAM 0.226 0.147 0.223 0.242 0.162
KEMENTERI SOSIAL
AN EKONOMI 0.195 0.119 0.210 0.270 0.191
4 PENDANAA
PEKERJAAN
UMUM N 0.217 0.134 0.146 0.261 0.243
HUKUM 0.233 0.189 0.189 0.228 0.161
KELEMBAG
AAN 0.265 0.163 0.164 0.252 0.159
SUMBER
DAYA
ALAM 0.151 0.167 0.257 0.254 0.172
SOSIAL
EKONOMI 0.234 0.174 0.194 0.205 0.194
5 TNI AL PENDANAA
N 0.250 0.194 0.219 0.219 0.110
HUKUM 0.197 0.197 0.227 0.227 0.152
KELEMBAG
AAN 0.172 0.169 0.228 0.261 0.169
186

SUMBER
DAYA
ALAM 0.190 0.175 0.190 0.232 0.198
SOSIAL
EKONOMI 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
6 DPR - RI PENDANAA
N 0.222 0.157 0.194 0.283 0.145
HUKUM 0.189 0.196 0.233 0.233 0.149
KELEMBAG
AAN 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
SUMBER
DAYA
ALAM 0.221 0.186 0.206 0.201 0.185
DPRD SOSIAL
SULUT EKONOMI 0.174 0.194 0.205 0.234 0.194
7 PENDANAA
N 0.224 0.198 0.224 0.224 0.131
HUKUM 0.219 0.219 0.219 0.240 0.102
KELEMBAG
AAN 0.246 0.107 0.222 0.257 0.169
SUMBER
DAYA
ALAM 0.229 0.173 0.195 0.229 0.173
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.210 0.171 0.252 0.241 0.118
8 INDONESIA PENDANAA
N 0.258 0.101 0.178 0.247 0.137
HUKUM 0.252 0.14 0.223 0.252 0.126
KELEMBAG
AAN 0.186 0.199 0.191 0.257 0.167
SUMBER
DAYA
ALAM 0.247 0.160 0.255 0.212 0.117
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.165 0.170 0.202 0.259 0.203
9 FILIPINA PENDANAA
N 0.232 0.152 0.233 0.193 0.200
HUKUM 0.229 0.190 0.207 0.203 0.171
KELEMBAG
AAN 0.221 0.185 0.206 0.201 0.186
SUMBER
DAYA
ALAM 0.224 0.160 0.302 0.187 0.127
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.193 0.155 0.163 0.297 0.193
10 SULAWESI
PENDANAA
UTARA
N 0.259 0.149 0.196 0.225 0.171
HUKUM 0.21 0.109 0.252 0.252 0.169
KELEMBAG
AAN 0.253 0.149 0.199 0.231 0.168
SUMBER
DAYA
ALAM 0.167 0.148 0.295 0.195 0.295
SOSIAL
PEMERINTAH EKONOMI 0.211 0.105 0.160 0.340 0.176
KAB. PENDANAA
11 KEPULAUAN
N 0.219 0.184 0.197 0.202 0.176
SANGIHE
HUKUM 0.255 0.177 0.22 0.225 0.253
KELEMBAG
0.194 0.194 0.161 0.257 0.194
AAN
187

SUMBER
DAYA
ALAM 0.226 0.192 0.182 0.226 0.174
PEMERINTAH SOSIAL
KAB. EKONOMI 0.189 0.189 0.233 0.228 0.161
12 KEPULAUAN PENDANAA
TALAUD N 0.221 0.186 0.201 0.206 0.185
HUKUM 0.250 0.162 0.216 0.227 0.138
KELEMBAG
AAN 0.219 0.186 0.168 0.320 0.107
SUMBER
DAYA
ALAM 0.187 0.286 0.221 0.160 0.146
SOSIAL
EKONOMI 0.225 0.255 0.220 0.177 0.153
13 AKADEMISI PENDANAA
N 0230 0.236 0.192 0.192 0.150
HUKUM 0.226 0.226 0.156 0.229 0.160
KELEMBAG
AAN 0.225 0.225 0.194 0.208 0.149
SUMBER
DAYA
ALAM 0.194 0.174 0.205 0.234 0.194
SOSIAL
EKONOMI 0.188 0.188 0.208 0.208 0.208
14 INVESTOR PENDANAA
N 0.167 0.167 0.200 0.205 0.261
HUKUM 0.217 0.166 0.206 0.206 0.206
KELEMBAG
AAN 0.169 0.298 0.232 0.235 0.166
SUMBER
DAYA
ALAM 0.232 0.198 0.175 0.198 0.198
SOSIAL
TOKOH ADAT / EKONOMI 0.183 0.195 0.209 0.162 0.232
15 MASYARAKAT PENDANAA
N 0,216 0.121 0.24 0.288 0.134
HUKUM 0.229 0.203 0.190 0,207 0.171
KELEMBAG
AAN 0.186 0.164 0.204 0.211 0.235

Dalam Table 23 di atas terlihat bahwa Rancangbangun Hukum menurut


Pemerintah dan Penataaan Batas Wilayah merupakan pilihan mayoritas dari
sejumlah expert yang di minta pendapatnya, dengan kriteria hukum dan sumber
daya alam merupakan kriteria dominan dalam pengambilan keputusan untuk
menunjang pencapaian tujuan untuk merancang suatu Rancangbangun Hukum
Pulau-Pulau Terluar di wilayah perbatasan Indonesia bagian Utara.

5.30 Sintesis
Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi prioritas
dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah
188

ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan


pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai untuk
alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang terbaik
adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Tabel 18 sintesis yang
dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam menghasilkan
produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum menurut penataan
wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut pemerintah (0.222),
RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi (180), dan
rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi adalah 0.04
yang masih dalam batas rasio normal.

Gambar 25 Sintesis rancangbangun hukum penataan wilayah

5.31 Sensitivitas Analisis

Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana


perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang
ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau
criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya.
Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan
beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head to
Head.

5.32 Sensitivitas dinamis


Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang
hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada
didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),
189

Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%).


Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic) yaitu
nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut penataan
batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan (22%), RH
menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH menurut
budaya (13.8%)

Gambar 26 Dinamik sensitive

5.33 Analisis head to head

Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari


setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini
membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan
ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga
keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada.

Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara dengan


RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari kriteria
yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan wilayah negara
190

mempunyai skala prioritas utama. Dalam perbandingan dengan Rancangbangun


Hukum lainnya juga disimpulkan bahwa RH menurut Penataan Batas Wilayah
Negara menjadi skala prioritas utama.

Gambar 27 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah

5.34 Penentuan Prioritas Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau


Kecil

Prioritas strategi merupakan pemilihan strategi berdasarkan prioritas dari


rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Strategi yang
terpilih menjadi prioritas dan dianggap sesuai dengan keadaan faktor yang
dipertimbangkan dalam pelaksanaannya. Faktor ini adalah kriteria-kriteria
pertimbangan dalam memprioritaskan strategi.
Informasi yang digunakan dalam menganalisis dengan metode AHP
(Analytical Hierarchy Process) ini berasal dari responden-responden yang
mengetahui dan memahami pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi
Utara untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Responden-responden
tersebut dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akedemisi, dan
masyarakat lokal.
Dalam penentuan prioritas strategi maka sasaran dan faktor yang
mempengaruhi perlu di rumuskan untuk mendapatkan suatu produk
191

rancangbangun hukum yang optimal dan sesuai dengan potensi sumber daya yang
ada dan ditunjang oleh semua aspek penunjang pelaksanaanya.
Metode yang dipakai untuk mencapai sasaran atau tujuan menggunakan
metode AHP, sasaran atau tujuan dalam analisis AHP merupakan bagian penting
sehingga sedemikian rupa ditempatkan paling atas pada susunan hirarki AHP.
Sasaran ini menjadi acuan secara langsung bagi kriteria faktor. Kriteria ini
diperlukan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan yang
berupa penetapan prioritas strategi. Elemen-elemen sasaran, kriteria, dan strategi
tersebut dijelaskan sebagai berikut :

5.35 Elemen sasaran


Sasaran yang ingin dituju adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau-
pulau kecil terluar sehingga dapat menjadi solusi dari beberapa masalah-masalah
(coastal disease) di wilayah pulau-pulau kecil terluar yang sudah berlangsung
sejak dulu hingga saat ini, antara lain permasalahan batas wilayah negara,
pemanfaatan sumber daya belum optimal, sarana dan prasarana yang terbatas,
permasalahan hukum, sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
keterpencilan, dan Peraturan Daerahgangan ilegal.

5.35.1 Elemen faktor


Faktor dalam analisis AHP diartikan sebagai faktor yang dipertimbangkan
ataupun diperlukan dalam mendukung upaya pencapaian sasaran, dalam hal ini
adalah pembuatan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar. Faktor yang
dipertimbangkan adalah aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan,
hukum dan kelembagaan. Keterpaduan aspek ini diharapkan mampu
mengoptimalkan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar

5.35.2 Elemen strategi


Alternatif strategi dari perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau
kecil terluar terdiri dari lima strategi antara lain rancangbangun hukum menurut
pemerintah, rancangbangun hukum menurut akademisi, rancangbangun hukum
menurut strategi perwilayahan, rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah negara, dan rancangbangun hukum menurut budaya lokal.
192

Unsur-unsur strategi rancangbangun hukum tersebut disusun dari strategi-


strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT. Penyusunan unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut : RB Hukum menurut Pemerintah, Akademisi, Stategi
Perwilayahan, Penataan Batas Wilayah dan Budaya lokal.

5.36 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah


Rancangbangun hukum menurut pemerintah terdiri dari empat unsur
strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut pemerintah adalah sebagai berikut :
(1) Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3,
O1,O2,O3)
(2) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (W4,O6)
(3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)
(4) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)

Gambar 28 Head to head RH pemerintah


5.37 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi
Rancangbangun hukum menurut akademisi terdiri dari dua unsur strategi
yang memadukan kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan
193

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut


akademisi adalah sebagai berikut :
(1) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar (W4,O6)
(2) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)

Gambar 29 Head to head RH akademisi


5.38 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan
Rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan terdiri dari dua
unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, dan peluang dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut strategi perwilayahan adalah sebagai berikut :
(1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
(S1,S2, O1-3)
(2) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3)

Gambar 30 Head to head RH stategi perwilayahan


194

5.39 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal


Rancangbangun hukum menurut budaya lokal terdiri dari satu unsur
strategi yang memadukan kelemahan dan ancaman dari peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut budaya lokal
hanyalah peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar (W4, T3)

Gambar 31 Head to head RH budaya lokal

5.40 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara


Rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara terdiri dari
dua unsur strategi yang memadukan kekuatan dan peluang dari peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
penataan batas wilayah negara adalah sebagai berikut :
(2) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5)
(3) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5)

Gambar 32 Head to head RH penataan batas wilayah


195

5.41 Rekomendasi Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17
ayat (3) menentukan bahwa ―Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat
atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).‖ Ketentuan ini kemudian digunakan secara
bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan suatu
rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.
Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah
sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan
membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun
yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan,
sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih
(overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan ―Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal
dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan‖.
Dengan ketentuan tersebut, peran Direktorat Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan menjadi semakin penting, karena Direktorat Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan
Ditjen Peraturan Perundang-undangan yang ditugaskan untuk melakukan
koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi tidak hanya
terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) saja, tetapi juga terhadap Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPERPU), Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPERPRES).
Terhadap peraturan perundang-undangan yang disampaikan oleh
pemrakarsa kepada Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
dilakukan penjadwalan untuk dilaksanakan rapat pengharmonisasian. Rapat
196

pengharmonisasian dilaksanakan oleh masing-masing subdirektorat sesuai dengan


tugas dan fungsinya.

Implementasi Hukum & Kelembagaan

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah

Konservasi
Undang- Undang

Perikanan
Undang- Undang

Pemerintahan Daerah
Undang- Undang

Wilayah Negara
Undang- Undang
Sumberdaya Alam
Undang- Undang

KONVENSI INTERNASIONAL YANG DIRATIVIKASI : UNCLOS 1982

Landasan Formil dan Materil


UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Gambar 33 Rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar

Rancangbangun hukum menginventarisasi sejumlah peraturan perUndang-


Undangan yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di perbatasan negara termasuk pengelolaan wilayah pesisir seperti yang
tercantum dalam Tabel 24 di bawah ini

Tabel 24 Daftar Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan


wilayah pesisir.
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
1 Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945 Perubahan Ke IV
2 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia
3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
4 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1962 Karantina Laut
5 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan
6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Ketentuan Pokok Pertambangan
7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia
8 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana
9 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
10 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Peradilan Umum
11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara
12 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya
197

Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
13 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan
14 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan
15 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman
16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Jalan
17 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan
18 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan
Tumbuhan
19 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran
20 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan
21 Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang
22 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan
23 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Tanah beserta
Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah.
24 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
25 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 Pangan
26 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian
27 Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
28 Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pajak
29 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
30 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup
31 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
32 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
33 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan
Nepotisme
35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
37 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi
38 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan
39 Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian
40 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
41 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan
42 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
43 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak Bumi
44 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan
45 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara
46 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
47 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung
48 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara
49 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi
50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
198

Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
51 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman
52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air
53 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum
54 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Negara
55 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
56 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan
57 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 Kehutanan
56 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
59 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan
60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
61 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
62 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang
63 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
64 Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara
65 Peraturan Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Pemerintah Nasional
66 Peraturan Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air dan
Pemerintah Pengendalian Pencemaran Air
67 Peraturan Nomor 82 Tahun 2001 Pengendalian Pencemaran Dan/Atau
Pemerintah Perusakan Laut
68 Keputusan Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung
Presiden
69 Keputusan Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-
Menteri pulau Kecil yang berkelanjutan dan
Kelautan dan Berbasis Masyarakat
Perikanan
70 Keputusan Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan
Menteri Pengelolaan Pesisir Terpadu
Kelautan dan
Perikanan
71 Peraturan Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-
Pemerintah Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia
72 Peraturan Nomor 37 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
73 Peraturan Nomor Per.16/Men/2008 Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Menteri Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kelautan
74 Peraturan Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Presiden Terluar
75 Peraturan Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Presiden
76 Peraturan Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Daerah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
Kabupaten
77 Peraturan Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Daerah Provinsi Laut Terpadu Berbasis Masyarakat
199

5.42 Landasan Formil dan Materiil Konstitusional

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-


undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian
ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang).

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-


undangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dengan memahami konstitusi maka pembentukan peraturan
perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang benar yang
dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengertian Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan


Perundang-undangan dan Pentingnya dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan
Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural
terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam
dasar hukum ―mengingat‖ suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan
untuk memberikan tanda (sign) bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum
―mengingat‖ suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk.
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian
diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dituangkan dalam
norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih
lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
dalam konsiderans ―menimbang‖ dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat)
200

disesuaikan dengan keinginan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden)


sebagai kebijakan/politik hukum (legal policy) namun harus tetap dalam
pemahaman koridor konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini
melalui metoda penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk
undang-undang (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi terhadap
(pasal-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijabarkan dalam suatu undang-undang maka yang dimenangkan adalah
penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan
penafsir akhir konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution).
Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan menjadi penting
dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan
wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundang-
undangan yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen. Dalam
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan
konstitusional semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) maupun dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada kewenangan
konstitusional semacam ini yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung hanya didasarkan
undang-undang, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004).

Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan
201

kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan konstitusional semacam ini
belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan faham/sistem
‖Supremasi Konstitusi‖ di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem checks and
balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang
dapat diuji secara judicial (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, yang
selama kurang lebih 55 tahun usia Republik Indonesia suatu undang-undang tidak
dapat diganggu-gugat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pra amendemen memang tidak diatur mengenai pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga timbul kesan pemahaman yang
sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 bahwa
undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is ondschendbaar)
sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat (2)
UUDS 1950.
Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2001) di Era
Reformasi, undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar.
Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian
secara legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang
mengujinya adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966.
Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan
konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan
kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang
sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-
202

undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-
undangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Teknik Pembuatan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundang-
undangan, sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi
prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
dicantumkan dalam dasar hukum ―mengingat‖.
Pembuatan atau prosedur pembuatannya apabila tidak benar atau
menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam
Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk undang-undang) dan Tata tertib DPRD
(untuk Peraturan Daerah) serta prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 dan undang-undang Pemerintahan Daerah (bagi Perda),
maka undang-undang dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh
oleh Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang) atau oleh Mahkamah Agung
(untuk Peraturan Daerah).
Berdasarkan pemahaman di atas maka Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan untuk:
(1) Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Undang-Undang (UU) adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari Presiden/Pemerintah), Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 21 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang
yang datang dari DPR);
(3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Pasal 22
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
203

(4) Peraturan Pemerintah (PP) adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(5) Peraturan Presiden (Perpres) adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(6) Peraturan Daerah (Perda) adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Landasan Materiil Konstitusional


Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-
pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dicantumkan juga dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu Peraturan Perundang-
undangan yang (akan) dibentuk.
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini
kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ―menimbang‖ dan
dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh
dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan
kalau kurang jelas.
Pencantuman pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan
perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan
dijabarkan dalam batang tubuh peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebagai
contoh, misalnya akan dibentuk Rancangan Undang-Undang (Undang-Undang)
tentang Partai Politik, dicantumkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena pasal ini memuat hak-hak dasar manusia
(dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan
politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam dasar hukum
―mengingat‖ suatu rancangan undang-undang (undang-undang) memberikan
indikasi bahwa landasan materiil konstitusional rancangan undang-undang
(undang-undang) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di
bidang ekonomi dan sumber daya alam (SDA).
204

Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan
secara ringkas dalam konsiderans ‖menimbang‖, dan dijabarkan atau dituangkan
lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam ‖Batang Tubuh‖, sampai dengan
‖Penjelasan‖ peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau
dibutuhkan.
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan kemudian diberikan landasan undang-undang yaitu Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Dalam Lampiran Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan:
(1) Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok–pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang–
undangan.
(2) Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau
peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang
menjadi latar belakang pembuatannya .
Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan
tertentu (khususnya undang-undang dan peraturan daerah) harus mempunyai
landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam ‖menimbang‖
dan dasar hukum ‖mengingat‖.
Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu
undang-undang/peraturan daerah merupakan hakekat (inti) dari landasan formil
dan materiil konstitusional Peraturan Perundang-undangan. Unsur filosofis yang
akan diuraikan secara singkat dalam ‖menimbang‖ ini terkandung dalam:
(1)Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(tersurat-tersirat);
(2)Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3)Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah ‖dirangkum‖ dan ‖dimuat‖
dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila; atau
205

(4)Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-


undangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang akan
diatur (relatif).
Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undang-
undang/peraturan daerah adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam
masyarakat. Misalnya: dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika unsur sosiologisnya adalah adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika yang semakin banyak terjadi di masyarakat yang dapat merusak
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undang-
undang/peraturan daerah adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada baik yang menjadi dasar hukum ―mengingat‖ maupun yang berkaitan
secara langsung dengan substansi peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
Disamping Butir 17-18, Landasan Formil dan Materiil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
diberikan alas hukum juga yaitu dalam Butir 26 yang berbunyi: Dasar hukum
memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan. Ketentuan dalam Butir 26 tersebut berisi landasan formil
dan materiil konstitusional, apabila menyangkut Undang-Undang Dasar. Kalau
menyangkut peraturan perundang-undangan lain di bawah Undang-Undang Dasar
dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis (yuridis formil-
materiil) peraturan perundang-undangan.
Contoh: Landasan formil dan materiil konstitusional dan yuridis formil-
materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
adalah:
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
206

(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan tata Kerja Lembaga
Tertinggi Negara dan/atau AntarLembaga-lembaga Tinggi Negara;
(3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951).

Kedudukan Ketetapan MPR dalam Dasar Hukum ‖Mengingat‖


Ketetapan MPR (TAP MPR) dapat dimuat dalam dasar hukum ―mengingat‖ suatu
undang-undang sebagai ―landasan materiil konstitusional‖ (kalau TAP MPR
dikategorikan aturan/hukum dasar). Kalau TAP MPR dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan bukan hukum dasar maka TAP MPR dapat
didudukkan sebagai ‖landasan materiil-yuridis‖ dari pembentukan suatu undang-
undang, apabila dalam TAP MPR tersebut ada perintah langsung (secara tegas)
untuk mengatur lebih lanjut substansinya ke dalam undang-undang.
Pada masa Orde Baru TAP MPR tentang GBHN pada umumnya menjadi dasar
hukum (‖mengingat‖) suatu undang-undang, misalnya TAP MPR Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum memerintahkan secara tegas agar dibentuk
Undang-Undang tentang Referendum. Contoh lain adalah perintah TAP MPR
Nomor VI/MPR/2002 kepada DPR dan Presiden untuk merevisi (mengubah)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Berdasarkan TAP MPR Nomor
I/MPR/2003 masih ada beberapa TAP MPRS dan TAP MPR yang masih
‖diberlakukan‖ atau ‖berlaku‖ dengan syarat sampai terbentuknya undang-undang
yang mengatur substansi yang ada dalam TAP MPR tersebut atau selesainya
masalah yang disebutkan dalam TAP MPR tersebut.
Arahan kedepan, disepakati MPR tidak akan membuat lagi produk hukum
berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR
Nomor 7 jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih
dimungkinkan dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam
bentuk/arti beschikking sehingga ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 10/2004 dan Penjelasannya tak mungkin dapat dilaksanakan yang
207

berkaitan dengan TAP MPR karena MPR tidak akan mengeluarkan lagi TAP
MPR yang mengikat ke luar sebagai jenis peraturan perundang-undangan.
Kebijakan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di perbatasan negara pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 dalam Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739.

Berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang sangat terkait


diantara perUndangan-Undangan yang diinventarisasi dalam Tabel 24 di atas
yaitu:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslklusif
(3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nation Conventin on the Law of the Sea.
(4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
(5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
(6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati
(8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(9) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(10) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(11) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
(13) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(14) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
(15) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-
Pulau Kecil Terluar
208

(16) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
(17) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2008
tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(18) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan

5.43 Dasar Penentuan Batas Laut dan Penanganan Hukum


Sejarah membuktikan, baik ―Mare Liberum‖ Belanda maupun ―Mare
Clausum‖ Inggris, tidak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan
konsekwen. Grotius sendiri dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625)
mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang
dapat dikuasai dari darat. Sedangkan Selden mangakui hak-hak negara untuk
memiliki lautnya masing-masing dan mengakui adanya hak ―innocent passage‖
atau hak lintas damai di laut-laut yang dimiliki atau dituntut (Djalal 1979).

Mengenai berapa lebar laut yang dapat dikuasai (laut wilayah) oleh suatu
negara menurut Bynkerhoek seorang sarjana Belanda, mengatakan, sampai di
mana kekuatan senjata meriam dari darat, yang pada waktu itu 3 mil dan
selebihnya adalah bebas untuk dinikmati seluruh umat manusia. (Kusumaatmadja
1979 dan Hasjim. 1979).

Pada waktu itu umumnya negara-negara maritim di Eropa mempraktekkan


laut teritorial 3 mil tersebut, tetapi ajaran 3 mil tembakan meriam tersebut
bukanlah satu-satunya aturan Hukum Internasional mengenai lebar laut wilayah.
Sejak saat itu negara-negara Eropa telah menerima ajaran pembagian laut yang
dapat dimiliki oleh suatu negara dengan adanya “Innocent Passage” dan di luar
itu adalah laut lepas yang dapat dimiliki oleh semua negara. Dalam hal
menentukan mengenai berapa luas laut wilayah itu belum ada kesepakatan dalam
praktek negara-negara. Dalam perkembangannya dalam usaha untuk menentukan
lebar laut wilayah masalah lintas damai “innocent passage” selalu diterima.
209

Perkembangan lahirnya konsepsi lahirnya laut teritorial, konsepsi antara


laut terbuka (mare liberum) dan laut tertutup (mare clausum) akhirnya tercapai
kompromi, Inggris juga lambat laut menerima ajaran kebebasan lautan, sedangkan
Belanda mengakui hak suatu negara untuk menguasai laut yang berbatasan
dengan pantainya sejauh yang dapat dijangkau oleh tembakan meriam. Sedangkan
pendekar-pendekar kedaulatan atas lautan masa lalu Portugal dan Spanyol telah
mengalami kemerosotan.

Sejarah perbatasan membuktikan bahwa wilayah perairan Pulau Miangas


dan Pulau Marore rawan terhadap konflik sosial, terutama berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya alam dan perdagangan berbagai komuditas. Data hasil
analisi penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% responden mengatakan bahwa
perangkat hukum yang ada di Pulau Miangas dan Pulau Marore telah cukup
tersedia dan berfungsi, hal ini didukung oleh tersedianya unit kerja yang terkait
dengan hukum, antara lain Kepolisian Sektor (Polsek) , Komando Rayon Militer
(Koramil), Polisi Air dan Udara (Polairud), Bea Cukai, Pos Angkatan Laut. Unit
kerja ini berfungsi untuk menjaga kepentingan negara dari gangguan negara asing.
Namun demikian, di kedua pulau tersebut belum ada instansi Kejaksaan dan
Pengadilan, sehingga permasalah permasalah hukum harus diselesaikan di ibu
kota kabupaten yaitu di Melongguane dan Tahuna. Kantor Perwakilan Negara
Filipina telah ada di kedua pulau tersebut, untuk menfasilitasi pelintas batas antara
warga negara Indonesia yang akan berkunjung ke Filipina dan atau sebaliknya,
serta menjadi kantor penghubung bagi kedua negara apabila terjadi permasalahan
di laut, terutama nelayan-nelayan Filipina yang memasuki wilayah laut Indonesia.

Keterbatasan personil pada unit kerja di Pulau Miangas dan Pulau Marore
menyebabkan unit kerja kurang responsive dan harus selektif dalam penyelesaian
masalah keamanan dan konflik kepentingan yang sering terjadi. Konflik yang
sering terjadi di perbatasan adalah nelayan Filipina yang memasuki wilayah
perairan Indonesia, dan penyelundupan barang-barang yang dilakukan oleh
nelayan dan pelintas batas.
210

5.44 Politik dan Pertahanan Keamanan

Pembinaan politik di Pulau Miangas secara administrasi dilakukan oleh


Camat, karena pulau tersebut merupakan Kecamatan Khusus, sedangkan untuk
Pulau Marore, masih dilakukan oleh Kepala Desa. Secara fungsional, pembinaan
pertahanan dan keamanan dilakukan dengan koordinasi antara Kepolisian,
Angkatan Laut dan Komando Rayon Militer (Koramil) sebagai upaya untuk
menangkal infiltrasi budaya dan ideologi asing yang masuk dari Pulau Mindanao
di Filipina.

Sebagai upaya tangkal akibat kejahatan transnasional di daerah perbatasan,


dilakukan patrol bersama antar instansi terkait, dan melakukan penyuluhan dan
informasi kepada masyarakat tentang cegah tanggal apabila menemukan
pendatang-pendatang yang di curigai bukan warna kampong. Dengan demikian
masyarakat melaporkan kepada pihak aparat yang berwewenang untuk
pengusutan dan proses penyelidikan dan penyidikan.

Kajian hukum permasalahan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan


Filipina, mensyaratkan untuk dilakukan kebijakan penyusunan peraturan
perundangan-undangan yang khusus mengatur pulau-pulau perbatasan negara
dengan berpedoman pada prinsip-prinsip rancangbangun hukum.

5.45 Prinsip dan Mekanisme Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-


Pulau Kecil Terluar

Prinsip dan mekanisme pengaturan bagi rancangbangun hukum dan


pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, perlu untuk dituangkan dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU). Bagian pertama menjelaskan tentang prinsip-prinsip
mekanisme dasar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Bagian kedua membahas
ruang lingkup dan obyek pengaturan. Bagian ketiga membahas tentang
mekanisme pengaturan secara khusus yang diatur didalam RUU, dan bagaimana
mekanisme itu dapat dilaksanakan. Bagian keempat, mengkaji beberapa isu utama
yang akan ditangani melalui perundang-undangan. Isu dan obyek pengaturan di
bawah ini, difokuskan pada isu-isu penting yang perlu penanganan lebih lanjut
melalui pengaturan.
211

Berdasarkan pembahasan pada Bab 4, terdapat beberapa prinsip dasar


pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yaitu:
(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil difokuskan pada pulau terluar yang
mempunyai banyak kegiatan dan rentan terhadap perubahan lingkungan,
dimana terjadi peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, secara
biofisik lingkungan.
(2) Proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dilakukan secara
terbuka, partisipatif, demokratis dan adaptif secara terus-menerus.
(3) Pengelolaan tersebut menekankan pada koordinasi, kerjasama dan
keterpaduan diantara berbagai kegiatan horizontal dan vertikal yang
mempengaruhi kondisi sumberdaya pesisir serta makhluk hidup lain yang
ada di wilayah pesisir; antara berbagai kelompok masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya atau mendapatkan dampak dari pemanfaatan
sumberdaya tersebut.
(4) Strategi pengelolaan tersebut adalah memanfaatkan secara bijaksana,
memelihara, melindungi/proteksi, merestorasi dan merehabilitasi
sumberdaya pulau kecil, sehingga sumberdayanya dapat digunakan secara
berkelajutan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang.

5.46 Prinsip keterpaduan


Keterpaduan perencanaan horisontal memadukan antara perencanaan dari
sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan konservasi yang berada di daerah
aliran sungai hulu, sektor perikanan baik budidaya perikanan ikan maupun
perikanan tangkap, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri maritim,
pertambangan lepas pantai, konservasi laut, serta pengembangan kota pantai yang
difokuskan pada pemanfaatan pesisir yang lestari.
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan
perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi,
hingga Nasional.
212

5.46.1 Keterpaduan antara ekosistem darat dengan laut.


Perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan secara
terpadu, dengan kombinasi pendekatan batas ekologis dan administratif,
diprioritaskan dengan menempatkan batas wilayah negara sebagai basis
perencanaan. Akibatnya, dampak dari kegiatan perikanan dan jalur laut serta
pembangunan pulau perlu diperhitungkan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya.

5.46.2 Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen


Perencanaan pulau-pulau kecil terluar terpadu, perlu didasarkan pada input
data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi
pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-
ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.

5.46.3 Keterpaduan program antar negara


Dalam mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil di perbatasan antar negara perlu di integrasikan
kebijakan masing-masing negara Indonesia Filipina.
Kegiatan integrasi dilakukan dengan melakukan program kerja sama
terpadu yang didahului dengan melakukan penelitian bersama tentang potensi
sumberdaya masing-masing negara di daerah perbatasan. Hasil yang diperoleh
menjadi acuan dalam menentukan kebijakan terpadu dalam pengelolaan
sumberdaya antara negara yang berbatasan. Angaran dapat diperoleh melalui
kesepakatan bersama negara, atau melalui bantuan badan dan lembaga
internasional.

5.47 Prinsip pembangunan berkelanjutan sumberdaya perbatasan


Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi
pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem
serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat
mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang
bergantung pada perubahan teknologi dan karakteristik sosial-ekonomi dan
budaya masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam, serta kemampuan
biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain,
pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem pesisir,
213

sehingga kapasitas lingkungan dan fungsinya untuk memberikan manfaat bagi


kehidupan manusia tidak rusak, dan berkelanjutan sehingga dapat digunakan
diggunakan generasi yang akan datang. Secara garis besar konsep pembangunan
berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi
budaya, (3) geofisik dan teknologi, dan (4) hukum dan kelembagaan.
Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan
pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil terluar menjadi kewenangan
pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 23.
Untuk tingkat daerah perlu diperhatikan kesiapan daerah dan kemampuan
kelembagaannya untuk mengemban tanggung jawab dan kewenangan dalam
mengelola pulau kecil dan sumberdaya pesisirnya. Namun disisi lain pengaturan
pegelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih menjadi kewenangan
pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga
diperlukan perundangan dan norma-norma hukum yang baru dapat mengatur
pengelolaan pulau perbatasan dan keseimbangan kepentingan Pemerintah dan
Daerah.

5.47.1 Prinsip partisipasi dan keterbukaan


Partisipasi dan keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas
untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah
pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan
kepentiungannya untuk dapat dimuat di dalam naskah RUU, serta ikut berperan
dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan
perundang-undangan tersebut.
Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari
pihak yang memprakarsai, dalam hal ini Pemerintah. Keterbukaan Pemerintah
menginformasikan draft rumusan-rumusan aturan, kebijakan dan rencana kegiatan
sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan,
serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan
persepsi masyarakat.
214

Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah


wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
yang dilakukan Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat
mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang diakibatkan
oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan. Sehingga konsultasi publik kepada
stakeholder utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap
pengendalian sangat penting.

5.47.2 Prinsip kepastian hukum


Kepastian hukum dalam penerapan undang-undang merupakan prinsip
utama dalam pelaksanaan undang-undang secara tegas dan konsisten. Hal ini
dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi
objek hukum terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Dalam hal ini masyarakat perlu mengetahui proses perumusan
perundang-undangan, misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang
tersebut diterapkan. Mereka ikut memberikan masukan, tanggapan, dan keberatan
tentang obyek pengaturan dan bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi
kehidupan mereka. Proses ini harus dimulai sejak rumusan undang-undang
dipersiapkan dari Naskah Akademiknya sampai disahkannya Rancangan Undang-
undang tersebut di DPR. Untuk itu, isi dan lingkup pengaturan perundang-
undangan tersebut harus dikonsultasikan, disosioalisasikan dan disebarluaskan
sejak dini. Selanjutnya masyarakat diberi peran didalam mengawasi pelaksanaan
undang-undang tersebut, sehingga norma hukum yang tertulis (de jure)
dilaksnakan secara konsisten dan konsekuen (de facto).
Kepastian hukum sangat penting untuk melaksanakan sistem pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan
masyarakat. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim
yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum
(compliance), serta tidak ragu-ragu mempertahankannya jika pihak lain bertindak
di luar jalur humum. Kepastian hukum juga membatasi intervensi dari pihak
penguasa atau pejabat dalam mempengaruhi penerapan peraturan perundang-
undangan. Sehingga masyarakat dan dunia usaha sebagai pelaku pembangunan di
215

wilayah pesisir perbatasan negara, mempunyai kepastian dan jaminan bahwa


usaha dan investasinya dalam dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Sementara bagi pemerintah daerah, kebijakan pemerintah yang konsisten
mendukung pelaksanakan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.

5.48 Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan


5.48.1 Mekanisme koordinasi pada tingkat pusat

Mekanisme koordinasi dibutuhkan untuk menyelenggarakan penyusunan


perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, dan koordinasi pengambilan
keputusan serta pembiayaan program pengelolaannya. Mekanisme ini
dikoordinasikan oleh sebuah lembaga atau badan lintas-institusi yang berwenang
dan memiliki otoritas cukup. Otoritas ini didelegasikan dari institusi-institusi
sektoral, untuk menyelesaikan perbedaan persepsi, konflik atau sengketa diantara
institusi yang berbeda, dan pihak instansi terkait menghormati serta melaksanakan
keputusan tersebut. Badan koordinasi tersebut akan membuat keputusan atau
rekomendasi lintas-sektoral, badan tersebut sebaiknya memiliki otoritas atas tiap-
tiap departemen sektor, atau ada proses untuk membawa kasus konflik atau
sengketa ke instansi yang lebih tinggi.
Mengingat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar merupakan kebijakan
yang bersifat lintas sektor, maka kegiatan pengelolaannya perlu dikoordinasikan
oleh suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Fungsi koordinasi itu bisa dilihat dari beberapa alternatif
kelembagaan. Menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya
Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Bappenas, atau membentuk badan baru
non-kementerian yang bersifat lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat,
seperti Badan Nasional Pengelolan Perbatasan Negara (BNPP) dan Dewan
Kelautan Indonesia (DKI). Jika pilihannya membentuk suatu badan baru, atau
memakai dan merubah yang sudah ada, maka badan yang baru tersebut dapat saja
dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikana atau Presiden.
(1) Alternatif kelembagaan dimana satu kementerian dapat
mengkoordinasikan kebijakan antara instansi itu sendiri. Kementerian
hanya bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan dan
216

keputusan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau kecil terluar diantara


lembaga, badan dan instasi pemerintah. Kelebihannya, alternatif ini lebih
efisien. Sementara kekurangannya adalah kecilnya kemungkinan instansi
lain menjalankan kebijakan dan pedoman umum dari departemen sektor
lain tentang hal-hal dibawah yurisdiksi sektor tersebut.
(2) Alternatif menggunakan badan lintas sektor dan kemasyarakatan yang
sudah ada, seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan Negara (BNPP)
dan Dewan Kelautan Indonesia (DKI). Badan ini bertanggung jawab
mengkoordinasikan kebijakan antara instasi pemerintah, karena badan
tersebut sudah terbentuk, ada beberapa keuntungan yang diperoleh: tidak
ada kendala personil, fasilitas dan pembiayaan. Biaya operasionalnya
relatif lebih murah dibandingkan dengan pembentukan sebuah badan baru.
Kekurangannya ialah badan ini masih memiliki fungsi asalnya, dan tidak
sepenuhnya berdedikasi pada hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir. Mungkin badan ini sudah bias, struktur atau
keanggotaannya mungkin tidak cocok sepenuhnya dengan kepentingan
pengelolaan pesisir. Kesuksesan pilihan ini akan bergantung pada
kemungkinan apakah suatu badan yang sudah terbentuk dapat
dimodifikasi.
(3) Alternatif membentuk sebuah badan antar instansi yang diketuai oleh
Menteri Koordinator. Sebuah badan antar instansi yang dibentuk
berdasarkan perundang-undangan yang baru. Badan tersebut memiliki
tanggung jawab khusus untuk mengkoordinasikan kebijakan dan
keputusan mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Kelebihannya, badan ini
akan dirancang khusus untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kekurangannya ialah secara
politis, kemungkinan sulit untuk membentuk sebuah organisasi antar
instansi yang baru, dan bila Menteri Perikanan dan Kelautan memimpin
organisasi ini, maka tidak ada kepastian seberapa banyak oraganisasi ini
memiliki kekuatan. Efektivitas pendekatan ini bergantung pada
kemampuan menyelesaikan perbedaan antar instansi.
217

(4) Alternatif membentuk sebuah organisasi antar instansi baru yang dipimpin
oleh Presiden. Alternatif ini sama dengan alternatif 3, hanya saja Presiden
akan memimpin langsung organisasi baru ini. Kelebihan pilihan ini adalah
bahwa ada kewenangan yang jelas di atas para menteri, yang dapat
mengambil tindakan lintas sektoral. Kekurangannya, organisasi ini
mungkin tidak dapat menangani persoalan-persaolan yang lebih kecil
karena profilnya terlalu tinggi.

Alternatif yang dipilih adalah alternatif 2, yaitu sebuah badan yang


dipimpin oleh Presiden dan Menteri Koordinator sebagai ketua pengarah dan
dibantu oleh menteri-menteri yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non
Kementerian dan pemerintah daerah terkait pembangunan dan pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, dan menghimpun salinan dokumen dan
informasi dari Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian untuk
keperluan basis data penyusunan sistem informasi perbatasan.
Badan yang dibentuk mempunyai tugas menetapkan kebijakan program
pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran,
mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan
terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, badan yang terbentuk


menyelenggarakan fungsi di antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana
induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan.

Selain itu badan memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan


dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah
negara dan kawasan perbatasan, menyusun program dan kebijakan pembangunan
sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan perbatasan, serta,
menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas.
218

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan


Nasional Pengelolaan Perbatasan Negara (BNPP), susunan keanggotaan BNPP ini
terdiri dari Ketua Pengarah yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan, Wakil Ketua Pengarah I yakni Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Wakil Ketua II Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, dan selaku Kepala BPP adalah Mendagri. Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, BNPP dibantu oleh sekretariat tetap yang terdiri dari Sekretaris BNPP
dan tiga deputi yakni bidang pengelolaan batas wilayah negara, pengelolaan
potensi kawasan perbatasan, dan deputi bidang pengelolaan infrastruktur kawasan
perbatasan.

5.48.2 Fasilitasi dan konsultasi dari pemerintah ke pemerintah daerah.


Pemerintah menyusun petunjuk untuk kabupaten/kota dan provinsi dalam
rangka mengembangkan program pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (P3K).
Petunjuk tersebut bersifat fleksibel dan luas sehingga pemerintah daerah dapat
mengakomodir kebutuhan dan tujuan daerahnya yang bersifat khusus. Petunjuk
ini akan menjadi dasar bagi program P3K daerah. Petunjuk ini penting untuk
kesuksesan program karena beberapa alasan. Pertama, petunjuk tersebut bisa
menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota, yang umumnya belum memiliki
pengetahuan tentang Program P3K. Kedua, petunjuk tersebut memberikan arahan
dalam penulisan isi program dan mekanisme penyusunan program, apakah
program tersebut bersifat sentralistik (op-down) atau desentralistik (boom-up)
Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 secara khusus mempertimbangkan
apakah petunjuk tersebut sebaiknya bersifat mengikat (mandatory requirements)
atau sukarela (voluntarily standars).

5.49 Penegakan Hukum dan Sanksi


Kepatuhan untuk melaksanakan (compliance) dan penegakan hukum
(enforcement) di wilayah perbatasan negara adalah proses yang dapat dilakukan
bila kegiatan pemantauan dan evaluasi seiring dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pemantauan dibutuhkan untuk memastikan adanya
kepatuhan akan persyaratan yang mengikat. Pemantauan dan evaluasi bertujuan
untuk memastikan bahwa program dilaksanakan dengan efektif dan sesuai dengan
219

persyaratan, tujuan, dan prinsip perundang-undangan. Bahkan, institusi-institusi


yang dibentuk untuk melakukan pemantauan seharusnya juga digunakan untuk
upaya penegakkan hukum. Ada perbedaan penting antara pemantauan dengan
penegakkan hukum.
Pemantauan memastikan bahwa program tetap mematuhi hukum;
penegakkan hukum memastikan bahwa tindakan yang tepat akan diambil jika
program keluar dari jalur hukum. Penegakkan hukum memiliki beberapa tujuan:
untuk menginformasikan pada masyarakat tentang cara yang tetap untuk
menerapkan perundang-undangan; menciptakan keengganan untuk melanggar
hukum; serta memberi ganjaran yang setimpal jika terjadi pelanggaran hukum.
Agar penegakkan hukum efektif, harus dibuat serangkaian peringatan dan sanksi,
dengan hukuman yang semakin berat jika jumlah dan jenis pelanggaran semakin
besar. Penegakkan hukum sangat penting, bahkan bila programnya bersifat
sukarela. Contohnya, jika kabupaten/kota menerima bantuan dari pemerintah
pusat, harus ada semacam dorongan untuk memastikan bahwa (1) program
kabupaten/kota akan terus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan
persyaratan, prinsip dan tujuan program; dan (2) bantuan itu digunakan sesuai
perundang-undangan. Harus dicatat bahwa alternatif-alternatif, baik altenatif
pemerintah atau non-pemerintah, untuk lembaga-lembaga hukum akan sama
dengan alternatif bagi lembaga yang melakukan pemantauan.
Ada beberapa mekanisme penegakkan hukum yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan alternatif di bawah ini.
(1) Sanksi (Sanction). Sanksi melibatkan serangkaian peringatan dan
hukuman finansial untuk pelanggaran perundang-undangan. Hukuman
dapat berupa pengurangan,penundaan bantuan, dan jika pelanggaran yang
dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan sertifikasi
(perijinan).
(2) Denda Sipil (Civil fitnes). Denda melibatkan serangkaian pembayaran
yang harus dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk
persyaratan hukum yang bersifat mengikat.
(3) Sanksi kriminal (Criminal sanction). Sanksi kriminal adalah hukuman
untuk pelanggaran yang lebih serius dan bentuknya dapat berupa hukuman
220

penjara. Penghargaan dapat diberikan bagi daerah yang melaksanakan


program dengan baik.

Alternatif yang dipilih: Sanksi, dapat berupa peringatan dan hukuman


finansial, dibutuhkan untuk persyaratan yang tidak mengikat. Sementara denda
diberlakukan untuk persyaratan yang mengikat. Meski demikian, bahwa sanksi
kriminal tidak tepat diberikan untuk sebagian besar program administratif.

5.50 Penyelesaian konflik


(1) Penanganan konflik.
Dalam penanganan konflik dikenal berbagai istilah seperti pencegahan
konflik (prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik
(resolution), penyelesaian konflik (settlement), dan pilihan penyelesaian
sengketa (alternaive dispute resolution atau ADR). Pencegahan Konflik
(conflict prevention) adalah upaya untuk mencegah konflik sebelum konflik
tersebut memuncak, menjadi negatif dan destruktif, yang biasanya ditandai
dengan kekerasan (violence). Upaya pencegahan konflik dapat dilakukan
dengan tiga cara : a. Mengantisipasi munculnya konflik kekerasan (konflik
kekerasan belum muncul); b. Mencegah konflik yang sedang berlangsung (on
going) agar tidak meluas; dan c. Mencegah terjadinya pengulangan terjadinya
lagi konflik kekerasan (reemergence).
Salah satu metode pencegahan konflik yaitu sistem peringatan dini (SPD)
(crisis earlywarning) dan sistem tanggap dini (STD) (crisis early response).
SPD merupakan kegiatan pengumpulan dan penganalisaan informasi yang
berasal dari wilayah konflik yang bertujuan: Melakukan antisipasi terhadap
kemungkinan meningkatnya konflik kekerasan; Pengembangan mekanisme
tanggap yang bersifat strategis terhadap krisis; Penyampaian terhadap pilihan-
pilihan langkah pencegahan kepada pihak yang kompeten (critical actors)
sebagai bahan pengambilan keputusan.
(2) Pendekatan dalam penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa yang efektif menuntut adanya keseimbangan /
kesetaraan kekuatan (equal bargaining power) antara pihak-pihak yang
bersengketa. Kesetaraan kekuatan menciptakan kondisi saling tergantung
221

(interdependensi) dan saling memiliki kemampuan memberikan ancaman.


Kondisi saling ketergantungan dan kemampuan memberikan ancaman
memberikan motivasi atau insentif bagi masing-masing pihak untuk
menyelesaikan sengketa/masalah yang dihadapi. Pendekatan dalam
penyelesaian sengketa dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis: 1. Pendekatan
dengan cara penggunaan kekuatan (power based); 2. Pendekatan dengan cara
―benar – salah‖ (right based); dan 3. Pendekatan dengan cara penggalian
kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa (interest based).

Pendekatan dengan mendasarkan pada kekuatan (power based) ditujukan


untuk memaksa pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk
memecahkan persoalan. Pendekatan dengan cara benar-salah (right based) yang
dilakukan melalui mekanisme penyelesaian ajudikatif (arbitrase atau pengadilan)
ditujukan untuk mencari siapa yang benar dan bersalah. Pendekatan ini
menghasilkan solusi menang-kalah ( win lose solution).
Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest based) adalah pendekatan
penyelesaian sengketa dimana kepentingan serta kebutuhan para pihak digali
secara bersama untuk kemudian dibangun kesepakatan (solusi) yang mampu
mencerminkan kebutuhan serta kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara
seimbang (mutually shared interest). Pendekatan penyelesaian sengketa ini
ditujukan untuk mencapai suatu solusi/kesepakatan yang sifatnya menang-
menang. Pendekatan penyelesaian sengketa berdasarkan kepentingan ini dapat
dilakukan melalui mekanisme perundingan (negosiasi) maupun penengahan
(mediasi).
Ketiga pendekatan power, right dan interest tidak dapat dipisahkan dan
berdiri sendiri. Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Efektifitas dari pendekatan kepentingan (interest based) akan sangat bergantung
pada efektifitas dalam mendayagunakan pendekatan kekuatan (power based).
Disisi lain, pendayagunaan power based yang tepat dan efektif dapat membantu
membangun kekuatan salah satu pihak yang pada awalnya tidak memiliki
kekuatan yang memadai. Disisi lain, pendekatan right based (ajudikasi) juga daapt
didayagunakan sebagai ancaman untuk menarik salah satu pihak yang awalnya
222

tidak tertarik untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan menjadi pada


akhirnya termotifasi untuk berunding. Kesepakatan yang dihasilkan oleh
perundingan interest based dalam bentuk kesepakatan juga membutuhkan
pendekatan power based dalam bentuk eksekusi pengadilan dalam hal
kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Dalam suatu strategi penyelesaian sengketa, ketiga pendekatan ini dapat
berpindah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya tergantung pada konteks
seberapa memadai kekuataan yang dimilki oleh salah satu pihak.
Untuk memilih pendekatan yang paling tepat dari tiga pendekatan di atas
dalam suatu dinamika penanganan kasus, dipergunakan empat kriteria sebagai
berikut dibawah ini :

(1) Biaya transaksi


Pemilihan terhadap setiap pendekatan berdampak pada biaya transaksi
(transaction cost) – biaya dalam pengertian waktu, uang, energi yang terkuras
akibat emosi yang timbul dari konflik yang terjadi, sumber daya yang
terkuras, serta kesempatan yang hilang (opportunities lost). Salah satu kriteria
untuk menetapkan pilihan dari ketiga pendekatan diatas adalah seberapa besar
biaya transaksi yang akan tersita.

(2) Kepuasan terhadap hasil akhir


Salah satu kriteria menilai kelayakan dari salah satu pendekatan (power, right
atau interest) adalah dengan cara mengukur kepuasan pihak-pihak yang
bersengketa terhadap hasil akhir. Kepuasan yang dimaksudkan disini
didasarkan pada pertimbangan seberapa jauh hasil kesepakatan
mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa
secara memadai. Kepuasan juga ditentukan oleh faktor fairness (dianggap
patut dan adil oleh para pihak) proses penyelesaiannya.

(3) Dampak terhadap hubungan antar manusia


Penilaian terhadap seberapa jauh dampak pemilihan salah satu pendekatan
terhadap hubungan antar manusia (hubungan kerjasama yang telah dibangun
dan hubungan jangka panjang antar berbagai pihak) juga merupakan hal yang
223

perlu diperhitungkan. Kriteria ini mengakomodasikan faktor pentingnya


pemenuhan kepentingan psikologis (pentingnya hubungan antar manusia).

(4) Kemampuan mencegah konflik kambuhan (Recurrence)


Salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menetapkan salah
satu pendekatan (power, right, dan interes) adalah seberapa jauh pendekatan
tersebut mampu untuk mencegah konflik/sengketa kambuhan (muncul
kembali walaupun kesepakatan telah dicapai). Sengketa dapat muncul
kembali andaikata kesepakatan yang dihasilkan merupakan kesepakatan
semu, atau kesepakatan belum mampu mencerminkan kepentingan/kebutuhan
para pihak secara seimbang. Semakin besar kemampuan kesepakatan untuk
mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan pihak yang bersiteru,
semakin kokoh kesepakatan tersebut bertahan dan dapat secara konsisten
dilaksanakan.

Untuk membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif dalam suatu


sistem hukum maka pendekatan (power right dan interest) hendaknya diletakkan
dalam posisi prisma normal, kebalikan dengan suatu kondisi dimana
pendayagunaan ketiga kepentingan dalam proporsi seperti digambarkan dalam
bentuk prisma terbalik. Pendekatan sengketa seperti tergambar dalam prisma
terbalik merupakan kondisi yang digambarkan sangat menegangkan
(distressed)—sedangkan prisma normal digambarkan sebagai sistem penyelesaian
sengketa yang efektif.

5.51 Mekanisme pentaatan dan penegakan hukum


Mengembangkan konsep penegakan hukum dan penaatan (enforcement
and compliance) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, terlebih dahulu menelusuri
faktor penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dalam konteks
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan batas
negara. Pengidentifikasian faktor penyebab memudahkan untuk mengembangkan
berbagai pilihan solusi. Berbagai solusi tersebut diharapkan dapat diwadahi dan
224

difasilitasi dalam norma peraturan perundang-undangan yang berhubungan


Undang-Undang yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di
perbatasan negara.
Beberapa penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
(1) Kehendak politik penyelenggaraan negara (eksekutif dan legislatif) yang
belum menganggap penting pengintegrasian pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan dan berbasiskan kepentingan rakyat banyak
(ecologically sustainable development – ESD) ke dalam pengambilan
keputusan atas pengelolaan sumber daya publik termasuk di dalamnya
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
(2) Peraturan perundang-undangan sektoral tidak selamanya sinkron dengan
prinsip-prinsip ESD yang terangkum dalam konsep pengelolaan pulau-
pulau kecil di wilayah pesisir secara terpadu;
(3) Kondisi penyelenggara negara (governance) sangat buruk (bad
governance) termasuk peradilan yang belum mampu menjalankan
peranannya sebagai rumah keadilan bagi pencari keadilan (masyarakat);
(4) Kapasitas penegak hukum sangat tidak memadai – kuantitas, kualitas
maupun integritas (di tingkat pengawas/inspektur, penyidik/PPNS maupun
polisi, jaksa/penuntut maupun hakim/pemutus);
(5) Tekanan masyarakat (civil society) dalam mendorong tingkat penaatan
belum memadai.
(6) Orientasi penegakan hukum kuratif (setelah masalah muncul dan
menimbulkan kerugian masyarakat dan perusakan lingkungan) dan
pendekatan Command and Control (atur dan awasi) masih sangat
dominan;

Berbagai penyebab tersebut di atas maka pengenalan konsep penegakan


hukum konvensional (penegakan hukum administratif, perdata dan pidana)
sebagaimana dianut oleh mayoritas peraturan perundang-undangan, dapat
menjadi sangat kontra produktif. Agar efektif, penegakan hukum konvensional
225

yang lebih dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau : atur
dan awasi (ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki:
(1) Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran;
(2) Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan
pasti (swift & sure responses);
(3) Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam
memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect).

Ketiga prasyaratan diatas, keberadaannya sangat ditentukan oleh


kemampuan dan integritas aparatur pemerintah dan penegak hukum, serta
peradilan yang independen elemen-elemen ini, merupakan elemen penting dalam
good governance. Sejalan dengan pembenahan aparatur pemerintah dan penegak
hukum dan lembaga peradilan yang kini sedang dilakukan, maka pemberlakuan
pendekatan tunggal (single approach) yaitu pendekatan CAC atau ADA tidak
akan efektif dalam mencapai tujuan penegakan hukum di Indonesia yaitu
kepatuhan menjalankan (compliance) nilai-nilai perlindungan daya dukung
sumber daya alam, khususnya pulau kecil di wilayah pesisir.

5.52 Mekanisme Sistem Kelembagaan


Komponen pertama dari mekanisme sistem kelembagaan adalah
pengembangan sebuah ketentuan hukum baru, yakni sebuah perundang-undangan.
Perundang-undangan akan mencantumkan persyaratan bagi pemerintah pusat
untuk mengembangkan pedoman bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan negara. Perundangan juga akan menciptakan sebuah kerangka kerja
bagi pemerintah kabupaten/kota dan rakyatnya untuk mengelola sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh bangsa,
serta bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kesemuanya itu dapat
dilaksanakan dalam sebuah proses yang terpadu.
Kerangka kerja ini akan dikembangkan pada semua tingkatan
pemerintahan, dalam suatu rangkaian bertingkat, dan akan mempengaruhi tiap
keputusan yang akan dibuat. Secara khusus, pemerintah pusat akan
mengembangkan pedoman untuk membantu pemerintah daerah. Pedoman ini
226

akan mencantumkan proses-proses pengembangan program untuk memastikan


adanya keterlibatan publik, keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Pedoman
tersebut juga akan memasukkan kriteria untuk memastikan keabsahan ilmu yang
digunakan dan pemanfaatan informasi; standar pengelolaan untuk memastikan
keseimbangan dan kesinambungan pendayagunaan sumber daya pesisir. Jika
perlu, provinsi dan kabupaten/kota dapat mengembangkan program-program yang
sejalan dengan pedoman tersebut. Apabila pemerintah pusat setuju, bantuan dapat
dihibahkan kepada pemerintah daerah yang melaksanakan program-program
tersebut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menyusun standar-standar,
kriteria, dan pedoman umum bagi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar untuk
pemerintah daerah, terutama kabupaten/kota. Langkah selanjutnya,
kabupaten/kota bebas untuk memutuskan apakah ingin menyusun suatu program
yang konsisten dengan standar-standar, kriteria, dan petunjuk umum yang
disediakan oleh pemerintah pusat. Kabupaten/kota dapat mencari bantuan
keuangan dan teknis untuk hal tersebut. Selanjutnya kabupaten/kota dapat
menyusun sebuah program dengan bekerjasama dengan semua stakeholders,
termasuk desa-desa, dan dengan dukungan dari pemerintah provinsi.
Kabupaten/kota selanjutnya mengajukan program tersebut kepada pemerintah
pusat untuk dikaji dan apabila pemerintah pusat menyetujui programnya,
kabupaten/kota tersebut berhak atas sejumlah manfaat, termasuk bantuan
pembiayaan dan teknis.
Diperlukan Undang-Undang baru untuk mengelola dan melindungi
sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Hukum ini
akan bersifat lintas-sektoral dan mencakup semua sektor yang mempengaruhi
wilayah pesisir dan sumberdaya wilayah pesisir. Sebuah Undang-Undang baru
akan sangat efektif untuk pelaksanaan sebuah program pengelolaan pulau-pulau
kecil karena dua alasan :
(1) Pertama, hampir seluruh Undang-Undang yang telah ada bersifat sektoral,
sementara sebuah program pengelolaan pulau-pulau kecil memerlukan
pendekatan lintas-sektoral agar dapat efektif. Kedua, hampir seluruh
Undang-Undang yang telah ada bersifat terpusat, dan jika program
227

pengelolaan pulau-pulau kecil ingin konsisten dengan Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, maka harus ada
Undang-Undang khusus yang dapat mendorong pelaksanaan otonomi
daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara.
(2) Ketiga, mencantumkan kewenangan daerah dalam mengelola pulau-pulau
kecil di perbatasan negara, memperoleh bagi hasil, sejalan dengan
peraturan-peraturan desentralisasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat harus
mengembangkan petunjuk dan kebijakan, bukannya mengendalikan dan
mengelola kegiatan secara langsung. Secara khusus mengakui bahwa pusat
memiliki kewenangan untuk menentukan standar pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Sebagai konsekuensinya, rancangan undang-undang akan
memberikan petunjuk-petunjuk tentang pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di perbatasan negara dan pemerintah daerah mengikuti petunjuk
dalam naskah akademiknya.

5.53 Kelembagaan
Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah
pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan
kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan
proses untuk tiga jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai
pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1) koordinasi antara pemerintah
dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai
sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan pemerintahan akan
memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya pesisir di
Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara
khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat
keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi
tersebut mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu
didirikan organisasi yang baru sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
228

5.53.1 Pelaksanaan mekanisme


Bagian ini memberikan ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme
kelembagaan diterapkan atau dilaksanakan. Langkah pertama dalam pelaksanaan
mekanisme adalah pembentukan sebuah proses antar sektor untuk menangani hal-
hal yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir. Proses ini melibatkan sebuah
organisasi yang beranggotakan seluruh instansi terkait, perwakilan dari para
stakeholeder, seperti pemerintah provinsi dan kabupaten, LSM dan para
akademisi. Proses ini juga terdiri dari mekanisme penyelesaian sengketa, seperti
penyampaian permasalahan dari dalam organisasi kepada pihak berwenang yang
lebih tingggi tingkatannya, misalnya kepada seorang menteri koordinator atau
presiden. Proses semacam ini akan memenuhi tujuan yang telah disebutkan di
atas, yakni mengkoordinasikan lembaga dan menciptakan keharmonisan antara
interpretasi hukum yang berbeda-beda.
Langkah berikutnya adalah penyusunan pedoman. Pedoman tersebut akan
mencakup semua aspek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan
pengelolaan pesisir terpadu. Pedoman akan terdiri dari kebijakan-kebijakan,
standar serta kriteria. Pedoman ini akan merupakan dasar bagi pemerintah daerah
untuk mengembangkan program-program pengelolaan pesisir terpadunya masing-
masing. Pedoman ini juga menjadi dasar untuk sertifikasi: bila pemerintah pusat
menemukan bahwa program daerah telah memenuhi standar, kriteria dan arahan,
maka pemerintah pusat dapat mengesahkan program daerah tersebut.
Pedoman sebagian besar terdiri dari standar yang mengikat yang
mencakup prinsip-prinsip yang dibahas di atas. Pedoman juga akan
mencantumkan langkah-langkah penting yang bersifat umum dalam upaya
mencapai koordinasi, partisipasi, keterbukaan, pengetahuan ilmiah yang baik dan
kepastian hukum.
Proses untuk mempersiapkan pedoman akan bersifat terbuka dan
transparan. Rancangan pedoman tersebut kemudian dikonsultasikan pada
masyarakat. Setelah disempurnakan dan disebarluaskan, pedoman akan diuraikan
ke dalam penjelasan yang lebih terinci oleh provinsi. Provinsi akan
mengembangkannya sesuai dengan pedoman nasional, tetapi lebih terinci untuk
yurisdiksi masing-maing, dan disesuaikan dengan dengan kebutuhan serta
229

kemampuan daerahnya. Pedoman provinsi akan mencantumkan informasi spesifik


mengenai inventori sumber daya, pemetaan dan penggunaan lahan, yang menjadi
dasar untuk rencana tata ruang. Termasuk juga didalamnya adalah informasi
mengenai wilayah pengelolaan tertentu serta metodologi khusus untuk
pengendalian pencemaran dan pertahanan keamanan.
Kabupaten harus mentaati pedoman yang bersifat mengikat tentang hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan nasional atau kesepakatan international.
Namun, kabupaten/kota dapat menentukan kemudian jika mereka ingin
mengembangkan sebuah program yang bersifat suka rela yang sejalan dengan
pedoman pusat dan provinsi. Bila mereka ingin melakukannya, mereka dapat
meminta bantuan teknis dan finansial dari pemerintah pusat dan provinsi.
Program-program ini pada dasarnya merupakan rencana kegiatan (action plan)
dari pelaksanaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi.
Pedoman yang bersifat tidak mengikat ini memiliki dua keuntungan. Pertama,
kabupaten dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai cara mengelola
sumber daya secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, kabupaten akan dapat
meminta bantuan finansial dan teknis dari pemerintah pusat dan provinsi.
Program kabupaten perlu mentaati persyaratan prosedur dan substantif dari
pedoman. Hal ini termasuk persyaratan yang memastikan bahwa program akan
dikembangkan dengan cara terpadu dan transparan, dengan melibatkan konsultasi
dan partisipasi publik. Termasuk juga di dalamnya adalah persyaratan yang
memastikan bahwa program kabupaten dirancang sedemikian rupa untuk
menangani permasalahan dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Setelah
pengembangan program, kabupaten akan bekerja sama dengan provinsi untuk
menyerahkan program tersebut kepada pemerintah pusat untuk dianalisa. Jika
program memenuhi maksud dan tujuan pedoman pemerintah pusat serta
persyaratannya, maka program itu akan disetujui dan disahkan oleh pemerintah
pusat. Setelah pengesahan, kabupaten/kota akan memperoleh keuntungan
tambahan, termasuk bantuan finansial dan teknis untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang termasuk dalam program.
Setelah program disahkan, akan ada kewajiban menyerahkan laporan
tahunan dan pemantauan, untuk memastikan bahwa program tetap dilaksanakan
230

sesuai dengan pedoman nasional. Selain itu, kabupaten/kota perlu memperbaharui


ijin program secara berkala, misalnya tiap lima tahun sekali. Pemerintah pusat,
sesuai persyaratan yang menyangkut kepentingan nasional dan hukum
internasional, akan memberlakukan sanksi dan penegakan persyaratan bagi
komponen-komponen dari sebuah program kabupaten/kota. Namun, tidak ada
sanksi atau denda untuk komponen program yang bersifat sukarela. Sebaliknya,
jika kabupaten/kota tidak melaksanakan program sebagaimana mestinya,
pemerintah pusat akan menunda hibah atau bantuan. Kabupaten/kota akan diberi
kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya, dan bila berhasil, baru hibah
akan dikucurkan. Namun demikian, bila pelaksanaan program tetap keluar dari
jalur semula, maka bantuan dapat dibatalkan, dan pada akhirnya perijinan juga
akan dicabut.

5.53.2 Mekanisme daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil
sebagai pelaksanaan otonomi daerah
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan peluang bagi
pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Untuk itu dibutuhkan
komitmen dan peran serta stakeholdes di daerah baik di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan desa-desa, untuk bersama-sama aktif mengatur dan menjaga
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta meminimumkan
munculnya konflik kewenangan dan pemanfaatan yang selama ini seringkali
muncul di wilayah pesisir.
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut
kewenangan pemerintah dan masyarakat daerah di wilayah pesisir, adalah
implementasi dari komitmen tadi sekaligus menjadi dasar bagi pengaturan
pengelolaan wilayah pesisir daerah. Peraturan daerah penting pula agar ada arahan
fungsi dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut daerah.
231

5.53.3 Integrasi stakeholders di daerah bagi pengelolaan pesisir dan pulau-


pulau kecil secara terpadu
Kerjasama dan koordinasi horizontal dan vertikal antar-instansi adalah
sangat krusial bagi pengelolaan pesisir terpadu. Disadari bahwa kompleksitas
dinamika permasalahan pengelolaan di wilayah pesisir harus melibatkan banyak
sektor pemerintahan dan stakeholders lain, termasuk organisasi non-pemerintah,
aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan lembaga peradilan, serta
wakil rakyat (DPRD). Karena itu, kesadaran bagi kerjasama dan koordinasi dari
semua pihak diatas sangat penting.
Hal tersebut menyiratkan pula perlunya pengembangan kapasitas institusi,
bukan hanya bagi institusi pemerintahan, juga institusi non-pemerintah seperti
LSM, lembaga penelitian, universitas, serta komunitas masyarakat pesisir.

5.54 Pembentukan institusi lintas sektoral bagi pengelolaan pulau kecil


terluar

Direkomendasikan pengkajian lebih dalam bagi pembentukan institusi


lintas sektoral tersendiri, yang akan menangani pengelolaan pulau terluar yang
merupakan bagian dari wilayah pesisir dan lautan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Pembentukan institusi ini, yang menangani koordinasi antar
institusi secara horizontal, dianggap penting karena kompleksitas dan luasnya
cakupan permasalahan di wilayah pesisir, sehingga membutuhkan institusi yang
menanganinya secara tersendiri dan kontinu.
5.54.1 Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir
Potensi kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan, seperti perikanan dan
pariwisata, bila dikelola secara berkelanjutan oleh pemerintah dan masyarakat
daerah harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah
kemiskinan masyarakat pesisir khususnya, harus dapat dipecahkan dengan
memberdayakan dan mengikutsertakan mereka dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir yang bermanfaat bagi peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat miskin
di pesisir.
232

5.54.2 Peran aktif masyarakat dalam identifikasi potensi sumberdaya bagi


perencanaan pengelolaan pulau kecil perbatasan
Identifikasi potensi sumberdaya pulau kecil melalui proses yang
partisipatoris, transparan, dan komprehensif, adalah hal penting yang
direkomendasikan pula. Identifikasi menjadi kunci penting bagi pengelolaan
pulau khususnya dan wilayah pesisir pada umumnya, karena tahap ini menjadi
masukan penting bagi penyusunan serta penetapan kebijakan dan peraturan
rencana pemanfaatan wilayah pesisir. Termasuk dalam perencanaan tersebut
adalah penyusunan tata ruang wilayah pesisir.
5.54.3 Edukasi dan percontohan tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang
berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.
Terkait dengan pengembangan kapasitas institusi, faktor edukasi dan
penyuluhan kepada masyarakat tentang praktek pengelolaan dan pemanfaatan
yang berkelanjutan menjadi perhatian penting pula. Peran Organisasi non-politik
seperti LSM dan Universitas menjadi krusial bagi asistensi teknis dan bimbingan
kepada komunitas masyarakat pesisir, untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya
pulau di wilayah pesisir secara terpadu agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan mereka secara berkelanjutan.
Percontohan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat yang
berhasil misalnya pengelolaan daerah perlindungan laut di berbagai daerah di
Indonesia, kiranya dapat menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain untuk
melakukan yang sama.
5.54.4 Permodalan dan investasi
Identifikasi lainnya yang diperoleh termasuk peluang untuk menarik
investor untuk menanam modal bagi aktivitas di pulau-pulau perbatasan negara,
yang karenanya membutuhkan promosi, kemudah perijinan, penyediaan prasarana
dan sarana, serta jaminan keamanan; penataan tata ruang dan lingkungan pesisir
dan laut, dengan inventarisasi dan perencanaan penggunaan lahan pulau kecil;
pembuatan peraturan daerah dan sosialisasi tentang tata ruang pulau perbatasan
negara; peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
dan konservasi sumberdaya pesisir, melalui inventarisasi sumberdaya, pembinaan
sumberdaya manusia, penyiapan perangkat hukum yang dibutuhkan, dan
233

melakukan monitoring dan evaluasi; peluang peningkatan pendapatan asli daerah


(PAD) dan pengembangan ekonomi rakyat dengan melibatkan masyarakat dan
operator wisata, koordinasi promosi pariwisata daerah, serta penyediaan prasarana
yang memadai.

5.55 Kebutuhan Pengaturan bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan


Negara

Proses penyusunan Naskah Akademik dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil


Terluar, dibentuk Tim Penyusun dengan mengkaji beberapa isu seperti hak adat
dan ulayat, institusi pengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah,
peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, koordinasi antar institusi
pemerintahan baik vertikal maupun horizontal, merupakan isu-isu yang penting
untuk dielaborasi tuntas pada perUndang-Undangan yang berhubungan dengan
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan negara.

Pertanyaan cukup mendasar yang sangat penting untuk dijawab dalam


proses penyusunan RUU adalah, apakah bangsa ini sungguh-sungguh
memerlukan pengaturan berupa Undang-Undang Pulau Perbatasan Negara, karena
saat ini ada Undang-Undang yang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara. Apabila
jawabannya adalah ya, maka kita perlu hati-hati dalam menentukan materi yang
akan diatur. Materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena menyangkut
kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara detil-detil
pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP). Karenanya Rancangan
Undang-Undang cukup bersifat umum saja. Pertanyaan kedua yang perlu dijawab
menyangkut tingkat pengaturan, yakni apakah pengaturan perlu dilakukan melalui
Undang-Undang atau cukup di tingkat kabupaten/kota berupa Peraturan Daerah.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, maka pengaturan wilayah pesisir berada pada kewenangan
kabupaten/kota. Namun Undang-Undang yang mengatur pengelolaan pulau-pulau
wilayah perbatasan negara belum menetapkan hal-hal khusus yang mesti diatur
oleh daerah dan standar baku bagi pengelolaan daerah yang tetap menjaga
234

kepentingan nasional. Apabila jawabannya adalah tidak, maka kita hanya


melakukan penetapan dari peraturan pemerintah dan atau peraturan lainnya yang
sudah ada untuk di revisi dan atau dijadikan Undang-Undang. Dalam menentukan
materi yang akan diatur, materi sebuah Undang-Undang cukup umum karena
menyangkut kepentingan internasional, nasional, regional dan adat, sementara
detil-detil pengaturan diserahkan pada Peraturan Pemerintah (PP).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara, sendiri belum bisa menjadi dasar hukum yang memberi
kejelasan dan kepastian bagi pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan negara
oleh pemerintah daerah. Sehingga berbagai konflik kewenangan, konflik hukum,
konflik pemanfaatan, dan konflik pengelolaan masih akan tetap berlangsung.
Untuk itu diperlukan produk-produk hukum baik berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah, yang akan memberi pedoman atas
pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dalam wilayah pesisir daerah. Produk
hukum tersebut tentunya dijabarkan hingga ke tingkat aturan-aturan desa.
Penegakan hukum sendiri, juga menjadi faktor krusial atas pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi dengan sanksi hukum yang jelas dan memadai. Sehingga
dapat memberi kepastian hukum bagi berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya
pesisir.

5.56 Rekomendasi Hal-Hal Pokok Rancangbangun Hukum Pengelolaan


Pulau-Pulau Kecil
Sejumlah isu pokok berhasil diidentifikasikan, yang dianggap penting
untuk dicakup pada RUU nantinya. Isu-isu pokok tersebut terbagi dalam 3 (tiga)
kelompok yakni, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta hukum atau
kelembagaan.

5.56.1 Aspek biofisik


(1) Karakteristik dan cakupan pulau-pulau kecil.
(2) Program pemerintah pusat, seperti RTRN, RTRWP/K, dan sinkronisasi
program pusat-daerah.
(3) Manajemen tata ruang dan delimitasi/garis batas.
235

(4) Pencegahan degradasi kualitas dan kuantitas habitat dan sumberdaya:


1) Mitigasi dan penanggulangan bencana alam.
2) Pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove.
3) Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang.
4) Eksploitasi dan sumberdaya perikanan dan pembatasannya.
5) Pengaturan pencegahan dan rehabilitasi akibat abrasi pantai.
6) Pencegahan intrusi air laut.
7) Penangkapan ikan dengan teknik merusak, seperti bom dan
lainnya.
8) Preservasi dan konservasi.
9) Aturan tentang kegiatan reklamasi pantai.
10) Pengambilan harta karun.
(5) Pencemaran, yang dikategorikan berasal dari:
1) Rumah tangga.
2) Industri di darat.
3) Submarine Tailing Disposal.
4) Pencemaran lainnya: seperti penambangan yang menghasilkan
senyawa metil merkuri, yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan.

5.56.2 Aspek sosial, ekonomi, dan budaya


(1) Strategi dan identifikasi sosial, ekonomi, dan budaya, bagi pemberdayaan
masyarakat pesisir.
(2) Masalah kemiskinan dan sosial budaya masyarakat pesisir.
(3) Pengakomodasian kepentingan masyarakat, termasuk adat.
(4) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, termasuk pada tahap
perencanaan.
(5) Valuasi ekonomi (economic valuation).
(6) Fungsi atau peran masyarakat dalam proses sertifikasi wilayah pesisir.
(7) Pengendalian aktivitas yang menyebabkan abrasi pantai.
(8) Mekanisme penyelesaian konflik.
(9) Bantuan pemerintah bagi masyarakat pesisir.
236

(10) Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat nelayan, termasuk


pemberdayaan perempuan.
(11) Pengambilan peninggalan sejarah di bawah laut, seperti harta karun, dan
lain-lain.

5.56.3 Aspek hukum dan kelembagaan


(1) Kajian dan inventarisasi UU dan PP yang sudah ada yang terkait dengan
sumberdaya wilayah pesisir.
(2) Kejelasan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan di
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
(3) Kejelasan posisi UU PWP terhadap UU dan peraturan lain dan agar tidak
overlapping.
(4) Kewenangan yang dimiliki oleh institusi khusus pengelola wilayah pesisir.
(5) Mekanisme proses sertifikasi program pengelolaan.
(6) Sanksi-sanksi hukum yang baku, akurat dan tepat bagi pelanggaran yang
terjadi.
(7) Penegakan hukum.
(8) Kepemilikan individu atau adat perlu diatur.
(9) Kejelasan kewenangan dan tanggung jawab bagi preservasi dan
konservasi.
(10) Mendorong percepatan pengelolaan konservasi laut.
(11) Tidak bertentangan dengan hukum alam.
(12) Pengaturan sistem informasi yang terintegrasi mengenai potensi dan
pemanfaatan sumberdaya.

Rekomendasi diberikan bagi pembahasan aspek-aspek lain yang penting


untuk dibahas dalam Naskah Akademik dan RUU ini yakni: aspek pertahanan dan
keamanan, kesehatan masyarakat, dan lainnya. Pembahasan ini akan memberi
tambahan perspektif mengenai pentingnya pengelolaan pulau kecil secara khusus
ditinjau dari aspek tersebut dan bagaimana integrasi aspek tersebut dalam
pengelolaan wilayah pesisir nasional dan daerah yang berkelanjutan sesuai
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
237

5.57 Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi, dan


Kabupaten/Kota
Dalam menentukan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan, maka perlu mempertimbangkan akan pemberian kewenangan
pemerintah kepada pemerintah daerah khususnya menyangkut tugas pembantuan
yang berhubungan dengan perencanaan, pengelolaan keuangan, pembinaan,
pengawasan dan pertanggungjawaban.
Berikut ini merupakan rekomendasi identifikasi peran pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan implementasi
desentralisasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir kepada pemerintah daerah:
Tabel 25 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
Membuat UU dan PP Mempersiapkan strategi Bertanggung jawab
tentang pengelolaan pengelolaan dan langsung dengan
pulau kecil terluar bagi kebijakan regional. menjadi pelaksana
kepentingan nasional. •Membuat Petunjuk pengelolaan pulau-
•Menetapkan strategi Teknis Pengelolaan. pulau kecil di
pengelolaan tingkat •Menyusun dan perbatasan negara.
makro. mengkoordinasi Tata • Menyusun Master Plan
•Membuat kebijakan Ruang Pulau-Pulau dan menjabarkan
teknis dan pedoman Kecil di perbatasan petunjuk teknis
umum yang memuat negara. pengelolaan pulau kecil
prinsip-prinsip • Menyusun inventarisasi perbatsan negara.
pengelolaan pulau atau atlas sumberdaya • Membuat perencanaan
perbatasan negara. pulau kecil perbatasan spesifik kawasan
• Menetapkan standar negara. berdasarkan
kriteria dan aturan •Membuat aturan karakteristik khusus
umum lain bagi berdasarkan usulan wilayah dan kebutuhan
program pengelolaan kabupaten. masyarakat setempat.
pulau perbatasan. •Mengkoordinasi • Melakukan koordinasi
• Memberi masukan bagi kebijakan atau masalah masalah operasional
program pengelolaan lintas kabupaten/kota. dalam wilayah provinsi.
pulau di daerah • Monitoring dan evaluasi • Pelaksana perijinan
perbatasan. pengelolaan wilayah peman-faatan wilayah
• Koordinasi masalah pesisir di provinsi. atau sumberdaya
strategis menyangkut pesisir, melalui
lintas provinsi dan lintas sertifikasi.
negara. • Melakukan pengawasan
• Melakukan pengawasan langsung pulau kecil
dan evaluasi perbatasan negara.
pengelolaan wilayah • Melakukan penegakan
238

pesisir nasional. hukum berdasarkan


•Merespon dan peraturan yang berlaku.
mengkoordinasi • Memajukan pendidikan
kebutuhan bantuan masyarakat bagi
teknis dan pembiayaan pengelolaan
daerah perbatasan. berkelanjutan.
•Menetapkan dan • Memberikan bantuan
menyalurkan bantuan teknis kemasyarakatan.
dana bagi program
pengelolaan daerah.
•Menetapkan kawasan
khusus bagi konservasi
perbatasan.

Rekomendasi rancangabangun hukum hendaknya lebih terfofus pada:


Pertama, merevisi kembali Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen, agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk
mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas
kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan
pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982)
adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia.
Sementara Undang-Undang Landas Kontinen tersebut masih berdasarkan
UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi Undang-undang serta
mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini
belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal
tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-titik
perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-batas
wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas lantas
kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009, namun hingga saat
ini belum terselesaikan, untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil dari garis
pangkal kepulauan nusantara. Karena apabila sampai batas waktu tersebut belum
menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas landas kontinen sampai
jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang sudah mengajukan klaim
239

landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah meratifikasi UNCLOS
1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia (2004).

Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan secara


lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya
di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya tidak melanggar
prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai menghilangkan
pulau-pulau kecil tersebut dari wilayah negara Indonesia.

5.58 Proses Pembuatan Peraturan perUndang-Undangan


Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah
pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah,
terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah
penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-
undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan
yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita
Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat
mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan dimaksud.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden


Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01-
HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan
240

Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan


Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh
Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-
undangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-
undangan.

Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara


Republik Indonesia meliputi:
(1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(2) Peraturan Pemerintah;
(3) Peraturan Presiden mengenai: 1) pengesahan perjanjian antara negara
Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2)
pernyataan keadaan bahaya.
(4) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka
pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara
Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(2) Dewan Perwakilan Rakyat;
(3) Mahkamah Agung;
(4) Mahkamah Konstitusi; dan
(5) Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka


pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan
241

Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan
himpunan.

Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan


(1) Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1
(satu) softcopy.
(2) Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang
bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk
diundangkan.
(3) Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan
memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia untuk ditandatangani.
(4) Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi
pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan sebagai arsip.
(5) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan.
(6) Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada
akhir tahun.
242

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan :


(1) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui
media cetak, media elektronik, dan cara lainnya.
(2) Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa
lembaran lepas maupun himpunan.
(3) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk
lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk
disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau
menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang
membutuhkan.
(4) Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk
himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk
disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan pihak terkait.
(5) Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui
website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.
(6) Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka
atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah,
konfrensi pers, dan cara lainnya.
243

6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting
dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan
batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Namun karena batas terluar wilayah
negara senantiasa berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara lain maka penetapan
tersebut harus juga memperhatikan kewenangan otoritas negara lain melalui suatu
kerjasama dan pernjanjian, misalnya dalam bidang survei dan penentuan batas
wilayah darat maupun wilyah laut antara NKRI dengan negara lain yang selama ini
tertuang dalam bentuk MoU maupun perjanjian-perjanjian penetapan garis batas laut.
UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 25A telah mengamanatkan
pembuatan UU untuk menetukan batas wilayah negara yang dijadikan pedoman
dalam mempertahankan kedaulatan NKRI, memperjuangkan kepentingan nasional
dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, memberdayakan dan mengembangkan
sumberdaya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia. Dasar hukum wilayah
negara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah
Negara yang menjadi dasar hukum untuk diketahui masyarakat internasional,
terutama negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia, bahwa wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk
seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti mengemukakan sejumlah
simpulan, sebagai berikut :
(1) Permasalahan pulau-pulau kecil di perbatasan negara karena letaknya yang
strategis serta karakteristiknya yang unik, sehingga permasalahannya sangat
kompleks, oleh karena pihak pemerintah dan pemerintah daerah harus
melakukan tindakan yang cepat dan tepat serta konperenhensif dan
berkelanjutan bagi sumberdaya alamnya, sekaligus membahas suatu naskah
akademis dan rancangan undang-undang khusus pulau perbatasan negara.
244

(2) Hasil analisis menunjukkan bahwa penetapan batas wilayah menjadi prioritas
utama dan dengan meningkatkan konsultasi regional dalam bidang ekonomi
negara tetangga, serta meningkatkan intensitas pertemuan bilateral antar kedua
negara (Indonesia dan Filipina), untuk mencari titik temu posisi titik dasar dan
titik referensi di laut, sebagai acuan batas dalam peta wilayah negara, kemudian
hasil kesepakatan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara mempunyai tingkat kerawanan
terhadap pertahanan dan keamanan negara, terutama terhadap kejahatan
transnasional, namun fasilitas untuk menunjang sistem pengawasan masih
kurang terutama sarana dan prasarana, termasuk personil yang terlatih khusus
untuk menangkal aktivitas ancaman masuknya terorisme dan perdagangan
illegal seperti senjata dan bahan makanan.
(4) Kondisi sosial ekonomi masyarakat masih tergantung pada hasil sumberdaya
alam yang tersedia, sedangkan dalam musim-musim tertentu masyarakat
terperangkap tidak bisa keluar dari pulau akibat cuaca dan musim gelombang
laut yang tinggi. Sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kebutuhan
pangan harus di suplai dari negara tetangga karena jarak antar pulau terluar dan
pulau ibukota kabupaten sangat jauh.
(5) Pelintas batas masih terus berlangsung karena hubungan kekeluargaan yang
sudah terjalin sejak dahulu, sehingga para pelintas batas terutama masyarakat
Pulau Marore dan Pulau Miangas yang telah kawin-mawin dengan penduduk /
masyarakat Filipina hingga saat ini tetap melakukan perkunjungan. Ketidak
mampuan pemerintah daerah untuk memulangkan masyarakat Indonesia yang
tinggal di Pulau Mindanao, karena penghasilan mereka lebih memadai dan lebih
banyak apabila dibandingkan dengan hasil pendapatan apabila bekerja di pulau-
pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
(6) Karena penetapan kembali batas (delimitasi) ZEE sebagai konsep yang
dikembangkan oleh negara-negara kepulauan sejauh 200 mil yang menjadi hak
yurisdiksi belum ada kesepakatan, maka konsultasi bilateral dapat dilaksanakan
245

sekaligus antara penetapan ZEE dengan wilayah landas kontinen, sebagaimana


diatur dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
(7) Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang berbatasan, dan
telah meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai perundang-undangan negara masing-
masing, sehingga mensyaratkan adanya ZEE masing-masing negara kepulauan.
(8) Wilayah ZEE yang terletak di antara negara Indonesia dan Filipina sering terjadi
pelanggaran, terutama pencurian ikan, penyeludupan, dan kejahatan
transnasional, Oleh karenanya perlu dilakukan penanganan khusus oleh kedua
negara.
(9) Dalam penentuan batas yang berdasarkan konvensi, yurisprudensi dan praktek
negara tentang penetapan batas (delimitasi) maka penetapan batas wilayah ZEE
antara Indonesia dan Filipina dapat dilakukan dengan persetujuan dan
berpedoman pada prinsip sama jarak (equitable principles).
(10) Kendala-kendala akibat belum adanya penetapan batas wilayah ZEE
antara Indonesia dan Filipina, adalah masalah teknis yuridis, hak -hak
perikanan tradisional, rute navigasi (ALKI), faktor sosio-kultural.
(11) Dalam bidang kelautan dihadapi (1) masih adanya konflik antar sektor
dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang menyebabkan belum
optimalnya manfaat sumber daya ini jika dibandingkan dengan potensinya;
(2) pengendalian dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan
terhadap illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang masih
tumpang tindih antarsektor karena banyaknya lembaga pengawas (TNI AL,
Polair, DKP, Bakorkamla), masih lemahnya penegakan hukum, serta kurang
memadainya sarana dan prasarana yang ada; (3) masih adanya pelanggaran
dalam pemanfaatan sumber daya alam dan aktivitas ekonomi yang tidak
memperhatikan aspek lingkungan hidup yang menimbulkan kerusakan,
pencemaran, dan penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan
hidup; (4) kurang memadainya kegiatan mitigasi dan adaptasi terhadap
dampak perubahan iklim pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
rentan; (5) kurangnya pemahaman pentingnya tata ruang laut dan pulau-
246

pulau kecil; (6) belum memadainya sarana dan prasarana di pulau-pulau


kecil dan masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi antara pulau besar dan
pulau kecil, serta belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan;
(7) belum memadainya produk riset dan pemanfaatan hasil riset; serta (8)
belum memadainya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.
(12) Peraturan Daerah di Provinsi Sulawesi Utara belum diadopsi oleh Kabupaten
Kelautan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, khusus tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, walaupun Peraturan Daerah
tersebut sudah disahkan sejak tahun 2003.

6.2 Saran
Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
(1) Praktek illegal fishing sangat merugikan masyarakat nelayan setempat dan
nelayan kapal perikanan Indonesia. Oleh karena itu perlu peningkatan
pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak TNI AL dan TNI AU termasuk
peran serta pemerintah daerah dan masyarakat lokal.
(2) Menjaga kerukunan kekeluargaan antara masyarakat lokal pulau-pulau terluar
dengan masyarakat lokal Pulau Mindanao dan sekitarnya yang telah menetap
di Filipina, dengan mengindentifikasi jumlah dan status kewarganegaraan. Hal
ini diperlukan untuk mengetahui berapa jumlah warga, pekerjaan, dan status
kewarganegaraannya.
(3) Sebagai tindakan sementara menunggu ditetapkannya perjanjian batas wilayah
ZEE antara Indonesia dan Filipina, pemerintah Indonesia dan Filipina
memperketat penjagaan keamanan wilayah tersebut dari tindakan-tindakan
pelanggaran yang terjadi.
(4) Pemerintah Indonesia dan pemerintah Filipina menangani secara serius
mengenai status para warga negara yang berada atau tinggal di masing-masing
247

negara lain, dengan tanpa alasan yang sah. Tindakan ini akan mengurangi
kemungkinan terjadinya pelanggaran di wilayah masing-masing negara.
(5) Pelanggaran di wilayah ZEE tersebut sangat merugikan kedua negara, maka
jalan keluar atas kondisi tersebut adalah merintis kembali dilakukannya
pembahasan tentang penetapan batas ZEE oleh pemerintah Indonesia dan
Filipina.
(6) Apabila diperlukan untuk penyusunan naskah akademis dan rancangan
undang-undangan khusus tentang pulau-pulau di perbatasan negara dan
peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (KepMen), Peraturan Daerah (Perda)
dan sebagainya, sebagai payung hukum yang berlaku secara vertikal maupun
secara horizontal.
(7) Perubahan status hukum dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau Terluar menjadi Undang-Undang.
(8) Penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil terluar di perbatasan
negara harus berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal, dan tidak
mengacu pada peta elektronik yang disajikan lewat internet oleh Google yang
salah mencantumkan informasi nama pulau Miangas dalam peta, padahal
dalam peta seharusnya pulau Sarangani dan pulau Balut di Filipina (Gambar
12). Oleh karena itu perlu usulan perbaikan dari pemerintah supaya peta
elektronik dari perusahan Google di Amerika Serikat agar di perbaiki sesuai
yang benar, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari karena
data dan informasi yang salah.
(9) Status semua pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara di Provinsi Sulawesi
Utara dibuatkan Sertifikat khusus sebagai Pulau Negara.
248

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar A. 2004. Analisis Kebijakan Pemenfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan


(Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)
Desertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Agoes ER. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.

Agoes ER. 2004. Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan. Jurnal
Hukum Internasional Marine Law Affair Vol.1 No.3 April 2004. Hal. 441-463.

Analytic Hierarchy Process. http://www.sli.unimelb.edu.au/subjects/451/418_2000/


lecture10/slides/mef1.pdf http:\\www.cdo.unimelb.edu.au\cdo.

Aqorau T. 2000. Illegal Fishing and Fisheries Law Enforcement in Small Island
Developing States: The Pacific Islands Experience. The International Journal of
Marine and Coastal Law. Vol 15, No 1 Kluwer Law International.

Arsana IMA. 2007. Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Gajah Mada University Press, Jogyakarta.

Axelrod RM. 1984. The Evolution of Cooperation. Basic Books, New York, NY.

Baldacchino G.2008. Islands in Between: Martín García and other Geopolitical


Flashpoints. Island Studies Journal Vol. 3, No. 2, pp. 211-224
Baldacchino G. 2006. Warm versus Cold Water Island Tourism: A Review of Policy
Implications. Island Studies Journal, Vol. 1, No. 2, pp. 183-200
Bennett CPA. 2001. Village Governance and Decentralisation of Natural Resource
Management in Indonesia: Of “Responsibility”, Accountability and National
Unity. In, Colfer CJP and Resosudarmo IAP. (eds) 2002. Which Way Forward?
People, Forests, and Policymaking in Indonesia. Resources for the Future (RFF),
Washington, D.C.

Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.

Bengen D. dan Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan


Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil P4L, Bogor.
249

Beller W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Island.
Unesco, Paris.

Bess R, Rallapudi R. 2007. Spatial conflicts in New Zealand fisheries: The rights of
fishers and protection of the marine environment,.Marine Policy 31 : 719–729

Billiana CS, Robert KW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management :
Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.

Botchway F. 2001. Good Governance: Th e Old, the New, the Principle, and the
Elements, Florida Journal of International Law, Vol 13, pp. 159, 161.

Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher
series. Vol. 5.

Checkland PB. 1989. Soft System Methodology, in Rational Analysis for a


Problematic World. John Wiley. Chicchester.

Christie P. 2005. Is Integated Coastal Management Sustainale?. Ocean and Coastal


Management 48 : 208-232.

Churchill RR. and Lowe AV. 1991. The Law of The Sea. Manchester University
Press.

Clark JR. 1996. Coastal Zone Management. Handbook. Lewis Publishers. CRC Press
LLC. Boca Raton, Florida USA.

Cosquer G, Hangoüet JF. 2003. Delimitation of Land and Maritime Boundaries:


Geodetic and Geometric Bases. TS20 New Professional Tasks - Marine Cadastres
and Coastal Management, FIG Working Week Paris, France, April 13-17, 2003

Dahl C. 1997. Integrated costal resources management and community participation


in a small island setting. Ocean and Coastal Management 36 : 23 – 45.

Dahuri R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB Bogor

Dahuri R. Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan


Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
250

Danusaputro M. 1978. Wawasan Nusantara (dalam Ilmu, Politik dan Hukum).


Alumni. Bandung.

Daw T, Gray T. 2005. Fisheries science and sustainability in international policy: a


study of failure in the European Union’s Common Fisheries Policy. Marine
Policy 29 : 189–197

Direktorat Kelembagaan Internasional, Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas


Kelembagaan dan Pemasaran, 2003. Batas-batas Maritim Indonesia – Negara
Tetangga, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Dirhamsyah D. 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources


management: A critical review and recommendation. Ocean & Coastal
Management 49 : 68–92

Djalal H. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. BPHN. Jakarta

[DKP]. 2003. Batas-Batas Maritim Indonesia –Negara Tetangga. Direktorat


Kelembagaan Internasional.

Douvere F, Maes F, Vanhulle A, Schrijvers J. 2007. The role of marine spatial


planning in sea use management: The Belgian case. Marine Policy 31 : 182–191

Draft Akhir Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi


Utara, Bappenas.t.t

Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua Gajah Mada
University Press. Jogyakarta.

Erceg D. 2006. Deterring IUU fishing through state control over nationals. Marine
Policy 30 : 173–179

Eriyatno. 1996. Rekayasa Sistem Perencanaan Industri Kecil Hasil Pertanian dalam
Jurnal Teknologi Industri Petanian Volume VI Nomor 1 Hal. 1-50 Maret 1996.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajement. Jilid
Satu IPB Press. Bogor Indonesia.

Estache A. (ed). 1995. Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations,


World Bank Discussion Paper 290, Washington D.C. p. 18.

Fanning L, ed. all. 2007. A large marine ecosystem governance framework. Marine
Policy 31 : 434–443
251

Foster E, Haward M, Coffen-Smout S. 2005. Implementing integrated oceans


management: ustralia’s south east regional marine plan (SERMP) and Canada’s
eastern Scotian shelf integrated management (ESSIM) initiative. Marine Policy
29 : 391–405.

Freire J, Fernández L, Muiňo R. 2006. Role of the Spanish scientific community in the
initial assessment and anagement of the environmental damages caused by the
Prestige oil spill. Marine Policy 30 : 308–314

Ginting SP. 2006. Pengelolaan Perbatasan Laut, Prosiding Konferensi Nasional 2006
Pengelolaan Pesisir Lautan untuk meningkatkan Marwah Negeri, Dirjen
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP,

Goldsmith A, Binkerhoff DW. 1990. Sustainability and Rural Agriculture


Development in Institutional Sustainability Agricultural and Rural Development.
Global Perspective. Praeger New York.

Griffith, Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.

Griggs L, Lugten G. 2007. Veil over the nets (unravelling corporate liability for IUU
fishing offences.) Marine Policy 31 : 159–168

Hamzah A. 1988. Laut Teriritorial dan Perairan Indonesia, Akademi Presindo Jakarta.

Harrison J. 2007. Judicial Law-Making and the Developing Order of the Oceans. The
International Journal of Marine and Coastal Law 22 : 283

Harte M, Barton J. 2007. Reforming management of commercial fisheries in a small


island territory. Marine Policy 31 : 371–378

Heazle M, Butcher JG.2007. Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards
a regional regulatory regime. Marine Policy 31 : 276–286

Herrera GE, Hoagland P. 2006. Commercial whaling, tourism, and boycotts: An


economic perspective. Marine Policy 30 : 261–269

Hilborn R. 2007. Defining success in fisheries and conflicts in objectives. Marine


Policy 31 : 153–158

Hyvättinen H, Hildén M. 2004. Environmental policies and marine engines effects on


the development and adoption of innovations. Marine Policy 28 : 491–502

Jentoft S. 2005. Fisheries co-management as empowerment. Marine Policy 29 : 1–7


252

Jentoft S. 2007. Limits of governability: Institutional implications for fisheries and


coastal governance. Marine Policy 31 : 360–370

Kartasaspoetra, G dan Kartasaputra, R.G 1984. Indonesia dalam lingkaran Hukum


Internasional (dari abad ke abad), Sumur Bandung.

Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management, Routiedge. New
York.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, DKP, Dep. Hukum dan


Ham, CRMP/Mitra Pesisir, 2005. Buku Narasi : Menuju Harmonisasi Sistem
Hukumsebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia.

Keyuan Z. 2005. Implementing The United Nations Convention on The Law of The
Sea in East Asia : Issues and Trends. Singapore Year Book of International Law
and Contributors.

Keyuan Z. 2008. Law of the Sea Issues Between the United States and East Asian
States. Ocean Development & International Law 39 : 69–93.

[KM] Keputusan Menteri KP Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum


Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

Koers WA. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut, Suatu.
Ringkasan. Penerjemah Rusi M, M.Rizki & Wahyuni Bahar, Gajah Mada
University Press.Yogyakarta.

Kusumaatmadja M. 1978. Bunga Rampai Hukum laut, Binacipta Jakarta.

Kusumaatmadja M, Purwaka TH. 1996. Legal and Institutional Aspects of Coastal


Zone Management in Indonesia. Marine Policy. VOl. 20 No. 1. Pp. 63-86.

Laporan Bupati Kepulauan Talaud, 2005. Gambaran Umum dan Isu Strategis
Kabupaten Kepulauan Talaud 2005 pada kunjungan kerja Menteri Perikanan dan
Kelautan 14 Desember 2005.

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.


2004. Jurnal Hukum Internasional [Indonesian Journal of International Law].
Vol.1 Nomor 3.

Lindsay JM. 2000. Creating Legal Space for Community Based Management:
Principles and Dilemmas, in Decentralization and Devolution of Forest
Management in Asia and the Pacific, ed. Th omas Enters, Patrick B. Durst and
Michael Victor, RECOFTC Report No. 18 and RAP Publication, 2000, Bangkok,
Thailand.
253

Luntungan R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya dengan
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.

Maarif MS. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.

Manurung RM. 1982. Penegakan Hukum Di Perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia.


Penerbit Surya Indah. Jakarta.

Maramis F. (Adm). 2010. Perpustakaan Electronik Fakultas Hukum Universitas Sam


Ratulangi. http://hukum .unsrat.ac.id./uu/uu_ao.htm

Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus.


Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.

Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial IPB
Press Bogor.

Marlles JR. 2007. International Dispute Resolution (IDR) : International Maritime


Boundary Delimitation and Energy Resource Development: Resolution of the
Guyana-Suriname and Nicaragua-Honduras Maritime Boundary Cases Requires
a New Look at Offshore Activities in Disputed Waters. VINSON & ELKINS
LLP, OCTOBER 31, 2007

Marpaung L. 1993. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta.

Mauna B. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni Bandung.

Marzuki PM. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media. Jakarta.

Miclat EFB, Ingles JA, 2006. Dumaup JNB. 2006. Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean & Coastal
Management 49 : 597–609

Mikalsen KH, Hernes HK, Jentoft S. 2007. Leaning on user-groups: The role of civil
society in fisheries governance. Marine Policy 31 : 201–209

Mirah AD. 2007. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis


Unggulan Wilayah, Draft Desertasi Institut Pertanian Bogor.
254

Monintja DR. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia : Suatu
Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor.

Nainggolan PP. ed. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia, Ancaman
terhadap Integritas Teritorial. Tiga Putra Utama. Jakarta.

Nakajima, T and M. Machida. 1990. Island in Japan. In W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management. Man and
Biopher series. Vol. 5.

Nikijuluw PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, P3R. PT. Pustaka
Cidesindo Jakarta.

Nikijuluw PH. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal.
PT. Pustaka Cidesindo Jakarta.

Numberi F. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam Buletin Kelautan


P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol. IV. No.1 Maret 2006. Hal.12-25.

Ostrom, E and Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights in Henna, S,


Folke, C, Maler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural,
and Political Principles of lnstitufions for the Environment [Editor]. Island Press.
Washington DC

Patlis JM. Knight M and Benoit J.2003. in press. Integrated Coastal Management in
Decentralizing Developing Countries: The General Paradigm, the U.S. Model
and the Indonesian Example, The Ocean Yearbook, Vol. 17, U. Chicago Press,
Chicago, IL.

Patlis JM. 2005. The role of law and legal institutions in determining the
sustainability of integrated coastal management project in Indonesia. Ocean and
Coastal Management 48 : 450-467.

Patlis JM. Purwaka TM. Perdanahardja WGH, editor. 2005. Menuju Harmonisasi
Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan Coastal
Resources Management Project II [USAID]. Jakarta.

Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. 2008. Edisi Kedua Cetakan Pertama. IPB Press.
Bogor.
255

Penataan Ruang Kawasan Perbatasan di Pulau Miangas Kabupaten Talaud Provinsi


Sulawesi Utara. 2007. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Direktorat Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan.

Penyusunan Rencana Tata Ruang Terpadu di Pulau-Pulaui Kecil Terluar (Marore,


Miangas dan Marampit) Provinsi Sulawesi Utara. 2007. Direktorat Jenderal
Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum.

Perry RI, Sumaila UR. 2007. Marine ecosystem variability and human community
responses: The example of Ghana, West Africa. Marine Policy 31 : 125–134

Plasman C. 2008. Implementing marine spatial planning: A policy perspective.


Marine Policy 32 : 811-815

Prasad N. 2003. Small Island Quest for Economics Development, Asia-Pacific


Development Journal Vol. 10, No. 1.

Pratt M (tt) Geographical analysis in maritime boundary delimitation, International


Boundaries. Research Unit, Department of Geography, Durham University,
Durham DH1 3LE, UK. Web: www.dur.ac.uk/ibru

Purwaka T. 2003. Pokok-pokok pikiran untuk Mengembangkan Grand Design


Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Materi Kuliah Program Pascasarjana. PS.
Teknologi Kelautan IPB.

[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat


Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

[PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau


Kecil Terluar.

Queffelec B, Cummins V, Bailly D. 2009. Integrated management of marine


biodiversity in Europe: Perspectives from ICZM and the evolving EU Maritime
Policy framework. Marine Policy 33 : 871-877.

Raakjær JN, Degnbol P, Kuperan KV, Ahmed M, Hara M, Nik Raja-Abdullah NM.
2004. Fisheries co-management an institutional innovation? Lessons from South
East Asia and Southern Africa. Marine Policy 28 : 151–160.

Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia. Jakarta

Rasjidi L. dan Wyasa PIB. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju.
Bandung.
256

Rayfuse R, Warner R. 2008. Securing a Sustainable Future for the Oceans Beyond
National Juridiction : The Legal Basis for an Integrated Cross-Sectoral Regime
for High Seas Governance for 21st Century. The International Journal of Marine
and Coastal Law 23 : 399-421.

Retraubun ASW. 2006a. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil.


Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V Pesisir, Laut dan Pulau-pulau
Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan
dan Perikanan.

Retraubun ASW. 2006b. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil.


Buletin Kelautan P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol.VI.Khusus
September 2006.

Rutherford RJ, Herbert GJ, Coffen-Smout SS. 2005. Integrated ocean management
and the collaborative planning process: the Eastern Scotian Shelf Integrated
Management (ESSIM) Initiative. Marine Policy 29 : 75–83

Saaty TL. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont California : Lifetime
Learning Publications.

Saaty TL. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka
Binaman Pressindo Jakarta.

Sabarno 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Majalah Perbatasan Januari 2003.

Sarundajang, S.H. 2006. Kebijakan Pengembangan Pulau-pulau kecil terluar di


Provinsi Sulawesi Utara, Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V
Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in Indonesia.


Marine Policy 28 : 437–450

Schrank WE. 2007. Is there any hope for fisheries management?. Marine Policy 31 :
299–307

Seidman A. Seidman. RB and Abeyesekere N. 2001. Legislative Draft ing for


Democratic Social Change: A Manual for Drafters. Boston, Mass.: Kluwer Law
International.

Singarimbun M, Effendi S. (Editor) 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES Jakarta.


257

Sutisna S. 2006. Pandangan Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek Permasalahan


Batas Maritim Indonesia. Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional.

Soeprapto M.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya.


Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Subade RF. 2007. Mechanisms to capture economic values of marine biodiversity:


The case of Tubbataha Reefs UNESCO World Heritage Site, Philippines. Marine
Policy 31 : 135–142

Subagyo PJ. 1993. Hukum laut Indonesia, Rineka Cipta Jakarta.

Sugiyono 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.


Bandung

Syahmin AK. 1988. Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum laut Internasional.
Binacipta. Bandung.

SWOT Analysis. http://www.quickmba.com/strategy/swot/

Tamtomo JP.2006. Analisis Pemenfaatan Ruang Pesisir dal Laut dalam kerangka
“Marine Kadaster” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan
Riau) Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB.

Taussik J. 2007. The opportunities of spatial planning for integrated coastal


management. Marine Policy 31 : 611–618

Turner M and Hulme D. 1997. Governance, Administration and Development:


Making the State Work. Kumarian Press, West Hartford, CT., p. 122-124.

Thorpe A, Reid C, van Anrooy R, Brugere C. 2005. When fisheries influence


national policy-making: an analysis of the national development strategies of
major fish-producing nations in the developing world. Marine Policy 29 : 211–
222

[UU] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

[UU] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation


Convention on the Law of the Sea 1982.
258

[UU] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

[UU] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

[UU] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

[UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil.

[UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

[UU] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan


Ketentuan Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang berkaitan
dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh.

Valencia MJ, Danusaputro SM. 1984. Indonesia: Law of the Sea and Foreign Policy
Issues. Indonesian Guarterly. Vol. XII No. 4. p 486.

Vandeer Zwaag DL, Powers A. 2008. The Protection of the Marine Environment
from Land-Based Pollution and Activities: Gauging the Tides of Global and
Regional Governance. The International Journal of Marine and Coastal Law 23 :
423-452.

Verlaan PA. 2007. Experimental activities that intentionally perturb the marine
environment: Implications for the marine environmental protection and marine
scientific research provisions of the 1982 United Nations Convention on the Law
of the Sea. Marine Policy 31 : 210–216

Wila MRC. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, Penerbit PT Alumni Bandung.

Wolff M. 2009. (Edited). Propical Water and their Livinf Resources : Ecology,
Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.
259

Lampiran :

KRITERIA RANCANGBANGUN HUKUM DALAM PENGELOLAAN


PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DI PROVINSI SULAWESI UTARA

Responden 1 Departemen Luar Negeri

A. Sumber Daya Alam


260

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan

D. Hukum
261

E. Kelembagaan

Responden 2 Departemen Dalam Negeri

A. SDA
262

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan

D. Hukum
263

E. Kelembagaan

Responden 3. Departenen Kelautan dan Perikanan

A. Sumber Daya Alam


264

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan
265

D. Hukum

E. Kelembagaan
266

RESPONDEN 4. Departemen Pekerjaan Umum

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
267

C. Pendanaan

D. Hukum

E. Kelembagaan
268

Responden 5. TNI AL

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
269

C. Pendanaan

D. Hukum
270

E. Kelembagaan

Responden 6. DPR- RI

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
271

C. Pendanaan

D. Hukum
272

E. Kelembagaan

Responden 7. DPR SULUT

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
273

C. Pendanaan

D. Hukum
274

E. Kelembagaan

Responden 8. Pemerintah Indonesia

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
275

C. Pendanaan

D. Hukum
276

E. Kelembagaan

Responden 9. Pemerintah Philipina

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
277

C. Pendanaan

D. Hukum
278

E. Kelembagaan

Responden 10. Pemerintah Provinsi SULUT

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi
279

C. Pendanaan

D. Hukum
280

E. Kelembagaan

Responden 11. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe

A. Sumber Daya Alam


281

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan

D. Hukum
282

E. Kelembagaan

Responden 12 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud

A. Sumber Daya Alam


283

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan

D. Hukum
284

E. Kelembagaan

Responden 13. Akademisi

A. Sumber Daya Alam


285

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan
286

D. Hukum

E. Kelembagaan
287

Responden 13. Investor

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan
288

D. Hukum

E. Kelembagaan
289

Responden 15. Tokoh Masyarakat/Adat

A. Sumber Daya Alam

B. Sosial Ekonomi

C. Pendanaan
290

D. Hukum

E. Kelembagaan
291

TOTAL – Kombinasi semua Responden 1-15

Sintesis
292
293

Sensitivity Analysis

a. Performa Sensitivity

B. Gradient Sensitivity

a. Berdasarkan SDA

-
294

Berdasarkan SOSEK

Berdasarkan Pendanaan
295

- Berdasarkan Hukum

Berdasarkan Kelembagaan
296

Head to head RH Menurut Penataan Batas Wilayah Negara Vs others


297
298
299
300

e..head to head RH Menurut Pemerintah Vs others


301

f. head to head RH Menurut Strategi perwilayahan Vs others


302
303

Akademisi vs other
304

Berdasarkan
305
306
Matriks Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Rancangbangun Hukum dalam
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
1 Wilayah UU Dasar Negara Tahun 1945 Perubahan Ke IV Wilayah Negara 1. Psl 25 A Keutuhan Wilayah Telah di tetapkan
Negara dan 2. Psl 33 ayat 3 Negara Kesatuan dalam UU No.
Sumberdaya Republik Indonesia 43/2008
Bumi dan air dn
Alam dan kekajaan alam yang
Lingkungan terkandung
didalamnya
dikuasai oleh
Negara dan
digunakan untuk
sebesar-besar
kemakmuran rakyat
2 Pengelolaan Perppu Nomor 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia Batas Negara Pasal 1 Penentuan batas Analis Historikal Tidak berlaku
Pulau Kecil Lajur laut Pasal 2 dalam Territoriale ttg berlakunya UU lagi, digantikan
dan Perairan Pasal 3 Zee en Maritime penentuan wilayah dengan UU No.6
pedalaman Pasal 4 Kringen laut 3 mil laut Thn 1996
Kelembagaan Ordonantie 1939
Mil laut
Peta (Stb. 1939.No.442)
Lalulintas psl1:1 tidak lagi
damai sesuai karena
membagi wilayah
daratan terpisah
dengan laut

3 UU Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok- Hak atas tanah, Pasal 14 ayat 1 Hak atas Air, Hak Hak Kepemilikan
Pokok Agraria Air dan ruang Pasal 16 pemeliharaan dan dan pemanfaatan
angkasa serta penangkapan ikan, tanah, air dan ruang
pendaftaran hak guna ruang udara
tanah angkasa
4 UU Nomor 1 Tahun 1962 Karantina Laut Pencabutan Pasal 1 huruf j Pelabuhan/kapal Pengaturan tentang
Quarantaine dan huruf k, kegiatan yang
Ordonantie dilakukan di Zona
(Stb.No.277Th Pasal 4 Terjangkitnya Tambahan
n 1911) Pasal 6 pelabuhan
PP No.53 Thn Pasal 7 Penggolongan
1959 ttg Pasal 14 Kapal dan
penyakit Pasal 20 Pelabuhan
karantina Karantina
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
5 UU Nomor 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan Peningkatan Pasal 1 Perjanjian bagi Menghilangkan
kesejahteraan hasil penangkapan usaha pemerasan
nelayan ikan antara nelayan dan ketidak adilan
Pembagian dan nelayan dalam pengelolaan
bagi hasil pemilik, nelayan perikanan
Pembentukan penggarap
koperasi
Usaha Pasal 2 Perikanan laut
Perikanan laut
dan darat

6 UU Nomor 11 Tahun 1967 Ketentuan Pokok Pemanfaatan Pasal 3 Penggolongan Pencemaran Tidak berlaku
Pertambangan sumberdaya Pasal 4 galian lingkungan lagi, digantikan
alam, usaha dan Pasal5 pertambangan oleh UU
kuasa No4/2009
pertambangan,
7 UU Nomor 8 Tahun 1971 Perusahaan Pertambangan Perekonomian, Pasal 1 Eksplorasi dan Pengelolaan SDA
dan Gas Bumi Negara pertahanan eksploitasi
keamanan
Perusahan Pasal 2
Pertambangan Pasal 11
8 UU Nomor 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia Kedaulatan Pasal 1 Eksplorasi SDA di Pemanfaatan SDA
atas Pasal 3 landas kontinen di Landas
sumberdaya Kontinern
alam
Instalasi Pasal 6-7
Pencemaran Pasal 8
Yuridiksi Yuridiksi Negara di
Landas Kontinen
9 UU Nomor 10 Tahun 1976 Pengesahan Perjanjian Pemberantasan Pasal 1 Kerjasama yang Perjanjian ekstradisi
Ekstradisi antara Republik Kejahatan Pasal 2 efektif dalam dan hubungan luar
Indonesia dan Republik Hubungan penegakan hukum negeri
dalam bidang dan pelaksanaan
Philipina peradilan dalam
ekstradisi
pemberantasan
kejahatan terutama
ekstradisi
10 UU Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana Pelaksanaan Pasal 1 Proses Penegakan Penegakan Hukum
Peradilan Hukum
Penyidik Pasal 4- Pasal 8
Penuntut Pasal 13-14
Umum
Hakim Pasal 26-27
Bantuan Pasal 16-25
Hukum Pasal 69
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Proses
Penegakan Pasal 77
Hukum
Pelaksanaan Pasal 270-276
Putusan
Pengadilan

11 UU Nomor 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Pemanfaatan Pasal 1- Hak berdaulat Hak Berdaulat di
Indonesia SDAlam Pasal 18 dan ZEE
Hayati pemanfaatan
Penelitian SDAH Pengakuan rezim
Ilmiah Kegiatan laut 200 mil laut
Hak Berdaulat pemanfaatan di berdasarkan
Ketentuan ZEE
Peralihan/ Pasal 19- 21 Penegakan
Penutup Hukum di
wilayah laut
perbatasan
negara
12 UU Nomor 9 Tahun 1985 Perikanan Pemanfaatan Pasal 1 Pengelolaan, Pengelolaan SDI di Tidak berlaku
SD Ikan Pemanfaatan, wilayah Laut lagi, digantikan
Wilayah Pasal 2 Pembinaa, oleh UU
Perikanan Pengembangan, No31/2004
Pengelolaan Pasal 3 Penyerahan
SDI urusan
pembantuan
13 UU Nomor 2 Tahun 1986 Peradilan Umum Menjamin Konsiderans Penegakan Hukun Proses Penegakan Perubahan ke-1 :
persamaan Hukum UU No 8/2004
kedudukan Perubahan ke-2 :
warga negara UU No 49/2009
dalam hukum
Peradilan dan
Hakim
Pasal 1-Pasal 6
Pasal 12

14 UU Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Menjamin Pasal 1 Penegakan Hukum Proses Penegakan Perubahan ke-1 :
Negara persamaan Pasal 2 Hukum UU No 9/2004
kedudukan Pasal 8 Perubahan ke-2 :
warga negara UU No 51/2009
dalam hukum
Peradilan dan Pasal 12
Hakim
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
15 UU Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Menjaga Pasal 1 Pelindungan Pelestarian
Alam dan Ekosistemnya pemanfaatan Pasal 6,7,8 pemanfaatan SDAE Lingkungan dan
sumberdaya dari kepunahan penegakan hukum
alam hayati
selalu Pasal 38 Tugas perbantuan
terpelihara dan
mewujudkan
keseimbangan
Kawasan
Konservasi
Pemanfaatan Pasal 14
estari Pasal 26

16 UU Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan Perlindungan Pasal 3 Pemanfaatan SDA Kelembagaan dan Tidak berlaku
dan dan Budaya peranserta lagi, digantikan
Pemanfaatan masyarakat oleh UU No
Sumberdaya 10/2009
Alam dan
Budaya
Obyek dan Pasal 4,5 dan 9
Usaha Wisata
17 UU Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan Penuntutan, Pasal 1 Penuntutan dan Proses Penegakan Tidak berlaku
pelaksanaan Penegakan Hukum Hukum lagi, digantikan
pengadilan dan oleh UU No
Penegakan 16/2004
hukum
UU Nomor 9 Tahun 1992 Keimigrasian Lalu lintas Pasal 1 Masuk keluar Pencegahan dan Tidak berlaku
orang antar Pasal 3 wilayah Indonesia Penangkalan lagi, digantikan
bangsa Pasal 11 oleh UU No 37
Keberadaan Pasal 24 Penegakan Hukum /2009
orang asing

18 UU Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman Budidaya Pasal 1 Pelestarian Perlindungan SDA
Tanaman lingkungan
19 UU Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Transportasi dan Pasal 1 Prasarana Fasilitas masyarakat Tidak berlaku
Jalan perwujudan Pasal 6 lagi, digantikan
wawasan oleh UU No
nasional 22/2009
20 UU Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan Transportasi dan Pasal 1 Prasarana Fasilitas masyarakat
perwujudan Pasal 6 Kedaulatan
wawasan Wilayah Udara
nasional

21 UU Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan Penanggulangan Pasal 1 Masuknya hewan Perlindungan SDA
Tumbuhan dan pencegahan Pasal 5 dan tumbuhan dari dan masyarakat
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
penyakit Pasal 10 luar wilayah
Masuk keluarnya Indonesia
hewan dan
tumbuhan
22 UU Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran Transportasi Pasal 1 Prasarana Transportasi
dan Navigasi Pasal 7 Kedaulatan dan Komunikasi
Kapal Nakoda Pasal 35 Wilayah Perairan Fasilitas masyarakat
dan pekerja
Kepelabuhanan Pasal 21
23 UU Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan Peningkatan Pasal 1 Kesehatan Sumberdaya Tidak berlaku
penyelenggaraa Lingkungan Masyarakat lagi, digantikan
n upaya oleh UU No
kesehatan 36/2009
masyarakat
Pengamanan Pasal 44
Zat Aditif

24 UU Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang Kesatuan tata Pasal 1 Penataan Ruang Penyesuaian Tidak berlaku
lingkungan Pasal 7 – 14, 19 Pulau Perbatasan, pemanfaat dan lagi, digantikan
Pola Pasal 8 Pulau kecil, dan penataan kawasan oleh UU No
pembangunan pemanfaat untuk perbatasan 26/2007
yang jalur transportasi
berkelanjutan
dengan
mengembangk
an tata ruang
dalam satu
lingkungan
25 UU Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan Perekonomian Pasal 1- 2 Lalu lintas Eksport Import
nasional dan Pasal 7, 11, barang yang Barang di
perdangangan Pasal 18 masuk dan perbatasan
internasional Pasal 24 keluar daerah
Sarana Pasal 90 Pabean di
Pengangkut wilayah darat,
laut dan udara,
termasuk ZEE
dan Lanadas
Kontinen
26 UU Nomor 11 Tahun 1995 Cukai Punggutan Pasal 1 Barang dan jasa Barang kena Cukai Tidak berlaku
Negara Pasal 25 lagi, Digantikan
Pemasukan, oleh UU No
Pengeluaran, 39/2007
pengangkutan
dan
perdagangan
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
27 UU Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Hak Pasal 1 Agraria/pertanahan Status agraria
Tanah beserta Benda-benda Tanggungan/jami Pasal 4
yang berkaitan dengan nan
Tanah.
28 UU Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia Asas rezim Pasal 1 Wilayah Perairan Penegakan Hukum
hukum negara Pasal 3 sd 10 perbatasan dan dan kelembagaan
kepulauan pulau kecil
hukum negara
kepulauan
Hak Lintas Pasal 11 sd 22
Kapal Pasal 23
Pemanfaatan Pasal 24
lingkungan Pasal 24
perairan
Penegakan
kedaulatan
29 UU Nomor 7 Tahun 1996 Pangan Ketersediaan Pasal 1 Perlindungan Meningkatkan
Gizi, mutu Pasal 4 kesehatan kesejahteraan
pangan, dan masyarakat rakyat
kemanan pangan Peningkatan
pertumbuhan
ekonomi nasional
30 UU Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian Meningkatkan Pasal 1 Masyarakat Kependudukan Tidak berlaku
kesejahteraan Pasal 6 Pelintas batas lagi, Digantikan
rakyat Daya dukung oleh UU No
lingkungan 29/2009
31 UU Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Retribusi dan Pasal 1 Pembangunan Peningkatan Tidak berlaku
Daerah pendapatan Pasal 4 sektor publik kesejahteraan lagi, Digantikan
daerah masyarakat oleh UU No
34/2000,
kemudian diganti
dengan UU No
29/2009
32 UU Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pengelolaan Pasal 1 Meningkatkan Kepastian hukum
Pajak kekayaan negara Pasal 2 efisensi
perekonomian
33 UU Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas Kewajiban Pasal 1 Perpajakan Pentaatan Hukum
Tanah dan Bangunan kenegaraan Pasal 2 warga negara
34 UU Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Mendayagunak Pasal 1 Melestarikan dan Pembangunan Tidak berlaku
Hidup an sumberdaya Pasal 5 sd 7 mengembangkan berkelanjutan yang lagi, Digantikan
alam Pasal 8 kemampuan berwawasan oleh UU No
Pembangunan Pasal 14 lingkungan lingkungan hidup 32/2009
berkelanjutan Pasal 18 – 21
Pasal 22 - 24
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
35 UU Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan Kedaulatan Pasal 1 Rancangbangun Pentaatan kebijakan Tidak berlaku
Majelis Permusyawaratan rakyat dan Pasal 3 hukum dan pelaksanaan lagi, Digantikan
Rakyat, Dewan Perwakilan optimalisai peran Pasal 11 perundang- oleh UU No
undangan 22/2003
Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
36 UU Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan Pasal 1 Tugas Kelembagaan dan Tidak berlaku
Otonomi Daerah Pasal 2 perbantuan kebijakan publik lagi, Digantikan
Pasal 3 Wilayah laut oleh UU No
Pasal 7 daerah 32/2004
Pasal 10 Peraturan
Pasal 69 Daerah dan
Keputusan
Kepala Daerah
37 UU Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan Otonomi Pasal 1 Desentralisasi Kepastian Hukum
antara Pemerintah Pusat dan daerah Pasal 2 Dekonsentrasi Pembagian
Daerah Pengaturan Pasal 3 Tugas Kewenangan,
sumberdaya Pasal 4 pembantuan Tugas dan
nasional Pasal 6 tanggung jawab
38 UU Nomor 27 Tahun 1999 Perubahan KUH Pidana Keamanan Pasal 1 Pencegahan Kejahatan
yang berkaitan dengan Negara Pasal 107 a - Kejahatan dan Perbatasan Negara
Kejahatan Keamanan Pasal 107 f keamanan negara
Negara
39 UU Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Pasal 1 Penyelsaian di luar Penegakan hukum
Penyelesaian Sengketa Sengketa Pasal 6 pengadilan
40 UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Keuangan Pasal 1 Kerugian negara Penegakan hukum Tidak berlaku
Pidana Korupsi Negara dan Pasal 2 dan penghambat lagi, Digantikan
mewujudkan Pasal 21 pembangunan oleh UU No
Rasa keadilan 20/2001
dalam
masyarakat
41 UU Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi Pemerataan Pasal 1 Pemerataan Kelembagaan dan
Pembangunan Pasal 8 pembangunann dan penyedia jasa
Pasal 12 meningkatkan
hubungan antar
bangsa
42 UU Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan Kemakmuran Pasal 1 Pelestarian Kebijakan
rakyat Pasal 4 Lingkungan Kelembagaan
Daya dukung Pasal 5 wilayah Penegakan Hukum
lestari Pasal 46 perbatasan
negara
Perlindungan
hutan
Konservasi
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
43 UU Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian Penyelenggara Pasal 1 Penyelenggara Tugas perbantuan
pelayanan Pasal 2 tugas
aparatur negara Pasal 12 pemerintahan
Memperlancar
pelaksanaan
tugas
pemerintahan
dan
pembangunan

44 UU Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata Keadilan dan Pasal 1 Pendapatan negara Kebijakan Perubahan
Cara Perpajakan Kepastian Pasal 2 dan Pembangunan terhadap UU
Hukum Pasal 3 penyelenggaraan No6/1983
pembangunan
45 UU Nomor 24 Tahun 2000 Perjanjian Internasional Hubungan Pasal 1 Kerjasama Kebijakan dan
kerjasama Pasal 4 Internasiona kelembagaan
internasional Pasal 9 Pengelolaan
untuk Pasal 15 sumberdaya
Perdamaian Pasal 17 perbatasan
Dunia Pasal 18 negara

46 UU Nomor 25 Tahun 2000 Program Perencanaan Mewujudkan Pasal 2 Kebijakan Kebijakan Nasional
Nasional Pembangunan Kawasan dan Daerah
Nasional dan Perbatasan
Kesejahterann
masyarakat
47 UU Nomor 22 Tahun 2001 Minyak dan Gas Bumi Pemanfaatan Pasal 1 Lingkungan Penegakan Hukum
SDA Pasal 2, 3 Hidup
Kesejateraan
rakyat
Pembangunan
Nasional
48 UU Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan Kepastian dan Pasal 1 Kelembagaan dan Kebijakan Publik Tidak berlaku
ketertiba hukum Pasal 9 keuangan lagi, Digantikan
oleh UU No
28/2004
49 UU Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara RI Ketertiban Pasal 1 Penegakan hukum Kepastian Hukum
Umum Pasal 6 dan keadilan dalam
Pasal 13 masyrakat
50 UU Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara Perlindungan Pasal 1 Kesejahteraan Keblembagaan dan
terhadap bangsa Pasal 6 dan ketentraman kebijakan
dan negara Pasal 20 Pembangunan nasional/internasion
daerah dan al
Perlindungan
Sumberdaya
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
51 UU Nomor 8 Tahun 2002 Pembentukan Kabupaten Penyelenggaraan Pasal 1 Otonomi Daerah Kesejahteraan
Kepulauan Talaud Pemerintahan Pasal 2- 7 Tugas masyarakat dan
Daerah perbantuan pelestarian SDA
Pertahanan
Keamanan di
wilayah Perbatasan
negara
52 UU Nomor 15 Tahun 2002 Pencucian Uang Stabilitas Pasal 1 Penegakan Hukum Kebijakan dan Dirubah dengan
Ekonomi kelembagaan UU No 25/2003
54 UU Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian, Pendayagunaan Pasal 1 Penguasaan ilmu Kelembagaan
Pengembangan dan dan pemanfaatan Pasal 5 dan pengetahuan
Penerapan Ilmu teknologi Pasal 6 untuk kesejahteraan
Pengetahuan dan Teknologi
55 UU Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara Kewajiban Pasal 1 Perekonomian dan Kebijakan
negara sebagai Pasal 2 perdagangan Pemerintah
milik negara Pasal 3
56 UU Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi Pembangunan Pasal 1 Pengelolaan SDA Kebijakan dan
Nasional Pasal 4 kelembagaan
57 UU Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 Tenaga kerja Penegakan Hukum
Hubungan Industrial Pasal 2
Pasal 6
58 UU Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman Penegakan Pasal 1 Penegakan Hukum Keadilan dalam Tidak berlaku lagi,
Hukum dan Pasal 36 masyarakat Digantikan oleh UU
keadilan No 48/2009
59 UU Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air Sinergi dan Pasal 1 Konservasi SDA Kebijakan dan
keterpaduan Pasal kelembagaan
pengelolaan SDA Pasal 15-16
Pasal 20
60 UU Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum Tata kehidupan Pasal 2 Peradilan Peneggakan hukum Perubahan UU No
masyarakat yang dan tertib hukum 2/1986
tertib dan
berkeadilan
61 UU Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Tata Usaha Pasal 1 Keperdataan Penegakan Hukum Perubahan atas
Negara Negara Pasal 2 UU No 5/1986
62 UU Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Koordinasi dan Pasal 1 Harmonisasi Kebijakan dan
Perundang-Undangan proses Pasal 5 Hukum kelembagaan
pembentukan Pasal 6
peraturan Pasal 7
perundangan Pasal 8 -14
yang sesuai Pasal 15 – 16
dengan Pasal 17- 25
ketatanegaraan Pasal 26 – 31
RI Pasal 37 – 39
Pasal 40 – 43
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Pasal 44
Pasal 45 – 50
Pasal 51 – 52
Pasal 53
63 Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan Penuntutan Pasal 1 Hukum dan Penegakan Hukum
Pasal 30 Keadilan
65 UU Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan Pengelolaan Pasal 1 Pengelolaan dan Kebijakan
Lestari Pasal 6 pemanfaatan hutan
berkelanjutan
66 UU Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Pasal 1 Pembangunan Kebijakan dan
Pembangunan Nasional berkeadilan Pasal 3 Nasional kelembagaan
Demokratis Pasal 8 mewujudkan
Bertahap dan Kesejahteraan
berkesinambun bangsa dan negara
gan
67 UU Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan Perikanan Pasal 1 1. Pengelolaan dan 1. Budidaya 1.Peningkatan
Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan atas UU 31/2004 Pasal 5 pemanfaatan 2. Konservasi Pendapatan
Pasal 25- 45 sumberdaya 3. Kapal Negara sektor
Pasal 65 ikan dan 4. Nelayan perikanan
lingkungan 2.Kesejahteraan
2. Wilayah 1. Laut Teritorial masyarakat
Pengelolaan 2. ZEE
Perikanan 3. LK
3. Usaha Perikanan 4. Laut Lepas
4. Tugas 5. Izin Kapal
Pembantuan 1. Tradisional
2. Swasta
1. Pemda
68 UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan Pasal 1 Pembentukan Kelembagaan dan Dirubah oleh
Otonomi Daerah Pasal 4 Kawasan kebijakan publik Perpu 3/2005
Pasal 9 Khusus ditetapkan
Pasal 10 Perbatasan menjadi UU No
Pasal 42 Badan 8/2005
Pasal 195 Perbatasan Perubahan kedua
Daerah oleh UU No
Kersama 12/2008
Perbatasan
Tugas
perbantuan
69 UU Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Keuangan dan Pasal 1 Pendapatan Kebijakan Nsional
antara Pemerintah Pusat dan Otonomi Pasal 2 Daerah
Pemerintahan Daerah Pasal 4, Pasal 5 Pengelolaan
Pasal 10 SDA
Pasal 11
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
70 Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia Menegakkan Pasal 1 Pertahanan Kebijakan Nasional
kedaulatan Pasal 2 Keamanan dan
negara Pasal 4 Wilayah Negara
71 UU Nomor 12 Tahun 2006 Kewarganegaan RI Harkat, martabat Pasal 1 Status warga Kebijakan dan
dan Hak Asasi Pasal 4 negara Penegakan Hukum
Pasal 8 Pelintas Batas
masyarakat di
pertasan negara
72 UU Nomor 16 Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pemenuhan Pasal 1 Meningkatkan Kebijakan dan
Pertanian, Perikanan dan kebutuhan Pasal 4 kesejahteraan pelestarian SDA
Kehutanan pangan, papan, Pasal 5 dan 6 masyarakat
bahan baku,
lapangan kerja
dan lapangan
berusaha
73 UU Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi Pendataan Pasal 1 Pendataan Kebijakan dan
Kependudukan penduduk Pasal 2 masyarakat pelintas penegakan hukum
batas, dan
perbatasan
74 UU Nomor 17 Tahun 2007 Rencana Pembangunan Masyarakat Adil Pasal 1 Pembangunan Stategi Nasional
Jangka Panjang Nasional dan Makmur Pasal 2 Berkelanjutan Kebijakan
Tahin 2005 - 2025 Pasal 3 kelembagaan
75 UU Nomor 20 Tahun 2007 Pengesahan Persetujuan Hubungan Pasal 1 Keamanan dan Kebijakan
antara Pemerintah RI dan Kerjsama untuk pertahanan Internasional
Pemerintah Republik ketertiban negara Perbatasan
bertetangga Ekonomi
Filipina tentang Kegiatan
Sumberdaya
Kerjasama di bidang
Alam
Pertahanan dan Keamanan NKRI
76 UU Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Hak Asasi Pasal 1 Masyarakat Kebijakan dan
Pidana Perdagangan orang Manusia Pasal 2 Pelintas Batas Kelembagaan
Pasal 3 Perdagangan Penegakan
Pasal 19 Perempuan dan Hukum
anak-anak

77 UU Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang Kesatuan tata Pasal 1 Penataan Kebijakan Nasional Menggantikan UU
lingkungan Pasal 4,5,6 perbatasan No 24/1992
Pembangunan Pasal 10,11 negara
berkelanjutan Tugas
Perbantuan
78 UU Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pengelolaan dan Pasal 1 Kesejahteraan Kebijakan dan
Pesisir dan Pulau-Pulau keberlanjutan Pasal 2 masyarakat Kelembagaan
Kecil sumberdaya alam Pasal 3 Pemberdayaan
Pasal 5 masyarakat
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
Pasal 6 s.d Penelitian
Pasal 80 Pemanfaatan
PPK
79 UU Nomor 17 Tahun 2008 Pelayaran Transportasi Pasal 1 Kesatuan Kebijakan Nasional
Nasional Pasal 3 wilayah Perairan dan Daerah
Pasal 4 Perdagangan
Pasal 6 – Pasal dan
17 perekonomian
80 UU Nomor 39 Tahun 2008 Kementerian Negara Membantu tugas Pasal 1 Koordinasi Stategi Kebijakan
Pemerintah Pasal 2 Sinkronisasi Nasional
bidang Pasal 4 Program
pemerintahan Pasal 5 pemerintah
Urusan Luar dan
Dalam Negeri
Pertahanan
81 UU Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara Kesatuan Pasal 1 s.d Wilayah Darat, Strategi Kebijakan
Wilayah RI Pasal 26 Laut, Tanah di Nasional
Wawasan bawahnya dan
Nusantara Penjelasan Raugn Udara di
Pasal demi atasnya
Pasal Sumberdaya
Alam yang
terkandung
Kepastian
Hukum
82 UU Nomor 1 Tahun 2009 Penerbangan Wawasan Pasal 1 Kedaulatan atas Strategi Kebijakan
Nusantara Pasal 5-9 wilayah udara Nasional
Transportasi
dalam dan luar
negeri
83 UU Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Pengelolaan Pasal 1 Perekonomian Kebijakan Nasional
Batubara Sumberdaya Pasal 4,5, 6,7, 8 nasional
Alam Pasal 9 - 33

84 UU Nomor 10 Tahun 2009 Kepariwisataan Kemakmuran Pasal 1 Perekonomian Kebijakan dan


dan Pasal 6 Nasional kelembagaan
kesejahteraan
rakyat
85 UU Nomor 22 Tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Transportasi Pasal 1 Perencanaan Kebijakan nasional
Jalan Pasal 16 wilayah
86 UU Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Perlindungan dan Pasal 1 Perlindungan dan Kebijakan nasional
Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan Pasal 6 penetapan wilayah
Hidup SDA Pasal 7 pengelolaan dan
konservasi
Fokus Permasalahan
Peraturan PerUUan/ Pasal terkait dgn Analisis
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Keterangan
PerUUan Arah terkait peraturan PerUUan
Kebijakan perUUan
87 UU Nomor 35 Tahun 2009 Narkotika Kesehatan Pasal 1 Penyelundupan dan Penegakan Hukum
masyarakat peredaran illegal
88 UU Nomor 39 Tahun 2009 Kawasan Khusus Pembangunan Psal 1 Kesejahteraan Kebijakan
Ekonomi Pasal 5 masyarakat dan Nasional
pemenuhan Kelembagaan
pendapatan
daerah/negara
89 UU Nomor 45 Tahun 2009 Perikanan Pengelolaan Pasal 1 Pengelolaan Kebijakan Perubahan UU No
SDA Pasal 7 Perikanan di Nasional 31/2004
Perbatasan
Negara
Illegal Fishing
90 Peraturan Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang
Pemerintah Wilayah Nasional
91 Peraturan Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air
Pemerintah dan Pengendalian
Pencemaran Air
92 Peraturan Nomor 82 Tahun 2001 Pengendalian Pencemaran
Pemerintah Dan/Atau Perusakan Laut
93 Keputusan Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan
Presiden Lindung
94 Keputusan Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum
Menteri Pengelolaan Pulau-pulau
Kelautan dan Kecil yang berkelanjutan
Perikanan dan Berbasis Masyarakat
95 Peraturan Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Titik Titik Dirubah dengan
Pemerintah Garis Pangkal Kepulauan Peraturan
Indonesia Pemerintah No
37/2008
96 Keputusan Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum
Menteri Perencanaan Pengelolaan
Kelautan dan Pesisir Terpadu
Perikanan
97 Keputusan Nomor 16/Men/2008 Perencanaan Pengelolaan
Menteri Wilayah Pesisir dan Pulau-
Kelautan dan Pulau Kecil
Perikanan
98 Peraturan Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau
Presiden Kecil Terluar
99 Peraturan Badan Nasional Perbatasan
Presiden Negara
Matriks Peraturan Perundang-undangan Internasional yang telah di ratifikasi di Indonesia
Permasalahan
Peraturan Fokus Pasal terkait dgn
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Analisis PerUUan Keterangan
PerUUan PerUUan Terkait peraturan
perUUan
1 Sumberdaya UU Nomor 17 Tahun United Nation Convention on the
Alam dan 1985 Law of the Sea III
Lingkungan
2 Pesisir dan UU November 2005 Jakarta Mandate on Marine and November 2005
lautan Coastal Development
3 UU Nomor 21 Tahun Pengesahan Agreement For The
2009 Implementation Of The Provisions
Of The United Nations Convention
On The Law Of The Sea Of 10
December 1982 Relating To The
Conservation And Management Of
Straddling Fish Stocks And Highly
Migratory Fish Stocks (Persetujuan
Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan
Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Tentang Hukum Laut
Tanggal 10 Desember 1982 Yang
Berkaitan Dengan Konservasi Dan
Pengelolaan Sediaan Ikan Yang
Beruaya Terbatas Dan Sediaan Ikan
Yang Beruaya Jauh)
4 UU Nomor 15 Tahun Pengesahan Protocol against the
2009 Smuggling of Migrants by Land,
Sea and Air, Supplementing the
United Nations Convention against
Transnational Organized Crime
(Protokol Menentang
Penyelundupan Migran melalui
Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi
Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi)
5 UU Nomor 14 Tahun Pengesahan Protocol to Prevent,
2009 Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and
Children, Supplementing the United
Nations Convention against
Permasalahan
Peraturan Fokus Pasal terkait dgn
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Analisis PerUUan Keterangan
PerUUan PerUUan Terkait peraturan
perUUan
Transnational Organized Crime
(Protokol untuk Mencegah,
Menindak, dan Menghukum
Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan dan Anak-Anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang
Terorganisasi)
6 UU Nomor 5 Tahun Pengesahan United Nations
2009 Convention Against Transnational
Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi
7 UU Nomor 1 Tahun Pengesahan ILO Convention No.
2008 185 Convention Revising The
Seafarers Identity Documents
Convention, 1958 ( Konvensi ILO
No. 185 Mengenai Konvensi
Perubahan Dokumen Identitas
Pelaut, 1958)
8 UU Nomor 7 Tahun Pengesahan United Nations
2006 Convention Against Corruption,
2003
9 UU Nomor 6 Tahun Pengesahan International
2006 Convention for the Suppression of
the Financing of Terrorism, 1999
(Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, 1999
10 UU Nomor 5 Tahun Pengesahan International
2006 Convention for the Suppression of
the Terrorist Bombing 1997
(Konvensi Internasional
Pemberantasan Pengeboman Oleh
Teroris, 1997)
Permasalahan
Peraturan Fokus Pasal terkait dgn
No Aspek Nomor dan Tahun Tentang Analisis PerUUan Keterangan
PerUUan PerUUan Terkait peraturan
perUUan
11 UU Nomor 21 Tahun Pengesahan Cartagena Protocol on
2004 Biosafety to the Convention on
Biological Diversity (Protokol
Cartagena tentang Keamanan
Hayati Atas Konvensi Tentang
Keanekaragaman Hayati)
12 UU Nomor 17 Tahun Pengesahan Kyoto Protocol to the
2004 United Nations Framework
Convention on Climate Change
(Protokol Kyoto Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-bangsa Tentang Perubahan
Iklim
Zona-zona Maritim menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982
323

KUESIONER SURVEY PAKAR METODE AHP


Nama Pakar :
Bidang kepakaran :
Instansi :

Skala pendapat (nilai dan definisi)

Nilai Definisi
1 Sama penting (equal)
3 Sedikit lebih penting (moderate)
5 Jelas lebih penting (strong)
7 Sangat jelas penting (very strong)
9 Mutlak lebih penting (extreme)
2, 4, 6, 8 Apabila ragu antara dua nilai yang berdekatan
1 / (1 – 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9
Pembobotan kriteria
(Saaty 1993)

Pedoman penilaian :

Contoh : Pembobotan kriteria.


Kriteria : A = peraturan perundang-undangan; B = pencapaian program;
C = ketersediaan sumberdaya; D = pemberdayaan masyarakat; E =
kelembagaan
Kriteria A B C D E
A 1 3 1/5 4
B
C
D
E

Penjelasan :
Nilai A terhadap B = 1 diartikan : kriteria A sama penting dari kriteria B
Nilai A terhadap C = 3 diartikan : kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria C
Nilai A terhadap D = 1/5 diartikan : kriteria B jelas lebih penting dari kriteria A
Nilai A terhadap E = 4 diartikan : kriteria A ada keraguan sedikit lebih penting atau
jelas lebih penting dari kriteria E

Pengisian pada kolom yang tersedia mengikuti petunjuk diatas.


Terima kasih.
324

Judul penelitian: Rancang Bangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil


Terluar di Provinsi Sulawesi Utara

Lembar Isian

1. Kriteria :
A : Perundang-undangan; B : Potensi Sumberdaya;
C : Program Pengelolaan
Kriteria A B C
A
B
C

2. Tujuan :
A : Data & Informasi; B : Penetapan Batas Negara; C : Sosial Ekonomi;
D : Coastal Problematic
Kriteria A B C D
A
B
C
D

3. Alternatif:
A : Tata Kelola Kelembagaan; B : Peran Aktor (Pemangku Kepentingan;
C : Basis Konservasi; D Penangan Terpadu; E. Pemanfaatan Kearifan Lokal
Kriteria A B C D E
A
B
C
D
E

Terima kasih atas partisipasi anda dalam pengisian kuesioner ini

Anda mungkin juga menyukai