Anda di halaman 1dari 27

Makalah Bimbingan Klasikal 01

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN

Dosen Pengampu:
Drs. Martunis, M.Si
Fitra Marsela, S.Pd,. M.Pd

Disusun Oleh:

Dinatil Amna 1906104030023


Nanda Eka Yusfira 1906104030040
Mauri Satina Villah 1906104030027
Sarah Nadya 1906104030047
Sitti Keumala Fadhila 1906104030061
Yuli Isnaini 1906104030042

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena
telah melimpahkan Rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
“Penggunaan Model Pembelajaran” dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Klasikal kelas 01 yang diampu oleh
bapak Drs. Martunis, M.Si dan ibu Fitra Marsela, S.Pd,. M.Pd. Terima kasih kami ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan idenya sehingga makalah
ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Terlepas dari semua itu,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima semua kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Banda Aceh, 17 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................................. 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5
A. Model Pembelajaran ....................................................................................................... 5
B. Model Pembelajaran Cooperative Leraning ................................................................... 6
C. Model Pembelajaran Discovery Learning .................................................................... 13
D. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) ...................... 20
BAB III...................................................................................................................................... 1
PENUTUP................................................................................................................................. 1
Kesimpulan............................................................................................................................. 1
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 2

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada
disekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan
proses tersebut melalui berbagai pengalaman. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua orang
pelaku, yaitu guru dan siswa. Perilaku mengajar dan perilaku belajar tersebut terkait dengan
bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai kesusilaan,
seni, agama, sikap, dan keterampilan. Hubungan antara guru, siswa dan bahan ajar bersifat
dinamis dan kompleks. Untuk mencapai keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran, terdapat
beberapa komponen yang dapat menunjang, yaitu komponen tujuan, komponen materi,
komponen strategi belajar mengajar, dan komponen evaluasi. Masing-masing komponen
tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dan komponen-komponen
pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih dan menentukan model-
model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Model-model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori
sebagai pijakan dalam pengembangannya. Biasanya mempelajari model-model pembelajaran
didasarkan pada teori belajar yang dikelompokan menjadi empat model pembelajaran. Model
tersebut merupakan pola umum prilaku pembelajaran untuk mencapai kompetensi/tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Jocyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah
suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran
di kelas atau di luar kelas. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para
guruboleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan
pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran?


2. Bagaimana model pembelajaran cooperative learning?
3. Bagaimana model pembelajaran discovery learning?
4. Bagaimana model pembelajaran berdasarkan masalah?

3
C. Tujuan

1. Memahami terkait model pembelajaran


2. Memahami model pembelajaran cooperative learning
3. Memahami model pembelajaran discovery learning
4. Memahami model pembelajaran berdasarkan masalah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Model Pembelajaran
1. Defenisi Model Pembelajaran
Menurut Trianto (2009) model pembelajaran merupakan pendekatan yang luas dan
menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola
urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Sedangkan menurut Slavin (2010), model
pembelajaran adalah suatu acuan kepada suatu pendekatan pembelajaran termasuk tujuannya,
sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaanya.
Menurut Suprijono (2011: 45). Model dapat diartikan “bentuk”, dalam pemakaian secara
umum model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukurannya yang
diperoleh dari beberapa sistem. Model diartikan sebagai bentuk representasi akurat sebagai
proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak
berdasarkan model itu, lebih lanjut ia mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Model pembelajaran yang baik digunakan sebagai acuan perencanaan dalam pembelajaran
di kelas ataupun tutorial untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran yang sesuai
dengan dengan bahan ajar yang diajarkan (Trianto, 2011). Komarudin (2010), menjelaskan
model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai panduan atau
pedoman dalam melakukan aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas dapat dipahami bahwa model pembelajaran
merupakan salah satu hasil dari inovasi pendidikan berupa kerangka skenario pembelajaran
yang dibuat untuk mencapai tujuan atau hasil belajar tertentu. Model Pembelajaran harus
disesuaikan dengan tingkatan dan karakteristik kelas, pokok materi yang akan dibahas,
kesediaan media pembelajaran dan lainlain. Maka sangat penting untuk menentukan model
pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam suatu pembelajaran sehingga tujuan atau hasil
belajar tercapai.

2. Manfaat Model Pembelajaran


Menurut Joyce dan Weil (1980), ada beberapa kegunaan atau manfaat dari penggunaan
model pembelajaran, antara lain:

Memperjelas hubungan fungsional di

5
1) antara berbgai komponen, unsure atau elemen system tertentu.
2) Prosedur yang akan ditempuh dalam melaksanaan kegiatan dapat diidentifikasi secara
tepat.
3) Dengan adanya model maka berbagai kegiatan yang dicakupnya dapat dikendalikan.
4) Model akan mempermudah para administrator untuk mengidentifikasi komponen,
elemen yang mengalamani hambatan, jika kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak
efektif dan tidak produktif.
5) Mengidentifikasi secara tepat cara-cara untuk mengadakan perubahan jika pendapat
ketidaksesuaian dari apa yang telah dirumuskan.
6) Dengan menggunakan model, guru dapat menyusun tugas-tugas siswa menjadi suatu
keseluruhan yang terpadu.

B. Model Pembelajaran Cooperative Leraning


Roger, dkk (Miftahul Huda, 2014: 29), menyatakan bahwa cooperative is group
learning activity organized in such a way thet learning is based on the socially structured
change of information between learners in group which each learner is held accountable for
his or her own learning and is motivated to increase the learning of others (pembelajaran
kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip
bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara
kelompok-kelompok pembelajar yang didalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas
pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota
yang lain). Parker (Miftahul Huda, 2014: 29), mendefinisikan kelompok kecil kooperatif
sebagai suasana pembelajaran dimana para siswa saling berinteraksi dalam kelompok-
kelompok kecil untuk mengerjakan tugas akademik demi mencapai tujuan bersama.

Sistem pembelajaran Cooperative Learning atau pembelajaran Kooperatif (setelah


diadaptasi ke Indonesia) merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak
didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Pembelajaran Kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Cooperative
Learning mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk
menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk
mencapai tujuan bersama lainnya (Erman Suherman dkk dalam Arum Handini Primandari
(2010: 27)).

6
Roger dan David Johnson (Anita Lie dalam Arum Handini Primandari (2010: 28)),
mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok biasa dianggap Cooperative Learning. Untuk
mencapai hasil yang maksimal lima unsur model pembelajaran harus diterapkan, yaitu

a. Saling ketergantungan positif


Keberhasilan suatu kelompok ditentukan oleh partisipasi dan usaha semua
anggota. Setiap anggota dalam kelompok mempunyai tugas sendiri. Jika salah satu
anggota tidak menjalankan perannya maka keberhasilan kelompok menjadi tidak
optimal atau bahkan gagal.
b. Tanggung jawab perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari usur pertama. Setiap anggota
kelompok memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Siswa
yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya akan menghambat kerja anggota
kelompok yang lain.
c. Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan mendorong para pembelajar membentuk
sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa kepala akan
lebih kaya daripada pemikiran satu kepala. Inti dari sinergi ini adalah menghargai
peningkatan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
Setiap anggota kelompok mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga, sosial
ekonomi dan kemampuan yang berbeda satu dengan yang lain. Peningkatan ini akan
menjadi modal utama dalam saling memperkaya antar-anggota kelompok.
d. Komunikasi antar-anggota
Dalam kelompok perlu adanya komunikasi antar-anggotanya. Komunikasi ini
berwujud mengungkapkan ide atau gagasan dan mendengarkan pendapat anggota
lain. Siswa perlu dibekali dengan keterampilan komunikasi karena tidak setiap
siswa mempunyai kemampuan berbicara dan mendengarkan.
e. Evaluasi proses kelompok
Pengajar perlu untuk menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama. Evaluasi bertujuan agar
kerja sama selanjutnya berjalan lebih efektif.

1. Pengelolaan Kelas Model Cooperative Learning

7
Menurut Anita Lie (Arum Handini Primandari, 2010: 29), Ada tiga hal penting yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model Cooperative Learning, yakni
pengelompokan, semangat Cooperative Learning, dan penataan ruang kelas.
a) Pengelompokan
Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang
menonjol dalam metode pembelajaran Cooperative Learning. Kelompok heterogenitas
bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama,
sosio-ekonomi, dan etnik, serta kemampuan akademis. Kelompok heterogen
memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling
mendukung. Selain itu kelompok heterogen meningkatkan relasi dan interaksi antarras,
agaman, etnik, dan gender. Kelompok dalam Cooperative Learning dapat bersifat lebih
permanen atau berubah. Kelompok yang lebih permanen akan menghemat waktu,
memudahkan pengelolaan kelas, dan meningkatkan semangat gotong royong karena
siswa sudah saling mengenal dengan cukup baik. Kelompok yang berubah- ubah akan
memperluas kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dengan siswa-siswa yang lainya.
b) Semangat Cooperative Learning

Semangat Cooperative Learning bisa disebut juga dengan semangat gotong


royong. Agar kelompok bisa bekerja lebih efektif dalam proses pembelajaran
gotong royong, masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat
gotong royong. Semangat gotong royong dapat dirasakan dengan membina niat dan
kiat siswa dalam bekerja sama dengan siswa-siswa lainnya.

c) Penataan ruang kelas

Ruang kelas perlu ditata sedemikian sehingga dapat menunjang pembelajaran


Cooperative Learning. Ada beberapa kemungkinan beberapa model penataan bangku
yang bisa dipakai :

1) Meja tapal kuda : siswa berkelompok di ujung meja

2) Meja panjang : siswa berkelompok di ujung meja

3) Penataan tapal kuda : siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan

4) Meja laboratorium

5) Meja kelompok : siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan

6) Klasikal : siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan

8
7) Meja berbaris : dua kelompok duduk berbagi dalam satu meja.

Menurut Arends (Arum Handini Primandari, 2010: 32), Cooperative Learning


dapat menguntungkan bagi siswa yang berprestasi rendah maupun tinggi yang
mengerjakan tugas akademik bersama-sama. Mereka yang berprestasi tinggi mengajari
teman-temannya yang berprestasi lebih rendah, sehingga memberikan bantuan khusus
kepada sesama teman yang memiliki minat dan bahasa berorientasi-kaum muda yang
sama. Dalam prosesnya, mereka yang berprestasi tinggi juga memperoleh hasil secara
akademik karena bertindak sebagai tutor menuntut untuk berfikir lebih mendalam
tentang hubungan di antara berbagai ide dalam subyek tertentu.

2. Prinsip Model Pembelajaran Kooperatif


Menurut Hosnan (2014:242) prinsip-prinsip model pembelajaran kooperatif yaitu:
a. Belajar aktif.
Ditunjukkan dengan adanya keterlibatan intelektual dan emosional dalam proses
pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk diskusi, mengemukakan pendapat dan
idenya, melakukan eksplorasi terhadap materi yang sedang dipelajari serta menafsirkan
hasilnya secara bersama-sama di dalam kelompok.
b. Pendekatan konstruktivistik.
Strategi pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk mampu
membangun pengetahuan secara bersama- sama di dalam kelompok. Mereka didorong
untuk menemukan dan mengonstruksi materi yang sedang dipelajari melalui diskusi,
observasi atau percobaan.
c. Pendekatan kooperatif.
Pendekatan ini mendorong dan memberi kesempatan kepada siswa untuk terampil
berkomunikasi. Artinya, siswa didorong untuk mempu menyatukan pendapat atau
idenya dengan jelas, mendengarkan orang lain dan menganggapinya dengan tepat.
3. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan penerapan model pembeleajaran kooperatif menurut Huda, Miftahul
(2014:68) adalah sebagai berikut:

a. Free Rider. Jika tidak dirancang dengan baik, pembelajaran kooperatif justru
berdampak pada munculnya “free rider” atau “pengendara bebas”. Yang
dimaksudkan free rider disini adalah penerapan siswa yang tidak tanggungjawab
secara personal pada tugas kelompoknya mereka hanya ”mengerkor” apa saja
yang dilakukan oleh teman-teman satu kelompoknya yang lain. Free rider ini

9
sering muncul ketika kelompok-kelompok koopeatif ditugaskan untuk
menangani satu lembar kerja, satu proyek, atau satu laporan tertentu. Untuk
tugas-tugas seperti ini, sering kali ada satu atau beberapa anggota yang
mengerjakan hampir semua pekerjaan kelompoknya, sementara sebagian
anggota yang lain justru “bebas berkendara”, berkeliaran ke mana-mana.

b. Diffusion of Responsibility. Yang dimaksud dengan diffusion of responsibility


(penyebaran tanggung jawab) ini adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota
yang dianggap tidak mampu cenderung diabaikan oleh anggota-anggota lain
yang “lebih mampu”. Misalnya, jika mereka ditugaskan untuk mengerjakan
tugas matematika, beberapa anggota yang dipersepsikan tidak mampu berhitung
atau menggunakan rumus-rumus dengan baik sering kali tidak dihiraukan oleh
teman-teman yang lain. Bahkan, mereka yang memiliki skill matematika yang
baik pun terkadang malas mengajarkan keterampilannya pada teman-temannya
yang kurang mahir di bidang matematika. Bagi merka, hal ini hanya membuang-
buang waktu dan energi saja.

c. Learning a part of task specalization: dalam beberapa metode tertentu, seperti


jigsaw, group investigation, dan metode-metode lain yang terkait, setiap
kelompok ditugaskan untuk memperlajari atau mengerjakan bagian materi yang
berbeda antara satu sama lain. Pembagian semacam in sering kali membuat siswa
hanya fokus pada bagian materi lain yang dikerjakan kelompok lain hampir tidak
digubris sama sekali, padahal semua materi tersebut saling berkaitan satu sama
lain.
Selain memiliki kelemahan, model pembelajaran kooperatif juga memiliki
kelebihan. Kelebihan model pembelajaran kooperatif diungkapkan oleh Hosnan
(2014:264) sebagai berikut:
a. Melalui strategi pembelajaran kooperatif, siswa tidak terlalu menggantungkan
pada guru, tetapi dapat menambah kepercayaan berpikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber dan dapat belajar dari siswa yang lain

b. Dapat mengembangkan kemampuan, mengembangkan ide atau gagasan dengan


kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.

c. Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab


dalam belajar.

10
d. SPK merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi
akademik sekaligus kemampuan sosial.

e. Dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan


kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil).

f. Siswa tidak lagi terlalu terantung kepada guru, tetapi dengan SPK ini siswa
menemukan kepercayaan dirinya, menemukan informasi dari berbagai sumber
belajar dari siswa lain.

g. SPK dapat membantu siswa respek pada orang lain dan menyadari akan segala
keterbatasan serta menerima segala perbedaan.

h. SPK merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi
akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga
diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan
keterampilan me-manage waktu dan sikap positif terhadap sekolah.

i. Melalui SPK dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan
pembahamannya sendiri, menerima umpan balik, siswa dapat berpraktik
memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang
dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.

j. Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan


memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini bergguna untuk proses
pendidikan jangka panjang.

4. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif


Menurut Hosnan (2014:241), karakteristik model pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut:
a. Positive interdependence. Hal ini menunjukkan saling ketergantungan di antara
anggota kelompok. Bila salah satu gagal, maka yang lain akan ikutgagal. Jadi, setiap
anggota harus berusaha keras agar tercapai keberhasilan individual, karena setiap
individu yang gagal dan berhasil akan saling mempengaruhi.
b. Individual accountability. Jadi, setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kelompok agar hasil
belajar menjadi baik.

11
c. Face to face promotive interaction. Maksudnya adalah setiap anggota kelompok
harus saling membelajarkan dan mendorong agar tujuan dan tugas yang diberikan
dapat dikuasai oleh semua anggota kelompok.
d. Appropriate use of collaborative skills. Dalam kelompok ini, setiap individu
berlatih untuk dapat dipercaya, mempunyai jiwa kepemimpinan, dapat mengambil
keputusan, mampu berkomunikasi, dan memiliki ketrampilan untuk mengatur
konflik.
e. Group processing. Setiap anggota harus dapat mengatur keberhasilan kelompok,
secara berkala mengevaluasi kelompoknya, serta mengidentifikasi perubahan yang
akan dilakukan agar pekerjaan kelompoknya lebih efektif lagi.
5. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif
Adapun yang menjadi tujuan dalam model pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim
dkk dalam Hosnan (2014:239) adalah sebagai berikut:
a. Pertama, bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa strategi ini unggul dalam membantu siswa dalam
memahami konsep- konsep yang sulit. Strategi struktur penghargaan kooperatif
juga telah meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan
norma yang berhubungan dengan hasil belajar.
b. Kedua, penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya,
kelas sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif
memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk
bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui
penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama
lain.
c. Ketiga, mengajarkan kepada siswa terampil bekerjasama dan kolaborasi.
Keterampilan ini penting karena banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang
dalam keterampilan sosial.
6. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Hosnan (2014:245) langkah-langkah pembelajaran kooperatif
dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Langkah Indikator Tingkah laku guru
Langkah 1 Menyampaikan Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan
tujuan dan mengomunikasikan kompetensi dasar yang
motivasi siswa. akan dicapai serta memotivasi siswa.

12
Langkah 2 Menyajikan Guru menyajikan informasi kepada siswa
informasi
Langkah 3 Mengorganisasika Guru menginformasikan pengelompokan
n siswa ke dalam siswa.
kelompok-
kelompok belajar.
Langkah 4 Membimbing Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja
kelompok belajar.
siswa dalam kelompok-kelompok belajar.
Langkah 5 Evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Langkah 6 Memberikan Guru memberikan penghargaan hasil belajar
penghargaan individual dan kelompok.
Dari beberapa penjelasan dan pemaparan maka langkah-
langkah pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :

1. Sebelum Pembelajaran.

Merupakan hal-hal yang harus dipersiapkan oleh guru sebelum pembelajaran


berlangsung. Terdiri atas : memilih metode, teknik, dan struktur pembelajaran
kooperatif, menata ruang kelas untuk pembelajaran kooperatif, merangking
siswa, menentukan jumlah kelompok, membentuk kelompok-kelompok

2. Saat Pembelajaran

Merupakan hal-hal/ langkah-langkah yang harus dikerjakan oleh seorang


guru dalam pembelajaran kooperatif : menyampaikan tujuan dan motivasi
siswa, menyajikan informasi/ mempresentasikan materi pembelajaran,
mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar,
membagikan lembar kerja siswa, membimbing kelompok belajar,

3. Setelah pembelajaran

Memuat hal-hal yang harus dilakukan guru setelah pembelajaran : evaluasi/


menugaskan siswa mengerjakan kuis secara mandiri, menilai dan menskor
kuis siswa, memberikan penghargaan.

C. Model Pembelajaran Discovery Learning


1. Definisi Dscovery Learning Menurut Beberapa Ahli
Menurut Budiningsih (2005:43), “Model Discovery Learning adalah cara belajar
memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai
kepada suatu kesimpulan”.

13
Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund ”discovery adalah proses
mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip”. Proses
mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat
dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah,
2001:20), sedangkan menurut Bruner, “penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara
dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu”.
Dengan demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar
untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi
yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan (Markaban, 2006:9).
Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan
yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjukpetunjuk guru.
Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87).
Dari pengertian yang telah dijabarkan tersebut dapat disimpulkan bahwa Discovery
Learning merupakan model pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menemukan
secara mandiri pemahaman yang harus dicapai dengan bimbingan dan pengawasan guru.

2. Karakteristik discovery learning


Masing-masing model pembelajaran, memiliki karakteristik/ ciri utama yang
membedakan dengan model lainya. Adapun ciri utama dalam model discovery (penemuan)
menurut Hosnan (2014:284) adalah mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan, dan menggeneralisasikan pengetahuan; berpusat pada
siswa; kegiatan untuk mengggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah
ada. Menurut Hosnan (2014:284) model pembelajaran discovery merupakan pembelajaran
konstruktivisme yang memiliki ciri-ciri lebih lanjut sebagai berikut:
1) Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
2) Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
3) Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan pada
hasil.
4) Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
5) Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
6) Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
7) Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
8) Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip kognitif.
9) Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses

14
pembelajaran seperti prediksi, infersi, kreasi, dan analisis.
10) Menekankan pentingnya “bagaimana” siswa belajar.
11) Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan
siswa lain dan guru.
12) Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
13) Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
14) Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
15) Memberikan kesempayan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata.

3. Tujuan discovery learning

Beberapa pengertian model pembelajaran discovery memberikan jawaban atas


tujuan model pembelajaran ini. Adapun tujuan model pembelajaran discovery menurut
Bell dalam Hosnan (2014: 284) adalah:

a. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat aktif dalam


pembelajaran. Kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak siswa
dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.

b. Melalui pembelajaran penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam


situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan
(extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.

c. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan
menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat
dalam menemukan.

d. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja


bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan
menggunakan ide-ide orang lain.

e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa keterampilan-


keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui
penemuan lebih bermakna.

f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam


beberapa kasus lebih mudah ditransfer untuk aktivitas baru dan diaplikasikan

15
dalam situasi belajar baru.

Pendapat Bell memberikan tujuan yang jelas mengenai pembelajaran penemuan


(model discovery). Dalam pendapatnya dikatakan bahwa melalui model
pembelajaran discovery keterlibatan aktif siswa meningkat, selain itu model
pembelajaran discovery dapat dilakukan dalam situasi abstrak. Situasi tersebut
memberikan keuntungan bagi guru mata pelajaran eksak seperti matematika. Selain
itu, pembelajaran discovery membantu siswa belajar merumuskan strategi tanya
jawab untuk memperoleh informasi. Informasi yang diperolah dapat berasal dari
guru maupun temannya. Hal tersebut membantu siswa untuk membentuk cara
bekerja sama dan saling berbagi informasi. Bel juga berpendapat bahwa melalui
penemuan, pengetahuan yang diperoleh siswa akan lebih bermakna. Melalui
keterampilan penemuan, siswa dapat dengan mudah menemukan hal-hal baru pada
pembelajaran yang lain.

Sedangkan tujuan model pembelajaran discovery menurut Ilahi (2012) dijelaskan


sebagai berikut:

a. Untuk mengembangkan kreativitas. Dalam pembelajaran discovery


menuntut adanya hasil karya siswa melalui pengkajian. Melalui tahap
tersebut, kreativitas siswa akan berkembang dalam hal yang lainnya.

b. Untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam belajar. Pembelajaran


discovery melibatkan aktifitas fisik dan mental karena siswa dituntut untuk
menemukan sendiri.

c. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan kritis.

d. Untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran.

e. Untuk belajar memecahkan masalah.


f. Untuk mendapatkan inovasi dalam proses pembelajaran.

4. Kelebihan dan kelemahan discovery learning


Sebagai sebuah model, discovery merupakan model pembelajaran yang sangat
disarankan oleh ahli pendidikan. Namun demikian, masih ada kelemahan- kelemahan dalam
penerapan model pembelajaran discovery antara lain seperti yang diungkapkan oleh Hosnan
(2014:288) sebagai berikut:
1) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara

16
guru dengan siswa.
2) Menyita waktu banyak. Guru dituntut untuk mengubah kebiasaan mengajar
yang umumnya sebagai pemberi informasi mennjadi fasilitator, motivator,
dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru, ini bukan
pekerjaan yang mudah karena itu guru memerlukan waktu yang banyak, dan
sering kali guru merasa belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi
dan membimbing siswa belajar dengan baik.
3) Menyita pekerjaan guru.
4) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
5) Tidak berlaku untuk semua topik.
Bertolak dari beberapa kelemahan dalam penerapannya model pembelajaran
discovery, juga memiliki kelebihan antara lain seperti yang diungkapkan oleh
Hosnan (2014:287) sebagai berikut:

1) Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan


keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan
merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.

2) Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah


(problem solving).

3) Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer.

4) Strategi ini memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan


sesuai dengan kecepatannya sendiri.

5) Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri


dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.

6) Strategi ini dapat membantu peserta didik memperkuat konsep dirinya,


karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.

7) Berpusat pada peserta didik dan guru berperan sama-sama aktif


mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan guru pun dapat bertindak sebagai
peserta didik, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.

8) Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keraguan-keraguan)


karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu dan pasti.

17
9) Peserta didik akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.

10) Membantu dan mengambangkan ingatan dan transfer pada situasi proses
belajar yang baru.

11) Mendorong peserta didik berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.

12) Mendorong peserta didik berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis


sendiri.

13) Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.

14) Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.

15) Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, karena tumbuhanya rasa
menyelidiki dan berhasil.

16) Proses belajar meliputi sesama aspeknya peserta didik menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.

5. Langkah-Langkah Discovery Learning


Adapun langkah-langkah discovery menurut Syah dalam Hosnan
(2014:283) ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum.
1) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)

Setelah dilakukan stimulasi, langkah guru selanjutnya adalah memberi


kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pernyataan masalah).

2) Stimulation (Stimulasi/ pemberian rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada suatu yang


menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu, guru
dapat memulai kegiatan PBL dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca
buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi

18
belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam
mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini, Bruner memberikan stimulasi dengan
menggunakan teknik bertanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.

3) Data Collection (Pengumpulan data)

Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan
benar tidaknya hipotesis. Pada tahap ini, berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca litelatur,
mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan
sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah peserta didik belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan
demikian secara tidak sengaja peserta didik menghubungkan masalah dengan pengetahuan
yang telah dimiliki.

4) Data Processing (pengolahan data)

Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah
diperoleh peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya. Selanjutnya
ditafsirkan, dan semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu
dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tententu. Data
processing disebut juga dengan pengkodean/ kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut peserta didik akan
mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (pembuktian)

Pada tahap ini, peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil
pengolahan dan tafsiran informasi yang ada, pertanyaan atau hipotesis yang telah
dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah
terbukti atau tidak. Pembuktian menurut bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-

19
contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

6) Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi)

Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah


kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Berdasarkan hasil
verifikasi, maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah
menarik kesimpulan peserta didik harus memperhatikan proses generalisai yang
menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-
prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses
pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

D. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)


1. Definisi Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Komalasari (2013:58-59) pembelajaran berbasis masalah adalah: Model
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
utuk belajar tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran. Dalam hal ini siswa
terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan
keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran.
Wardani (2007:27) mengatakan, “Model pembelajaran berbasis masalah dapat
menyajikan masalah autentik dan bermakna sehingga siswa dapat melakukan penyelidikan
dan menemukan sendiri”. Dan model pembelajaran berbasis masalah menurut Suradijono
(dalam Pitriani, 2014:32) adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan data dan mengintegrasikan pengetahuan baru”.
Adapun pendapat Bern dan Erickson (dalam Komalasari, 2001:5) pembelajaran berbasis
masalah adalah: Model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah
dengan mengintegrasi berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu.
Strategi ini meliputi mengumpulkan dan menyatukan informasi, dan mempresentasikan
penemuan.
Beberapa definisi menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu strategi pembelajaran yang digunakan
oleh guru dalam proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan masalah sebagai
langkah untuk mengumpulkan pengetahuan, sehingga dapat merangsang siswa untuk

20
berfikir kritis dan belajar secara individu maupun kelompok kecil sampai menemukan
solusi dari masalah tersebut. Peran guru pada model pembelajaran masalah yaitu sebagai
fasilitator dan membuktikan asumsi juga mendengarkan perspektif yang ada pada siswa
sehingga yang berperan aktif di dalam kelas pada saat pembelajaran adalah siswa.
2. Karakterisktik Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Arends (dalam Hariyanto dan Warsono, 2012:410) ciri yang paling utama dari
model pembelajaran berbasis masalah yaitu:
1) Pengajuan pertanyaan atau masalah
a. Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan dunia nyata siswa;
b. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, tidak menimbulkan masalah
baru;
c. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa;
d. Luas dan sesuai tujuan pembelajaran;
e. Bermanfaat, yaitu masalah tersebut bermanfaat bagi siswa;
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu
Walaupun pembelajaran berbasis masalah ditujukan pada suatu ilmu bidang
tertentu tetapi dalam pemecahan masalah-masalah aktual, peserta didik dapat
menyelidiki dari berbagai ilmu.
3) Penyelidikan autentik (nyata)
Dalam penyelidikan siswa menganalisis dan merumuskan masalah,
mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis
informasi, melakukan eksperimen, membuat kesimpulan dan menggambarkan hasil
akhir.
4) Menghasilkan produk dan memamerkannya
Siswa bertugas menyusun hasil belajarnya dalam bentuk karya dan memamerkan
hasil karyanya;
5) Kolaboratif
Tugas-tugas belajar berupa masalah diselesaikan bersama-sama antar siswa.
Berdasarkan pendapat Arends mengenai karakteristik model pembelajaran berbasis
masalah dapat ditarik kesimpulan model pembelajaran berbasis masalah pada kegiatan
proses pembelajaran dimulai dengan memberikan masalah yang jelas pada siswa
yanberakar pada kehidupan dunia nyata, kemudian siswa harus mengumpulkan data,
mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen dan menarik kesimpulan secara

21
berkelompok, sehingga siswa sangat berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran dan
guru sebagai fasilitator juga memperhatikan keterampilan bertanya siswa.
3. Manfaat Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Smith (dalam Amir, 2013:27), manfaat pembelajaran berbasis masalah adalah:

1) Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar. Kedua hal ini
ada kaitannya, kalau pengetahuan itu didapatkan lebih dekat dengan konteks
praktiknya, maka kita akan lebih ingat. Pemahamanan juga demikian, dengan
konteks yang dekat dan sekaligus melakukan banyak mengajukan pertanyaan
menyelidiki bukan sekedar hafal saja maka pembelajaran akan lebih memahami
materi.
2) Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan. Dengan kemampuan pendidik
membanguan masalah yang sarat dengan konteks praktik, pembelajaran bisa
merasakan lebih baik konteks operasinya di lapangan.
3) Mendorong untuk berfikir. Dengan proses yang mendorong pembelajaran untuk
mempertanyakan, kritis, reflektif maka mafaat ini berpeluang terjadi. Pembelajaran
dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyipulkan, mencoba menemukan landasan
argumennya dan fakta-fakta yang mendukung alasan. Nalar pembelajaran dilatih
dan kemampuan berfikir ditingkatkan. Tidak sekedar tahu, tapi juga dipikirkan.
4) Membangun kerja tim, kepemimpinan dan keterampilan sosial Pembelajaran
diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima pandangan orang lain,
bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang yang barangkali tidak
mereka senangi. Keterampilan yang sering disebut bagian dari soft skills ini, seperti
juga hubungan interpersonal dapat mereka kembangkan. Dalam hal tertentu,
pengalaman kepemimpinan juga dapat dirasakan. Mereka mempertimbangkan
strategi memutuskan dan persuasif dengan orang lain.
5) Membangun kecakapan belajar. Pembelajaran perlu dibiasakan untuk mampu
belajar terus meneru. Ilmu keterampilan yang mereka butuhkan nanti akan terus
berkembang, apapun bidang pekerjaannya. Jadi mereka harus mengembangkan
bagaimana kemampuan untuk belajar.
6) Memotivasi pembelajaran. Motivasi belajar pembelajaran, terlepas dari apapun
metode yang kita gunakan, selalu menjadi tantangan. Dengan model pembelajaran
berbasis masalah, kita punya peluang untuk membangkitkan minat dari dalam diri,
karena kita menciptakan masalah dengan konteks pekerjaan.

22
4. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Hariyanto dan Warsono (2012:52), kelebihan dari penerapan model
pembelajaran berbasis masalah antara lain:
1) Siswa akan terbiasa menghadapi masalah dan merasa tertantang untuk
menyelesaikan masalah, yang ada dalam kehidupan sehari-hari;
2) Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman
sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya;
3) Semakin mengakrabkan guru dengan siswa;
4) Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui
eksperimen hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metedo
eksperimen.

Menurut Hariyanto dan Warsono (2012:152), kekurangan dari model pembelajaran


berbasis masalah antara lain:

1) Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan


masalah;
2) Seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang panjang:
3) Aktivitas siswa yang dilaksanakan diluar sekolah sulit dipantau guru.
5. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Arends (dalam Hariyanto dan Warsono, 2012, h. 401) mengemukakan sintaks
pembelajaran berbasis masalah yaitu:
1) Orientasi siswa pada masalah. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik (bahan dan alat) apa yang diperlukan bagi penyelesaian
masalah serta memberikan motivasi kepada siswa agar menaruh perhatian terhadap
aktivitas penyelesaian masalah.
2) Mengorganisasi siswa. Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan pembelajaran agar relevan dengan penyelesaian masalah.
3) Membimbing penyelidikan indvidu maupun kelompok. Guru mendorong siswa
untuk mencari informasi yang sesuai, melakukan eksperimen, dan mencari
penjelasan dan pemecahan masalah.
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil. Guru membantu siswa dalam perencanaan
dan perwujudan hasil yang sesuai dengan tugas yang diberikan;

23
5) Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap hasil penyelidikannya serta
proses-proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

24
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Menurut Trianto (2009) model pembelajaran merupakan pendekatan yang luas dan
menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola
urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Sedangkan menurut Slavin (2010), model
pembelajaran adalah suatu acuan kepada suatu pendekatan pembelajaran termasuk tujuannya,
sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaanya.
pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir
oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial
diantara kelompok-kelompok pembelajar yang didalamnya setiap pembelajar bertanggung
jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-
anggota yang lain). Parker (Miftahul Huda, 2014: 29), mendefinisikan kelompok kecil
kooperatif sebagai suasana pembelajaran dimana para siswa saling berinteraksi dalam
kelompok- kelompok kecil untuk mengerjakan tugas akademik demi mencapai tujuan bersama.
Menurut Budiningsih (2005:43), “Model Discovery Learning adalah cara belajar
memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada
suatu kesimpulan. Menurut Komalasari (2013:58-59) pembelajaran berbasis masalah adalah:
Model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
utuk belajar tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran.

1
DAFTAR PUSTAKA
• Primandari, Arum Handini. 2010. Upaya Meningkatkan Kemampauan Pemecahan
Masalah Siswa Kelas VIII A SMP N 2 Nanggulan dalam Pembelajaran Matematika
Pokok Bahasan Bangun Ruang Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Think-Pair-Square. Skripsi Belum Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Negri
Yogyakarta.
• Ali Muhammad. 2004. Belajar Adalah Suatu Perubahan Perilaku, Akibat Interaksi
Dengan Lingkungannya. Tersedia: http://www.sarjanaku.com /2011/03/ pengertian-
definisi-hasil-belajar.htm
• Amir, A. (2013) Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.
• Fitriani, Dwi Dkk. 2014. “Upaya Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar
Matematika Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning”.Jurnal Ekuivalen
FKIP UMP 8 (1) : 19 – 24
• Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.
Bogor : Ghalia Indonesia
• Warsono dan Hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
• I.G.A.K. Wardani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka
KTSP SD/MI 2011
• Budiningsih. (2005). Model Discovery Learning. Jakarta: Pustaka Mandiri.
• Roestiyah, N.K. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
• Illahi, Mohammad Takdir. 2012. Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental
Vocational Skill. Jogjakarta: Diva Press.
• Markaban, 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan
Terbimbing. Yogyakarta : Departemen Pendidikan Nasional PPPG Matematika.
• Trianto (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Surabaya:Kencana
• Agus Suprijono. 2011. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
• Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstul : Konsep dan Aplikasi. Bandung
: PT Refika Adiatama.
• Joyce, Bruce and Weil, Marsha. 1980. Models of Teaching (Second Edition).
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
• Huda Miftahul. (2014). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
• Komarudin. 2010. Vehicle Routing Problem
(VRP).http://staff.blog.ui.ac.id/komarudin74/2010/09/14/vehicle-routing-problem-
vrp/. Akses, 29 Agustus 2012.

Anda mungkin juga menyukai