Istilah “Perikatan” berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis”. Secara terminologi, “Verbintenis”
berasal dari kata kerja “Verbinden” yang artinya mengikat. Menurut Hofman yang dikutip oleh
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-
subjek hukum yang mengikatkan dirinya masing-masing untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Menurut Subekti dalam
bukunya, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana satu
pihak berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lainnya berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.
Adapun menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, bahwa perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi anatara individu satu dengan individu lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari
pengertian ini dapat diketahui bahwa perikatan dalam arti luas itu dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), bidang hukum keluarga (family law), bidang hukum warisan (law of
succession), dan dalam bidang hukum pribadi ( law of personal).
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang
atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur)
atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati
dalam perjanjian.
Dari beberapa definisi perikatan menurut para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa perikatan
adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih dalam bidang kekayaan, yang mana subyek
hukum atau pihak-pihak tersebut terdiri dari kreditur (pihak yang berkewajiban memberikan
prestasi) dan debitur (pihak yang berhak mendapatkan prestasi).
Buku III Bab IIII KUH Perdata mengatur tentang perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang.
Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang, pembentuk undang-undang tidak menentukan
aturan umumnya karena perikatan ini sesuai dengan namanya perikatan yang bersumber dari
undang-undang maka isinya terlepas dari kemauan dari para pihak.
Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa:
Perkataan “dari undang-undang” sebagai akibat perbuatan orang dapat ditemukan lagi subnya yang
diatur dalam Pasal 1353 KUH Perdata yang berbunyi:
“Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, terbit dari perbuatan halal atau
perbuatan melawan hukum”.
B. Ruang lingkup hukum perikatan yang timbul dari UU
Salah satu asas dalam hukum perikatan adalah asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas
untuk mengadakan perjanjian. Akan tetapi, jika asas ini diberlakukan dalam perikatan yang lahir dari
undang-undang maka asas ini tidak berlaku. Karena suatu perbuatan menjadi perikatan adalah
karena kehendak undang-undang. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian, maka
pembentuk undang-undang memberikan aturan-aturan yang umum. Berbeda dengan perikatan
yang lahir dari undang-undang dimana pembentuk undang-undang tidak memberikan aturan-aturan
umum. Yakni jika ingin mengetahui beberapa perikatan-perikatan tersebut, maka harus dilihat pada
peraturan yang mengetahui materi yang bersangkutan tersebut.
Perikatan yang bersumber pada undang-undang diatur dalam bab III KUH Perdata pasal 1352- 1380
yaitu suatu perikatan yang timbul atau adanya karena telah ditentukan dalam undang-undang itu
sendiri. Untuk terjadinya perikatan berdasarkan berdasarkan undang-undang harus selalu dikaitkan
dengan suatu kenyataan atau peristiwa tertentu. Yakni bahwa untuk terjadinya perikatan selalu
disyaratkan terdapatnya kenyataan hukum.
Menurut pasal 1352 KUH Perdata : “Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang,
timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang ”.
Dari ketentuan tersebut, maka perikatan yang bersumber dari undang-undang meliputi:
Yaitu perikatan yang timbul atau adanya perikatan tersebut karena adanya suatu keadaan tertentu,
misalnya hubungan kekeluargaan seperti :
Menurut pasal 1353 KUH Perdata, bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan undang-undang
sebagai akibat perbuatan manusia, muncul dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan
hukum. Jadi, perikatan ini terdiri dari dua sebab, yaitu karena perbuatan halal atau perbuatan yang
tidak melanggar hukum, dan perbuatan melawan hukum.
Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia tersebut meliputi :
Pasal 1352 KUH Perdata, menentukan bahwa perbuatan manusia berdasarkan haknya, diantaranya :
Perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya
dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan resiko orang tersebut.
Perwakilan sukarela ini diatur dalam pasal 1354-1358 KUH Perdata.
Perwakilan sukarela meliputi perbuatan nyata dan perbuatan hukum. Sepanjang mengenai
perbuatan nyata perwakilan sukarela bagi kepentingan orang tidak cakap. Sedangkan jika mengenai
perbuatan hukum hal itu masih mungkin, sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak melanggar
ketentuan-ketentuan undang-undang.
Pemberia Kuasa:
Wakil Sukarela:
1. timbul dari UU sebagai akibat dari perbuatan manusia yang menurut hukum.
2. Bila yang diwakili kepentingannya meninggal, tetap berjalan sampai selesai dan diserahkan
pada ahli warisnya.
3. Tidak ada upah, hanya penggantian biaya yang telah dikeluarkan.
Pasal 1359 KUH Perdata menytakan “tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa
yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Pasal tersebut memberikan
arti bahwa apabila seseorang yang menbayar tanpa ada hutang, maka orang tersebut berkak
menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan. Sedangkan orang yang telah menerima harta tersebut
wajib mengembalikannya. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1360 & 1361KUHPerdata.
Syarat menuntut kembali pembayaran yang tidak diwajibkan:
Yang menerima ada itikad buruk ,telah menerima sesuatu yang tidak harus dibayarkan
diwajibkan mengembalikannya dengan bunga dan hasil-hasilnya terhitung dari hari
pembayaran
Pasal 1359 ayat 2 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan alami yang secara sukarela dipenuhi,
tak dapat dituntut pengembaliannya.
Adanya perikatan didasarkan pada hukum positif, baik yang sejak semula memang tidak mempunyai
tuntutan hukum, maupun oleh karena keadaan yang timbul kemudian tuntutan hukumnya menjadi
hapus.
Contoh:
Dapat terjadi disamping adanya ketentuan yang ada dalam UU, juga dimungkinkan dapat timbul atas
dasar kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat (moralitas).
Contoh :
Memberikan pertolongan terhadap orang yang kecelakaan di jalan. Ia tidak dapat menggugat
imbalan jasa.
1. Perikatan yang berdasarkan UU atau kehendak para pihak yang sejak semula tidak
mengandung hak penuntutan.
2. Kewajiban yang timbul dari moral dan kepatutan yang bersifat mendesak.
b) Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad)
Perbuatan melawan hukum, yg menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yg krn kesalahnnya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang
hati-hatiannya.