Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENGANTAR SEJARAH PEMIKIRAN POLITIK DI

INDONESIA

SOEHARTO: DALAM ARUS PAHAM KEKUASAAN JAWA

Dosen Pengampu:

Dr. Abdurakhman,S.S., M.Hum.

Raisye Soleh Haghia, M.Hum.

Disusun Oleh:

Razan Tenaya Athallah (2006586175)

Ikhsan Alfahri (2006586313)

Farrell Rafif Adli (2006586212)

PRODI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah sejarah ini. Penulis berusaha
menyusun makalah ini sedemikian rupa dengan harapan dapat memenuhi kewajiban tugas
sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah dalam mata kuliah Pengantar Sejarah Pemikiran Politik di
Indonesia yang diampu oleh Dr. Abdurakhman,S.S., M.Hum. dan Raisye Soleh Haghia,
M.Hum. Makalah ini berjudul Soeharto: dalam Arus Paham Kekuasaan Jawa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Abdurakhman,S.S., M.Hum. dan Raisye
Soleh Haghia, M.Hum. atas bimbingan beliau dalam penyusunan makalah ini dan juga teman
teman mahasiswa kelas B Ilmu Sejarah 2020 yang mau berbagi ilmu bersama penulis. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan sehingga penulis
berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca khususnya Dr. Abdurakhman,S.S.,
M.Hum. dan Raisye Soleh Haghia, M.Hum. selaku dosen mata kuliah Sejarah Dunia Modern.
Akhir kata, terima kasih.

Depok, 21 Juni 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................... 1

Daftar Isi ................................................................................................................................... 2

BAB I Pendahuluan ................................................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 3

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................. 3

1.3 Tujuan ............................................................................................................................... 4

Bab II Pembahasan .................................................................................................................. 5

2.1 Pengertian Ilmu Politik ..................................................................................................................................... 5


2.2 Konsep Politik Tradisional Jawa ................................................................................................................. 6
2.3 Perbedaan Antara Politik Tradisional Jawa dan Politik Barat ....................................................... 7
2.4 Latar Belakang Pemahaman Kekuasaan Jawa oleh Soeharto ........................................................ 8
2.5 Pancasila dalam Pandangan Soeharto ........................................................................................................ 9
2.6 Implementasi Politik Tradisional Jawa Dalam Rezim Soeharto ................................................ 11

Bab III Penutup ................................................................................................................. 13


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................................... 13

Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 14

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsep politik Jawa merupakan salah satu aliran politik di Indonesia selain komunisme,
sosialisme, nasionalisme, dan islam. Pada dasarnya konsep politik tradisional jawa merupakan
suatu bentuk pemikiran politik yang menempatkan seseorang sebagai penguasa secara kosmis
yang menjadi penghubung antara rakyat yang ia pimpin dan alam semesta. Konsep politik jawa
yang menempatkan pemimpin tunggal ini dapat dilihat praktiknya di dalam periode Orde Baru
dibawah pimpinan Presiden Soeharto yang memerintah lebih dari 3 dekade lamanya dalam
kancah perpolitikan bangsa Indonesia.

Dalam periode ini Presiden Soeharto banyak menerapkan nilai - nilai dari politik jawa itu
sendiri sebagai usahanya mempertahankan legitimasi kekuasaannya di Indonesia. Hal yang
menarik disini adalah konsep yang digunakan oleh Presiden Soeharto dalam menerapkan tradisi
pemikiran politik jawa betul - betul terlihat. Sebagai contoh konsep bapakisme seolah muncul
dalam periode ini. Konsep penyederhanaan partai politik juga menunjukan indikasi bahwa
Presiden Soeharto menggunakan aliran politik jawa ini sebagai alat untuk memainkan peranan
politik yang lebih strategis dalam usaha mempertahankan kekuasaan.

Lebih lanjut makalah ini akan membahas mengenai konsep pemikiran jawa secara
kontekstual, serta aspek utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah penerapan politik
tradisional jawa oleh Presiden Soeharto di Indonesia berupa konsep mana yang ia gunakan,
kebijakan apa saja yang mengindikasikan adanya penerapan politik jawa di dalamnya, dan lain
- lain. Diharapkan dengan memahami dan mengkaji lebih dalam konsep politik jawa dalam
rezim Orde Baru, kita dapat memahami bagaimana politik asli Indonesia ini memainkan
peranannya dalam kancah perpolitikan nasional.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah kali ini adalah sebagai berikut :

1. Apa yang membedakan antara konsep politik tradisional jawa dengan konsep politik
barat ?

3
2. Apa saja bentuk konsep politik jawa yang masih digunakan oleh Presiden Soeharto
dalam menjaga iklim politik di Indonesia ?
3. Bagaimana Soeharto menggunakan konsep politik jawa dalam usahanya mengeluarkan
kebijakan - kebijakan dalam rangka mempertahankan kekuasaanya ?

1.3 Tujuan

Tujuan dalam makalah secara umum adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman mengenai apa itu konsep politik tradisional jawa.


2. Memberikan pemahaman mengenai perbedaan konsep politik jawa dengan politik barat
lainnya.
3. Memberikan gambaran mengenai penerapan konsep politik jawa oleh Presiden
Soeharto di Indonesia.

Tujuan makalah secara khusus adalah sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir mata kuliah
pemikiran politik semester genap.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Politik

Perkembangan ilmu politik mengalami kemajuan pesat sesudah perang dunia kedua di
seluruh dunia. Dalam perkembangannya ilmu politik banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu sosial
yang lain seperti sosiologi, psikologi maupun ilmu hukum. Di Yunani Kuno, pemikiran tentang
negara dan pemerintahan dimulai sekitar 450 S.M., seperti tercermin dalam karya filsafat Plato
dan Aristoteles, maupun karya sejarah Herodotus. Di Indonesia kita mendapati beberapa karya
tulis yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang
ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 Masehi dan Babad Tanah Jawi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem
politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem itu, dan bagaimana
melaksanakan tujuan-tujuannya. Definisi politik secara etimologis dapat dikatakan berasal dari
kata dalam bahasa Yunani Kuno yakni “polis” yang artinya adalah negara kota. Menurut Carl
Schmitt politik adalah alat untuk membedakan antara kawan dan lawan. Menurutnya hubungan
kawan dan lawan inilah yang menjadi esensi politik. F. Isjwara mendefinisikan ilmu politik
kedalam tiga golongan , yaitu :

a) Pendefinisian secara institusional (mempelajari lembaga-lembaga politik)

b) Pendefinisian secara fungsional (disamping mempelajari lembaga-lembaga


politik juga mempelajari fungsi-fungsi lembaga politik tersebut)

c) Pendefinisian secara hakekat politik, yakni kekuasaan (power) sebagai objeknya

Dapat dilihat bahwa konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan definisi ilmu
politik melibatkan beberapa aspek, diantaranya : (a) negara (state); (b) kekuasaan; (c)
pengambilan keputusan dan kebijakan publik (policy); (d) kompromi dan konsensus dan (e)
pembagian (distribution) atau alokasi. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama.

5
2.2 Konsep Politik Tradisional Jawa

Konsep pemikiran politik jawa hingga saat ini masih menjadi suatu pemikiran politik
yang baik disadari atau tidak disadari digunakan dalam dinamika perpolitikan bangsa ini.
Politik jawa sendiri pada dasarnya merupakan salah satu bentuk politik yang berbeda dengan
paham politik lainnya baik secara konseptual, proses, maupun konsep. Hal itu tidak terlepas
dari bagaimana konsep dari kekuasaan dalam politik jawa. Secara umum aspek yang paling
membedakan antara politik jawa dengan politik lainnya adalah hubungan antara penguasa dan
tuhan atau dewa. Hal ini tentunya sejalan dengan konsep dewa raja dari agama hindu – budha
di Indonesia dimana legitimasi kekuasaan raja dianggap atau digambarkan sebagai utusan
tuhan, wali tuhan, atau orang yang dipilih oleh tuhan. Tentunya yang menarik disini adalah
bagaimana konsep politik jawa diterapkan dalam kehidupan dalam masyarakat, terutama
mengenai tugas, hubungan, wewenang, dan bahkan cara yang dilakukan dalam memperoleh
dan menjalankan kekuasaan itu sendiri.

Dalam politik jawa terdapat dua konsep penting, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Kedua konsep tersebut sejatinya merupakan bentuk dari konsep kosmopolitan. Kosmopolitan
adalah persekutuan alam semesta yang mana dalam hal ini adalah alam semesta yang terhubung
dengan unsur lainnya. Makrokosmos sendiri merupakan konsep alam semesta yang terhubung
dengan mikrokosmos yakni kekuasaan raja. Sehingga dari dua konsep tersebut kita dapat
mengetahui bahwa kekuasaan raja sangat berpengaruh, mutlak, tunggal, dan sakti. Hal tersebut
menyebabkan kepatuhan secara sukarelawan oleh suatu masyarakat kepada penguasanya. Dari
pandangan penguasa hal ini berarti menunjukkan kekuasaan yang begitu luas dan cenderung
otoriter. Maksudnya adalah setiap kata – kata raja tentulah haru dilaksanakan sebaik – baiknya
oleh rakyat. Sedangkan dalam pandangan rakyat atau seorang yang dipimpin setiap perkataan
raja harus dilaksanakan dengan sukarela dalam bentuk pengabdian kepada raja serta bagaimana
rakyat yang dipimpin melihat raja sebagai Kalipatullah atau Wali Tuhan. Biasanya dalam
menguatkan legitimasi kekuasaannya seorang raja akan membuat babad.

Konsep kedua yaitu adalah Kawulo Gusti yang artinya adalah hubungan antara rakyat
dengan sang penguasa. Kata Kawulo artinya adalah rakyat dan Gusti adalah penguasa atau raja.
Konsep ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan konsep sebelumnya yaitu adalah bahwa
masyarakat ( wong cilik ) mengabdi secara sukarela kepada raja ( penggede ) dengan penuh
kesadaran. Konsep ketiga merupakan kelanjutan dari konsep pertama yang merujuk pada raja
memiliki semuanya atau disebut konsep Keagungbinataraan. Maka dari seringkali kita

6
mendengar ungkapan “ terserah pada kehendak raja saja “ atau nderek karsa dalam. Selain
konsep - konsep yang telah disebutkan diatas, ada satu konsep yang juga menunjukan pengaruh
politik tradisional jawa dalam rezim Soeharto, yaitu konsep Bapakisme. Konsep Bapakisme ini
terlihat dari sistem pemerintahan Soeharto yang bersifat Patro - Klien dimana sistem politik
jawa terlihat pada saat itu. Bapakisme secara umum diartikan sebagai hubungan Soeharto yang
diibaratkan sebagai sosok bapak dan rakyat serta bawahan Soeharto yang merupakan anak.
Bapakisme terlihat dari istilah “ asal bapak senang “ dimana hal tersebut akan menyebabkan
rusaknya birokrasi dalam pemerintahan dengan puncaknya yaitu Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang tumbuh subur dalam 32 tahun masa pemerintahan.

2.3 Perbedaan Antara Politik Tradisional Jawa dan Politik Barat

Dalam tulisan Benedict Anderson ia menulis bahwa ada perbedaan dalam konsepsi
kekuasaan Jawa tradisional dengan konsepsi kekuasaan Eropa modern. dalam bukunya yang
berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture” dijelaskan bahwa konsep kekuasaan dalam
tradisi Jawa ada empat. Pertama, kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu memang ada dan
keberadaannya disebabkan oleh Hyang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Hal ini
sangat berbeda dengan konsep kekuasaan dari barat yang menjelaskan bahwa kekuasaan itu
abstrak. Artinya, kekuasaan itu merupakan hasil abstraksi dari rumusan pola-pola interaksi
sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati. Kedua, kekuasaan itu homogen, artinya semua
kekuasaan sama jenisnya dan sama sumbernya. Hal ini berbeda juga dengan konsep barat yang
memandang sumber kekuasaan itu heterogen dan kekuasaan merupakan hasil analisa dari pola-
pola hubungan sosial tertentu.

Ketiga, jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Dalam paham orang Jawa,
kekuasaan merupakan ungkapan realitas yang sama, berasal dari sumber tunggal yang sama,
berkualitas sama dan kekuasaan itu lebih dulu ada daripada yang lain. Hal ini berbeda dengan
konsep barat yang menganggap bahwa kekuasaan itu secara inheren sifatnya tidak terbatas.
Keempat dan terakhir, kekuasaan itu tidak mempersoalkan keabsahan. Karena semua
kekuasaan itu berasal dari sumber yang tunggal dan homogen, maka kekuasaan tidak
mempersoalkan dari mana kekuasaan itu berasal. Kekuasaan dari cara berpikir orang Jawa tidak
mengenal sah maupun tidak sah, melainkan yang dilihat adalah kekuasaan itu senantiasa ada
dan konkrit.

7
Perbedaan selanjutnya antara konsepsi kekuasaan Jawa dengan Eropa modern ada dalam
konsepsi kekuasaan tradisi Jawa yang tidak menekankan kemampuan bagi si penguasa untuk
mempengaruhi pihak lain agar patuh kepada perintah si penguasa, tetapi kesetiaannya.
Kesetiaan tersebut akan datang dengan sukarela karena pengaruh dari nilai sosio-kultural Jawa
yang bersifat adikodrati. Selanjutnya, konsep kekuasaan Jawa lebih menitikberatkan pemberian
kekuasaan dari Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, apabila seseorang menerima kekuasaan
tersebut maka rakyat langsung mengikuti perintahnya karena apa yang disampaikannya
merupakan wahyu langsung dari Yang Maha Kuasa. Terakhir adalah konsep magis-religius
memainkan peranan besar dalam membenarkan dan memperkokoh kekuasaan raja, dan juga
peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan raja dengan rakyat.

2.4 Latar Belakang Pemahaman Kekuasaan Jawa oleh Soeharto

Keragaman pemikiran mewarnai kancah perpolitikan di Indonesia, para praktisinya


dengan berbagai latar belakang dan refleksi memantapkan gerakannya melalui penerapan-
penerapan terhadap apa yang ia pahami dan resapi betul. Presiden Soeharto dalam hal ini yang
berindikasikan beraliran paham tradisional kekuasaan Jawa dan nasionalis penuh dipengaruhi
oleh budaya di mana ia dibesarkan yakni suku Jawa tepatnya secara ideografis Desa Kemusuk
Yogyakarta.

Sedikit menyinggung geo-historis Desa Kemusuk, wilayah tempat lahir Suharto. Desa
Kemusuk sendiri merupakan daerah yang kental dengan adat Jawa. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari adanya fakta bahwa Pajang‐Demak‐ Mataram merupakan pusat‐pusat
peradaban Jawa pasca runtuhnya Majapahit, dan Kemusuk, yang termasuk wilayah
Yogyakarta‐Wonogiri merupakan zona penyangga peradaban itu dimana didalamnya tersebar
guru‐guru spiritual Jawa yang dengan tekun mentransformasikan ajaran‐ajaran itu kepada
masyarakat[1]. Lingkungan yang begitu mendukung pembelajaran dan penerapan budaya Jawa
ini tentunya sangat membekas dalam pribadi Soeharto

Soeharto kecil tumbuh besar dalam keluarga sederhana, namun yang pasti ia diselimuti
tata krama yang begitu kental budaya Jawa. Soeharto dihidupkan dalam budaya Jawa yang
sangat kental. Dari keluarganya, ia mengenal ajaran-ajaran yang merupakan warisan budaya
Jawa yang antara lain menyangkut pada masalah; laku prihatin, budi pekerti, dan hormat pada
orang tua. Soeharto merasakan bahwa di dalam memahami budaya tersebut sebagai ajaran yang

8
dapat membawa makna hidup yang sesungguhnya. Bahkan ia menyadari Filsafat hidup Jawa
merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya (Dwipayan dan Ramadhan, 1989: 13).

Meresapnya kebudayaan Jawa dalam kerangka berpikir Soeharto semakin diyakinkan


saat ia berguru dengan Kiai Daryatmo, seorang mubaligh terkemuka di desanya yang tinggal
berdekatan dengan rumah Soeharto dan ia begitu mengaguminya[2]. masa kecil Suharto ia
lewati dibawah asuhan langsung kakeknya, mbah Kromo. Hal ini terlihat langsung dalam
pengakuan Soeharto, sebagaimana dikutip oleh Vatikiotis (1993: 8), “Saya sering diundang
oleh mbah Kromo ke sawah... Saya masih ingat bagaimana saya memberi perintah kerbau untuk
bergerak maju, berbelok ke kiri atau kanan, kemudian jatuh di padi, bermain di air dan lumpur.
Jika saya merasa lelah, atau panas, saya beristirahat di tepi lapangan... Saya dulu suka mencari
belut, dan saya suka memakannya dengan sangat banyak, seperti yang saya lakukan sampai
sekarang.” Hematnya penulis Soeharto tumbuh tidak hanya dibekali ilmu budaya Jawa semata,
tetapi ia mempraktikan langsung dengan skala yang semakin besar seiring pendewasaan dirinya
hingga menjadi presiden.

2.5 Pancasila dalam Pandangan Soeharto

Dalam penerbitan buku “Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila: CSIS. 1976”,
Soeharto mengatakan, “Oleh karena itu berkali-kali dalam berbagai kesempatan saya
sampaikan ajakan untuk mempelajari, mendalami dan menghayati Pancasila, bukan untuk
meragukan dasar negara dan falsafah hidup bangsa ini, melainkan untuk memantapkan dan
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila bukan sekedar angan-angan indah,
melainkan harus dapat diwujudkan dan kita rasakan dalam kehidupan nyata sebagai
kebahagiaan lahir batin” (Krissantono, 1976: ix). Selain itu Pancasila sebagai pedoman
pandangan hidup bagi masyarakat Indonesia harus dihayati sampai kita dapat merasakan bahwa
nilai-nilai luhur Pancasila itu dapat memberi arti dan memberikan kebahagiaan dalam
kehidupan. Gambaran seperti ini harus menjadi cermin keyakinan kita di dalam kehidupan yang
nyata.

[1] Hafid Adim Pradana. “Persepsi Suharto dan Perubahan Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Cina pada
Awal Orde Baru”. Jurnal Perspektif Indonesia Vol. 1 No. 1 Juni 2016.

[2] Yusuf Wibisono. “Falsafah Bangsa dan Budaya Jawa dalam Pemikiran Soeharto”. Jurnal Ilmu dan Budaya
Vol. 41 No. 68 Oktober 2020.

9
Ajakan untuk merumuskan Pancasila dalam kehidupan sebagai sikap hidup di sampaikan
Soeharto pada ulang tahun Universitas Gajah Mada 19 Desember 1974, di Yogyakarta,
dikemukakannya. “Dapat dirumuskan, bahwa sikap hidup manusia pancasila adalah bahwa;
kepentingan pribadinya tak dapat dilepaskan dari kewajibannya sebagai makhluk sosial dalam
kehidupan masyarakat, kewajibannya terhadap masyarakat harus lebih besar dari kepentingan
pribadinya. Kepentingan pribadi akan berakhir untuk memulai melaksanakan kewajiban
sebagai anggota masyarakat. Semua itu dituntun oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh rasa
perikemanusiaan yang adil dan beradab, oleh kesadaran untuk memperkokoh persatuan
Indonesia, untuk menjunjung tinggi sikap kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan
dan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa Indonesia.”.

Soeharto sebagai salah satu aktor yang berperan di peristiwa G30SPKI begitupun
semakin besar pasca peristiwa dengan jabatan presiden, ia mencoba untuk menyelimuti
masyarakat dalam pola-pola pikir Pancasila, setidaknya hal ini terangkum dalam buku
Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (1976) lebih-lebih tidak aplikatif usaha
membumikan Pancasila seperti yang kita semua ketahui di zaman orde baru dalam kurikulum
pendidikan terdapat Penataran dan Pedoman Penghayatan Pancasila merupakan sebuah hal
yang wajib diikuti oleh semua elemen bangsa.

Korelasi pandangan Pancasila Soeharto melalui basis pemikiran dia yang sedikit banyak
didasarkan budaya Jawa secara fisik kentara dalam salah satu kutipan buku tersebut yang mana
Soeharto menarasikan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila sinkretis dengan ajaran kuno
Mangkunegara I tentang Tri Dharma, menunjukan bagaimana ia mentransformasikan kejawaan
untuk cakupan masyarakat luas satu Indonesia.

Lebih jelasnya Soeharto yang menekankan kebatinan dalam menerapkan Pancasila,


sebetulnya ialah cara pandang budaya Jawa yang ia praktikan sehari-hari, Gaya pemikiran
Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan penguasaan batin (“mendekatkan batin
kita dengan pencipta kita”)[3] yang menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun
praktis tertentu. Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka berpikirnya, serta

[3] Dwipayana, G. Ramadhan K.H. 1989. SOEHARTO “Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, Jakarta:
PT.Citra Lamtoro Gung Persada. Hlm. 235.

10
persepsinya tentang makna dan arah historis memang sangat dipengaruhi oleh adat dan
kepercayaan Jawa[4].

2.6 Implementasi Politik Tradisional Jawa Dalam Rezim Soeharto

Implementasi dari politik jawa dalam rezim Soeharto ini sesungguhnya cukup banyak.
Konsep pertama yang menonjol pasca peralihan kekuasaan antara Presiden Soekarno menuju
Presiden Soeharto ialah penghapusan atau penggabungan ( fusi ) partai - partai politik yang
ada. Hal ini sejalan dengan konsep politik jawa dimana kekuasaan berbentuk mandala atau
melingkar dengan pusatnya yaitu pemimpin. Jika satu kekuasaan turun maka kekuasaan lain
akan naik. Maksudnya adalah ketika Soeharto dan militer berhasil menduduki tampuk
kekuasaan Indonesia, maka tokoh dan partai lain dalam perpolitikan Indonesia praktis melemah
ataupun hilang. Soeharto dalam hal ini melakukan penyingkiran terhadap lawan - lawan
politiknya dengan kekerasan ataupun ancam sehingga hal ini menunjukan dominasi kekuasaan
dari Soeharto.

Selanjutnya konsep lain yang digunakan Soeharto adalah Bapakisme. Seperti yang sudah
disinggung sebelumnya Bapakisme dalam artian kontekstual dimaksud seorang tokoh
pemimpin memiliki keterkaitan dengan kosmos berupa mikrokosmos yang diartikan sebagai
rakyat dan makrokosmos yang diartikan sebagai alam semesta. Dalam konteks perpolitikannya,
Bapakisme menempatkan Soeharto sebagai “bapak” dan rakyat Indonesia sebagai anak. Hal ini
kemudian menimbulkan konsekuensi tersendiri dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Posisi Soeharto yang diibaratkan sebagai “bapak” menjadikan bawahannya untuk melakukan
apapun yang diperintahkan oleh Soeharto dalam hal ini timbul suatu istilah yaitu “ asal bapak
senang “. Konsep ini tentunya pada periode selanjutnya menimbulkan suatu kondisi yang tidak
ideal dalam kehidupan bernegara dalam bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selama memerintah hampir 32 tahun lamanya. Soeharto menjadikan aspek stabilisasi


sebagai tonggak terdepan dalam memakmurkan rakyat Indonesia. Stabilisasi yang dimaksud
adalah stabilisasi politik, sosial, dan ekonomi. Stabilitas tersebut merupakan salah satu bentuk
politik tradisional jawa dengan konsep Ngalmu Kasampurnaan. Ngalmu Kasampurnaan ini
diartikan sebagai menciptakan kehidupan yang harmonis dan selaras ( Mulder 1973 : 14 - 15 ).

[4] R. E. Elson, 2005. Soeharto: Sebuah Biografi Politik Jakarta: Pustaka Minda Utama. Hlm. 582.

11
Kehidupan yang selaras ini tentunya dimaksud agar supaya bangsa Indonesia yang sebelum
nya mengalami peristiwa kudeta PKI dapat dihindari. Kehidupan yang selaras juga ditujukan
dalam hal Penanaman Nilai Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi.

12
BAB III

KESIMPULAN

Konsep politik jawa dalam rezim Soeharto dapat kita simpulkan dalam tiga aspek besar,
pertama adalah pemberian jabatan kepada sanak keluarga dan orang - orang yang dekat
dengannya. Kedua adalah memberikan kekuasaan dan jabatan kepada orang yang berjasa,
terutama jasanya terhadap Soeharto. Ketiga adalah jabatan atau tokoh akan diberikan kepada
seseorang dengan syarat - syarat tertentu yang tentunya diarahkan kepada kepentingan
kelompok semata. Ketiga aspek inilah yang mewarnai dinamika kehidupan politik bangsa
Indonesia selama 32 tahun lamanya. Tujuan dari hal ini tidak lain tidak bukan mengamankan
segala bentuk aset kekayaan dan jabatan. Kehidupan politik yang oligarki pada dasarnya
merupakan suatu gabungan dari pemahaman Soeharto terhadap politik jawa yang digunakan
sedemikian rupa sehingga menghasilkan manuver politik yang diharapkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Bennedict. ( 1972 ). The Idea of Power in Javanese Culture. Holt.

Budiarjo, Prof. Miriam, Nuri Soeseno, M.A. dan Rosa Evaquarta, M.A. Ilmu Politik: Modul
1. Jakarta: Universitas Terbuka. Diakses pada 22 Juni 2021 pukul 11.58 WIB dari
http://repository.ut.ac.id/4304/1/ISIP4212-M1.pdf

C Felth, Herbert dan Castle, Lance. ( 1988 ). Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965. Jakarta
: LP3ES Citra Lamtoro Gung Persada.

Chaniago, Puti. Pemikiran Politik Tradisional Jawa. Diakses pada 21 Juni 2021 pukul 10.56
WIB dari https://www.academia.edu/8907825/Pemikiran_Politik_Tradisional_Jawa

Dwipayana, G. Ramadhan K.H. 1989. SOEHARTO “Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”,
Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.

Elson, R.E. 2005. Soeharto: Sebuah Biografi Politik Jakarta: Pustaka Minda Utama.

Hidayah, Nur. Pengertian, Makna, Hakikat, dan Perkembangan Ilmu Politik. Presentasi.
Universitas Negeri Yogyakarta.Diakses pada 22 Juni 2021 pukul 12.00 WIB dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132309997/pendidikan/PENGERTIAN,+MAKNA,+H
AKIKAT+ILMU+POLITIK.pdf

Pradana, Hafid Adim. 2016. “Persepsi Suharto dan Perubahan Kebijakan Luar Negeri
Indonesia terhadap Cina pada Awal Orde Baru”. Jurnal Perspektif Indonesia Vol. 1 No.
1. Hlm. 23-42.

Sadirman AM. 1992. Konsep Kekuasaan dalam Tradisi Jawa. Jurnal Cakrawala Pendidikan
No.1: 81-94. Diakses pada 21 Juni 2021 pukul 11.44 WIB dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/8791/pdf

Trias, Moch, Edward. Konsepsi Politik Jawa dan Realita Politik Kontemporer Indonesia.
Diakses pada 21 Juni 2021 pukul 12.57 WIB, from : https://kisp-id.org/read-
offline/632/konsepsi-politik-jawa-dan-realita-politik-kontemporer-indonesia.print .

Wibisono, Yusuf. 2020. “Falsafah Bangsa dan Budaya Jawa dalam Pemikiran Soeharto”.
Jurnal Ilmu dan Budaya Vol. 41 No. 68. Hlm. 7979-7988.

14
Wicoyo, Joko. 1991. Konsep Kekuasaan Jawa dalam Kehidupan Sosial Politik Indonesia.
Jurnal Filsafat Seri 6 Mei 1991: 21-30. Diakses pada 21 Juni 2021 pukul 14.21 WIB dari
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31459/19037

15

Anda mungkin juga menyukai