Anda di halaman 1dari 15

INTERAKSI ANTAR ZAT GIZI

A. Pengertian Interaksi Zat Gizi


Interaksi Nutrisi adalah interaksi fisika dan kimia antar nutrisi, nutrisi dengan
komponen lain dalam makanan atau nutrisi dengan senyawa kimia lain yang memberi efek
yang diinginkan dan tidak diinginkan. Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan
organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan.
Nutrisi didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.
Penelitian di bidang nutrisi mempelajari hubungan antara makanan dan minuman
terhadap kesehatan dan penyakit, khususnya dalam menentukan diet yang optimal. Pada masa
lalu, penelitian mengenai nutrisi hanya terbatas pada pencegahan penyakit kurang gizi dan
menentukan standart kebutuhan dasar nutrisi pada makhluk hidup.
Angka kebutuhan nutrisi dasar ini dikenal di dunia Internasional dengan istilah
Recommended Daily Allowance (RDA). Seiring dengan perkembangan ilmiah di bidang
medis dan biologi molekular, bukti-bukti medis menunjukkan bahwa RDA belum mencukupi
untuk menjaga fungsi optimal tubuh dan mencegah atau membantu penanganan penyakit
kronis. Bukti-bukti medis menunjukkan bahwa akar dari banyak penyakit kronis adalah stres
oksidatif yang disebabkan oleh berlebihnya radikal bebas di dalam tubuh.
Penggunaan nutrisi dalam level yang optimal, dikenal dengan dengan istilah Optimal
Daily Allowance (ODA), terbukti dapat mencegah dan menangani stres oksidatif sehingga
membantu pencegahan penyakit kronis. Level optimal ini dapat dicapai bila jumlah dan
komposisi nutrisi yang digunakan tepat. Dalam penanganan penyakit, penggunaan nutrisi
sebagai pengobatan komplementer dapat membantu efektifitas dari pengobatan dan pada saat
yang bersamaan mengatasi efek samping dari pengobatan. Karena itu, nutrisi sangat erat
kaitannya dengan kesehatan yang optimal dan peningkatan kualitas hidup.
Nutrisi tidak sekedar apa yang kita makan tetapi lebih merupakan ilmu yang meliputi
interaksi antara organisme hidup dengan makanan.
Interaksi meliputi proses fisiologi seperti memakan, mencerna, penyerapan, transport,
dan penggunaaan makanan tersebut. Nutrisi meliputi aksi-aksi biologikal dan interaksi
makanan dengan tubuh dan konsekuensinya untuk kesehatan dan penyakit. Nutrisi juga
meliputi faktor-faktor phisiological, social, cultural, ekonomical, dan teknologi yang
mempengaruhi makanan yang kita makan. Pentingnya makanan tergantung pada nutrisi yang
dikandungnya. Nutrient meliputi karbohidrat, protein, lipid, mikronutrient, makronutrient,
vitamin dan mineral.

B. Jenis Interaksi
Masing-masing interaksi dapat bersifat positif (sinergis), negative (antagonis) dan
kombinasi diantara keduanya. Interaksi disebut positif jika membawa keuntungan. Sebaliknya
disebut negatif jika merugikan. Zat-zat pengikat mineral itu umumnya banyak ditemukan
dalam bahan makanan nabati. Meskipun zat-zat non gizi itu dapat mengganggu beberapa
penyerapan mineral, bukan berarti tidak berguna sama sekali. Dalam bahan makanan, suatu
zat gizi, misalnya mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non gizi. Asam fitat dalam
sayuran, serealia/umbi-umbian dapat mengikat mineral Besi (Fe), Seng (Zn), atau Magnesium
(Mg). Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh. Begitu juga dengan

27
Serat, Tanin dan Oksalat yang juga dapat mengganggu penyerapan Kalsium (Ca). Kebutuhan
zat gizi esensial sehari-hari tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan
serta aktivitas fisik dan metabolisme. Yang termasuk dalam zat gizi (mineral) esensial adalah
Besi, Seng, Mangan, Molibdenum, Tembaga, Selenium dan Flourida. Kecuali Flourida,
semua jenis mineral tersebut berfungsi mengaktifasi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolisme.

Struktur Kimia Thanin

Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi itu
dapat menguntungkan atau merugikan. Interaksi antara vitamin C dengan Fe merupakan
contoh yang menguntungkan, karena vitamin C dapat meningkatkan kelarutan Fe, sehingga
Fe lebih mudah diserap tubuh. Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan
vitamin B2.
Dalam berbagai penelitian telah diperlihatkan pula, protein hewani dapat
meningkatkan ketersediaan biologis Fe, khususnya Fe dalam bentuk nonheme (jenis Fe yang
banyak terdapat dalam bahan makanan nabati).
Penelitian oleh Cook dan Menson (1976), Hallberg (1980), dan Latifuddin (1998)
yang mempelajari pengaruh berbagai jenis protein terhadap tingkat penyerapan Fe nonheme
memperlihatkan, protein dari daging sapi, daging ayam, ikan, dan telur dapat lebih efektif
dalam meningkatkan ketersediaan biologis Fe.
Jika kita mengonsumsi makanan itu bersama dengan daun singkong atau bayam
(sebagai sumber Fe nonheme), misalnya, maka jumlah Fe yang akan diserap dan ditahan
tubuh menjadi lebih besar. Peningkatan penyerapan ini karena adanya Meat, Poultry (Unggas)
and Fish Factors (faktor MPF) yang membuat Fe menjadi lebih larut, sehingga lebih mudah
diserap tubuh. Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan Ca dan Zn, meskipun
ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat. Vitamin D juga dapat meningkatkan penyerapan
Ca dengan cara mempercepat laju pembentukan "alat transport" Ca.

28
Sementara itu, vitamin B1 dan beberapa vitamin B-kompleks lainnya sangat
diperlukan dalam proses metabolisme energi. Vitamin C dan E secara bersama-sama
memberikan efek sinergis sebagai antioksidan dalam tubuh. Itulah sebabnya sering dikatakan,
mengonsumsi vitamin C dan E (atau antioksidan lain seperti betakaroten) dapat membuat kita
awet muda, karena mereka mampu mengatasi serangan radikal bebas yang dipercaya
mempercepat penuaan.
Pada sisi lain, interaksi antara beberapa mineral justru dapat merugikan tubuh. Khusus
untuk mineral, ada dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan koadaptasi. Interaksi
yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat fisik dan kimia mineral itu satu sama
lain. Interaksi ini terjadi pada waktu penyerapan di dalam usus. Beberapa contoh mineral yang
berinteraksi secara kompetisi adalah Fe dengan Zn, Fe dengan Cr, Zn dengan Cu dan lain lain.
Mekanismenya, satu mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan
menggunakan "alat transport" mineral lain sehingga akan terjadi kekurangan salah satu
mineral itu. Misalnya, transferrin merupakan "alat transport" bagi Fe. Transferrin ini ternyata
dapat juga digunakan oleh Zn, Ca, dan Cr. Akibatnya, kita bisa kekurangan Fe (anemia).
Koadaptasi merupakan upaya adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral
tertentu. Sifat koadaptasi ini sering memberikan dampak negatif bagi tubuh. Koadaptasi dapat
terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral tubuh rendah, maka
usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan transfer suatu mineral. Akan tetapi,
bila penyerapannya tidak spesifik, maka mineral lain yang serupa juga akan ditingkatkan
penyerapannya.
Kalau yang diserap itu mineral tidak berbahaya, tentu tidak masalah. Tapi jika yang
diserap berpotensi sebagai racun, itu yang berbahaya. Hal ini tanpa disadari mungkin pernah
terjadi pada diri kita. Misalnya, pada kasus kekurangan Fe (anemia), kita biasanya
mengonsumsi suplemen Fe kadar tinggi. Namun, penyerapan "besar-besaran" dari Fe ini
ternyata juga meningkatkan penyerapan Pb (timbal). Mineral Pb merupakan suatu logam berat
yang, jika terdapat dalam jumlah besar dalam tubuh, dapat berubah menjadi racun.
Bentuk koadaptasi kedua adalah bila persediaan mineral dalam tubuh berlebihan, usus
akan beradaptasi untuk mengeblok (menghambat) penyerapan mineral itu. Namun, bila
mekanismenya tidak spesifik, penyerapan mineral lain yang serupa juga akan terhambat.
Bentuk koadaptasi ini terutama terjadi pada tubuh, yang memang sehat-sehat saja, ketika
mengonsumsi suplemen gizi atau makanan diperkaya dengan zat gizi dalam kadar tinggi.
Contohnya, susu kaya Fe dan Ca, atau suplemen Fe. Jika kadar Fe tubuh normal saja,
suplementasi Fe justru akan menghambat penyerapan Zn. Hal ini telah dibuktikan oleh Kreb,
et al. (1987) yang memberikan suplemen Fe pada 20 orang ibu hamil. Mereka menemukan
adanya penurunan secara nyata kadar Zn pada mereka selama hamil. Contoh interaksi mineral
yang juga memberikan efek negatif adalah antara Ca dengan Mg. Hasil penelitian Linkswiller
(1980) menunjukkan, peningkatan konsumsi Ca dari 800 mg menjadi 2.400 mg per hari dapat
menurunkan penyerapan Mg. Konsumsi Mg yang rendah disertai Ca yang tinggi ternyata
dapat menyebabkan timbulnya hipertensi, karena mengecilkan ukuran pembuluh darah arteri
dan kapiler.

29
C. Mekanisme Interaksi dan Penanganannya
1. Interaksi Makro dan Makro
Ada tiga komponen penting penghasil energi yang sangat dibutuhkan bagi setiap
manusia karbohidrat, lemak, dan protein. Khususnya bagi negara Indonesia sendiri yang
sangat terkenal dengan gizi buruk sampai saat ini. Karbohidrat sebagai zat gizi merupakan
nama kelompok zat-zat organik yang mempunyai struktur molekul yang berbeda-beda, meski
terdapat persamaan-persamaan dari sudut kimia dan fungsinya. Karbohidrat mempunyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna,
tekstur, dan lain-lain. Karbohidrat yang terasa manis disebut gula (sakar).
Dari beberapa golongan karbohidrat, ada yang sebagai penghasil serat-serat yang
sangat bermanfaat sebagai diet (dietary fiber) yang berguna bagi pencernaan manusia. Lemak
adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur Carbon (C), Hidrogen (H) dan
Oksigen (O), yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut
lemak), seperti ether. Lemak yang mempunyai titik lebur tinggi bersifat padat pada suhu
kamar, sedangkan yang mempunyai titik lebur rendah, bersifat cair. Lemak yang padat pada
suhu kamar disebut lemak gajih, sedangkan yang cair pada suhu kamar disebut minyak.
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubunganya dengan
proses-proses kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein.
Nama berasal dari kata Yunani protebos, yang artinya yang pertama atau yang
terpenting Didalam sel, protein terdapat sebagai protein struktural maupun sebagai protein
metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel dan tidak dapat
diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein metabolik dapat diekstraksi
tanpa merusak dapat merusak integritas struktur sel itu sendiri. Molekul protein mengandung
unsur-unsur C, H, O, dan unsur-unsur khusus yang terdapat di dalam protein dan tidak
terdapat di dalam molekul karbohidrat dan lemak ialah nitrogen (N). Bahkan dalam analisa
bahan makanan dianggap bahwa semua N berasal protein, suatu hal yang tidak benar. Unsur
nitrogen ini di dalam makanan mungkin berasal pula dari ikatan organik lain yang bukan jenis
protein, misalnya urea dan berbagai ikatan amino, yang terdapat dalam jaringan tumbuhan.

2. Metabolisme Karbohidrat, Lemak, dan Protein


a. Karbohidrat
Makanan yang mengandung karbohidrat di dalam mulut akan dicerna jadi maltose (oleh
ptyalin) dan hasil akhirnya adalah glukosa di dalam duodenum maka akan masuk ke sel
mengalami glikolisis, yang nantinya hasil akhirnya asam piruvat apabila suasana sitoplasma
tempat terdapatnya asam piruvat itu aerob sehingga mitocondria dipastikan penuh oksigen
maka asam piruvat akan meneruskan proses perubahan menjadi asetyl CoA dalam Pra Siklus
Krebs.

b. Lemak
Di dalam mitokondria jaringan lemak atau di hati, asam lemak dan gliserol bergabung
membentuk lemak netral (TG) kemudian disimpan sebagai cadangan energi. Dipecah menjadi
asetil-koenzim-A (Asetil Co-A) yang kemudian masuk ke dalam siklus Kreb’s diubah
menjadi sumber energi (glukoneogenesis). Selain itu, asetil Co-A juga dapat digunakan untuk
pembentukan kolesterol. Di berbagai jaringan tepatnya di dalam mitokondria dan mikrosoma,

30
asetil Co-A diubah menjadi trigliserida untuk disimpan sebagai lemak jaringan atau dapat
juga diubah menjadi protein (asam amino).

c. Protein
Jika jumlah protein terus meningkat → protein sel dipecah
jadi asam amino untuk dijadikan energi atau disimpan dalam bentuk lemak. Pemecahan
protein jadi asam amino terjadi di hati dengan proses: deaminasi atau transaminasi.
Deaminasi: proses pembuangan gugus amino dari asam amino Transaminasi: proses
perubahan asam amino menjadi asam keton.

1.Transaminasi: alanin + alfa- ketoglutarat → piruvat + glutamate


2. Diaminasi: asam amino + NAD+ → asam keto + NH3
NH3 → merupakan racun bagi tubuh, tetapi tidak dapat dibuang oleh ginjal →
harus diubah dahulu jadi urea (di hati) → agar dapat dibuang oleh ginjal.

3. Interaksi Protein – Polisakarida


Sistem makanan selalu mengandung campuran heterogen protein dan polisakarida
yang berbeda sifat alami kimia, modifikasi, rantai dasar, ukuran, bentuk molekul, tingkatan
hidrolisis, denaturasi, disosiasi dan agregasi. Informasi yang tersedia mengenai sifat fase
campuran polimer dan campuran sistem gelatin-gum arab tidak cukup untuk memahami
fungsi protein dan polisakarida dalam sistem makanan.
Interaksi protein dan polisakarida dan beragam protein satu sama lain dan dengan air
akan mengatur kelarutan dan co-solubility biopolimer, kemampuan untuk membentuk larutan
dan gel kental, viskoelastis dan sifatnya di permukaan (Damodaran and Paraf, 1997).
Campuran protein-polisakarida digunakan secara luas dalam industri makanan karena
berperan penting dalam struktur dan tekstur bahan makanan (Dickinson and Merino, 2002).
Keseluruhan tekstur dan struktur produk tidak hanya bergantung pada sifat individu protein
dan polisakarida, tetapi juga sifat alami dan kekuatan interaksi protein-polisakarida. Oleh
karena itu, untuk mengembangkan sifat yang diinginkan pada produk makanan, pengetahuan
mekanisme interaksi protein-polisakarida sangat penting (Hemar et al., 2002).

Menurut Oakenfull et al., (1997) jika protein dan polisakarida berinteraksi dapat


menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu:
1.     Co-solubility, bila terjadi interaksi yang bersifat tidak nyata karena kedua
molekul primer memiliki eksistensi sendiri-sendiri.
2.     Incompatibility, bila kedua tipe polimer saling menolak sehingga menyebabkan
keduanya berada pada fase terpisah.
3.     Complexing, yaitu kedua polimer saling berikatan yang menyebabkan
membentuk fase tunggal atau endapan. 

Sifat sistem polimer yang bercampur telah dipelajari secara luas, bila satu atau kedua
polimer memiliki kekuatan membentuk gel akan memiliki potensi untuk menciptakan produk
dengan beragam tekstur. Ziegler dan Foegeding (1990) dalam Ledward (1994), telah
meringkas tipe jaringan gel yang dapat terbentuk dengan dua bahan pembentuk gel yang
berbeda.

31
Bila proses pencampuran adalah eksotermik, dan interaksi tarik menarik, maka dapat
mengarah pada susunan komplek larut atau tidak larut. Pada umumnya terjadi hanya untuk
polimer yang muatannnya berlawanan, seperti alginat, pektat dan karboksi metil selulose
(Ledward, 1994), atau yang bersifat seperti karagenan (Will et al.,1988 dalam Ledward,
1994).
Reaksi lanjut yang mungkin antara protein dan polisakarida meliputi susunan langsung
ikatan kovalen antara kedua polimer. Ledward (1979), Tolstoguzov, (1986), Hill and Zadow
(1974) dalam Ledward (1994) menemukan bahwa pada pH 6,0 dan kekuatan ionik rendah
(0,05 M), pektat, alginat dan CMC mampu untuk memodifikasi struktur mioglobin (pI=6,9)
dan bovin serum albumin (pI=4,9) (Imeson et al., 1977). Kelompok hematin pada mioglobin
yang bermuatan positif tinggi, akan cenderung untuk berikatan pada polisakarida anionik.
Globular protein yang lain tidak akan mengarah pada  sebagian penghalang muatan positif,
sehingga mioglobin secara umum tidak aplikatif. Kompleks larut terbentuk pada pH 5-7
dengan polisakarida anionik dan mioglobin terdenaturasi atau BSA atau gelatin yang tidak
dapat larut karena protein terikat kuat, komplek masih membawa muatan negatif besar
sehingga memiliki sedikit kecenderungan untuk berkumpul. Pembukaan campuran
polisakarida bermuatan dan protein pada kondisi dimana protein tidak melipat menghasilkan
gulungan acak fleksibel yang akan berinteraksi dengan polisakarida sebagai sisi mengikat
muatan potensial positif dan akan terbuka.

4. Interaksi Karbohidrat dengan Lemak


Gluconeogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk mencakup semua
mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab untuk mengubah senyawa nonkarbohidrat
menjadi glukosa atau glikogen. Substrat utama bagi gluconeogenesis adalah asam amino
glukogenik, laktat, gliserol, dan propionate.
Gluconeogenesis memenuhi kebutuhan tubuh akan glukosa pada saat karbohidrat tidak
tersedia dalam jumlah yang cukup di dalam makanan. Pasokan glukosa yang terus menerus
diperlukan sebagai sumber energy khususnya bagi system syaraf dan eritrosit.
Kadar glukosa darah dibawah nilai kritis akan menimbulkan disfungsi otak yang dapat
mengakibatkan koma dan kematian. Glukosa juga dibutuhkan dalam jaringan adiposa sebagai
sumber gliserida-gliserol, dan mungkin mempunyai peran didalam mempertahankan kadar
intermediate pada siklus asam sitrat di banyak jaringan tubuh. Bahkan dalam keadaan lemak
memasok sebagian besar kebutuhan kalori bagi organisme tersebut, selalu terdapat kebutuhan
basal tertentu akan glukosa. Glukosa merupakan satu satunya bahan bakar yang memasok
energy bagi otot rangka pada keadaan anaerob. Unsur ini merupakan precursor gula susu di
kalenjar payudara. Selain itu mekanisme glukoneogenik dipakai untuk membersihkan produk
metabolisme jaringan lainnya dari darah misal laktat yang dihasilkan oleh otot dan eritrosit,
dan gliserol yang terus menerus diproduksi oleh jaringan adipose. Propionate yaitu asam
lemak glukogenik utama yang dihasilkan dalam proses digestif karbohidrat oleh hewan
pemamah biak merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis didalam tubuh spesies ini.
Propionate merupakan sumber utama glukosa yang memasuki lintasan
gluconeogenesis. Dalam proses ini diperlukannya vitamin biotin sebagai koenzim.
Gliserol merupakan produk metabolisme jaringan adipose, hati dan ginjal mampu
mengubah gliserol menjadi glukosa darah dengan menggunakan enzim.

32
Gliserol 3 fosfat untuk sintesis gliserol di jaringan adipose berasal dari glukosa darah.
Senyawa asil gliserol pada jaringan adipose terus menerus mengalami hidrolisis untuk
membentuk gliserol bebas yang tidak dapat digunakan oleh jaringan adipose dan karenanya
akan berdifusi keluar serta masuk kedalam darah gliserol bebas ini dikonversi kembali
menjadi glukosa lewat mekanisme gluconeogenesis di hati dan ginjal.
Insulin memainkan peran penting dalam mengatur kadar glukosa darah, hormone ini
dihasilkan oleh sel sel Bheta pada pulau Langerhans pancreas sebagai reaksi langsung
terhadap keadaan hiperglikemia. Pemberian insulin akan mengakibatkan hipoglikemia
seketika, zat zat lain yang menyebabkan pelepasan insulin adalah asam amino, asam lemak
bebas, badan keton dan obat obat sulfonaria.
Hormon insulin merangsang lipogenesis melalui beberapa metode. Hormon ini
meningkatkan pengangkutan glukosa ke dalam sel dan dengan demikian meningkatkan
ketersediaan asam piruvat untuk sintesis asam lemak maupun gliserol 3-fosfat untuk
esterifikasi asam lemak yang baru terbentuk. Insulin mengonversi piruvat dehidrogenase
bentuk inaktif menjadi bentuk aktif di jaringan adiposa, tetapi tidak di hati.
Makanan yang kaya akan sukrosa atau sirup yang banyak mengandung fruktosa
seperti didalam makanan atau minuman buatan pabrik dapat mengakibakan masuknya
fruktosa dan glukosa dalam jumlah besar ke dalam vena porta hati.
Fruktosa lebih cepat mengalami glikolisis dari pada glukosa. Hal ini terjadi karena
fruktosa melintasi tahapan pada metabolisme glukosa yang dihasilkan oleh enzim
fosfofruktokinase dan pada tahap ini terdapat pengotrolan metabolic atas kecepatan
katabolisme glukosa. Peristiwa ini memungkinkan berlimpahnya fruktosa pada sejumlah
lintasan di hati yang mengakibatkan peningkatan sistesis asam lemak dan sekresi VLDL, yang
dapat meninggikan kadar Trigliserol di dalam serum serta akhirnya menaikkan konsentrai
LDL kolesterol. Glukosa tambahan yang masuk kedalam darah akan merangsang lebih
banyak sekresi inulin yang meningkatkan semua efek ini.
Asam lemak dapat dioksidasi menjadi asetil coa dan disintesis dari asetil coa.
Meskipun bahan awal proses yang satu identik dengan produk proses yang lain dan tahap
kimiawi yang terlibat dapat dibandingkan, oksidasi asam lemak bukan pembalikan secara
sederhana biosintesis asam lemak, melainkan sebuah proses yang secara keseluruhan berbeda
dan berlangsung dalam kompartemen sel yang terpisah. Pemisahan oksidasi asam lemak dari
biosintesis memungkinkan setiap proses terkendali secara sendiri dan terintegrasi dengan
kebutuhan jaringan.
Peningkatan oksidasi asam lemak merupakan ciri khas kelaparan, dan diabetes
melitus, yang mengakibatkan produksi bahan keton oleh hati.
Badan keton ini bersifat asam dan kalau diproduksi dengan jumlah yang berlimpah
untuk periode waktu yang lama, seperti yang terjadi pada penyakit diabetes, akan
menyebabkan ketoasidosis dengan akibat yang akhirnya fatal. Karena glukoneogenesis
bergantung pada oksidasi asam lemak, setiap gangguan pada oksidasi asam lemak akan
menyebabkan lipoglikemia. Peristiwa ini terjadi pada berbagai keadaan defisiensi karnitin .
Di dalam plasma, asam lemak bebas rantai panjang bergabung dengan albumin, dan di
dalam sel , asam lemak tersebut terikat dengan protein menikat asam lemak shingga pada
kenyataannya senyawa ini tidak pernah benar benar bebas.

33
5. Interaksi Protein dengan Protein
Protein dapat berinteraksi dengan protein lain karena adanya ikatan hidrogen dan
perubahan gugus sulfuhidril dan disulfida. Interaksi molekuler tersebut membentuk suatu
jaringan tiga dimensi yang mengakibatkan tekstur protein menjadi kompak, dengan  struktur
tiga dimensi tersebut maka protein dapat memerangkap sejumlah air (Damodaranand Paraf,
1997).
Struktur pangan seperti: keju, daging terbentuk karena interaksi antar molekul protein.
Gel yang terjadi pada produk susu, apabila whey protein susu mengalami denaturasi. Upaya
meningkatkan rendemen keju diperoleh, bila pemanasan mendorong Interaksi casein dengan
protein terlarut dalam susu. Ilmu pangan menjelaskan kepada kita fungsi molekul protein pada
produk berbasis protein seperti: daging, susu dsb, adalah karena protein akan mengalami
peristiwa gelasi (pembentukan gel) selama proses atau protein mengikat air, sehingga terjadi
semacam tekstur dari produk pangan berbasis protein tsb.
Molekul protein sebagai polipeptida, molekul tersebut dapat bersifat tertutup (folded)
dalam berbagai bentuk tergantung pada urut-urutan asam amino penyusun protein dari
berbagai jenis protein. Sehingga interaksi protein-protein ditentukan dan dijaga kestabilan
strukturnya oleh interaksi antara berbagai jenis molekul asam-asam amino yang membentuk
polipeptida/protein tsb.
Tipe atau jenis ikatan yang menstabilkan molekul protein-protein antara lain
disebabkan oleh interaksi van der waals, interaksi hidrofobik, interaksi elektrostatik, ikatan
hydrogen dan interaksi kinetic dan factor lain yang menjaga interaksi protein-protein tsb.
Protein alami/native dari sumber nabati seperti: protein 7 S atau 11 S, struktur
molekulnya dijaga oleh tipe ikatan protein-protein tertentu. 11 S = Glycinin protein kedele
tersusun atas 6 sub-unit molekul protein, dimana tiap sub-unit terdiri terikat oleh 2 tipe ikatan
disulfide. Apabila 11 S dipanaskan akan pecah menjadi dimer AB, apabila pemanasan
dilanjutkan akan pecah menjadi monomer A dan B yang selanjutnya molekul protein akan
menggumpal.
Mekanisme gelasi atau penggumpalan protein sebenarnya masih belum sepenuhnya
diketahui, namun paling tidak melalui 2 cara. Pertama, akibat denaturasi protein, konformasi
molekul protein berubah, baik karena pemanasan atau kimiawi. Kedua, tahap penggumpalan
karena peristiwa denaturasi protein merupakan syarat mutlak, dimana penggumpalan akan
membuka kesempatan molekul protein saling berinteraksi satu dengan lainnya, sehingga
peristiwa gelasi atau terbentuknya GEL terjadi. Contoh: gugus thiol molekul cystein-120 dari
jenis β-lactoglobulin dengan mudah terbuka karena proses pemanasan.
Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi protein-protein dari tipe ikatan –SH/S-S
dan sifat hidrofobik dari protein kedelai komersial meningkat akibat pemanasan, karena
molekul 11 S terdissosiasi menjadi sub-unit-sub-unit.

6. Interaksi Protein dengan Lemak


Dalam makanan, interaksi protein-lemak sering dijumpai pada sistem emulsi. Adanya
lemak dapat berfungsi melindungi protein dari denaturasi akibat panas dan sifat fungsional
protein. Sifat fungsional Protein antara lain : Sifat mengemulsi, membentuk gel, dan
membentuk buih. Dalam sistem emulsi dan buih yang distabilkan oleh protein terjadi karena

34
protein memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pembentukan gel : panas, pH, kekuatan ion, dan konsentrasi protein.

7. Interaksi Makro dan Mikro


Interaksi Serat dengan Mineral
Ketersedian biologik mineral banyak dipengaruhi oleh bahan –bahan non mineral di dalam
makanan. Asam fitat dalam serat kacang- kacangan dan serelia serta asam oksalat dalam
bayam mengikat mineral- mineral tertentu sehingga tidak dapat diabsorpsi . Makanan tinggi
serat ( lebih dari 35 gram sehari ) menghambat absorpsi kalsium, zat besi, seng dan
magnesium.
Interaksi Protein dengan Mineral
Interaksi ini didasarkan pada adanya sifat hidrofilik protein. Sifat ini timbul oleh adanya
rantai sisi polar di sepanjang rantai peptida, yaitu gugus karboksil dan amino. Molekul protein
mempunyai beberapa gugus yang mengandung atom N atau O yang tidak berpasangan. Atom
N pada rantai peptida bermuatan negatif sehingga mampu menarik atom H dari air yang
bermuatan positif. Molekul air yang telah terikat tersebut dapat berikatan dengan molekul air
yang lain, karena memiliki sebuah atom O dengan elektron yang tidak berpasangan
(Damodaran and Paraf, 1997).
Protein akan mengalami perubahan muatan pada pH diatas dan dibawah titik
isoelektrisnya. Pada pH di bawah titik isoelektris muatan positifnya lebih besar, sedangkan
diatas titik isolektris muatan negatifnya lebih besar. Perubahan muatan menyebabkan
menurunnya daya tarik menarik antara molekul protein sehingga melekul lebih mudah terurai.
Semakin jauh perbedaannya dari titik isoelektrik maka kelarutan protein semakin meningkat
(Mangino, 1994). Penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar
rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril yang menyebabkan
protein bersifat hidrofilik dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Perbedaan jumlah
dan tipe gugus-gugus polar tersebut menyebabkan perbedaan kemampuan protein dalam
menyerap air (Kilara, 1994).
Interaksi Protein dengan Vitamin
Vitamin C berkaitan dengan sintesis kolagen. Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan
salah satu komponen utama dari jaringan ikat, tulang-tulang rawan, dentin, lapisan endotelium
pembuluh darah dan lain-lain. Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan skorbut
(scurvy). Dalam kasus-kasus skorbut spontan, biasanya terjadi gigi mudah tanggal, gingivitis,
dan anemia, yang mungkin disebabkan oleh adanya fungsi spesifik asam askorbat dalam
sintesis hemoglobin. Skorbut dikaitkan dengan gangguan sintesis kolagen yang
manifestasinya berupa luka yang sulit sembuh, gangguan pembentukan gigi, dan robeknya
kapiler (Tjokronegoro, 1985).
Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg
vitamin C bila dikonsumsi  mencapai 100 mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya
skorbut selama tiga bulan. Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan di dalam tubuh
tinggal 300 mg.  Konsumsi melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin
(Almatsier, 2001).

35
Kolagen adalah protein utama jaringan ikat dan mempunyai struktur heliks-rangkap
tiga. Pada stukturnya terdapat asam amino yang kurang terkenal (jarang ditemukan) yaitu 4-
hidroksi prolin. Studi menggunakan pelacak radioaktif menunjukkan bahwa prolin pada sisi
amino residu-residu glisin menjadi terhidroksilasi pada rantai kolagen. Atom oksigen dari O2
terikat pada dengan C-4 prolin, atom oksigen sisanya diambil oleh alfa-ketoglutarat yang
dikonversi menjadi suksinat.

Reaksi kompleks di atas dikatalisis oleh enzim prolil hidroksilase (suatu


dioksigenase). Reaksi dibantu oleh ion Fe 2+ yang terikat kuat sekali dan berperan untuk
mengaktifkan oksigen. Enzim ini juga mengkonversi alfa-ketogultarat menjadi suksinat tanpa
hidroksilasi prolin. Pada sebagian reaksi ini, terbentuk kompleks Fe 3+-O- dan bersifat meng-
inaktifkan enzim.
Gangguan hidroksilasi begitu penting dalam struktur kolagen. Menurut penelitian in
vitro, kolagen yang disintesis tanpa askorbat mempunyai suhu leleh lebih rendah daripada
protein normal. Studi tentang stabilitas suhu polipeptida sintetik sangat informatif. Tm heliks
rangkap tiga (Pro-Pro-Gli) adalah 24 derajat, sedangkan heliks rangkap tiga (Pro-Hyp-Gli)
adalah 58 derajat (Hyp = hidroksiprolin). Ini terjadi karena hidroksiprolin menstabilkan heliks
rangkap tiga kolagen dengan pembentukan ikatan hidrogen antar untai. Serat-serat abnormal

36
yang terbentuk oleh ketidakcukupan kolagen terhidroksilasi turut menyebabkan kelainan kulit
dan menambah fragilitas pembuluh darah yang dijumpai pada skorbut.
Interaksi Protein dengan Air
Interaksi ini didasarkan pada adanya sifat hidrofilik protein. Sifat ini timbul oleh adanya
rantai sisi polar di sepanjang rantai peptida, yaitu gugus karboksil dan amino. Molekul protein
mempunyai beberapa gugus yang mengandung atom N atau O yang tidak berpasangan. Atom
N pada rantai peptida bermuatan negatif sehingga mampu menarik atom H dari air yang
bermuatan positif. Molekul air yang telah terikat tersebut dapat berikatan dengan molekul air
yang lain, karena memiliki sebuah atom O dengan elektron yang tidak berpasangan
(Damodaran and Paraf, 1997).
Protein akan mengalami perubahan muatan pada pH diatas dan dibawah titik
isoelektriknya. Pada pH di bawah titik isoelektrik muatan positifnya lebih besar, sedangkan
diatas titik isolektrik muatan negatifnya lebih besar. Perubahan muatan menyebabkan
menurunnya daya tarik menarik antara molekul protein sehingga melekul lebih mudah terurai.
Semakin jauh perbedaannya dari titik isoelektrik maka kelarutan protein semakin meningkat
(Mangino, 1994). Penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar
rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril yang menyebabkan
protein bersifat hidrofilik dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Perbedaan jumlah
dan tipe gugus-gugus polar tersebut menyebabkan perbedaan kemampuan protein dalam
menyerap air (Kilara, 1994).
Interaksi Lemak dengan mineral
Perbandingan Zink dengan Kuprum (Zn : Cu) tinggi akan meningkatkan risiko kena penyakit
kardiovaskuler hal ini dikaitkan dengan semakin tinggi kolesterol, hipertensi dan HDL-
kolesterol (hight density lipoprotein) menjadi rendah. Kebutuhan akan zink adalah 15
mg/hari. Kadar kuprum menurun dalam plasma akan menyebabkan hiperkolesterol dan
gangguan fungsi jantung, kebutuhan kuprum dalam sehari 2-3 mg/hari.
Kebutuhan krom erat kaitannya dengan metabolisme karbohidrat, kadar krom
tercukupi akan menyebabkan kerja insulin meningkat dan menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler, total kolesterol menurun serta meningkatkan HDL-kolesterol. Kebutuhan Cr
50-200 mg/hari. Kebutuhan Mangan 2,5 mg/hari, jika kebutuhan mangan tercukupi, juga akan
meningkatkan kerja insulin dan memperbaiki kadar gula dalam darah, serta meningkatkan
HDL-kolesterol.
Peranan Kalsium untuk menurunkan berat badan dan kolesterol telah terungkap secara
empiris, walaupun sebagai fungsi utama kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan
gigi. Perkembangan pengetahuan ini juga membawa dilema (antagonistik) efek kalsium
terhadap peningkatan risiko aterosklerosis. Konsumsi kalsium yang cukup dalam diet harian
dianjurkan untuk menurunkan berat badan dan menurunkan sintesis lemak dan mencegah
hiperkolesterol. Hasil studi longitudinal pada wanita menunjukkan IMT (indeks massa tubuh)
menurun dengan peningkatan konsumsi kalsium. IMT adalah perbandingan berat badan (kg)
dengan tinggi badan (meter) pangkat dua. Konsumsi kalsium dengan protein (rasio 1 : 20)
akan menurunkan berat badan 1 kg/tahun.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang kegemukan (obesitas)
akan dapat menurunkan berat badan dengan tingkat keberhasilan 60 - 80 persen jika konsumsi
kalsium sesuai anjuran.
Mekanisme kerja kalsium berhubungan dengan peran intraseluler kalsium dalam
metabolisme pada jaringan adiposit, Peningkatan konsumsi kalsium dalam bahan pangan akan

37
menurunkan konsentrasi 1,25-dehidroksi vitamin D (1,25 (OH2) D). Hasilnya akan
menyebabkan penurunan pengaturan transfer kalsium ke adiposit dan pankreas. Dalam
adiposit penurunan konsentrasi kalsium intraseluler akan menurunkan sintesa asam lemak,
penurunan proses lipogenesis (pembentukan lemak), dan peningkatan lipolisis (pemecahan
lemak).
Dalam sel pankreas, penurunan konsentrasi kalsium dalam intraseluler akan
menurunkan produksi insulin yang akan berpengaruh terhadap penurunan lipogenesis dan
peningkatan lipolisis dalam adiposit. Kombinasi kedua ini berperan dalam penurunan
simpanan lemak dalam jaringan adiposit (Onge, 2005).
Interaksi Senyawa Flavor dengan Karbohidrat
Senyawa flavor merupakan senyawa yang dapat memberikan aroma pada pangan. Ciri utama
senyawa flavor adalah bersifat volatil. Suatu senyawa akan bersifat volatil jika mempunyai
berat molekul (BM) kurang dari 294,1 Senyawa flavor berada pada suatu matriks pangan
yang beraneka ragam jenisnya. Jenis matriks pangan akan mempengaruhi tingkat pelepasan
dari senyawa flavor tersebut (flavor release). Hal ini karena senyawa flavor dapat berinteraksi
dengan karbohidrat, protein dan lemak yang umumnya berada pada pangan. Polaritas senyawa
flavor pada umumnya rendah. Hal ini akan mempengaruhi interaksi antara senyawa flavor
dengan karbohidrat, protein dan lemak. Karbohidrat dapat berupa pati dan gula sederhana.
Interaksi dari setiap jenis karbohidrat tersebut dengan senyawa flavor berbeda-beda. Hal ini
karena setiap jenis karbohidrat mempunyai struktur yang berbeda.
Gula sederhana seperti monosakarida dan disakarida banyak digunakan sebagai
carrier senyawa flavor karena gula sederhana dalam sistem aqueous dapat meningkatkan
volatilitas dari senyawa flavor.
Semakin tinggi konsentrasi gula sederhana maka nilai koefisien partisi juga akan
semakin meningkat. Pati dapat berupa amilosa dan amilopektin. Amilosa dapat membentuk
struktur single helix, sedangkan amilopektin dapat membentuk struktur double helix. Kedua
struktur tersebut dapat meng-entrap (memikat) senyawa flavor. Hal ini karena bagian dalam
dari struktur helix tersebut cenderung bersifat nonpolar. Hasil hidrolisis pati dapat berupa
dextrin dan maltodextrin. Senyawa-senyawa tersebut kehilangan sifat pengikatan (entrapped)
terhadap senyawa flavor karena struktur helix-nya sudah tidak ada. Siklodektrin merupakan
dextrin yang bersifat siklik yang banyak digunakan untuk enkapsulasi senyawa flavor.
Interaksi Senyawa Flavor dengan Lemak
Trigliserida merupakan senyawa yang tersusun dari 3 asam lemak dan gliserol. Trigliserida
atau lemak mempunyai sifat nonpolar sehingga dapat mengikat senyawa flavor yang
umumnya bersifat nonpolar. Adanya lemak akan menurunkan tingkat pelepasan flavor
(flavour release), sehingga makanan yang mempunyai kadar lemak tinggi umumnya
mempunyai odour threshold (ambang batas bau) yang tinggi dibandingkan makanan dalam
sistem aqueous.

8. Interaksi Mikro dan Mikro


Interaksi Vitamin dan Vitamin
Vitamin A berinteraksi dengan kedua Vitamin E dan K. pembelahan β-karoten menjadi
Vitamin E. Retina memerlukan Vitamin E adalah diperlukan untuk melindungi substrat dan
produk dari oksidasi, namun dosis besar 10 kali RDA (Rebuildable Dripping Atomizer)
Vitamin E menghambat β-karoten penyerapan retinol konversi ke dalam usus. Kelebihan

38
Vitamin A juga muncul mengganggu penyerapan Vitamin K. Vitamin A juga mempengaruhi
status dan transportasi Protein. Aktivitas enzim yang memotong caretenoid dioxigenase β-
karoten tertekan oleh asupan protein yang memadai. Keseluruhan Vitamin A metabolisme
berkaitan erat dengan status protein karena transportasi dan penggunaan vitamin tergantung
dari beberapa Vitamin A-binding protein (RBP) disintesis dalam tubuh.
Sebuah defisiensi Zing mengganggu Metabolisme vitamin A. Efeknya muncul untuk
beroperasi pada dua tingkatan. Pertama, pengurangan umum dalam pertumbuhan disertai oleh
penurunan asupan makanan dan penurunan sintesis protein plasma, particulart RBP yang
dibuat dalam hati. Jadi dengan Zing defeciency ada penurunan hepatik mobilization dari
bentuk retinol menjadi bentuk retinyl ester.
Vitamin A dan E yang larut dalam lemak diketahui memusuhi vitamin K. Kelebihan
vitamin A muncul untuk mengganggu penyerapan vitamin K. Efek yang antagonistik pada
vitamin K bagaimanapun belum dapat dijelaskan, tetapi diperkirakan mempengaruhi 
penyerapan, fungsi dan atau metabolisme. Vitamin E dapat menghalangi generasi
pembentukan vitamin K dan atau dapat mempengaruhi pembentukan protrombin dengan cara
lain. Vitamin E bisa juga memberikan dampak penyerapan vitamin K. Vitamin D berdampak
pada fungsi metabolisme Kalsium, Protein dan vitamin K. Pengikatan Kalsium tergantung
vitamin K. Pembelahan beta karoten didalam retina juga memerlukan vitamin E. Vitamin E
mungkin diperlukan untuk melindungi substrat dan produk dari oksidasi, namun dosis besar
(10 kali RDA) vitamin E bisa menghambat penyerapan beta karoten atau konservasi untuk
retinol dalam usus. Hubungan antara vitamin E dan diet khususnya PUFA adalah kuat karena
kebutuhan untuk vitamin meningkat atau berkurang sebagai asupan PUFA dietary naik atau
turun. Beberapa peneliti percaya bahwa tingkat diet PUFA perlu ditentukan untuk vitamin E
minimal.
Interaksi Vitamin dan Mineral
Vitamin C meningkatkan absorpsi Besi bila dimakan pada waktu yang bersamaan. Vitamin D
kalsiferol juga akan meningkatkan absorpsi Kalsium. Banyak Vitamin yang membutuhkan
mineral untuk melakukan peranannya dalam metabolisme. Seperti koenzim Tiamin
membutuhkan Magnesium untuk berfungsi secara efisien.
Secara teori, terdapat 2 mekanisme yang sering digunakan untuk menjelaskan
hubungan atau interaksi antara Zink dan vitamin A. Mekanisme pertama adalah Zink
berperan dalam memediasi transportasi vitamin A melalui sebuah protein yang disebut
dengan RBP (Retinol Binding Protein). Defisiensi Zink dapat menyebabkan penurunan
sintesis dari RBP di hati yang berdampak pada penurunan konsentrasi RBP dalam plasma.
Mekanisme kedua adalah zink merupakan salah satu komponen dalam enzim
zinkdependentretinoldehydrogenase yang berperan dalam perubahan retinol menjadi retinal
(retinaldehyde).
Vitamin D membantu tubuh untuk menyerap Kalsium. Menggunakan supplement
Kalsium bersama dengan Calcipotriene (Dovonex) mungkin menyebabkan tubuh terlalu
banyak menyerap Kalsium. Kadar vitamin D seseorang sangat dipengaruhi oleh Kalsium,
Phosphor, dan faktor pertumbuhan Fibroblast. Kadarnya akan menjadi menurun akibat umpan
balik negative dari paratiroid hormone. Vitamin D aktif berperan dalam meningkatkan
absorsi Kalsium di usus melalui interaksi Kalsium dengan reseptor vitamin D diusus. Kalsium
dibutuhkan untuk membuat Osteoclast menjadi matang yang berperan dalam
mempertahankan kadar Kalsium dan Phosphor dalam sirkulasi darah dan memberi Kalsium
beserta Phosphor untuk mineralisasi pembentukan tulang. Peran lain vitamin D dalam
mencegah kanker usus adalah melalui perannya membuat pasase usus (hambatan) lancar
sehingga menghindari adanya kontak lama antara zat-zat yang diasup tidak sehat dengan usus.

39
Seseorang dikatakan kurang vitamin bila kadar Vitamin D (25 hidroksi vitamin D) didalam
darah kurang dari 20 ng permililiter. Seseorang akan berisiko intoksikasi (keracunan) bila
kadar 25 dehidroksivitamin D besar 150 ng permililiter. Sediaan Vitamin D yang dijual
biasanya didapat dari hasil ultraviolet iradiasi terhadap esgosterol dari jamur yang dikemas
dengan vitamin D2, sedangkan vitamin D 3 didapat dari hasil iradiasi ultraviolet 7
dehidrocholesterol dari lanolin. Vitamin D diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan gigi.
Vitamin D ini diperlukan untuk membantu penyerapan kalsium di usus yang dibutuhkan
untuk proses pertumbuhan tulang. Untuk menjaga dan mempertahankan pertumbuhan tulang
selain vitamin D juga diperlukan kalsium serta kegiatan fisik yang teratur. Kekurangan
vitamin D akan mengganggu pertumbuhan tulang pada anak, seperti penyakit Rickets dan
osteoporosis pada dewasanya.
Beberapa mineral juga sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan terutama
kalsium. Seperti diketahui 25% dari tulang adalah senyawa kalsium. Kalsium dibutuhkan
tidak secara tersendiri karena penyerapannya melibatkan vitamin D, Protein, Natrium, dan
lain-lain. Asupan Kalsium ini sangat bervariasi tergantung dari ras, individu, kebiasaan
makan, dan lain-lain. Jadi, perlu untuk mengetahui kebutuhan yang direkomendasikan.

40
DAFTAR PUSTAKA
Ferrier, Denise R. Biokimia Jilid 2. Binarupa Aksara : Tanggerang.
Gaw, Alan, dkk. 2011. Biokimia Klinis. EGC : Jakarta.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Ilmu Gizi Jilid I. Dian Rakyat : Jakarta.
Robert k. murray, dkk. 2003. Biokimia harper. jakarta : penerbit buku kedokteran EGC

COVER BUKU

41

Anda mungkin juga menyukai