Disusun oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PSDKU KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur kami sampaikan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
menyelesaikan makalah yang berjudul Pengaruh H2S pada ikan secara tepat
waktu. Oleh karenanya penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah
makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Semoga
bantuan yang sudah diberikan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya. Selain itu
penulis juga berharap semoga makalah ini berdaya guna di masa sekarang dan
ini masih belum sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun dari materi yang
disampaikan. Maka dari itu, kritik dan saran yang positif dari semua pihak agar
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1 Halama
n
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................1
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................7
3.2 Saran............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................9
AB 1 PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
budidaya?
1.3 Tujuan
budidaya
BAB 2 PEMBAHASAN
Menurut Hong-Kook et. al. (2020) bahan organik sedimen dan oksigen
terlarut secara simultan mempengaruhi kadar H2S Air. Dengan demikian berarti
kadar H2S air dipengaruhi oleh bahan organik sedimen dan oksigen terlarut, karena
kadar H2S berasal dari proses dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob.
Semakin tinggi kandungan bahan organik sedimen dan semakin rendah kandungan
oksigen terlarut di perairan tersebut, maka semakin tinggi kadar H2S airnya. Bahan
organik yang tinggi akan digunakan bakteri sebagai nutrisi makanan pada proses
penguraian bahan organik, sehingga jumlah bakteri yang menguraikan bahan
organik meningkat seiring meningkatnya jumlah bahan organik yang masuk ke
dalam perairan. Proses penguraian bahan organik dilakukan oleh bakteri aerob,
sehingga dalam prosesnya memerlukan oksigen. Jumlah oksigen terlarut semakin
berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah bakteri aerob saat proses
penguraian bahan organik, sehingga hal ini akan mengakibatkan kondisi anoksik di
perairan.
Menurut Halimatus et. al. (2018) menyatakan bahwa, oksigen terlarut yang
rendah akan mengganggu aktivitas dan pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur.
Adapun kandungan bahan organik berbanding lurus dengan pertumbuhan total
bakteri yang diteliti, yaitu semakin tinggi kandungan bahan organik, maka semakin
tinggi kelimpahan total bakteri di perairan tersebut. Menipis dan habisnya kadar
oksigen terlarut, mengakibatkan proses penguraian bahan organik dalam kondisi
anoksik yang kemudian digantikan dengan bakteri anaerob fakultatif. Penguraian
bahan organik pada kondisi anoksik tidak dapat berjalan secara sempurna dan dapat
menimbulkan senyawa berbahaya seperti hidrogen sulfida, bahkan jumlah hidrogen
sulfida dapat meningkat seiring bertambahnya bahan organik dan menurunnya
oksigen terlarut. Kandungan sulfur dan bahan organik yang melimpah dengan
kondisi lingkungan yang tergenang dapat membentuk senyawa pirit.
3
2.2 Bentuk H2S di Perairan Budidaya
Sulfur di dalam perairan akan berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen.
Bentuk sulfur di perairan berupa sulfida (S2-), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida
(FeS), sulfur dioksida (SO2), sulfida (SO3) dan sulfat (SO4). H2S dapat menimbulkan
permasalahan yakni mudah larut, toksik dan menimbulkan bau seperti telur busuk.
Kadar hidrogen sulfida yang tinggi akan berdampak terhadap peningkatan potensial
redoks pada substrat dasar perairan sehingga jika terjadi pengadukan akan
menyebabkan potensi keasaman pada air akan meningkat, dan menyebabkan pH air
akan menurun. Bila kondisi tersebut berada ada keadaan mantap atau stagnasi
maka senyawa hidrogen sulfida akan menyebabkan efek keracunan pada ikan yang
ada dalam danau dan memungkinkan terjadinya kematian massal pada ikan.
Pembentukan amonia dan hidrogen sulfida (H2S) di dasar tambak merupakan
sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan survival rate (SR)
udang di tambak intensif. Adanya senyawa H2S menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
pertumbuhan terhambat, penurunan terhadap daya tahan terhadap penyakit dan
kematian biota budidaya. Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena
dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri
aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerob akan
mendekomposisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul
yang sedang dihancurkan.
Hasil dari kegiatan bakteri anaerob dapat membentuk hidrogen sulfida (H2S),
gas yang berbau busuk dan berbahaya serta beberapa produk lainnya. Produk
utama dari oksidasi aerobik adalah karbondioksida (CO2) dan air yang dapat
dimanfaatkan kembali oleh produsen primer dalam melakukan fotosintesis. Pada
proses reproduksi bakteri terdapat mekanisme keseimbangan antara reproduksi
bakteri dengan keberadaan oksigen dan bahan organik atau nutrisinya. Proses
reproduksinya dengan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya
secara eksponensial, dibatasi oleh kondisi oksigen dan bahan organik, sehingga
larinya pun terhambat atau bahkan terhenti. Dampak dari produksi sulfida,
bergantung pada hidrokimia dari danau, dapat menyebabkan hilangnya besi,
pelepasan fosfat, akumulasi/toksisitas sulfida dan eutrofikasi internal. Besi bebas
yang terdapat di danau akan bereaksi dengan sulfida membentuk mineral besi
sulfida (FeS) menyebabkan tidak tersedianya kandungan besi bebas untuk mengikat
fosfat di danau. Apabila besi bebas tidak tersedia, sulfida dapat bereaksi dengan
besi yang terikat pada besi fosfat kompleks membentuk mineral besi sulfida yang
menyebabkan fosfat terlepas ke perairan. Memahami mekanisme yang mengontrol
ketersediaan/availability fosfat sangat penting untuk menjawab masalah eutrofikasi
(Henny dan Sulung, 2012).
Pemanfaatan sumberdaya perairan harus dilihat dari segi potensi dari daya
dukung dari perairan itu sendiri. Hal ini dimaksud agar potensi perairan tersebut
tetap lestari, sehingga dapat mendukung usaha budidaya. Secara ekologis sulfat
diperlukan oleh organisme nabati dalam metabolisme protein dan bagi
pertumbuhannya. Namun dalam keadaan anaerob sulfat akan direduksi oleh bakteri
menjadi senyawa sulfida dalam bentuk H2S merupakan senyawa yang sangat
beracun bagi ikan pada konsentrasi 1,0 mg/l bahwa sulfat memasuki perairan
bersama sama air hujan yang membawa larutan-larutan dari ikatan majemuk sulfat
dalam pembentukan sedimen. Upaya pencegahan dan pengendalian dampak
keracunan hidrogen sulfida dalam perairan budidaya dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan pH air melalui pengapuran dan meningkatkan kandungan oksigen
perairan melalui pemakaian kincir (aerasi) dan atau pergantian air yang mempunyai
kandungan oksigen yang tinggi.
3.1 Kesimpulan
1. Hidrogen Sulfida atau H2S merupakan senyawa berupa gas yang memiliki
sifat racun dan mematikan bagi hewan akuatik, seperti udang dan ikan.
Kemunculan H2S pada kolam dan tambak disebabkan oleh adanya
penguraian bahan organik oleh bakteri pereduksi sulfur.
3. Bahan-bahan organik yang terurai itu biasanya bersumber dari sisa pakan
yang mengendap di dasar kolam maupun tambak, sertai bangkai dari
komoditi yang dibudidayakan itu sendiri.
4. Senyawa H2S dikenal sangat beracun dan mematikan. Senyawa ini bekerja
dengan membuat kerusakan-kerusakan pada organ-organ intim dari komoditi
budidaya. Ancaman yang ditimbulkan dari senyawa ini meliputi kerusakan
pada insang ikan maupun udang, meningkatnya stres hingga akhirnya ikan
dan udang mati.
7
sulphur yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organic akan
teroksidasi dan terionisasi dalam bentuk lain yang tidak berbahaya bagi
organisme budidaya, seperti udang dan ikan.
3.2 Saran
Sa’diyah, H., Afiati, N., & Purnomo, P. W. (2018). Kandungan Bahan Organik
Sedimen dan Kadar H2S Air di Dalam dan di Luar Tegakan Mangrove Desa
Bedono, Kabupaten Demak. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES), 7(1), 78-85.