Anda di halaman 1dari 12

FISIKA KIMIA PERAIRAN

“Pengaruh H2S pada ikan”

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Arief Prajitno, MS.

Disusun oleh :

03 Bima Adiansa 205080500113005

04 Natasya Wahyu Ananda P. 205080500113007

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PSDKU KEDIRI

2021
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami sampaikan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul Pengaruh H2S pada ikan secara tepat

waktu. Oleh karenanya penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan

makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Semoga

bantuan yang sudah diberikan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya. Selain itu

penulis juga berharap semoga makalah ini berdaya guna di masa sekarang dan

masa yang akan datang.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa makalah

ini masih belum sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun dari materi yang

disampaikan. Maka dari itu, kritik dan saran yang positif dari semua pihak agar

makalah ini menjadi lebih baik.

Kediri, 1 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB 1 Halama

n
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................3

2.1 Sumber H2S dalam Kolam Budidaya........................................................................3


2.2 Bentuk H2S di Perairan Budidaya.............................................................................4
2.3 Dampak H2S dalam Budidaya Ikan..........................................................................4
2.4 Pencegahan dan Pengendalian H2S pada Perairan Budidaya...............................5
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................................7

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................7
3.2 Saran............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................9
AB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan penelitian Amanpokptis, et al. (2019) h2S merupakan gas yang


sangat berbahaya pada suatu perairan karena bersifat racun bagi ikan, terutama
pada ikan-ikan akuakultur yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Pada kondisi
anaerobik, sulfat digunakan sebagai pengganti oksigen pada proses metabolisme
mikroba, dan proses ini melepaskan gas H2S ke perairan. Peningkatan produksi H2S
oleh aktivitas metabolisme mikroba merupakan karakteristik dari dasar perairan yang
terakumulasi oleh buangan material organik pada sedimen anoksik yang ada di
bawah kurungan-kurungan akuakultur ikan. Gas H2S adalah gas yang beracun,
apabila kadar gas ini berlebihan di suatu perairan, maka gas tersebut dapat
membahayakan bagi kehidupan biota di lingkungan tersebut. Gas H2S timbul
sebagai akibat dari perombakan bahan organik yang tertimbun di sedimen.
Menurut Halimatus et. al. (2018), rendahnya angka pH perairan disebabkan
oleh proses penguraian bahan organik oleh bakteri anaerob yang menghasilkan
asam organik. Toksisitas H2S meningkat dengan penurunan angka pH karena pada
pH 5 sulfur berada dalam bentuk H2S. Semakin tinggi kandungan oksigen terlarut,
maka perairan tersebut mempunyai pasokan yang cukup untuk proses dekomposisi
bahan organik, sehingga tidak bergeser ke proses anaerob. Proses anaerob dalam
dekomposisi bahan organik dapat menyebabkan terbentuknya H2S. Kandungan
oksigen terlarut dalam air sering berfluktuasi, oksigen terlarut berperan penting
dalam kehidupan biota di dalam suatu perairan, termasuk bakteri pengurai di
kawasan tersebut. Berkurangnya oksigen terlarut secara terus-menerus akan
mengubah proses penguraian bahan organik yang semula aerob berganti menjadi
anaerob. Penurunan angka oksigen terlarut menggambarkan adanya perubahan
komposisi bakteri pengurai yang terdapat di perairan dasar sehingga memungkinkan
munculnya kelompok bakteri anaerob fakultatif

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja sumber H2S dalam perairan budidaya?

2. Bagaimana bentuk H2S di perairan budidaya?

3. Apa dampak dari H2S dalam perairan budidaya?

4. Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian H2S dalam perairan

budidaya?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa saja sumber H2S dalam perairan budidaya

2. Memahami bentuk H2S di perairan budidaya

3. Memahami dampak dari H2S dalam perairan budidaya

4. Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian H2S dalam perairan

budidaya
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Sumber H2S dalam Kolam Budidaya

Menurut Hong-Kook et. al. (2020) bahan organik sedimen dan oksigen
terlarut secara simultan mempengaruhi kadar H2S Air. Dengan demikian berarti
kadar H2S air dipengaruhi oleh bahan organik sedimen dan oksigen terlarut, karena
kadar H2S berasal dari proses dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob.
Semakin tinggi kandungan bahan organik sedimen dan semakin rendah kandungan
oksigen terlarut di perairan tersebut, maka semakin tinggi kadar H2S airnya. Bahan
organik yang tinggi akan digunakan bakteri sebagai nutrisi makanan pada proses
penguraian bahan organik, sehingga jumlah bakteri yang menguraikan bahan
organik meningkat seiring meningkatnya jumlah bahan organik yang masuk ke
dalam perairan. Proses penguraian bahan organik dilakukan oleh bakteri aerob,
sehingga dalam prosesnya memerlukan oksigen. Jumlah oksigen terlarut semakin
berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah bakteri aerob saat proses
penguraian bahan organik, sehingga hal ini akan mengakibatkan kondisi anoksik di
perairan. 

Menurut Halimatus et. al. (2018) menyatakan bahwa, oksigen terlarut yang
rendah akan mengganggu aktivitas dan pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur.
Adapun kandungan bahan organik berbanding lurus dengan pertumbuhan total
bakteri yang diteliti, yaitu semakin tinggi kandungan bahan organik, maka semakin
tinggi kelimpahan total bakteri di perairan tersebut. Menipis dan habisnya kadar
oksigen terlarut, mengakibatkan proses penguraian bahan organik dalam kondisi
anoksik yang kemudian digantikan dengan bakteri anaerob fakultatif. Penguraian
bahan organik pada kondisi anoksik tidak dapat berjalan secara sempurna dan dapat
menimbulkan senyawa berbahaya seperti hidrogen sulfida, bahkan jumlah hidrogen
sulfida dapat meningkat seiring bertambahnya bahan organik dan menurunnya
oksigen terlarut. Kandungan sulfur dan bahan organik yang melimpah dengan
kondisi lingkungan yang tergenang dapat membentuk senyawa pirit.

3
2.2 Bentuk H2S di Perairan Budidaya

Hidrogen sulfida merupakan hidrida kovalen yang secara kimiawi terkait


dengan air (H2O) karena oksigen dan sulfur berada dalam golongan yang sama di
tabel periodik. Di perairan budidaya, sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan
oksigen. Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hydrogen sulfida
(H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur oksida (SO2), sulfit (SO3) dan sulfat (SO4).
Hidrogen sulfida (H2S) adalah sulfur dalam bentuk gas yang tidak berwarna,
beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Gas ini dapat timbul dari
aktivitas biologis ketika bakteri menguraikan bahan organik dalam keadaan tanpa
oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di rawa dan saluran pembuangan kotoran. Gas
ini juga muncul pada gas yang timbul dari aktivitas gunung berapi dan gas alam.
Hidrogen sulfida juga dikenal dengan nama sulfana, sulfur hidrida, gas asam ( sour
gas), sulfurated hydrogen, asam hydrosulfuric, dan gas limbah (sewer gas). IUPAC
menerima penamaan "hidrogen sulfida" dan "sulfana"; kata terakhir digunakan lebih
eksklusif ketika menamakan campuran yang lebih kompleks.

2.3 Dampak H2S dalam Budidaya Ikan

Sulfur di dalam perairan akan berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen.
Bentuk sulfur di perairan berupa sulfida (S2-), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida
(FeS), sulfur dioksida (SO2), sulfida (SO3) dan sulfat (SO4). H2S dapat menimbulkan
permasalahan yakni mudah larut, toksik dan menimbulkan bau seperti telur busuk.
Kadar hidrogen sulfida yang tinggi akan berdampak terhadap peningkatan potensial
redoks pada substrat dasar perairan sehingga jika terjadi pengadukan akan
menyebabkan potensi keasaman pada air akan meningkat, dan menyebabkan pH air
akan menurun. Bila kondisi tersebut berada ada keadaan mantap atau stagnasi
maka senyawa hidrogen sulfida akan menyebabkan efek keracunan pada ikan yang
ada dalam danau dan memungkinkan terjadinya kematian massal pada ikan.
Pembentukan amonia dan hidrogen sulfida (H2S) di dasar tambak merupakan
sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan survival rate (SR)
udang di tambak intensif. Adanya senyawa H2S menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
pertumbuhan terhambat, penurunan terhadap daya tahan terhadap penyakit dan
kematian biota budidaya. Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena
dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri
aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerob akan
mendekomposisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul
yang sedang dihancurkan. 

Hasil dari kegiatan bakteri anaerob dapat membentuk hidrogen sulfida (H2S),
gas yang berbau busuk dan berbahaya serta beberapa produk lainnya. Produk
utama dari oksidasi aerobik adalah karbondioksida (CO2) dan air yang dapat
dimanfaatkan kembali oleh produsen primer dalam melakukan fotosintesis. Pada
proses reproduksi bakteri terdapat mekanisme keseimbangan antara reproduksi
bakteri dengan keberadaan oksigen dan bahan organik atau nutrisinya. Proses
reproduksinya dengan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya
secara eksponensial, dibatasi oleh kondisi oksigen dan bahan organik, sehingga
larinya pun terhambat atau bahkan terhenti. Dampak dari produksi sulfida,
bergantung pada hidrokimia dari danau, dapat menyebabkan hilangnya besi,
pelepasan fosfat, akumulasi/toksisitas sulfida dan eutrofikasi internal. Besi bebas
yang terdapat di danau akan bereaksi dengan sulfida membentuk mineral besi
sulfida (FeS) menyebabkan tidak tersedianya kandungan besi bebas untuk mengikat
fosfat di danau. Apabila besi bebas tidak tersedia, sulfida dapat bereaksi dengan
besi yang terikat pada besi fosfat kompleks membentuk mineral besi sulfida yang
menyebabkan fosfat terlepas ke perairan. Memahami mekanisme yang mengontrol
ketersediaan/availability fosfat sangat penting untuk menjawab masalah eutrofikasi
(Henny dan Sulung, 2012).

2.4 Pencegahan dan Pengendalian H2S pada Perairan Budidaya

Pemanfaatan sumberdaya perairan harus dilihat dari segi potensi dari daya
dukung dari perairan itu sendiri. Hal ini dimaksud agar potensi perairan tersebut
tetap lestari, sehingga dapat mendukung usaha budidaya. Secara ekologis sulfat
diperlukan oleh organisme nabati dalam metabolisme protein dan bagi
pertumbuhannya. Namun dalam keadaan anaerob sulfat akan direduksi oleh bakteri
menjadi senyawa sulfida dalam bentuk H2S merupakan senyawa yang sangat
beracun bagi ikan pada konsentrasi 1,0 mg/l bahwa sulfat memasuki perairan
bersama sama air hujan yang membawa larutan-larutan dari ikatan majemuk sulfat
dalam pembentukan sedimen. Upaya pencegahan dan pengendalian dampak
keracunan hidrogen sulfida dalam perairan budidaya dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan pH air melalui pengapuran dan meningkatkan kandungan oksigen
perairan melalui pemakaian kincir (aerasi) dan atau pergantian air yang mempunyai
kandungan oksigen yang tinggi. 

Pengapuran merupakan salah satu cara terbaik untuk mempertahankan pH


yang optimal bagi pertumbuhan udang ditambak. Sedangkan pemberian aerasi pada
perairan budidaya bertujuan untuk meningkat konsentrasi oksigen terlarut dalam air
sehingga perairan kaya dengan oksigen. Hal ini akan menurunkan kandungan
hidrogen sulfida (H2S) dalam perairan karena sulphur yang dihasilkan oleh proses
dekomposisi bahan organic akan teroksidasi dan terionisasi dalam bentuk lain yang
tidak berbahaya bagi organisme budidaya, seperti udang dan ikan. Hubungan antara
hidrogen sulfida dengan budidaya ikan adalah sangat terkait erat, dimana
peningkatan konsentrasi kandungan H2S yang tidak terionisasi melewati ambang
batas sebesar 1 ppm dapat mengakibatkan kematian organisme budidaya secara
massal. Batas maksimum konsentrasi H2S yang masih dapat ditoleransi untuk
kegiatan budidaya hanya 0,002 mg/L. Tingginya kandungan H2S selain bersumber
dari proses dekomposisi limbah di dasar perairan (LIPI, 2007 dalam Erlania, 2010).
Hasil pengukuran parameter utama kualitas air menunjukkan bahwa pH air dan
tanah cenderung netral, namun demikian terlihat pH tanah lebih rendah
dibandingkan dengan pH air. Hal ini disebabkan karena banyaknya timbunan bahan
organik di dasar perairan yang berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Bau tidak
sedap ini berasal dari gas H2S yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organic
(Muchlisin, 2009).
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah Pengaruh H2S pada ikan sebagai berikut.

1. Hidrogen Sulfida atau H2S merupakan senyawa berupa gas yang memiliki
sifat racun dan mematikan bagi hewan akuatik, seperti udang dan ikan.
Kemunculan H2S pada kolam dan tambak disebabkan oleh adanya
penguraian bahan organik oleh bakteri pereduksi sulfur.

2. Semakin tinggi kandungan bahan organik sedimen dan semakin rendah


kandungan oksigen terlarut di perairan tersebut, maka semakin tinggi kadar
H2S airnya. Bahan organik yang tinggi akan digunakan bakteri sebagai nutrisi
makanan pada proses penguraian bahan organik, sehingga jumlah bakteri
yang menguraikan bahan organik meningkat seiring meningkatnya jumlah
bahan organik yang masuk ke dalam perairan

3. Bahan-bahan organik yang terurai itu biasanya bersumber dari sisa pakan
yang mengendap di dasar kolam maupun tambak, sertai bangkai dari
komoditi yang dibudidayakan itu sendiri.

4. Senyawa H2S dikenal sangat beracun dan mematikan. Senyawa ini bekerja
dengan membuat kerusakan-kerusakan pada organ-organ intim dari komoditi
budidaya. Ancaman yang ditimbulkan dari senyawa ini meliputi kerusakan
pada insang ikan maupun udang, meningkatnya stres hingga akhirnya ikan
dan udang mati.

5. Pengapuran merupakan salah satu cara terbaik untuk mempertahankan pH


yang optimal bagi pertumbuhan udang ditambak. Sedangkan pemberian
aerasi pada perairan budidaya bertujuan untuk meningkat konsentrasi
oksigen terlarut dalam air sehingga perairan kaya dengan oksigen. Hal ini
akan menurunkan kandungan hidrogen sulfida (H2S) dalam perairan karena

7
sulphur yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organic akan
teroksidasi dan terionisasi dalam bentuk lain yang tidak berbahaya bagi
organisme budidaya, seperti udang dan ikan.

3.2 Saran

Saran dari penyusun makalah sebagai berikut. Pemerintah beserta


masyarakat perlu bersama-sama menjaga supaya tidak terjadi pencemaran pada
perairan agar fungsi ekologi ekosistem perairan tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Amanpokptis, M., Tombokan, J. L., Bataragoa, N. E., & Manginsela, F. B. (2019).


Weight-Length and Condition Factor of Snakehead Fish Channa striata
(Bloch, 1793) from Tondano Lake North Sulawesi. JURNAL PERIKANAN DAN
KELAUTAN TROPIS, 10(1), 6-17.
Hong-Kook, K. I. M., Geun-Seop, K. I. M., Chae-Rin, P. A. R. K., & Byeong-Soo, K. I.
M. (2020). Oxidation of Hydrogen sulfide, Ammonia nitrogen and Nitrite
nitrogen by Bacillus sp. Isolated from West Coast of Korea. 수산해양교육연
구, 32(4), 891-898.
Kayame, M. M., Indrawati, E., & Mulyani, S. (2021). ANALISIS FISIKA KIMIA AIR
DANAU PANIAI-PAPUA UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN. Journal of
Aquaculture and Environment, 3(2), 23-28.
Polapa, F. S., & Satari, D. Y. (2018). Kajian Kualitas Air dan Indeks Pencemar
Wilayah Pesisir Kota Makassar (Water Quality and Pollution Index Study in
the Coastal Zone Makassar City). Jurnal Pengelolaan Perairan, 1(2), 41-55.

Sa’diyah, H., Afiati, N., & Purnomo, P. W. (2018). Kandungan Bahan Organik
Sedimen dan Kadar H2S Air di Dalam dan di Luar Tegakan Mangrove Desa
Bedono, Kabupaten Demak. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES), 7(1), 78-85.

Anda mungkin juga menyukai