Anda di halaman 1dari 97

PEDOMAN

PELAYANAN MEDIS KSM PEDIATRI


RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI
KABUPATEN JEMBER
TAHUN 2021-2022

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER


BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

Rumah Sakit Daerah RSD dr. Soebandi


Jl. Dr. Soebandi No. 124 Telp. (0331) 487441
Fax. (0331) 487564 Jember

Pelayanan Cepat, Tepat, Bermutu dan Manusiawi

i
Kata Pengantar

Tim Penyusun mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha, karena-Nya
kami dapat menyelesaikan buku Pedoman Pelayanan Medis KSM Pediatri ini, kami juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Buku ini disusun atas kebutuhan standarisasi
pelayanan di lingkungan KSM Pediatri yang sesuai dengan dasar kompetensi serta
kewenangan klinis yang diatur secara rasional sesuai standar akreditasi pelayanan rumah sakit
dan berkualitas tinggi serta mampu menjawab semua tantangan perubahan ilmu kedokteran
yang dinamis.

Kami sebagai tim penyusun menyadari bahwa dalam penulisan buku ini masih jauh
dari kata sempurna, baik dari sisi materi maupun penulisannya. Kami dengan rendah hati dan
dengan tangan terbuka menerima masukan maupun saran yang bersifat membangun, yang
diharapkan berguna bagi seluruh pembaca.

Jember, 2 September 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv

ANTROPOMETRI ANAK ........................................................................... 5


PENGUKURAN LINGKAR KEPALA ........................................................ 12
TATALAKSANA BBLR DENGAN INKUBATOR ................................... 17
PENGGUNAAN NEBUL ............................................................................. 20
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR ............................................................. 25
LAVEMENT ................................................................................................. 30
RESUSITASI NEONATUS .......................................................................... 34
PEMASANGAN OGT DAN NGT .............................................................. 41
PEMASANGAN KATETER URINE ........................................................... 44
PEMASANGAN INFUS .............................................................................. 48
IMUNISASI .................................................................................................. 51
TRANSFUSI DARAH .................................................................................. 68
KOREKSI ELEKTROLIT ............................................................................ 72
MANTOUX TEST ........................................................................................ 76
INJEKSI ANTIHEMOPHLIC FACTOR ........................................................ 79
REHIDRASI .................................................................................................. 83
PENGGUNAAN CPAP ................................................................................ 86
LUMBAL PUNGSI ....................................................................................... 91

iii
LEMBAR PENGESAHAN
PEDOMAN PELAYANAN MEDIS
KSM PEDIATRI

RSD dr. SOEBANDI JEMBER

TAHUN 2021-2022

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

iv
1. ANTROPOMETRI ANAK

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

ANTROPOMETRI ANAK

PENDAHULUAN Antropometri Anak adalah kumpulan data tentang ukuran, proporsi,


komposisi tubuh sebagai rujukan untuk menilai status gizi dan
pertumbuhan anak dari usia 0 (nol) bulan sampai dengan 18 (delapan
belas) tahun. Standar Antropometri Anak di Indonesia mengadopsi
standar pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0 – 5
tahun dan The WHO Reference 2007 untuk anak 5 – 18. Umur yang
digunakan pada standar ini merupakan umur yang dihitung dalam bulan
penuh, sebagai contoh bila umur anak 2 bulan 29 hari maka dihitung
sebagai umur 2 bulan. Indeks Panjang Badan (PB) digunakan pada
anak umur 0 – 24 bulan yang diukur dengan posisi terlentang. Bila anak
umur 0 – 24 bulan diukur dengan posisi berdiri, maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. sementara
untuk indeks Tinggi Badan (TB) digunakan pada anak umur di atas 24
bulan yang diukur dengan posisi berdiri. Bila anak umur di atas 24
bulan diukur dengan posisi terlentang, maka hasil pengukurannya
dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.

TUJUAN 1. Menilai status gizi dan pertumbuhan anak


2. Memprediksi adanya penyakit-penyakit/ gangguan metabolic
3. Menentukan diagnosis kekurangan atau kelebihan zat gizi,
sehingga dukungan nutrisi dapat segera dilakukan.

SOP Cara mengukur PB bayi berusia 0 – 24 bulan:


1. Persiapkan Alat Ukur Panjang Badan Bayi yang akan
digunakan, kemudian letakan alat tersebut di alas yang
berbentuk datar seperti meja, lantai, atau papan.
2. Letakan alat ukur dengan posisi panel kepala di sebelah kiri dan

5
panel penggeser di sebelah kanan. Secara perlahan, baringkan
bayi dengan posisi terlentang dan kepala bayi menempel pada
panel kepala dengan hati-hati.
3. Rapatkan kedua kaki bayi, kemudian tekan secara perlahan lutut
bayi hingga lurus dan menempel ke alas dengan baik. Tekan
telapak kaki bayi sampai membentuk siku. Kemudian, geser
panel bawah dan letakan tepat pada telapak kaki bayi, hingga
menyentuh ujung telapak kaki bayi.
4. Bacalah data hasil pengukuran panjang badan bayi pada skala
kearah angka yang lebih besar.

Gambar 1. Pengukuran panjang badan bayi


Cara mengukur TB anak berusia > 2 tahun sampai 18 tahun:
1. Pastikan sepatu, kaos kaki dan hiasan rambut sudah dilepaskan.
2. Posisikan anak berdiri tegak lurus di bawah microtoise
membelakangi dinding.
3. Posisikan kepala anak berada di bawah alat geser microtoise,
pandangan lurus ke depan.
4. Posisikan anak tegak bebas, bagian belakang kepala, tulang
belikat, pantat dan tumit menempel ke dinding.
5. Pastikan kedua lutut dan tumit rapat.
6. Tarik kepala microtoise sampai puncak kepala (vertex) anak.
7. Baca angka pada jendela baca saat anak menarik nafas
(inspirasi) dan mata pembaca harus sejajar dengan garis merah.
Angka yang dibaca adalah angka yang berada pada garis merah
dari angka kecil ke arah angka besar.
8. Catat hasil pengukuran tinggi badan.

6
Gambar 2. Cara memasang microtoise
Pemeriksaan BB pada anak berusia 0 – 2 tahun:
1. Jelaskan pada ibu alasan untuk menimbang anak, sebagai
contoh, untuk memantau pertumbuhan anak.
2. Siapkan baby scale, pastikan jarum timbangan menunjukkan
angka nol.
3. Gunakan pakaian seminimal mungkin. Jelaskan hal ini perlu
dilakukan untuk mendapatkan hasil timbangan yang akurat.
Penggunaan popok basah, atau sepatu dan jeans, dapat
menambah berat sebanyak 0,5 kg. Bayi harus ditimbang tanpa
pakaian.
4. Baca dan catat berat badan anak sesuai dengan angka yang
ditunjuk oleh jarum timbangan. Baca hasil ketika bayi dalam
keadaan tenang. Membaca hasil ketika bayi menangis atau
bergerak-gerak akan mengakibatkan kesalahan pembacaan.
Upayakan untuk bekerja sama dengan orang tua atau pengasuh
bayi untuk mempertahankan bayi tetap tenang walaupun hanya
sebentar.

7
Gambar 3. Pengukuran berat badan dengan baby scale
Pengukuran BB pada anak berusia 2 – 18 tahun:
1. Siapkan timbangan injak detecto atau timbangan injak pegas.
2. Letakkan timbangan di tempat yang datar
3. Pastikan posisi bandul pada angka nol dan jarum dalam keadaan
seimbang.
4. Minta ibu untuk membantu melepaskan sepatu dan pakaian luar
seperti jaket.
5. Katakan pada anak untuk berdiri di atas timbangan dan diam
tidak bergerak.
6. Geser bandul sesuai berat balita sampai posisi jarum seimbang.
7. Jika anak bergerak-gerak terus di atas timbagan atau tidak ea
diam, maka perlu ditimbang dengan ibunya. Berat badan anak
didapat dengan mengurangi hasil penimbangan dengan berat
badan ibu.
8. Baca dan catat berat badan pada form antropometri.
INTERPRETASI 1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif
dibandingkan dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk
menilai anak dengan berat badan kurang (underweight) atau
sangat kurang (severely underweight), tetapi tidak dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan anak gemuk atau sangat
gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U
rendah, kemungkinan mengalami masalah pertumbuhan,
sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau BB/TB
atau IMT/U sebelum diintervensi.
2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan

8
menurut Umur (PB/U atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang
atau tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat
mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangat
pendek (severely stunted) yang disebabkan oleh gizi kurang
dalam waktu lama atau sering sakit.
Anak-anak yang tergolong tinggi menurut umurnya juga dapat
diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi badan di atas normal
(tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin,
namun hal ini jarang terjadi di Indonesia.
3. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan
(BB/PB atau BB/TB)
Indeksi BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat
badan anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi
badannya. Indeks ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
anak gizi kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted) serta
anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of
overweight). Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh
penyakit dan kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi
(akut) maupun yang telah lama terjadi (kronis).
4. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi
buruk, gizi kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan
obesitas. Grafik IMT/U dan grafik BB/PB atau BB/TB
cenderung menunjukkan hasil yang sama. Namun indeks
IMT/U lebih sensitive untuk penapisan anak gizi lebih dan
obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD berisiko
gizi lebih sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah
terjadinya gizi lebih dan obesitas.

9
Gambar 4. Interpretasi Antropometri
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)

10
DAFTAR 1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
RUJUKAN
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak.
2. Kementrian Kesehatan RI. Modul Pelatihan Pertumbuhan Anak,
Jakarta, Direktorat Bina Gizi Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak Kementrian Kesehatan RI, 2011.
3. Depkes RI, Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita, Jakarta,
Depkes, 2005.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

11
2. PENGUKURAN LINGKAR KEPALA

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

PENGUKURAN LINGKAR KEPALA

PENDAHULUAN Lingkar kepala digunakan sebagai pengganti pengukuran ukuran dan


pertumbuhan otak tetapi tidak sepenuhnya berkorelasi dengan volume
otak. Pemantauan ukuran lingkar kepala dan ubun-ubun besar
merupakan penilaian pertumbuhan anak yang mencerminkan ukuran
dan pertumbuhan otak. Menurut rekomendasi American Academy of
Pediatrics, pemantauan lingkar kepala sebaiknya dilakukan terutama
sampai usia 2 tahun. Pemantauan lingkar kepala sebaiknya dilakukan
bersama dengan ukuran ubun-ubun besar. Jika terdapat abnormalitas
pada hasil pengukuran tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari penyebabnya agar dapat dilakukan intervensi sejak dini.
TUJUAN 1. Menilai pertumbuhan dan ukuran otak anak.
2. Deteksi dini adanya gangguan perkembangan otak
SOP Persiapan Alat:
1. Pita ukur
2. Grafik Nellhaus
3. Alat tulis

Cara Pemeriksaan:
1. Lingkar kepala diukur dengan pita ukur yang tidak elastis,
melingkar dari bagian atas alis, melewati bagian atas telinga,
sampai bagian paling menonjol di belakang kepala / melalui
bagian paling menonjol di bagian kepala belakang
(protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella) (Gambar 1.)
2. Sedangkan ubun-ubun besar diukur dengan rata-rata ukuran
anteroposterior dan transversal (Gambar 2.)
3. Ada baiknya saat pengukuran sisi pita yang menunjukkan

12
sentimeter berada di sisi dalam agar tidak meningkatkan
kemungkinan subjektifitas pengukur. Kemudian ditulis dikartu
menuju sehat, cocokkan dengan grafik Nelheus. Grafik bayi
laki-laki cukup bulan dimulai dengan ukuran 32-38 cm,
sedangkan grafik bayi perempuan cukup bulan dimulai dari
ukuran 31-37 cm.

INTERPRETASI  Pada bayi baru lahir ukuran lingkar kepala normal adalah 34-
35 cm, akan bertambah 2 cm setiap bulan pada usia 0-3 bulan.
Pada usia 4-6 bulan akan bertambah 1 cm per bulan, dan pada
usia 6-12 bulan pertambahan 0,5 cm per bulan. Sampai usia 5

13
tahun biasanya sekitar 50 cm. Usia 5-12 tahun hanya naik
sampai 52-53 cm dan setelah usia 12 tahun akan menetap.
Lingkar kepala anak diukur dengan menggunakan grafik
lingkar kepala Nellhaus. Lingkar kepala di bawah -2 SD
disebut mikrosefali dan bila ukurannya di atas +2 SD disebut
makrosefali.

Mikrosefali dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol/obat,


infeksi tetanus, other (syphilis, parvovirus, varicella zoster),
rubella, cytomegalovirus, herpes (TORCH), Pasien mikrosefali
dengan ubun-ubun terbuka biasanya disebabkan atrofi otak.
Mikrosefali dengan ubun-ubun menutup biasanya disebabkan
infeksi TORCH atau atrofi otak. Makrosefali dengan ubun-
ubun terbuka dapat disebabkan hidrosefalus atau atrofi otak.
Makrosefali disertai ubun-ubun menutup biasanya disebabkan

14
atrofi otak. Adanya hidrosefalus menandakan penumpukan
cairan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai sebab, antara
lain malformasi struktur otak (malformasi Chiari, Dandy
Walker, aqueduct stenosis), radang otak, tumor otak, atau
kelainan metabolisme bawaan.
 Ukuran rata-rata ubun-ubun besar saat lahir adalah 2,1 cm
yang akan mengecil dengan bertambahnya usia. Ubun-ubun
besar akan menutup saat usia 13,8 bulan. Ubun-ubun besar
yang lebar atau terlambat menutup dapat terjadi pada atrofi
otak, akondroplasia, hipotiroid, sindrom Down, atau
peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun besar yang
membonjol disebabkan peningkatan tekanan inntrakranial
karena hidrosefalus atau tumor. Ubun-ubun cekung dapat
terjadi pada atrofi otak dan dehidrasi. Ubun-ubun besar yang
menutup dibawah usia 6 bulan atau belum menutup pada usia
18 bulan, mencerminkan adanya gangguan pertumbuhan otak.
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Yolanda, N dan I. Mangunatmadja. 2017. Pentingnya
RUJUKAN
Pengukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar. Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
2. Harris SR. Measuring head circumference: update on infant
microcephaly. Canadian Family Physician 2015;61:680-84.
3. Kiesler J, Ricer R. The Abnormal Fontanel Am Fam Physician
2003;67:2547-52.

15
Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

16
3. TATALAKSANA BBLR DENGAN INKUBATOR

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

TATALAKSANA BBLR DENGAN INKUBATOR

PENDAHULUAN Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat
terjadi pada bayi kurang bulan (<37 minggu) atau pada bayi cukup
bulan (Intrauterine Growth Restriction/IUGR). Terdapat lima metode
yang biasa digunakan untuk menghangatkan bayi dan mempertahankan
suhu tubuh bayi. Salah satunya, ialah dengan penggunaan inkubator.

INDIKASI Indikasi penggunaan inkubator pada BBLR, yaitu:


1. Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1500 gram
yang tidak memenuhi syarat untuk dilakukan KMC (Kangaroo
Mother Care).
2. Bayi yang mengalami sakit berat (seperti: sepsis, gangguan
napas berat).
SOP Prosedur Pemeriksaan:
Tabel 2.1. Suhu inkubator yang direkomendasikan menurut berat
dan umur bayi

Berat Suhu inkubator (°C) menurut umur*


badan
35°C 34°C 33°C 32°C

<1500 g 1 – 10 hari 11 hari – 3 3-5 minggu >5 minggu


minggu

1500 – 1 – 10 hari 11 hari – 4 >4 minggu


2000 g minggu

2100 – 1 – 2 hari 3 hari – 3 >3 minggu

17
2500 g minggu

>2500 g 1 – 2 hari >2 hari

*Bila jenis inkubatornya berdinding tunggal, naikkan suhu inkubator


1°C setiap perbedaan 7°C antara suhu ruang dan inkubator.

1. Tentukan suhu yang tepat untuk inkubator, berdasarkan usia dan


berat badan bayi (Tabel 2.1).
2. Hangatkan inkubator sampai suhu yang diinginkan sebelum
meletakkan bayi di dalamnya.
3. Bersihkan kasur dan tutupi dengan lembaran seprai bersih.
4. Pastikan bahwa reservoir air inkubator kosong; bakteri yang
berbahaya dapat berkembang dalam air dan menginfeksi bayi.
Membiarkan reservoir kering tidak akan mempengaruhi fungsi
inkubator.
5. Pastikan bahwa kepala bayi tertutup dan bayi diberi baju atau
tertutup kecuali jika bayi perlu telanjang atau dilepaskan bajunya
sebagian untuk pengamatan atau prosedur.
6. Letakkan hanya satu bayi dalam tiap inkubator.
7. Tutup kap secepat mungkin setelah meletakkan bayi di dalamnya,
dan pertahankan jendela inkubator tetap tertutup setiap saat guna
mempertahankan kehangatan inkubator.
8. Periksa suhu inkubator setiap jam selama 8 jam pertama, dan
kemudian setiap 3 jam:
● Jika suhu inkubator tidak sesuai dengan pengaturan
suhu, inkubator dapat tidak berfungsi dengan benar;
sesuaikan pengaturan suhu sampai suhu yang diinginkan
tercapai di bagian dalam inkubator, atau gunakan
metode lain untuk menghangatkan bayi.
9. Ukur suhu bayi setiap jam selama 8 jam pertama, dan kemudian
setiap 3 jam:
● Jika suhu bayi <36,5°C atau >37,5°C, sesuaikan suhu
inkubator berdasarkan suhu tersebut;

18
● Jika suhu bayi tetap <36,5°C atau >37,5°C meskipun
inkubator dipertahankan pada pengaturan yang
direkomendasikan, atasi suhu tubuh yang tidak normal.
10. Berikan bayi kepada ibu segera setelah bayi tidak lagi
membutuhkan perawatan khusus dan prosedur serta terapi yang
sering.

PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. IDAI, Pedoman Pelayanan Medis, Pujiadi, A, H, et al. Ikatan
RUJUKAN
Dokter Anak Indonesia, 2009.
2. Buku Saku Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir: Panduan
untuk Dokter, Perawat, & Bidan. EGC, 2019.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

19
4. PENGGUNAAN NEBUL

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

NEBULISASI

PENDAHULUAN Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk mengubah obat dari bentuk
cair ke bentuk partikel aerosol. Bentuk aerosol ini sangat bermanfaat
apabila dihirup atau dikumpulkan dalam organ paru. Obat yang
digunakan untuk nebulizer dapat berupa solusio atau suspensi. Tujuan
dari pemberian nebulizer yaitu relaksasi dari spasme bronkial,
mengencerkan sekret, dan melancarkan jalan nafas.
INDIKASI 1. Asma bronkialis
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
3. Sindrom Obstruksi post TB
4. Mengeluarkan dahak
SOP Prosedur Pelaksanaan:
1. Mencuci tangan sebelum memulai perawatan.
2. Pastikan peralatan nebulizer bersih dan steril.
3. Masukkan obat ke dalam tabung nebulizer. Pastikan ia sudah
dalam bentuk cair dan cocok untuk jenis nebulizer Anda. Daftar
obat yang sering digunakan untuk nebul dapat dilihat pada
lampiran tabel di bawah.
4. Pasangkan selang penyalur obat terpasang dengan baik di kedua
ujungnya; satu di tabung obat dan satunya lagi di ujung alat
hirup.
5. Dudukkan anak tegak di pangkuan agar ia bisa menarik napas
lebih dalam sehingga obat dapat terhirup ke seluruh bagian paru-
parunya.
6. Pasangkan masker ke wajah anak dan pastikan menutupi hidung
dan mulutnya.
7. Nyalakan mesin nebulizer.

20
8. Selama obat tersalurkan lewat selang, pastikan tetap memegang
masker di wajah anak agar tidak ada uap obat yang keluar.
9. Selesaikan terapi ketika uap sudah semakin sedikit dan obat cair
dalam tabungnya juga sudah habis.
10. Lepaskan masker dari wajah anak.
11. Bersihkan dan sterilkan nebulizer setiap habis pakai.

Hal-hal yang harus diperhatikan:


1. Pengenceran dilakukan dengan hanya dengan Nacl 0,9%, jangan
menggunakan air sebagai pengencer karena dapat menginduksi
bronkospasme.
2. Pasien harus nyaman dan duduk tegak (40-900) hal ini
memungkinkan ventilasi pasien dan pergerakan diafragma
maksimal.
3. Pastikan masker sesuai dan nyaman dan mendorong pasien
untuk menghirup uap secara perlahan-lahan hingga obat habis.
4. Pasien harus menghindari berbicara karena hal ini mengurangi
efisiensi pengiriman obat. Miring sedikit ke depan memberikan
perluasan maksimum. Hal ini penting bahwa ruang nebuliser
tetap tegak.
5. Alihkan perhatian anak saat menggunakan nebulizer. Cobalah
menyalakan musik atau film kartun selama terapi nebulizer
untuk bayi agar ia tidak terlalu terbebani dengan proses
pengobatannya.
KONTRA 1. Hipertensi
INDIKASI
2. Takikardi
3. Riwayat alergi
4. Trakeotomi
5. Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris
6. Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)

21
DAFTAR 1. Harris, David. 2006. Nebulizer guidelines. United Bristol
RUJUKAN
Healthcare. Directorate of children‟s services.
2. Hoan, Tan, Drs & Rahardja, Kirana, Drs. 2010. Obat-obat
Penting Ed.6. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok
Kompas Gramedia : Jakarta

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp. U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp. A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

22
23
24
5. PEMERIKSAAN COLOK DUBUR

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

COLOK DUBUR

PENDAHULUAN Pemeriksaan colok dubur, atau yang disebut juga rectal toucher, adalah
suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan memasukkan jari yang
sudah diberi pelicin ke dalam lubang dubur untuk mengetahui kelainan
yang mungkin terjadi di bagian anus dan rektum. Pemeriksaan ini
membantu klinisi untuk dapat menemukan penyakit-penyakit pada
daerah perineum, anus, rektum, prostat, dan kandung kemih.
INDIKASI Rectal toucher dilakukan apabila ada keluhan terkait gastrointestinal,
urologi, ginekologi, dan juga neurologi. Pemeriksaan colok dubur
diindikasikan pada pasien-pasien dengan penyakit atau keluhan sebagai
berikut:
1. Perdarahan saluran cerna bagian bawah
2. Terdapat benjolan pada anus
3. Perubahan pada pola defekasi
4. Gangguan berkemih
SOP Persiapan Alat:
1. Sarung tangan (handscoen)
2. Lubricating gel

Cara Pemeriksaan:
1. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan menjelaskan
tujuan dan prosedur pelaksanaan serta meminta persetujuan
pasien.
2. Melakukan cuci tangan dan memakai handscoen.
3. Posisi pemeriksa: berdiri disebelah kanan pasien.
4. Posisi pasien: anak dalam posisi tengkurap dan fleksi pada
kedua sendi lutut. Jari yang dipergunakan ialah jari kelingking.

25
Bila anak sudah besar, anak dapat diminta kencing terlebih
dahulu.
5. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan inspeksi perianal dan
perineum dibawah penerangan yang baik. Pada pemeriksaan
perianal dapat dilihat adanya fistula perianal, skin tag, fissura,
tumor anus dan hemorrhoid. Dinilai juga keadaan perineum,
apakah meradang atau tidak.
6. Keadaan tonus sfingter ani diobservasi pada saat istirahat dan
kontraksi volunter.
7. Pasien diminta untuk “mengejan” seperti pada saat defekasi,
untuk memperlihatkan desensus perineal, prolapsus hemoroid
atau lesi-lesi yang menonjol seperti prolaps rekti dan tumor.
8. Melakukan lubrikasi pada jari telunjuk tangan kanan dengan
lubricating gel dan menyentuh perlahan pinggir anus.
9. Memberikan tekanan yang lembut sampai sfingter terbuka
kemudian jari dimasukkan lurus ke dalam anus, sambil menilai
tonus sfingter ani.
10. Mengevaluasi keadaan ampula rekti, apakah normal, dilatasi
atau kolaps.
11. Mengevaluasi mukosa rekti dengan cara memutar jari secara
sirkuler, apakah mukosa licin atau berbenjol-benjol, adakah
teraba massa tumor atau penonjolan prostat kearah rektum.
12. Apabila teraba tumor, maka deskripsikan massa tumor tersebut :
intra atau ekstralumen, letak berapa centi dari anal verge, letak
pada anterior/posterior atau sirkuler, dan konsistensi tumor.
13. Melakukan evaluasi apakah terasa nyeri, kalau terasa nyeri
sebutkan posisinya.
14. Melepaskan jari telunjuk dari anus.
15. Memeriksa handscoen: apakah ada feses, darah atau lendir?
16. Melepaskan handscoen dan membuang ke tempat sampah
medis.
17. Melakukan cuci tangan.
18. Melaporkan hasil pemeriksaan.

26
INTERPRETASI 1. Ada tidaknya anus.
2. Tonus sfingter. Penilaian sfingter ani dilakukan dengan cara
merasakan adanya jepitan pada sfingter ani pada saat jari
dimasukkan ke lubang anus. Tonus diinterpretasikan sebagai
normal, bertambah/meningkat dan berkurang/menurun. Tonus
sfingter dapat bertambah pada stenosis ani, stenosis ani dapat
menyebabkan konstipasi dan rasa sakit pada waktu defekasi.
Sedangkan tonus sfingter yang berkurang dapat terjadi sekunder
setelah operasi anus imperforata yang menyebabkan sfingter ani
eksterna tidak berfungsi baik, sehingga terjadi inkontinensia
alvi.
3. Ada atau tidaknya bagian yang menyempit atau yang
melebar. Stenosis anorektal mungkin dapat diraba berupa
cincin jaringan yang berdiameter 1,5 – 2 cm di atas anus. Bila
terdapat megacolon, maka jari pemeriksa merasakan bagian
yang menonjol sepanjang 2-5 cm sesudah anus disertai rektum
yang kosong.
4. Ada atau tidaknya fistula. Apabila terdapat fistula
rektovaginal, jari pemeriksa dapat masuk dari rektum ke vagina,
dan bila terdapat fistula rektouretral, jari pemeriksa dapat masuk
ke uretra.
5. Terdapatnya nyeri. Nyeri lokal terdapat misalnya pada fisura
ani atau pada lesi peradangan di sekitar anus dan rektum. Sakit
perut mungkin dapat dilokalisasi tempatnya dengan
pemeriksaan colok dubur ini. Terdapatnya rasa nyeri dapat
dilihat dari perubahan mimik pasien pada pemeriksaan.
6. Ada atau tidaknya feses di dalam rektum. Bila ada feses
perincilah sifat-sifatnya termasuk warna, konsistensi, tercampur
lendir atau tidak, serta tercampur darah atau tidak. Anus dan
rektum dapat tampak distensi oleh feses pada konstipasi kronik
atau defek mental. Bila rektum tidak terisi feses pada penyakit
akut, perlu dipikirkan adanya ileus paralitik atau obstruktif atau
peritonitis.

27
7. Massa tumor. Massa tinja yang keras (skibala) kadang
disalahtafsirkan sebagai tumor; pada pemeriksaan colok dubur
massa tinja mudah dipindahkan. Massa yang menimbulkan
nyeri hebat di kuadran bawah mungkin terdapat pada
intususepsi. Pada apendisitis, abses apendiks atau ileitis dapat
diraba massa di kuadran kanan bawah disertai nyeri. Dalam
rektum mungkin dapat diraba polip; massa yang mendorong
rektum ke depan, biasanya ialah teratoma.
8. Prostat. Pada umumnya prostat tidak teraba pada bayi dan anak
kecil. Pada pasien pubertas prekoks atau hiperplasia adrenal,
mungkin dapat diraba prostat yang lebih besar dari 1 cm di garis
tengah dinding anterior rektum.
9. Uterus dan ovarium. Uterus dan ovarium pada wanita dapat
diraba pada usia pubertas atau kadang-kadang sebelumnya.
Uterus teraba sebagai massa yang berbentuk oval dengan
ukuran 1-2 cm di sebelah anterior rektum serta 3-4 cm di atas
simfisis. Ovarium berukuran 0,5-1 cm, kira-kira 2-3 cm di
lateral kanan dan kiri atas uterus.
10. Bila diduga terdapat kelainan saraf perifer pada lesi spinal,
harus diperiksa juga sensibilitas daerah perineum, juga dengan
menggunakan rujukan jarum tajam. Dalam keadaan normal
akan terjadi twitching daerah perineum disertai gerakan anus ke
arah lateral.
KONTRA Tidak ada kontraindikasi absolut untuk pemeriksaan colok dubur.
INDIKASI
Namun, pemeriksaan ini harus dilakukan secara hati-hati pada anak-
anak karena dapat menyebabkan vasovagal syncope.
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin., M.Kes., Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Matondang, C. S, I. Wahidiyat, dan S. Sastroasmoro. 2019.
RUJUKAN
Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi Ke-2. Cetakan Ke-4. Jakarta:
CV Agung Seto.
2. Koordinator Clinical Skill Lab. 2018. Panduan Mahasiswa

28
Clinical Skill Lab Sistem Gastroenterohepatologi. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
3. Bickley, LS & Szilagyi PG. 2009. Bates‟ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams
& Wilkins, China, hh. 160-162.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

29
6. LAVEMENT

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

LAVEMENT

PENDAHULUAN Lavement (sering juga disebut huknah, enema, wash out), adalah suatu
tindakan memasukkan cairan ke dalam rektum dan colon untuk
memberikan rangsangan peristaltik dengan tujuan membersihkan sisa-
sisa pencernaan, dan persiapan sebelum melakukan tindakan diagnostik
atau pembedahan. Ada dua jenis pemberian enema berdasarkan bahan
yang digunakan, yaitu penggunaan Gliserin dan Larutan NaCl 0,9%.
INDIKASI 1. Pasien yang sulit BAB
2. Pasien yang akan dilakukan operasi kecil
3. Tindakan diagnostik : pemeriksaan radiologi (barium enema)
SOP Persiapan Alat:
1. Sarung tangan (handscoen)
2. Cairan gliserin atau cairan NaCl 0.9% dengan volume
maksimum yang dianjurkan (bayi 150-250 cc, toddler 250-350
cc, anak usia sekolah 300-500 cc, remaja 500-750 cc)
3. Spuit 20 cc/untuk penggunaan cairan NaCl digunakan irigator
lengkap dengan selang kanul rekti dengan ukuran: bayi atau
anak 10-18 Fr
4. Perlak
5. Bengkok
6. Pispot
7. Handuk
8. Tissue atau waslap
9. Lubricating gel

Prosedur Enema Menggunakan Gliserin:


1. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan menjelaskan

30
tujuan dan prosedur pelaksanaan serta meminta persetujuan
pasien.
2. Menyiapkan alat.
3. Mencuci tangan dan memakai handscoen.
4. Mengatur posisi pasien miring ke kiri dengan lutut kanan fleksi
(untuk bayi dan anak-anak diposisikan dorsal recumbent).
5. Mengganti selimut pasien dengan handuk dan membuka
pakaian bawah.
6. Meletakkan perlak dan alat di bawah pantat pasien.
7. Menuangkan gliserin dengan suhu yang sama dengan suhu
badan ke dalam mangkok kecil (20 cc).
8. Mengisi spuit dengan 20 cc gliserin, dan mengeluarkan udara.
9. Memasukkan ujung spuit secara perlahan-lahan pada anus
sampai pangkalnya, lalu memasukkan gliserin perlahan-lahan
sambil meminta pasien menarik nafas panjang.
10. Mengeluarkan spuit dari anus, diletakkan pada bak desinfeksi,
dan meminta pasien miring ke kiri selama 10-15 menit.
11. Saat pasien merasa ingin buang air besar, berikan pispot, lalu
membersihkan anusnya dengan tissue.
12. Nilai karakteristik feses: konsistensi, warna, bau.
13. Membuka handscoen, membuang ke tempat sampah medis,
mencuci tangan.
14. Membantu pasien merapikan diri, membereskan alat-alat.

Prosedur Enema Menggunakan Cairan NaCl 0,9%:


1. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan menjelaskan
tujuan dan prosedur pelaksanaan serta meminta persetujuan
pasien.
2. Menyiapkan alat.
3. Mencuci tangan dan memakai handscoen.
4. Mengatur posisi pasien miring ke kiri dengan lutut kanan fleksi
(untuk bayi dan anak-anak diposisikan dorsal recumbent).
5. Mengganti selimut pasien dengan handuk dan membuka

31
pakaian bawah.
6. Meletakkan perlak dan alat di bawah pantat pasien.
7. Menuangkan NaCl 0.9% yang hangat ke dalam irigator, klem
dibuka sehingga air keluar kemudian klem ditutup kembali.
8. Tangan kiri membuka anus, tangan kanan memasukkan kanul
yang sudah diolesi lubricating gel.
9. Menginstruksikan pasien untuk rileks dengan menghembuskan
napas perlahan melalui mulut pada saat memasukkan
kanul/selang.
10. Memasukkan ujung kanul sepanjang 5-7,5 cm untuk anak, 2.5-
3.5 cm untuk bayi
11. Pada ketinggian pinggul pasien, klem dibuka dan pertahankan
10 sekitar 5-10 menit. Untuk pasien dengan kolostomi, klem
dimasukkan ke dalam lubang kolostomi.
12. Naikkan tinggi wadah enema perlahan samapai ketinggian yang
tepat di atas pinggul: 30-45 cm untuk enema tinggi, 7,5 cm
untuk enema rendah. Rendahkan wadah atau klem selang jika
pasien mengeluh merasakan kram atau cairan keluar dari sekitar
selang rectum.
13. Menarik kanul rekti secara perlahan, pasien tetap diminta
miring dan menahan selama 10-15 menit, atau pada anak
rapatkan otot gluteus beberapa menit.
14. Membantu pasien defekasi pada pispot.
15. Observasi dan nilai karakteristik feses: konsistensi, warna, bau.
16. Membuka handscoen, membuang ke tempat sampah medis,
mencuci tangan.
17. Membantu pasien merapikan diri, membereskan alat-alat.

Hal yang Perlu Diperhatikan:


1. Perhatikan reaksi pasien sebelum dan sesudah memberikan
huknah.
2. Glycerin tidak boleh diberikan kepada pasien dengan ca rectum,
thypus abdominalis, dan anak-anak.

32
3. Pemberian huknah minyak pada anak-anak maksimum 20 cc
(hanya dengan minyak kelapa).
KONTRA 1. Hemoroid
INDIKASI
2. Neoplasma kolon atau rektum
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan
RUJUKAN
Ketrampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer.
Cetakan I.
2. Labeda, I., N. Nurdin, A. Amalia. 2018. Manual Keterampilan
Blok Gastroenterohepatologi: Prosedur Enema. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

33
7. RESUSITASI NEONATUS

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

RESUSITASI NEONATUS

PENDAHULUAN Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang


berkesinambungan, diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil
keputusan, dan melakukan tindakan resusitasi. Resusitasi merupakan
tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas
karena sebab-sebab tertentu. Resusitasi pada neonates sering dilakukan
pada bayi baru lahir dengan asfiksia.
INDIKASI Fasilitas ideal
Keempat kriteria harus terpenuhi
● Bukti lab :
1) Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH<7,0) pada
pemeriksaan analisis gas darah tali pusat. Atau
2) Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama
● Nilai APGAR ≤5 pada menit ke-10
● Manifestasi neurologis seperti kejang, hipotonia atau koma
(ensefalopati neonatus)
● Disfungsi multiorgan seperti gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, respirasi atau renal

Minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan ketidaktersediaan


pemeriksaan analisis gas darah
● Bukti riwayat episode hipoksia perinatal (misal episode gawat
janin)
● Nilai APGAR ≤5 pada menit ke-10, atau Bayi masih memperlukan
bantuan ventilasi selama ≥10 menit
● Manifestasi neurologis seperti kejang, hipotonia atau koma
(ensefalopati neonatus)

34
● Disfungsi multiorgan seperti gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, respirasi atau renal

SOP Persiapan Alat:


1. Peralatan Suction
- Bulb suction
- Mechanical suction
- Kateter suction nomor 5,8,10 french

2. Peralatan Ventilasi Tekanan Positif


- Ambu bag
- Face mask untuk bayi baru lahir
- Sumber oksigen

3. Peralatan intubasi
- Laringoskop
- Endotracheal tube (2,5 mm untuk neonatus <1 kg, 3 mm untuk
neonatus 1-2,5 kg, dan 3,5 mm untuk neonatus >2,5 kg)
- Handscoon dan gunting

4. Obat-obatan
- Epinefrin 1:10.000 3-10 mL
- Naloxone hydrochloride 0,4mg/kgBB pada 1 mL ampul atau
1mg/mL pada 2 mL ampul

5. Peralatan lain-lain
- Infant warmer
- Stetoskop
- Pulse oximeter
- Adhesive tape
- Spuit
- Alcohol swab
- Termometer

35
- 2 buah kain pengering dan topi
- Handuk penghangat
- Kantung plastik untuk neonatus dengan berat lahir < 1500 gram

Persiapan Personel
Bayi baru lahir dapat mengalami masalah yang memperlukan resusitasi
secara segera. Diperlukan minimal seorang individu terlatih untuk
melakukan resusitasi neonatus pada setiap persalinan. Secara ideal, paling
tidak terdapat satu orang yang bertanggung jawab untuk bayi baru lahir.

36
Apabila suatu persalinan dengan resiko tinggi sehingga resusitasi sangat
perlu dilakukan, maka harus ada satu orang tambahan yang terlatih untuk
melakukan resusitasi neonatus.

a) Penilaian dan Langkah Awal


Keputusan perlu atau tidaknya resusitasi ditetapkan berdasarkan
penilaian awal, yaitu apakah bayi bernapas / menangis dan apakah bayi
mempunyai tonus otot yang baik. Bila semua jawaban adalah “ya”, bayi
dianggap bugar dan hanya memerlukan perawatan rutin. Bayi dikeringkan
dan diposisikan sehingga dapat melakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu
agar bayi tetap hangat. Bila terdapat salah satu jawaban “tidak”, bayi harus
distabilkan dengan langkah awal sebagai berikut : Penggunaan plastik
transparan tahan panas yang menutupi tubuh bayi sampai sebatas leher
dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi
dengan berat lahir sangat rendah di bawah 1500 g.
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi.
Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau
faring setelah lahir. Tindakan mengisap mekoneum dari mulut dan hidung
bayi ketika kepala masih di perineum sebelum bahu lahir tidak
direkomendasikan. Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang
lahir dengan kondisi air ketuban bercampur mekonium sebaiknya
dilakukan bila bayi tidak bugar dengan mempertimbangkan baik manfaat
maupun risiko tertundanya ventilasi karena pengisapan.
Setelah melakukan langkah awal, penolong melakukan evaluasi
kembali dengan menilai usaha napas, LJ, dan tonus otot bayi. Tindakan
khusus, seperti pengisapan mekonium, hanya dapat dilakukan selama 30
detik, dengan syarat LJ tidak kurang dari 100 kali/menit. Periode untuk
melengkapi langkah awal dalam 60 detik pertama setelah lahir ini disebut
menit emas.

Berikut hasil evaluasi :


(1) Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi
menjalani perawatan rutin.

37
(2) Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit,
langkah resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi
(breathing).
(3) Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah
target berdasarkan usia,

b) Pemberian ventilasi (breathing)


Pemberian VTP dilakukan bila bayi :
(1) tidak bernapas (apne), atau
(2) megap-megap (gasping), atau
(3) LJ <100kali/menit.

c) Kompresi dada (circulation)


Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit
(melalui auskultasi atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian
30 detik VTP yang adekuat. Kompresi dada bertujuan mengembalikan
perfusi, khususnya perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi miokardium
terkait asidemia, vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan. Rasio
kompresi dada dengan ventilasi adalah 3:1. Kompresi dada dilakukan
dengan meletakkan jari pada sepertiga bawah sternum, di bawah garis
imajiner yang menghubungkan kedua puting, dengan kedalaman sepertiga
diameter anteroposterior dada. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik
dua ibu jari (two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan
lain melingkari dada dan menyanggah tulang belakang. Kompresi dada
harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman
sepertiga dari diameter antero-posterior dada. Setelah penolong
memberikan kompresi dada dan VTP selama 60 detik, kondisi bayi harus
dievaluasi kembali. Bayi dinyatakan mengalami perbaikan bila terjadi
peningkatan LJ, peningkatan saturasi oksigen, dan bayi terlihat bernapas
spontan. Kompresi dada dihentikan bila LJ >60 kali per menit. Sebaliknya,
bila LJ bayi tetap <60 kali/menit, perlu dipertimbangkan pemberian obat-
obatan dan cairan pengganti volume.

38
d) Pemberian obat dan cairan pengganti volume (drugs and volume
expander)
Tim resusitasi perlu mempertimbangkan pemberian obat-obatan bila LJ
<60 kali per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan
kompresi dada yang adekuat selama 60 detik. Pemberian obat-obatan dan
cairan dapat diberikan melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau
intraoseus. Obat-obatan dan cairan yang digunakan dalam resusitasi,
antara lain :
● Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau
intraoseus dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB).
Pemberian melalui jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat
dilakukan bila jalur intravena / intraoseus tidak tersedia. Pemberian
epinefrin melalui jalur trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu
0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1 mg/kgBB).
● Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali
pusat, perdarahan tali pusat, atau bayi memperlihatkan tanda klinis
syok dan tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi.
Cairan yang dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan
kristaloid isotonis, sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara
bolus selama 5-10 menit. Pemberian cairan pengganti volume yang
terlalu cepat dapat menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama
pada bayi prematur. Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir
dengan menggunakan kristaloid isotonis (normal saline)
mempunyai efektivitas yang sama dengan pemberian albumin dan
tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam meningkatkan dan
mempertahankan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure /
MAP) selama 30 menit.
KONTRA 1. Suspek Sindrom Aspirasi Mekonium
INDIKASI
2. Bayi baru lahir dengan berat badan lahir sangat rendah,
anensefali, extreme premature atau pada bayi yang memiliki
morbiditas tinggi sehingga resusitasi neonatus tidak diindikasikan

39
3. Hernia Diafragmatika
4. Abdominal wall defects
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional
RUJUKAN
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

40
8. PEMASANGAN OGT (OROGASTRIC TUBE) DAN NGT
(NASOGASTRIC TUBE)

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

PEMASANGAN OGT DAN NGT

PENDAHULUAN NGT atau OGT merupakan tabung kecil yang diletakan melalui hidung
atau mulut yang berakhir pada lambung. NGT atau OGT dapat
digunakan untuk memberi makan, administrasi obat, atau membersihkan
lambung melalui aspirasi, suction atau drainase gravitasi.
INDIKASI 1. Nutrisi atau administrasi makanan (pada bayi prematur, critical
illness, defek anatomi lambung)
2. Administrasi obat
3. Evakuasi isi lambung atau dekompresi lambung
4. Tidak dapat makan secara oral
5. Absennya ea ra gag
6. Ketidakmampuan untuk menghisap dan menelan
SOP Persiapan Alat:
1. Gastric tube dengan ukuran sesuai (<1500 gram dengan ukuran
5-6 Fg, >1500 gram dengan ukurang 6-8 Fg)
2. Adhesive tape
3. Spuit oral 3-5 cc
4. Kertas pH
5. Handscoon dan apron
6. Stetoskop
7. Alat suction dan oksigen
8. Xylocain jelly
9. Gunting

Prosedur Pelaksanaan:
1. Menginformasikan tindakan pada orang tua.

41
2. Mempersiapkan alat-alat.
3. Memposisikan bayi atau anak pada posisi yang nyaman.
4. Mengkalkulasi panjang dari gastric tube dengan mengukur jarak
dari hidung atau mulut ke telinga lalu diulur hingga titik tengah
antarah procesus xipoideus dan umbilikus.
5. Memakai handscoon dan memasukan tube secara perlahan dan
gentle melalui mulut atau hidung ke esofagus sampai mencapai
panjang yang diinginkan. Hentikan sejenak jika menemukan
tahanan.
6. Pegang tube sembari memastikan lokasi tube dengan
menyambungkan spuit enteral untuk mendapatkan aspirasi
lambung.
7. Jika aspirasi lambung tidak didapatkan sama sekali, maka dapat
dilakukan memposisikan bayi ke arah mereka dan melakukan
aspirasi ulang atau dapat memasukan 1-2 ml udara ke dalam tube
melalui spuit enteral sembari melakukan auskultasi pada posisi
lambung.

Gambar 5. Pengukuran panjang OGT/NGT


KONTRA 1. Kelainan koagulopati
INDIKASI
2. Tedapat trauma pada maksilofasial atau fraktur basis cranii
3. Kecurigaan ruptur esofagus dan riwayat striktur esofagus
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)

42
DAFTAR 1. Brighton and Sussex University Hospital. 2018. Guideline for
RUJUKAN
the use of oro/nasogastric tubes on the neonatal unit. NHS Trust.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

43
9. PEMASANGAN KATETER URIN

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

PEMASANGAN KATETER URIN

PENDAHULUAN Kateterisasi urin adalah penyisipan selang kateter ke dalam kandung


kemih, menggunakan teknik aseptik, yang bertujuan untuk mengevakuasi
atau memasukkan cairan.
INDIKASI 1. Retensi urin
2. Mengukur volume urine output secara akurat
3. Mengukur volume residu urin
4. Irigasi saluran kemih
5. Pengobatan intravesica urinary
6. Operasi daerah pelvic
7. Mengeluarkan obstruksi
8. Pasien sakit berat
SOP Persiapan Alat:
1. Kateter steril sesuai ukuran

2. Bak steril
3. Handscoen steril
4. Doek bolong
5. Lubricating gel
6. Pinset steril

44
7. Klem
8. Spuit 10 cc
9. Urine bag
10. Plester
11. Gunting
12. NaCl atau aqua steril
Pemasangan kateter pada pasien perempuan:
1. Meminta informed consent kepada pasien atau keluarga pasien
karena tindakan ini adalah tindakan invasif.
2. Memilih ukuran selang kateter yang sesuai usia dan berat badan
3. Meminta pasien untuk tidur terlentang dengan lutut difleksikan,
kemudian tangan diletakkan pada lutut.
4. Mencuci tangan.
5. Menggunakan handscoen steril.
6. Menggunakan tangan non dominan, membuka labia minora untuk
mengidentifikasi meatus uretra.
7. Tindakan aseptik. Menggunakan tangan dominan, mengusap
klitoris hingga rectum menggunakan kassa yang telah dibasahi
dengan saline. Tindakan aseptik dapat diulangi 2-3 kali.
8. Memasukkan gel lubrikan anestesi lokal ± 1 cm pada meatus
uretra externa, ditunggu 2-3 menit.
9. Memasukkan ujung kateter urin pada meatus uretra externa,
kemudian dorong keatas kira-kira sudut 30 derajat hingga urine
keluar.
10. Pastikan kateter telah menyentuh bagian atas dari vesica urinary
sebelum mengisi balloon dengan air.
11. Mengisi balloon dengan air sesuai ketentuan hingga ballon
tertahan pada Internal Urethral Sphicter atau sfigter interna.
12. Memfiksasi menggunakan plester pada paha pasien.

Pemasangan kateter pada pasien laki-laki:


1. Meminta informed consent kepada pasien atau keluarga pasien
karena tindakan ini adalah tindakan invasif.

45
2. Memilih ukuran selang kateter yang sesuai usia dan berat badan
3. Meminta pasien untuk tidur terlentang dengan lutut difleksikan,
kemudian tangan diletakkan pada lutut.
4. Mencuci tangan.
5. Menggunakan handscoen steril.
6. Menggunakan tangan non dominan, membuka preputium penis
7. Tindakan aseptik. Mengusap gland penis dan meatus uretra
externa dengan kassa yang telah dibasahi saline.
8. Memasukkan gel lubrikan anestesi local ± 1-2 cm pada meatus
uretra externa, ditunggu 2-3 menit.
9. Tangan non dominan memegang penis dan mengarahkan ke atas
hingga ±90 derajat dengan badan pasien, kemudian tangan
domain memasukkan kateter. Apabila kateter mencapai sfingter
pertama (sekitar otot pelvic), turunkan penis sambil tetap
memasukkan kateter.
10. Apabila terdapat kesusahan dalam memasukkan kateter, dapat
dicoba beberapa hal sebagai berikut:
11. Menarik penis sambil tetap memasukkan kateter.
12. Meminta pasien anak untuk menarik nafas dalam.
13. Meminta pasien batuk dan mencoba mengeluarkan urin.
14. Memutar kateter.
15. Apabila tetap tidak dapat memasukkan kateter, panggil tim medis
dan spesialis urologi.
16. Apabila tidak terdapat tahanan, lanjutkan memasukkan kateter
hingga urin keluar.
17. Pastikan kateter telah menyentuh bagian atas dari vesica urinary
sebelum mengisi balloon dengan air.
18. Mengisi balloon dengan air sesuai ketentuan hingga ballon
tertahan pada Internal Urethral Sphicter atau sfingter interna.
19. Memfiksasi menggunakan plester pada paha pasien.
KONTRA 1. Riwayat trauma uretra dan pelvic sebelum operasi
INDIKASI 2. Striktur uretra
3. Riwayat sulit memasang kateter sebelumnya

46
4. Riwayat rekonstruksi uretra dan atau vesica urinary
5. Hematuria yang tidak teridentifikasi penyebabnya
6. Riwayat kanker saluran kemih
7. Pus uretra yang tidak teridentifikasi penyebabnya
8. Kelainan anatomi kogenital seperti hipospadia dan epispadia
9. Kecurigaan Upper Tract Infection atau infeksi saluran kemih
bagian atas
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS 2. dr. M. Ali Shodikin., M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. NHS. 2019. „Urethral Catherisation in Children Guideline‟.
RUJUKAN 2. Rai, V. dan Robinson S. 2014. „PICU Urinary Catheter Insertion
& Care Guideline & Bundles‟. PICU Urinary Catheter & Care
Guideline

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

47
10. PEMASANGAN INFUS PADA ANAK

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

PEMASANGAN INFUS

PENDAHULUAN Pemasangan infus merupakan tindakan dasar yang sering dilakukan.


Tindakan ini merupakan proses memasukkan keteter pada pembuluh
vena perifer untuk akses nutrisi, obat, maupun produk darah.
INDIKASI 1. Administrasi obat secara intravena
2. Rehidrasi
3. Transfusi komponen darah
4. Selama tindakan operasi
5. Kondisi lain yang membutuhkan akses vena
SOP Persiapan Alat:
1. Handscoen
2. Infus set sesuai kebutuhan
3. Cairan parenteral sesuai kebutuhan
4. Jarum intravena/IV catheter
5. Kapas alkohol
6. Betadine
7. Tourniquet
8. Kassa steril
9. Plester

Prosedur Pelaksanaan:
1. Memilih ukuran kanul yang sesuai dengan usia pasien. Bayi
biasanya menggunakan 24 Gauge.
2. Mengidentifikasi vena pasien.
3. Menahan aliran proksimal vena yang akan diguakan sebagai
akses menggunakan tourniquet.
4. Palpasi vena yang akan digunakan sebagai akses.

48
5. Tindakan aseptic dengan mengusap daerah yang dituju
menggunakan kapas.
6. Menusuk daerah yang telah ditentukan, kemudian secara
perlahan memasukkan jarum lebih dalam sambil mengurangi
sudut antara jarum dan kulit pasien.
7. Ketika darah keluar, lepas tourniquet.
8. Periksa, apakah ada:
● Hambatan aliran
● Nyeri
● Bengkak
● kebocoran
9. Menyambugkan kanula dengan selang infus, kemudian fiksasi
kanul.
KONTRA 1. Infeksi kulit pada lokasi yang akan diinfus
INDIKASI
2. Phlebitis
3. Vena yang sclerosis
4. Tempat infus sebelumnya
5. Luka bakar
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Ortega, R., Sekhar,P., Song, M., Hansen, C.J., dan Peterson,L.
RUJUKAN
2008. „Peripheral Intravenous Cannulation‟. The New England
Journal of Medicine.
2. CNC Neonatology. 2017. Insertion and Management of
Peripheral Cannule in Neonates‟. CHW Neonatal Council.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 49 NIP. 19650321 199503 1 003
Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

50
11. IMUNISASI

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK

RSD dr. SOEBANDI


TAHUN 2021

IMUNISASI

PENDAHULUAN Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan


kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit
sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Berdasarkan jenis
penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi Imunisasi
Program dan Imunisasi Pilihan.

Imunisasi menginduksi terbentuknya imunitas baik secara buatan


dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi
(imunisasi pasif). Vaksinasi merupakan proses pemberian vaksin,
dimana vaksin sendiri memiliki arti yakni suau produk biologi yang
berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih
hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein
rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan
kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif
terhadap penyakit tertentu.

IMUNISASI Imunisasi Program adalah imunisasi wajib dalam rangka melindungi


PROGRAM yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Imunisasi Program terdiri dari:
1. Imunisasi Rutin
Dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
Imunisasi rutin terdiri atas Imunisasi dasar dan Imunisasi
lanjutan. Imunisasi dasar, diberikan pada bayi sebelum berusia
1 tahun yang terdiri dari imunitas terhadap penyakit hepatitis B,
poliomyelitis, tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, pneumonia

51
dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tibe
b (Hib); serta campak. Sedangkan Imunisasi lanjutan,
merupakan ulangan imunisasi dasar untuk mempertahankan
tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa
perlindungan anak yang sudah mendapatkan imunisasi dasar.
Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak yang berusia
dibawah dua tahun terdiri atas imunisasi terhadap penyakit
difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia dan meningitis
yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib), serta
campak. Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia
sekolah dasar terdiri atas imunisasi terhadap penyakit campak,
tetanus, dan difteri.
2. Imunisasi Tambahan
Diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko
terkena penyakit sesuai dengan kajian epidemiologis pada
periode waktu tertentu.
3. Imunisasi Khusus
Dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi tertentu
tersebut diantaranya; persiapan keberangkatan calon jemaah
haji/umroh, persiapan perjalanan menuju atau dari negara
endemis penyakit tertentu, dan kondisi kejadian luar
biasa/wabah penyakit tertentu. Contoh dari imunisasi khusus ini
ialah berupa Imunisasi terhadap meningitis meningokokus,
yellow fever (demam kuning), rabies, dan poliomyelitis.
MACAM- 1. Imunisasi Hepatitis B
MACAM
IMUNISASI Vaksin Hepatitis B
RUTIN
Isi vaksin Antigen permukaan virus hepatitis B yang
diinaktifkan (HBsAg) dan dijerap pada adjuvan
aluminium hidroksida.
Jadwal 0 bulan (monovalen), 2, 3, 4 dan 18 bulan
(pentabio).

52
Dosis 0,5 ml atau 1 buah HB PID.
Cara pemberian Secara intramuskuler pada anterolateral paha
kanan.
Kontraindikasi Penderita infeksi berat yang disertai kejang.
Efek samping Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya
hilang setelah 2 hari.
Berdasarkan IDAI tahun 2020 imunisasi Hepatitis B (HB) sebaiknya
diberikan segera setelah lahir pada semua bayi sebelum berumur 24
jam, didahului dengan pemberian vitamin K1 minimal 30 menit
sebelumnya. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif perlu mendapatkan
vaksin hepatitis B dan Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 mL
pada ekstremitas yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir, maksimal
dalam 7 hari setelah lahir.

Vaksin Hepatitis B

2. Imunisasi Polio
Vaksin Polio
Isi vaksin  Oral Polio Vaccine (OPV): virus hidup yang
dilemahkan yang mengandung virus polio
strain 1, 2, 3 yang menimbulkan imunitas
humoral dan lokal di mukosa usus.
 Inactivated Polio Vaccine (IPV): virus polio
inaktif (virus polio yang dimatikan) strain 3
yang menghasilkan imunitas humoral saja.

53
Jadwal Diberikan segera setelah lahir. Apabila lahir di
faskes maka diberikan OPV-0 saat bayi pulang
atau saat kunjungan pertama. Selanjutnya
diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan, kemudian diberi
imunisasi ulangan pada umur 18 bulan. Vaksin
IPV diberikan minimal 2 kali sebelum berumur 1
tahun bersama DTwP atau DTaP.
Dosis dan Cara OPV: 2 tetes (0,1 mL) per oral.
pemberian IPV: 0,5 mL secara intramuskuler.
Kontraindikasi Reaksi alergi berat pada komponen vaksin atau
setelah dosis sebelumnya.
Efek samping OPV: Vaccine Assosiated Paralytic Poliomyelitis
(VAPP)
IPV: Kadang timbul reaksi lokal ringan dan
sementara pada tempat penyuntikan berupa nyeri,
kemerahan, indurasi, dan bengkak bisa terjadi
dalam waktu 48 jam setelah penyuntikan dan bisa
bertahan selama satu atau dua hari.

Oral Poliovirus Vaccine (OPV)

Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV)

54
.3. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin) merupakan imunisasi yang
diberikan untuk membentuk kekebalan aktif yang dapat memberikan
proteksi atau perlindungan terhadap penyakit TBC (tuberkulosis).
Vaksin BCG
Isi vaksin Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan.
Jadwal Diberikan segera setelah lahir atau sesegera
mungkin sebelum bayi berumur 1 bulan. Bila
berumur 3 bulan atau lebih, BCG diberikan apabila
uji tuberkulin negatif. Bila uji tuberkulin tidak
tersedia, BCG dapat diberikan, dan jika timbul
reaksi lokal cepat pada minggu pertama maka
dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis
tuberkulosis.
Dosis 0,05 ml, sebanyak 1 kali.
Cara pemberian Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan
kanan atas (insertio musculus deltoideus), dengan
menggunakan ADS 0,05 ml.
Kontraindikasi Keadaan imunokompromais seperti penderita
keganasan,
menggunakan steroid jangka panjang, bayi curiga
HIV, uji
tuberculin > 5 mm.
Efek samping 2–6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas
suntikan dapat timbul papula yang semakin
membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu
2–4 bulan, yang kemudian menyembuh perlahan
dengan menimbulkan jaringan parut dengan
diameter 2–10 mm.

55
Vaksin BCG

4. Imunisasi DTP

Imunisasi DTP merupakan imunisasi yang diberikan untuk membentuk


kekebalan aktif yang dapat mencegah tiga penyakit pada bayi yaitu
difteri, pertusis, dan tetanus.
Vaksin DTP

Isi vaksin  DTwP: purified diphteria toxoid (racun yang


dilemahkan), purified tetanus toxoid (racun
yang dilemahkan), dan bakteri B. Pertussis
inaktif (wP, whole pertusis).
 DTaP: purified diphteria toxoid (racun yang
dilemahkan), purified tetanus toxoid (racun
yang dilemahkan), dan komponen antigen
bakteri pertusis (aP, acellular pertusis).
Jadwal  Dapat mulai diberikan mulai umur 6 minggu.
 DTaP dapat diberikan pada umur 2, 3, 4 atau
2, 4, 6 bulan.
 Imunisasi ulangan diberikan pada umur 18
bulan, booster berikutnya pada umur 5-7 tahun
atau pada program BIAS kelas 1, lalu booster
yang selanjutnya pada umur 10-18 tahun atau
pada program BIAS kelas 5. Booster Td
diberikan setiap 10 tahun.
Dosis 0,5 ml.

56
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular anterolateral
paha.
Kontraindikasi Riwayat anafilaksis pada pemberian sebelumnya,
ensefalopati pada pemberian vaksin DTP
sebelumnya.
Efek samping Demam dan nyeri pada tempat suntikan (biasanya
1-2 hari). Kadang-kadang dapat terjadi reaksi
berat, seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel),
dan menangis dengan nada tinggi dalam 24 jam
setelah pemberian.

Vaksin DTP

Vaksin DTwP

Vaksin DtaP

5. Imunisasi Hib

Vaksin Hib
Isi vaksin Polisakarida bagian kapsul Hib yaitu
polyribosyribitol phosphat (PRP)
Jadwal Diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan dan dilanjutkan
imunisasi ulangan pada umur 18 bulan.
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular anterolateral

57
paha.
Kontraindikasi Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi
berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum dapat
membentuk antibodi.
Efek samping Jarang terjadi.

Vaksin Hib

Vaksin DPT-HB-Hib (Pentabio)

6. Imunisasi Campak
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus RNA
famili paramyxovirus. Penyakit ini ditularkan secara langsung melalui
droplet infeksi atau penularan melalui udara (airborne spread), yang
menimbulkan gejala ruam pada seluruh tubuh, batuk, demam dan
konjungtivitis.

Vaksin Campak

Isi vaksin Virus campak yang dilemahkan.


Jadwal Diberikan pada umur 9 bulan.
Dosis 0,5 ml.

58
Cara Disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas
pemberian atau anterolateral paha.
Kontraindikasi Keadaan imunodefisiensi seperti pasien kanker,
meng-konsumsi steroid dan pasien TB yang tidak
diobati.
Efek samping Dapat terjadi demam tinggi.

Vaksin Campak

IMUNISASI 1. Imunisasi MMR


PILIHAN Bertujuan untuk mencegah Measles (campak), Mumps (gondongan)
dan Rubella.
Vaksin MMR
Isi vaksin Virus hidup yang dilemahkan
Jadwal  Diberikan vaksin MR pada umur 9 bulan. Bila
sampai umur 12 bulan belum mendapat MR,
dapat diberikan MMR.
 Dilanjutkan booster pada umur 18 bulan
 Dilanjutkan booster pada umur 5-7 tahun
dalam program BIAS kelas 1
Dosis 0,5 Ml
Cara pemberian Disuntikan secara intra muskular atau subkutan
dalam.
Kontraindikasi Anak dengan penyakit keganasan yang tidak
diobati, anak yang mendapat pengobatan
imuosupresif, anak dengan alergi berat, dan pada
anak yang demam akut.

59
Efek samping Demam ringan dan kemerahan dapat timbul setelah
vaksinasi.

2. Imunisasi Pneumokokus
Pneumokokus atau Streptococcus pneumoniae merupakan
penyebab penyakit serius seperti meningitis, bakteremia, dan
pneumonia. Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin
pneumokokus polisakarida (Pneumococcal Polysacharide
Vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus konjugasi (Pneumococcal
Conjugate Vaccine/PCV).

Vaksin Pneumokokus
Isi vaksin  PCV 10: Polisakarida yang dikonjugasikan
dengan protein D suatu protein membran
luar dari non-typable Haemophilus
influenzae, toksoid difteri, dan toksoid
tetanus.
 PCV 13: polisakarida yang dikojugasikan
dengan protein carier CRM (cross reactive
material) 197 difteri non toksik.
Jadwal  Diberikan pada umur 2, 4 dan 6 bulan
dengan booster pada umur 12 – 15 bulan.
 Jika belum diberikan sampai umur 7-12
bulan, berikan PCV 2 kali dengan jarak
minimal 1 bulan dan booster setelah umur
12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis
sebelumnya.
 Jika belum diberikan sampai umur 1-2
tahun, berikan PCV 2 kali dengan jarak
minimal 2 bulan.
 Jika belum diberikan sampai umur 2-5
tahun, PCV10 diberikan 2 kali dengan jarak
2 bulan, PCV13 diberikan 1 kali.

60
Dosis 0,5 mL.
Cara pemberian Disuntikan secara intra muskular.
Kontraindikasi Riwayat anafilaksis pada vaksinasi sebelumnya.
Efek samping Demam > 39,5 C dilaporkan terjadi pada kurang
dari 5% individu yang divaksinasi.

3. Imunisasi Rotavirus
Vaksin ini merupakan perlindungan terhadap rotavirus
penyebab 453.000 kematian yang berhubungan dengan diare cair akut.
Terdapat dua jenis Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran
yaitu vaksin monovalent dan pentavalent.

Vaksin Rotavirus
Isi vaksin Rotavirus hidup yang dilemahkan.
Jadwal  Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2
kali, dosis pertama diberikan usia 6-12
minggu (dosis pertama tdak diberikan pada
usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan
dengan interval minimal 4 minggu. Batas
akhir pemberian pada usia 24 minggu.
 Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3
kali, dosis pertama diberikan usia 6-12
minggu, dosis kedua dan ketiga diberikan
dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir
pemberian pada usia 32 minggu.
Dosis 2 ml
Cara pemberian Secara oral
Kontraindikasi Imunodefisiensi berat. Imunisasi perlu ditunda
apabila ada demam atau gastroenteritis akut.
Efek samping Demam, tinja berdarah, muntah, diare,
gastroenteritis.

4. Imunisasi Japanese Encephalitis (JE)


Imunisasi ini dapat melindungi anak dari penyakit radang otak

61
akibat virus Japanese Encephalitis (family flavivirus) yang ditularkan
oleh nyamuk.
Vaksin Japanese Encephalitis (JE)
Isi vaksin Virus hidup yang dilemahkan.
Jadwal Vaksin JE diberikan mulai usia 9 bulan pada
daerah endemis atau seseorang yang akan
bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk
perlindungan jangka panjang dapat diberikan
booster 1-2 tahun berikutnya
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular.
Kontraindikasi Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin
JE apapun sebelumnya dan sebaiknya tidak
diberikan saat demam akut
Efek samping Demam ringan dan reaksi lokal ringan yang dapat
hilang dengan sendirinya.

5. Imunisasi Varisela
Varisela atau penyakit cacar air merupakan penyakit yang
disebabkan oleh Varicella-Zoster Virus (VZV).

Vaksin Varisela
Isi vaksin Virus hidup yang dilemahkan.
Jadwal Diberikan mulai umur 12-18 bulan.
Apabila diberikan pada umur 1-12 tahun, diberikan
2 dosis dengan interval 6 minggu sampai 3 bulan.
Apabila diberikan pada umur 13 tahun atau lebih,
diberikan 2 dosis dengan interval 4 sampai 6
minggu.
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara subkutan.

6. Imunisasi Hepatitis A
Vaksin ini merupakan vaksin perlindungan terhadap virus RNA
62
Hepatitis A golongan picorna virus.

Vaksin Hepatitis A
Isi vaksin Virus hepatitis A yang dimatikan.
Jadwal Diberikan mulai umur 1 tahun, dosis ke-2 diberikan
6 bulan sampai 18 bulan kemudian.
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular.
Kontraindikasi Individu yang mengalami reaksi berat sesudah
penyuntikan dosis pertama.
Efek samping Demam terjadi pada 5% kasus.

7. Imunisasi Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi yang ditularkan
melalui mulut dari makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Terdapat 2 jenis vaksin yaitu tifoid oral dan polisakarida parenteral.
Vaksin tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non
patogen yang telah dilemahkan.

Vaksin Tifoid
Isi vaksin Setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhii; polisakarida 0,025 mg; fenol dan larutan
bufer yang mengandung natrium klorida, disodium
fosfat, monosodium fosfat.
Jadwal Diberikan mulai usia 2 tahun dan diulang tiap 3
tahun
Dosis Oral: 1 kapsul dimakan tiap hari pada hari ke 1,3
dan 5
Parenteral: 0,5 mL
Cara pemberian Oral: Per oral
Parenteral: intramuskuler atau subkutan pada
daerah paha atau deltoid
Kontraindikasi Hipersensitivitas komponen vaksin, demam saat
akan dilakukan penyuntikkan.

63
Efek samping Demam, nyeri kepala, pusing. Kadang bisa terjadi
ruam, pruritus, dan urtikaria.

8. Imunisasi Influenza
Virus Influenzae termasuk golongan Orthomyxoviridae yang
menyebabkan penyakit saluran napas yang umumnya ringan namun
bisa menyebabkan komplikasi yang berat seperti pneumonia.

Vaksin Influenza
Isi vaksin Virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
Jadwal Diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap
tahun. Apabila diberikan pada umur 6 bulan sampai
8 tahun, imunisasi diberikan 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu. Apabila diberikan pada
umur ≥9 tahun, imunisasi pertama diberikan 1
dosis.
Dosis Umur 6-35 bulan: dosis 0,25 mL
Anak usia ≥ 36 bulan : dosis 0,5 mL
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular di paha atau
deltoid.
Kontraindikasi Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap
pemberian vaksin influenza sebelumnya.
Efek samping Demam terjadi pada 5%-12% kasus dan reaksi
lokal (ruam).

9. Imunisasi Human Papilloma Virus (HPV)


Human Papilloma Virus (HPV) merupakan virus yang sering
menyebabkan infeksi pada organ reproduksi. Infeksi persisten pada
wanita dengan HPV onkogenik dapat menimbulkan lesi pra-kanker
yang bila tidak diobati bisa berubah menjadi kanker serviks. Saat ini
terdapat 2 vaksin HPV yaitu HPV bivalen yang melindungi tehadap
HPV 16 dan 18 dan vaksin quadrivalen yang melindungi dari HPV
6,11, 16, dan 18.

64
Vaksin HPV
Isi vaksin Vaksin rekombinan yang terbuat dari Virus-Like
Particles (VLP) pada protein kapsid mayor L1
beberapa tipe virus HPV.
Jadwal Diberikan pada anak umur 9-14 tahun, 2 kali,
dengan interval pemberian 6-15 bulan. Umur 15
tahun atau lebih diberikan 3 kali dengan jadwal 0,
1, 6 bulan (vaksin bivalen) atau 0, 2, 6 bulan
(vaksin quadrivalen).
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara intramuskular.
Kontraindikasi Kehamilan.
Efek samping Nyeri di tempat bekas penyuntikkan, demam,
mialgia.

10. Imunisasi Dengue


Infeksi virus Dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh
virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, ditularkan oleh gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus.
Vaksin Dengue

Isi vaksin Vaksin Dengue mengandung 4 antigen virus yang


telah dilemahkan: yaitu DENV 1, DENV 2, DENV
3, dan DENV 4.
Jadwal Diberikan pada anak umur 9 – 16 tahun yang
pernah dirawat dengan diagnosis dengue dan
dikonfirmasi dengan deteksi antigen (rapid dengue
test NS-1 atau PCR ELISA), atau IgM anti dengue.
Bila tidak ada konfirmasi tersebut dilakukan
pemeriksaan serologi IgG anti dengue untuk
membuktikan apakah pernah terinfeksi dengue.

65
Dosis 0,5 ml.
Cara pemberian Disuntikkan secara subkutan pada lengan.
Kontraindikasi Riwayat alergi terhadap ragi, riwayat efek samping
yang berat pada penyuntikkan dosis pertama.
Efek samping Pada penerima vaksin dengue CYD didapatkan
305 reaksi lokal berupa nyeri, 40% reaksi sistemik
berupa nyeri kepala, lemas, dan nyeri otot.

PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


KRITIS 2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Witanto, A. N. 2021. Imunisasi. Referat. Jember: Fakultas
RUJUKAN Kedokteran Universitas Jember.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2018. Seputar Pekan
Imunisasi Dunia 2018.
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/seputar-pekan-
imunisasi-dunia-2018 [Diakses pada 8 Agustus 2021].
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2017. Penyelenggaraan Imunisasi. 6 Februari 2017.
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 559.
Jakarta.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

66
Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

67
12. TRANSFUSI DARAH

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

TRANSFUSI DARAH

PENDAHULUAN Transfusi darah merupakan proses memasukkan komponen darah donor


ke dalam sirkulasi pasien secara intravena. Tujuan transfusi darah
secara umum untuk mengembalikan serta mempertahankan volume
normal peredaran darah, mengganti kekurangan komponen selular
darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, serta memperbaiki fungsi
homeostasis pada tubuh.

INDIKASI  Transfusi Whole Blood (WB)


Pemberian transfusi WB pada umumnya dilakukan sebagai
pengganti sel darah merah pada keadaan perdarahan akut atau
masif yang disertai dengan hipovolemia, atau pada pelaksanaan
transfusi tukar. Di dalam WB, masih terdapat seluruh
komponen darah manusia, termasuk faktor pembekuan,
sehingga dapat digunakan pada kasus perdarahan massif

 Transfusi Packed Red Cell (PRC)


Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada
kadar Hb <7,0 g/dL, terutama pada keadaan anemia akut.
Transfusi juga dapat dilakukan pada kadar Hb 7,0-10,0 g/dL,
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium. Pada bayi prematur, transfusi
PRC diindikasikan apabila kadar Hb <7,0 g/dL. Transfusi PRC
juga dapat diberikan pada kondisi perdarahan akut yang
melebihi 10% dari volume darah total yang tidak menunjukkan
respon terhadap terapi lain.

68
 Transfusi Thrombocyte Concentrate (TC)
Pada pasien yang mengalami perdarahan akibat
trombositopenia, atau sebagai profilaksis pada keadaan tertentu.
Pada pasien dengan trombositopenia, transfusi TC profilaksis
dapat diberikan pada kadar trombosit <20.000/mL untuk
penyakit non imunologis, dan .kadar trombosit <10.000/mL
dengan penyakit imunologis.

 Transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP)


Dapat diberikan dengan defisiensi faktor koagulasi, terutama
faktor IX pada pasien dengan hemofilia B dan faktor inhibitor
koagulasi. FFP diberikan ketika terdapat gejala klinis
perdarahan dengan hasil lab PT/ APTT >1,5 titik tengah dari
rentang nilai normal atau fibrinogen <0,1 g/dL.

SOP Transfusi WB

Transfusi PRC

1. Menghitung kebutuhan PRC total berdasarkan nilai Hb pasien


menggunakan rumus :

PRC :

2. Cara pemberian dalam sehari


 Kasus perdarahan : sejumlah darah yang dikeluarkan
 Bukan kasus perdarahan
10-15 cc/kgBB/hari, bila total pemberian sehari kurang
dari 50cc dapat diberikan per bolus dapat dibagi dalam 2-3
kali pemberian dengan interval 6 jam. Bila lebih dari 50cc
diberikan secara drip dengan kecepatan max 20 tpm
(pertimbangkan darah tidak boleh berada dalam suhu
ruangan >4jam)

69
3. Kasus anemia gravis (Hb ≤ 5,0 g/dL)
Kasus anemia gravis tidak mengikuti rumus pada nomer 1,
namun menggunakan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam pertama.
Setelah jeda 12 jam, dilanjutkan sisa jatah transfusi harian (10-
15 mL/kgBB) yang habis dalam 2-3 jam

Transfusi TC
1. Dosis pemberian TC pada anak dan neonatus adalah
10mL/kgBB/ hari.
2. Cara pemberian: 1 unit trombosit diberikan dalam waktu ½ -1
jam

Transfusi FFP
1. Dosis pemberian transfusi FFP pada anak dan neonatus 10
cc/kgBB/hari dengan dosis maksimal 30 cc/kgBB/hari.
2. Cara pemberian habis maksimal dalam 4 jam

KONTRA 1. Sebaiknya dihentikan dan ganti dengan darah yang lain bila
INDIKASI terjadi reaksi alergi : timbul urticaria, suhu tubuh meningkat
2. Pertimbangkan kemungkinan timbulnya hemolisis : suhu
tubuh meningkat, kadang timbul icterus

PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


KRITIS 2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes., Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)

DAFTAR 1. Sari Pediatri, Vol. 18, No. 4, Desember 2016. Pustika Amalia
RUJUKAN Wahidiyat dkk: Transfusi Rasional pada Anak.
2. Protap perin dan PICU NICU RS.Soebandi.

70
Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

71
13. KOREKSI ELEKTROLIT

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

KOREKSI ELEKTROLIT

PENDAHULUAN Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi
elektrolit di dalamnya tetap stabil sangat penting bagi homeostatis
tubuh. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita dalam
kegawatan yang apabila tidak dikelola secara cepat dan tepat dapat
menimbulkan kematian. Gangguan elektrolit merupakan akibat suatu
proses penyakit yang mendasari, penting untuk mencari penyebab
gangguan tersebut. Urgensi pengobatan lebih tergantung pada masalah
klinis yang timbul dibandingkan nilai elektrolit absolut. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat ditemukan pada kasus diare,
peritonitis, ileus obstruktif, terbakar, atau pada pendarahan yang
banyak.
INDIKASI Hipokalemia
 Bila K serum < 3,5 mEq/L
 Manifestasi klinis: aritmia, kelumpuhan otot, parestesia, ileus,
kram perut, mual dan muntah

Hiperkalemia
 Bila K serum > 5 mEq/L
 Manifestasi klinis: aritmia, bradikardi, kelumpuhan otot,
parestesia, dan refleks hipoaktif.

Hipokalsemia
 Bila serum Ca < 1,5 mEq/L
 Manifestasi klinis: hipotensi, bradikardi, aritmia, gagal jantung,
kelumpuhan, spasme otot, laringospasme, hiperefleksia, kejang,
tetani, parestesia.

72
Hiperkalsemia
 Bila kadar kalsium > 2,75 mEq/L; ionized Ca >1,3 ml/L
 Manifestasi klinis: hipertensi, iskhemia, aritmia, bradikardi,
toksisitas digitalis, kelumpuhan, kejang, gangguan kesadaran,
muntah, anoreksia, konstipasi, batu ginjal, gagal ginjal.

Hiponatremia
 Bila serum Na < 130 mEq/L
 Manifestasi klinis: disorientasi, penurunan kesadaran, iritabel,
kejang, letargi, mual, muntah, kelumpuhan dan henti nafas

Hipernatremia
 Bila serum Na > 155 mEq/L
 Manifestasi klinis: gangguan kesadaran, letargi, kejang, koma
dan kelumpuhan otot
SOP Hipokalemia
1. Koreksi penyebab, pemberian kalium dan koreksi alkalosis
2. Bila kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan KCL 75 mEq/KgBB per
oral per hari dibagi 3 dosis
3. Bila kadar K < 2,5 mEq/L, berikan KCL melalui drip intravena
dengan dosis:
● 3,5 – kadar K terukur x KgBB x 0,4 + 2 mEq/ KgBB/24
jam dalam 4 jam pertama
● 3,5 – kadar K terukur x KgBB x 0,4 +1/6 x2 mEq xx BB
dalam 20 jam berikutnya

Hiperkalemia
1. Koreksi penyakit penyebab, menghentikan obat-obatan
penyebab, membatasi masukan kalium dan koreksi asidemia.
2. Ganti pemberian cairan menjadi cairan yang tidak mengandung
kalium seperti cairan PD4 (D5% NaCl 0,225)
3. Berikan Ca Gluconas: 0,5-1 cc/KgBB IV secara perlahan-lahan

73
dalam 5-10 menit dan kalua perlu berikan NaBic: 1-2 cc/KgBB
Note: Hiperkalemia dapat terjadi karena pemberian tranfusi
darah yang disimpan terlalu lama 3-4 minggu

Hipokalsemia
1. Berikan Ca Gluconas 10% � 0,5 – 1 cc/KgBB (diberikan secara
bolus pelan-pelan selama 15-30 menit, cairan infus tetap
dijalankan dan dikarenakan sifatnya yang mudal mengkristal,
lakukan titrasi dengan aqua for injeksi 1:1)

Hiperkalsemia
1. Mengendalikan penyakit penyebab, rehidrasi, menurunkan
kadar Ca
2. Infus normal saline untuk mengisi volume intravaskular (target
diuresis 2-3 ml/kgBB/jam)
3. Furosemid (1-2 mg/kg setiap 6-12 jam)
4. Penderita dengan gagal ginjal atau mengancam jiwa: dialisis

Hiponatremia
1. Koreksi Cepat (Kalau ∆ Na > 15 mEq/L).
Berikan NaCL 3% � 4-6 cc/KgBB (Jika banyak diberikan
dengan syringe pump selama 4 jam, jika sedikit diberikan bolus
pelan-pelan > 30 menit)F
2. Koreksi Lambat
∆ Na x KgBB x 0,6 = …. mEq NaCl 3% (diberikan
dengan syringe pump selama 20 jam)
Note:
- ∆ Na artinya serum Na normal (125) – kadar serum Na
pasien
- 1 mEq NaCl = 2 cc NaCl 3%
- Jangan menaikan Na tubuh > 12 mEq/ hari karena sel-sel
otak sensitive terhadap kondisi hipontremia maupun
hipernatremia yang berakibat timbulnya kejang

74
Hipernatremia
1. Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan
pemberian cairan dekstrose 5% ½ salin.

Note: Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per


hari karena bisa menyebabkan edema otak.
KONTRA
INDIKASI
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes., Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid I tahun 2009
RUJUKAN
2. Protap PICU NICU RS dr. Soebandi

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

75
14. MANTOUX TEST

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

MANTOUX TEST

PENDAHULUAN Uji tuberkulin (Mantoux) merupakan salah satu jenis uji yang
digunakan untuk mendiagnosis TB laten dan untuk mengetahui ada
tidaknya paparan kuman TB. Uji tuberkulin bermanfaat untuk
membantu menegakkan diagnosis TB pada anak, khususnya jika
riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin cara
Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan Purified Protein Derivative
(PPD) secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan hasil
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Standart tuberkulin ada 2
yaitu PPD-S dan PPD RT 23, dibuat oleh Biological Standards Staten,
Serum Institute, Copenhagen, Denmark. Dosis standart 5 TU PPD-S
sama dengan dosis 1 / 2 TU PPD RT 23. WHO merekomendasikan
penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan diagnosis
TB guna memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB.
INDIKASI 1. Anak dengan gejala dan tanda sakit TB
2. Kontak erat dengan penderita TB dewasa aktif (BTA +)
3. Anak dengan faktor resiko tinggi terpapar TB (tuna wisma,
alkoholik, pengguna Narkoba suntik).
4. Pasien imunokompromais (infeksi HIV, sindroma nefrotik,
keganasan) dan pasien yang akan mendapat imunosupresan
jangka panjang.
5. Bayi yang akan mendapat BCG di atas usia 3 bulan
SOP Persiapan Alat:
1. Kapas alkohol
2. Kassa steril
3. Spuit

76
4. Tuberkulin

Prosedur Pelaksanaan:
1. Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi 0,1 ml PPD secara
intradermal (dengan metode Mantoux) di volar / permukaan
belakang lengan bawah. Injeksi tuberkulin menggunakan jarum
gauge 27 dan spuit tuberkulin, saat melakukan injeksi harus
membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum. Penyuntikan
dianggap berhasil jika pada saat menyuntikkan didapatkan
indurasi diameter 6-10 mm.
2. Pembacaan hasil dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.
3. Cara mengukurnya dilakukan palpasi untuk menentukan tepi
indurasi, lalu diberi tanda dengan menggunakan pulpen,
kemudian diameter transversal diukur dengan alat pengukur
transparan, lalu hasil dari pengukuran dinyatakan dalam
millimeter.
INTERPRETASI ● Hasil uji tuberkulin dengan indurasi 0-4 mm dinyatakan uji
tuberkulin negatif, sedangkan diameter 5-9 mm dinyatakan
positif meragukan dan hasil uji tuberkulin dengan indurasi ≥
10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.
● Pada anak yang telah mendapat vaksin BCG, diameter
indurasi 10-15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif.
● Pada keadaan imunokompromais, cut off-point yang
digunakan adalah ≥ 5 mm.
KONTRA 1. Riwayat TB aktif sebelumnya.
INDIKASI
2. Riwayat reaksi alergi/ reaksi berat sebelumnya terhadap uji
tuberkulin (nekrosis, melepuh, atau ulserasi).
3. Riwayat reaksi anafilaksis terhadap tes sebelumnya
menggunakan Tubersol atau produk serupa, atau komponen
Tubersol apa pun.
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)

77
DAFTAR 1. Amirudin, L. 2017. Keterampilan Prosedur Pemeriksaan dan
RUJUKAN
Interpretasi Tes Tuberkulin. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
2. Todar, K. 2005. Tuberculosis. Todar‟s Online Textbook of
Bacteriology.
3. Drapper, P. and Dafee, M. 2005. The Cell Envelope of
Mycobacterium Tuberculosis with Special Reference to the
Capsule and Outer Permeability Barrier. In : Cole ST,
Eisenach KD, Mc Murray DN, Jacobs WR. Eds. Tuberculosis
and the tubercle bacillus. Washington: ASM Press. p. 261-85.
4. 2013. Tuberculin Skin Test (Mantoux). BC Centre for Disease
Control.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

78
15. INJEKSI ANTIHEMOPHILIC FACTOR

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

INJEKSI ANTIHEMOPHILIC FACTOR

PENDAHULUAN Faktor VIII atau antihemophilic factor (AHF) adalah obat yang
bersumber dari konsentrat protein endogen faktor VIII dari plasma
manusia, berfungsi dalam proses aktivasi jalur koagulasi. Faktor VIII
merujuk pada bentuk liofilisasi (pengeringan beku) dari konsentrat
faktor VIII dalam plasma manusia yang telah menjalani teknik
fraksinasi. Faktor VIII adalah salah satu faktor koagulasi pada jalur
intrinsik yang sangat penting dalam proses pembekuan darah. Faktor
VIII berfungsi sebagai kofaktor bagi faktor IXa yang dengan bantuan
Ca+2 dan fosfolipid membentuk senyawa yang dapat mengkonversi
faktor X menjadi bentuk aktifnya yaitu faktor Xa. Faktor Xa
selanjutnya akan merangsang konversi protrombin menjadi trombin.
INDIKASI Hemofilia A (hemofilia klasik) untuk pencegahan dan pengendalian
episode hemoragik.
SOP Cara Pemberian:
1. AHF (Antihemophilic Factor) dapat diberikan secara bolus
intravena atau drip kontinyu.
2. Pemberian konsentrat faktor VIII secara bolus intravena lebih
sering dilakukan karena lebih praktis, cukup sekali pemberian
setiap 12 jam dengan dosis yang disesuaikan dengan derajat dan
lokasi perdarahan dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 3
ml per menit.
3. Pemberian AHF secara drip kontinyu dipertimbangkan oleh
karena dapat mempertahankan therapeutic concentration yang
diinginkan selama 12 jam atau lebih sesuai kebutuhan.
Pemberian AHF secara drip kontinyu tidak mencapai
supratherapeutic concentration (konsentrasi melebihi yang

79
dibutuhkan yang menyebabkan pemborosan AHF), maupun
subtherapeutic concentration (konsentrasi di bawah yang
dibutuhkan yang menyebabkan perdarahan)

Dosis:
1. Dosis yang dibutuhkan (IU) = Berat badan (kg) x %
peningkatan Faktor VIII yang diinginkan (% dari normal) :
2%/IU/kg
Dosis yang diperlukan untuk mencapai hemostasis tergantung
pada jenis dan tingkat keparahan episode perdarahan, sesuai
dengan pedoman umum berikut:
1) Perdarahan
- Perdarahan Ringan. Pendarahan superfisial atau
pendarahan awal yang ringan dapat merespon dengan
dosis tunggal 10 IU/Kg yang menyebabkan peningkatan
in vivo sekitar 20% pada tingkat Faktor VIII. Terapi
tidak perlu diulang kecuali ada bukti perdarahan lebih
lanjut.
- Perdarahan Sedang. Untuk episode perdarahan yang
lebih serius (misalnya, hemarthrosis dan trauma yang
diketahui), tingkat Faktor VIII harus dinaikkan menjadi
30-50% dengan pemberian sekitar 15 - 25 IU/Kg. Jika
terapi lebih lanjut diperlukan, dapat diberikan
pengulangan dosis sebesar 10-15 IU/Kg setiap 8-12 jam
- Pendarahan Berat. Pada pasien dengan perdarahan yang
mengancam jiwa atau kemungkinan perdarahan yang
melibatkan struktur vital (misalnya sistem saraf pusat,
ruang retrofaringeal dan retroperitoneal, selubung
iliopsoas), tingkat Faktor VIII harus dinaikkan menjadi
80% - 100% dari normal untuk mencapai hemostasis.
Hal ini dapat dicapai pada sebagian besar pasien yang
diberikan dengan dosis awal Faktor Antihemofilik
sebesar 40-50 IU/Kg dan dosis pemeliharaan 20-25

80
IU/Kg setiap 8-12 jam Untuk prosedur bedah besar,
Tingkat faktor VIII harus diperiksa selama perjalanan
perioperatif untuk memastikan terapi penggantian yang
memadai.
2) Pembedahan
Untuk prosedur bedah besar, tingkat Faktor VIII harus
dinaikkan menjadi sekitar 100% dengan memberikan dosis
pra operasi 50 IU/kg. Tingkat Faktor VIII harus diperiksa
untuk memastikan bahwa tingkat yang diharapkan tercapai
sebelum pasien menjalani operasi. Untuk mempertahankan
tingkat hemostatik, infus berulang mungkin diperlukan setiap
6 sampai 12 jam pada awalnya, dan untuk total 10 sampai 14
hari sampai penyembuhan selesai. Intensitas terapi
penggantian Faktor VIII yang diperlukan tergantung pada
jenis operasi dan rejimen pasca operasi yang digunakan.
Untuk prosedur bedah minor, jadwal perawatan yang kurang
intensif dapat memberikan hemostasis yang memadai
KONTRA Penggunaan faktor antihemofilik dikontraindikasikan pada pasien yang
INDIKASI
telah menunjukkan reaksi hipersensitivitas langsung yang mengancam
jiwa, termasuk anafilaksis terhadap produk atau komponennya (FDA).
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes., Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. White GC, McMillan CW, Kingdon HS, et al. 1989. Use of
RUJUKAN
Recombinant Antihemophilic Factor in the Treatment of Two
Patients with Classic Hemophilia. New Eng J Med 320:166-
170.
2. McMillan, C. W., et al. 1970. Continuous Infusion of Factor
VIII in Classic Hemophilia. Br J Hematol. 18; 659-67.
3. Flora, S., et al. 1992. Continuous Infusion of Highly Purified
Factor VIII (Monoclate M). Am J Hematol. 40: 157.
4. Hathaway, W. E., Christian, J. M., Clarke, S. L. 1984.
Comparison of Continuous and Intermitten Factor VIII

81
Concentrate Therapy in Hemophilia A. Am J Hematol. 17; 85-
88.
5. Britton, M., Harrison J., Abildgaard, C. F. 1974. Early
Treatment of Hemophilic Hemarthroses with Minimal Dose of
New Factor VIII Concentrate. J Pediatr. 85(2):245-7.
6. Badan POM RI. Hemostatik dan Antifibrinolitik : Fraksi Faktor
VIII, Kering (Fraksi Antihemofilik Manusia, Kering). 2015.
7. Abildgaard, C. F. 1975. Current Concepts in the Management
of Hemophilia. Semin Hematol. 12(3):223-32.
8. Hilgartner, M. W. 1989. Factor Replacement Therapy. In:
Hilgartner MW, Pochedly C, eds. Hemophilia in the child and
adult. New York: Raven Press. p. 1-26.

Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

82
16. REHIDRASI

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

REHIDRASI

PENDAHULUAN Dehidrasi tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
bayi dan anak kecil di seluruh dunia. Dehidrasi merupakan gejala atau
tanda adanya gangguan lain, biasanya diare. Bayi sangat rentan terhadap
efek buruk dehidrasi karena kebutuhan cairan dasar mereka yang lebih
besar (karena tingkat metabolisme bayi yang lebih tinggi), kehilangan
penguapan yang lebih tinggi, dan ketidakmampuan untuk
mengkomunikasikan rasa haus atau mencari cairan.
Dehidrasi disebabkan oleh:
- peningkatan kehilangan cairan
- asupan cairan berkurang
- keduanya
Penyebab dehidrasi pada anak yang paling umum adalah muntah dan diare,
namun dapat juga disebabkan oleh luka bakar, dan lain-lain.
INDIKASI Tanda-tanda dehidrasi pada bai dan anak dibagi berdasarkan derajat
dehidrasi:
Penilaian Non Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Berat
Ringan-Sedang
LIHAT
Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut/lidah Basah Kering Kering
Rasa haus Minum +, Minum + Haus Minum - Haus -
Haus - +

83
PERIKSA
Turgor Kembali cepat Kembali Sangat lambat
lambat
ffffff
SOP 1. Dehidrasi Ringan-Sedang (apabila ditemukan tanda-tanda pada
kotak A dan atau B), berikan:
Larutan oralit : 75 ml/kgBB dalam 3-4 jam
● Oral, pipa nasogastric
● ASI, air putih (100-200 cc) bayi < 6 bulan
● Susu formula
● Evaluasi klinis setelah 3-4 jam → Rencana Terapi A/B/C
2. Dehidrasi Berat (apabila ditemukan tanda-tanda pada kotak C,
berikan cairan parenteral 100 ml/kgBB dengan cara pemberian:
Umur Pemberian I Pemberian II
(30 cc/kgBB) dalam (70 cc/kgBB) dalam
Bayi < 12 bulan 1 jam* 5 jam
Anak >12 bulan 0,5 – 1 jam* 2,5 – 3 jam
 *dapat diulangi apabila nadi masih lemah
 Berikan oralit setelah 3-4 jam (bayi), 1-2 jam (anak)
 Evaluasi klinis → Rencana Terapi A/B/C
KONTRA Tidak terdapat kontraindikasi absolut, namun dapat menjadi
INDIKASI
kontraindikasi relatif yang bergantung pada kondisi bayi atau anak,
seperti: komorbiditas edema paru dan gagal jantung kongestif.
Banyaknya pemberian rehidrasi harus menyesuaikan dengan kemampuan
tubuh anak.
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR IDAI, Pedoman Pelayanan Medis, Pujiadi, A, H, et al. Ikatan Dokter Anak
RUJUKAN
Indonesia, 2011.

84
Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

85
17. CPAP

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

CPAP

PENDAHULUAN Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) adalah


merupakan suatu alat untuk mempertahankan tekanan positif pada
saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP merupakan
suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory
distress pada neenatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat
menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap
oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas
residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan
mecegah kolaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan episode
sianotik, serta mengurangi kebutuhan untuk dirawat di ruangan
intensif. Beberapa efek fisiologis dari CPAP antara lain :
1. Mencegah kolapsnya alveoli paru dan atelektasis
2. Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan
kapasitas residu fungsional
3. Memberikan kesesuaian perfusi, ventilasi yang lebih baik
dengan menurunkan pirau intra pulmonar
4. Mempertahankan surfaktan
5. Mempertahankan jalan nafas dan meningkatkan diameternya
6. Mempertahankan diafragma.
INDIKASI Ada beberapa kriteria terjadinya respiratory distress pada
neonatus yang merupakan indikasi penggunaan CPAP. Kriteria tersebut
meliputi :
1. Frekuensi nafas > 60 kali permenit
2. Merintih (grunting) pada derajat sedang sampai parah
3. Retraksi nafas
4. Saturasi oksigen < 93% (preduktal)

86
5. Kebutuhan oksigen > 60%
6. Sering mengalami apneu
SOP Cara pemasangan CPAP adalah sebagai berikut:
1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke pencampur dan flow
meter, lalu hubungkan ke alat pengatur kelembapan. Pasang
floe meter antara 5-10 liter
2. Tempelkan satu selang ringan, lemas dan berkerut ke alat
pengatur kelembapan. Hubungkan probe kelembapan dan suhu
ke selang kerut yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap
diluar inkubator atau tidak di dekat sumber panas dari
penghangat.
3. Siapkan satu botol air steril di dekat alat pengatur kelembapan
4. Jaga kebersihan ujung selang

Untuk menghubungkan sistem ini ke bayi, langkah-langkahnya adalah


sebagai berikut:
1. Posisikan bayi dan naikkan kepala tempat tidur 30 derajat

2. Hisap lendir dari mulut, hidung, dan faring. Pastikan bayi tidak
mengalami atresia choana

3. Letakkan gulungan kain dibawah bahu bayi sehingga leher


bayi dalam posisi ekstensi untuk menjaga jalan nafas tetap
terbuka.
4. Masukkan pipa Orogastrik (OGT) dan lakukan aspirasi isi
perut. Kita boleh membiarkan pipa lambung tetap ditempatnya
untuk mencegah distensi lambung
5. Pergunakan topi untuk menjaga kehangatan bayi

6. Setelah bayi nyaman dan stabil dengan CPAP, barulah kita


melakukan fiksasi agar nasal prong tidak bergeser dari
tempatnya.

87
Selama penggunaan CPAP hendaknya kita mengevaluasi tanda
vital bayi, sistem kardiovaskuler (perfusi sentral, perifer, tekanan
darah), respon neurologis (tonus otot, kesadaran dan respon terhadap
stimulasi), gastrointestinal (distensi abdomen, visible loops dan bising
usus). Hisap lendir harus selalu dilakukan dari rongga hidung, mulut,
faring dan perut setiap 2-4 jam, sesuai dengan kebutuhan.
Meningkatnya upaya nafas, kebutuhan oksigen, dan insiden apneu
atau bradikardi, dapat disebabkan karena adanya lendir berlebih.
Untuk melunakkan konsistemsi lendir dapat digunakan NaCl 0,9%.

Selama penggunaan CPAP kita harus selalu memantau apakah


alat selalu berfungsi dengan baik, dan tidak terjadi perburukan pada
kondisi bayi yang mengharuskan kita menghentikan penggunaan
CPAP. Berikut adalah kondisi-kondisi yang mengindikasikan
kegagalan penggunaan CPAP dan memerlukan ventilasi mekanis :
1. FiO2 > 60 % PaCO2 > 60mmHG
2. Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa > -8
3. Terlihat retraksi yang semakin lama semakin meningkat dan
menunjukkan kelelahan pada bayi
4. Sering mengalami apneu dan bradikardia
5. Pernafasan yang irreguler

Apabila terjadi kondisi tersebut, maka kita harus


mempertimbangkan untuk melakukan intubasi dan support ventilasi
mekanik. Pemberian minum dapat diberikan selama penggunaan CPAP

88
nasal. Sebelum memberikan makanan harus dilakukan aspirasi terlebih
dahulu untuk menghindari udara yang berlebihan di lambung akibat
penggunaan CPAP. Jika kondisinya stabil, bayi dapat minum personde.
KONTRA 1. Bayi dengan gagal nafas dan memenuhi kriteria untuk
INDIKASI
mendapatkan support ventilator
2. Respirasi yang irregular
3. Adanya anomali kongenital
4. Hernia diafragmatika
5. Atresia choana
6. Fistula tracheo-oeshophageal
7. Gastroschisis
8. Pneumothorax tanpa chest drain
9. Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk
dengan pemasangan nasal prong
10. Bayi yang lahir besar, yang biasanya tidak dapat mentoleransi
penggunaan CPAP sehingga menimbulkan kelelahan bernafas
dan meningkatkan kebutuhan oksigen
PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Quinsland Maternity Neonatal a Clinical Guideline program.
RUJUKAN
Management of neonatal respiratory distress incorporating the
administration of continuous positive airway pressure.
Queensland: State of Queensland ( Queensland health ); 2009.
p. 1-19.
2. Continous possitive airway pressure (cpap) nursing guideline.
Journal [serial on the Internet]. 2012 : 1.0
3. Roberts C, Parker T, Algert C, Bowen J, Nassar N. Trends in
use of neonatal cpap: A population-based study. BMC
pediatrics. 2011;11(89):1-7.
4. Bomont R, Cheema I. Use of nasal continuos positive airway
pressure during neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2006;91:85-9.

89
Jember, 2 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

90
18. LUMBAL PUNGSI

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS


KSM: ILMU KESEHATAN ANAK
RSD dr. SOEBANDI
TAHUN 2021

LUMBAL PUNGSI

PENDAHULUAN Lumbar puncture atau lumbal pungsi adalah prosedur


pengambilan cairan tulang belakang dan otak (serebrospinal). Prosedur
ini dilakukan dengan menusukkan jarum ke celah tulang belakang di
punggung bagian bawah. Test ini dilakukan untuk pemeriksaan cairan
serebrospinal, mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal,
menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan
antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi.
INDIKASI Darurat
● Meningitis. Dugaan infeksi SSP, bagi kebanyakan anak,
indikasi untuk pungsi lumbal (LP) darurat adalah untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSF) untuk evaluasi
kemungkinan infeksi sistem saraf pusat (SSP), seperti
meningitis virus maupun meningitis bakteri
● Subarachnoid Hemorrhage. Dugaan perdarahan subarachnoid.
Evaluasi untuk perdarahan subarachnoid spontan (SAH)
merupakan indikasi darurat untuk LP. Pemindaian tomografi
terkomputasi (CT) harus dilakukan pada awalnya untuk semua
anak dengan suspek SAH, diikuti dengan LP ketika diagnosis
tidak terbukti pada pemindaian.

Tidak Darurat
● Indikasi lain untuk LP yaitu pemberian kemoterapi
● Media kontras untuk pencitraan sumsum tulang belakang
● Pengurangan CSF dalam pengobatan hipertensi intrakranial
idiopatik (pseudotumor serebri)

91
SOP Persiapan Alat:
1. Lidokain 1% tanpa epinefrin dan krim EMLA (campuran
eutektik lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%)
2. Jarum suntik 3 mL steril dengan jarum 25-gauge untuk injeksi
lidokain
3. Empat tabung pengumpul steril
4. Sarung tangan steril
5. Tirai steril
6. Larutan povidon-iodin
7. Spons steril atau 4 x 4 untuk menyiapkan tempat tusukan
8. Manometer (biasanya digunakan pada pasien yang berusia lebih
dari dua tahun)
9. Jarum spinal stilet 22-gauge. Panduan berikut untuk jarum
panjang yang sesuai didasarkan pada usia anak (walaupun
jarum yang lebih panjang mungkin diperlukan untuk anak-anak
yang besar untuk usia mereka, terutama untuk mereka yang
berusia lebih dari 12 tahun).
- Di bawah dua tahun, 1,5 inci (3,75 cm)
- Antara 2 dan 12 tahun, 2,5 inci (6,25 cm)
- Lebih dari 12 tahun, 3,5 inci (8,75 cm)

Prosedur Pelaksanaan:
1. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan menjelaskan
tujuan dan prosedur pelaksanaan serta meminta persetujuan
pasien.
2. Melakukan cuci tangan dan memakai handscoen.
3. Posisikan pasien dalam posisi berbaring miring atau duduk.
Posisi berbaring miring paling sering digunakan. Anak
diposisikan di dekat tepi meja periksa. Leher anak ditekuk dan
lutut ditarik ke atas oleh asisten. Posisi ini dapat dicapai jika
asisten menempatkan satu tangan di sekitar posterior leher anak
dan lengan lainnya di bawah lutut anak. Penempatan yang benar
memerlukan hal-hal berikut:
- Pinggul dan bahu anak harus dijaga tegak lurus terhadap

92
meja periksa untuk menjaga keselarasan tulang belakang
tanpa rotasi.
- Lipatan gluteal harus sejajar dengan prosesus spinosus.
- Bayi dapat digendong dalam posisi duduk oleh asisten
yang menggenggam salah satu lengan bayi dan salah
satu kaki di masing-masing tangan, sambil menopang
kepala untuk mencegah fleksi berlebihan pada leher.
- Anak yang lebih besar harus diminta untuk duduk
dengan kaki menggantung di tepi meja periksa. Mereka
kemudian dapat ditekuk di atas bantal dengan siku
bertumpu pada lutut. Seorang asisten harus menjaga
keselarasan selama prosedur, bahkan pada anak yang
kooperatif.
4. Anestesi Lokal. Untuk anak-anak yang menerima anestesi
infiltratif, kulit dan jaringan subkutan dianestesi dengan
lidokain 1 persen menggunakan jarum ukuran 25. Untuk
menginfiltrasi jaringan yang lebih dalam secara memadai untuk
anak-anak yang lebih besar, jarum ukuran 25 harus diganti
dengan jarum yang lebih panjang setelah kulit dibius.
5. Jarum tulang belakang diperiksa untuk memastikan bahwa stilet
terpasang dengan benar.
6. Jarum spinal diposisikan di garis tengah dengan level sejajar
dengan arah serat ligamentum flavum (misalnya bevel
menghadap ke atas untuk pasien dalam posisi dekubitus lateral
dan ke samping untuk pasien dalam posisi duduk). Penempatan
jarum ini dianggap mengurangi kebocoran CSF setelah prosedur
selesai karena jarum memisahkan, bukan memotong serat-serat
dura
7. Palpasi untuk merasakan vertebral processes dan
memperkirakan posisi vertebral spac. Segmen yang aman untuk
lumbal pungsiadalah diatas atau dibawah segmen vertebra L4
karena tidak terdapat conus medularis (conus medularis
setinggi L3 ketika bayi baru baru lahir dan setinggi L1-2 pada

93
dewasa). Segmen L4 dapat ditandai oleh anterior superior iliac
spin.

8. Jarum dimajukan perlahan melalui ligamen spinosus yang


mengarah ke cephalad menuju umbilikus. Berdasarkan
pengukuran ultrasonografi, sudut masuk pada anak dalam posisi
lateral recumbent adalah sekitar 45 derajat dari tegak lurus pada
bayi di bawah usia 12 bulan dan sekitar 30 derajat dari tegak
lurus pada anak di atas usia 12 bulan
9. Karena penetrasi dura tidak selalu jelas dan kedalaman jarum
yang harus dimasukkan bervariasi tergantung pada ukuran
pasien dan habitus tubuh, stilet dapat dengan hati-hati dilepas
dari waktu ke waktu saat jarum dimajukan untuk mencari CSF.
Sebuah "pop" sering dianggap sebagai jarum menembus dura
dan memasuki ruang subarachnoid. Pada titik ini, stilet dapat
dilepas. CSF harus terlihat di hub dan mengalir dengan bebas.
10. Beberapa dokter menganjurkan untuk melepas stilet setelah
kulit tertusuk dan memasukkan jarum ke dalam ruang
subarachnoid tanpa stilet untuk meningkatkan kemungkinan
mendapatkan cairan serebrospinal (CSF), terutama untuk bayi
kecil
11. Setelah CSF dikumpulkan, stilet harus diganti dan jarum
dilepas. Area tersebut harus dibersihkan dari larutan povidone
iodine dan balutan steril dioleskan ke tempat tusukan.
INTERPRETASI Beberapa hal yang penting untuk dites pada sampel CSF adalah:

94
1. Jumlah sel darah putih dan sel darah merah
2. Hitung neutrophil
3. Komponen kimiawi (glukosa dan protein)
4. Gram-stained smear of the sediment
5. Kultur bakteri
KONTRA ● Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
INDIKASI
● Masa intrakranial
● Potensi terjadi perdarahan atau INR > 1.4 atau tormbosit <
50.000
● Cardiorespiratory compromise
● Infeksi pada daerah yang diinjeksi

Normal CSF

Sel darah putih Biokimia


Usia Neutrofil Limfosit Protein Glukosa
6 6
(x10 /L) (x10 /L) (g/L) (CSF:total
darah)
< 1 bulan 0* <22 <1.0 ≥0,6
Atau ≥ 2.0
mmol/L
> 1 bulan 0* ≤5 <0.4 ≥0,6
Atau ≥2.5
mmol/L

 Beberapa penelitian menyatakan peningkatan 5% sel darah


putih dapat terjadi pada meningitis

Abnormal CSF

Sel darah putih Biokimia


Neutrofil Limfosit Protein Glukosa
(x106/L) (x106/L) (g/L) (CSF:total
darah)
Bakterial 100-10.000 <100 >1.0 <0.4
(Dapat (dapat (dapat
normal) normal) normal)
Virus < 100 10-1.000 0.4-1.0 Biasanya

95
(dapat (dapat normal
normal) normal)

TB <100 50-1.000 1.0-5.0 <0.3


(dapat (dapat (dapat
normal) normal) normal)

PENELAAH 1. dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


KRITIS
2. dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
3. dr. Saraswati Dewi, Sp.A(K)
DAFTAR 1. Bothner, J. and Rebecca, K. F. 2011. Lumbar Puncture:
RUJUKAN
Indications, Contraindications, Technique, and Complications
in Children. UpToDate.
2. Marton, K. I. and Gean A. D. The Spinal Tap: a New Look at an
Old Test. Ann Intern Med 1986; 104:840.
3. Kempen, P. M. and Mocek, C.K. 1997. Bevel Direction, Dura
Geometry, and Hole Size in Membrane Puncture: Laboratory
Report. Reg Anesth; 22:267.
4. Bruccoleri, R. E. and Chen, L. 2011. Needle-Entry Angle for
Lumbar Puncture in Children as Determined by Using
Ultrasonography. Pediatrics. 127: e921.
5. Baxter AL, Welch JC, Burke BL, Isaacman DJ. 2004. Pain,
Position, and Stylet Styles: Infant Lumbar Puncture Practices of
Pediatric Emergency Attending Physicians. Pediatr Emerg
Care. 20:816.
6. Stanford Lumbar Puncture Guideline
7. Bonadio, W. 2013. Pediatric Lumbar Puncture and
Cerebropinal Fluid Analysis. The Journal of Emergency
Medicine.1-10
8. The Royal CHildern‟s Hospital Melbourne Guideline

96
Jember, 3 September 2021

Ketua Komite Medik Ketua KSM Pediatri


RSD dr. Soebandi Jember RSD dr. Soebandi Jember

dr. Budi Suwarno, Sp.U dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A


NIP. 19630226 199003 1 008 NIP. 19650321 199503 1 003

Direktur RSD dr. Soebandi Jember

dr. Hendro Soelistijono, M.M, M.Kes


NIP. 19660418 200212 1 001

97

Anda mungkin juga menyukai