Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PEMBERIAN HARAKAT PADA MASA HAJJAJ AL ATSAQAFI DAN KHALIL BIN AHMAD

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Bahasa Indonesia

Oleh:

Nada Halawa

NIM: 20312224

Dosen pengampu:

ALIMUDDIN M,Pd

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

1
i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas limpahan Rahmat, Hidayah
serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya ilmiah berupa makalah yang singkat dan sederhana ini.
Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi akhir jaman, penolong
umat, yaitu Baginda Muhammad Saw. yang telah menunjukkan kita kepada jalan hidup lurus yang di
ridhoi oleh Allah Swt., dengan ajarannya agama islam.

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Bapak Dosen Mata Kuliah Bahasa
Indonesia dengan judul “Pemberian Harakat Pada Masa Hajjaj Al Tsaqafi dan Khalil bin Ahmad ” Fakultas
Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen
Pengampu Bapak Alimuddin M,Pd. yang selalu kami harapkan keberkahannya .

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bekasi, 18 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2

C. Tujuan Permasalahan..................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Pemberian harakat pada masa Hajjaj al-Tsaqofi.........................................................3

B. Pemberian harakat pada masa Khalil bin Ahmad.......................................................4

BAB III PENUTUP.................................................................................................................6

A. Kesimpulan................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................7

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada mulanya mushaf Al Qur’an ditulis oleh para sahabat tidak dilengkapi dengan pencantuman
tanda bantu baca. Oleh karena itu para Sahabat dan para tabi’in adalah orang-orang yang fasih bahasa
arab, yaitu bahasa yang menjadi standar penulisan Al Qur’an. Oleh karenanya hal ini tidak menimbulkan
masalah. Namun seiring dengan maikn tersiarnya agama islam diantara bangsa-bangsa non arab, timbul
kekhawatiran akan terjadinya kesalahan pembacaan Al Qur’an.

Kesalahan pembacaan ini mempunyai resiko terjadinya perubahan arti atau pengertian. Oleh
karenanya, pada massa dinasti muawiyah, Abul Aswad Ad Duali berinisiatif untuk mencantumkan tanda
bantu baca yang dituliskan dengan tinta yang berbeda warnanya dengan tulisan Al Qur’an. Usaha ini
kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. Oleh karena makin lama tanda bantu baca ini
makin sama warna dengan tulisan Al Qur’an, maka justru menyulitkan pembacanya, sehingga perlu
dilakukan penyederhanaan tanpa mengurangi maksud. Kemudian Al Khalil berinisiatif memperbaharui
tanda bantu baca tersebut. Usaha ini terus berlanjut, tanda bantu baca mengalami proses
penyempurnaan menuju bentuk tanda bantu baca seperti yang ada pada masa kini.

Penyebutan dengan istilah tanda bantu baca dan bukan tanda baca disini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada satu sisi, baik bagi mereka yang telah fasih / menguasai bacaannya, mampu
membaca tanpa bantuan tanda baca. Namun pada sisi yang lain, oleh karena Al Qur’an diturunkan untuk
semua umat, baik bagi mereka yang telah fasih mapun baru belajar, kepada mereka yang  berasal dari
latar belakang pendidikan yang beraneka ragam, baik bagi mereka yang berbahasa arab maupun bukan
dan sebagainya. Maka pencantuman tanda baca untuk membantu siapapun yang berkehendak untuk
mempelajari Al Qur’an tetaplah diperlukan. Apalagi kita yang hidup dimasa sekian abad setelah masa
para sahabat dan tabi’in. Bahkan bagi yang telah fasih pun masih memerlukannya untuk mengontrol
pengucapan.

1
B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pemberian harakat pada masa Hajjaj al-Tsaqofi !

2. Jelaskan pemberian harakat pada masa Khalil bin Ahmad !

C. Tujuan permasalahan

1. Jelaskan pemberian harakat pada masa Hajjaj al-Tsaqofi

2. Jelaskan pemberian harakat pada masa Khalil bin Ahmad

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemberian harakat pada masa Hajjaj al-Tsaqofi

Salah seorang gubernur di Baghdad yang bernama Hajjaj al-Tsaqofi  dibawah pemerintahan


Khalifah Bani Umayah lebih tepatnya pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan diperintahkan untuk
memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nashr bin
‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan
qira’at.

Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan


kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki
bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa
titik dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:

1. untuk membedakan antara (‫ )د‬dengan (‫)ذ‬, (‫ )ر‬dengan (‫)ز‬, (‫ )ص‬dengan (‫)ض‬, (‫ )ط‬dengan (‫)ظ‬
serta (‫ )ع‬dengan (‫)غ‬, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal),
sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).

2. untuk pasangan (‫ )س‬dan (‫ )ش‬huruf pertama tanpa titik, sedangkan huruf kedua (syin)
diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’ dan pemberian satu titik saja
diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan
pemberian titik berbeda pada huruf (‫)ب‬, (‫)ت‬, (‫)ث‬, (‫ )ن‬dan (‫)ي‬.

‫سشبتثنيجحخفقا‬

3. untuk rangkaian huruf  (‫)ج‬, (‫ )ح‬dan (‫)خ‬,huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang
kedua diabaikan.

4. sedangkan pasangan  (‫ )ف‬dan (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang
pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah
Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda
dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik
bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf 1
1
https://huhuwa.blogspot.com/2018/05/sejarah-pemberian tanda-baca-titik.html

3
B. Pemberian harakat pada Khalil bin Ahmad

Sebenarnya, system yang digunakan oleh Al-Khalil bin Ahmad al-Faraidi al-Busairi masih
berpegang teguh pada system penitikan tulisan Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi sebelumnya. Namun, Al-Khalil
ibn Ahmad al-Farahidi menempatkan kembali titik pembeda seperti Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk huruf-
huruf yang bersamaan bentuknya (misalnya untuk ‫ ب‬dengan satu titik dibawah, ‫ ت‬dengan dua titik
diatas, dan ‫ ث‬dengan tiga titik diatasnya), bukan lagi syakal atau atau harakat seperti sediakala dan tidak
lagi menggunakan garis-garis diagonal pendek yang dirumuskan oleh Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya
ibn Ya’mur al-Udwan al-Laitsi dahulu. Oleh karena itu, titik itu berfungsi sebagai nuqthah atau I’jam
persis seperti yang kita gunakan sekarang.

Pada masa Bani Abbas mushaf Al-Qur’an sudah menggunakan kertas sebagai lembarannya
terjadi Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid mendatangkan kertas-kertas ini dari china.
Khalifah Harun ar-Rasyid mengajukan agar orang-orang tidak lagi menulis kecuali diatas kertas, kulit,
atau sejenisnya akan mudah melunturkan penulisan, pada beberapa bagian tulisan yang luntur dianggap
akan menimbulkan kerancuan dalam membaca lebih-lebih jika tulisan itu adalah ayat al-Qur’an. Lain
halnya dengan kertas, apabila tulisannya terhapus akan langsung rusak, dan jika terkelupas, kupasannya
akan jelas kelihatan.2

untuk pasangan (‫ )س‬dan (‫ )ش‬huruf pertama tanpa titik, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan
tiga titik. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf ,)‫ (ث‬,)‫ (ت‬,))‫ب‬
‫ ((ن‬dan (‫)ي‬.

‫سشبتثنيجحخفقا‬

untuk rangkaian huruf  (‫)ج‬, (‫ )ح‬dan (‫)خ‬,huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang
kedua diabaikan.

2
Patimah Batubara. Proses pemberian titik (nuqthah) pada huruf-huruf Al-Qur’an oleh Abu Aswad Ad-
Du’ali, dalam skripsi Universitas Negeri Jakarta, 2018.h. 56-57

4
sedangkan pasangan  (‫ )ف‬dan (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang
pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya.

Pemberian harakat pada masa Khalil bin Ahmad

System yang digunakan oleh Al-Khalil bin Ahmad al-Faraidi al-Busairi masih berpegang teguh
pada system penitikan tulisan Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi sebelumnya. Namun, Al-Khalil ibn Ahmad al-
Farahidi menempatkan kembali titik pembeda seperti Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk huruf-huruf yang
bersamaan bentuknya (misalnya untuk ‫ ب‬dengan satu titik dibawah, ‫ ت‬dengan dua titik diatas, dan ‫ث‬
dengan tiga titik diatasnya), bukan lagi syakal atau atau harakat seperti sediakala dan tidak lagi
menggunakan garis-garis diagonal pendek.

BAB III

PENUTUP

5
A. Kesimpulan

1. Pemberian harakat pada massa Hajjaj Al-Tsaqofi memberikan titik pada huruf sebagai berikut:

 untuk membedakan antara (‫ )د‬dengan (‫)ذ‬, (‫ )ر‬dengan (‫)ز‬, (‫ )ص‬dengan (‫)ض‬, (‫ )ط‬dengan (
‫ )ظ‬serta (‫ )ع‬dengan (‫)غ‬, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan
tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya
(al-i’jam).
 untuk pasangan (‫ )س‬dan (‫ )ش‬huruf pertama tanpa titik, sedangkan huruf kedua (syin)
diberikan tiga titik. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik
berbeda pada huruf (‫)ب‬, (‫)ت‬, (‫)ث‬, (‫ )ن‬dan (‫)ي‬.

‫سشبتثنيجحخفقا‬

 untuk rangkaian huruf  (‫)ج‬, (‫ )ح‬dan (‫)خ‬,huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan
yang kedua diabaikan.
 sedangkan pasangan  (‫ )ف‬dan (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka
yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya.

2. Pemberian harakat pada masa Khalil bin Ahmad

System yang digunakan oleh Al-Khalil bin Ahmad al-Faraidi al-Busairi masih berpegang
teguh pada system penitikan tulisan Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi sebelumnya. Namun, Al-Khalil
ibn Ahmad al-Farahidi menempatkan kembali titik pembeda seperti Abu al-Aswad ad-Du’ali
untuk huruf-huruf yang bersamaan bentuknya (misalnya untuk ‫ ب‬dengan satu titik dibawah, ‫ت‬
dengan dua titik diatas, dan ‫ ث‬dengan tiga titik diatasnya), bukan lagi syakal atau atau harakat
seperti sediakala dan tidak lagi menggunakan garis-garis diagonal pendek.

DAFTAR PUSTAKA

https://hahuwa.blogspot.com/2018/05/sejarah-pemberian-tanda-baca-titik.html

6
Batubara Patimah. Proses pemberian titik (nuqthah) pada huruf-huruf Al-Qur’an oleh Abu Aswad Ad-
Du’ali, dalam skripsi Universitas Negri Jakarta, 2018

Anda mungkin juga menyukai