Makalah Ilmu Al Quran
Makalah Ilmu Al Quran
Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
FATIKA NURUL ROHMA (3050012108 )
NUR AZHILA WANGSA (30500121049)
MUH.AIDIL ADHA (30500121020)
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya
kepada umat manusia, dan semoga salawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi besar kita
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah dengan menerima wahyu dari
Allah Swt melalui jibril as, menjaga dan menyampaikannya kepada umatnya, mengamalkan
isinya, menjelaskan perkara yang belum dimengerti sahaba-sahabatnya, sehingga kita bisa
menikmati manisnya keimanan serta indahnya ajaran-ajaran agama islam.
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama islam yang pertama sebagai wahyu yang sempurna
dan kemudian ditambah dengan hadits yang merupakan segala sesuatu baik perkataan, perbuatan
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw dan juga merupakan sumber ajaran, penuntun,
dan penjelas bagi umat islam.
Al-Qur’an dan Hadits membahas banyak hal mulai dari keyakinan, kehidupan sehari-hari, hal-hal
ghaib, surga dan neraka, dan hal-hal lainnya. Pada kesempatan ini kami berusaha untuk
merangkum sedikit terkait materi Muhkam dan Mutasyabih.
Kami menyadari bahwa masih banyaknya terdapat kesalahn dan kekurangan dalam penyusunan
dan pembuatan maklah ini. Oleh karena itu, lami menerima dan membutuhkan kritikan, sehingga
kami dapat memperbaiki kesalahan dan memberikan yang terbaik.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHSAN
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adalah al Quran Kitab Suci yang diturunkan Allah melalui Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai Kitab Suci yang terakhir dan suatu ringkasan dari Kitab-
Kitab Suci yang pernah diturunkan Allah. Bahkan al Quran acapkali diseru oleh seluruh
penganutnya untuk mengesahkan berbagai macam prilaku, memotivasi berbagai
perjuangan, melandasi berbagai aspirasi, mensugesti dalam memenuhi segudang
harapan dan memperteguh jati diri manusia yang meyakininya dalam menghadapi
berbagai tantangan perkembangan zaman. Bahkan bila dilihat pendapat Muhammad
Abduh yang selaras dengan tendensi rasionalitasnya di bidang tafsir bahwa
kemukjizatan al Quran menunjukkan adanya ketidakberdayaan zaman untuk
menggugurkan apapun darinya. Ia juga menegaskan bahwa hanya al Quranlah satu-
satunya kitab yang memuat berbagai masalah alam, secara empiris maupun sosial
(Abdussalam, 1999: 132). Oleh karena itu al Quran adalah salah satu naskah atau
risalah yang berjangkauan universal yang sering diperbincangkan dan didiskusikan,
meski demikian kurang kita pahami secara keseluruhan. Mengingat penjelasan pesan-
pesan Allah dan segala hikmahnya itu masih menjadi misteri bagi kebanyakan manusia.
Sehingga kaum muslimin harus menakwilkannya dan harus mengeluarkan dari seluruh
fenomenanya untuk disesuaikan dengan berbagai fenomena dan tradisi atau teori sains.
Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan manusia sesuai dengan realitasnya yang
benar-benar riil dalam al Quran. Misalkan dalam permasalahan muhkam dan
mutasyabih yang terdapat dalam ayat-ayat al Quran. Bila umat Islam tidak memahami
dengan baik dan benar keduanya, tentunya akan menimbulkan permasalahan yang
mendasar dalam memahami al Quran. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara
terinci hal-hal yang berkaitan dengan kedua permasalahan tersebut di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sikap Ulama dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Mutasyabihah
Ayat-ayat mutasyabihah timbul karena sifatnya yang mujmal (global) dan itu
1
tentunya memerlukan takwil. Disisi lain sebagian besar ulama berpendapat, bahwa
ayat-ayat mutasyabihah tidak diketahui takwilnya kecuali oleh Allah. Sementara
orang-orang yang berilmu akan berhenti pada kalimat “dan orangorang yang
berilmu mendalam“, kalimat tersebut mengindikasikan para ulama ada yang
mengetahui takwilnya. Upaya mencari jalan tengah antara ulama yang berpendapat
bahwa ayat mutasyabih tidak bisa ditakwilkan dengan ulama yang membolehkan
takwil, oleh Raghib al Asfahani mengambil jalan tengah melalui pembagian ayat
mutasyabih menjadi tiga bagian (al Saleh, 2002: 373). Pertama, lafadh atau ayat
yang sama sekali tidak dapat diketahui hakekatnya. Seperti tentang waktu kiamat
dan hal-hal ghaib lainnya seperti dalam Surat al An’am 59: “Dan pada sisi Allahlah
kunci-kunci semua yang ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri…
Kedua, ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian
dan pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat
ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Seperti dalam firman Allah Surat an
Nisa 3: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”(QS an Nisa: 3). Penjelasan berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat
ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim,
maka kawinilah wanita-wanita lain…” (QS An Nisa: 3). Maksud ayat tersebut di
atas tidak jelas, dan ditimbulkan akibat lafadnya yang ringkas. Karena kalimat
asalnya berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-
wanita selain mereka.”
Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan
2
bukan semua ulama. Maksudnya yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang
memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid. Para ulama berbeda dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian mereka cenderung memahaminya secara leterlek
(harfiah) dan sebagian yang lain melihatnya sebagai isyarat kepada takwil. Dalam hal ini sangat
ditentukan oleh persepsi mereka dalam melihat ayat-ayat itu, apakah ia dapat ditafsirkan
(ditakwilkan) atau tidak. Dalam pandangan Subhi As Shalih, ia membedakan pendapat ulama
dalam dua madzhab. Pertama, Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan
meyakini sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakekatnya kepada Allah sendiri (al Saleh,
1995: 211). Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakekat maksud ayat-ayat
mutasyabihat kepada Allah. Oleh karenanya, mereka disebut Mufawidah atau Tafwid. Sistem
penafsiran tersebut secara umum digunakan Madzhab Salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihah. Dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli dan naqli. Kedua,
Madzhab Khalaf yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil dengan
makna yang sesuai dan laik untuk dzat Allah. Oleh sebab itu mereka disebut Muawwilah atau
Madzhab Takwil. Seperti mereka memaknakan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya. Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada suatu
tempat. Sisi Allah dengan hak Allah. Wajah dengan dzat mata dengan pengawasan, tangan
dengan kekuasaan dan diri dengan siksa. Di samping kedua madzhab diatas masih ada lagi
madzhab ketiga seperti yang dikemukakan oleh as Suyuti bahwa Ibnu Daqiq berpendapat jika
takwil itu dekat dari bahasa arab, maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka kita
tawakkuf (tidak memutuskannya). Jadi kita meyakini maknanya menurut cara yang
dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak laik bagi-Nya. Seperti sesuatu
yang maknanya lafalnya nyata serta bisa dipahami dari percakapan orang arab kita terima yang
demikian tanpa tawakkuf, contahnya: “Supaya jangan ada orang yang mengatakan: ”Amat
besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang
Aku Sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)” (QS az
Zumar: 56). Menurutnya sisi Allah diartikan dengan hak Allah. Dari ketiga madzhab tersebut,
masing–masing mempunyai argumentasi sendiri dan bisa dikompromikan. Sebab mereka
percaya makna yang diambil dari hasil penakwilan dan penafsiran, bukanlah merupakan makna
3
yang pasti bagi ayat-ayat mutasyabihat itu, dan tak seorang pun bisa menjamin bahwa itulah
makna yang sebenarnya, dan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah, sehingga pada
akhirnya semua pihak bisa menerimanya.
BAB II
PEMBAHASAN
ظ ْل ِم
ُّ َوأَ َّو ُل ذَلِكَ اَ ْل ُح ْك ُم َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع مِنَ ال. َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع,ٌص ٌل َواحِ د
ْ ََاف َو ْالمِ ْي ُم أ
ُ اَ ْل َحا ُء َو ْالك
“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna larangan. Kata pertama
yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum yang berarti melarang dari sebuah
kedzhaliman.”
Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara bahasa. Dari sini
pulalah tali yang mengikat kepala dan leher binatang dinamakan dengan ٌ َح َك َمة. atau tali kekang,
karena berfungsi untuk melarangnya bergerak agar terkendali.
Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan أَحْ ك ََم – إِحْ كَا ًماyang
bermakna أَتْقَنَ – ِإتْقَانًاartinya adalah menguatkan atau mengokohkan, seperti jika dikatakan: ُأَحْ ك َْمت
ع ْن ْالفَ َسا ِد
َ ُئ أَي أَتْقَ ْنتُهُ فَ َمنَ ْعتُه
َ ال َّش ْيartinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya dari
kerusakan. Abu Hilal al-‘Askariy –rahimahullah- berkata:
Maka al-Muhkam اَ ْل ُمحْ َك ُمsecara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari أَحْ ك ََمyang bermakna sesuatu
yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.
Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain disebabkan adanya
kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka
diberi buah-buahan yang serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian
yang lain, bukan rasa atau hakikatnya.
Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan satu dengan yang
lain”.
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”
“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara
maknanya berbeda.”
Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-Mutasyabih, kurang
lebihnya seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai berikut;
Al-Muhkam Al-Mutasyabih
sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan ta’wil sesuatu yang berkemungkinan lebih dari satu
lebih dari satu penta’wilan
Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-ma’na
Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa butuh yang Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan
lain sebagai penjelas- membutuhkan kepada yang lain –sebagai penjelas-
Apa saja yang penta’wilannya sesuai dengan nash Apa saja yang tidak dapat diketahui kecuali dengan
turunnya(teksnya). ta’wil
An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan faraid serta Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja yang kita
apa yang kita wajib mengimaninya dan wajib mengimaninya namun tidak untuk
mengamalkannya diamalkan.
B. Macam-macam Mutasyabih
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa pendapat ulama
didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya al-
Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya
bukan nash dalilnya.
1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita tidak dapat
memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat menelitinya tidak bisa
mendapatkan maknanya yang muhkam.
2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya maknanya
bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan oleh kejahilan atau
hawa nafsu sehingga dalam pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih
condong kepada muhkam. Jenis kedua ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-
Nisbiy yang relative dan hanya ulama tertentu saja yang dapat memahami maknanya.
3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan tetapi pada
‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya hewan yang disembelih
secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat saat kedua daging tersebut
tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau menjadi haram.
Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut pandang; dari segi lafadz
saja, dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan makna secara bersamaan:
b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ليس كمثله شيءkarena seandainya
diucapkan ليس مثله شيءmaka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang mendengarnya.
2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-sifat ini tidak
dapat kita pahami gambaran hakikatnya.
3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;
b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala surat an-Nisa’ ayat
3:
e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.
Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya
secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:
Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk mutasyabih adalah ayat tentang
sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti:
Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat
menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:
1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang
dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.
3. Madzhab Mutawassith
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika
penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya,jika
jauh dari pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai
dengan yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang makna al-muhkam dan al-
mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih pendapat dalam permasalahan siapakah yang
dapat memahami ayat al-mutasyabihah.
Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:
َب َوأُخ َُر ُمتَشَابِ َهاتٌ فَأ َ َّما الَّذِينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَه ِ َاب مِ ْنهُ آيَاتٌ ُمحْ َك َماتٌ هُنَّ أ ُ ُّم ْال ِكتَا َ علَيْكَ ْال ِكت َ ه َُو الَّذِي أَ ْنزَ َل
سخُونَ فِي ا ْل ِع ْل ِم َيقُولُونَ آ َمنَّا ِب ِه كُ ٌّل مِ ْن ِع ْن ِد َر ِبنَا َو َما َيذَّ َّك ُر
ِ الرا
َّللا َو اُ مِ ْنهُ ا ْب ِتغَا َء ْال ِفتْنَ ِة َوا ْب ِتغَا َء تَأْ ِوي ِل ِه َو َما َي ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ ِإ اَّل ا
ِ إِ ََّل أُولُو ْاأل َ ْلبَا
ب
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S Ali Imran [3]:7)
Pendapat pertama:
Firman Allah الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْل ِم َّ َوadalah mubtada dan َ يَقُولُونsebagai khabarnya, sehingga huruf وpada
ْالراسِ ُخونَ فِي ْالعِل ِم
َّ َوbermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan
terhenti pada َّللا ُ َّ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِ ََّلyang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna
ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.
Pendapat kedua:
Huruf وpada firman Allah الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْل ِم
َّ َوbermakna al-athfu sebagai huruf atau kata sambung
dan َ يَقُولُونmenjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti pada الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْل ِم
َّ َوsehingga
berkonsekwensi maknanya bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang
yang diberi kekokohan dalam ilmu.
10
“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang
membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:
الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْل ِم ُ َّ “و َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِ ََّلaku
َّ َّللا َو َ adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat
ini berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak
bisa dimengerti.
Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka
berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih
dan ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.
الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْل ِم آ َمنَّا بِ ِه ُ َّ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِ ََّل
َّ َّللا َويَقُ ْو ُل
“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang kokoh
keilmuanya; kami beriman dengannya” Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an
ُ َّ إِ ََّلsehingga kalimat الراسِ ُخونَ فِي ْالع ِْلم
membawakan perkataan wajibnya waqf pada kalimat َّللا َّ َو
menjadi kalimat permulaan.
ُ َّ ِإ ََّل,
Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat َّللا
diantara argumen beliau adalah:
1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:
فَأ َ َّما الَّذِينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ مِ ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْال ِفتْنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِوي ِل ِه
2. Kalau seandainya kalimat َالراسِ ُخون َّ َوmengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka
ُ
kedudukan kalimat يَقُولونَ آ َمنَّا بِ ِهmenjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau
kebenaran dari segi kaidah bahasa arab. Dari sinilah lahir kaidah tafsir َي ِجبُ ال َع َم ُل ِبال ُمحْ ك َِم
واْل ْي َمانُ بال ُمتَشَابِ ِه
ِ “wajib beramal dengan yang muhkam dan beriman dengan yang
mutasyaabih”.
11
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang
mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini
dan tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari
kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka
mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya
dengan berita yang dibawa syariat?
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan
yang sesuai dengan yang didakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah
semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.
KESIMPULAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh
Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:
ان ْال َح ََل ِل وال َح َر ِام
ِ َح فَ ُه َو َما أَحْ َك َمتْهُ ِباأل َ ْم ِر َوالنَّ ْهي ِ وبَي ْ َِوأَ َّما ف
ِ ي ا َِلصْطِ ََل
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”
اخت ََِلفِ ْال َم َعانِي َ صلُهُ أن َي ْشتَ ِبهَ اللَ ْفظُ في ال
ْ ظاه ِِر مع ْ َ وأما ال َمتَشَا ِبهُ فأ
“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara
maknanya berbeda.”
12
DAFTAR PUSTAKA
Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, (Riyadh:
Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.
Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.
Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-Munir, (Kairo:
Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.
Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2009
M) hal. 270.
Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2008 M) hal. 389.
Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo:
Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.
13
Ibrahim bin Musa bin al-Lakhamiy al-Gharnathiy al-Malikiy Abu Ishaq asy-Syatibiy w. 790
H, al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2013 M) hal. 73, Juz 3.
Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Kairo: Dar Ibnu Affan, cet.
2013 M) hal.214, jilid 2.
Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 12, Juz 3. Lihat juga: Manahil al-Qur’an hal.234, jilid
2. Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, hal. 512.
Thaha ayat 5
Ar-Rahman ayat 27
Al-Fath ayat 10
Istilah madzhab mutawassith ini ditulis oleh az-Zarqaniy dalam Manahil hal. 241, Jilid 2.
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet. 3,
2000 M) hal.222.
Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 7, Juz 3.
Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Raziy w. 606 H, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, cet. 2000 M) hal. 153, Jilid 7.
Abdussalam, Abdul Majid. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir Al Quran Kontemporer.
14
Bangil: al Izzah Al Qotton, Manna Khalil. 1994. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. Bogor: Litera Antar
Nusa.
Al Farmawi, Abd.Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudhu’iy. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al Zarqony. 1998. Manahil al Irfan fi Ulumil al Quran. Beirut Lebanon: Darul Kitab al Arobi.
Syadali, Ahmad dan Rofi’I, Ahmad. 1997. Ulumul Quran I. Bandung: CV.Pustaka Setia.
15