Anda di halaman 1dari 126

PARIWISATA BERKELANJUTAN

DALAM PERSPEKTIF PARIWISATA


BUDAYA
DI TAMAN HUTAN RAYA BANTEN

Yohanes Sulistyadi
Fauziah Eddyono
Derinta Entas

Uwais Inspirasi Indonesia


2019
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Di Taman Hutan Raya Banten
Penulis :
Yohanes Sulistyadi
Fauziah Eddyono
Derinta Entas
Editor :
Fungky
Tata Letak :
Uwais Inspirasi Indonesia
Desain Cover :
Haqi
Penerbit :
Uwais Inspirasi Indonesia
Redaksi :
Ds.Sidoharjo, Kec. Pulung, Kab. Ponorogo

Hak Cipta 2019 pada Penulis


Uwais Inspirasi Indonesia
Ds. Sidoharjo, Kec. Pulung, Kab. Ponorogo
Telp. 0352-571892; E-mail : penerbituwais@gmail.com
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang, Dilarang memperbanyak
naskah ini dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis-
penerbit
ISBN : 978-623-7035-56-5
Cetakan pertama, Februari 2019
iii
KATA PENGANTAR

Buku yang secara khusus bertujuan untuk mendeskripsikan


mengenai Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
di Taman Hutan Raya, Banten. Capaian akhir dari buku ini adalah untuk
keberlanjutan kawasan dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal.
Rekomendasi model pengembangan pariwisata berkelanjutan ini
diharapkan dapat menjadi prototipe yang dapat diaplikasikan oleh
kawasan atau daerah lain di Indonesia.
Kepentingan buku ini juga memberikan masukan bagi
stakeholders yaitu, industri, pemerintah, dan masyarakat di sekitar
kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten.
Masyarakat dalam artian yang bergerak dan tertarik untuk
pengembangan pariwisata berkelanjutan kawasan. Pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang direkomendasikan berbasis pada kearifan
lokal (local wisdom) masyarakat Sunda yang merupakan mayoritas
masyarakat yang mendiami kawasan tersebut.
Tujuan lain dari buku ini ada memberikan keterbaruan
pengembangan ilmu pengetahuan bidang pariwisata berkelanjutan di
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten khususnya dan
kepariwisataan pada umumnya. Selanjutnya sebagai sarana informasi
dan promosi pariwisata provinsi Banten berbasis kearifan lokal yang
dapat menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk
datang dan berkunjung ke Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang
Banten.

Jakarta, November 2018


Tim Penulis
iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .......................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... viii

BAB I PARIWISATA BERKELANJUTAN ................................. 1


1.1 Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan ..................................... 2
1.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Prinsip Sustainable
Tourism............................................................................................ 11
1.2.1 Perkembangan Demografi ..................................................... 11
1.2.2 Perkembangan Ekonomi ........................................................ 12
1.2.3 Perkembangan Politik dan Hukum ........................................ 13
1.2.4 Perkembangan Sosial Budaya................................................ 13
1.2.5 Perkembangan Teknologi ...................................................... 14
1.2.6 Perkembangan Globalisasi..................................................... 14
1.3 Aspek-aspek Penting Dalam Pariwisata Berkelanjutan ......... 15
1.3.1 Aspek Ekonomi ..................................................................... 15
1.3.2 Aspek Lingkungan ................................................................. 17
1.3.3 Aspek Sosial Budaya ............................................................. 18
1.4 Aplikasi Pariwisata Berkelanjutan pada Aspek Sosial dan
Budaya Masyarakat ......................................................................... 18
1.4.1 Konsep Pariwisata dan Budaya ............................................. 18
v
1.4.2 Kondisi Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Indonesia .....23
1.4.3 Kondisi Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Sunda ...........24
1.4.4 Masalah Sosial Dalam Masyarakat Suku Sunda ....................25
1.4.5 Sistem Interaksi Dalam Suku Sunda ......................................27
1.4.6 Stratifikasi Suku Sunda ..........................................................28

BAB II HUBUNGAN BUDAYA DAN PARIWISATA ...............31


2.1 Pengertian Kebudayaan .............................................................34
2.2 Paradigma Berfikir Masyarakat Terhadap Konsep Pariwisata
Berkelanjutan....................................................................................35
2.3 Korelasi Budaya dan Pariwisata ................................................43
BAB III PERILAKU MASYARAKAT DI DESTINASI WISATA....
..........................................................................................................50
3.1 Perubahan Sosio Kultural ..........................................................50
3.2 Perilaku Masyarakat Sebagai Bagian yang Terlibat Dalam
Pengelolaan Destinasi.......................................................................59

BAB IV KASUS BUDAYA DAN PERUBAHAN DI CARITA


KABUPATEN PANDEGLANG BANTEN ..................................61
4.1 Keadaan Umum Pandeglang ....................................................61
4.1.1 Letak dan Orientasi Geografis Kabupaten Dati II Pandeglang ..
..........................................................................................................61
4.1.2 Potensi Wisata Kabupaten Pandeglang ..................................62
4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Perkembangan Pariwisata di
Tahura Pandeglang Banten dan sekitarnya.......................................65
vi
4.3 Peran Stakeholders di Kawasan Tahura Pandeglang Banten.. 77

BAB V MODEL PENGEMBANGAN PARIWISATA


BERKELANJUTAN BERBASIS BUDAYA DAN PENDEKATAN
MASYARAKAT ............................................................................ 82
5.1 Profil Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang ...................... 82
5.1.1 Sejarah Kawasan.................................................................... 85
5.1.2 Potensi Wisata Alam ............................................................. 90
5.2 Sosial Ekonomi dan Budaya .................................................. 93
5.2.1 Demografi .............................................................................. 93
5.2.2 Mata Pencaharian .................................................................. 94
5.2.3 Pendidikan ............................................................................. 94
5.2.4 Keagamaan ........................................................................... 95
5.2.5 Kesehatan.............................................................................. 95
5.3 Tujuan Pengelolaan Kawasan ................................................ 95
5.4 Blok Pengelolaan Tahura....................................................... 98
5.4.1 Blok Perlindungan ............................................................... 100
5.4.2 Blok Pemanfaatan ................................................................ 101
5.4.3 Blok Koleksi Tumbuhan dan atau Satwa............................. 103
5.4.4 Blok Rehabilitasi ................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 106
RIWAYAT HIDUP PENULIS .................................................. 113
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2015 .......................................66
Tabel 5.1 Kronologis Pengembangan Kawasan ..............................87
Tabel 5.2 Vegetasi pada Blok Perlindungan .................................100
Tabel 5.3 Vegetasi pada Blok Pemanfaatan ..................................101
Tabel 5.4 Vegetasi pada Blok Koleksi Tumbuhan dan atau Satwa .....
........................................................................................................103
Tabel 5.5 Vegetasi Pada Blok Rehabilitasi ...................................105
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Struktur Masyarakat Sunda ......................................... 29
Gambar 5.1 Peta Lokasi TAHURA Banten .................................... 83
Gambar 5.2 Peta Pengelolaan Kawasan Tahura Banten ................. 99
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya |1
BAB I
PARIWISATA BERKELANJUTAN

Pariwisata Berkelanjutan (sustainable tourism) sering


dibicarakan dan digaungkan para pakar pariwisata di seluruh
dunia. Pendapat para pakar ini menjadikan Pariwisata
Berkelanjutan ini sebagai suatu konsep penting. Aplikasi konsep
Pariwisata Berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengembangan
suatu destinasi pariwisata. Hal ini mengkondisikan bahwa
dibutuhkan kepedulian (awareness) banyak pihak agar konsep
penting tersebut berjalan baik.
Dukungan dari United Nation World Tourism
Organization (UNWTO) semakin menguatkan arti penting
konsep Pariwisata Berkelanjutan. Tiga hal yang dikedepankan
untuk menjadi fokus perhatian utama, yaitu dampak ekonomi,
dampak sosial, dan dampak lingkungan. Prinsip keberlanjutan
tersebut dipraktekan pada pengelolaan suatu kawasan ataupun
destinasi wisata. Keberlanjutan jangka panjang menjadi
perhatian utama.
Atas uraian singkat penjelasan tentang pariwisata
berkelanjutan tersebut memberikan suatu cara pandang baru.
Bagian awal buku ini memberikan penjelasan yang terbagi ke
dalam tiga poin. Pertama, konsep dasar dari pariwisata
berkelanjutan. Kedua, aspek-aspek penting dalam pariwisata
keberlanjutan Ketiga, aplikasi pariwisata berkelanjutan pada
aspek sosial dan budaya masyarakat. Ketiga poin penting ini
dijelas pada paragraf berikut.
2 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
1.1 Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan
Menurut Sharpley (2006), tujuan dasar sustainable
development adalah tercapainya keseimbangan antara
lingkungan pariwisata, kebutuhan lokal masyarakat dan
kebutuhan wisatawan. Dengan kata lain, tujuan pencapaian,
sustainable development adalah:
1) Tujuan pembangunan
Berfokus pada pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan
akar rumput untuk pembangunan yang berfokus pada
kepuasan kebutuhan dasar masyarakat.
2) Tujuan lingkungan/berkelanjutan
Melestarikan dan melindungi lingkungan, terutama
melestarikan sumber daya tak terbarukan.
Prinsip Sustainable tourism mengacu pada prinsp
sustainable development seperti yang didefinisikan oleh The
World Tourism Organization (UNWTO) adalah pariwisata yang
memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan sekarang dan yang akan datang, menjawab
kebutuhan pengunjung, industri (pariwisata), lingkungan dan
komunitas tuan rumah (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, 2014).
Tujuan dari sustainable tourism adalah untuk
mengurangi kemiskinan, dengan menghormati keotentikan
sosial-budaya, dan penggunaan sumberdaya lingkungan secara
bertanggung-jawab, dan tidak hanya mendorong melainkan juga
memfasilitasi serta melakukan pemberdayaan terhadap
komunitas agar mereka mampu berperan serta dalam proses
produksi serta mendapat berbagai manfaat langsung dari
kegiatan pariwisata (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, 2012).
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya |3
Kebermanfaatan yang bisa diperoleh dari pariwisata
berkelanjutan adalah:
1) Peluang usaha lokal baru dan penguatan ekonomi
Penciptaan peluang usaha baru seperti misalnya ekowisata,
akomodasi, transportasi dan energi ramah lingkungan,
efisiensi energi dan air serta pengelolaan sampah yang
berwawasan lingkungan, pusat pembelajaran dan budaya,
penguatan pendapatan untuk ekonomi setempat agar
menjadi lebih swasembada, mengurangi kebocoran dan
memperkuat mata rantai produksi setempat.
2) Penciptaan lapangan pekerjaan yang layak
Terciptanya berbagai tempat kerja yang berkualitas karena
pekerjaan layak yang ramah lingkungan akan meningkatkan
kemakmuran dan daya beli penduduk, membantu
mengurangi kemiskinan dan sebagai konsumsi akan masuk
kembali ke dalam ekonomi lokal. Permintaan akan tenaga
kerja juga membuka peluang untuk pelatihan tingkat lokal
dan fasilitas untuk pengembangan kapasitas dan kapabilitas
tenaga kerja.
3) Daya tarik wisata dan penciptaan pasar
Destinasi pariwisata yang dikelola secara lebih baik dan
berkelanjutan dapat menarik wisatawan yang lebih
berkualitas. Serta mampu menjangkau kelompok sasaran
dari berbagai sumber pasar. Pada praktek industrinya tidak
mengganggu masyarakat dan lingkungannya, melainkan
lebih berkontribusi kepada keberlanjutan kawasan/wilayah.
4) Daya tarik investasi terkendali
Konservasi sumberdaya jangka panjang, pembangunan
komunitas dan infrastruktur yang baik, menjamin
lingkungan usaha yang baik saat ini dan untuk masa
mendatang. Hal ini membuat destinasi menjadi lebih
4 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
menarik dan berpeluang menangkap investor. Pada waktu
yang bersamaan membantu mengkonversi kekayaan pusaka
komunitas.
5) Jejaring usaha
Efek berganda yang kuat dapat terlihat dalam sektor
pariwisata melalui pengeluaran wisatawan untuk berbagai
barang dan jasa yang dikonsumsi. Pengeluaran-pengeluaran
seperti fee pemandu wisata, restoran, toko kerajinan,
transportasi lokal dan barang serta jasa lainnya baik dalam
sektor ekonomi formal maupun informal.
6) Pajak pendapatan
Usaha legal yang memenuhi kewajiban fiskal dan hukum
merupakan sumber pendapatan untuk pemerintah. Tahap
selanjutnya pemerintah akan menggunakan dana tersebut
untuk pembangunan (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, 2012:33-34).

Pedoman dan praktek pengelolaan pembangunan


pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development)
dapat diterapkan pada semua bentuk pariwisata dalam semua
jenis destinasi, dan berbagai segmen. Prinsip-prinsip
keberlanjutan mengacu keseimbangan terhadap aspek-aspek
lingkungan, ekonomi dan sosio budaya (Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, 2012). Mengingat kegiatan pariwisata
merupakan kegiatan yang multi sektor maka perlu digalang
persamaan pandang dari stakeholders. Terutama terhadap
prinsip utama dari sustainable tourism. Hal ini diharapkan dapat
memberikan orientasi pengembangan yang sama.
Tiga prinsip utama yang direkomendasikan, yaitu
community base tourism, conservation oriented, dan carrying
capacity. Ketiga prinsip ini dipaparkan sebagai berikut.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya |5
1. Community Based Tourism
Community Based Tourism bertujuan untuk menciptakan
industri pariwisata lebih berkelanjutan yang berfokus pada
masyarakat setempat dalam hal perencanaan dan
mempertahankan pembangunan pariwisata (Beaton, 2006). Jika
strategi pariwisata mengacu pada berkelanjutan maka
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat harus
dikembangkan sebagai tujuan utama (Hughes, 1995).
Ada banyak manfaat potensial apabila masyarakat yang
tinggal atau bekerja di tujuan wisata ikut terlibat dalam
perencanaan pariwisata karena akan meningkatkan politik
legitimasi anggota masyarakat Hal ini berarti anggota
masyarakat memiliki pengaruh yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka
(Benveniste, 1989 dalam Richards & Hall, 2000).
Kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan
tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual
sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat
menjadi mutlak. Pola Pariwisata Berkelanjutan berbasis
masyarakat mengakui bahwa hak masyarakat lokal dalam
mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki
secara adat ataupun sebagai pengelola. Beberapa aspek kunci
dalam Pariwisata Berkelanjutan berbasis masyarakat adalah:
a) Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk
pengelolaan kegiatan Pariwisata Berkelanjutan di
daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan
organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan
edukasi).
b) Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh
masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap
6 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
sarana dan pra-sarana kawasan, dan lain-lain (nilai
partisipasi masyarakat)
c) Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di
lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi).
d) Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi
masyarakat).
e) Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata
menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk
penentuan biaya untuk wisatawan (nilai ekonomi dan
wisata) (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF
Indonesia, 2009).

2. Conservation Oriented
Kawasan konservasi merupakan wilayah daratan dan atau
di laut terutama diperuntukkan untuk perlindungan dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati, dan sumberdaya alam
serta sumberdaya budaya dalam jangka panjang yang dikelola
melalui cara-cara legal atau cara-cara efektif lainnya
(International Union for Conservation of Nature and Natural,
2008).
Sustainable tourism berkomitmen untuk melindungi dan
bertanggungjawab terhadap integritas lingkungan alam dan
budaya dengan melakukan perencanaan serta pengelolaan
lingkungan dan sosial budaya (Genot, 1995). Salah satu caranya
dengan melakukan konservasi. Orientasi konservasi yang
menjadi rekomendasi pada buku ini dikelompokkan kedalam
tiga kategori.
Pertama, konservasi terhadap lingkungan alam, ekosistem
dan keanekaragaman hayati. Ada tiga poin penting yang
menguatkan penjelasan terhadap konservasi terhadap
lingkungan alam, ekosistem dan keanekaragaman hayati: (1)
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya |7
Berkontribusi pada konservasi habitat flora dan fauna yang
dipengaruhi oleh pariwisata; (2) Mendorong otoritas terkait
untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang layak konservasi
dan untuk menentukan tingkat pengembangan, jika ada yang
kompatibel atau berdekatan dengan daerah-daerah wisata; (3)
Termasuk peningkatan dan tindakan perbaikan di lokasi wisata
untuk melestarikan satwa liar dan ekosistem alami.
Kedua, konservasi dan mengurangi energi, limbah dan
polutan; membantu perkembangan praktek tanggung jawab
lingkungan. Pada poin kedua ini difokuskan pada lima hal
berikut, (1) Mengurangi polusi dan gas rumah kaca; (2)
Konservasi air dan melindungi kualitas air; (3) Mengelola
limbah dan energi secara efisien; (4) Mengontrol tingkat
kebisingan; (5) Mempromosikan penggunaan bahan daur ulang
dan biodegradable.
Ketiga, menghormati dan mendukung tradisi lokal, budaya
dan masyarakat. Perlindungan atas budaya lokal, menekankan
atas usaha perlindungan, pemikiran dan karya masyarakat lokal
dari adanya kegiatan pariwisata seperti adanya ancaman
degradasi sistem sosial dan kekerabatan, kehidupan tradisional,
ekosistem, serta ekonomi masyarakat lokal. Kondisi ini dapat
diwujudkan dengan menggaris bawahi empat poin, yaitu (1)
memastikan bahwa sikap masyarakat, adat istiadat setempat dan
nilai-nilai budaya dan peran perempuan dan anak-anak,
diikutsertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan semua
proyek pariwisata; (2) memberikan kesempatan bagi masyarakat
luas untuk mengambil bagian dalam diskusi tentang isu-isu
perencanaan pariwisata yang akan mempengaruhi industri
pariwisata dan masyarakat; (3) mendorong otoritas terkait untuk
mengidentifikasi warisan budaya layak konservasi dan untuk
menentukan tingkat pengembangan jika ada yang akan
8 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
kompatibel yang berdekatan dengan daerah-daerah wisata; (4)
berkontribusi terhadap identitas dan kebanggaan masyarakat
lokal dengan menyediakan produk dan jasa pariwisata yang
berkualitas bagi komunitas tersebut (APEC/PATA dalam
Weaver, 2006).

3. Carrying Capacity
Kapasitas adalah daya atau kapasitas perusahaan untuk
menggunakan sumber daya yang diintegrasikan dengan tujuan
untuk mencapat tujuan akhir yang diinginkan (Hitt, Ireland &
Hoskisson et.al, 2007). Daya dukung mengantisipasi dampak
negatif pengembangan pariwisata, maka perlu pendekatan
pengelolaan pariwisata di mana tingkat kunjungan, kegiatan dan
aktivitas wisatawan pada satu lokasi dikelola dengan batas-batas
yang dapat diterima. Tidak semua lokasi disatu wilayah dapat
diperlakukan sama untuk pengembangan pariwisata. Faktor
kerentanan ekosistem beserta kelangkaan flora dan fauna,
ketahanan budaya lokal, serta luas kawasan wisata menjadi
ukuran penting dalam menentukan batas kewajaran
pengembangan sarana dan prasarana, jumlah pengunjung,
aktivitas pendukung, serta jenis atraksi yang diperbolehkan
dalam penyelenggaraan pariwisata (Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata & WWF Indonesia, 2009).
Daya dukung (carrying capacity) merupakan suatu konsep
yang mengukur tingkat penggunaan pengunjung terhadap
terjaminnya keberlangsungan sebuah destinasi. Tujuh konsep
daya dukung yang bermanfaat dalam perencanaan pariwisata
kawasan yang direkomendasikan (Dewi, 2011). Penjabaran
masing-masing poin sebagai berikut.
a) Management capacity, yaitu kemampuan jumlah wisatawan
yang dapat dikelola oleh manajemen kawasan wisata tanpa
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya |9
menimbulkan masalah administratif, manajemen, ekonomis,
serta pelayanan terhadap wisatawan.
b) Phisical capacity, yaitu kapasitas fisik termasuk sarana dan
prasarana yang mampu mengakomodasi jumlah wisatawan
tanpa menimbulkan masalah dari segi kelancaran wisatawan
dalam menikmati kawasan wisata baik kualitas fisik
maupun luasnya sarana dan prasarana.
c) Enviromental capacity, yaitu jumlah wisatawan yang dapat
diakomodasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan dan ekosistem.
d) Economic capacity, jumlah wisatawan yang bisa
didatangkan sebelum masyarakat lokal mulai merasakan
masalah ekonomi yang ditimbulkan, misalnya kenaikan
harga tanah dan rumah.
e) Social capacity, jumlah penduduk maksimal, di mana
jumlah yang lebih banyak bisa menyebabkan kerusakan
budaya yang sulit dipulihkan kembali.
f) Infrastructur capacity, jumlah wisatawan yang dapat
diakomodasi oleh infrastruktur suatu destinasi.
g) Perceptual capacity, jumlah orang yang bisa dilayani oleh
suatu destinasi sebelum pengalaman berwisata berkurang.

4. Pendidikan dan Pelatihan


Perbedaan penting antara bentuk sustainable tourism dan
pariwisata konvensional terletak pada unsur aktivitas pendidikan
atau pelatihan. Hal ini bukan berarti bahwa diperlukan tingkat
akademik yang tinggi untuk menjadi seorang turis yang
berkelanjutan; namun pemahaman yang lebih alami tentang
bagaimana manusia dan lingkungan bekerja dan melakukan
aktifitas untuk mencapai tujuan (Mowforth & Munt, 2003).
Penekanan pendidikan ataupun pelatihan mengenai sustainable
10 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
tourism adalah memberikan informasi teknis tentang bagaimana
melakukan ekowisata yang benar (Whelan, 1991: 4 dalam
Mowforth & Munt, 2003).
Dari perspefektif pengelolaan pariwisata pendidikan dan
pelatihan sangat dibutuhkan tidak saja untuk para pelaku yang
terkait dengan pengembangan pariwisata, tetapi juga wisatawan
yang melakukan kunjungan kedaerah wisata. Diklat bagi pelaku
bertujuan agar dalam melaksanakan secara profesional dalam
penyelanggaran pariwisataan sedangkan untuk wisatawan
dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian, kesadaran dan
apresiasi terhadap pentingnya pelestarian lingkungan alam dan
budaya dari daerah yang dikunjunginya (Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata & WWF Indonesia, 2009).

5. Promosi
Awalnya disebut promosi dan saat ini populer disebut
sebagai komunikasi pemasaran, komunikasi pemasaran
mencakup semua alat yang dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan pelanggan, karyawan dan stakeholder
lainnya (Bowie & Buttle, 2004).
Membangun hubungan yang baik dengan pelanggan tidak
cukup hanya dengan melakukan pengembangan produk dan
harga yang atraktif tetapi juga harus mengkomunikasikan
proposisi nilai kepada pelanggan. Keseluruhan elemen
komunikasi harus direncanakan, dibaur dan diintegrasikan ke
dalam program komunikasi pemasaran (Kotler et.al, 2010).
Prinsip promosi sustainable tourism, selain memperkenalkan,
mensosialisasikan, dan mengkampanyekan pariwisata
berkelanjutan yang ditetapkan disuatu Kawasan Wisata tujuan
promosi adalah untuk meningkatan kesadaran stakeholder akan
prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan. Termasuk
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 11
didalamnya mempromosikan tingkah laku wisatawan yang
sesuai dengan perilaku masyarakat setempat, untuk mencegah
perilaku yang bisa mengakibatkan kerugian-kerugian non
material terhadap kehidupan generasi masa depan. Promosi
tersebut juga meminimalkan benturan kepentingan antar
stakeholders dalam penggunaan sumber daya alam maupun
budaya, serta pembangunan sarana dan prasarana pariwisata
(Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2012).

6. Pemantauan dan Evaluasi


Pemantauan dilakukan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam suatu wadah yang dibentuk bersama
terhadap tahap perencanaan yang mencakup tujuan-tujuan dan
jadwal serta pemantauan tahap pelaksanaan. Dalam proses
pemantauan ini diarahkan untuk mengawasi prinsip-prinsip
sustainability tourism agar dilaksanakan secara konsekuen dan
konsisten. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem informasi.
Sistem informasi merupakan proses yang menjalankan
fungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan, menganalisis,
menyebarkan informasi untuk tujuan tertentu. Sistem informasi
tidak harus terkomputerisasi, walaupun kebanyakan memang
terkomputerisasi (Turban et.al, 2010).

1.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Prinsip


Sustainable Tourism
1.2.1 Perkembangan Demografi
Demografi merupakan studi mengenai populasi manusia
yang meliputi ukuran populasi, struktur usia, distribusi
geografis, dan distribusi pendapatan dan statistik lainnya
(Kotler, 2010), dengan uraian seperti berikut (1) Ukuran
populasi, mengamati perubahan demografis dalam populasi
12 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
merupakan hal yang sangat penting. Tingkat pertumbuhan
populasi yang cepat pada suatu negara akan semakin
mengurangi sumber daya alam dan mengurangi standar hidup
penduduknya (Hitt, Ireland & Hoskisson et.al, 2007) (2)
Struktur usia, penurunan tingkat kelahiran dan meningkatnya
harapan hidup menunjukkan peluang untuk mengembangkan
barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan populasi
tersebut (Hitt, Ireland & Hoskisson et.al, 2007) (3) Tingkat
Pendidikan, pendidikan adalah proses yang manusia dan
masyarakat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Hal ini
penting untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk ikut serta dalam isu-
isu pembangunan (United Nations, 2007) (4) Distribusi
Pendapatan, memahami bagaimana penghasilan didistribusikan
dalam dan lintas populasi merupakan informasi tentang daya
beli dan pendapatan kelompok populasi. Poin yang terpenting
adalah informasi mengenai rata-rata pendapatan dan individual
(Hitt, Ireland & Hoskisson et.al, 2007) serta menginformasikan
kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan pekerjaan
yang merupakan proporsi populasi usia kerja pada suatu
wilayah. Hal ini biasanya diuraikan berdasarkan jenis kelamin
dan kelompok umur (United Nations, 2007).

1.2.2 Perkembangan Ekonomi


Kesehatan perekonomian suatu bangsa mempengaruhi
kinerja perusahaan individual dan industri. Oleh karena itu
sangat diperlukan untuk mempelajari lingkungan ekonomi untuk
mengidentifikasi perubahan, tren, dan implikasi strategisnya.
Isu-isu ekonomi sangat erat hubungannya dengan realitas
lingkungan eksternal dari segmen hukum dan politik (Hitt,
Ireland & Hoskisson et.al, 2007).
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 13
1.2.3 Perkembangan Politik dan Hukum
Menurut Hitt, Ireland & Hoskisson et.al (2007),
politik/hukum adalah suatu arena dimana organisasi dan
kelompok-kelompok yang berkepentingan bersaing untuk
sumber daya yang diinginkan, dan terdapat pengawasan
terhadap badan hukum dan undang-undang. Pada dasarnya,
segmen ini mewakili bagaimana organisasi-organisasi
mempengaruhi pemerintah dan pemerintah mempengaruhi
mereka. Keluaran dari segmen ini adalah undang-undang anti
trust, undang-undang pajak, deregulasi-deregulasi untuk
industri, undang-undang pelatihan tenaga kerja dan tingkat dan
komitmen institusi pendidikan. Hal ini merupakan kebijakan
administrasi yang dapat mempengaruhi operasi dan profitabilitas
industri dan industri rumah tangga.

1.2.4 Perkembangan Sosial Budaya


Segmen sosial budaya berkaitan dengan sikap-sikap dan
nilai kultural suatu masyarakat. Karena sikap dan nilai-nilai
membentuk pondasi suatu masyarakat, dimana masyarakat
selalu ikut serta mendorong kondisi-kondisi dan perbahan
demografis, ekonomi, politik/hukum, dan teknologi (Hitt,
Ireland & Hoskisson et.al, 2007).
Keberlanjutan sosial mengacu pada kemampuan
masyarakat, baik lokal atau nasional, untuk menyerap masukan,
seperti penambahan orang untuk jangka pendek atau panjang
waktu, dan untuk terus berfungsi baik tanpa menciptakan
ketidakharmonisan sosial sebagai atau dengan kata lain
mengadaptasi fungsi dan hubungan sehingga dapat mengurangi
ketidakharmonisan (Mowforth & Munt, 2003).
14 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
1.2.5 Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi mempengaruhi banyak unsur di
masyarakat. Pengaruh-pengaruh teknologi timbul melalui
produk-produk, proses-proses, dan materi baru. Segmen
teknologi meliputi institusi-institusi dan aktivitas-aktivitas yang
terlibat dalam menciptakan pengetahuan baru dan
menterjemahkan pengetahuan tersebut ke output, produk,
proses, dan materi-materi baru. Mengembangkan teknologi baru
kadang-kadang bisa mentransformasi dan merevitalisasi seluruh
aspek industri (Hitt, Ireland & Hoskisson et.al, 2007).

1.2.6 Perkembangan Globalisasi


Segmen global meliputi pasar global baru yang relevan,
pasar global yang sedang berubah, peristiwa-peristiwa politik
internasional yang penting, dan karakteristik kultural dan
institusional yang menentukan pasar global (Hitt, Ireland &
Hoskisson et.al, 2007).
Konsensi pariwisata berkelanjutan sejalan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan pemerintah.
Konsep pembangunan berkelanjutan menjabarkan mengenai
peningkatan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi
kebutuhan aspirasi manusia. Hal ini ditujukan untuk pemerataan
pembangunan antar generasi untuk masa kini dan masa akan
datang (Salim, 1990).
Keberlanjutan merupakan suatu konsep yang kompleks,
karena pada praktiknya banyak hal yang mesti diperhatikan dan
saling terkait satu dengan lainnya. Pentingnya pemahanan
mengenai konsep keberlanjutan terutama para pengambil
kebijakan pada level makro maupun mikro. Untuk maksud
tersebut perlu landasan dan konsep teori yang dapat dijadikan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 15
pedoman acuan. Pada paragraf selanjutnya dijelaskan mengenai
landasan dan konsep keberlanjutan tersebut.
Enam poin yang menjadi dasar dalam merencanakan
konsep keberlanjutan ini sebagai berikut.
(1) Perilaku generasi kini tidak dapat sepenuhnya menentukan
perilaku generasi mendatang.
(2) Generasi mendatang harus dipastikan memperoleh paling
tidak tingkat konsumsi minimum.
(3) Pergerakan harga sumberdaya alam dan hak kepemilikan
terhadap konsumsi di masa mendatang harus ditentukan
untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan terhadap
sumberdaya alam saat ini.
(4) Dalam situasi pasar tidak berfungsi, diperlukan intervensi
non pasar.
(5) Intervensi yang benar merupakan strategi yang penting
untuk menjaga keberlanjutan.
Hal penting untuk menjaga tetap terjadi keberlanjutan
dalam pembangunan dibutuhkan komitmen pemerintah dalam
menentukan arah dan kebijakan pembangunan baik jangka
pendek, menengah dan jangka panjang.

1.3 Aspek-aspek Penting Dalam Pariwisata Berkelanjutan


Aspek-aspek penting yang menjadi pertimbangan pada
Pariwisata Berkelanjutan melingkupi tiga aspek, yaitu aspek
ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial budaya. Ketiga
aspek tersebut memberikan gambaran rinci dalam penjelasan
berikut.
1.3.1 Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi “memastikan kegiatan ekonomi jangka
panjang yang layak, memberikan manfaat sosial ekonomi
kepada semua stakeholders dengan adil, seperti pekerjaan tetap,
16 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
kesempatan mendapatkan penghasilan atau membuka usaha, dan
pelayanan sosial kepada masyarakat lokal, serta membantu
mengurangi kemiskinan” Merujuk ketentuan Kementerian
Lingkungan Hidup (1990) pembangunan yang difokuskan
kepada ekonomi dapat diukur keberlanjutannya melalui tiga
indikator. Pertama, tidak adanya pemborosan penggunaan
sumber daya alam (depletion of natural resources). Kedua, tidak
ada polusi atau dampak lingkungan lain. Ketiga, kegiatannya
harus dapat meningkatkan useable resources ataupun
replaceable resources.
Beberapa referensi lainnya seperti yang direkomendasikan
Sutamihardja (2004) bahwa sasaran dari pembangunan
berkelanjutan bertujuan untuk mewujudkan antara lain:
(1) Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar
generasi (inter generation equity) yang berarti bahwa
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan pertumbuhan
perlu memperhatikan batas-batas yang wajar dalam kendali
ekosistem atau sistem lingkungan serta di arahkan ke
sumberdaya alam yang replaceable dan menekankan serendah
mungkin eksploitasi sumber daya alam yang replaceable.
(2) Pengamanan (safeguarding) terhadap kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang ada dan
pencegahan terjadinya gangguan ekosistem dalam rangka
menjamin kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang
akan datang.
(3) Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam semata
untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi demi
kepentingan pemerataan pemanfaatan sumberdaya alam yang
berkelanjutan antar generasi.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 17
(4) Mempertahankan kesejahteraan rakyat (masyarakat) yang
berkelanjutan baik masa kini maupun masa yang mendatang
(inter temporal).
(5) Mempertahankan manfaat pembangunan ataupun
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mempunyai
manfaat dampak jangka panjang ataupun lestari antar generasi.
Menjaga mutu ataupun kualitas kehidupan manusia antar
generasi sesuai habitatnya. Konteks ekonomi menyebutkan
bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan dikarenakan
beberapa hal berikut. Pertama, moral generasi sekarang
menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya
alam dan lingkungan secara moral perlu memperhatikan
ketersediaan sumberdaya alam tersebut untuk generasi
mendatang. Kewajiban moral yang dimaksud tidak
mengekstraksi sumberdaya alam yang dapat merusak
lingkungan. Jika hal ini dibiarkan dapat mengakibatkan
hilangnya kesempatan bagi generasi mendatang untuk
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Kedua, difokuskan
pada konteks ekologi yaitu keanekaragaman hayati misalnya,
memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi. Oleh sebab itu
aktivitas ekonomi lebih diarahkan kepada pemanfaatan yang
bijak agar tidak mengancam fungsi ekologi.

1.3.2 Aspek Lingkungan


Aspek lingkungan sebagai prinsip keberlanjutan pertama
menjelaskan bahwa “memanfaakan secara optimal sumber daya
lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam
pengembangan pariwisata, mempertahankan proses ekologi dan
turut andil dalam melestarikan warisan alam dan
keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata”
18 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
1.3.3 Aspek Sosial Budaya
Aspek sosial budaya “menghormati keaslian sosial
budaya masyarakat setempat, melestarikan nilai-nilai warisan
budaya dan adat yang mereka bangun, dan berkontribusi untuk
meningkatkan rasa toleransi serta pemahaman budaya”
Ketiga prinsip keberlanjutan ini menjadi ujung tombak
sehingga perlu dukungan dari stakeholders terkait serta
kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya
partisipasi aktif dan kesepakatan antar stakeholders.
Terwujudnya pariwisata berkelanjutan di suatu destinasi wisata
merupakan suatu proses panjang dan berkesinambungan
sehingga membutuhkan pantauan yang konstan.
Inovasi mengenai langkah-langkah pencegahan dan
perbaikan sebagai dampak dari kegiatan pariwisata terus
dilakukan. Tanpa mengesampingkan tingkat kepuasan
wisatawan dengan memastikan bahwa dari setiap kunjungan
wisatawan dapat memberikan pengalaman baru dan luar biasa.
Selain itu juga menginformasikan isu-isu keberlanjutan dan
mengajak wisatawan untuk ambil bagian mempromosikan
praktik pengelolaan lingkungan sekitar yang baik.

1.4 Aplikasi Pariwisata Berkelanjutan pada Aspek Sosial


dan Budaya Masyarakat
1.4.1 Konsep Pariwisata dan Budaya
Istilah pariwisata sebenarnya merupakan gabungan atau
cakupan dari beberapa istilah sebelumnya yakni istilah wisata,
pariwisata dan kepariwisataan. Kepariwisataan ini berarti
keseluruhan kegiatan wisata yang dilakukan oleh wisatawan
dengan dilengkapi oleh fasilitas dan infrastuktur pendukung
yang disediakan oleh para stakeholders pariwisata.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 19
Namun unsur yang paling utama dalam suatu
pengembangan kepariwisataan adalah unsur daya tarik wisata.
Obyek daya tarik wisata (ODTW) dijelaskan oleh Hadiwijoyo
(2012) sebagai suatu bentukan dan fasilitas yang saling
berhubungan dan menjadi alasan/sebab wisatawan mengunjungi
suatu daerah atau tempat tertentu. Obyek daya tarik wisata dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu: obyek wisata alam atau
lingkungan (ekowisata), obyek wisata sosial budaya dan obyek
wisata minat khusus (special interest).
Konsep Pariwisata Budaya Sillberberg dalam Damanik
(2013: 118) mendefinisikan pariwisata budaya sebagai
kunjungan orang dari luar destinasi yang didorong oleh
ketertarikan pada objek-objek atau peninggalan sejarah, seni,
ilmu pengetahuan dan gaya hidup yang dimiliki oleh kelompok,
masyarakat, daerah ataupun lembaga. Sedangkan Kristiningrum
(2014) mendefinisikan pariwisata budaya sebagai wisata yang di
dalamnya terdapat aspek/nilai budaya mengenai adat istiadat
masyarakat, tradisi keagamaan, dan warisan budaya di suatu
daerah. Pariwisata budaya berhubungan erat dengan daya tarik
wisata budaya. Penjelasan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) pasal 14 ayat (1) huruf
b menjelaskan bahwa daya tarik wisata budaya adalah daya tarik
wisata berupa hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia sebagai
makhluk budaya. Daya tarik wisata budaya dibedakan menjadi
dua yaitu daya tarik wisata budaya yang bersifat berwujud
(tangible) dan daya tarik wisata budaya yang bersifat tidak
berwujud (intangible). Pengembangan Destinasi Pariwisata
Menurut UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan,
daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut destinasi
pariwisata adalah kawasan geografis yang spesifik berada dalam
satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat
20 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
kegiatan kepariwisataan dan dilengkapi dengan ketersediaan
daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait. Menurut
Cooper dkk dalam Sunaryo (2013) menjelaskan bahwa kerangka
pengembangan destinasi pariwisata terdiri dari komponen-
komponen utama sebagai berikut: (1) Obyek daya’ tarik wisata
(attraction) yang mencakup keunikan dan daya tarik berbasis
alam, budaya, maupun buatan/artifisial; (2) Aksesibilitas
(accessibility) yang mencakup kemudahan sarana dan sistem
transportasi; (3) Amenitas (amenities) yang mencakup fasilitas
penunjang dan pendukung wisata; (4) Fasilitas umum (ancillary
service) yang mendukung kegiatan pariwisata; (5) Kelembagaan
(institutions) yang memiliki kewenangan, tanggung jawab dan
peran dalam mendukung terlaksananya kegiatan pariwisata.
Aspek 4A (Attraction, Accessibility, Amenities, Ancillary
Service). (a) Attraction Menurut Suwena (2010: 88), atraksi atau
obyek daya tarik wisata (ODTW) merupakan komponen yang
signifikan dalam menarik kedatangan wisatawan. Hal yang
dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata disebut dengan
modal atau sumber kepariwisataan (tourism resources). Modal
atraksi yang menarik kedatangan wisatawan ada tiga, yaitu 1)
Natural Resources (alami) seperti gunung, danau, pantai dan
bukit; 2) atraksi wisata budaya seperti arsitektur rumah
tradisional di desa, situs arkeologi, seni dan kerajinan, ritual,
festival, kehidupan masyarakat sehari-hari, keramahtamahan,
makanan; dan 3) atraksi buatan seperti acara olahraga,
berbelanja, pameran, konferensi dan lain-lain. Modal
kepariwisataan menurut Suwena (2010) dapat dikembangkan
menjadi atraksi wisata di tempat modal wisata ditemukan (in
situ) dan di luar tempatnya yang asli (ex situ). Atraksi wisata
dibedakan lagi menjadi atraksi penahan dan atraksi penangkap
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 21
wisatawan; (b) Accessibility menurut Sunaryo (2013),
aksesibilitas pariwisata dimaksudkan sebagai “segenap sarana
yang memberikan kemudahan kepada wisatawan untuk
mencapai suatu destinasi maupun tujuan wisata terkait”.
Menurut French dalam Sunaryo (2013) menyebutkan faktor-
faktor yang penting dan terkait dengan aspek aksesibilitas wisata
meliputi petunjuk arah, bandara, terminal, waktu yang
dibutuhkan, biaya perjalanan, frekuensi transportasi menuju
lokasi wisata dan perangkat lainnya; (c) Amenities Sugiama
(2011) menjelaskan bahwa amenitas meliputi “serangkaian
fasilitas untuk memenuhi kebutuhan akomodasi (tempat
penginapan), penyediaan makanan dan minuman, tempat
hiburan (entertainment), tempat-tempat perbelanjaan (retailing)
dan layanan lainnya”. French dalam Sunaryo (2013)
memberikan batasan bahwa amenitas bukan merupakan daya
tarik bagi wisatawan, namun dengan kurangnya amenitas akan
menjadikan wisatawan menghindari destinasi tertentu; (d)
Ancillary Service Sunaryo (2013) menjelaskan ancillary service
lebih kepada ketersediaan sarana dan fasilitas umum yang
digunakan oleh wisatawan yang juga mendukung
terselenggaranya kegiatan wisata seperti bank, ATM,
telekomunikasi, rumah sakit dan sebagainya. Sedangkan
Sugiama (2011) menjelaskan bahwa ancillary service mencakup
keberadaan berbagai organisasi untuk memfasilitasi dan
mendorong pengembangan serta pemasaran kepariwisataan
destinasi bersangkutan. Kelembagaan kepariwisataan dijelaskan
dalam UU tentang Kepariwisataan nomor 10 tahun 2009 sebagai
“keseluruhan institusi pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah, swasta dan masyarakat, sumberdaya manusia,
mekanisme operasional serta regulasi yang terkait dengan
kepariwisataan”. Sunaryo (2013) menjelaskan peran dan fungsi
22 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dari komponen pelaku usaha maupun pemangku kepentingan
pengembangan kepariwisataan sebagai berikut: (1) Pemerintah
pusat maupun daerah, peran pemerintah di Indonesia disamping
berfungsi utama sebagai regulator dalam menentukan norma,
standar, prosedur dan kriteria pengembangan kepariwisataan,
juga masih terlibat secara langsung dalam manajemen
pengembangan kepariwisataan. Selain itu peran pemerintah
adalah sebagai fasilitator dalam program promosi dan
pemasaran kepariwisataan nasional serta pengembangan
Destinasi Pariwisata pada tingkat Nasional (DPN), Kawasan
Strategis Pariwisata tingkat Nasional (KSPN) maupun Kawasan
Khusus Pariwisata Nasional (KPPN). Pemerintah daerah
Provinsi mempunyai fungsi melaksanakan tugas pembantuan
untuk melakukan promosi dan pemasaran kepariwisataan
provinsi. Sedangkan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
mempunyai peran utama untuk bekerjasama dengan pemangku
kepentingan yang lain (Industri dan Masyarakat) untuk
menyusun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan
mengimplementasikannya sesuai dengan amanah Undang-
Undang No.10 Tahun 2009; (2) Swasta atau industri pariwisata
organisasi swasta/industri juga dijelaskan dalam UU No. 10
tahun 2009 pasal 1 angka 7 dan 8 yang berarti orang atau
sekelompok orang (pengusaha) yang menjadi penyedia barang
dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan kegiatan pariwisata. Menurut UU tentang
kepariwisataan juga dijelaskan bahwa ada dua lembaga swasta
yang ditetapkan sebagai mitra kerja pemerintah baik pemerintah
pusat maupun daerah dan masyarakat dalam pengembangan
serta pengelolaan kepariwisataan di Indonesia. Kedua lembaga
swasta tersebut adalah: 1) Badan Promosi Pariwisata Indonesia
(BPPI) dan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD); 2)
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 23
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, yang keanggotaannya
terdapat unsur-unsur yang terdiri dari pengusaha pariwisata,
asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi dan asosiasi lain yang
terkait langsung dengan pariwisata; (3) Masyarakat pariwisata
Menurut penjelasan pasal 5 huruf e UU Kepariwisataan No.10
tahun 2009 menyebutkan bahwa organisasi masyarakat adalah
masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi
pariwisata yang berperan aktif mengorganisir kegiatan
pariwisata dan diprioritaskan untuk mendapatkan manfaat dari
penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat tersebut.
Masyarakat setempat yang berdomisili di sekitar destinasi yang
dikunjungi wisatawan memegang peranan yang sangat penting,
baik sebagai pelaku usaha, tenaga kerja maupun sebagai tuan
rumah (host) dalam menyelenggarakan kegiatan kepariwisataan
di suatu destinasi.

1.4.2 Kondisi Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Indonesia


Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai
aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam
masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di
Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber
kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki
kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan
tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara
kebudayaan dengan masyarakat.
Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai suku
bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang kemudian
24 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda. Suku
Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa.
Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda
memiliki karakteristik yang membedakannya dengan suku lain.
Keunikan karakteristik suku Sunda ini tercermin dari
kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata
pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.

1.4.3 Kondisi Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Sunda


Suku Sunda dengan sekelumit kebudayaannya merupakan
salah satu hal yang menarik untuk dipelajari. Suku Sunda adalah
kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga
sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa
Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa
Tengah.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
terbanyak di Indonesia. Karena letaknya yang berdekatan
dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa yang
ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa
Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli
provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak
dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi
banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan
dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami
Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor,
Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak
dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 25
1.4.4 Masalah Sosial Dalam Masyarakat Suku Sunda
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku
bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan
dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda
sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua,
setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis.
"Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya
semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam
perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam
memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Dalam perkembangannya kebudayaan Sunda kini seperti
sedang kehilangan ruhnya kemampuan beradaptasi, kemampuan
mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta
kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan
Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang
muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan.
Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya
hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin
banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan
asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang
merupakan bahasa komunitas orang Sunda tampak semakin
jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para
generasi muda Sunda.
Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda
dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan
"keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya,
timbul rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan
bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa
"gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang
26 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk
untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau
berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Adanya kondisi yang menunjukkan lemahnya daya hidup
dan mutu hidup kebudayaan Sunda disebabkan karena
ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan
Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis, dan lisan (baca,
berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda. Ketidakjelasan
strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam
mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya
"pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang
mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya
melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas
kebudayaan Sunda.
Apalagi jika kita menengok sekarang ini kebudayaan
Sunda dihadapkan pada pengaruh budaya luar. Jika kita tidak
pandai- pandai dalam memanajemen masuknya budaya luar
maka kebudayaan Sunda ini lama kelamaan akan luntur bersama
waktu. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya
sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan
model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak
mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai
makanan tradisional yang dimiliki orang Sunda, mulai dari
bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong,
ranginang, opak, hingga ubi cilembu. Apakah ada strategi besar
dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung
jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas.
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga
menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup
kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan
lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 27
Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari
lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling
menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis
tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh
orang Sunda.

1.4.5 Sistem Interaksi Dalam Suku Sunda


Jalinan hubungan antara individu-individu dalam
masyarakat suku Sunda dalam kehidupan sehari-hari berjalan
relatif positif. Apalagi masyarakat Sunda mempunyai sifat
someah hade ka semah. Ini terbukti banyak pendatang tamu
tidak pernah surut berada ke Tatar Sunda ini, termasuk yang
enggan kembali ke tanah airnya. Lebih jauh lagi, banyak sekali
sektor kegiatan strategis yang didominasi kaum pendatang. Ini
juga sebuah fakta yang menunjukkan bahwa orang Sunda
mempunyai sifat ramah dan baik hati kepada kaum pendatang
dan tamu.
Diakui pula oleh etnik lainnya di negeri ini bahwa
sebagian besar masyarakat Sunda memang telah menjalin
hubungan yang harmonis dan bermakna dengan kaum pendatang
dan mukimin. Hal ini ditandai oleh hubungan mendalam penuh
empati dan persahabatan, tidak mengherankan bahwa
persahabatan, saling pengertian, dan bahkan persaudaraan kerap
terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara masyarakat Sunda
dan kaum pendatang.
Hubungan urang Sunda dengan kaum pendatang dari
berbagai etnik dalam konteks apa pun-keseharian, pendidikan,
bisnis, politik, dan sebagainya dilakukan melalui komunikasi
yang efektif. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
kesalahpahaman dan konflik antarbudaya antara masyarakat
Sunda dan kaum pendatang kerap terjadi dalam kehidupan
28 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
sehari-hari. Yang menjadi penyebab utamanya adalah
komunikasi dari posisi-posisi yang terpolarisasikan, yakni
ketidakmampuan untuk memercayai atau secara serius
menganggap pandangan sendiri salah dan pendapat orang lain
benar.
Perkenalan pribadi, pembicaraan dari hati ke hati, gaya
dan ragam bahasa (termasuk logat bicara), cara bicara
(paralinguistik), bahasa tubuh, ekspresi wajah, cara menyapa,
cara duduk, dan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan akan
turut memengaruhi berhasil tidaknya komunikasi antarbudaya
dengan orang Sunda. Pada akhirnya, di balik kearifan, sifat
ramah, dan baik hati orang Sunda, sebenarnya masih sangat
kental sehingga hal ini menjadi penunjang di dalam terjalinnya
sistem interaksi yang berjalan harmonis.

1.4.6 Stratifikasi Suku Sunda


Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda
mempunyai ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu
sangat tergantung pada penilaian masyarakat. Dengan demikian,
dalam pengambilan keputusan, seperti terhadap perkawinan,
pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari keputusan yang
ditentukan oleh kaum keluarganya. Dalam masyarakat yang
lebih luas, misalnya dalam suatu desa, kehidupan masyarakatnya
sangat banyak dikontrol oleh pamong desa.
Pak Lurah dalam suatu desa merupakan “top leader” yang
mengelola pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara adat
dan keagamaan. Selain pamong desa ini, masih ada golongan
lain yang dapat dikatakan sebagai kelompok elite, yaitu tokoh-
tokoh agama. Mereka ini turut selalu di dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan
dan perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 29
Eugene Nida, menggambarkan struktur masyarakat yang
demikian sebagai masyarakat suku atau agraris.i

Kelompok Elit

Komunikasi Vertikal

Masyarakat Umum
Gambar 1.1 Struktur Masyarakat Sunda

Perbedaan status di antara kelompok elite dengan


masyarakat umum dapat terjadi berdasarkan status kedudukan,
pendidikan, ekonomi, prestise sosial dan kuasa. Robert Wessing,
yang telah meneliti masyarakat Jawa Barat mengatakan bahwa
ada kelompok “in group” dan “out group” dalam struktur
masyarakat. Kaum memandang sesamanya sebagai “in group”
sedang di luar status mereka dipandang sebagai “out group”.
W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision–making
Process in Four West Java Villages (1971) juga menyimpulkan
bahwa ada stratifikasi masyarakat ke dalam kelompok elite dan
massa. Elite setempat terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah
dan pusat, guru, tokoh-tokoh politik, agama dan petani-petani
kaya. Selanjutnya, petani menengah, buruh tani, serta pedagang
kecil termasuk pada kelompok massa. Informal leaders, yaitu
mereka yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat
berpengaruh di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin
kelompok khusus atau seluruh desa.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan
kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati
kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin
dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu
yang langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu)
30 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan,
besan), melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban
dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao
menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan
kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu
pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi
dari paman/bibi.
Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang
lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur
kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat
menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling
menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan
terjadi-tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna
membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media
pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan yang
sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi
derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih
rendah, melebihi dari yang sama dan lebih rendah derajat
pancakaki-nya.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 31
BAB II
HUBUNGAN BUDAYA DAN
PARIWISATA

Budaya sangat erat kaitannya dengan pariwisata. Mengapa


demikian? karena bisa kita lihat dari definisi Budaya yang
merupakan simbol masyarakat sekitar yang di dalamnya terdapat
makna yang mencakup segala hal yang merupakan hasil cipta,
karya manusia. Sedangkan Pariwisata merupakan rangkaian
perjalanan yang di lakukan oleh seseoarang atau kelompok
orang di luar tempat tinggalnya yang bersifat sementara untuk
berbagai tujuan (seperti berlibur, menikmati keindahan alam dan
budaya, bisnis, dll).
Kemudian dari pengertian masing-masing di atas dapat
kita ketahui bahwa hubungan antara Budaya memiliki hubungan
yang sangat erat kaitannya dengan Pariwisata. Adanya Budaya
di tempat pariwisata itu akan dapat memberikan nilai lebih bagi
wisatawan yang datang untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Kita dapat simpulkan bahwa pariwisata dan budaya merupakan
aktivitas pertukaran informasi dan simbol-simbol budaya yang
di dalamnya terdapat tempat, tradisi, kesenian, upacara, dan
identitas lainnya yang terdapat di tempat tersebut untuk dapat
dinikmati oleh setiap wisatawan yang datang berkunjung.
Budaya sangat mempengaruhi prospek dari kegiatan
pariwisata, budaya mencerminkan keadaan sosial dan alam
suatu wilayah yang akan menjadi destinasi pariwisata. Budaya
Indonesia misalnya, dimana budaya Indonesia sangat beragam,
maka dari itu keragaman budaya Indonesia menjadikan daya
tarik tersendiri untuk para wisatawan lokal maupun
mancanegara. Budaya tidak akan pernah lepas dengan
32 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
pariwisata, karena budaya ada sangkut pautnya dengan
pariwisata yaitu tanpa adanya budaya kegiatan pariwisata tidak
akan menarik lagi, akan terasa hambar dikarenakan budayalah
yang menarik perhatian para wisatawan tersebut.
Dengan adanya budaya jugalah mereka mengetahui seluk
beluk serta kebiasaan daerah yang mereka kunjungi dan apabila
ada budaya yang menurut mereka unik akan memberi rasa puas
tersendiri untuknya. Sehingga mereka akan didorong rasa ingin
tahu untuk mengunjungi negara-negara yang memiliki budaya
yang khas contohnya seperti di Indonesia.
Pariwisata sendiri bertujuan untuk memperkenalkan dan
mendayagunakan keindahan-keindahan alam dan kebudayaan
Indonesia. Pengembangan pariwisata di Indonesia tidak terlepas
dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Pariwisata itu sangat
bergantung pada budaya yang dimiliki setiap daerah. Seperti
halnya Indonesia yang memiliki berbagai ragam kebudayaan.
Misalnya sebuah tarian, sejarah suatu tempat, Rumah adat,
candi, prasasti, kebiasaan masing-masing daerah, dsb. Unsur-
unsur kebudayaan itulah yang harus ditonjolkan dan harus digali
lebih dalam lagi. Karena itu akan berdampak pada besar
kecilnya prosentase angka wisatawan yang berkunjung untuk
berwisata ke Indonesia. Semakin banyak budaya yang ada di
Indonesia, semakin banyak pula turis yang berwisata ke
Indonesia.
Parwisata dan budaya, keduanya membentuk hubungan
saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Pariwisata tanpa
adanya budaya dari masyarakat hanya akan menjadi suatu
kegiatan “jalan-jalan” biasa, sehingga dalam perkembangannya
bisa saja periwisata di daerah tersebut tidak dapat berkembang
karena terlalu monoton. Begitu juga dengan budaya, budaya
tidak akan bisa diketahui oleh masyarakat luas tanpa adanya
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 33
kegiatan pariwisata. Budaya di suatu daerah bisa menjadi suatu
ikon pariwisata yang akan menjadi daya tarik wisata. Jadi
hubungan diantara pariwisata dan budaya bisa menimbulkan
berbagai keuntungan, yaitu meningkatkan pendapatan,
menciptakan lapangan kerja, budaya di daerah tersebut semakin
terkenal di mata nasional maupun internasional, dan secara tidak
langsung budaya di daerah tersebut bisa semakin lestari.
Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan
signifikan terhadap budaya lokal, di mana terlihat pada
pariwisata dapat memacu motivasi kreativitas seni para
pematung untuk berkarya lebih inovatif dan lebih variatif sesuai
dengan kebutuhan pariwisata dan meningkatnya persaingan
bisnis. Dapat mengetahui budaya dari berbagai negara terutama
melalui berbagai pesanan karya seni selain yang dihasilkan oleh
masyarakat lokal. Pengaruh negatif yang terlihat pada
masyarakat yang dulunya hidup sederhana menjadi pola hidup
konsumtif. Kondisi masyarakatnya hampir semua menerapkan
pola hidup mewah dan pola hidup instan dalam mengejar
prestise. Berkurangnya sifat kebersamaan karena adanya
pengaruh budaya barat terutama tuntutan dari pengerjaan
kerajinan modern yang lebih bersifat individual tidak seperti
dalam pengerjaan kerajinan tradisional yang lebih bersifat
komunal atau secara berkelompok.
Pembicaraan topik budaya memiliki banyak konsep.
Dalam bahasan bab kedua buku ini mengambil perspektif
pendekatan antropologi modern. Pendekatan ini menjelaskan
dua hal dalam mendefinisikan mengenai konsep budaya.
Pertama aliran behavioral, dan aliran ideational. Aliran
behavioral memaparkan budaya sebagai a total way of live.
Sementara aliran ideational memandang budaya sebagai sesuatu
yang abstrak, memiliki ciri-ciri, yaitu bersifat gagasan atau
34 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
pemikiran, yang berfungsi membentuk pola perilaku yang khas
suatu kelompok masyarakat. Memiliki bentuk seperti sistem
pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos,
value, the capability of mind dan sebagainya.

2.1 Pengertian Kebudayaan


Bahasa mengenai kebudayaan merupakan aspek penting
sebagai identitas bangsa. Kebudayaan merupakan identitas yang
menjadi cerminan dari kepribadian bangsa. Kebudayaan yang
lahir dan diciptakan dapat memberikan semangat nasionalisme
untuk bangsa dan generasi muda bangsa. Dalam hal ini
pengertian dari Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang
diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional
menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni Kebudayaan
nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan
daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat
dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan
wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam
segenap bidang kehidupan bangsa. Kebudayaaan merupakan
wujud dari karakter bangsa yang menjadi identitas yang melekat
pada bangsa itu yang berbeda dengan bangsa lain.
Kebudayaan bangsa merupakan kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budi manusia. Usaha kebudayaan harus
menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan
bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa.
Untuk menuju kearah kemajuan itu tentu memerlukan sebuah
proses.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 35
2.2 Paradigma Berfikir Masyarakat Terhadap Konsep
Pariwisata Berkelanjutan
Paradigma pariwisata modern berangkat dari filsafat
modern yang menjadi pondasi dasar, dan memandu praktek dari
apa yang dikenal sebagai pariwisata massal. Banyak gelombang
kritik ditujukan pada praktek pariwisata tersebut karena sifatnya
yang elitis, dan menyebabkan masyarakat lokal yang berada di
kawasan destinasi wisata teralienasi. Gerakan kontra wacana
pariwisata massal telah membidani lahirnya wacana pariwisata
alternatif (Fayos-Sola, 1996), yang berangkat dari tradisi
berpikir yang dalam ranah ilmu sosial dan filsafat dikenal
sebagai gerakan posmodernisme. Secara general, tradisi
pemikiran modern memproduksi apa yang disebut sebagai
perspektif dualisme (subyek-obyek), sedangkan gerakan
posmodernisme melahirkan perspektif dualitas (subyek-subyek).
Paradigma pariwisata kontemporer relatif telah banyak
mengalami perubahan dibandingkan pariwisata konvensional.
Pergeseran ini terinspirasi kuat dari sebuah aliran pemikiran
yang santer disebut sebagai posmodernisme, atau sering
dinamakan pula pascastrukturalisme (Ritzer dan Smart, 2012;
Ritzer, 2013). Keduanya, walau berangkat dari tradisi pemikiran
yang agak berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan ciri dalam
proyeknya: memberangus segala macam metafisika filsafat
cartesian yang berpusat pada subyek. Pemikiran Rene Descartes
memang telah mengakar kuat dalam tradisi pemikiran yang
dikenal sebagai modernisme, ketika sang filsuf Prancis ini
mendeklarasikan ramalan kaum rasionalis yang terkenal itu:
cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Artinya, subyek
yang berpikir ini, dengan menggunakan instrumen
rasionalitasnya akan selalu mampu mengontrol obyek di luar
dirinya (Hardiman, 2012). Implikasinya cukup jauh: eksistensi
36 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
manusia ditentukan ketika ia menggunakan kemampuan daya
pikirnya. Aroma antroposentris ini merambah ke seluruh
dimensi kehidupan. Demikian juga semua disiplin ilmu, logika
modern dijadikan rujukan untuk memperoleh kebenaran.
Perpaduan antara logika formal aristotelian dengan subyektivitas
cartesian melahirkan apa yang populer dinamakan metode
ilmiah. Metode khas inilah yang disepakati sebagai satu-satunya
cara dalam memperoleh pengetahuan yang benar dalam
maskapai keilmuan. Standarisasi ini ternyata tidak hanya berada
dalam demarkasi akademis, ketika posisi ilmu/sains ternyata
merambah ke semua relung kehidupan manusia (Habermas
dalam Hardiman, 2000). Teknologi yang berkeranat dekat
dengan sains telah menunjukkan hasilnya yang gilang-gemilang.
Hal ini menjadikan apa yang ilmiah adalah terhormat, dan apa
yang tidak ilmiah akan ditolak, atau minimal diterima setengah
hati sampai suatu kelak diverifikasi secara ilmiah. Klaim
rasionalitas ilmiah ini menemui titik universalitasnya, ketika apa
yang distandarisasikan oleh kelompok sainstis (subyek) menjadi
dasar dalam menundukkan apapun yang dianggap sebagai obyek
(Sindhunata, 1987). Berikutnya, yang juga khas dari
modernisme adalah pandangannya tentang arus sejarah yang
memiliki tujuan akhir ideal (teleologisme). Ini merupakan
keyakinan bahwa masa depan pasti memiliki telos, menuju arah
yang lebih baik jika dipandu dengan rasionalitas ilmiah.
Demikianlah, keyakinan metafisis ini menjadi optimisme khas
kaum modernis. Dalam konteks inilah, sains menjadi ideologis
(Hardiman, 2012). Proyek modernisme ini melahirkan jenis
dualisme berikutnya (selain oposisi antara subyek-obyek), yaitu
oposisi biner (Piliang, 2003). Pemikiran yang berasal dari tradisi
linguistik ini pada intinya berangkat dari pandangan dasar
bahwa adanya sesuatu (tanda) karena kaitannya dengan sesuatu
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 37
yang lain. Dalam sebuah struktur oposisi biner yang ideal,
segala sesuatu arti/makna dapat dimasukkan dalam dua kategori.
Kategori (x) ataupun kategori (y). Suatu kategori (x) tidak
bakalan ada dengan sendirinya tanpa berhubungan secara
struktural dengan kategori (y). Kategori (x) masuk akal bila dan
hanya bila karena dia bukan kategori (y). Tanpa kategori (y),
ikatan dengan kategori (x) tidak bakalan ada, dan kategori (x)
juga tidak ada. Dalam sistem biner, hanya ada dua sign atau
tanda yang hanya memiliki makna bila masing-masing
beroposisi dengan yang lain. Kategori jadi bermakna karena
ditentukan oleh ketidakbermaknaan kategori yang lain.
Implikasinya, sesuatu akan bermakna ketika meniadakan yang
lain. Pada konteks ini memunculkan apa yang disebut sebagai
the others/liyan/yang lain (Sarup, 2011).
Pariwisata konvensional adalah pariwisata modern, yang
terinspirasi dari logika berpikir cartesian tersebut. Bentuk
konkretnya adalah pariwisata massal (Baiquni, 2010). Pariwisata
jenis ini dipandang memiliki beberapa cacat bawaan. Pertama,
dengan paradigma modernnya, pariwisata ini mengusung
standarisasi yang menjadi rujukan universal. Ia mengusung
seperangkat aturan yang harus diterima secara taken for granted
(tanpa perlu dipertanyakan lagi secara kritis) dalam
pembangunan pariwisata di manapun, kapanpun, dan oleh
siapapun. Aturan ini bisa berupa kode etik, regulasi, tata kelola
ideal, dan kajian keilmuannya.
Hal ini membawa kepada problem legitimasi. Siapa yang
memiliki otoritas untuk memproduksi aturan tersebut? Atas
klaim apa sehingga apa yang diproduksi tersebut sahih? Dan,
lewat mekanisme apa sehingga aturan tersebut berlaku
universal? Berikutnya adalah, kedua, yang menjadi telos
(tujuan) dalam pariwisata modern adalah pertumbuhan. Logika
38 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
pertumbuhan berangkat dari kerangka pikir pembangunanisme
atau developmentalisme, yaitu suatu paham yang dijadikan
model ideal oleh semua negara di dunia pasca era kolonialisasi.
Setelah kolonialisasi yang dilakukan oleh negara dunia pertama
berakhir, diperlukan tata relasi baru antara negara yang terlibat,
mantan kolonial dan yang dijajah (Fakih, 2002). Yang
dibutuhkan pertama kali oleh mereka yang dijajah pasca
kemerdekaan adalah menjawab pertanyaan: what’s next? Para
negara kolonialis menawarkan resep mudah: pembangunan.
Menjadi tidak mudah adalah ketika para negara yang pernah
dikolonialisasi ini tentu saja tidak memiliki sumber daya yang
dibutuhkan, terutama dalam konteks kualitas sumber daya
manusianya untuk mengerjakan pembangunan tersebut.
Terjadilah fenomena pengiriman pelajar ke negara dunia
pertama untuk menimba ilmu dalam rangka pembangunan
negaranya nanti. Munculah paradoks, walau de jure mereka
merdeka dalam artian fisik, tetapi de facto tetap terjajah secara
mind-sett. Preseden ini menjadi kolonialisme model baru,
neokolonialisme. Hal ini terjadi karena ada ketergantungan
antara negara dunia ketiga terhadap negara dunia pertama.
Ketika model pembangunan yang diterapkan pada hakekatnya
adalah formulasi dari negara pertama. Kondisi ini bukannya nir-
kepentingan. Kepentingan negara pertama terepresentasikan
ketika model, teknik, dan filosofi pengelolaan pembangunan
negara bekas jajahan tersebut merupakan proyeksi wacana
mereka (Fakih, 2002). Developmentalisme terkait erat dengan
kapitalisme. Fakih (2002) menyebutkan bahwa
developmentalisme merupakan salah satu manifestasi dari
kapitalisme. Fakih mengemukakan kapitalisme dalam tahapan
sejarahnya bermetamorfosa dari tiga tahapan (1) kolonialisme;
(2) developmentalisme; dan (3) globalisasi. Kapitalisme sebagai
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 39
sebuah sistem, berpondasikan filsafat liberalisme dan neo-
liberalisme.
Pembangunan ekonomi negara menjadi kredo yang
ditawarkan negara dunia pertama. Artinya, the economic first,
the politic and the others next. Logika kapitalisme ekonomi
adalah akumulasi kapital yang mendorong pertumbuhan
ekonomi. Prinsip dasar sistem ekonomi kapitalisme tidaklah
mempersoalkan di mana dan bagaimana kapital atau modal itu
terakumulasi (apakah hanya di tangan segelintir orang ataukah
ditangan rakyat banyak), yang terpenting adalah ada akumulasi
yang dialokasikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Logika pertumbuhan ekonomi ini berbenturan dengan logika
pemerataan ekonomi (yang merupakan ciri dasar sosialisme
ekonomi).
Akibatnya, para pelaku ekonomi akan berlomba
mengakumulasi kapital dan negara akan mendukung
sepenuhnya praktek tersebut melalui kebijakan liberalisasi. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya praktek-praktek
konglomerasi, yang tidak jarang juga dibarengi dengan praktek-
praktek monopoli, oligopoli, atau bentuk-bentuk perilaku
ekonomi yang berpotensi ketidakadilan. Di bawah paradigma
pengutamaan pembangunan ekonomi kapitalis inilah pariwisata
modern disapih. Logika pertumbuhan dijadikan dasar tolok ukur
keberhasilan pembangunan di bidang pariwisata. Artinya,
jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung ke destinasi
wisata dalam suatu negara akan menjadi indikator apakah
pariwisatanya berhasil atau gagal. Gambaran ini merujuk pada
statistik kunjungan wisatawan setiap tahunnya, apakah grafiknya
naik, stagnan, atau turun. Semakin menunjukkan tren positif
ketika grafik kunjungan wisatawan setiap tahunnya meningkat.
40 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Stagnan berarti kurang berhasil, dan jika grafik menurun artinya
gagal.
Problem ketiga dari pariwisata modern adalah logika
oposisi biner. Hal ini mengandaikan adanya kebutuhan akan the
others/liyan/yang lain agar salah satu pihak eksis. Dalam aroma
ekonomistik yang kental, pembangunan pariwisata yang
dioperasikan dikendalikan oleh pihak yang memiliki modal
ekonomi yang kuat. Terjadilah kolaborasi, semacam simbiosis
mutualisme di antara elit. Pertanyaannya adalah: siapa
menguasai siapa? Jika merujuk pada konsep stakeholders
pariwisata, yaitu para pemangku kepentingan yang terlibat
dalam produksi pariwisata, mereka terdiri dari: pebisnis
(swasta), penguasa (negara), dan masyarakat lokal. Pihak bisnis
yang ditopang oleh negara berkecenderungan mendominasi.
Pada konteks ini, masyarakat lokal cenderung menjadi
penonton, menjadi the others/liyan/yang lain. Tidak terlibat dan
dilibatkan dalam pembangunan pariwisata yang ironisnya
berlangsung di wilayahnya.
Wacana pembangunan pariwisata yang lebih memberi
penekanan pada keberhasilan (pertumbuhan) secara ekonomis
dewasa ini telah menuai berbagai kritik dari berbagai pihak
(Leiper, 1990). Hal ini dipandang telah menyebabkan beberapa
masalah jika ditilik dari dua sudut pandang, yaitu: pertama,
aspek daya dukung (fisik/lingkungan, sosial budaya, dan
ekonomi itu sendiri), dan, kedua, aspek keberlanjutannya.
Kontra wacana terhadap developmentalisme dimulai sekitar
medio 1980an ketika lembaga-lembaga yang peduli terhadap
permasalahan lingkungan mulai gencar melancarkan kritiknya.
International Union for the Conservation of Nature (IUCN),
United Nations Environment Programme (UNEP), dan World
Wildlife Fund (WWF) mendeklarasikan “world conservation
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 41
strategy” guna memperjuangkan tiga hal (1) Mempertahankan
proses-proses ekologi yang pokok beserta sistem pendukungnya;
(2) Memelihara keanekaragaman hayati; (3) Menjamin
penggunaan ekosistem berikut spesiesnya secara berkelanjutan.
Pada tahun 1987, World Commission on Environment and
Development yang diketuai oleh Brundtlandt mewacanakan
konsep Sustainable Development (SD), yang didefinisikan
sebagai: “pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk mencukupi kebutuhannya.” Konsep SD lalu diadaptasi ke
dalam bidang pariwisata oleh Burns dan Holden (1997) menjadi
Sustainable Tourism Development (STD). Konsep ini
merupakan sebuah model yang mengintegrasikan aspek
lingkungan fisik (place), lingkungan budaya (host community),
dan wisatawan (visitor). Salah satu konsep yang menjelaskan
peranan komunitas dalam pembangunan pariwisata adalah
Community Based Tourism (CBT) (Suansri, 2003).
Secara konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis
masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku
utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai
kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan
sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama
pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (setempat). CBT menekankan kepada
pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-
nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat
istiadat, kuliner, gaya hidup.
Dalam konteks pembangunan wisata komunitas tersebut
harus secara mandiri melakukan mobilisasi aset dan nilai
tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata
wisatawan. Melalui konsep CBT, setiap individu dalam
42 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai
ekonomi pariwisata. Untuk itu para individu diberi keterampilan
untuk mengembangkan small business. Wacana tentang
geowisata merupakan salah satu bentuk kreasi pariwisata yang
merupakan kontra wacana terhadap pariwisata massal. Hal ini
dimungkinkan karena berdasarkan jenis atraksi yang ditawarkan,
geowisata masuk dalam klasifikasi pariwisata minat khusus
(Ansori, 2012). Artinya, daya tarik wisata yang dikembangkan
lebih banyak berbasis pada pemenuhan keinginan wisatawan
secara spesifik. Inilah yang menjadikan sifat massal yang
melekat pada pariwisata modern terlucuti. Dengan tawaran
atraksi yang terbatas, daya tarik wisata yang berbasis pada
bentang alam ini melakukan proses seleksi alami untuk
wisatawan yang datang, yaitu mereka yang tertarik dan memiliki
minat pada bentang alam geologis dengan berbagai keunikan
dan sejarahnya. Keunggulan dikreasinya geowisata bagi suatu
destinasi adalah dianggap mampu mengeliminir atau
meminimalisasi berbagai dampak negatif dari pariwisata modern
yang berakar dari filsafat modern. Dualisme “res cogitans”
Descartes telah membawa alienasi para liyan yang dianggap
tidak memiliki instalasi rasionalitas. Para “the others” yang
teralienasi ini cenderung menimpa masyarakat lokal di mana
aktivitas pariwisata eksis. Dengan terseleksinya wisatawan yang
datang, sehingga lebih diutamakan turis yang berkualitas
daripada kuantitas. Hal ini membawa arti pada energi yang
diberikan dalam konteks pelayanan pariwisata menjadi lebih
hemat. Artinya, secara logika, tidak dibutuhkan pemborosan
sumber daya dalam aktivitas pariwisata yang dikembangkan,
dengan memperhatikan carrying capacity yang ada pada suatu
destinasi (Liu, 1994).
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 43
2.3 Korelasi Budaya dan Pariwisata
Pembangunan pariwisata secara berkelanjutan menjadi
salah satu perihal yang disorot dalam perhelatan International
Conference on Sustainable Development (ICSD) 2013 yang lalu.
Hal ini juga menjadi rangkaian perhelatan akbar APEC di tahun
yang sama bertempat di Nusa Dua Bali.
Merujuk pada apa yang disampaikan oleh Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada era kabinet pembangunan
Mari Elka Pangestu, yang mengungkapkan. "Pertumbuhan itu
penting juga dengan sustainable. Bagaimana bicara mengenai
infrastruktur, kalau di bidang kita misalnya mengenai
kemudahan visa,"
Perhelatan ICSD ini mengusung tema “pertumbuhan
pembangunan mengacu pada pariwisata” mengarah kepada
konsep masyarakat Hindu-Bali "Tri Hita Karana" yakni
bagaimana pembangunan agar selaras dengan kehidupan, antara
manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia
dengan Sang Pencipta.
Keberadaan modal transportasi tradisional seperti becak
merupakan aset daya tarik wisata terutama untuk wisatawan
asing. Secara tersirat Indonesia telah mempunyai local wisdom.
Sejak dulu kearifan lokal nenek moyang diwariskan dalam
pembangunan berkelanjutan," Kearifan lokal telah terlihat pada
lokasi penyelenggaraan kegiatan yaitu di Bali. Mantan Menteri
Pariwisata I Gede Ardika pada kesempatan yang sama
mengatakan hampir semua aspek pembangunan di Bali telah
mengacu ke Tri Hita Karana. "Tapi itu bukan hanya spesifik di
Bali saja tapi kita Indonesia sudah mengenal local wisdom"
Festival Erau di Tenggarong, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Pertumbuhan pembangunan mengacu pada
pariwisata, menurut Ardika, adalah pertumbuhan yang berbasis
44 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
budaya, masyarakat, serta yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan. "Pariwisata kita basisnya budaya. Budaya bukan
hanya maksudnya tari menari atau pertunjukan saja. Tapi juga
tata nilai dasar yang menjadi falsafah hidup Indonesia. Tata nilai
itu yang menjadi inti," tambah Ardika. International Conference
on Sustainable Development (ICSD) 2013 digelar di Nusa Dua
Bali, pada 5-6 Oktober 2013. Kegiatan tersebut akan membahas
pembangunan berkelanjutan yang ada di kawasan Asia Pasifik.
Pemahaman konsep budaya dalam perpekstif antropologi
masa kini memiliki dua konsep utama dalam
mendefinisikannya, yaitu aliran behavioral dan aliran
ideational.
(1) Aliran behavioral melihat budaya sebagai a total way of
life.
(2) Aliran ideational melihat budaya sebagai sesuatu yang
abstrak yang bersifat gagasan atau pemikiran, yang
berfungsi membentuk pola perilaku yang khas suatu
kelompok ma-syarakat. Dapat berbentuk sistem
pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning,
ethos, value, the capability of mind dsb.
Konsepsi dari pariwisata budaya merupakan interaksi
antara wisatawan dan masyarakat lokal karena kekuatan daya
tarik budaya di destinasi tersebut. Budaya dan nilai-nilai sosial
termasuk elemen berwujud dan tidak berwujud budaya.
Pendapat beberapa pakar mengatakan “Have acknowledged the
twelve cultural essentials which pull tourists at the destinations.
In brief these elements are the historical monuments, the art,
architecture, handicrafts, the traditions, the gastronomy, the
leisure activities, and the dress. They also identified the
educational system and the religions, faith, language,
sculptures. In modern years there have been increases in
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 45
domestic and international tourism for the purpose of
expressing another type of culture” (Ritchie dan Zins dalam
Sandeep dan Vinod, 2014).
Dengan demikian, budaya sesungguhnya dapat menarik
wisatawan ke tempat tujuan (sebagaimana yang diinginkan).
Unsur-unsur seperti monumen bersejarah, seni, arsitektur,
kerajinan, tradisi, gastronomi, kegiatan rekreasi, dan baju
tradisional. Sistem pendidikan dan agama, iman, bahasa, patung
teridentifkasi dalam kajian daya tarik tersebut. Selanjutnya
pendapat tersebut menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun
telah terjadi peningkatan di bidang pariwisata domestik dan
mancanegara dengan tujuan untuk mengungkapkan jenis lain
dari manfaat budaya.
Hal ini memperlihatkan bahwa pariwisata budaya telah
menjadi salah satu elemen dasar yang menarik wisatawan untuk
tujuan tertentu. Penjelasan pariwisata budaya dikemukakan oleh
Hughes (dalam Liu dan Lin, 2011) menyatakan bahwa “Further
advantage is that the relationship between culture and tourism is
widely regarded as mutually beneficial. It is claimed, for
instance, that it creates extra revenue streams for both and, as a
consequence, sustains and enhances cultural resources that
otherwise might disappear”.
Struktur pariwisata yang dinamis memberikan keuntungan
ketika hubungan antara budaya dan pariwisata secara luas
dianggap sebagai aspek yang saling menguntungkan. Pendapat
ini mencoba menjelaskan bahwa pariwisata dan budaya dapat
menciptakan aliran pendapatan tambahan untuk keduanya.
Sehingga kekuatiran terhadap eksistensi budaya dapat
dieliminir. Selanjutnya Kapodini- mengemukakan bahwa “Also
argued that cultural tourism is seen by many policy makers as a
46 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
means of developing quality tourism and attracting high-
spending consumers”.
The third advantage of developing cultural tourism is for
spreading tourism both spatially and temporally, because
it is relatively independent of the seasons, and like other
forms of special-interest tourism it can prompt people to
visit areas off the wellbeaten tourist paths.

Hal ini memperlihatkan bahwa pariwisata budaya dapat


dipandang oleh para pembuat kebijakan sebagai sarana untuk
mengembangkan pariwisata berkualitas dan menarik
konsumen/turis untuk berkunjung. Selanjutnya keuntungan
mengembangkan pariwisata budaya adalah untuk menyebarkan
pariwisata baik secara spasial dan temporal, karena relatif
independen dari musim, seperti bentuk lain dari pariwisata minat
khusus itu dapat mendorong orang untuk mengunjungi daerah-
daerah dari jalur wisata. Hal yang menarik di mana
perkembangan pariwisata di Indonesia tidak serta merta dapat
membangun atau meningkatkan potensi dari ketertarikan wisata
budaya, kenyataan yang berkembang di daerah-daerah termasuk
di Kota Bandung yaitu nilai budaya tidak terlalu dimanfaatkan
baik itu melalui potensi atau pengembangan pariwisata pada
sesuatu yang saling berhubungan.
Realitas yang terjadi ketika perkembangan pariwisata di
Kabupaten Pandeglang lebih terkonsentrasi kepada sektor
ekonomi perdagangan sebagaimana pendirian pusat-pusat
pembelanjaan factory outlet (FO) yang tersebar di pusat-pusat
kota. Permasalahan ini menunjukkan bahwa identitas budaya
Sunda yang sebelumnya berkaitan dengan Kabupaten
pandeglang terus tergusur pada sektor ekonomi perdagangan
yang kurang dipadukan dengan nilai-nilai budaya Sunda.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 47
Dilematis pembangunan pariwisata dengan pembangunan
kebudayaan diukur dari pengertian pariwisata dipersepsikan
sebagai wahana untuk meningkatkan pendapatan, terutama
sebagai industri dan penghasil devisa dalam arti ekonomi sentris
dan berorientasi pertumbuhan, sedangkan kebudayaan justru
lebih bersifat konsumtif pengeluaran biaya. Apabila dipandang
bagian per bagian maka antara kebudayaan dan pariwisata saling
bertentangan namun dalam tujuan secara menyeluruh keduanya
merupakan pisau bermata dua yang bermanfaat bagi
pembangunan. Dalam hal ini juga sudah diatur dalam kode etik
pariwisata dunia pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa ”Sumber
penghasilan yang diperoleh dari wisatawan ke tempat wisata
budaya dan monumen-monumen harus digunakan setidak-
tidaknya sebagian bagi pemeliharaan, pelestarian,
pengembangan dan memperkaya warisan budaya” Mowforth
dan Maunt (dalam Siswanto, 2007) menyatakan bahwa
pariwisata harus ”dimanusiakan”, tidak hanya didorong oleh
kekuatan pasar dan keuntungan semata-mata.
Partisipasi masyarakat kajian kritis dampak… (Bambang
S., Sukarno W., dan Harry S: 451) memaparkan upaya
memasukkan budaya dan tradisi mereka dalam perencanaan
pariwisata akan menimbulkan respek atau kebanggaan individu
maupun masyarakat dari budaya tersebut. Perlu ditekankan
bahwa wisatawan yang berbasis budaya merupakan potensi yang
cukup menjanjikan, sebagaimana pendapat Hughes (2002) yang
menjelaskan bahwa “Typically well educated, affluent and
broadly travelled, [and] they generally represent a highly
desirable type of upscale visitor”. Pada umumnya sepakat bahwa
wisatawan budaya menghabiskan jauh lebih banyak kegiatan
dari pada wisatawan biasa, selanjutnya wisatawan budaya
mengharapkan pengalaman yang berbeda dari liburan mereka
48 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dan harapan ini menjadi hari yang lebih penting dari hari ke
hari. Selama pengalaman tersebut wisatawan dapat berinteraksi
dengan tiga jenis atribut budaya; fisik (misalnya, dibangun
warisan), umum (kehidupan sehari-hari masyarakat setempat),
dan kegiatan budaya spesifik masyarakat setempat (misalnya,
ritual dan festival). Idealnya perkembangan pariwisata harus
merujuk pada nilai-nilai dasar budaya di mana ini dibutuhkan
bukan saja untuk eksistensi namun bisa dipadukan dengan
penciptaan brand image dari karakteristik atau ciri khas daerah
wisata Kabupaten Pandeglang. Pola-pola pada ekonomi memang
telah mengubah pemanfaatan budaya Sunda dalam perspektif
pariwisata Kabupaten Pandeglang. Perkembangan yang paling
kontemporer di mana kebudayaan Sunda kini banyak mendapat
pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang sering
kali mencuat ke permukaan di mana ini merupakan
permasalahan yang subtansial terhadap peran dan eksistensi
budaya terhadap perkembangan pariwisata di Kabupaten
Pandeglang . Permasalahan ini menggambarkan bahwa terjadi
pergeseran dari pemanfaatan pariwisata di mana nilai-nilai
budaya Sunda tidak dipandang sebagai aspek yang dapat
dimanfaatkan. Masalah ini diperparah dengan minimnya
pagelaran budaya pada acara-acara yang besar, bahkan yang
terjadi ketika hiburan budaya Sunda yang identik dengan
hiburan masyarakat Pandeglang Banten kian memudar
disebabkan konsep hiburan organ tunggal yang dewasa ini lebih
diminati pada acaraacara tersebut. Berbagai fenomena dari
dampak perkembangan sektor pariwisata ekonomi terhadap
pelunturan budaya, memposisikan bagaimana eksistensi budaya
Sunda di masa depan. Berdasarkan uraian tersebut peneliti
tertarik untuk meneliti lebih dalam dengan melihat beberapa
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 49
aspek dari dampak perkembangan pariwisata terhadap eksistensi
budaya Sunda di Kabupaten Pandeglang.
50 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
BAB III
PERILAKU MASYARAKAT DI
DESTINASI WISATA

3.1 Perubahan Sosio Kultural


Perubahan Sosio Kultural Setiap manusia atau masyarakat
pasti selalu mengalami perubahan. Perubahan yang dialami
masing-masing masyarakat tidaklah sama, ada yang cepat dan
mencolok dan ada pula yang tersendat. Perubahan tersebut dapat
mengarah pada kemajuan maupun kemunduran. Pada intinya
bahwa perubahan pada hakikatnya merupakan fenomena
manusiawi dan fenomena alami. Perubahan adalah suatu proses
yang menyebabkan terjadi perbedaan dari keadaan semula
dengan sesudahnya. Perubahan dapat diketahui apabila ada
perbedaan dari bentuk awal dan bentuk akhir (Soemantri, 2011).
Kata perubahan sering dihubungkan dengan kata sosial
dan budaya. Perubahan sosial dimaksudkan adanya proses yang
dialami dalam kehidupan sosial yaitu perubahan yang mengenai
sistem dan struktur sosial. Perubahan sosial dapat mengenai
nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan sosial
dapat terjadi karena direncanakan dan tidak direncanakan.
Perubahan yang direncanakan merupakan perubahan yang
diperkirakan oleh pihak-pihak yang menghendaki perubahan
dalam masyarakat, sedangkan perubahan yang tidak
direncanakan terjadi seperti akibat dari perang, penjajahan, atau
bencana alam (Soerjono Soekanto, 2006). Perubahan budaya
adalah proses yang terjadi dalam budaya yang menyebabkan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 51
adanya perbedaan yang dapat diukur setelah terjadi dalam kurun
waktu tertentu (Soemantri, 2011). Budaya dapat diartikan
sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam
mengubah dan mengolah alam. Perubahan kebudayaan
mencakup semua bagian kebudayaan termasuk di dalamnya
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lain-lain.
Perubahan sosial mencakup perubahan norma, sistem
nilai sosial, pola-pola perilaku, stratifikasi sosial, lembaga
sosial, dan lain-lain. Perubahan sosial merupakan hal yang
penting dalam perubahan kebudayaan. Beberapa ahli sosiologi
(dalam Soerjono Soekanto, 2006) mengemukakan rumusan
mengenai pengertian perubahan sosial budaya, antara lain
sebagai berikut. (a) Selo Soemardjan menyatakan bahwa
perubahan sosial budaya adalah segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai,
sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat; (b) Gillin dan Giliin menyatakan bahwa perubahan
sosial budaya merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang
diterima, yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis,
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi serta adanya
difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat; (c)
William F. Ogburn mengemukakan bahwa perubahan sosial
budaya adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur
kebudayaan, baik kebudayaan materiil maupun non materiil; (d)
Kingsley Davis mengartikan bahwa perubahan sosial budaya
adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur
masyarakat.
Umumnya para teoritisi mendefinisikan atau menganggap
perubahan sosial adalah variasi sementara dalam satu perkara
atau lebih, sebagai berikut. (1) Berkaitan dengan jumlah
52 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
populasi dari satu unit sosial; (2) Tingkat perilaku penduduk
dalam jangka waktu tertentu; (3) Struktur sosial atau pola
interaksi antar individu; (4) Pola-pola kebudayaan, seperti
perubahan nilai.
Salah satu teori yang merupakan bagian dari perubahan
sosial adalah teori dari Neil Smelser. Menurut Smelser (dalam
Robert H. Lauer, 1993) faktor yang menentukan perubahan
sosial beberapa diantara perkara sebagai berikut. (1) Keadaan
struktural untuk berubah, menyangkut penelitian struktur sosial
mengetahui implikasinya bagi perubahan yang melekat; (2)
Dorongan untuk berubah, secara tersirat berarti bahwa kondisi
menguntungkan secara struktural itu sendiri sebenarnya belum
memadai. Masih perlu diperlukan sejenis kekuatan yang
cenderung ke arah perubahan. Kekuatan ini mungkin berupa
kekuatan dari dalam (internal), atau kekuatan dari luar
(eksternal); (3) Mobilisasi untuk berubah, berkaitan dengan arah
perubahan. Arah perubahan tergantung pada cara-cara
memobilisasi sumber-sumber dan cara penggunaannya untuk
mempengaruhi perubahan. Selanjutnya mobilisasi itu sendiri
berkaitan erat dengan kepemimpinan yang terlibat dalam
perubahan; (4) Pelaksanaan kontrol sosial, di mana kontrol
sosial ini mungkin berwujud kekuatan yang mapan seperti
media massa, pejabat pemerintah, dan pemimpin agama. Pihak-
pihak tersebut mungkin berperan dalam menentukan arah
perubahan yang akan terjadi. Teori Smelser di atas untuk
menganalisis faktor yang menentukan suatu perubahan.
Perubahan sosio kultural yang terjadi di Taman Hutan Raya
(Tahura) Banten, Pandeglang Banten tidak lepas dari faktor-
faktor yang mempengaruhi seperti yang dikemukakan oleh
Smelser tersebut. Smelser melalui karyanya The Industrial
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 53
Revolution (dalam Robert H. Lauer, 1993) menyusun faktor-
faktor yang menentukan perubahan.
Tujuh langkah dalam urutan perubahan, untuk kasus
dalam masyarakat industri urutannya sebagai berikut. Pertama,
ketidakpuasan yang berasal dari kegagalan untuk mencapai
tingkat produktivitas yang memuaskan dan dari kesadaran
tentang potensi untuk mencapai tingkat produktivitas yang lebih
tinggi. Kedua, gangguan psikis dalam bentuk reaksi emosional
menyimpang yang tepat dan aspirasi yang tidak realistis. Ketiga,
penyelesaian ketegangan secara tersembunyi dan memobilisasi
sumber-sumber pendorong dalam upaya untuk “menyadari
implikasi sistem nilai yang ada”.
Keempat, mendorong dan membangkitkan ide sebanyak-
banyaknya tanpa menetapkan tanggung jawab bagi
pelaksanaanya atau dampaknya. Kelima, berupaya menetapkan
ide-ide khusus, sehingga masyarakat melibatkan diri dengan ide-
ide tersebut. Keenam, pelaksanaan perubahan oleh masyarakat
yang diberi ganjaran dengan keuntungan atau dihukum dengan
kerugian keuangan sebagai tanggapan konsumen atau
pembaharuan yang mereka lakukan. Ketujuh, rutinisasi melalui
penerimaan keuntungan sebagai bagian taraf hidup dan
penerimaan perusahaan mereka menjadi fungsi produksi yang
rutin. Perubahan yang dialami masyarakat dusun Krebet telah
sesuai dengan pendapat Smelser mengenai tujuh langkah urutan
perubahan tersebut.
Berawal dari rasa yang tidak puas dengan keadaan
perekonomian masyarakatnya. Masyarakat yang berdomisili di
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten terdorong untuk
mencari ide agar keluar dari jerat kemiskinan. Mereka
menetapkan ide untuk inovasi membuat ikan asin, emping,
kerupuk ikan, otak-otak dan beberapa komoditi lokal lainnya.
54 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Selain itu beberapa souvenir yang terbuat dari akar bambu yang
dapat dijadikan buah tangan. Sehingga masyarakat yang tinggal
berdekatan dengan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang
Banten dapat berubah menjadi masyarakat industri dan pelaku
pariwisata.
Kegiatan ini telah menjadi rutinitas dan berlangsung
hingga saat ini. Destinasi Wisata (Daerah Tujuan Wisata) Sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan, menjelaskan beberapa pengertian istilah
kepariwisataan, antara lain. (1) Wisata adalah suatu kegiatan
perjalanan yang dilakukan oleh individu atau kelompok
mengunjungi suatu tempat dan bertujuan untuk rekreasi,
pengembangan pribadi, atau untuk mempelajari keunikan daya
tarik suatu tempat wisata yang dikunjungi dalam waktu
sementara; (2) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata yang didukung oleh berbagai layanan fasilitas yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan
pemerintah daerah; (3) Daerah tujuan wisata dapat disebut juga
dengan destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang
berada dalam satu atau lebih wilayah administrasi yang di
dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas
pariwisata, aksesbilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Leiper (dalam Pitana,
2005) mengemukakan bahwa daerah tujuan wisata adalah
sebuah susunan sistematis yang terbentuk dari tiga komponen.
Seorang dengan kebutuhan wisata adalah inti/pangkal
(keistimewaan apa saja atau karekteristik suatu tempat yang
akan mereka kunjungi) dan sedikitnya satu penanda (inti
informasi). Seseorang melakukan perjalanan wisata dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang menjadi daya tarik yang membuat
seseorang rela melakukan perjalanan yang jauh dan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 55
menghabiskan dana cukup besar. Suatu daerah harus memiliki
potensi daya tarik yang besar agar para wisatawan mau
menjadikan tempat tersebut sebagai destinasi wisata. Menurut
Jackson (dalam Gde Pitana, 2005: 101) suatu daerah yang
berkembang menjadi sebuah destinasi wisata dipengaruhi oleh
beberapa hal yang penting. (1) Faktor penarik unggulan; (2)
Atraksi dan fasilitas lainnya; (3) Lokasi geografis; (4) Jalur
transportasi; (5) Stabilitas politik; (6) Lingkungan yang sehat;
(7) Tidak ada larangan atau pembatasan pemerintah.
Suatu destinasi wisata perlu memiliki berbagai fasilitas
kebutuhan wisatawan, agar kunjungan wisatawan tersebut dapat
terpenuhi dan merasa nyaman. Berbagai kebutuhan wisatawan
tersebut antara lain, fasilitas transportasi, akomodasi, biro
perjalanan, atraksi (kebudayaan, rekreasi, dan hiburan),
pelayanan makanan, dan souvenir (Gde Pitana, 2005).
Tersedianya berbagai fasilitas kebutuhan yang diperlukan
akan membuat wisatawan merasa nyaman, sehingga semakin
banyak wisatawan yang berkunjung. Atraksi menjadi faktor
utama yang menjadi daya tarik terbesar suatu destinasi wisata,
baik itu berupa pertunjukan kesenian, rekreasi, atau penyajian
suatu paket kebudayaan lokal yang khas dan dilestarikan.
Atraksi dapat berupa keseluruhan aktifitas keseharian penduduk
setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan
berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif, seperti
melihat kegiatan budaya masyarakat lokal setempat.
Atraksi merupakan komponen vital, oleh karena itu suatu
tempat wisata tersebut perlu memiliki keunikan yang bisa
menarik wisatawan. Fasilitas-fasilitas pendukungnya juga harus
lengkap agar kebutuhan wisatawan terpenuhi, serta keramahan
masyarakat tempat wisata juga sangat berperan dalam menarik
minat wisatawan. Faktor-faktor tersebut perlu dikelola dengan
56 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
baik, sehingga menjadikan tempat tersebut sebagai destinasi
wisata dan wisatawan rela melakukan perjalanan ke tempat
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
destinasi wisata merupakan interaksi antar berbagai elemen. Ada
komponen yang harus dikelola dengan baik oleh suatu destinasi
wisata adalah wisatawan, wilayah, dan informasi mengenai
wilayah. Atraksi juga merupakan komponen vital yang dapat
menarik minat wisatawan begitu juga dengan fasilitas-fasilitas
yang mendukung. Desa Wisata Pengembangan pariwisata
perdesaan merupakan dampak dari adanya perubahan minat
wisatawan terhadap daerah destinasi wisata. Tumbuhnya tren
dan motivasi perjalanan wisata minat khusus yang
menginginkan wisata yang kembali ke alam, interaksi dengan
masyarakat lokal, serta tertarik untuk mempelajari budaya dan
keunikan lokal sehingga mendorong pengembangan wisata
perdesaan. Pariwisata perdesaan merupakan model pariwisata
baru, sering juga dikenal dengan periwisata minat khusus
(special interest tourism).
Obyek wisata perdesaan merupakan suatu desa yang
mempunyai sarana atau obyek yang mendukung kegiatan
kepariwisataan dan mempunyai potensi besar dalam sektor
pariwisata, sehingga layak untuk dijadikan dan dikembangkan
menjadi objek wisata baru. (1) Pengertian Desa Wisata Menurut
Chafid Fandeli secara lebih komprehensif menjabarkan desa
wisata sebagai suatu wilayah pedesaan yang menawarkan
keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian desa, baik
dari segi kehidupan sosial budaya, adat istiadat, aktifitas
keseharian, arsitektur bangunan, dan struktur tata ruang desa,
serta potensi yang mampu dikembangkan sebagai daya tarik
wisata, misalnya: atraksi, makanan dan minuman, cinderamata,
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 57
penginapan, dan kebutuhan wisata lainnya (Chafid Fandeli,
2002). Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara
atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan
dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Suatu desa wisata
memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik
lingkungan alam perdesaan, maupun kehidupan sosial budaya
masyarakatnya) yang dikemas secara alami dan menarik
sehingga daya tarik perdesaan dapat menggerakkan kunjungan
wisatawan ke desa tersebut (Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, 2011). Ada dua pengertian tentang desa wisata: (1)
Apabila tamu menginap disebut desa wisata; (2) Apabila tamu
hanya berkunjung disebut wisata desa. Masyarakat adalah
penggerak utama dalam desa wisata. Masyarakat itu sendiri
yang mengelola pariwisata tersebut, sehingga tidak ada investor
yang bisa masuk untuk mempengaruhi perkembangan desa
wisata itu sendiri. Apabila ada suatu desa wisata yang dikelola
oleh investor berarti desa tersebut bukanlah desa wisata dalam
arti sebenarnya (Hasbullah Asyari, 2010). Masyarakat
menjadikan rumah-rumah mereka atau sebagian kamar-kamar
mereka menjadi tempat tinggal tamu sementara (homestay)
dalam suatu desa wisata. Satu kesatuan yang komplit apabila
tamu-tamu bisa menikmati keseharian rakyat (live in) merasakan
sajian makan dan jenis atraksi kebudayaan desa. Desa wisata
akan sukses kalau seluruh anggota masyarakat baik kepala
keluarga, ibu-ibu rumah tangga, pemuda, dan anak-anak ikut
mendukung keberadaan desa wisata tersebut (Hasbullah Asyari,
2010).
Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR) yang dimaksud
dengan desa wisata adalah suatu daerah wisata yang menyajikan
keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian perdesaan
58 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
baik dari sisi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, keseharian,
adat istiadat, memiliki arsitektur dan tata ruang yang khas dan
unik, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta
memiliki potensi untuk dikembangkannya komponen
kepariwisataan (Soetarso Priasukmana, 2001). Desa wisata
dalam artian sederhana merupakan suatu obyek wisata yang
memiliki potensi seni dan budaya unggulan di suatu wilayah
perdesaan yang berada di pemerintah daerah. Desa wisata
merupakan sebuah desa yang hidup mandiri dengan potensi
yang dimilikinya dan dapat menjual berbagai atraksi-atraksinya
sebagai daya tarik wisata tanpa melibatkan investor.
Berdasarkan hal tersebut pengembangan desa wisata merupakan
realisasi dari undang-undang otonomi daerah (UU No.22/99).
Maka dari itu setiap kabupaten perlu memogramkan
pengembangan desa wisata sesuai dengan pola PIR tersebut.
Tujuan dan sasaran pembangunan desa wisata (dalam
Soetarso Priasukmana, 2001), antara lain. (1) Mendukung
program pemerintah dalam program kepariwisataan dengan
penyediaan program alternatif; (2) Menggali potensi desa untuk
pembangunan masyarakat desa setempat; (3) Memperluas
lapangan kerja dan lapangan usaha bagi penduduk.
Syarat dan faktor pendukung pembangunan desa wisata
(a) Memiliki potensi daya tarik yang unik dan khas yang mampu
dikembangkan sebagai daya tarik kunjungan wisatawan (sumber
daya wisata alam, sosial, dan budaya); (b) Memiliki dukungan
ketersediaan SDM (Sumber Daya Manusia) lokal; (c) Memiliki
alokasi ruang untuk pengembangan fasilitas pendukung seperti
sarana dan prasarana berupa komunikasi dan akomosasi, serta
aksesbilitas yang baik (Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, 2011).
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 59
3.2 Perilaku Masyarakat Sebagai Bagian yang Terlibat
Dalam Pengelolaan Destinasi
Perkembangan pariwisata merupakan salah satu sektor
pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah.
Hal ini disebabkan pariwisata mempunyai peran yang sangat
penting dalam pembangunan Indonesia khususnya sebagai
penghasil devisa negara di samping sektor migas. Tujuan
pengembangan pariwisata di Indonesia terlihat dengan jelas
dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1969, khususnya Bab II Pasal 3, yang menyebutkan “Usaha-
usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu
pengembangan “industri pariwisata” dan merupakan bagian dari
usaha pengembangan dan pembangunan serta kesejahteraan
masyarakat dan Negara”. Tujuan pengembangan pariwisata di
Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan devisa pada
khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada
umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja, dan
mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang dan industri-
industri sampingan lainnya. Serta memperkenalkan dan
mendayagunakan keindahan alam dan mengembangkan desa
wisata. Di Indonesia pengembangan desa wisata lebih banyak
difasilitasi negara, sedangkan masyarakat cenderung pasif.
Akibatnya, kapasitas lokal di dalam merespons inovasi yang
disponsori oleh negara melalui pembangunan desa wisata masih
menghadapi sejumlah persoalan krusial (Damanik, 2009). Di
tingkat global, aktivitas wisata secara masif yang berjalan
selama ini dipercaya memunculkan dampak negatif, ditandai
dengan berlangsungnya penurunan kualitas lingkungan yang
sering dijamah wisatawan (Paramita, 1998). Salah satu upaya
untuk mengembangkan suatu tempat wisata secara maksimal
yaitu dengan melihat respons masyarakat sekitar. Hal ini
60 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
berfungsi sebagai tolak ukur pengelola dalam mengembangkan
tempat wisata. Jika respon masyarakat baik atau positif maka
pengembangan tempat wisata akan berjalan dengan baik, begitu
pula jika respons masyarakat cenerung negatif maka akan
menghambat dalam proses pengembangan tempat wisata.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 61
BAB IV
KASUS BUDAYA DAN PERUBAHAN DI
CARITA KABUPATEN PANDEGLANG
BANTEN

4.1 Keadaan Umum Pandeglang


Gambaran Umum Kabupaten Dati II Pandeglang
Pemahaman gambaran umum Dati II Pandeglang adalah
dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan permasalahan
secara umum guna menunjang pemahaman kawasan
perencanaan tersebut.

4.1.1 Letak dan Orientasi Geografis Kabupaten Dati II


Pandeglang
Kabupaten yang berada dipesisir pantai barat Jawa yang
sangat potensial untuk berkembangnya pariwisata. Adapun
batas-batas administratif Kabupaten Dati II Pandeglang dibatasi,
di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Dati II Serang.
Posisi selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, bagian
barat berbatasan dengan Selat Sunda serta bagian timur
berbatasan dengan Kabupaten Dati II Lebak.
Arah Pembangunan Kabupaten Dati II Pandeglang sejalan
dengan kebijaksanaan tingkat nasional, maka arah
pengembangan tata ruang ditujukan dalam rangka mengurangi
perbedaan-perbedaan laju pertumbuhan dalam pembangunan
dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk,
kondisi perekonomian, pemanfaatan sumber daya alam dan
potensi lainnya Kondisi tata ruang Jawa Barat sudah
berkembang sedemikian rupa yang apabila dibiarkan dikuatirkan
kecenderungan perkembangannya menimbulkan kesenjangan
62 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
sosio ekonomi dan sosio ekologis. Perkembangan tersebut akan
mengganggu kelestarian, keserasian dan keseimbangan
lingkungan hidup dan penyebaran penduduk yang tidak merata,
sehingga kebijaksanaan tata ruang diperlukan dalam kurun
waktu jangka pendek dan jangka panjang.

4.1.2 Potensi Wisata Kabupaten Pandeglang


Kabupaten Dati II Pandeglang sebagai Daerah Tujuan
Wisata. Potensi Wisata Dati II Pandeglang Pemerintah Dati II
Pandeglang berupaya menganalisa potensi yang dapat
memberikan dukungan terhadap pengembangan kepariwisataan
baik untuk skala lokal, regional, nasional maupun internasional.
Potensi Kepariwisataan yang ada di Dati 1I Pandeglang
dike1ompokan kedalam 6 (enam) Kawasan Pariwisata sesuai
dengan Perda Kabupaten Dati II Pandeglang No.9 Tahun 1989
yakni, (1) Kawasan Pariwisata Taman Nasional Ujung Kulon;
(2) Kawasan Pariwisata Pantai Carita; (3) Kawasan Pariwisata
Tanjung Lesung; (4) Kawasan Pariwisata Pantai Barna; (5)
Kawasan Pariwisata Situ Cikedal; (6) Kawasan Pariwisata
Gunung Karang.
Dari keenam kawasan pariwisata tersebut, Kawasan
Pariwisata Situ Cikedal dan Kawasan Pariwisata Gunung
Karang yang tidak murni kawasan pariwisata pantai. Hal ini
karena letaknya tidak dipesisir pantai. Kawasan Pariwisata
Pantai Carita luasnya sekitar 2.000 Ha dengan panjang pantai
sekitar 12 km. Kawasan Pariwisata Pantai Bama luasnya sekitar
1.000 Ha dengan panjang pantai 12 KM, Kawasan Pariwisata
Tanjung Lesung direncanakan seluas 2.500 Ha dengan panjang
pantai sekitar 19 km dan berpasir putih.
Pantai Barat Santen sebagai daerah tujuan wisata wilayah
pantai barat banten atau pantai barat Jawa Barat secara
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 63
administratif saat ini masuk kedalam Kabupaten Dati II
Pandeglang dan Kabupaten Serang. Dalam perencanaan
Kabupaten Dati II Pandeglang hampir seluruh ah pantainya
diperuntukan untuk kawasan pariwisata sedangkan wilayah
pantai barat yang masuk ke Kabupaten Dati II Serang sebagian
diperuntukan untuk kawasan pelabuhan. Kawasan industri
terutama di sekitar wilayah Cilegon dan sebagian lainnya untuk
kawasan pariwisata.
Daerah pantai Carita sudah dikenal sejak dahulu sebagai
obyek wisata pantai, wisata alam dan wisata budaya. Hal erat
kaitannya dengan erupsi Gunung Krakatau tahun 1883. Letusan
yang sampai saat ini dikatakan orang letusan gunung paling
dahsyat di dunia, menimbulluln banjir pasang yang merendam
sejumlah besar daratan sebagian barat wilayah Banten. Gunung
Krakatau memiliki pesona tersendiri dan menjadi favorit
wisatawan. Walaupun tampak indah tapi potensi untuk erupsi
kembali dapat terjadi terutana anak Gunung Krakatau yang
sudah mulai menunjukkan gejala keaktifannya.
Kondisi ini terbukti pada akhir Desember 2018 anak
Gunung Krakatau ini mengalami longsor lereng gunung di
bawah laut sehingga berdampak terjadinya Tsunami di Selat
Sunda yang melanda Banten dan Lampung Selatan (detik.com,
2018). Pantai Carita Sebagai Kawasan Pariwisata, berdasarkan
tata letak geografis, memiliki kecenderungan perkembangan ke
arah kawasan wisata pantai dengan berperan sebagai berikut.
1. Kegiatan pelayanan/jasa akomodasi yaitu beberapa hotel,
cottage, villa dan restoran.
2. Kegiatan wisata budaya sejarah yaitu dengan adanya masjid
kuno Caringin dan Peziarahan Caringin.
3. Kegiatan wisata alam dengan adanya atraksi wisata pantai
dan bahari.
64 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
4. Kegiatan wisata buatan dengan adanya obyek wisata
Matahari Carita.
5. Kegiatan wisata minat khusus yaitu Taman Nasional Ujung
Kulon dan Gunung Krakatau.
6. Kegiatan olah raga dan kesenian yang diprakarsai oleh
Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) seperti
lomba sepeda santai dan panggung kesenian.
Berkenaan dengan rencana pengembangan kawasan
pariwisata pantai Carita, dari pihak Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Pandeglang telah ditetapkan beberapa
Kebijaksanaan antara lain adalah Perda No. 1 Tahun 1988
tentang Penetapan Garis Sempadan Pantai yang secara umum
dapat dikemukakan sebagai berikut. (1) Garis sempadan pantai
ditetapkan 20 meter terhitung dari titik air pasang tertinggi; (2)
Jalur pengaman pantai diperuntukan sebagai jalur hijau dan
terbuka untuk umum; (3) Wajib membangun tanggul pengaman
pada tirik air pasang tertinggi; (4) Menyediakan jalur jalan
kearah pantai untuk kepentingan umum antara batas
kepemilikan selebar 3 meter masing-masing 1,5 meter dari tanah
yang berbatasan; (5) Penetapan jarak sempadan berdasarkan
petunjuk teknis lapangan.
Pengembangan fisik tata ruang pada dasarnya tata ruang
yang ada di kawasan pariwisata pantai Carita dibagi menjadi 3
(tiga) sub-kawasan, yaitu. (1) Sub-Kawasan I terdiri dari wisata
budaya dan diversivikasi atraksi wisata buatan; (2) Sub-
Kawasan II diperuntukan sebagai akomodasi wisata terbatas; (3)
Sub-Kawasan III dijadikan sebagai pusat kawasan wisata.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 65
4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Perkembangan
Pariwisata di Tahura Pandeglang Banten dan
sekitarnya
Pariwisata di suatu daerah sebagaimana Kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten merupakan sektor yang
akan terus berkembang, hal ini didasarkan pada semakin
majunya pemikiran manusia dalam menciptakan dan memenuhi
kebutuhan pariwisatanya. Konsep yang terus berkembang ketika
para wisatawan menginginkan pariwisata yang lebih
menempatkan perjalanan gaya hidup, maksudnya adalah para
wisatawan mengutamakan pariwisata yang searah dengan
perkembangan zaman di mana kebutuhan ini bukan saja
memenuhi liburan namun dapat memenuhi kebutuhan material
kehidupannya. Pada sisi lain, sistem pariwisata berbasis kreatif
terus berkembang di Kawasan Taman Hutan Raya Banten,
Pandeglang Banten sebagai pengakomodiran perkembangan
tersebut melalui penciptaan barang-barang yang dicari dan
dibutuhkan oleh para wisatawan. Perkembangan pola-pola
pariwisata ini pada kenyataanya terus menunjukkan nilai-
nilainya sehingga mengubah perspektif para wisatawan dan
pengusaha terhadap potensi pariwisata di Kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten, bahkan wisata kreatif
berbasis ekonomi matrial terus menunjukkan kontribusinya
dalam menarik wisata yang berada di luar Kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten.
Untuk lebih jelasnya berikut ini perkembangan pariwisata
berdasarkan jumlah pengunjung khususnya wisatawan
mancanegara menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
periode tahun 2015. Merujuk pada tabel 4.1 Taman Hutan Raya
Banten yang secara geografis terletak di Kabupaten Pandeglang,
masih relatif kecil dikunjungi oleh wisatawan mancanegara
66 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dibandingkan dengan empat kabupaten kota lainnya seperti
Kabupaten Cilegon, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan
Kota Tangerang Selatan.

Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke


Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2015

Kabupaten/Kota Jumlah Wisatawan Mancanegara


Menurut Kabupaten Kota
Kab Pandeglang 4.139
Kab Lebak 193
Kab Tangerang* 29.163
Kab Serang 0
Kota Tangerang* 27.697
Kota Cilegon* 39.598
Kota Serang 490
Kota Tangerang Selatan* 23.882
Provinsi Banten 125.162
Sumber: BPS, Banten, 2015

Cukup dilematis memang ketika pariwisata ekonomi


kreatif, alam dan sejarah lebih berkembang dari pada kegiatan
wisata budaya. Keseimbangan terwujud ketika pariwisata
sebagai kegiatan ekonomi harus didasarkan juga pada kegiatan-
kegiatan yang menjaga eksistensi budaya Sunda yang sudah
lama melekat terhadap masyarakat Pandeglang. Konsep ideal ini
kian tidak seimbang ketika para wisatawan yang datang kurang
melihat nilai budaya Sunda sebagaimana identitas Kabupaten
Pandeglang yang dapat berguna bagi pelestarian budaya.
Mereka lebih memilih pariwisata yang menawarkan produk-
produk pakaian, makanan, tempat wisata modern sampai dengan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 67
menikmati alam. Berbagai permasalahan tersebut menjelaskan
bahwa perkembangan pariwisata di Kabupaten Pandeglang pada
realitasnya berdampak pada melunturnya pariwisata bernuansa
nilai budaya Sunda, eksistensi budaya Sunda sebagai nilai-nilai
yang harus dilestarikan semakin kurang dihormati pada sisi
essensi sejarah. Hal ini ditandai ketika beberapa pagelaran
kesenian Sunda tidak lagi menyentuh pemahaman pada nilai-
nilai yang terkandung pada budaya Sunda, pagelaran hanya
bersifat formalitas dan seremonial yang bermotif ekonomi.
Tidak heran ketika dalam perkembangan pariwisata di Kota
Pandeglang, nilai-nilai budaya masih terbelenggu pada
paradigma generasi muda yang kurang melihat pada pentingnya
nilai budaya pada suatu pergaulan sosial pariwisata. Kurang
digunakan nilai-nilai budaya Sunda dalam pariwisata
sebagaimana “silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling
mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan
melindungi), merupakan ciri budaya Sunda yang menunjukkan
karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai
konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya. Penggunaan
“silih asih, silih asah, dan silih asuh" adalah wujud interaksi
religius sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Sang
Pencipta dan merespons cinta kasih Sang Pencipta tersebut
melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan
lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang
teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Konsepsi ini pada idealnya dapat dimanfaatkan terhadap
sosialasi nilai budaya dalam pariwisata di Kabupaten
Pandeglang. Bahkan jika menelusuri arti dari nilai-nilai budaya
tersebut, wisatawan tentunya akan tertarik untuk menelusuri
lebih dalam mengenai karakteristik budaya Sunda. Semangat
ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan
68 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dan memunculkan moralitas egaliter (persamaan) dalam
sebagian masyarakat Kabupaten Pandeglang. Dalam tradisi
masyarakat Sunda, manusia tentunya saling menghormati di
mana dalam budaya Sunda tidak ada manusia yang dipandang
superior maupun inferior sebab menentang Kajian Kritis
Dampak… (Bambang S., Sukarno W., dan Harry S.) 455
semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukkan
manusia pada kedudukan superior atau inferior merupakan
praktik dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap
superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan
Tuhan dan jika mendudukkan manusia pada kedudukan yang
inferior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan
Tuhan. Dalam masyarakat Sunda “silih asih, silih asah, dan silih
asuh" manusia didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama
lainnya. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos
musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa
bertindak adil dalam masyarakat Sunda. Etos dan moralitas
inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan
harmonis. Dalam penggunaan pengelaborasi kebudayaan Sunda
kontemporer setidaknya ada empat daya hidup yang perlu
dicermati dalam kebudayaan Sunda yang dapat dimanfaatkan
pada sektor wisata, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan
mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta
kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan
Sunda terutama dalam merespons berbagai tantangan yang
muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan.
Bahkan kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup
manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya,
tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak
unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 69
(Dienaputra, 2003: 6). Permasalah ini tentu mengakibatkan
budaya Sunda pada posisi lemah, di mana ini disebabkan oleh
aspek dari pola masyarakat yang kurang berkontribusi dalam
pelestarian budaya Sunda melalui pariwisata. Apabila
kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda dalam pariwisata
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan
maka hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya.
Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas,
baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah.
Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam
komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi
tampak asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang
memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara
horizontal maupun vertikal, tetapi secara umum kemampuan
kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih
rendah. Akibatnya pariwisata kebudayaan Sunda tidak saja
tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur dan potensi
ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat (Dienaputra, 2003: 7).
Sebagaimana diketahui bahwa tantangan yang dihadapi dalam
pembangunan kebudayaan pada dasarnya masih tingginya sifat
materialisme di masyarakat yang mulai meninggalkan nilai-nilai
luhur budaya Sunda serta menurunnya akhlak moralitas pada
sebagian masyarakat. Di samping itu permasalahan yang
mendesak dalam pembangunan pariwisata kebudayaan di
Kabupaten Pandeglang adalah adanya kecenderungan semakin
menurunnya tingkat pengelolaan aset-aset budaya baik yang
bersifat fisik dan nonfisik. Pengelolaan yang masih lemah
terhadap aset dan pemahaman keragamaan budaya Sunda
terlihat belum adanya kriteria yang jelas dalam pengamanan aset
kebudayaan terutama aset kebudayaan yang berskala daerah.
Ketidakjelasan tersebut tercermin dari kekurangpedulian
70 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
terhadap keberadaan aset budaya dalam rencana pembangunan
pariwisata secara komprehensif di Kabupaten Pandeglang.
Permasalahan lain muncul ketika aspek aktualisasi budaya lokal
dalam kehidupan bermasyarakat pada kenyataannya masih
belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat pada nilai
budaya yang bersumber pada kearifan lokal dan kebudayaan
Sunda dengan masuknya unsur-unsur budaya yang merugikan
yang diserap tanpa filter budaya yang jelas. Adapun ini
menyebabkan masyarakat cenderung tidak lagi menggunakan
nilai-nilai budaya tersebut dalam kehidupan, sehingga tidak ada
lagi pilihan selain terjun dalam kancah pergaulan dan interaksi
kebudayaan lintas bangsa. Kenyataan ini berimplikasi pada
penggunaan nilai-nilai budaya Sunda dari masyarakatnya tidak
begitu terlihat, khususnya pada sisi kontribusinya dalam
menjadikan budaya Sunda sebagai arsitektur nilai dalam
meningkatkan kunjungan pariwisata. Selanjutnya berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa persoalan di
Kabupaten Pandeglang khususnya pada budaya dan pariwisata.
Adapun temuan permasalahan tersebut meliputi;
(1) Kurang terdapatnya sinergitas antara aktor/pelaku pariwisata;
(2) Kurang berkembangnya pengembangan sumber daya sebagai
perilaku aktor pariwisata dalam proses rekayasa produk seni
dan pariwisata;
(3) Masih minimnya kompetensi aktor dalam mengelola budaya
dan pariwisata daerah terhadap pelayanan yang berstandar
nasional, bahkan internasional;
(4) Pengembangan produk budaya dan pariwisata, masih
mengandalkan pada sektor unggulan, di mana ini akan rentan
hilangnya budaya-budaya yang tidak terlalu dikenal oleh
masyarakat.
Gejala pariwisata sesungguhnya tidak terlepas dari
kebudayaan sebuah masyarakat. Dengan demikian dalam
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 71
kunjungan wisata, paling tidak terjadi kontak dan interaksi
kebudayaan wisatawan dengan kebudayaan penduduk setempat.
Ketika seorang berkunjung ke suatu daerah yang lebih baik dari
kebudayaannya, ia memiliki kesempatan mengalami perjalanan
yang dapat meningkatkan kebudayaan miliknya sendiri.
Kalaupun wisatawan berkunjung ke tempat yang lebih jelek,
maka wisatawan mendapatkan kesempatan melihat dan
mengalami hal yang jelek tersebut. Oleh karena itu, citra suatu
pariwisata dalam benak wisatawan akan memiliki pengaruh
yang besar terhadap kunjungan wisatawan di masa yang akan
datang. Konteks kebudayaan dalam kawasan wisata budaya
diuraikan berdasarkan pentingnya pelestarian budaya. Uraian di
bawah ini akan menjelaskan karakteristik atau bentuk
kebudayaan dan usaha pelestarian kebudayaan. Koentjaraningrat
(1987:12) menjelaskan bahwa terdapat karakteristik atau bentuk
kebudayaan merupakan suatu unsur-unsur yang universal.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut sebagai berikut: (1) Sistem
religi dan upacara keagamaan, yaitu sistem kepercayaan dengan
segala bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari; (2)
Sistem dan organisasi kemasyarakatan, yaitu adanya tatanan
masyarakat yang mempunyai pola hubungan tertentu; (3) Sistem
pengetahuan, yaitu hasil daya cipta, karya dan karsa manusia;
(4) Bahasa, yaitu alat komunikasi yang digunakan golongan
masyarakat; (5) Kesenian, yaitu berbagai bentuk produk seni;
(6) Sistem mata pencaharian hidup, yaitu sistem pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat; (7) Sistem teknologi dan
peralatan, yaitu produk ciptaan manusia berdasarkan ilmu.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, pada prinsipnya kebudayaan
dalam konteks pariwisata semestinya memiliki peran yang
cukup setidaknya dalam hal eksistensi (non-ekonomi), namun
prinsip ini tidak terlalu berkembang. Kenyataan yang terjadi
72 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
ketika prinsip ekonomi terus berkembang tanpa pemisahan yang
jelas di antara nilai-nilai budaya Sunda. Secara ideal,
peningkatan pariwisata memiliki beberapa elemen kebudayaan
dan peristiwa kebudayaan, antara lain; (1) Sebagai sarana dan
media promosi kepariwisataan baik yang langsung di dalam
maupun di luar negeri; (2) sebagai atraksi yang mencakup
pertunjukan kesenian, pameran kesenian; dan (3) sebagai objek
wisata dengan aneka ragam corak khas. Kajian Kritis Dampak…
(Bambang S., Sukarno W., dan Harry S. 457) Perencanaan dan
pengembangan kawasan wisata budaya di Kota Bandung
merupakan salah satu bentuk konkret dari upaya pelestarian
budaya dan manfaat bagi pengembangan kepariwisataan baik itu
yang mengandung nilai-nilai pelestarian aset budaya, agar aset
budaya tersebut dapat berfungsi lebih maksimal untuk
peningkatan dan pemahaman masyarakat Kota Bandung akan
pentingnya karya-karya budaya bangsa dalam bentuk
manajemen pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan.
Kawasan wisata budaya pada dasarnya memiliki makna dan arti
sebagaimana penguatan regulasi dan penyusunan fondasi
kebijakan yang mempermudah dan menjamin aktor/pelaku di
bidang kebudayaan dan kepariwisataan bersinergi dan
berkoordinasi. Kawasan wisata budaya merupakan implementasi
yang didasari pada dua kepentingan yaitu mengembangkan
kebudayaan di mana kebudayaan tersebut merupakan bagian
penting dalam menumbuh kembangkan budaya lokal yang
memiliki nilai unique selling point sebagai dasar dalam
memasyarakatkan keunggulan komparatif dari segi budaya dan
kepariwisataan. Pengembangan pariwisata harus merupakan
pengembangan yang berencana secara menyeluruh, sehingga
dapat diperoleh manfaat yang optimal bagi masyarakat
Kabupaten Pandeglang baik dari segi ekonomi, sosial dan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 73
kultural. Perencanaan ini harus mengintegrasikan
pengembangan pariwisata ke dalam suatu program
pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial dari karakteristik
Kabupaten Pandeglang, ini akan berfungsi pada adanya
karakteristik yang hanya dimiliki Kabupaten Pandeglang. Di
samping itu, rencana tersebut harus mampu memberikan
kerangka kerja kebijakan pemerintah Kabupaten Pandeglang
untuk mendorong dan mengendalikan pengembangan pariwisata
berbasis budaya lokal. Peranan pemerintah dalam
mengembangkan pariwisata dalam garis besarnya adalah
menyediakan infrastuktur (tidak hanya dalam bentuk fisik),
memperluas berbagai bentuk fasilitas, kegiatan koordinasi antara
aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan dan
promosi umum ke luar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa
hampir di seluruh daerah Indonesia terdapat potensi pariwisata,
maka yang perlu diperhatikan adalah sarana transportasi,
keadaan infrastruktur dan sarana-sarana pariwisata. Pengelolaan
kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan
upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana
makna dari suatu kawasan merupakan keterpaduan pengelolaan
yang memiliki nilai promosi, yaitu one stop service, esensinya
pada satu tempat dapat diberikan pelayanan dari berbagai jasa
usaha pariwisata dan dapat menikmati berbagai sajian kesenian
dan kawasan wisata budaya, mencerminkan pengelolaan wisata
budaya secara terpadu untuk tercapainya optimalisasi aset
kepariwisataan dan kebudayaan sebagai langkah pemberdayaan
masyarakat lokal yang sejalan dengan perkembangan wisata
yang maju di Kabupaten Pandeglang. Selanjutnya konsep dalam
mempertahankan eksistensi budaya Sunda yaitu dengan
memberikan paket wisatawan yang lebih kompleks, maksudnya
adalah pariwisata budaya yang disajikan harus dikemas
74 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
sedemikian rupa sehingga dapat dikonsumsi oleh para
wisatawan. Konsep tersebut menjelaskan bahwa “Tourism,
especially many forms of 'cultural' and 'environmental' tourism,
is entertainment, striving to satisfy tourists' needs, wants and
demands. To be successful and, therefore, commercially viable,
the tourism product must be manipulated and packaged in such a
way that it can easily consumed by the public” (Bob, 1993: 12).
Pariwisata, terutama banyak bentuk pariwisata budaya dan
lingkungan adalah hiburan, berjuang untuk memenuhi
kebutuhan keinginan dan tuntutan turis. Untuk itu produk
pariwisata harus dimanipulasi dan dikemas sedemikian rupa
sehingga dapat dengan mudah dikonsumsi oleh publik.
Pariwisata dewasa ini bukan hanya sekedar pergerakan
wisatawan dari satu negara ke negara lain tetapi lebih dipandang
pada perpindahan komunitas massa yang mengikutinya dan
dampaknya pada masyarakat lokal setempat. Realitas ini
merupakan salah satu dari banyaknya dampak negatif. Dampak
negatif ini disebabkan karena kurangnya perhatian yang
diberikan pada persyaratan yang diperlukan bagi pariwisata
yang berkesinambungan. Pembangunan pariwisata budaya tanpa
merusak budaya setempat hanya dapat dicapai dengan jika
antara berbagai pihak seperti pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat bekerja bahu membahu untuk mencapai tujuan
bersama dalam pemanfaatan perkembangan pariwisata dalam
mempertahankan eksistensi budaya Sunda di Kabupaten
Pandeglang. Untuk membangun hubungan yang kuat antara
pariwisata dan budaya maka perlindungan harus menjadi cara
hidup atau gaya hidup, hal tersebut dari masyarakat dan
kebudayaan di Kabupaten Pandeglang. Jika hubungan yang kuat
tetap ada di skala lokal dan menyebarkan kebudayaan yang
berorientasi pada negara, kemudian para turis juga didorong
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 75
untuk memasuki garis untuk melihat dan menikmati namun
tidak merusak karena telah mempunyai bekal pengetahuan
tentang nilai-nilai luhurnya. Pada sisi ini pemerintah bersama
masyarakat dalam memprogramkan sesuatu yang konkrit harus
memiliki tujuan yang jelas dalam upaya pelestarian aset budaya,
agar aset tersebut mengandung nilai-nilai positif sebagai sarana
edukatif kultural, pariwisata dan pengembangan kebudayaan
yang dapat berfungsi optimal untuk peningkatan pemahaman
peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Bentuk konkrit
melalui penggunaan teknologi informasi sebagai sarana
pengenalan, pendidikan, serta sarana promosi merupakan
alternatif yang tepat untuk meninggalkan kesan kinerja
manajeman pariwisata yang selama ini tidak seimbang terhadap
penggunaan budaya Sunda. Era globalisasi khususnya dalam
penyebaran informasi di mana jarak antarnegara semakin
menyempit, di mana ini mendeskripsikan arus informasi antar
negara di dunia semakin cepat dan terbuka, maka kenyataan ini
pada prinsipnya akan berdampak terhadap masuknya budaya
dari luar dan mengganggu budaya Sunda yang telah ada. Akar
budaya Sunda yang digali berabad-abad dari bangsa sendiri
yang memiliki nilai-nilai luhur budaya bangsa tentunya perlu
dilestarikan, terutama budaya-budaya lokal yang bersifat
nonbendawi (intangible). Kekhawatiran banyak orang akan
dampak negatif pengembangan pariwisata terhadap eksistensi
kebudayaan dapat dimengerti karena banyak orang beranggapan
bahwa suatu kebudayaan itu akan lestari kalau tidak tersentuh
oleh pengaruh kebudayaan lain. Asumsi itu sama sekali tidak
benar, karena kebudayaan yang terisolir itu tetap akan
mengalami perkembangan walaupun lamban. Pergantian
generasi dan perubahan lingkungan akan merangsang penduduk
untuk mengembangkan kebudayaan sesuai dengan kemampuan
76 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
mereka menangkap dan memahami tantangan yang mereka
hadapi. Dengan demikian, lambat atau cepat setiap kebudayaan
akan mengalami perkembangan. Sedang pengaruh dari luar akan
mempercepat perkembangan kebudayaan dengan melalui proses
akulturasi dan dimungkinkan eksistensi budaya lama akan
bergeser pada eksitensi budaya baru. Dinamika budaya mampu
mengembangkan dirinya sehingga modernitas dan tradisi
menyatu dalam tiap tahap memberi stabilitas yang mantap dan
juga meningkatkan kepercayaan pada diri sendiri serta
membuatnya gairah pada realitasnya tidak sama sekali
menunjukkan eksistensinya. Ini merupakan dampak dari
perkembangan pariwisata yang tidak merujuk pada konsepsi
yang lebih luas, hal yang terjadi ketika pariwisata berkembang
dengan motif dan ekonominya masing-masing. Hal ini akan
berdampak pada kebudayaan yang tidak berjalan bersama. Ini
memperlihatkan bahwa budaya akan terus berkembang sebagai
akibat kemajuan-kemajuan masyarakat itu sendiri, menuju
masyarakat yang modern dengan kehilangan dirinya (budaya
asli). Pengembangan kebudayaan memang dibutuhkan oleh
masyarakat sedangkan pariwisata memberi dukungan terhadap
pengembangan kebudayaan dan mendorong munculnya
kreativitas pada masyarakat Kabupaten Pandeglang. Munculnya
kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan.
Pengembangan kebudayaan melalui penggalian-penggalian
kebudayaan itu sendiri menimbulkan pemahaman dan kesadaran
akan kebudayaan menumbuhkan keyakinan pada kemampuan
diri sendiri dan sadar berbudaya.
Sebagai salah satu destinasi wisata yang terus
berkembang, Kabupaten Pandeglang merupakan daerah yang
sebenarnya memiliki karakteristik pariwisata dalam sisi nilai
budaya Sunda. Pariwisata yang membuat kebudayaan harus
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 77
selalu mengalami pertemuan-pertemuan dengan berbagai
kebudayaan, maka pembinaan kebudayaan lokal harus dilakukan
secara terus menerus. Kesepakatan yang lebih penting, jangan
sampai terdapat gejala budaya asli lokal Sunda diasingkan dari
lingkungan kebudayaannya sendiri. Karena hal ini akan dapat
membawa akibat buruk, seperti misalnya terjadi erosi
kebudayaan yang dipaksa oleh kemiskinan penduduknya. Tiap-
tiap program pembangunan hendaknya selalu berkaitan dengan
potensi dasar yang dimiliki oleh masyarakat lokal, yakni
kebudayaan yang bernapaskan nilai-nilai budaya. Berdasarkan
hasil penelitian dapat diketahui bahwa berkembangnya
pariwisata di Kabupaten Pandeglang dapat meningkatkan nilai-
nilai ekonomi masyarakat, namun di sisi lain menunjukkan
bahwa perkembangan pariwisata di Kabupaten Pandeglang
kurang merujuk pada pemanfaatan budaya-budaya lokal
sebagaimana budaya Sunda, hal ini akan memengaruhi
eksistensi budaya Sunda sebagai sektor andalan Kabupaten
Pandeglang. Pelunturan budaya Sunda dalam pengembangan
dan pemanfaatan potensi pariwisata pada kenyataannya masih
tersendat pada infrastuktur dan ketidakjelasan konsep
perencanaan dan pengembangan.

4.3 Peran Stakeholders di Kawasan Tahura Pandeglang


Banten
Stakeholders dibagi menjadi tiga (3) kelompok (Maryono
et al, 2005) dalam penelitian (Yosevita), antara lain:
a. Stakeholders primer, stakeholders primer merupakan
stakeholders yang terkena dampak secara langsung baik
dampak positif maupun dampak negatif dari suatu rencana
serta mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan
kegiatan tersebut. Stakeholders yang memiliki pengaruh dan
78 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
kepentingan dikatakan sebagai stakeholders primer dan
harus dilibatkan penuh dalam tahapan-tahapan kegiatan.
b. Stakeholders kunci adalah mereka yang memiliki
kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan.
Stakeholders kunci adalah stakeholder’s yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata
Kabupaten Rembang.
c. Stakeholders sekunder atau pendukung Stakeholders
pendukung merupakan stakeholders yang tidak memiliki
kepentingan langsung terhadap suatu rencana tetapi
memiliki kepedulian yang besar terhadap proses
pengembangan. Stakeholders tiga (3) pendukung menjadi
fasilitator dalam proses pengembangan suatu kegiatan dan
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Stakeholders
pendukung meliputi para investor atau pihak swasta, LSM,
dan peneliti. Tahap pertama dalam menganalisis
stakeholders adalah menetapkan “pengaruh” dan
“kepentingan” (Reed et al., 2009; Thompson, 2011;
Gardner et al., 1986): (1) Subyek stakeholders dengan
tingkat kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh
yang rendah; (2) Pemain kunci, stakeholders dengan tingkat
kepentingan dan pengaruh yang tinggi; (3) Pengikut lain
(crowd), stakeholders dengan tingkat kepentingan dan
pengaruh yang rendah.
d. Pendukung (Contest setters). Stakeholders dengan tingkat
kepentingan yang rendah tetapi memiliki pengaruh yang
tinggi. Peran Stakeholders Menurut Nugroho (2014) dalam
penelitian Ali dkk, stakeholders dalam program
pembangunan diklasifikasikan berdasarkan peranannya,
antara lain: (1) Policy creator yaitu stakeholders yang
berperan sebagai pengambil keputusan dan penentu suatu
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 79
kebijakan; (2) Koordinator yaitu stakeholders yang
berperan mengkoordinasikan stakeholders lain yang
terlibat; (3) Fasilitator yaitu stakeholders sebagai fasilitator
yang berperan menfasilitasi dan mencukupi apa yang
dibutuhkan kelompok sasaran; (4) Implementer yaitu
stakeholders pelaksana kebijakan yang di dalamnya
termasuk kelompok sasaran; (5) Akselerator yaitu
stakeholders yang berperan mempercepat dan memberikan
kontribusi agar suatu program dapat berjalan sesuai sasaran
atau bahkan lebih cepat waktu pencapaiannya.
Stakeholders dalam pengembangan Kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten dikelompokan menjadi
dua yaitu: (1) stakeholders primer/kunci dan stakeholders
sekunder. Stakeholders primer meliputi kelompok warga yang
tinggal di kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang
Banten dan masyarakat. Kegiatan pengembangan Kawasan
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten menimbulkan
dampak positif antara lain: (1) Terbukanya lapangan pekerjaan
bagi masyarakat sekitar kawasan. Mayoritas warga membuka
warung makan, pemuda Desa mendapatkan pekerjaan sebagai
petugas parkir, petugas karcis, petugas kebersihan dan
penyewaan wahana peramainan; (2) Adanya interaksi antara
warga dengan wisatawan, sehingga terjadinya pertukaran
informasi dan budaya; (3) Keterlibatan warga dalam kegiatan
kepariwisataan seperti mengikuti sosialisasi yang
diselenggarakan oleh OPD Kabupaten Pandeglang serta
partisipasi dalam kegiatan kelompok sadar wisata. Stakeholders
kunci meliputi Badan Pengelola Pantai Pandeglang yang
merupakan sub unit dari Bumdes dengan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga sebagai unsur
80 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
perangkat daerah yaitu memiliki tugas salah satunya dalam
mengurusi bidang pariwisata. Stakeholders sekunder meliputi
pihak eksternal antara lain Dinas Kesehatan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup,
POLRES, Forum Kerukunan Umat Beragama, komunitas
pemuda, rumah makan Pringsewu dan percetakan Selecta
Grafika. Mereka memiliki kepedulian untuk memajukan dan
mempromosikan kawasan Taman Hutan Raya Banten,
Pandeglang Banten. Identifikasi peran stakeholders merupakan
aspek dinamis dari kedudukan apabila seseorang melakukan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti dia telah
menjalankan suatu peran (Soekamto, 2004). Pengembangan
kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten
dipengaruhi oleh peran stakeholders internal yaitu stakeholders
primer dan kunci yang memiliki peran sebagai pelaksana,
koordinator, implementator, pendamping dan fasilitator.
Sedangkan, stakeholders eksternal mencangkup stakeholders
sekunder atau pendukung yang berperan sebagai fasilitator.
Pemetaan Stakeholders dalam pengembangan kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten memiliki pengaruh dan
kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dilakukannya
pemetaan stakeholders berdasarkan “pengaruh” dan
“kepentingan” dari masing-masing stakeholders yang terlibat.
Warga desa sebagai stakeholders primer dikategorikan sebagai
subject dan crowd. Warga desa dengan tingkat kepentingan
tinggi dengan pengaruh rendah merupakan warga desa yang pro
dengan pengembangan kawasan. Badan Pengelola kawasan
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten selaku
stakeholders kunci yang bertugas dalam pengelolaan dan
pengembangan kawasan memiliki tingkat kepentingan tinggi
dengan pengaruh rendah. Badan Pengelola seharusnya memiliki
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 81
pengaruh yang tinggi dalam kaitan mengatur pelaku usaha.
Akan tetapi, Badan Pengelola Pantai Carita adalah sub unit dari
Bumdes dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, sehingga Badan Pengelola tidak
memiliki kekuasaan secara tinggi dalam mengatur. Badan
Pengelola hanya melakukan tugasnya dengan berpedoman pada
kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Kabupaten
Pandeglang. Dinbudparpora dan Bumdes memiliki kepentingan
dan kekuasaan yang tinggi (key players) dalam pembuatan
peraturan terkait dengan pengembangan objek. Pemerintah
Kabupaten Pandeglang memiliki pengaruh yang tinggi dengan
tingkat kepedulian rendah (contest setter), artinya pemerintah
memiliki kekuasaan dalam pembuatan peraturan tentang
pengelolaan objek wisata. Akan tetapi, pemerintahan Kabupaten
hanya berpedoman kepada peraturan daerah. Warga desa dengan
tingkat kepedulian dan pengaruh yang rendah adalah mereka
yang masih mempertahankan lahannya untuk pengembangan
objek wisata. Sedangkan, Dinas kesehatan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Badan Lingkungan Hidup, aparat keamanan, Bank
dan LSM merupakan stakeholders sekunder masuk dalam
kategori crowd. Akan tetapi, tupoksi dan program lembaga
tersebut tidak berkaitan langsung dengan program dan kegiatan
dalam pengembangan objek.
82 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
BAB V
MODEL PENGEMBANGAN
PARIWISATA BERKELANJUTAN
BERBASIS BUDAYA DAN PENDEKATAN
MASYARAKAT

Pada bab terakhir ini menitik beratkan pada fakta empiris


pengembangan dan pengelolaan pariwisata berkelanjutan
berbasis budaya dan pendekatan masyarakat. Realitas lapangan
yang ada dipotret difokuskan pada aspek budaya masyarakat
lokal setempat. Lokasi yang dijadikan objek penulisan buku ini
adalah masyarakat yang tinggal menetap dan memanfaatkan
hutan sebagai sumber kehidupan di sekitar Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang Banten.
Poin-poin yang dalam bab terakhir ini dikluster ke dalam
tiga poin. Gambaran umum mengenai Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang menjadi poin pertama. Dilanjutkan dengan
potret masyarakat lokal yang tinggal dibeberapa desa yang
berdekatan dengan Taman Hutan Raya Banten. Ada empat desa,
yaitu desa Sukanegara, desa Kawoyang, desa Cinoyang, dan
desa Sukarame. Terakhir menampilkan fakta empiris
pengembangan dan pengelolaan pariwisata berkelanjutan di
Desa Sukarame.

5.1 Profil Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang


Letak geografis Taman Hutan Raya (Tahura) Banten ini
berada di desa Sukarame, Carita Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 83

Gambar 5.1 Peta Lokasi TAHURA Banten


Sumber: https://www.google.co.id

Taman Hutan Raya Banten (Tahura) dengan cakupan luas


±1.595, 9 Ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: SK.221/Menhut-II/2012 tertanggal
4 Mei 2012. SK ini menyinggung mengenai perubahan fungsi
antar fungsi pokok dari Kawasan Hutan Produksi Terbatas
seluas ±833 Ha. Selain sebagai hutan produksi tetap
dipertahankan ±662 hektar. Perubahan fungsi dalam fungsi
pokok dari Taman Wisata Alam Carita seluas ±95 hektar beralih
Kawasan Hutan Konservasi yang berfungsi segabai Taman
Hutan Rata yang memiliki luas kawasan sebesar ± 1.950 hektar.
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten ini
dinaungi oleh hutan Gunung Aseupan Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten. Penetapan kawasan Hutan Konservasi Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten ini seluas 1.595,90
hektar didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan Republik
84 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Indonesia Nomor SK.3108/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal
25 April 2014.
Meningkatkan fungsi hutan sebagai bagian dari kawasan
pelestarian alam menjadi tujuan utama penetapan kawasan ini.
Selain fungsi penyeimbang lingkungan juga dapat memberikan
nilai tambah bagi masyarakat sekitar. Penekanannya pada nilai
tambah ekonomi seperti aktivitas wisata alam dan pemanfaatan
beberapa area sebagai lahan perkebunan, serta pendidikan bagi
mahasiswa.
Pengelolaaan kawasan konservasi Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang Banten menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 107/Kpts-II/2003
tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Pengelolaan
Taman Hutan Raya oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinyatakan bahwa taman
hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli
dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.
Pembangunan dan pengembangan antara lingkungan alami
dan lingkungan binaan/buatan disesuaikan pada zonasi dan
fungsi hutan tersebut. Secara global tujuan pemanfaatan Tahura
diklasifikasikan menjadi lima poin, yaitu (1) penelitian dan
pengembangan (kegiatan penelitian meliputi penelitian dasar
dan penelitian untuk menunjang pengelolaan kawasan Taman
Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten), (2) ilmu pengetahuan,
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 85
(3) pendidikan, (4) kegiatan penunjang budidaya, (5) pariwisata
alam dan rekreasi, (6) pelestarian budaya.
Wujud keseriusan pemerintah daerah (Pemda) dalam
pengelolaan kawasan konservasi ini dibuktikan dengan adanya
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang Banten Periode Tahun 2016 -2025. Hal ini
dilakukan untuk menjamin bahwa apa yang sudah digariskan
harus dijalankan oleh semua pihak yang terlibat.

5.1.1 Sejarah Kawasan


Kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten
termasuk dalam kawasan hutan Gunung Aseupan dan
merupakan hasil perubahan fungsi kawasan hutan dari fungsi
hutan produksi (kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian
Carita) dan kawasan Taman Wisata Alam Carita. 2.1. Taman
Wisata Alam Komplek Gunung Aseupan dikukuhkan sebagai
kawasan hutan pada bulan Agustus 1915 oleh Gubernur Hindia
Belanda yang didalamnya terdapat Taman Wisata Alam Carita.
Pada Tahun 1938, kawasan hutan Banten ditunjuk sebagai
Recreatie bos seluas 94,50 Ha yang di dalamnya terdapat hutan
alam, hutan tanaman serta tanah kosong.
Pada Tahun 1939, dibangun pesanggrahan dengan
bangunan semi permanen seluas 224 m2. Pada Tahun 1955
sebagian hutan rekreasi seluas 50 Ha dipinjam pakaikan kepada
Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor untuk kebun percobaan
tanaman kayu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 440/Kpts/Um/7/1978 tanggal 15 Juli 1978 tentang
penunjukan sebagian komplek Gunung Aseupan seluas ± 95 Ha
yang terletak di Daerah Tingkat II Pandeglang, Daerah Tingkat I
Jawa Barat sebagai Taman Wisata. Taman Wisata Alam tersebut
selanjutnya diberi nama Taman Wisata Alam Carita. Sebagai
86 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Taman Wisata Alam yang mempunyai fungsi sebagai kawasan
konservasi yang mempunyai fungsi perlindungan, pengawetan
dan pemanfaatan, maka berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal PHKA Nomor 42/Kpts/DJ-VI/1995 tanggal 27 Maret
1995 telah ditunjuk blok pemanfaatan Taman Wisata Alam
Carita seluas ± 30 (tiga puluh) Ha yang terletak di Kabupaten
Daerah Tingkat II Pandeglang, Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat.
Informasi lapangan bahwa pengeloaan Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang Banten ini dikluster menjadi dua, yaitu (1)
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan
Penelitian Carita, (2) Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan
Hutan. Paragraf selanjutkan akan memberikan penjabaran
detainya sebagai berikut.
Pertama, KHDTK Hutan Penelitian Carita ditetapkan
statusnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 290/Kpts-II/2003 tanggal 26 Agustus 2003 dan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 291/KptsII/2003 tanggal 26
Agustus 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan
tujuan khusus seluas ± 3.000 Ha yang terletak di Kecamatan
Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai Hutan
Penelitian Carita. Sebelum ditunjuk sebagai KHDTK Hutan
Penelitian Carita, Pada Tahun 1937 P3HKA telah membangun
kawasan tersebut sebagai hutan penelitian untuk tempat
penelitian kayu hutan dengan jenis Dipterokarpa. Selanjutnya
pada Tahun 1955, Hutan penelitian resmi dibangun dengan
wilayah seluas ± 10 Ha. Pada tahun 1958 telah dilakukan
penambahan tanaman seluas ± 40 Ha (Banten II) yang terletak
di wilayah RPH Banten, BKPH Pandeglang, KPH Banten.
Adapun kronologis penataan dan pengelolaan di kawasan hutan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 87
yang menjadi Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten
adalah sebagai berikut:

Tabel 5.1 Kronologis Pengembangan Kawasan

No Tahun Deskripsi Perkembangan


1 1915 Kompleks hutan Gunung Aseupan ditunjuk
sebagai kawasan hutanoleh Gubernur Hindia-
Belanda.
2 1938 Kawasan Banten dijadikan sebagai Recreatie bos
(hutan wisata) oleh Gubernur Hindia-Belanda.
3 1955 Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor
menggunakannya sebagai lokasi riset. Dilakukan
pembangunan koleksi pohon famili
Dipterocarpaceae
4 1978 Kawasan hutan pantai Carita ditunjuk sebagai
Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor
440/Kpts/Um/7/1978 tanggal 1 Juli 1978, seluas
95 ha.
5 1990 Pemberian Hak Pengelolaan pariwisata Alam
selama 20 (dua puluh) tahun pada 9 lokasi TWA
di Pulau Jawa kepada Perum Perhutani
berdasarkan Keputusan Menteri kehutanan No.
284/Menhut-II/1990 tanggal 4 Juni 1990 (salah
satunya TWA Carita).
6 1993 Penunjukan beberapa lokasi di kawasan hutan
sebagai kebun percobaan dan pos penelitian pada
kawasan yang dikelola Perum Perhutani melalui
SK Menteri Kehutanan No. 569/Kpts-II/1993
tanggal 29 September 1993. Salah satu lokasi
88 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
yang ditunjuk adalah Banten, tepatnya di RPH
Carita BKPH Pandeglang.
7 1995 Penetapan blok pengelolaan TWA Carita melalui
SK Dirjen PHPA No.42/Kpts/DJVI/1995 seluas
30 Ha menjadi Blok Pemanfaatan dan sisanya
merupakan blok perlindungan.
8 1999 Kerjasama riset antara Perum Perhutani,
Universitas Gadjah Mada dan ITTO dalam
pengembangan tanaman Meranti
9 2003 Penunjukan Kawasan Hutan dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) seluas ±3.000 ha berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 290/Kpts-
II/2003.
10 2006 Penataan batas KHDTK Hutan Penelitian Carita
oleh BPKH XI Yogyakarta.
11 2011 Penandaan batas IPPA.
Sumber: https://dispar.bantenprov.go.id

Kedua, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan


dibagi dalam dua periode. Periode 1, Pengelolaan Perum
Perhutani Program PHBM yang diimplementasikan oleh Perum
Perhutani pada wilayah RPH Carita, BKPH Pandeglang, KPH
Banten adalah seluas 54,7%. Program PHBM pada RPH Carita
ini dilatarbelakangi adanya tingkat ketergantungan masyarakat
sekitar hutan yang tinggi terhadap pemanfaatan sumberdaya
hutan. program PHBM, sehingga masyarakat membentuk
Kelompok Tani Hutan (KTH). Kegiatan PHBM pada areal
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten berlangsung di
6 (enam) desa, yaitu Desa Sukarame, Desa Jaya Mekar, Desa
Cinoyong, Desa Kawoyang, Desa Sindang Laut dan Desa
Sukanegara. Adapun kegiatan PHBM pada umumnya meliputi
budidaya tanaman jagung, kacang tanah, cengkeh, melinjo, dan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 89
tanaman hortikultura seperti petai, mengkudu, pepaya, singkong,
pisang dan durian. Kawasan hutan yang dikelola oleh Perum
Perhutani sebelum ditunjuk menjadi KHDTK Hutan Penelitian
Carita tahun 2003 di beberapa tempat sudah menjadi lokasi
penelitian pengembangan tanaman Meranti oleh ITTO dan
kerjasama Fakultas Kehutanan UGM - ITTO - Perum Perhutani.
Kegiatan pengembangan tanaman Meranti tersebut dilakukan
dengan penanaman berbagai jenis prioritas melalui program
pemulian, antara lain: Konservasi Ex - Situ, Arboretum,
Konservasi Psudo insitu, uji keturunan (progeny), uji tanaman
dan kebun pangkas. Kegiatan penelitian tersebut dilakukan
selama periode tahun 1999, 2001, dan 2002.
Periode 2, pengelolaan badan litbang kehutanan dengan
adanya penunjukan kawasan hutan produksi terbatas dan hutan
produksi tetap seluas ± 3.000 ha menjadi kawasan hutan dengan
tujuan khusus (KHDTK) sebagai hutan penelitian carita melalui
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 290/Kpts-II/2003 tanggal
26 Agustus 2003 dan penggunaan KHDTK di kawasan hutan
produksi terbatas dan hutan produksi tetap seluas ±3.000 ha
sebagai hutan penelitian Carita yang menetapkan bahwa
pengelolaan KHDTK hutan penelitian Carita diserahkan kepada
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Kegiatan penelitian di Hutan Penelitian Carita sebelum
ditunjuk menjadi KHDTK sebenarnya telah dimulai sejak tahun
1955 seluas 10 ha yang dilanjutkan pada tahun 1958 seluas 40
ha oleh Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor. Kegiatan di era
tahun 1955 itulah yang menjadi embrio kegiatan penelitian
selanjutnya di wilayah Carita oleh Lembaga Perguruan Tinggi
atau Lembaga Penelitian lainnya.
Berbagai kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan pada KHDTK
90 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Hutan Penelitian Carita meliputi evaluasi hasil introduksi jenis
pohon hutan, potensi penyerapan karbon oleh tanaman hutan,
model pertumbuhan beberapa jenis pohon hutan, konservasi dan
pembibitan jenis-jenis, pembungaan dan pembuahan jenis pohon
hutan, hama penyakit beberapa jenis pohon hutan, kajian dan
penerapan model agroforestry, aneka usaha kehutanan,
budidaya dan rekayasa produksi Gaharu.

5.1.2 Potensi Wisata Alam


a. Air terjun Curug Gendang
Air Terjun Curug Gendang berada kawasan Taman Hutan
Raya Banten, Pandeglang Banten dengan posisi koordinat
105° 51' 34'' BT dan 6° 16' 38,9'' LS pada ketinggian 225 m
dpl dan berasal dari hulu mata air Gunung Aseupan. Dinamai
Curug Gendang karena suara air terjunnya mirip dengan
suara gendang atau tambur. Lokasinya terletak sekitar 4,3 km
dari pintu gerbang. Aksesibilitas untuk menuju Air Terjun
Curug Gendang dapat menggunakan kendaraan roda empat
sampai akhir jalan dan dilanjutkan berjalan kaki menelusuri
jalan setapak yang berliku-liku berupa jalan tanah sebagian
berbatu sekitar 2 km. Daya tarik Air Terjun Curug Gendang
adalah merupakan perpaduan dari hutan lebat, jalan setapak
yang berliku dan kadang naik turun, serta tebing dan jurang
disisi kiri-kanannya, dan air yang jernih. Air Terjun Curug
Gendang mempunyai ketinggian ±7 m dengan diameter
permukaan ± 5,5 m dan kedalaman ± 13 m berbentuk
cekungan dalam.
b. Air terjun Curug Putri
Air Terjun Curug Puteri berada pada posisi koordinat 105°
51' 48,4'' BT dan 6° 16' 36,9'' LS pada ketinggian 237,5 meter
dpl. Lokasinya terletak sekitar 500 meter ke arah hulu Air
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 91
Terjun Curug Gendang. Aksesibilitas untuk menuju Air
Terjun Curug Puteri belum tersedia jalan setapak sehingga
dari Air Terjun Curug Gendang harus ditempuh melewati
Sungai Curug Gendang dengan kondisi berbatu dan licin.
Keindahan Air Terjun Curug Puteri diwarnai dengan
keberadaan batuan cadas yang indah di kanan-kiri sungai
dengan ketinggian sekitar 8-10 meter dan aliran air dari atas
seperti air terjun. Kondisi aliran air tersebut menjadi semakin
besar apabila musim hujan sehingga menambah daya tarik
keindahan alam disamping Air Terjun Puteri. Air Terjun
Curug Puteri mempunyai ketinggian ± 7.5 m dengan
kedalaman cekungan (kolam) sekitar 2 meter. Keindahan Air
Terjun Curug Puteri juga dilengkapi dengan panorama goa.
c. Cadar Ngampar
Cadas ngampar merupakan areal bebatuan yang datar di
mana terletak di pinggiran sungai sehingga mempunyai
eksotisme visual yang khas antara bebatuan dan gemercik air
sungai yang memberikan ketenangan dan kesejukan. Lokasi
Cadas ngampar terletak disebelah selatan Curug Gendang
yang merupakan jalur treking ke arah curug. Topografi relatif
datar hingga bergelombang dan didominasi oleh hutan hujan
tropis dan tanaman masyarakat dengan kerapatan vegetasi
jarang hingga sedang. Di wilayah ini dapat dijumpai satwa
antara lain babi hutan, monyet ekor panjang, lutung, ular
python dan beberapa jenis burung.
d. Bendungan
Bendungan ini merupakan bendungan yang diperuntukan
untuk pengairan masyarakat. Lokasi ini sangat mudah diakses
dari perkampunga sekitarnya, sehingga mempunyai
aksesibilitas yang tinggi dan berpotensi untuk wisata tirta.
Lokasi ini berkonfigurasi topografi bergelombang ringan
92 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dengan vegetasi dominan tanaman multipurpose tree species
dan tanaman bambu dengan pemandangan yang indah.
e. Camping Ground
Camping ground yang dapat dikembangkan ada empat lokasi
yaitu: Camping ground (1) terletak dekat dengan curug
gendang dengan konfigurasi topografi bergelombang ringan
dengan vegetasi dominan lebat dan mempunyai
pemandangan yang indah; Camping ground (2) topografi
bergelombang ringan, dengan vegetasi dominan Mahoni dan
Meranti, luas areal terbuka 0.1 - 0.5 Ha dan dekat
pesanggrahan perum perhutani. Camping ground (3)
topografi bergelombang ringan, dengan vegetasi dominan
Mahoni dan Meranti dengan luas 0,1 Ha dan camping ground
(4) topografi bergelombang ringan, dengan vegetasi dominan
Mahoni dan Meranti, luas areal terbuka 0.125 - 0.15 Ha.

f. Gunung Tompo
Topografi wilayah tersebut bervariasi mulai landai hingga
bergelombang. Namun sebagian besar wilayahnya
bergelombang dan curam dengan puncak tertinggi Gunung
Tompo (500 dpl). Di puncak Gunung Tompo ini terdapat
makam yang dianggap keramat karena merupakan makam
kyai (penyebar agama Islam). Vegetasi didominasi oleh hutan
hujan tropis seperti mahoni, meranti dan beberapa tanaman
masyarakat seperti melinjo, kelapa, kopi, nangka, jengkol,
kopi dll. Di wilayah ini banyak dijumpai beberapa lahan
garapan masyarakat di dalam kawasan karena letaknya yang
berbatasan langsung dengan masyarakat desa Sukanegara. Di
wilayah ini pun banyak dijumpai area yang memiliki
panorama alam yang indah namun lokasinya curam seperti
kawasan Kalimorot
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 93
g. Potensi Pasar Wisata
Dilihat dari sebaran wisatawan yang berkunjung ke Banten
menunjukan bahwa, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang mempunyai angka kunjungan wisatawan
nusantara yang cukup tinggi yang tujuan utamanya adalah
kawasan wisata Carita, Tanjung Lesung dan Anyer dibanding
dengan kabupaten dan kota lainnya di Banten. Sedangkan
untuk wisatawan mancanegara Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Tangerang mempunyai angka yang cukup tinggi,
hal ini menunjukan minat wisatawan nusantara dan
mancanegara nampaknya mempunyai pola gerakan yang
agak berbeda.

5.2 Sosial Ekonomi dan Budaya


Kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten
dikelilingi oleh empat desa yaitu Desa Sukarame, Desa
Sukanagara, Desa Kawoyang dan Desa Cinoyong yang tercakup
dalam Kecamatan Carita. Dari keempat desa yang mengelilingi
kawasan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten, Desa
Kawoyang memiliki wilayah paling luas dengan luas 6,07 ha.
Sedangkan Desa Sukarame merupakan desa terkecil dengan luas
wilayah 1,76 Ha. Berdasarkan data dari Kecamatan Carita
Dalam Angka (BPS, 2015). Kondisi sosial ekonomi dan budaya
di keempat desa tersebut adalah sebagai berikut:

5.2.1 Demografi
Sebaran penduduk per desa di Kecamatan Carita relatif
tidak merata. Desa Kawoyang merupakan desa dengan
penduduk terjarang dengan rata-rata sebanyak 303 jiwa/km2.
Sedangkan Desa Sukarame merupakan desa dengan penduduk
terpadat dengan rata-rata 3051 jiwa/km2.
94 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Desa Sukarame dihuni oleh 1276 kepala keluarga dengan
total penduduk 5370 orang yang terdiri atas 2684 orang laki-laki
dan 2686 orang perempuan. Desa Sukanagara dihuni oleh 1085
kepala keluarga dengan total penduduk 4256 orang yang terdiri
atas 2211 orang laki-laki dan 2045 orang perempuan.
Desa Kawoyang dihuni 513 kepala keluarga dengan total
penduduk 1841 orang yang terdiri atas 967 orang laki-laki dan
874 orang perempuan. Sedangkan Desa Cinoyong dihuni oleh
627 kepala keluarga dengan total penduduk 2110 orang yang
terdiri atas 1103 orang laki-laki dan 1007 orang perempuan.

5.2.2 Mata Pencaharian


Mata pecaharian penduduk Kecamatan Carita didominasi
oleh petani. Begitu pula dengan penduduk desa lainnya. Desa
Sukarame, Desa Sukanagara, Desa Kawoyang dan Desa
Cinoyong yang mayoritas penduduknya adalah petani baik
petani di sawah maupun kebun/ladang. Tanaman yang biasa
ditanam oleh masyarakat adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi
jalar, petai, durian dan coklat. Ada pula sebagian kecil
masyarakat di Desa Sukarame dan Sukanagara yang
bermatapencaharian sebagai nelayan (BPS, 2015).

5.2.3 Pendidikan
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Sukarame, Desa
Sukanagara, Desa Kawoyang dan Desa Cinoyong mulai dari
tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD)
sederajat, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
sederajat. Di Desa Sukarame terdapat 3 SD dan 1 SLTP. Di
Desa Sukanagara terdapat 1 SD dan 1 SLTP. Di Desa
Kawoyang hanya terdapat 1 SD. Sedangkan di Desa Cinoyong
terdapat 1 SD dan 1 SLTP.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 95

5.2.4 Keagamaan
Sebagian besar masyarakat di Desa Sukarame, Desa
Sukanagara, Desa Kawoyang dan Desa Cinoyong menganut
agama islam yaitu sebesar 99,97%. Hanya terdapat tiga orang
masyarakat Desa Sukarame yang beragama katolik. Di keempat
desa tersebut terdapat total 54 sarana peribadatan yang terdiri
atas 22 mesjid dan 32 mushola/langgar. Sedangkan sarana
peribadatan untuk non muslim tidak ada.
5.2.5 Kesehatan
Di Desa Sukarame, Desa Sukanagara dan Desa Cinoyong
telah tersedia sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu dan
Puskesmas Keliling. Puskesmas Pembantu terletak di Desa
Sukanagara dan Cinoyong. Puskesmas Keliling terdapat di Desa
Sukarame dan Desa Sukanagara. Sedangkan di Desa Kawoyang
belum terdapat sarana kesehatan.
Tenaga kesehatan yang berada di keempat desa tersebut
terdiri atas empat orang bidan dan dua orang perawat. Untuk
mendapat perawatan dokter, biasanya masyarakat harus menuju
puskesmas di kecamatan Carita. Jenis-jenis penyakit yang
biasanya diderita masyarakat di keempat desa tersebut adalah
influenza, penyakit kulit, ISPA, penyakit tukak/lambung,
Diare/disentri dan TBC.

5.3 Tujuan Pengelolaan Kawasan


Tujuan Pengelolaan Jangka Panjang Taman Hutan Raya
Banten, Pandeglang Banten periode tahun 2016-2025 adalah
agar pengelolaan Tahura dapat lebih terarah, sistematis sesuai
dengan tingkat kebutuhan pengelolaan, perkembangan wilayah
dan dinamika masyarakat, terintegrasi dan berkesinambungan
sehingga kelestarian kawasan beserta ekosistem di dalamnya
96 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
dapat terjamin keutuhannya dalam jangka panjang dan adanya
manfaat ekonomi yang dapat digunakan bagi pembangunan
wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Tahura merupakan salah satu bentuk hutan konservasi
dimana dalam pengelolaan hutan konservasi memiliki tujuan
untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
sesuai tujuan penunjukan hutan konservasi bersangkutan, untuk
dapat memenuhi fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan dan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal
sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, wisata
alam dan peran serta masyarakat.Terdapat empat tujuan penting
dalam pengeloaan Tahura, yaitu: (1) Terjaminnya kelestarian
kawasan taman hutan raya; (2) Terbinanya koleksi tumbuhan
dan satwa asli daerah; (3) Optimalnya manfaat taman hutan raya
untuk wisata alam, rekreasi, penelitian, pendidikan, ilmu
pengetahuan, penunjang budidaya, budaya, bagi kesejahteraan
masyarakat; (4) Terbentuknya taman provinsi yang menjadi
kebanggaan masyarakat Provinsi Banten.
Pembangunan Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang
Banten dilakukan sebagai suatu upaya untuk tercapainya fungsi
kawasan sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh
pemerintah daerah. Beberapa hal yang menjadi sasaran
pengelolaan dan pembangunan tersebut adalah: (1) Sebagai
kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli, yang
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi; (2) Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 97
kehidupan (melestarikan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial
budaya); (3) Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta keunikan alam; (4)
Pendayagunaan potensi Taman Hutan Raya untuk kegiatan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa, wisata alam, penelitian ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan penyediaan plasma nutfah untuk
budidaya, diupayakan tidak mengurangi luas dan tidak merubah
fungsi kawasan; (5) Sebagai taman kebanggaan provinsi, maka
dalam pengembangan taman hutan raya diutamakan
menampilkan koleksi jenis tumbuhan dan satwa dari Provinsi
Banten; (6) Peningkatan pengusahaan pariwisata alam adalah
untuk meningkatkan pemanfaatan gejala keunikan dan
keindahan alam yang terdapat dalam blok pemanfaatan Taman
Hutan Raya, berlandaskan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Jenis-jenis usaha yang dapat dilakukan adalah: 1)
Akomodasi seperti pondok wisata, bumi perkemahan, karavan,
penginapan remaja; 2) Makanan dan minuman; 3) Sarana wisata
tirta; 4) Angkutan wisata; dan 5) Cinderamata dan sarana
budaya Pelaksanaan usaha sarana pariwisata tersebut harus
memenuhi beberapa persyaratan yaitu: a) luas kawasan yang
dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana
pariwisata alam maksimum 10% dari luas blokTaman Hutan
Raya; b) bentuk bangunan bergaya arsitektur budaya setempat
dan; c) tidak mengubah bentang alam.
Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan oleh
koperasi, Badan Usaha Milik Negara, perusahaan swasta dan
perorangan. Izin pengusahaan diberikan oleh Gubernur setelah
mendapat pertimbangan dari Kepala SKPD yang membidangi
pariwisata, serta Kepala UPTD yang menangani Tahura.
98 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
Pengusahaan tersebut diberikan untuk jangka waktu paling lama
55 tahun sesuai dengan jenis usahanya.

5.4 Blok Pengelolaan Tahura


Penataan blok kawasan Tahura adalah suatu proses
pengaturan atau perancangan ruang menjadi blok-blok dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Tahapan penataan blok
meliputi tahap persiapan, perancangan, konsultasi dan
komunikasi publik, penilaian, pengesahan serta pemberian batas
di lapangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolan
Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
dalam pengelolaan kawasan taman hutan raya dilakukan
pembagian blok pengelolaan yang terdiri dari (a) blok
perlindungan, (b) blok pemanfaatan, (c) blok koleksi tumbuhan
dan atau satwa, dan (d) Blok Tradisional/Rehabilitasi yang
disajikan pada Gambar 5.2. Untuk mendapatkan pembagian blok
Tahura secara optimal, maka prinsip dasar yang digunakan
dalam melakukan analisis adalah sebagai berikut: (a)
Potensi sumber daya alam yang dimiliki dan tata guna
lahan. Sumber daya alam memiliki karakteristik dan toleransi
tertentu untuk dapat didayagunakan dan memiliki kemampuan
untuk pulih kembali setelah mendapat gangguan terhadap
ekosistemnya. Akan tetapi bila gangguan terlampau berat, maka
proses pemulihannya berjalan dalam periode waktu yang sangat
lama; (b) Sejarah/kronologis pengelolaan kawasan pertimbangan
terhadap izin pemanfaatan di beberapa bagian kawasan pada
instansi/lembaga dilakukan karena pemanfaatan tersebut masih
sejalan dengan fungsi pengelolaan kawasan konservasi; (c)
Permasalahan atau kendala kawasan. Pertimbangan ini
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 99
diperlukan karena Tahura akan dimanfaatkan untuk kunjungan
dalam rangka pendidikan, penelitian dan rekreasi maka aspek
keamanan dan keselamatan pengunjung menjadi hal yang
memerlukan perhatian khusus, terutama terhindar dari bencana
alam; (d) Kedudukan dan fungsi kawasan dalam aspek
pewilayahan dan kebijakan daerah (RTRW); (e) Hubungan antar
kegiatan dan kelompok kegiatan untuk perlindungan dan
pemanfaatan.

Gambar 5.2 Peta Pengelolaan Kawasan Tahura Banten


Sumber: Dispar.bantenprov.go.id

Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi


Sumber Daya Alam dan Ekosstem nomor SK 46/KSDAE/SET/
KSDAE.2/2/2016 tentang Blok Pengelolaan Taman Hutan Raya
Banten kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pembagian
kawasan ke dalam blok-blok tersebut, terdiri dari:
100 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
5.4.1 Blok Perlindungan
Blok perlindungan adalah bagian kawasan taman hutan
raya yang harus dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya
perubahan oleh aktivitas manusia. Fungsi dari blok perlindungan
ini merupakan area yang diperuntukan bagi perlindungan
terhadap ekosistem alami dan kelestarian fungsi DAS yang
potensial bagi program pemanfaatan wisata, di antaranya adalah
aliran Sungai Citajur, serta perlindungan ekosistem lainnya.
Dalam blok perlindungan ini dilakukan program perlindungan
dan monitoring jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari berbagai
pengaruh kegiatan. Dengan demikian pengembangan di blok ini
terfokus pada kegiatan-kegiatan pengelolaan dan penelitian serta
wisata terbatas. Areal yang dijadikan blok perlindungan seluas
485.7 Ha Blok perlindungan meliputi sebagian petak 74,
sebagian petak 73, petak 8, petak 10 , petak 13 , petak 12 serta
sebagian petak 75. Lokasi tersebut dijadikan sebagai blok
perlindungan dikarenakan masih relatif utuhnya vegetasi dan
keadaan tofografi yang berbukit. Saat ini vegetasi yang ada di
blok perlindungan disajikan dalam Tabel 5.2 berikut.

Tabel 5.2 Vegetasi pada Blok Perlindungan


No No. Luas Wilayah Administrasi Keterangan
Petak (Ha)
Desa Kecamatan
1 8 70.3 Sukanegara Carita Rimba
Campur
2 10 114.0 Kawoyang Carita Rimba
Campur
3 13 80.9 Cinoyang Carita Rimba
Campur
4 12 66.6 Cinoyang Carita Rimba
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 101
Campur
5 75c 37.4 Sukarame Carita Mahoni
Sumber: Dispar.bantenprov.go.id

5.4.2 Blok Pemanfaatan


Blok Pemanfaatan merupakan area yang diperuntukan
bagi kegiatan pendidikan, penelitian dan pariwisata alam
termasuk pembangunan sarana dan prasarana wisata serta
kegiatan penangkaran tumbuhan dan satwa liar dan area display
koleksi satwa liar sesuai tujuan pengelolaan kawasan. Areal
yang dijadikan blok pemanfaatan seluas 485.7 Ha yang terbagi
menjadi dua yaitu blok pemanfaatan A seluas 377.5 Ha yakni
petan 5, petak 3, petak 1 dan petak 2. dan blok pemanfaatan B
seluas 101,3 ha yakni sebagian petak 73, petak 75 sebagian
petak 4, sebagian petak 71, petak 11. Kedua blok ini dipilih
menjadi blok pemanfaatan karena kondisi tofografinya yang
relatif datar dan mempunyai potensi yang dapat dikembangkan
menjadi tempat wisata antara lain curug gendang, curug putri
serta mempunyai akses yang mudah dijangkau. Vegetasi yang
terdapat di blok pemanfaatan ini disajikan dalam Tabel 5.3
berikut.
Tabel 5.3 Vegetasi pada Blok Pemanfaatan
No No. Luas Wilayah Administrasi Keterangan
Petak (Ha)
Desa Kecamatan
Blok Pemanfaatan A
1 5 101.77 Sukanegara Carita Rimba
Campur
2 3 65.2 Sukanegara Carita Rimba
Campur
102 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
3 1 120.3 Sukanegara Carita Rimba
Campur
4 2 90.2 Sukanegara Carita Rimba
Campur
Jumlah 377.5
Blok A
No No. Luas Wilayah Administrasi Keterangan
Petak (Ha)
Desa Kecamatan
Blok Pemanfaatan B
1 73 2.0 Sukarame Carita Rimba
Campur
2 75a 10.94 Sukarame Carita Rimba
Campur
3 75b 26.22 Sukarame Carita Rimba
Campur
4 75c 14.2 Sukarame Carita Konservasi
ex-situ S
horea
Leprosula th.
2002 luas 10
ha dan
persemaian/s
tek pucuk
Shorea 0,5 ha,
dan tanaman
MPTS
5 4 27.7 Sukarame Carita Rimba
Campur
6 71 20.2 Sukarame Carita Rimba
Campur
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 103
Jumlah 101.3
Blok B
Jumlah 478.8
Sumber: Dispar.bantenprov.go.id

5.4.3 Blok Koleksi Tumbuhan dan atau Satwa


Blok koleksi merupakan area yang diperuntukkan bagi
koleksi berbagai jenis tumbuhan dan atau satwa, terutama jenis-
jenis asli setempat. Untuk kepentingan pendidikan dan
penelitian, maka pada setiap jenis/kelompok jenis tumbuhan dan
atau satwa koleksi dibuat media interpretasi yang menerangkan
jenis, sifat dan fungsi ekologis, serta informasi lain yang
diperlukan. Pengembangan koleksi tumbuhan dan atau satwa di
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten diarahkan untuk
melestarikan jenis-jenis asli, jenis langka yang dilindungi dan
jenis tumbuhan dan atau satwa serbaguna serta jenis-jenis yang
bernilai ekonomi tinggi. Display koleksi tumbuhan dan atau
satwa dapat dilakukan berdasarkan wilayah penyebaran maupun
taxonomi, tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Areal
yang dijadikan blok koleksi tumbuhan dan atau satwa terbagi
menjadi dua bagian dengan luas keseluruhan seluas ± 419.5 Ha
yang terdiri dari blok koleksi A seluas 360 Ha. terdiri dari, petak
3, sebaian petak 4, petak 6, petak 7 serta petak 11. dan Blok
koleksi B seluas 59,5 ha yakni petak 71.
Tabel 5.4 Vegetasi pada Blok Koleksi Tumbuhan dan atau
Satwa
No. Luas Wilayah Administrasi
No Keterangan
Petak (Ha) Desa Kecamatan
Blok Koleksi A
1 4 60.9 Sukanegara Carita Rimba
Campur
104 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya
No. Luas Wilayah Administrasi
No Keterangan
Petak (Ha) Desa Kecamatan
2 6 75.3 Sukanegara Carita Rimba
Campur
3 7 85.4 Sukanegara Carita Rimba
Campur
4 11 138.5 Cinoyong Carita Rimba
Campur
Jumlah 360.0
Blok A

Blok Pemanfaatan A
1 71 60.2 Sukanegara Carita Kawasan
TWA Banten
terdapat
konservasi ex-
situ, Leprosula
Gn. Lawang.
Jumlah 60.2
Blok B
Jumlah 360.2
Sumber: Dispar.bantenprov.go.id

5.4.4 Blok Rehabilitasi


Blok Rehabilitasi diperuntukkan bagi kepentingan
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-
temurun mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam
dan perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan
ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Blok Rehabilitasi di
Taman Hutan Raya Banten, Pandeglang Banten antara lain
terdapat pada lokasi eks program PHBM Perum Perhutani yang
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 105
jangka waktunya masih berlaku. Namun demikian pengaturan
diperlukan untuk mendapatkan lokasi yang mengelompok dalam
satu hamparan, tidak menyebar secara sporadis di dalam
kawasan.
Blok Rehabilitasi terdiri dari petak 74a, petak 74b, sebaian
petak 5, sebaian petak 4 dan petak 76a, Adapun vegetasi yang
terdapat di blok ini disajikan dalam Tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5 Vegetasi Pada Blok Rehabilitasi
No No. Luas Wilayah Administrasi Keterangan
Petak (Ha)
Desa Kecamatan
1 74.a 59.3 Sukanegara Carita Rimba
Campur
2 74.b 9.0 Sukanegara Carita Rimba
Campur
3 73 37.5 Sukanegara Carita Rimba
Campur
4 76.a 101.7 Sukarame Carita Rimba
Campur dan
terdapat
tanaman
Meranti dan
Gaharu (16
Ha)
5 4 3.6 Sukarame Carita Rimba
Campur
Sumber: Dispar.bantenprov.go.id

DAFTAR PUSTAKA
106 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Amalyah, Reski, Djamhur Hamid dan Luchman Hakim.Peran


Stakeholder Pariwisata dalam Pengembangan Pulau
Samalona sebagai destinasi Wisata Bahari.Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB)Vol. 37 No. 1 Agustus 2016

Hardiansya, Gusti. Analisis Peran Berbagai Stakeholder dalam


Menyongsong Era pembangunan KPH di Kabupaten
ketapang [pdf]. Vol. 8, Nomor 3, Oktober 20012 hal:
186-194

Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. Perencanaan


Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andi.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang. (2016). Statistik


Kecamatan Carita. Pandeglang: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Pandeglang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang. (2017).


Kabupaten Pandeglang dalam angka. Kabupaten
Pandeglang: Badan Pusat Statistik.

Bandungbaratkab.go.id. (2016). “Pemanfaatan Teknologi


Informasi sebagai Media Promosi Pariwisata
http://www.bandungbaratkab.go.id/content/pemanfaatan-
teknologi-informasi-sebagai-media-promosi-pariwisata
(Diakses pada tanggal 11 Juli 2016).

Beaton, Sue. (2006). Community Development through


Tourism. Collingwood: Landlinks Press.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 107

Bowie, David dan Francis Buttle. (2004). Hospitality


Marketing: An introduction. Oxford: Elsevier
Butterworth-Heinemann.

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative,


Quantitative, and Method Approached. California: Sage
Publication, Inc.

David, Fred R. (2013). Strategic Management: Concepts and


Cases. Fourtenth Edition. London: Pearson Education
Inc.

Departemen Kebudayaan Pariwisata RI dan WWW Indonesia.


(2009). “Prinsip dan Kriteria Ekowisata Berbasis
Masyarakat”. Kerjasama Direktorat Produk Pariwisata
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-
Indonesia.
http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia_pri
nsip_dan_kriteria_ecotourism_jan_2009.pdf (Diakses
pada tanggal 25 April 2015).

Dewi, Ike Janita. (2011). Implementasi dan Implikasi


Kelembagaan Pariwisata yang Bertanggung Jawab
(Responsible Tourism Marketing). Jakarta: Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Dwyer, Larry, Alison Gill dan Neelu Seetaram. (2014).


Handbook of Research Methods in Tourism:
Quantitative and Qualitative Approaches. Chetenham
Glos: Edwar Elgar Publishing Ltd.
108 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Hawkins, Del I dan David L. Mothersbaugh. (2010). Consumer


Behavior Building Marketing Strategy. Edisi Kesebelas.
New York: McGraw Hill. Hikam, Muhammad AS.
(2014). Menyongsong 2014-2019: Memperkuat
Indonesia dalam Dunia yang Berubah. Jakarta: CV
Rumah Buku.

Hitt, Ireland & Hoskisson, Michael A, R. Duane Ireland, dan


Robert E. Hoskisson. (2007). Strategic Management:
Competitiveness and Globalization (Concepts and
Cases). Seventh Edition. Ohio: Thomson Higher
Education.

International Union for Conservation of Nature and Natural.


2008. Guidelines for Applying Protected Area
Management Categories. Switzerland: International
Union for Conservation of Nature and Natural.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2012). Buku


Pedoman Kelompok Sadar Wisata. Jakarta: Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik


Indonesia. (2014). Rencana Strategis Pariwisata
Berkelanjutan dan Green Jobs untuk Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia bekerjasama dengan International Labour
Organization.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2016).


Pekerjaan Penyusunan Perancangan Pengembangan
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 109

Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pantai


Carita. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan


Transmigrasi. (2017).
http://pandeglangcarita.desa.kemendesa.go.id/pages/detai
l/59-batas-wilayah (Diakses pada tanggal 2 Juni 2017).
Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. (2009). Marketing
Management. 14th Edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.

Kotler, Philip, et.al. (2010). Marketing for Hospitality and


Tourism. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.

Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif.


Bandung: Remaja Rosdakarya

Morrison, Alastair M. (2010). Hospitality & Travel Marketing.


Fourth Edition. New York: Delmar Chengage Learning.

Mowforth, Martin dan Ian Mun. (2003). Tourism


Sustainability:New tourism in the Third World. London:
Routledge.

Latupapua, Yosevita Th.2015. “Implementasi Peran


Stakeholder dalam Pengembangan Ekowisata di Taman
Nasional Manusela (TNM) di Kabupaten Maluku
110 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Tengah.” Jurnal Agroforestri X Nomor 1 ISSN : 1907-


7556.
Malhotra, Naresh K. (2010). Marketing Reseach: an Applied
Orientation. Sixth Edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.

Onecaribbean.org. (2016). Travel Forever: The New Global


Standard for Sustainable Tourism.
http://www.onecaribbean.org/content/files/SeleniMatus.p
df. (Diakses pada tanggal 18 Juli 2016).

Pearce, John A dan Richard B Robinson. (2015). Strategic


Management: Planning for Domestic and Global
Competition. Fourteenth Edition. Singapore: McGraw-
Hill Education.

Porter, Michael E. (2008). The Five Competitive Forces That


Shape Strategy. Harvard Business Review.
www.hbrreprints.org.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata.


Yogyakarta: Andi
Richards, Greg dan Derek Hall. (2000). Tourism and
Sustainable Community Development. London: Routledge.

Ritchie, Brent W, Peter M Burns, dan Catherine A Palmer.


(2005). Tourism Research Methods: Integrating Theory
with Practice. Oxfordshire: CABI Publishing.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 111

Ruane, Janet M. Essentials of Research Methods: A Guide to


Social Science Research. 2005. Malden, MA: Blackwell
Publishing

Schiffman, Leon G dan Leslie Lazar Kanuk kolaborasi Joseph


Wisenblit. (2010). Consumen Behavior. Edisi Kesepuluh.
New Jersey: Prentice Hall. Inc.

Sharpley, Richard. (2009). Tourism Development and the


Environment: Beyond Sustainability? London: Earthscan
Dunstan House.

Slamet, Yulius. (2006). Metode Penelitian Sosial. Surakarta:


Sebelas Maret University Press.

Sian, Lim Tau, et.al. (2009). Fundamentals of Hospitality and


Tourism Management. Selangor: Open University
Malaysia.

Sharpley, Richard. (2006). Travel and Tourism. London: SAGE


Publications.

Tekno.compas.com. (2013). “Promosi Pariwisata Indonesia


Lewat Teknologi Internet”.
http://tekno.kompas.com/read/2013/03/01/20055381/pro
mosi.pariwisata. Indonesia.lewat.teknologi.internet
(Diakses pada tanggal 11 Juli 2016).

Tourism Management International. (2015).


http://www.Destination
Managementternational.com/tourism-development-
consulting/ Solimarin (Diakses pada tanggal 23 Juni
2015).
112 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Tourism Management Strategy. (2015). “Jejak Wisata”,


http://jejakwisata.com/Clients/Tracks/tourism-
studies/planning-and-development/188-dmo-sebagai-
strategi-pengelolaan-pariwisata.html (Diakses pada
tanggal 23 Juni 2015).

Turban, Efraim, Linda Volonino. (2010). Information


Technology for Anagement - Improving Strategic and
Operational Performance. Eighth Edition. Hoboken:
John Wiley & Sons, Inc.

United Nations. (2007). Indicators of Sustainable Development:


Guidelines and Methodologies. Third Edition. New
York: United Nations.

Weaver, David. (2006). Sustainable Tourism: Theory and


Practice. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.

_______, UPTD Taman Hutan Raya (Tahura) Banten,


https://dlhk.bantenprov.go.id/upload/dokumen/Tahura%20BAN
TEN.pdf
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 113

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Yohanes Sulistyadi, lahir di Bantul Daerah Istimewa


Yogyakarta, pada tanggal 11 Juni 1961, Pada tahun 1994
mengikuti pendidikan singkat Tourism Management di
University Waterloo Canada, atas sponsor dari BAPENAS dan
CIDA, tahun 1998 mendapatkan International Lead Auditor
Certified ISO 9001 : 2000 dari SGS United Kingdom, Tahun
2000 mengikuti pelatihan End Child Prostitution, Abusive and
Trafficking on Tourism (ECPAT) di Bangkok Thailand, Tahun
2001 Pelatihan Costal & Tourism Management dengan
penyelenggara ITB dan BPPT. Tahun 2013 menyelesaikan
Doktor Program MSDM di Universitas Negeri Jakarta.
Pengalaman tugas bidang pariwisata, pada tahun 1993 s/d 2001
Sebagai Direktur Akademi Pariwisata Indonesia Jakarta. Pada
tahun 2002 s/d 2010 sebagai Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata
Sahid Jakarta. Pada tahun 2010 diangkat sebagai Deputy
Direktur Eksekutif Bidang Pengembangan Yayasan Sahid Jaya
Jakarta. Disamping menjalankan tugas sebagai dosen di Sekolah
Tinggi Pariwisata Sahid Jakarta dan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sahid Jakarta, ada beberapa kegiatan dan tugas yang
bersifat nasional yakni, Assessor Badan Akreditasi National
Perguruan Tinggi (BAN PT) sejak tahun 2003 hingga sekarang.
Pengurus Himpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI)
114 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Bidang SDM, sebagai Instruktur Penataran para dosen


Pariwisata Departemen Pendidikan Nasional tahun 1998 s/d
2002, Sekertaris Jendral (Sekjend) Himpunan Lembaga
Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (HILDIKTIPARI)
tahun 1999 s/d 2001, Anggota team penyusun Standarisasi
Sektor Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia bidang Perhotelan, Bar, Kelab Malam dan
Karaoke. Tahun 2009 hingga sekarang. Sebagai Government
Board Advisor PT SGS International Certification Body sejak
tahun 2009 s/d sekarang. Tahun 2016 s/d sekarang sebagai
Assesor Komite Akreditasi Nasional (KAN) Bidang Pariwisata.
Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya | 115

Fauziah Eddyono, dilahirkan di Medan, Sumatera Utara.


Tahun 1998 menyelesaikan pendidikan sarjana dari Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara Jurusan Manajemen.
Karir praktisinya di bidang Sumber Daya Manusia dimulai di
Grup Indofood divisi Consumer Branded Product lalu di grup
SNC Lavalin divisi Mining and Metallurgy. Setelah
menyelesaikan program Magister Management dari Universitas
Mercubuana pada tahun 2014 Fauziah mendedikasikan dirinya
pada dunia pariwisata dengan mengajar di Politeknik Sahid.
Saat ini Fauziah tengah melaksanakan studi lanjut di Institut
Pertanian Bogor pada Program Doktoral Manajemen Ekowisata
dan Jasa Lingkungan yang didanai oleh Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik
Indonesia.
116 | Pariwisata Berkelanjutan Dalam Perspektif Pariwisata Budaya

Derinta Entas, lahir di Jakarta pada 2 Desember 1971. Saat ini


terdaftar sebagai dosen di Program Studi Pariwisata di
Politeknik Sahid Jakarta, Indonesia. Aktif dalam bidang
penelitian pariwisata khususnya berfokus pada pengembangan
pariwisata daerah, pariwisata perkotaan, dan wisata budaya &
sejarah. Gelar doktor diperoleh dari Fakultas Ilmu Budaya di
Universitas Udayana, Denpasar Bali. Korespondensi dapat
dilakukan melalui email ke derintaentas@stpsahid.ac.id atau
derinta.derinta@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai