Anda di halaman 1dari 14

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Makalah ini disajikan untuk memenuhi tugas kelompok


pada mata kuliah Pancasila bagi Mahasiswa Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Dosen pengampu: Abdul Lathif Anshori, M.Pd.I.

Disusun oleh:

1. Difa Nur Azizah (210401110049)


2. Adinda Wardatul Amanah (210401110064)
3. Desi Candra Kirana (210401110071)
4. Dzakira Kusherawati (210401110073)

Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tahun Ajaran 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. Atas berkat segala
limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pancasila sebagai Sistem Filsafat”. Tak lupa sholawat serta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw., yang telah
menuntun kita menuju jalan yang terang benderang, yakni agama Islam.

Alhamdulillah, kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang


telah memberikan dukungannya kepada kami. Kepada Bapak Abdul Lathif
Anshori, M.Pd.I., selaku dosen mata kuliah Pancasila yang telah memberikan
bimbingan, motivasi, dan pengarahan pada penyusunan makalah ini. Selanjutnya,
kepada teman-teman yang telah memberikan buah pemikiran terbaiknya untuk
menghadirkan makalah ini, serta dorongan semangat dari seluruh anggota kelas
Psikologi B angkatan 2021/2022.

Kami berharap, makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca dalam memahami sistem filsafat Pancasila.
Terlepas dari itu semua, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca agar kami dapat memperbaiki kesalahan kami pada tulisan kami
selanjutnya.

Malang, 3 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

A. Pengertian Filsafat ................................................................................ 2


B. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat......................................................... 3
C. Dasar Ontologi Sila-Sila Pancasila ....................................................... 4
D. Dasar Epistemologi Sila-Sila Pancasila ................................................ 5
E. Dasar Aksiologi Sila-Sila Pancasila ..................................................... 6
F. Keterkaitan Pancasila Dan Psikologi .................................................... 8

BAB III PENUTUP............................................................................................. 10

A. Kesimpulan ......................................................................................... 10
B. Daftar Pustaka..................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat kita ketahui dari nilai-nilai
yang dikandungnya. Nilai-nilai tersebut digali dan disusun dari budaya
bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang luhur sejak bangsa Indonesia
ada. Dalam karya sastra Negara Kertagama (Empu Prapanca) terdapat
muatan kata Pancasila yang menunjukkan nilai-nilai luhur yang dimiliki
bangsa Indonesia, yaitu, “…, yatnanggewani Pantjasilla kertacangsara
bhiseka krama ...,” dan dalam kitab Sutasoma (Empu Tantular) yang
memuat kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika memberikan makna bangsa Indonesia telah memiliki nilai
filosofis sebagai wujud sistem filsafat bangsa. Nilai-nilai yang diajarkan
dalam konteks agama Buddha disublimasikan ke dalam nilai-nilai humanis
ke dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia yang berbentuk tuntunan
dan pedoman hidup dalam sebuah nilai filosofis bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari filsafat?
2. Mengapa Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat?
3. Bagaimanakah Pancasila sebagai sistem filsafat?
4. Apa dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari sila-sila
Pancasila?
5. Apa kaitan Pancasila dengan antropologi dan psikologi?

C. Tujuan
1. Menggali pemahaman lebih dalam mengenai Pancasila sebagai sistem
filsafat.
2. Mengetahui eksistensi filsafat dalam Pancasila.
3. Memahami dasar sila-sila Pancasila dari sudut pandang filsafat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologi berarti cinta akan kebijaksanaan atau
kebenaran yang hakiki. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, yaitu philos yang berarti cinta dan shophia yang
berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan
intelegensi.
Secara sederhana, filsafat dapat didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang refleksi rasional atas
keseluruhan realitas dan segala apa yang dapat dipikirkan. Menyangkut
fenomena manusia, alam, dan Tuhan secara kritis untuk mencapai sebuah
hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmah (kebijaksanaan) dari
berbagai fenomena tersebut.

1. Pengertian Filsafat Menurut Tokoh-Tokoh Filsafat


a. Socrates (469-399 SM)
Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat
reflektif atau berupa perenungan terhadap asas-asas dari
kehidupan yang adil dan bahagia. Berdasarkan pemikiran
tersebut dapat dikembangkan bahwa manusia akan
menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka mampu dan
mau melakukan peninjauan diri atau refleksi diri sehingga
muncul koreksi terhadap diri secara objektif.
b. Plato (472-347 SM)
Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang
bersifat spekulatif atau pandangan terhadap seluruh kebenaran.
Filsafat Plato ini kemudian digolongkan sebagai filsafat
spekulatif. Dalam Republik, Plato menegaskan bahwa para
filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of

2
truth) dalam pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai
ide yang abadi dan tak berubah.
2. Dua Cakupan dari Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat lebih lanjut yaitu filsafat dalam arti proses
dan filsafat dalam arti produk. Filsafat dalam arti proses diartikan
pada suatu aktivitas berfilsafat, yaitu dalam proses pemecahan
suatu permasalahan dengan menggunakan cara dan metode tertentu
yang sesuai dengan objeknya. Dalam arti produk filsafat
merupakan suatu jenis problema yang dihadapi manusia. Sehingga
manusia terdorong untuk mencari kebenaran yang timbul dari
persoalan yang dihadapi, yang mana kebenaran tersebut bersumber
dari pemikiran akal manusia, ilmu pengetahuan, konsep, dan dari
pemikiran para filsuf.

B. Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat pertama kali terdapat
dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Ir.Soekarno memberikan judul
pidatonya dalam sidang pertama tersebut dengan nama Philosofische
Grondslag, bukan Indonesia Merdeka. Gagasan tersebut merupakan
perenungan filosofis dari Ir. Soekarno atas rencana berdirinya negara
Indonesia yang merdeka. Pancasila juga disebut sebagai weltanschauung
atau pandangan dunia. Artinya, nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu
yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang
kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara (philosophische
grondslag).
Pancasila sebagai sistem filsafat memuat konsep-konsep sebagai
berikut :
1. Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Disebut demikian karena nilai-nilai Pancasila merupakan nilai
yang telah ada sejak dahulu kala dan mencerminkan nilai dari
masyarakat Indonesia.

3
2. Rumusan sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem yang organis,
bulat, dan utuh.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu
kesatuan majemuk yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat
berdiri sendiri-sendiri.
3. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkis dan piramidal.
Pancasila bersifat hierarkis dan piramidal, yang artinya sila
dalam Pancasila memiliki tingkatan dan tiap-tiap tingkatannya
mengerucut.
4. Rumusan sila-sila Pancasila saling mengisi dan mengualifikasi.
Yaitu dalam setiap sila terkandung nilai keempat sila lainnya
atau setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.

C. Dasar Ontologi Sila-Sila Pancasila


Pada umumnya, filsafat ontologi dan antropologi Pancasila dapat
diartikan sebagai sistem hakikat mengenai manusia yang selalu
mendapatkan hikmah. Menurut Socrates sebagai Bapak Filsafat,
antropologi manusia terdiri dan unsur-unsur tanah, air, api, dan udara.
Akan tetapi, unsur-unsur itu, baik secara sendiri maupun bersama, sama
sekali tidak mempunyai sifat manusia. Dalam konteks ini, manusia harus
dipandang sebagai monopluralis, yakni manusia terdiri dari banyak unsur,
tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh. Manusia berhubungan dengan
Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya; yang dalam
hubungannya itu manusia harus memelihara keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara
ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat:
raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk

4
pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan inilah, maka secara
hierarkis, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan
menjiwai keempat sila-sila pancasila yang lainnya.
1. Sila pertama : Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu;
Tuhan adalah mutlak, sempurna, dan kuasa, tidak berubah, tidak
terbatas pula sebagai pengatur tata tertib alam.
2. Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena negara
adalah lembaga kemanusiaan yang diadakan pula oleh manusia.
3. Sila ketiga : Persatuan indonesia. Persatuan adalah sebagai akibat
adanya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
hasil persatuan adalah rakyat sehingga rakyat adalah unsur pokok
negara.
4. Sila keempat : Pokok sila keempat ialah kerakyatan yaitu
kesesuaiannya dengan hakikat rakyat.
5. Sila kelima : Logikanya, keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh
sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

D. Dasar Epistemologi Sila-Sila Pancasila


Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan
pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan
susunan pengetahuan Pancasila. Sumber pengetahuan Pancasila adalah
niai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia. Susunan Pancasila sebagai
suatu sistem pengetahuan berarti bahwa Pancasila memiliki susunan yang
bersifat formal logis, baik dari susunan nilai-nilai Pancasila maupun dari
arti sila-silanya. Susunan kesatuan dari nilai-nilai Pancasila itu bersifat
hierarkis dan integral serta piramidal, di mana:
1. sila pertama mendasari keempat sila lainnya,
2. sila kedua dijiwai dan didasari oleh sila pertama dan menjiwai sila
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial,
3. sila ketiga didasari atau dijiwai oleh sila pertama dan kedua dan
menjiwai atau mendasari sila keempat dan kelima,

5
4. sila keempat dijiwai dan didasari oleh sila pertama, kedua, dan
ketiga, serta mendasari sila ke lima, dan,
5. sila ke lima dijiwai dan didasari oleh sila pertama, kedua, ketiga,
dan keempat.

Dengan demikian, Pancasila memiliki susunan dan dasar rasional


yang logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain
itu, dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Maka, sebagai suatu
ideologi, Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik
loyalitas dan pendukungnya, yaitu:
1. Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya.
2. Pathos, yaitu penghayatannya.
3. Ethos, yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:3) .

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat


dipisahkan dari dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu
ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya, yaitu filsafat
Pancasila (Soeryanto, 1991:51). Terdapat tiga persoalan yang
mendasar dalam epistemologi yaitu: pertama, tentang sumber
pengethuan manusia; kedua, tentang teori kebenaran
pengetahuan manusia; ketiga, tentang watak pengetahuan
manusia (Titus, 1984:20). Adapun potensi atau daya untuk
meresapkan pengetahuan atau, dengan kata lain, transformasi
pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut: demonstrasi,
imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi, dan ilham
(Notonagoro:3).

E. Dasar Aksiologi Sila-Sila Pancasila


Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

6
pada hakikatnya juga merupakan satu kesatuan. Aksiologi Pancasila
mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Pancasila secara aksiologi memiliki 3 dimensi nilai. Ketiga nilai
tersebut, yang pertama adalah nilai dasar, yaitu nilai-nilai dasar dari
Pancasila yang tidak dapat dibantahkan lagi, yang meliputi nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai
keadilan. Kemudian dimensi nilai kedua adalah nilai instrumental, yaitu
nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya
akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga
negara. Dimensi nilai ketiga adalah nilai praksis, yaitu nilai yang
sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan, sekaligus sebagai batu
ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Pancasila secara aksiologis juga memiliki pandangan bahwa ilmu
pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai. Ia harus diletakkan pada
kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius. Hal tersebut
dilakukan dalam usaha mendapatkan pengetahuan yang mutlak
sebagaimana yang terus diupayakan dalam keseluruhan aktifitas manusia
hingga hari ini.
Ditinjau dari sifat dasarnya, nilai Pancasila itu mengandung
kebenaran berjenjang, yang urutannya sebagai berikut:
1. Nilai religiusitas.
2. Nilai eudaeministik.
3. Nilai utilitaristik.
4. Nilai hedonistik.
5. Nilai pragmatik.

Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral


merupakan nilai dasar yang mendasari nilai instrumental dan selanjutnya
mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung
nilai-nilai Pancasila (subscriber of Pancasila values), yaitu bangsa yang

7
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan, dan
penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Masih terkait dengan nilai atau
aksiologi, maka Pancasila dipandang dalam konstelasi historisnya sebagai
sebuah prinsip yang menggunakan model pendekatan filsafat jalan tengah
(Sutono, 2017). Filsafat jalan tengah adalah salah satu penegasan bahwa
kebenaran akhir tidak terletak pada kebenaran-kebenaran yang dikandung
dalam sebuah ekstremitas melainkan dalam kedua ekstremitas itu
kebenaran dapat ditemukan.
Nilai dan implikasi aksiologi terbentuk atas dasar pertimbangan-
pertimbangan cipta, rasa, karsa, dan keyakinan seseorang atau kelompok
masyarakat atau bangsa. Norma kaidah adalah petunjuk tingkah laku yang
harus dilakukan dan tidak boleh dalam kehidupan sehari-hari dengan
disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman atau akibat yang diterima apabila
norma (kaidah) tidak dilakukan.
Dari hubungan nilai ini, timbullah macam-macam norma dan
sanksinya, antara lain:
1. Norma agama dengan sanksi agama.
2. Norma kesusilaan dengan sanksi susila.
3. Norma sopan santun dengan sanksi sosial dari masyarakat.
4. Norma hukum dengan sanksi hukum dari pemerintah.

F. Keterkaitan Pancasila Dan Psikologi


Ilmu psikologi menjadi bagian penting untuk melihat Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia. Metode yang digunakan
dalam penelitian menggunakan pendekatan fenomenologi dan kajian kritis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa psikologi Pancasila merupakan
pendekatan interdisipliner untuk menjabarkan dan merumuskan Pancasila
dari aspek dan karakteristik psikis manusia.

8
Konsepsi psikologi Pancasila ini dibangun dan dirancang untuk
mengembangkan pemikiran Pancasila dari aspek psikologi. Aspek
psikologi yang dimaksud ialah meletakkan prinsip dan dimensi nilai-nilai
yang ada di dalam kehidupan manusia. Dimensi nilai yang dilihat ialah
aspek psikologi sosial, psikologi politik, psikologi pendidikan, dan
psikologi komunikasi.

Pada aspek psikologi sosial, Pancasila diletakkan sebagai


fenomena sosial. Di dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila terdapat aspek
interaksi sosial, aktualisasi diri terhadap orang lain, menjalin hubungan
sosial dan pribadi yang baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila seperti
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pada
aspek psikologi politik, Pancasila diletakkan pada nilai-nilai dasar dan
menjadi sistem keyakinan dan kebutuhan penting dalam bernegara. Aspek
psikologi pendidikan mengarah pada peran dan fungsi pendidikan
Pancasila yang dapat mendorong perubahan pada diri manusia. Perubahan
manusia ialah pendidikan menjadi ruang terbuka dan dapat menjadikan
manusia lebih memahami arti penting dari Pancasila, dimulai dari aspek
pemahaman dan kemudian masuk pada perasaan. Aspek psikologi
komunikasi menjadi dasar dan acuan dalam membangun komunikasi yang
baik.

Konsepsi psikologi Pancasila ini adalah untuk menghadirkan dan


membentuk karakter manusia seutuhnya dalam bentuk pembangunan dan
pembentukan kepribadian dan jati diri manusia Indonesia yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Psikologi Pancasila mencoba
mengarahkan pada disiplin utama di bidang psikologi, yaitu psikologi
berbasis keilmuan (sains) dan psikologi yang berbasis pada profesi (seperti
klinis, pendidikan, organisasi, psikolog, dan konsultan). Psikologi
Pancasila ini menjadi core values (dasar nilai) untuk mengembangkan
Pancasila agar dapat diamalkan dan dihayati.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah kami pelajari dan kami diskusikan,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan atau kebenaran yang
hakiki.
2. Pancasila merupakan suatu nilai yang telah ada dan berkembang
serta merupakan jati diri bangsa Indonesia sehingga Pancasila
merupakan landasan filosofis bangsa Indonesia.
3. Filsafat ontologi dan antropologi Pancasila dapat diartikan sebagai
sistem hakikat mengenai manusia yang selalu mencari cara untuk
mendapatkan hikmah.
4. Epistemologi Pancasila adalah objek kajian pengetahuan yang
meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan
pengetahuan Pancasila.
5. Filsafat aksiologi Pancasila adalah hakikat dan manfaat yang
terdapat dalam sila-sila Pancasila.
6. Psikologi dalam konsepsi Pancasila merupakan pendekatan
interdisipliner untuk menjabarkan dan merumuskan Pancasila dari
aspek dan karakteristik psikis manusia.

10
B. Daftar Pustaka

Ahmad Taufik Nasution. (2016). Filsafat Ilmu Hakikat Mencari


Pengetahuan.Yogyakarta : Deepublish.

Prof. Dr. Aloysius H., M.Pd. (2015) Pendidikan Moral dalam


Pendidikan Kewarganegaraan (1 s t ed.). Elang Mas.

Hamhani, P. (Tidak diketahui). Landasan Aksiologi Pancasila.

Andri, G. (2021). Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila.


Manajemen M2 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi AKBP
STIE KBP.

Dr. Damardjati, S., dkk. (1996). Jurnal Filsafat. Landasan


Pengembangan Filsafat Pancasila .

Sutono, A., & Purwosaputro, S. (2019). Jurnal Ilmiah CIVIS.


Aksiologi Pancasila, 8(2). Diakses pada 2 Oktober 2021,
dari https://doi.org/10.26877/civis.v8i2.4678.

Yassa, S. (2018). Jurnal Citizenship: Media Publikasi


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pendidikan
Pancasila ditinjau dari Perspektif Filsafat (Aksiologi),
1(1).

11

Anda mungkin juga menyukai