Anda di halaman 1dari 3

Pada prinsipnya hukum perkawinan di Indonesia memiliki serangkaian pengaturan hukum

mengenai harta perkawinan, dimana serangkaian pengaturan tersebut dapat dilihat dari
adanya produk hukum seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69 /PUU-XIII/2015 Tahun 2015.

Adanya serangkaian pengaturan mengenai harta dalam perkawinan tersebut, tentunya


memiliki efek yang berbeda, dimana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, diketahui terdapat beberapa pembagian harta perkawinan yaitu harta bersama
dan harta bawaan, serta mengenai perjanjian perkawinan yang salah satu materinya mengatur
mengenai harta dalam perkawinan, namun memiliki suatu syarat dimana perjanjian
perkawinan tersebut hanya berlaku apabila dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan.

Selain itu terdapat pula pengaturan harta perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang mengatur mengenai harta perkawinan, dan perjanjian perkawinan yang
disebutkan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan,
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan harta secara
bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai hal itu dengan perjanjian kawin
tidak diadakan ketentuan lain.” Dimana apabila tidak terdapat suatu perjanjian perkawinan
sebelum perkawinan dilangsungkan maka berlaku persatuan harta, dimana hal ini berbeda
dengan pengaturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,
yang memisahkan adanya harta bersama dan harta bawaan.

Selain itu terdapat pula pengaturan harta perkawinan yang diatur dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69 /PUU-XIII/2015, dimana, hal dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69 /PUU-XIII/2015 tersebut hanya mengatur mengenai adanya perubahan persyaratan
dalam pembuatan perjanjian perkawinan, dimana dalam putusan tersebut, Mahkamah
Konstitusi mengubah isi ketentuan Pasal 29 ayat 1, dan menyatakan perjanjian perkawinan
tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial
agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement).

Dari segi kedudukan, harta dalam perkawinan memiliki pengaturan hukum yang berbeda,
yaitu
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, harta perkawinan dibagi
menjadi harta bersama yang diakui kedudukan setelah perkawinan dilangsungkan
berdasarkan Pasal 35 ayat 1, dan harta bawaan yang diakui kedudukan sebelum perkawinan
dilangsungkan berdasarkan Pasal 35 ayat 2. Adapun perjanjian perkawinan memiliki
pengaturan dalam Pasal 29, namun mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat
dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harta perkawinan sekaligus perjanjian


perkawinan diatur pada ketentuan Pasal 119, dimana harta perkawinan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa dengan menikahnya suami-isteri, maka semua
harta yang dibawa oleh suami maupun isteri ke dalam perkawinan, masuk dalam satu
kelompok harta, adapun penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 119 tersebut dapat
dilakukan, dengan syarat adanya perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum berlangsungnya
perkawinan tersebut.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 /PUU-XIII/2015, diketahui hanya mengatur


mengenai adanya perubahan persyaratan dalam pembuatan perjanjian perkawinan, yang salah
satu materi dalam perjanjian perkawinan dapat melibatkan harta yang muncul dalam suatu
perkawinan, namun terhadap harta perkawinan yang dimaksud, mengacu pada ketentuan
harta yang dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan, namun syarat sahnya suatu perjanjian perkawinan diubah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, dimana perubahan tersebut berakibat pada perubahan makna
Pasal 29 ayat 1, dan menyatakan perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai
perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan, tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan
berlangsung.

Adapun akibat hukum terhadap adanya perbedaan pengaturan harta perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 /PUU-XIII/2015, adalah
sebagai berikut :

Akibat hukum yang muncul terhadap harta perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, maka terdapat pemisahan harta perkawinan, yaitu harta
para pihak yang diakui sebelum berlangsungnya perkawinan yaitu harta bawaan, dan harta
perkawinan yang dianggap sebagai satu budel, yaitu harta bersama, apabila tidak terdapat
suatu perjanjian perkawinan, sepanjang para pihak baik suami maupun istri dapat
membuktikan kedudukan harta bersama dan harta bawaan tersebut, dalam suatu perkara di
persidangan, selain itu terhadap perjanjian perkawinan memiliki akibat hukum, bahwa
pembagian harta bersama dan harta bawaan tersebut dapat disimpangi apabila terdapat
perjanjian perkawinan, dengan syarat pembuatan perjanjian perkawinan tersebut dilakukan
sebelum berlangsungnya perkawinan itu sendiri.

Akibat hukum yang muncul terhadap harta perkawinan berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, adalah bahwa maka semua harta yang dibawa oleh suami maupun
isteri ke dalam perkawinan, masuk dalam satu kelompok harta, dan akibatnya apabila terjadi
suatu perceraian maka seluruh harta tersebut harus dibagi sama rata, namun Pasal 119
tersebut dapat dilakukan penyimpangan, dimana masih memungkinkan terjadinya pemisahan
harta pribadi isteri dan atau harta pribadi suami, atau bahkan bisa disepakati bentuk pisah
harta sama sekali, sehingga apabila terdapat perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai
bentuk pemisahan harta, maka pembagian harta dalam perkawinan apabila terjadinya
perceraian, akan merujuk pada perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami dan atau istri
tersebut.

Akibat hukum terhadap berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 /PUU-


XIII/2015, khususnya terhadap harta perkawinan, apabila perjanjian perkawinan yang dibuat
baik sebelum dan sesudah terjadinya perkawinan tersebut dianggap sah, maka
memungkinkan terjadinya pemisahan sekaligus pencampuran harta perkawinan, sehingga
pembagian harta bersama dan harta bawaan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, akan menjadi tidak berlaku, karena
apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta perkawinan tersebut mengacu pada
perjanjian perkawinan yang dibuat, baik sebelum dan sesudah terjadinya perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai