Pengaruh Apical Plug MTA Versus CEM Terhadap Resistensi Fraktur pada
Simulasi Gigi Imatur yang Diberi Perawatan Endodontik dan Direstorasi dengan
Pasak Logam Cor: Studi In‑Vitro
Pembimbing
Dr. Denny Nurdin, drg., M. Kes., Sp. KG (K)
ABSTRAK
Latar Belakang: Gigi imatur yang diberi perawatan endodontik dan direstorasi dengan pasak
logam cor merupakan kondisi gigi yang termasuk paling rentan mengalami fraktur. Apical plug
(sumbat apikal) biasanya digunakan sebagai pengisi ujung akar untuk menutup foramen apikal
yang lebar. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek dari bahan apical plug yang
berbeda (MTA dan CEM) dengan berbagai ketebalan terhadap resistensi fraktur gigi yang
direstorasi dengan pasak logam cor.
Metode: Sebanyak 40 gigi premolar mandibula berakar tunggal yang diekstraksi utuh (dicabut
karena alasan ortodontik) digunakan dalam penelitian. Bagian koronal dari setiap gigi
dipreparasi lalu dilakukan preparasi saluran akar. Bor Gates Glidden ukuran 4 digunakan untuk
memperbesar saluran dan dilewatkan menembus foramen apikal untuk mensimulasikan apeks
akar gigi imatur. Sampel secara acak dibagi menjadi 5 kelompok (n = 8) sesuai dengan apical
plug yang digunakan (kelompok kontrol: tanpa plug, kelompok MTA5: plug MTA 5 mm,
kelompok CEM5: plug CEM 5 mm, kelompok MTA3: plug MTA 3 mm, kelompok CEM3:
plug CEM 3 mm). Preparasi untuk penempatan pasak dilakukan lalu pasak-inti logam cor
dibuat dan disemen. Resistensi fraktur dinilai menggunakan mesin uji universal. Ambang batas
fraktur dicatat kemudian data dianalisis menggunakan One-way ANOVA dan Uji Dunnett's T3
dengan taraf signifikansi pada nilai P < 0,05.
Hasil: Analisis menunjukkan adanya perbedaan resistensi fraktur yang signifikan antar
kelompok (nilai P < 0,05). Nilai rata-rata resistensi fraktur sampel pada kelompok kontrol
secara signifikan lebih rendah dari kelompok MTA5 (nilai P = 0,003). Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kelompok lainnya (nilai P > 0,05).
Kesimpulan: Dalam penelitian ini, bukti menunjukkan bahwa penempatan apical plug MTA
setebal 5 mm meningkatkan resistensi fraktur pada simulasi gigi imatur yang direstorasi dengan
pasak logam cor, dibandingkan dengan kelompok kontrol (gutta-percha dan sealer). Selain itu,
untuk apical plug MTA setebal 3 mm ataupun apical plug CEM setebal 3 atau 5 mm kurang
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Kata kunci: Resistensi fraktur, Logam cor, Pasak endodontik, Biokeramik, MTA, CEM
LATAR BELAKANG
Perawatan endodontik dan prostodontik pada gigi imatur selalu menjadi tantangan
tersendiri bagi praktisi. Gigi yang telah diberi perawatan endodontik (apeksifikasi), gigi imatur,
dan gigi yang telah direstorasi dengan pasak logam cor merupakan ketiga kondisi yang
termasuk ke dalam faktor risiko terjadinya fraktur akar. Oleh karena itu, suatu gigi imatur yang
diberi perawatan endodontik dan direstorasi dengan pasak logam cor merupakan kondisi gigi
yang termasuk paling rentan mengalami fraktur.
Upaya memperoleh penutupan apikal yang baik guna mencegah masuknya
mikroorganisme pada gigi imatur merupakan hal yang tidak mudah oleh karena lebarnya
foramen apikal [5, 6]. Sejumlah bahan telah dianjurkan penggunaannya sebagai apical plug, di
antaranya bahan berbasis biokeramik seperti Mineral Trioxide Aggreagate (MTA),
BioAggregate, Biodentine, Calcium Enriched Mixture cement (CEM) yang termasuk bahan
yang terpopuler [7]. Penggunaan bahan berbasis biokeramik telah terbukti dapat mengurangi
kerentanan terhadap fraktur dibandingkan dengan pasta kalsium hidroksida yang dahulu biasa
digunakan untuk perawatan endodontik pada gigi imatur sebelum diperkenalkannya bahan
berbasis biokeramik [4, 8, 9]. Apabila gigi yang dirawat endodontik rusak parah, maka
restorasinya biasanya membutuhkan sistem pasak-inti. Saat ini, tersedia pasak atau pasak-inti
dalam berbagai jenis bahan dan teknik pembuatan yang berbeda seperti pasak logam cor, pasak
logam prefabrikasi, pasak carbon fiber/serat karbon, pasak glass fiber/serat kaca, dan pasak
zirkonia [10, 11].
Meskipun bahan yang baru-baru ini dikembangkan seperti fiber glass dan zirkonia
menunjukkan hasil estetika yang lebih baik [10, 12], pasak-inti berbahan logam cor telah
terbukti menjadi pilihan pengobatan yang berhasil merestorasi gigi yang telah dirawat
endodontik yang rusak parah -terutama gigi posterior [13, 14].
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh bahan apical plug yang berbeda
(MTA dan CEM) dalam berbagai ketebalan terhadap resistensi fraktur gigi yang direstorasi
dengan pasak logam cor dan berdasarkan yang kami ketahui, penelitian ini merupakan
penelitian yang baru pertama kali dilakukan. Hipotesis nol yang ditetapkan adalah tidak ada
perbedaan yang signifikan dari resistensi fraktur di antara dan di dalam kelompok eksperimen
dan kontrol.
METODE
Sebanyak 40 gigi premolar mandibula manusia berakar tunggal yang diekstraksi utuh
(dicabut karena alasan ortodontik di klinik gigi Gorgan School of Dentistry dan tiga klinik
swasta) dipilih sesuai dengan kriteria inklusi. Oleh karena penelitian mengenai hal berikut
adalah penelitian yang baru pertama kali akan dilakukan, perhitungan ukuran sampel tidak
diterapkan. Persiapan sampel dilakukan oleh mahasiswa kedokteran gigi (AD) dengan
dibimbing oleh pembimbing dari fakultas endodontik dan prostodontik (EG dan Lsh).
Gigi didesinfeksi dengan 5,25% NaOCl dan disimpan dalam larutan saline isotonik.
Penilaian secara visual dan dengan stereomikroskop perbesaran 10x (SMP-200, HP, USA)
dilakukan untuk memilih gigi-gigi berakar tunggal lurus dengan panjang dan ukuran yang
kurang lebih sama tanpa ada retak, fraktur, atau lesi karies.
Skema langkah-langkah persiapan sampel dapat dilihat pada Figur 1. Bagian koronal dari
setiap gigi diambil sedemikian rupa hingga tersisa akar 16 mm. Preparasi saluran akar
dilakukan menggunakan instrumen berupa rotary NiTi Protaper (Dentsply Maillefer,
Ballaigues, Swiss) serta file untuk shaping dan finishing (Sx, S1, S2, F1 dan F2). Saluran akar
diirigasi dengan 2 ml saline isotonik antara langkah-langkah preparasi. Gates Glidden drill
ukuran 4 digunakan untuk memperbesar saluran dan dilewatkan menembus foramen apikal
untuk mensimulasikan apeks gigi imatur. Sampel secara acak dibagi ke dalam 5 kelompok
menggunakan metode randomisasi sederhana (1 kelompok kontrol dan 4 kelompok
eksperimen) berdasarkan bahan apical plug-nya [Mineral Trioxide Aggregate (MTA Angelus,
Soluçoes Odontologicas, Londrina, Brasil), dan Calcium Enriched Mixture (CEM,
BioniqueDent, Teheran, Iran)].
1. Kelompok kontrol = tanpa apical plug.
2. Kelompok MTA5 = apical plug MTA orthograde 5 mm.
3. Kelompok CEM5 = apical plug CEM orthograde 5 mm.
4. Kelompok MTA3 = apical plug MTA orthograde 3 mm.
5. Kelompok CEM3 = apical plug CEM orthograde 3 mm.
Bahan-bahan disiapkan sesuai dengan instruksi pabrik (MTA disiapkan dengan
mencampur 1 sendok bubuk MTA dan 1 tetes air steril serta CEM disiapkan dengan
mencampur 3 porsi bubuk CEM dan 1 tetes cairan CEM). Bahan ditempatkan secara
orthograde, menggunakan MTA carrier (Dentsply Maillefer, Swiss). Pada kelompok
eksperimen, bahan apical plug (MTA atau CEM) dikondensasi menggunakan ujung belakang
paper point yang tebal. Di dalam kasus terjadinya overfilling, bahan yang berlebih diambil
dengan blade steril. Penempatan yang benar dikonfirmasi dengan radiografi periapikal (Kodak,
Carestream Health, USA). Paper point basah ditempatkan pada saluran akar kemudian sampel
disimpan dalam kasa basah selama 24 jam. Semua saluran akar diobturasi menggunakan gutta-
percha (Meta Biomed Co. Ltd, Korea) dan sealer AH26 (Dentsply, DeTrey, Jerman) dengan
teknik kondensasi cold lateral ditambah gutta-percha accessory. Sampel kemudian diberi semen
sementara (Cavit, ESPE, Seefeld, Jerman) dan diinkubasi selama 1 minggu pada suhu 37°C.
HASIL
Nilai rata-rata, simpangan baku/standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum
resistensi fraktur dari setiap kelompok disajikan dalam Tabel 1. Di semua kelompok, nilai-nilai
terdistribusi secara normal (Uji Kolgomorov–Smirnov, P > 0,05), sehingga digunakan one-way
ANOVA untuk mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan yang signifikan di antara kelompok-
kelompok yang diuji. Asumsi homogenitas varians ditolak (Uji Leven, P < 0,05) dan Uji
Dunnett's T3 digunakan untuk perbandingan multipel.
DISKUSI
Perawatan endodontik pada dasarnya memiliki tingkat risiko yang tinggi terhadap
terjadinya fraktur akar [1], namun perawatan endodontik pada gigi imatur berisiko jauh lebih
tinggi mengalami fraktur akar oleh karena dinding dentinnya yang tipis [4, 5]. Situasi akan
menjadi lebih rumit, apabila rencana perawatan memerlukan pula penempatan pasak
endodontik.
Pada awalnya, penggunaan kalsium hidroksida telah sejak lama menjadi pilihan
perawatan untuk menginduksi apeksifikasi pada gigi imatur non-vital [15]. Namun, pada tahun
1993 mulai diperkenalkan MTA [16] yang menunjukkan keberhasilan sebagai bahan alternatif
dengan sejumlah keuntungan dalam penggunaannya antara lain pembentukan apical barrier
dengan instan, kemampuan untuk setting di lingkungan yang basah, kemampuan sealing yang
menjanjikan, periode perawatan yang lebih singkat, meningkatkan kepatuhan pasien,
kemudahan penanganan, dan kemungkinan peningkatan resistensi fraktur pada gigi imatur.
CEM yang mulai diperkenalkan pada tahun 2006 [22], menunjukkan kemampuan yang
terbilang sebanding dengan MTA terkait resistensi fraktur [4] dan kemampuan sealing [23].
CEM bahkan menunjukkan sejumlah hasil yang lebih unggul seperti efek antibakteri yang lebih
tinggi [24], setting time yang jauh lebih singkat, penanganan yang lebih mudah, dan tidak
memberi perubahan warna pada gigi [25].
Meskipun baru-baru ini dikembangkan pasak dengan bahan lain seperti pasak zirkonia,
pasak karbon dan pasak fiber glass yang menawarkan hasil estetik yang lebih baik
dibandingkan pasak logam cor [5, 26], namun tingkat keberhasilan pasak mana yang lebih
unggul masih menjadi kontroversial. Beberapa penelitian telah melaporkan lebih minimnya
waktu chair-side dan pengerjaan laboratorium untuk sistem pasak baru [10, 12, 26], sementara
beberapa penelitian yang lain menyatakan bahwa penggunaan pasak logam cor memberi
keuntungan berupa retensi yang lebih tinggi [14] atau keunggulan lain yang dapat diterapkan
pada kondisi khusus seperti kasus dimana lebih dari satu gigi membutuhkan pasak,
ketidaksejajaran gigi, dan gigi kecil dengan jaringan gigi yang minimal [27].
Secara keseluruhan, pasak logam cor masih merupakan salah satu sistem pasak yang
paling sering digunakan, terutama untuk gigi posterior [28, 29]. Sayangnya, prevalensi karies
gigi permanen muda pada anak-anak dan remaja masih sangat tinggi di banyak negara [30–
32]; dan kerusakan gigi yang berlebihan akibat karies gigi masih menjadi alasan utama
terjadinya kehilangan gigi pada kelompok usia tersebut [33, 34]. Dalam kasus kerusakan gigi
yang parah, pasak logam cor masih dianggap sebagai gold standard untuk restorasi [35], tetapi
penelitian-penelitian terakhir yang dilakukan terkait resistensi fraktur pada gigi imatur yang
dirawat endodontik hanya berfokus pada restorasi dengan pasak fiber [4, 36, 37]. Pasak fiber
memiliki modulus elastisitas yang mirip dengan dentin [38], oleh sebab itu hasil perawatannya
tidak dapat dibandingkan secara general dengan sistem pasak lainnya termasuk pasak logam cor.
Dalam penelitian ini, pengaruh jenis dan ketebalan bahan apical plug (MTA vs CEM /
3 mm vs 5 mm) terhadap resistensi fraktur pada gigi imatur yang diberi perawatan endodontik
dan direstorasi dengan pasak logam cor dinilai. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa obturasi penuh atau apical plugging/penyumbatan apikal dengan bahan
biokeramik pada saluran akar, lebih meningkatkan resistensi fraktur pada gigi matur maupun
simulasi gigi imatur dibandingkan dengan saluran akar yang hanya diinstrumentasi namun
tidak diisi, atau hanya diisi dengan gutta-percha dan sealer [8, 39, 40]. Obturasi penuh saluran
akar dengan biokeramik tidak diindikasikan apabila rencana perawatan melibatkan
penempatan pasak endodontik, karena nantinya pengambilan kembali bahan tersebut ketika
dilakukan preparasi ruang pasak tergolong tidak mudah [41], selain itu bahan-bahan tersebut
juga lebih mahal daripada gutta-percha dan sealer. Oleh karena itu, dalam kasus yang demikian,
digunakan MTA atau CEM sebagai apical plug kemudian seluruh bagian saluran akar lainnya
diisi dengan gutta-percha dan sealer [42, 43].
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resistensi fraktur dari sampel di dalam semua
kelompok eksperimen lebih unggul daripada kelompok kontrol (gutta-percha dan sealer).
Namun, keunggulan tersebut tidaklah signifikan secara statistik kecuali untuk gigi yang diisi
dengan apical plug MTA 5 mm.
Di samping penelitian ini yang merupakan penelitian pertama yang membandingkan
pengaruh apical plug MTA dan CEM terhadap resistensi fraktur gigi yang direstorasi dengan
pasak logam cor, telah ada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai perbandingan pengaruh
kedua bahan tersebut terhadap resistensi fraktur dalam kondisi lain yang melaporkan hasil yang
kontroversial. Evren dkk. [4] membandingkan resistensi fraktur dari simulasi gigi imatur
manusia yang diberi 4 mm apical plug (MTA, CEM, dan Biodentine), serta pasak fiber dan
restorasi resin komposit. Penelitian tersebut melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan secara statistik dari resistensi fraktur di antara kelompok eksperimen, yang
menunjukkan hasil yang sejalan dengan hasil penelitian ini. Evren dkk. juga melaporkan bahwa
nilai resistensi fraktur dari seluruh kelompok eksperimen secara signifikan lebih tinggi
daripada kelompok kontrol, namun dalam penelitian ini, perbedaan yang signifikan hanya
terlihat pada kelompok MTA5. Adanya perbedaan di antara kedua hasil penelitian terkait
perbandingan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat terjadi karena
perbedaan metodologi yang digunakan dari masing-masing penelitian (contohnya persiapan
kelompok kontrol, ketebalan bahan plug, jenis sistem pasak, dan bahan restorasi).
Sarraf dkk. [44] membandingkan resistensi fraktur dari gigi imatur sapi yang dilakukan
pengisian penuh dengan MTA, CEM, dan Biodentine tanpa preparasi pasak dan penempatan
pasak. Mereka melaporkan bahwa MTA dan Biodentine menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan CEM. Hasil tersebut tampaknya tidak sejalan dengan hasil penelitian kali ini
yang menunjukkan nilai resistensi fraktur yang hampir sama untuk CEM dan MTA. Namun,
penjelasan yang dapat diberikan terkait timbulnya perbedaan tersebut disebabkan oleh karena
adanya perbedaan metodologis yang digunakan di antara kedua penelitian, terutama dalam hal
pemilihan antara obturasi saluran penuh atau apical plug. Sarraf dkk. juga melaporkan bahwa
tidak ada perbedaan resistensi fraktur pada kelompok CEM, gutta-percha dan sealer, dan
kontrol (pengisian dengan kapas kering). Perbedaan hasil dari perbandingan antara kelompok
eksperimental dengan kelompok kontrol dalam kedua penelitian dapat pula dikarenakan oleh
persiapan kelompok kontrol yang berbeda dan penetapan ketebalan obturasi yang beragam.
Milani dkk. [8] juga meneliti resistensi fraktur dari simulasi gigi insisif imatur manusia
yang diisi dengan MTA, CEM, dan MTA ditambah resin komposit dibandingkan dengan
kontrol negatif (gigi yang tidak dirawat) dan kontrol positif (gigi yang tidak ditambal)
kelompok. Hasil penelitian tersebut tidak menunjukkan perbedaan signifikan di antara ketiga
kelompok eksperimen, yang tampaknya sejalan dengan penelitian kali ini. Milani dkk. juga
melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok MTA ditambah komposit
dan kelompok CEM dengan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif. Di sisi
lain, kelompok MTA memiliki nilai kekuatan yang secara signifikan lebih tinggi daripada
kelompok kontrol positif. Perbedaan hasil dari perbandingan antara kelompok eksperimental
dengan kelompok kontrol dalam kedua penelitian dapat terjadi karena persiapan kelompok
kontrol dan penggunaan sistem pasak yang berbeda.
Penelitian kali ini juga tidak menunjukkan perbedaan resistensi fraktur yang signifikan
secara statistik dari ketebalan apical plug (3 mm atau 5 mm). Meskipun telah dilakukan
beberapa penelitian untuk membandingkan pengaruh aplikasi apical plug dengan ketebalan
yang berbeda terhadap kemampuan sealing ujung akar [45-48], namun penelitian yang menilai
pengaruh ketebalan apical plug terhadap sifat mekanik masih terbilang jarang. Madani dkk.
[48] membandingkan resistensi fraktur pada simulasi gigi imatur yang diisi apical plug MTA
dan CEM setebal 3 dan 5 mm dengan kelompok kontrol (5 mm gutta-percha). Gigi direstorasi
dengan pasak glass fiber dan resin komposit. Madani et al. melaporkan hasil penelitian yang
sejalan dengan penelitian kali ini, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
dari resistensi fraktur antara kelompok eksperimen. Namun, berbeda dengan penelitian kali ini,
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari kelompok kontrol. Hal ini dapat dikaitkan
dengan fakta bahwa kedua penelitian menggunakan sistem pasak dan restorasi yang berbeda.
Pengaruh ketebalan MTA dan CEM terhadap kekerasan mikro permukaan juga telah
dievaluasi melalui beberapa penelitian. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tabrizizadeh et
al. [49] menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dari kekerasan
mikro permukaan di antara apical plug MTA dan CEM dengan ketebalan 4 dan 8 mm. Login
dkk. [50] juga melaporkan tidak ada perbedaan secara statistik dari kekerasan mikro permukaan
antara apical plug MTA 4 dan 6 mm, sedangkan plug 10 mm secara signifikan lebih
kekerasannya lebih tinggi daripada plug 4 dan 6 mm. Meskipun hasil dari kedua penelitian
yang telah disebutkan tampaknya sejalan dengan hasil penelitian kali ini, namun pilihan
variabel uji sifat mekanik (seperti, kekerasan mikro permukaan dan resistensi fraktur), dapat
mempengaruhi keakuratan perbandingan.
Selain menilai ketahanan mekanis dan kekerasan, kemampuan sealing ujung akar juga
perlu menjadi perhatian ketika membandingkan bahan apical plug yang berbeda dengan
ketebalan yang beragam. Adel dkk. [45] yang membandingkan kemampuan sealing ujung akar
dari MTA dengan CEM dalam ketebalan yang berbeda melaporkan adanya kemampuan sealing
yang secara signifikan lebih tinggi pada apical plug setebal 5 mm dibandingkan dengan apical
plug setebal 3 mm dari kedua bahan. Valois dkk. [46] dan Gosh et al. [47], juga melaporkan
bahwa kemampuan sealing ujung akar dari apical plug MTA setebal 4 mm lebih baik
dibandingkan dengan ketebalan yang lebih rendah. Dengan demikian, keputusan penggunaan
klinis apical plug tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan sifat mekaniknya saja. Diperlukan
studi in-vitro dan in-vivo yang komprehensif mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi
hasil klinis dari perawatan endodontik dan prostodontik pada gigi imatur.
Secara keseluruhan, hasil dari sebagian besar penelitian mengenai resistensi fraktur tidak
dapat dibandingkan satu sama lain, karena besarnya variasi metodologi yang digunakan terkait
jenis sampel (misalnya gigi sapi/manusia, gigi insisif/premolar), persiapan sampel (misalnya
simulasi imatur, teknik preparasi saluran akar dan obturasi, preparasi pasak, sistem pasak),
obturasi (misalnya pengisian saluran penuh/apical plug, ketebalan bahan), restorasi koronal
(misalnya resin komposit, inti logam, mahkota), mesin uji (fatigue/static load, kecepatan,
sudut) dan sejumlah faktor lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya standardisasi metode, untuk
memungkinkan dilakukannya perbandingan dan interpretasi yang adil dalam segala aspek.
Dalam penelitian kali ini, tidak digunakan mahkota untuk ditempatkan pada inti, seperti
yang dilakukan dalam beberapa penelitian lain [51, 52], untuk menghindari timbulnya efek
pengganggu (confounding effect) dari kumpulan beberapa bagian yang saling direkatkan
(adhesively bonded). Walaupun penggunaan mahkota dapat menciptakan kondisi yang lebih
mirip dengan situasi klinis, dan para peneliti dapat membatasi efek pengganggu dengan
mempertimbangkan apa penyebab kegagalannya (mode of failure). Evaluasi penyebab
kegagalan dari spesimen juga bisa membawa lebih banyak informasi terkait mekanisme dan
alasan kegagalan. Karena itu, tidak dinilainya penyebab kegagalan dicatat sebagai salah satu
keterbatasan penelitian kali ini dan dapat disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk
melakukan penilaian tersebut. Temuan dalam penelitian kali ini didasarkan dari sampel dengan
ukuran yang relatif kecil yang juga dapat dianggap sebagai keterbatasan penelitian.
Keterbatasan penelitian yang lainnya dari penelitian ini adalah dimensi ruang pasak yang sama
persis tidak dapat dicapai karena bergantung pada preparasi yang dilakukan operator dan
adanya sedikit perbedaan anatomi. Namun, ukuran bukaan apikal bisa menjadi hal terukur yang
dapat diaplikasikan dalam penelitian mendatang. Dan terakhir, keterbatasan uji in-vitro
resistensi fraktur statis dapat dipahami.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bukti yang mengindikasikan bahwa penempatan apical plug
MTA 5 mm meningkatkan resistensi fraktur pada simulasi gigi imatur yang direstorasi dengan
pasak logam cor, dibandingkan dengan kelompok kontrol (gutta-percha dan sealer). Di sisi lain,
penempatan apical plug MTA setebal 3 mm ataupun apical plug CEM setebal 3 atau 5 mm
kurang menunjukkan hasil yang memuaskan.