Anda di halaman 1dari 14

1

MODUL PERKULIAHAN

W552100001 –
Akuntansi
Perpajakan
Utang dan Piutang Pajak (1)

Abstrak Sub-CPMK

Pertemuan ini berisi tentang Sub-CPMK 3.1 – PPh Pasal 25, PPh
penghitungan dan Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23
pencatatan utang piutang
pajak

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi


08 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Pendahuluan
Utang Pajak merupakan bagian dari liabilitas atau kewajiban yang timbul karena
masa lalu yaitu adanya objek pajak yang sesuai ketentuan harus disetor perusahaan di
masa mendatang, sedangkan piutang pajak merupakan bagian dari aset yang timbul
karena adanya objek pajak yang disetor atau dipotong pihak lain dan dapat dikompensasi
atau digunakan di masa mendatang. Seorang praktisi perpajakan tidak hanya mampu
menghitung, menyetor dan melaporkan pajak sesuai ketentuan pajak saja namun juga
mampu memahami pengakuan dan penyajian utang piutang pajak dalam laporan
keuangan sehingga mampu dalam melakukan perencanaan pajak yang baik.
Gambar 8.1
Utang Piutang Pajak

Beberapa jenis pajak termasuk dalam kelompok piutang atau aset lancar, sebagai
berikut:
1) PPN Masukan, menjadi piutang pajak setelah perusahaan membayar pajak masukan
kepada vendor atau penjual dan jumlah PPN tersebut dapat dikompensasi
perusahaan dengan PPN Keluaran.
2) PPh Pasal 25, menjadi piutang pajak setelah perusahaan menyetor sendiri cicilan
PPh Pasal 25 dan jumlah tersebut dapat dikompensasi dengan pajak penghasilan
terutang pasal 17 pada SPT Tahunan.
3) PPh Pasal 22, menjadi piutang pajak setelah perusahaan menyetor sendiri PPh
Pasal 22 saat melakukan impor barang, saat dipotong oleh pemungut PPh Pasal 22

2021 Akuntansi Perpajakan


2 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
seperti Bendaharawan, juga karena hal lainnya sesuai ketentuan pasal 22 Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
4) PPh Pasal 23, menjadi piutang pajak setelah perusahaan dipotong oleh pihak lain
pemberi penghasilan atas sewa aset selain tanah bangunan atau atas jasa yang
diberikan perusahaan.
5) PPh Pasal 24, menjadi piutang pajak setelah perusahaan dipotong oleh pihak lain
pemberi penghasilan di luar negeri sebagaimana ketentuan pajak di negara sumber
penghasilan.
6) PPh Pasal 28, menjadi piutang pajak setelah adanya penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 17 dikurang piutang pajak yang dapat dikreditkan
perusahaan dimana jumlah Pajak Penghasilan Pasal 17 lebih kecil.

Sedangkan beberapa jenis pajak termasuk dalam kelompok utang atau liabilitas
lancar, sebagai berikut:
1) PPN Keluaran, menjadi utang pajak ketika perusahaan yang sudah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak
dan menjadi utang pajak ketika memiliki nilai lebih besar dibanding PPN Masukan
pada akhir bulan
2) PPh Pasal 25, menjadi utang pajak sebagaimana penghitungan Wajib Pajak dalam
SPT Tahunan tahun pajak sebelumnya. Diakui sebagai utang pajak dan piutang
pajak pada setiap akhir bulan hingga adanya perubahan nilai cicilan PPh 25 pada
SPT Tahunan berjalan atau surat keterangan lainnya.
3) PPh Pasal 21, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan penghasilan
kepada orang pribadi baik pegawai atau non pegawai dan merupakan penghasilan
kena pajak PPh pasal 21.
4) PPh Pasal 23, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan atas sewa selain tanah
bangunan dan atau atas jasa yang diberikan oleh badan.
5) PPh Pasal 4 ayat (2), menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan atas sewa tanah bangunan dan
atau jasa konstruksi atau objek lain sebagaimana ketentuan Undang –
Undang Pajak Penghasilan.
6) PPh Pasal 26, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan yang berdomisili di luar negeri

2021 Akuntansi Perpajakan


3 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
atas objek pajak sesuai tax treaty yang berlaku atau Undang – Undang Pajak
Penghasilan pasal 26.
7) PPh Pasal 29, menjadi utang pajak setelah adanya penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 17 dikurang piutang pajak yang dapat dikreditkan
perusahaan dimana jumlah Pajak Penghasilan Pasal 17 lebih besar.

PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak
yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan
sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya
setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang
pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) dan Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22;
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24;
 Lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan
tiap masing-masing tempat usaha.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
Sampai Rp 50.000.000 = 5%

2021 Akuntansi Perpajakan


4 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
c. Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 22% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya sebagaimana batas waktu pembayaran pajak lainnya yang disetor sendiri.
Misalnya: untuk bulan Februari 2021, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2021.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari
libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei
2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau
dokumen sejenisnya (saat ini Surat Setoran Elektronik/SSE). Apabila wajib pajak
terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari
tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk bulan Februari 2014,
WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP,
WP dikenai bunga 2%, namun setelah Undang – Undang Cipta Kerja berlaku tarif bunga
sanksi administrasi keterlambatan pajak adalah sesuai suku bunga bank setiap bulannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa cicilan PPh 25 ada sesuai dengan hitungan
wajib pajak dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya. Setiap bulan, wajib pajak melakukan
pengakuan sebagai berikut:
Piutang PPh Pasal 25 (Db) xxx
Utang PPh Pasal 25 (Cr) xxx

Jumlah utang PPh pasal 25 akan hilang / habis ketika wajib pajak menyetor cicilan
PPh 25 pada bulan berikutnya:
Utang PPh Pasal 25 (Db) xxx
Bank (Cr) xxx

2021 Akuntansi Perpajakan


5 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Sedangkan piutang PPh pasal 25 akan hilang / habis ketika wajib pajak
mengkompensasi jumlah piutang PPh pasal 25 dengan PPh pasal 17 / biaya pajak kini
sebelum melaporkan SPT Tahunan:
Biaya Pajak Kini (Db) xxx
PIutang PPh Pasal 25 (Cr) xxx

PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) merupakan jenis pajak yang dikenakan
terhadap penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
yang diterima oleh pegawai, bukan pegawai, mantan pegawai, penerima pesangon dan
lain sebagainya.
Berdasarkan Bab V Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-
16/PJ/2016, Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh 21 adalah sebagai berikut:
1. Penerima penghasilan kena pajak, antara lain:
 Pegawai tetap
 Penerima pensiun berkala
 Pegawai tidak tetap dengan penghasilan per bulan melewati Rp 4.500.000
 Bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang
menerima imbalan yang sifatnya berkesinambungan.
2. Seseorang yang menerima penghasilan melebihi Rp 450.000 per hari, yang berlaku
bagi pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.
3. 50% dari penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang menerima imbalan yang tidak
bersifat berkesinambungan.
4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan, sebagaimana yang dimaksud dalam tiga poin di atas.

Selain dasar pengenaan dan pemotongan, perhitungan PPh 21 juga didasarkan


atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Artinya, pengenaan PPh tidak secara
mentah diterapkan sesuai tarif, melainkan dikurangi PTKP terlebih dahulu. Anda dapat
menemukan tarif PTKP yang berlaku di bawah ini.

2021 Akuntansi Perpajakan


6 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Perhitungan PPh 21 selalu disesuaikan dengan tarif PTKP yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). PTKP yang tercantum pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. adalah sebagai berikut:
1. Rp 54.000.000 per tahun atau setara dengan Rp 4.500.000 per bulan untuk wajib
pajak orang pribadi.
2. Rp 4.500.000 per tahun atau setara Rp 375.000 per bulan tambahan untuk wajib
pajak yang kawin (tanpa tanggungan).
3. Rp 4.500.000 per tahun atau setara Rp 375.000 per bulan tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk
setiap keluarga.

Ragam Metode Perhitungan Gaji Karyawan


Walaupun perhitungan PPh 21 telah diatur oleh DJP, namun pada praktiknya, setiap
perusahaan memiliki metode perhitungan PPh 21 sendiri yang disesuaikan dengan
tunjangan pajak atau gaji bersih yang diterima karyawannya. Ada 3 metode perhitungan
PPh 21 yang paling umum, yaitu:
1. Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)
Metode gross diterapkan bagi pegawai atau penerima penghasilan yang
menanggung PPh 21 terutangnya sendiri. Ini berarti gaji pegawai tersebut belum
dipotong PPh 21. Misalnya, Ardi seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji
bulanan senilai Rp 10.000.000, maka perhitungannya sebagai berikut:
Gaji pokok: Rp 10.000.000/bulan atau Rp 120.000.000/tahun
Tarif PPh: 15%
PPh 21 (yang ditanggung sendiri): Rp 4.900.000/tahun atau Rp 408.333/bulan
Gaji bersih (take home pay): Rp 9.591.667
Ketika perusahaan membayar gaji pegawai, maka akan muncul utang PPh 21
dengan jurnal:
Biaya Gaji 10.000.000
Utang PPh 21 408.333
Bank 9.591.667
Dan utang PPh 21 akan hilang / habis ketika perusahaan menyetor PPh 21 di bulan
depan, dengan jurnal:
Utang PPh 21 408.333
Bank 408.333

2021 Akuntansi Perpajakan


7 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
2. Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)
Metode gross-up diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan yang
diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan terlebih dahulu) sebesar pajak yang
dipotong.
Misalnya, Ardi seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji bulanan senilai Rp
10.000.000, maka perhitungannya:
Gaji pokok: Rp 10.000.000/bulan atau Rp 120.000.000/tahun
Tarif PPh: 15%
Tunjangan pajak (dari perusahaan): Rp 5.746.706/tahun atau Rp 480.392/bulan
Total gaji bruto: 10.480.392
Nilai PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan): Rp 480.392/bulan
Gaji bersih (take home pay): Rp 10.000.000/bulan
Ketika perusahaan membayar gaji pegawai, maka akan muncul utang PPh 21
dengan jurnal:
Biaya Gaji 10.000.000
Biaya Tunjangan PPh 21 480.392
Utang PPh 21 480.392
Bank 10.000.000
Dan utang PPh 21 akan hilang / habis ketika perusahaan menyetor PPh 21 di bulan
depan, dengan jurnal:
Utang PPh 21 480.392
Bank 480.392

3. Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)


Metode net diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan yang mendapatkan
gaji bersih dengan pajak yang ditanggung perusahaan.
Misalnya jika Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji bulanan sejumlah Rp
10.000.000, maka: perhitungannya:
Gaji pokok: Rp 10.000.000/bulan atau Rp 120.000.000/tahun
Total gaji bruto: Rp 10.000.000
Tarif PPh 21: 15%
Pajak yang ditanggung perusahaan: Rp 4.900.000/tahun atau Rp 408.333/bulan
Nilai PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan): Rp 408.333/bulan
Gaji bersih (take home pay): Rp 10.000.000/bulan
Ketika perusahaan membayar gaji pegawai, maka akan muncul utang PPh 21
dengan jurnal:

2021 Akuntansi Perpajakan


8 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Biaya Gaji 10.000.000
Biaya PPh 21 408.333
Utang PPh 21 408.333
Bank 10.000.000
Dan utang PPh 21 akan hilang / habis ketika perusahaan menyetor PPh 21 di bulan
depan, dengan jurnal:
Utang PPh 21 408.333
Bank 408.333

Cara Perhitungan PPh 21 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan


Berikut ini adalah cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 bukan pegawai
yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan:
Ardi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya Kurnia dengan
penghasilan Rp 5.000.000.
Besarnya PPh 21 yang terutang adalah:
5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000.
Bila Aditya tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000.

Penjelasan:
Karena Ardi bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan
sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Hal ini sesuai dengan peraturan PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c. Sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan
sampai dengan Rp 50.000.000 adalah 5%.

Ketika perusahaan membayar honor OP bukan pegawai, maka akan muncul utang PPh
21 dengan jurnal:
Biaya Jasa 5.000.000
Utang PPh 21 125.000
Bank 4.875.000
Dan utang PPh 21 akan hilang / habis ketika perusahaan menyetor PPh 21 di bulan
depan, dengan jurnal:
Utang PPh 21 125.333
Bank 125.333

2021 Akuntansi Perpajakan


9 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
PPh Pasal 22
Menurut Pasal 22 Undang - Undang Nomor 36 tahun 2008 tengan Pajak
Penghasilan bahwa Menteri Keuangan menetapkan Pemerintah sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, Badan tertentu sehubungan dengan kegiatan
impor dan kegiatan usaha lain yang dilakukan oleh Wajib Pajak serta menetapkan Wajib
Pajak tertentu untuk memungut Pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong
mewah
Sesuai Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 16/PMK.010/2016 bahwa tariff
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah sebagai berikut:

Objek Pajak Tarif ber NPWP Ketentuan Pajak


Impor selain kedelai, gandum, dan
tepung terigu 2,5%, 10%, 7,5% Pasal 2 (1) a 1
Impor kedelai, gandum, dan tepung
terigu 0,50%  Pasal 2 (1) a 1c
Ekspor barang tertentu 1,50%  Pasal 2 (1) a 2
Pembelian oleh Bendaharawan
Pemerintah / Instansi 1,50%  Pasal 2 (1) b
Penjualan Semen 0,25%  Pasal 2 (1) d
Penjualan Kertas 0,10%  Pasal 2 (1) d
Penjualan Baja 0,30%  Pasal 2 (1) d
Penjualan Otomotif 0,45%  Pasal 2 (1) e
Pembelian bahan hasil kehutanan,
pertanian, peternakan dan perikanan 0,25%  Pasal 2 (1) f
Pembelian batu bara, mineral logam,
dan mineral bukan logam 1,50%  Pasal 2 (1) g
Penjualan emas batangan 0,45%  Pasal 2 (1) h
Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP maka tarif Pajak 100% lebih tinggi
(Pasal 2 ayat 3)
Contoh Kasus
PT. BN menjual barang kena pajak kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sejumlah Rp500.000.000. Karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pemungut
PPN dan pemungut PPh 22 atas penyediaan BKP, berikut perhitungannya;
PPh pasal 22 = 1.5% x Rp500.000.000 = Rp7.500.000
PPN dipungut = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 (tidak diterima BN)
Dan jurnal yang dibuat oleh PT.BN adalah sebagai berikut ;
Kas/Bank/Piutang Rp492.500.000
Piutang PPh Pasal 22 Rp 7.500.000
PPN Keluaran (SSE Wapu) Rp. 50.000.000 (utk treasure SSP dari WAPU)

2021 Akuntansi Perpajakan


10 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
PPN Keluaran (020) Rp. 50.000.000 (utk penerbitan faktur)
Penjualan Rp500.000.000

Jumlah Piutang PPh 22 tersebut akan hilang / hapus ketika dikompensasikan


dengan PPh pasal 17 / biaya pajak kini di SPT Tahunan adalah sebagai berikut;
Biaya pajak kini Rp10.000.000 (contoh)
Piutang PPh 22 Rp7.500.000
Utang PPh 29 Rp2.500.000

PPh Pasal 23
Sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c nomor 1 Undang – Undang Pajak Penghasilan
bahwa atas penghasilan di bawah ini yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dan Wajib
Pajak Orang Pribadi dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 :
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); yaitu sewa tanah dan bangunan.

Sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c nomor 2 Undang – Undang Pajak Penghasilan dan
Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 bahwa atas
penghasilan di bawah ini yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dilakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 :
a. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen
c. Imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi
d. Imbalan sehubungan dengan jasa konsultan
e. Imbalan sehubungan dengan jasa lainnya

Kemudian ada jasa lainnya yang juga dikenakan PPh pasal 23 sesuai pasal 23 ayat
(1) huruf c nomor 2 Undang – Undang Pajak Penghasilan dan dijelaskan dalam Pasal 1
ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.
Contoh
Pada Oktober 2015 PT Garuda melakukan pembayaran kepad penyedia jasa dan pemilik
harta sebagai berikut:
1. Membayar sewa kendaraan operasional kepada CV. Daihatsu Indah sebesar Rp.
5.000.000

2021 Akuntansi Perpajakan


11 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
2. Membayar royalty kepada PT. Indah sebagai pemilik hak Cipta produk yang
digunakan oleh PT. garuda sebesar Rp. 10.000.000
3. Membayar jasa konsultan pajak kepada KPMG sebesar Rp. 50.000.000
Diminta
Hitung PPh 23 atas masing-masing transaksi tersebut dan yang harus dibayarkan kepada
penyedia jasa!
Jawab
1. Sewa kendaraan kepada CV. Daihatsu
Biaya Sewa Rp. 5.000.000
PPh terutang 2% Rp. 100.000
Pembayaran Rp. 4.900.000
Jurnal Akuntansinya
Biaya Sewa (Dr) 5.000.000
Utang PPh 23 (Cr) 100.000
Bank (Cr) 4.900.000
2. Royalti kepada PT. Indah
Biaya Royalti Rp. 10.000.000
PPh terutang 15% Rp. 1.500.000
Pembayaran Rp. 8.500.000
Jurnal Akuntansinya
Biaya Royalti (Dr) 10.000.000
Utang PPh 23 (Cr) 1.500.000
Bank (Cr) 8.500.000
3. Jasa Konsultan Pajak kepada KPMG
Biaya Konsultasi Rp. 50.000.000
PPh terutang 2% Rp. 1.000.000
Pembayaran Rp. 49.000.000
Jurnal Akuntansinya
Biaya Konsultasi (Dr) 50.000.000
Utang PPh 23 (Cr) 1.000.000
Bank (Cr) 49.000.000

Utang PPh pasal 23 tersebut akan hilang / hapus ketika Wajib Pajak melakukan
penyetoran PPh pasal 23 di Bulan berikutnya:
Utang PPh 23 (Db) Rp. 2.600.000
Bank (Cr) Rp. 2.600.000

2021 Akuntansi Perpajakan


12 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Rekonsiliasi dan Ekualisasi
Dengan pengakuan utang pajak dan piutang pajak sesuai transaksi yang terjadi
(seperti di atas), seharusnya jumlah tersebut sesuai dengan nilai yang disetor dan dilapor
di SPT Masa / Tahunan (untuk utang pajak) atau sesuai dengan Bukti Potong yang
dikreditkan di SPT Masa / Tahunan (untuk piutang pajak), itulah yang disebut rekonsiliasi
utang piutang pajak.
Sebagai contoh adalah saldo utang PPh 21 pada neraca Agustus 2021 sebesar Rp.
25.200.000, jumlah tersebut seharusnya sama dengan SSE (Surat Setoran Elektronik)
PPh 21 Masa Agustus 2021 dan juga sama dengan PPh 21 kurang bayar di SPT PPh 21
Masa Agustus 2021. Hal yang sama terjadi dengan jumlah utang PPh 23, jumlah utang
PPh 22 dan jumlah utang PPh 25 antara saldo di neraca dengan jumlah kurang bayar di
SPT Masa perusahaan.
Hal yang sama terjadi jika saldo piutang pajak seperti piutang PPh 22, piutang PPh
23 dan piutang PPh 25 di akhir tahun buku sama dengan kredit pajak yang dilaporkan di
SPT Tahunan 1771 lampiran III (untuk piutang PPh 22 dan piutang PPh 23) dan SPT
Tahunan 1771 Induk (untuk piutang PPh 25).
Selain rekonsiliasi di atas, hal yang perlu diperhatikan juga adalah ekualiasasi objek
pajak, dimana jumlah biaya / pendapatan yang menjadi objek pajak seharusnya sama
dengan dasar pengenaan pajak yang dilaporkan di SPT Masa dan SPT Tahunan.
Sebagai contoh untuk DPP PPh 21 di SPT Masa PPh 21 seharusnya equal dengan biaya-
biaya pegawai di laporan laba rugi perusahaan, seperti biaya gaji, biaya honor, biaya
bonus, biaya jamsostek, biaya asuransi pegawai, biaya lembur dan sejenisnya. Atau misal
untuk DPP PPh 23 di SPT Masa PPh 23 seharusnya equal dengan biaya sewa (selain
tanah bangunan) dan biaya jasa non OP di laporan laba rugi perusahaan. Selain itu juga
DPP PPh 23 yang dilaporkan di SPT Tahunan 1771 lampiran III seharusnya equal
dengan pendapatan jasa di laporan laba rugi perusahaan.

2021 Akuntansi Perpajakan


13 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka
Agoes, S. & Estralita. 2016. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Gunadi. 1997. Akuntansi Pajak disesuaikan dengan Undang-Undang Pajak Baru. Jakarta:
Grasindo
Juan, Ng Eng and Wahyuni, Ersa Tri. 2012. Panduan Praktis Standar Akuntansi
Keuangan, Edisi 2. Jakarta, Salemba Empat
Kartikahadi, Hans, Rosita Uli Sinaga, Merliyana Syamsul, Silvia Veronica Siregar, Ersa Tri
Wahyuni. 2016. Akuntansi Keuangan Berdasarkan SAK Berbasis IFRS, Edisi
kedua. Jakarta, Ikatan Akuntan Indonesia
Pardiar. 2010. Akuntansi Pajak. Jakarta: Mitra Wacana Media
Siswanto, E.H. & Tarmidi, D. 2020. Akuntansi Pajak Teori dan Praktik. Jakarta. Raja
Grafindo
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah menjadi Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah menjadi Undang – Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Waluyo. 2017. Perpajakan Indonesia Buku Satu. Jakarta. Salemba Empat.

2021 Akuntansi Perpajakan


14 Dr. Deden Tarmidi, M.Ak., BKP.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai