MODUL PERKULIAHAN
W552100001 –
Akuntansi
Perpajakan
Utang dan Piutang Pajak (1)
Abstrak Sub-CPMK
Pertemuan ini berisi tentang Sub-CPMK 3.1 – PPh Pasal 25, PPh
penghitungan dan Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23
pencatatan utang piutang
pajak
Beberapa jenis pajak termasuk dalam kelompok piutang atau aset lancar, sebagai
berikut:
1) PPN Masukan, menjadi piutang pajak setelah perusahaan membayar pajak masukan
kepada vendor atau penjual dan jumlah PPN tersebut dapat dikompensasi
perusahaan dengan PPN Keluaran.
2) PPh Pasal 25, menjadi piutang pajak setelah perusahaan menyetor sendiri cicilan
PPh Pasal 25 dan jumlah tersebut dapat dikompensasi dengan pajak penghasilan
terutang pasal 17 pada SPT Tahunan.
3) PPh Pasal 22, menjadi piutang pajak setelah perusahaan menyetor sendiri PPh
Pasal 22 saat melakukan impor barang, saat dipotong oleh pemungut PPh Pasal 22
Sedangkan beberapa jenis pajak termasuk dalam kelompok utang atau liabilitas
lancar, sebagai berikut:
1) PPN Keluaran, menjadi utang pajak ketika perusahaan yang sudah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak
dan menjadi utang pajak ketika memiliki nilai lebih besar dibanding PPN Masukan
pada akhir bulan
2) PPh Pasal 25, menjadi utang pajak sebagaimana penghitungan Wajib Pajak dalam
SPT Tahunan tahun pajak sebelumnya. Diakui sebagai utang pajak dan piutang
pajak pada setiap akhir bulan hingga adanya perubahan nilai cicilan PPh 25 pada
SPT Tahunan berjalan atau surat keterangan lainnya.
3) PPh Pasal 21, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan penghasilan
kepada orang pribadi baik pegawai atau non pegawai dan merupakan penghasilan
kena pajak PPh pasal 21.
4) PPh Pasal 23, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan atas sewa selain tanah
bangunan dan atau atas jasa yang diberikan oleh badan.
5) PPh Pasal 4 ayat (2), menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan atas sewa tanah bangunan dan
atau jasa konstruksi atau objek lain sebagaimana ketentuan Undang –
Undang Pajak Penghasilan.
6) PPh Pasal 26, menjadi utang pajak setelah perusahaan menyerahkan
penghasilan kepada orang pribadi atau badan yang berdomisili di luar negeri
PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak
yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan
sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya
setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang
pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) dan Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22;
Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24;
Lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan
tiap masing-masing tempat usaha.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya sebagaimana batas waktu pembayaran pajak lainnya yang disetor sendiri.
Misalnya: untuk bulan Februari 2021, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2021.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari
libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei
2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau
dokumen sejenisnya (saat ini Surat Setoran Elektronik/SSE). Apabila wajib pajak
terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari
tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk bulan Februari 2014,
WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP,
WP dikenai bunga 2%, namun setelah Undang – Undang Cipta Kerja berlaku tarif bunga
sanksi administrasi keterlambatan pajak adalah sesuai suku bunga bank setiap bulannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa cicilan PPh 25 ada sesuai dengan hitungan
wajib pajak dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya. Setiap bulan, wajib pajak melakukan
pengakuan sebagai berikut:
Piutang PPh Pasal 25 (Db) xxx
Utang PPh Pasal 25 (Cr) xxx
Jumlah utang PPh pasal 25 akan hilang / habis ketika wajib pajak menyetor cicilan
PPh 25 pada bulan berikutnya:
Utang PPh Pasal 25 (Db) xxx
Bank (Cr) xxx
PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) merupakan jenis pajak yang dikenakan
terhadap penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
yang diterima oleh pegawai, bukan pegawai, mantan pegawai, penerima pesangon dan
lain sebagainya.
Berdasarkan Bab V Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-
16/PJ/2016, Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh 21 adalah sebagai berikut:
1. Penerima penghasilan kena pajak, antara lain:
Pegawai tetap
Penerima pensiun berkala
Pegawai tidak tetap dengan penghasilan per bulan melewati Rp 4.500.000
Bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang
menerima imbalan yang sifatnya berkesinambungan.
2. Seseorang yang menerima penghasilan melebihi Rp 450.000 per hari, yang berlaku
bagi pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.
3. 50% dari penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 3(c) yang menerima imbalan yang tidak
bersifat berkesinambungan.
4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan, sebagaimana yang dimaksud dalam tiga poin di atas.
Penjelasan:
Karena Ardi bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan
sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Hal ini sesuai dengan peraturan PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c. Sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan
sampai dengan Rp 50.000.000 adalah 5%.
Ketika perusahaan membayar honor OP bukan pegawai, maka akan muncul utang PPh
21 dengan jurnal:
Biaya Jasa 5.000.000
Utang PPh 21 125.000
Bank 4.875.000
Dan utang PPh 21 akan hilang / habis ketika perusahaan menyetor PPh 21 di bulan
depan, dengan jurnal:
Utang PPh 21 125.333
Bank 125.333
PPh Pasal 23
Sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c nomor 1 Undang – Undang Pajak Penghasilan
bahwa atas penghasilan di bawah ini yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dan Wajib
Pajak Orang Pribadi dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 :
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); yaitu sewa tanah dan bangunan.
Sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c nomor 2 Undang – Undang Pajak Penghasilan dan
Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 bahwa atas
penghasilan di bawah ini yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dilakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 :
a. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen
c. Imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi
d. Imbalan sehubungan dengan jasa konsultan
e. Imbalan sehubungan dengan jasa lainnya
Kemudian ada jasa lainnya yang juga dikenakan PPh pasal 23 sesuai pasal 23 ayat
(1) huruf c nomor 2 Undang – Undang Pajak Penghasilan dan dijelaskan dalam Pasal 1
ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.
Contoh
Pada Oktober 2015 PT Garuda melakukan pembayaran kepad penyedia jasa dan pemilik
harta sebagai berikut:
1. Membayar sewa kendaraan operasional kepada CV. Daihatsu Indah sebesar Rp.
5.000.000
Utang PPh pasal 23 tersebut akan hilang / hapus ketika Wajib Pajak melakukan
penyetoran PPh pasal 23 di Bulan berikutnya:
Utang PPh 23 (Db) Rp. 2.600.000
Bank (Cr) Rp. 2.600.000