Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian anak tunarungu (elshia)


B. Klasifikasi (elshiaa)
C. Karakteristik
Atmaja (2017) menyatakan bahwa untuk mengetahui karakteristik anak tunarungu
susah, karena karakteristiknya sangat kompleks dan berbeda antara penderita yang
satu dengan penderita yang lain. Namun dalam ada beberapa karakteristik yang
dapat dilihat dalam konteks bahasa dan bicara, yaitu:
1. Miskin kosakata atau terbatas kosakatanya
2. Sulit untuk mengerti dan memahami kata-kata yang mengandung arti kiasan atau
kata-kata abstrak
3. Kurang menguasai irama dan gaya bahasa
4. Sulit untuk memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat yang panjang
5. Sulit untuk mengucapkan kata atau kalimat dengan jelas
Purwanto (Atmaja, 2017) menyatakan bahwa karakteristik anak tunarungu yaitu pada
umumnya mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara dibandingkan
anak-anak yang normal bahkan individu yang mengalami tuli sepenuhnya tidak bisa
untuk berbicara. Indra pendengaran yang kurang berfungsi dengan baik
menyebabkan anak tidak bisa menirukan kata-kata dengan tepat.
D. Penyebab
1. Faktor dalam diri anak
- Bisa disebabkan karena faktor keturunan bisa jadi salah satu atau kedua
orangtuanya mengalami ketunarunguan
- Saat mengandung ibunya menderita penyakit campak jerman (rubella)
- Saat mengandung ibu menderita keracunan darah atau toxaminia
2. Faktor luar diri anak
- Bisa disebabkan krena anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan.
contohnya anak menderita penyakit herpes simplex
- Menigtis atau radang selaput otak
- Mengalami radang pada telinga bagian tengah (otitis media)
- Penderita mengalami penyakit lain atau terjadi kecelakaan yang
menyebabkan terjadi kerusakan pada telinga bagian tengah atau dalam
Atmaja (2017) menyatakan ada beberapa faktor penyebab anak mengalami
tunarungu, yaitu:
1. Untuk tunarungu tipe konduktif
a) Terjadi karena kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga bagian luar
- Lubang telinga bagian luar tidak terbentuk (atresia meatus akustikus
externus)
- Terjadi radang pada lubang telinga bagian luar (otitis externa)
b) Terjadi karena kerusakan gangguan yang terjadi pada telinga tengah
- Terjadi tekanan atau benturan yang keras pada telinga yang
disebabkan karena jatuh, tabrakan, atau tertusuk
- Terjadi peradangan/infeksi pada telinga bagian tengah (otitis media)
- Munculnya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang pendengaran dan
tulang pendengaran (tympanisclerosis)
- Tulang pendengaran tidak ada sejak lahir (anomaly congenital)
- Disfungsi tuba eustachius. Tuba eustachius merupakan saluran yang
menghubungkan rongga telinga tengah dan rongga mulut, yang terjadi
karena alergi atau tumor nasopharynx.
2. Untuk tunarungu tipe sensorineural
a) Bisa disebabkan karena faktor genetic
b) Selain faktor genetic ada juga faktor dari luar, seperti:
- Rubela (campak jerman)
- Mengalami meningtis (radang selaput otak)
- Mengalami trauma akustik (kerusakan telinga karena terkena paparan
singkat suara dengan intensitas tinggi).
E. Dampak (gegos)
Atmaja (2017) menyatakan anak yang mengalami kelainan pendengaran akan
menangunggung konsekuensi yang sangat kompleks, terutama berkaitan dengan
masalah kejiwaannya. Penderita sering kali dihinggapi rasa keguncangan sebagai
akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Hal tersebut semakin tidak
menguntungkan bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas
perkembangannya. Penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti
pekembangannya, terutama pada aspek bahasa, kecerdasan, dan penyesuaian
sosial, sebab untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal praktis
memerlukan layanan atau bantuan secara khusus.
Proses internalisasi suara pada penderita mengalami masalah sebab organ
pendengaran di bagian luar, tengah, dalam yang menghubungkan ke saraf
pendengaran sebagai organ terakhir dari rangkaian proses pendengaran mengalami
gangguan. Akibat terganggunya organ tersebut berpengaruh terhadap kepekaan
penerima suara. Variasi kepekaan menerima suara berupa kepekaan suara nada
rendah dan tinggi.
Atmaja (2017) menyatakan ada dua bagian penting yang mengikuti dampak
terjadinya hambatan, yaitu:
1. Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarungu tersebut bahwa
penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam
rangsangan atau persitiwa bunyi yang ada disekitarnya
2. Akibat kesulitan menerinam rangsangan bunyi terserbut konsekuensinya
penderita tunarungu akan mengalmi kesulitan pula dalam memproduksi suara
atau bunyi bahasa yang terdapat disekitarnya
Sebagaimana yang diketahui peranan bahasa, bicara, pedengaran dalam konteks
komunikasi kehidupan sehari-hari merupakan 3 serangkai potensi manusia yang
mampu menjembatani proses komunikasi sebab ketiga unsur tersebut dalam proses
komunikasi masing-masing dapat pengontrol efektif dan ada tidaknya sebuah
komunikasi.
F. Intervensi (gegos)
Intervensi pada anak berkebutuhan khusus banyak hal yang harus di mengerti,
yaitu pada gangguan pendengaran yang terjadi pada anak perlu dilakukan deteksi
seawal mungkin mengingat peranan pendengaran dalam proses perkembanan
bicara sangatlah penting. Fungsi pendengaran dan juga perkembangan bicara sudah
termasuk ke dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang biasa
dilakukan mulai dari tingkatan Posyandu oleh profesi di bidang kesehatan. 
Pada anak berkebutuhan khusus tunarungu, gangguan pendengaran dapat
dikurangi dengan memanfaatkan sisa pendengaran dan menggunakan alat bantu
dengar meskipun hasilnya tidak sempurna. Selain itu, anak tunarungu juga perlu
mendapatkan terapi wicara untuk memperbaiki gangguan berbahasa sehingga anak
tunarungu bisa menjadi produktif dan dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Terapi
wicara diberikan kepada anak tunarungu atau mereka yang mengalami gangguan
komunikasi termasuk yang mengalami gangguan berbicara, berbahasa, serta
gangguan menelan. Terapi wicara juga dapat bermanfaat untuk membangun kembali
kognisi serta produktivitas anak tunarungu. Atmaja (2017) menyatakan beberapa
metode terapi wicara untuk anak berkebutuhan khusus dengan gangguan
pendengaran, di antaranya sebagai berikut:
1. Metode Lips Reading atau Membaca Ujaran 
Metode tersebut penekanannya terdapat pada kemampuan anak yang
diharuskan bisa menangkap suara atau bunyi bahkan ungkapan dari seseorang
melalui penglihatannya. Dengan kata lain, anak tunarungu harus bisa membaca
gerakan bibir lawan bicaranya. 
2. Metode Oral 
Metode oral ini adalah untuk melatih anak tunarungu agar bisa berkomunikasi
secara lisan dengan lingkungan atau orang- orang yang bisa mendengar.
Caranya, yaitu dengan melibatkan anak tunarungu untuk berbicara secara lisan
di hadapan orang atau masyarakat dalam setiap kesempatan. 
3. Metode Manual 
Terapi wicara dengan metode manual ini adalah cara melatih atau mengajar
anak tunarungu untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat, yaitu
dengan ejaan jari.
4. Metode AVT (Auditory Visual Therapy) 
Metode auditory visual therapy ini adalah perpaduan antara penerapan suara,
bahasa bibir, dan mimik muka. Tujuannya adalah dengan suara yang kita
diharapkan bisa mengoptimalkan sisa pendengaran anak, dan dengan membaca
mimik muka serta bahasa bibir diharapkan anak dapat dengan mudah
memahami atau lebih mengerti setiap kata yang diucapkan secara visual.
Akan tetapi, dalam terapi wicara ini juga ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain sebagai berikut,
a. Alat artikulasi anak untuk mengetahui apakah terdapat kecacatan atau tidak,
b. Pembentukan vokal dan konsonan.
c. Mengetahui tingkat kekurangan pendengaran anak. Ringan, sedang, berat
atau bahkan sangat berat.
d. Tingkat kelainan anak
Jika anak mengalami beberapa kelainan yang telah disebutkan di atas, maka
mereka perlu mendapatkan perhatian khusus, karena hal tersebut akan sangat
berpengaruh terhadap penanganan awal atau konsep awal seperti apa yang
akan diberikan kepada anak tunarungu.
Sekarang ini tentunya sudah banyak berbagai macam modifikasi terapi untuk
anak berkebutuhan khusus yang lebih modern dan juga lebih detail, tetapi pada
dasarnya semua metode terapi tersebut bergantung pada cara penanganan yang
dilakukan terhadap anak. Hendaknya anak tunarungu dilatih untuk berbicara
sedini mungkin dengan orang normal agar mereka merasa terbiasa dan organ
artikulasi mereka dapat terlatih sejak dini.
Akan tetapi, masih ada beberapa metode intervensi serta terapi-terapi untuk
anak-anak berkebutuhan khusus anak tunarungu, awalnya tidak banyak yang
mengetahui apa itu Auditory Verbal Therapy. Namun seiring dengan
berkembangnya teknologi pengobatan bagi penyandang difabel di Indonesia,
istilah AVT atau Auditory Verbal Therapy mulai diperkenalkan sebagai metode
baru untuk menangani anak difabel khususnya tunarungu.
Auditory Verbal Therapy (AVT) adalah sebuah metode terapi untuk
mengajarkan anak dengan gangguan pendengaran atau tunarungu agar mampu
mendengar dan berbicara dengan menggunakan alat bantu difabel, seperti
misalnya alat bantu dengar (ABD), FM System, maupun Cochlear Implant (CI).
Auditory Verbal Therapy (AVT) sebagai salah satu program terapi yang mamu
mendorong anak-anak tunarungu untuk mampu mendengar dan berbicara
dengan normal.  Pada proses Auditory Verbal Therapy, ana tunarungu mengajar
untuk bisa mengoptimalkan kemampuan pendengarannya sehingga lambat laun
anak difabel ini akan mendengarkan suara dari berbagai sumber informasi.
Terapi tunarungu ini pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-
20 berdasarkan hasil survei di lapangan yang menyebutkan bahwasanya  99%
penyandang tunarungu bahkan dengan gangguan pendengaran paling berat
sekalipun masih memiliki sisa kemampuan untuk mendengar.  Hanya ada sekitar
1% saja tunarungu yang benar-benar tidak bisa mendengar.  Di sinilah peran
Auditory Verbal Therapy (AVT) bekerja untuk memberikan stimulasi atau
rangsangan kepada anak tunarungu untuk mengoptimalkan sisa pendengaran
yang ada dengan bantuan alat bantu dengar. Selain mengajarkan anak difabel
untuk bisa mengoptimalkan fungsi pendengarannya dengan alat bantu, metode
Auditory Verbal Therapy (AVT) ini juga merangsang anak untuk belajar berbicara
ketika sang anak bisa mendengar dengan baik, maka tidak langsung anak difabel
juga bisa belajar banyak hal baru agar bisa berkomunikasi secara layaknya anak-
anak normal lainnya.  Namun, sampai saat ini masih banyak orang tua yang lebih
memilih metode terapi lainnya, seperti misalnya gerak bibir atau bahasa isyarat
dibandingkan metode Auditory Verbal Therapy (AVT) ini.  Hal ini karena sebagian
orang tua masih bersedia untuk membeli alat bantu dengar bagi putra-putri
istimewanya. 
G. Mengenal Konsep Pembelajaran
Atmaja (2017) menyatakan anak berkebutuhan khusus tunarungu dalam konsep segi
bahasa ada beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Bagian 1 Mengenal Konsep Bahasa
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bahasa yang digunakan oleh
anak tunarungu adalah bahasa isyarat yang menitikberatkan pada indra
penglihatan dan gerak tubuh untuk menegaskan kata atau kalimat yang ingin
mereka sampaikan. Seperti halnya dengan anak lain yang tidak berkebutuhan
khusus, pengenalan konsep bahasa yang tepat bagi anak tunarungu juga harus
dimulai sejak usia dini dan sangat bergantung pada peran aktif orang tua dalam
perkembangan bahasanya. Selain hal tersebut, dalam mengenalkan konsep
bahasa harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak dalam memahami
sebuah gambar. Berikut ini adalah daftar usia belajar dan pengenalan konsep
bahasa yang tepat sesuai dengan perkembangan usianya.
a. Usia 0-6 tahun
Dalam mengenalkan konsep bahasa juga harus Konsep belajar yang tepat
untuk anak tunarungu pada usia ini adalah dengan menitikberatkan pada
pengenalan bahasa isyarat angka dan huruf dan tidak memfokuskan pada
pemahaman konsep kata-kata. Tahapan pengenalan konsep bahasa pada
usia ini lebih menekankan pada mengenalkan bentukan-bentukan huruf dan
angka tersebut.
b. Usia 6 - 10 tahun
Pada usia ini anak sudah mulai dikenalkan pada konsep kata-kata dasar yang
menggunakan gambar tunggal yang merepresentasikan satu kata.
c. Usia 10 - 12 tahun
Pada tahapan ini, anak tunarungu sudah dianggap mampu untuk mengenali
bentuk-bentuk gambar dan mampu untuk menceritakan objek tersebut
dengan menggunakan kalimat sederhana. Penekanan berbahasa pada anak
tunarungu usia ini adalah pada produksi kalimat dengan menggunakan
susunan bahasa Indonesia yang benar, yaitu dengan struktur SPOK (Subije
Predikat Objek Keterangan).
d. Usia 12 - 16 tahun
Sering kali anak tunarungu pada usia ini sudah belajar berbahasa melalui
pengalamannya sendiri sehingga pada usia remaja ini mereka sudah
mempunyai perbendaharaan kosakata yang cukup banyak dan sudah mampu
untuk memahami kalimat-kalimat dalam sebuah paragraf dengan baik karena
hal itu harus terus dioptimalkan kemampuan anak tersebut.
e. Usia 16 tahun ke atas
Konsep berbahasa pada anak tunarungu usia ini sudah berkembang dengan
pesat dan penambahan hanya perlu ditekankan pada kalimat-kalimat kiasan
yang bisa didapat dari interaksi dengan orang lain yang tidak mengalami.
Perkembangan keterampilan berbahasa pada usia ini sangat bergantung
pada keaktifan anak tunarungu dalam berkomunikasi dengan orang lain.
2. Bagian 2 Mengenal Konsep Bahasa
Jika pada bagian pertama kita telah membahas tentang pengenalan konsep
bahasa yang tepat bagi anak tunarungu berdasarkan perkembangan usianya
yang harus kita ketahui berdasarkan usia karena awal yang harus dimengerti
bagaimana konsep perkembangan anak tunarungu. Sebelum membahas lebih
lanjut, ada pentingnya bagi kita untuk mengetahui tentang bahasa bagi anak
tunarungu itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar kita sebagai orang tua ataupun
prndamping dapat menentukan metode pengenalan bahasa yang tepat bagi anak
tunarungu.
Secara linguistik definisi bahasa secara umum adalah sistem komunikasi
yang digunakan manusia dalam kelompok-kelompok atau komunitas tertentu
berdasarkan simbol yang dipelajari melalui organ bicara dan pendengaran yang
diolah secara acak untuk menghasilkan arti tertentu. Mengacu pada definisi di
atas dan kaitannya dengan bahasa pada kondisi tunarungu, maka kita tidak
dapat merujuk pada bahasa yang menekankan pada organ bicara dan
pendengaran. Dalam berbahasa telah diketahui bersama bahwa tidak dapat
membatasi bahasa hanya pada penggunaan organ bicara dan pendengaran
saja. Sebelumnya manusia pun sudah mengenal bentuk bahasa lain yang
menekankan gerak tubuh untuk membentuk arti tertentu. Gerak tubuh inilah yang
kemudian digunakan sebagai dasar bahasa isyarat bagi tunarungu. Pada
dasarnya bahasa isyarat yang diberlakukan berbeda-beda untuk setiap negara.
Bahasa isyarat yang diberlakukan adalah SIBI atau Sistem Isyarat Bahasa
Indonesia.
Beberapa kaidah yang digunakan adalah sebagai berikut.
a. Dalam pengembangannya bahasa isyarat harus mudah untuk digunakan dan
dipelajari oleh guru, siswa dan orang tuanya juga masyarakat secara umum.
b. Pengembangan bahasa isyarat harus mewakili tata bahasa yang digunakan
oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
c. Dalam mengembangkan bahasa isyarat, kemampuan dan perkembangan
kejiwaan siswa harus menjadi pertimbangan.
d. Pengembangan bahasa isyarat harus berdasar pada kata isyarat yang paling
banyak digunakan oleh tunarungu.
e. Bahasa isyarat tersebut harus sesuai dengan sistem budaya dan sosial yang
ada di Indonesia.
f. Bahasa isyarat harus mempunyai pembeda arti yang jelas antartiap katanya.
Selain itu, isyarat juga tidak baku dalam artian bahwa kata tersebut
memungkinkan untuk dikembangkan di waktua depan tanpa mengubah arti.
g. Dalam pengembangan bahasa isyarat bagi siswa tetap senantiaca mengacu
pada perkembangan metodologi pengajaran, pengetahuan juga
perkembangan bahasa siswa itu sendiri.
3. Bagian 3 Mengenal Konsep Bahasa
Pada bagian ketiga ini ada dua pembahasan mengenai pengenalan konsep
bahasa yang tepat bagi anak tunarungu. Permasalahan paling besar bagi kondisi
tunarungu adalah untuk membantu mereka memahami dan menambah
perbendaharaan kata.
Cara yang paling efektif untuk mengenalkan dan menambah perbendaharaan
kata bagi anak tunarungu adalah dengan memaksimalkan organ penglihatan
mereka, yaitu melalui bentuk dan gambar. Namun, hal tersebut juga menjadi
permasalahan baru, yaitu bagaimana mengubah satu kata dalam bentuk gambar
dan bagaimana memilih bentuk-bentuk yang dapat mewakili sebuah kata dengan
tepat.
Dua hal utama yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa bentuk yang
akan dipilih untuk mewakili sebuah kata harus sesuai dengan ciri dan
karakteristik budaya di mana anak tunarungu tersebut tinggal. Dua hal tersebut
sangat berguna untuk mempermudah anak mengenali bentuk kata yang
dimaksud dengan tepat.
Ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan untuk mengenalkan bentuk
visual secara tepat kepada anak tunarungu. Unsur vang harus diperhatikan
adalah bentuk, garis, tekstur, dan warna,
a. Garis
Menurut pengertiannya garis adalah kumpulan titik-titik dan mempunyai jenis
yang bermacam-macam yaitu: garis vertikal, garis horizontal, garis lengkung,
garis zig zag dan garis lingkar. Bentukan pada garis dapat memberikan
impresi tertentu pada anak tunarungu. Misalnya, ketika garis dibuat secara
tipis, maka hal ini akan menimbulkan kesan halus dan lembut. Demikian juga
sebaliknya, ketika garis dibuat secara tebal, maka hal ini akan menimbulkan
kesan sifat yang kuat dan keras. Melalui garis, kita dapat membantu
mengenalkan berbagai ekspresi manusia dan sifat-sifatnya.
b. Bentuk
Definisi bentuk sendiri adalah suatu konsep simbol yang terbentuk dari
hubungan antara garis-garis atau merupakan gabungan dan garis-garis
dengan konsep yang lain. Contoh sederhana yang dapat menggambarkan
definisi bentuk tersebut adalah kumpulan garis-garis yang membentuk mobil.
c. Warna
Fungsi warna pada pengenalan konsep bahasa isyarat bagi anak tunarungu
berfungsi untuk memberikan pemisahan dan penekanan dan dapat juga
menciptakan emosi pada objek tersebut
d. Tekstur
Tekstur digunakan untuk membantu memberikan penekanan pada bentuk
kasar dan halus. Fungsi tekstur sendiri dapat juga untuk memberi penekanan
pada objek tertentu sama dengan fungsi warna.
4. Bagian 4 Mengenal Konsep Bahasa
Konsep bahasa memiliki batasan atau aturan jika kita ingin menerjemahkan
bahasa Indonesia ke dalam bahasa gambar. Batasan tersebut, antara lain
a. Pertama, jika kita ingin mengubah kata dalam bahasa Indonesia menjadi
bahasa gambar, maka kata tersebut harus berupa kata benda atau kata kerja
tertentu yang mempunyai ciri khusus atau dapat diidentikkan dengan bentuk
tertentu. Misalnya, seperti kata benda kelinci dapat diubah menjadi bahasa
gambar dengan menunjukkan ciri khusus hewan tersebut. Kata kerja menulis
dapat langsung ditunjukkan arti kata tersebut dalam gambar.
b. Batas kedua yang perlu diperhatikan banyak kata dalam bahasa Indonesia
yang menggunakan imbuhan, sisipan, dan awalan, misalnya kata
menggambar atau memakai. Agar kata tersebut tidak membingungkan bagi
anak tunarungu, maka awalan, sisipan atau imbuhan pada sebuah kata tidak
digunakan. Pengenalan kata bagi anak tunarungu hanya menggunakan kata
dasarnya saja seperti kata gambar dan pakai. 
c. Batasan ketiga, pada dasarnya semua kata benda dalam bahasa Indonesia
dapat langsung digambarkan sesuai dengan makna katanya. Namun, ada
pula beberapa kata benda yang tidak ada bentuknya, tetapi tetap dapat
digambarkan sesuai dengan makna katanya, terutama untuk kata-kata yang
berhubungan dengan ekspresi. Contoh dari kata tersebut adalah yang
berkaitan dengan ekspresi manusia, seperti marah, atau sedih. Kata-kata
tersebut dapat digambarkan dengan langsung meng-ekspresikan
(menggunakan mimik wajah) kata yang dimaksud. Contoh kedua adalah kata-
kata yang berkaitan dengan keterangan waktu, misalnya pagi, siang, dan
malam. Cara untuk menggambarkan kata tersebut adalah dengan
menggunakan warna, seperti warna gelap untuk malam hari dan warna
terang untuk siang hari. Dapat juga dengan menambahkan ciri benda-benda
yang ada dalam waktu-waktu tersebut (bintang pada malam hari dan matahari
pada siang hari), sedangkan untuk kata-kata yang berkaitan dengan sifat-sifat
struk seperti keras, halus, dapat digambarkan dengan menggunakan teknik
tebal dan tipis pada gambar.
d. Batasan yang keempat, yaitu dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata
yang sulit untuk digambarkan dalam bentuk tertentu,seperti kata-kata yang
tidak berbentuk, contohnya Tuhan atau kata yang tidak berbentuk namun
dapat dirasakan dengan indra, misalnya: bau-bauan dan udara. Ada juga kata
konotasi, seperti "panjang tangan" atau "tangan besi". Untuk kata-kata dalam
bahasa Indonesia yang termasuk dalam kriteria tersebut perlu menggunakan
gambar- gambar tambahan yang berfungsi untuk memperjelas makna dari
kata-kata tersebut.

Daftar pustaka
Atmaja, J. R. (2017). Anak berkebutuhan khusus. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai