Anda di halaman 1dari 11

SATUAN ACARA PENYULUHAN

REMAJA

I.Identifikasi masalah

Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak


dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa
peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa.

Dalam mempelajari perkembangan remaja,[1] remaja dapat didefinisikan secara biologis


sebagai perubahan fisik yang ditandai oleh permulaan pubertas dan penghentian pertumbuhan
fisik; secara kognitif, sebagai perubahan dalam kemampuan berpikir secara abstrak atau secara
sosial, sebagai periode persiapan untuk menjadi orang dewasa. Perubahan pubertas dan biologis
utama termasuk perubahan pada organ seks , tinggi, berat, dan massa otot, serta perubahan besar
dalam struktur otak. Kemajuan kognitif mencakup peningkatan pengetahuan dan kemampuan
berpikir secara abstrak dan bernalar secara lebih efektif.

Pubertas adalah periode beberapa tahun di mana pertumbuhan fisik yang cepat dan
perubahan psikologis, yang memuncak pada kematangan seksual. Usia rata-rata mulai pubertas
adalah 11 untuk anak perempuan dan 12 untuk anak laki-laki. Jadwal individu setiap orang untuk
pubertas dipengaruhi terutama oleh faktor keturunan , meskipun faktor lingkungan,
seperti diet dan olahraga, juga mengerahkan beberapa pengaruh.  Faktor-faktor ini juga dapat
menyebabkan pubertas sebelum waktunya dan tertunda .[2] Pubertas terjadi melalui proses
panjang dan dimulai dengan lonjakan produksi hormon, yang pada gilirannya menyebabkan
sejumlah perubahan fisik. Ini adalah tahap kehidupan yang ditandai dengan penampilan dan
perkembangan karakteristik seks sekunder (misalnya, suara yang lebih dalam dan
tumbuh jakun yang lebih besar pada anak laki-laki, dan perkembangan payudara serta pinggul
yang lebih melengkung dan menonjol pada anak perempuan) dan perubahan kuat dalam
keseimbangan hormon menuju dewasa.

pubertas, remaja sering keluar dari batas wajar seperti hubungan yang tak seharusnya di
lakukan sehingga pada akhirnya akan terjadi pernikahan dini, Pernikahan dini adalah pernikahan
yang dilakukan sebelum mempelai berusia 18 tahun. Selain memunculkan risiko kesehatan bagi
perempuan, pernikahan dini juga berpotensi memicu munculnya kekerasan seksual dan
pelanggaran hak asasi manusia

Waktu remaja di masa

Dari data pengkajian diperoleh bahwa masih banyak remaja yang belum memahami
tentang akibatnya pernikahan dini. Oleh karena itu diharapkan dengan diadakan penyuluhan
tentang promkes bahayanya pernikahan dini maka penyuluhan ini akan menambah informasi
pada kalangan remaja baik perempuan maupun laki-laki sebelum bertindak.
II.  Pengantar
Bidang studi : Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi
Topik :  Pernikahan dini
Sub topik :  Bahayanya pernikahan dini
Sasaran :  Remaja laki-laki dan Perempuan
Hari /tanggal : Jum’at, 22 Oktober 2021
Jam                : 08.00 WIB
Waktu          : 40 Menit
Tempat          : Kampus D-III Kebidanan Bukittinggi
III. Tujuan Intuksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti kegiatan selama 40 menit, terutama remaja belum dapat
memahami bahanya pernikahan dini.
IV. Tujuan Intruksional Kusus (TIK)
Setelah mengukuti kegiatan selama 40 menit diharapkan mahasiswa dapat memahami
tentang:
1. pengertian pernikahan dini
2. mengetahui apa saja dampak dari penihan dini
3. mengetahui cara menghindari pernikahan dini
V.  Materi
1. pengertian pernikahan dini
2. apa saja dampak dari pernikahan dini
3. bagaimana cara menghindari diri dari pernikahan dini
VI. Metode :
1. Ceramah
2. Tanya jawab

VII. Media
1. Video

No Tahap Waktu Kegiatan Pengajar Subyek Belajar


1. Pembukaan 10  Memberi salam  Menjawab
Menit  Memfokuskan materi salam
dengan bercerita  Memperhatikan
 Menjelaskantujuan dengan seksama
pembelajaran

2. Pelaksanaan 20  Menjelaskan pengertian  Mendengarkan dan


penyampain Menit pernikahan dini mencatat
materi  Menjelaskan apa saja  Memperhatikan
dampak dari penikahan dan mencatat
dini  Menjawab/
 Menjelaskan cara mengajukan
menghindari pernikahan pertanyann
dini
3. Penutup 10  Menjawab pertanyaan  Menjawab/
Menit  Peserta merangkum mengajukan
materi yang telah pendapat
disampaikan  Memperhatikan
 Memberikan evalusi dan mencatat
secara lisan  Menjawab
 Memberi salam pertanyaan
penutup evaluasi
 Menjawan
salam
IX. Kriteria Evaluasi

1. Evaluasi Struktur
 Kesiapan materi
 Kesipan SAP
 Kesiapan media: video
 Ada peserta yang hadir ditempat penyuluhan
 Penyelenggaraan Penyuluhan dilaksanakan di aula kampus
 Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelumnya
2. Evaluasi Proses
 Fase dimulai sesuai dengan waktu yang direncanakan
 Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
 Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar
 Suasana penyuluhan tertib
 Ada peserta yang mendengarkan materi penyuluhan
 Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 10 orang
3. Evaluasi Hasil
Peserta penyuluhan dapat
a. Menjelaskan pengertian pernikahan dini
b. Menjelaskan apa saja dampak dari penikahan dini
c. Menjelaskan cara menghindari pernikahan dini

LAMPIRAN

PROMOSI KESEHATAN REMAJA DALAM PERNIKAHAN DINI

A. Pengertian

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum mempelai berusia 18 tahun.
Selain memunculkan risiko kesehatan bagi perempuan, pernikahan dini juga berpotensi memicu
munculnya kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas minimal usia
untuk menikah di mana pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Akan tetapi dari sisi medis dan psikologis, usia
tersebut masih terbilang dini untuk menghadapi masalah pada pernikahan. Beberapa penelitian
bahkan menunjukkan bahwa pernikahan dini di usia remaja lebih berisiko untuk berujung pada
perceraian

B. apa saja dampak dari penikahan dini

1. terganggunya kesehatan mental dan fisik

 Dampak Kesehatan Fisik karena Pernikahan Dini

Kehamilan di usia remaja berpotensi meningkatkan risiko kesehatan pada wanita dan bayi. Ini
karena sebenarnya tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan. Wanita yang masih muda
masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jika ia hamil, maka pertumbuhan dan
perkembangan tubuhnya akan terganggu. Biasanya kondisi yang muncul akibat hamil di usia
muda yaitu:

 Tekanan Darah Tinggi. Hamil di usia remaja berisiko tinggi terhadap tingginya tekanan
darah. Seseorang mungkin dapat mengalami preeklampsia yang ditandai dengan tekanan
darah tinggi, adanya protein dalam urine, dan tanda kerusakan organ lainnya.
 Anemia. Anemia disebabkan karena kurangnya zat besi yang dikonsumsi oleh ibu hamil.
Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan kesulitan saat
melahirkan. 
 Bayi Lahir Prematur dan BBLR. Bayi prematur biasanya memiliki berat badan lahir
rendah (BBLR) karena sebenarnya ia belum siap untuk dilahirkan. Bayi lahir prematur
berisiko mengalami gangguan pernapasan, pencernaan, penglihatan, kognitif, dan
masalah lainnya. 
 Ibu Meninggal Saat Melahirkan. Perempuan di bawah usia 18 tahun yang hamil dan
melahirkan berisiko mengalami kematian saat persalinan. Ini karena tubuhnya belum
matang dan siap secara fisik saat melahirkan.

 Dampak Kesehatan Mental pada Pernikahan Dini

Pernikahan usia dini biasanya sering menyebabkan kesehatan mental wanita terganggu.
Ancaman yang sering terjadi adalah wanita muda rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) dan mereka belum tahu bagaimana cara terbebas dari situasi tersebut. 

Belum adanya kesiapan mental pasangan yang menikah dalam menjalani bahtera rumah tangga
menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Selain istri, anak dalam pernikahan
dini juga berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. 

Faktanya, anak-anak yang menjadi saksi mata dalam kasus kekerasan di rumahnya akan tumbuh
dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar dan terbatasnya keterampilan sosial. Di sisi
lain, anak ini kerap menunjukkan perilaku nakal, berisiko depresi atau gangguan kecemasan
berat. 

2. Kekerasan dalam rumah tangga

"Banyak faktor sebetulnya, tapi yang pasti fenomena menikah di usia-usia muda ini menjadikan
tren KDRT ikut meningkat. Kita harus lakukan pencegahan sejak dini," ujarnya dalam acara
Sosialisasi Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga Sejak Dini di Jailolo, Halmahera Barat,
Selasa ((11/10).

Menurut Venne, sosialisasi pencegahan KDRT gencar dilakukan di sejumlah daerah


dengan menggaet sasaran komunitas generasi muda. Diharapkan, akhir tahun 2016, terjadi
penurunan angka KDRT terutama yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.

Ia menjelaskan, saat ini sudah ada dua daerah percontohan yang dinilai berhasil menekan angka
KDRT yaitu Dumai dan Jailolo. Khusus di Jailolo, setidaknya ada enam kasus perbulan yang
dilaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

"Rata-rata kasusnya penelantaran dan perselingkuhan, tapi semua bisa diatasi secara
kekeluargaan. Tidak sampai ke ranah hukum," timpal Kepala Kantor Pemberdayaan Pempuan
dan Perlindungan Anak Kabupaten Halmahera Barat, Johanna Lustje Lethulur.

Ketahanan keluarga

Terlepas dari itu, menurut Johanna, ketahanan keluarga menjadi sangat penting untuk
menangkal kasus KDRT dalam rumah tangga. Sehingga perlu dibangun pemahaman akan hak
dan kewajiban masing-masing anggota keluarga terutama orang tua.

"KDRT ini masalah yang serius dan harus dicegah. Laki-laki atau dalam hal ini suami
harus paham perannya sebagai pemimpin keluarga," cetusnya.

Senada, Wakil Bupati Halmahera Barat Ahmad Zakir Mando menekankan fokus
pemerintah saat ini sosialisasi kepada calon-calon pemimpin rumah tangga alias generasi muda.
Meskipun, tak dipungkiri dewasa ini juga tidak sedikit laki-laki yang menjadi korban KDRT.

"Kekerasan di Halmahera Barat ini fokus kasusnya tidak hanya ibu dan anak yang jadi korban,
sosialisasinya juga kita lakukan menyeluruh. Jadi semua harus paham, kalau sudah paham akan
aman," tandasnya. OL-2

3. Krisis ekonomi

Pernikahan dini memiliki sejumlah dampak buruk, khususnya bagi perempuan, seperti
kesehatan reproduksi dan ekonomi. Namun, jumlahnya justru meningkat di Indonesia selama
pandemi Covid-19. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan
dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60%
yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut
jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun lalu yang sebanyak 23.700. Permohonan
dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia kawin
berdasarkan hukum yang berlaku di negeri ini. Hukum di Indonesia mengatur batas usia minimal
untuk menikah adalah 19 tahun,

sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU


Nomor 1 Tahun 1974. Seseorang yang menikah di bawah batas usia tersebut tergolong ke dalam
pernikahan dini. Kebijakan belajar dari rumah selama pandemi Covid-19 turut mendorong
peningkatan pernikahan dini di Indonesia. Hal ini sebagaimana terjadi antara pasangan S (17)
dan ES (15) asal Lombok Tengah yang pada Oktober 2020 memutuskan menikah lantaran bosan
belajar daring selama pandemi Covid-19, melansir Inews.id.  

Kasus serupa terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Kepala Unit Pelayanan Teknis
Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Lombok Timur, Nurhidayati
menyatakan terjadi 15 kasus pernikahan siswa di wilayahnya pada Agustus lalu. Alasan mereka
menikah serupa dengan kasus pertama. Penyebab selanjutnya, adalah hamir di luar nikah. Hakim
Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Ishadi menyatakan sebanyak 97% alasan
permohonan dispensasi kawin di tempatnya bekerja karena hal itu. “Ada yang sudah telat, ada
yang perutnya membesar,” katanya melansir Kompas.com, September lalu. (Infografik:
Pernikahan Dini Melonjak Selama Pandemi) Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa
Timur mencatat 165 pernikahan dini sepanjang Januari-Agustus 2020. Angka ini sekitar dua kali
lipat dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 78 pernikahan dini.

4. Terputusnya pendidikan

Terputusnya akses pendidikan Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak


tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang
masih melanjutkan sekolah setelah kawin.

Country Director Plan Indonesia John McDonough menyatakan keprihatinannya terhadap


angka pernikahan dini di Indonesia. Menurutnya, pemberdayaan anak perempuan bisa mencegah
terjadinya pernikahan di bawah umur ini.

McDonough menambahkan, program pemberdayaan ini memberikan hasil optimal dengan


juga melibatkan ayah, saudara laki-laki, dan suami. Tak hanya perempuan, laki-laki juga perlu
dilibatkan dalam menciptakan kesetaraan jender.

Program pemberdayaan tersebut meliputi ekonomi keluarga, advokasi, pendidikan dan


penelitian tentang pernikahan dini, serta kampanye pemberdayaan dan partisipasi anak
perempuan. "Program-program pemberdayaan anak perempuan yang dimiliki Plan juga
melibatkan laki-laki dewasa dan anak-anak,” tandasnya.

5. meningkatnya stunting

Studi organisasi kesehatan dunia (WHO) di Indonesia menyebutkan salah satu penyebab
masalah stunting di Indonesia adalah tingginya angka pernikahan dini. Semakin gawat saat pola
pikir masyarakat menganggap menganggap pernikahan dini sebagai hal biasa.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pernikahan dini di Indonesia
meningkat dari tahun 2017 yang hanya 14,18 persen menjadi 15,66 persen pada 2018.
Ada banyak faktor yang mendasari pernikahan dini, mulai dari adat, ekonomi, hingga
kehamilan yang tak diinginkan.

Pernikahan dini menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah pernikahan di bawah usia 19
tahun.

Pernikahan Dini Diprediksi Meningkat Setelah Pandemi Pernikahan dini bisa berdampuk
buruk, utamanya bagi kesehatan. Fakta lain yang dihadapi Indonesia, sebesar 43,5 persen kasus
stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-
15 tahun. Sementara 22,4 persen dengan rentang usia 16-17 tahun.

Lantas, apa hubungan antara stunting dengan pernikahan dini? Saat melakukan sebuah
pernikahan, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belumlah matang. Dapatkan
informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Mereka bisa jadi belum memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.

Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun.
Nah, jika mereka sudah menikah pada usia remaja tahun, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh
ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Baca juga: Nikah di Usia Remaja, Awas
Risiko Anak Stunting Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena stunting.

Pada wanita hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya belum matang. Organ rahim,
misalnya, belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin
dan bisa menyebabkan keguguran. Saat ini, pemerintah terus melakukan berbagai upaya
penanggulangan maupun pencegahan pernikahan dini atau pernikahan di usia belia melalui
Kementerian Kesehatan sebagai garda terdepan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika
untuk sosialisasi dampak pernikahan dini, termasuk stunting.

Usia ideal untuk hamil Pada dasarnya tidak ada patokan khusus usia terbaik kehamilan.
Namun, seorang wanita mulai memasuki usia produktif pada usia 21 tahun. Jika dipantau dari
segi biologis, pada usia 21-35 tahun, perempuan memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Sudah
begitu, sel telur yang diproduksi sangat berlimpah. Baca juga: Remaja Perlu Dilibatkan dalam
Pencegahan Stunting Risiko gangguan kehamilan, seperti pembukaan jalan lahir yang lambat
hingga risiko bayi cacat pada wanita usia 21-35 tahun juga sangatlah kecil.

Jadi, kalau umur generasi bersih dan sehat (Genbest) memang masih belum 19 tahun,
sebaiknya tunda dulu keinginan untuk menikah, ya. Kan sudah ada hukumnya juga, kalau usia
laki-laki dan perempuan harus minimal 19 tahun untuk menikah.

C.cara menghindari diri dari pernikahan dini

Cara yang efektif untuk mencegah terjadinya pernikahan dini berdasarkan penelitian
ialah:
Melihat maraknya kasus pernikahan dini di Indonesia disertai dengan dampak yang akan didapat
akibat pernikahan dini, maka penting bagi kita untuk menyadarkan masyarakat bahwa
pernikahan dini perlu untuk diantisipasi atau diatasi. Untuk itu, berikut adalah cara-cara yang
bisa diterapkan untuk membantu mengurangi adanya risiko pernikahan dini:
Menurut Maholtra, dkk (2011), terdapat banyak  program penanganan pernikahan dini yang telah
diterapkan diberbagai negara, namun berikut beberapa program pencegahan pernikahan yang
disampaikan:

A. Memberdayakan anak dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan pendukung


lainnya.
Program ini berfokus pada diri anak dengan cara pelatihan, membangun ketrampilan, berbagi
informasi, menciptakan lingkungan yang aman, dan mengembangkan jejaring dukungan yang
baik. Program ini bertujuan agar anak memiliki pengetahuan yang baik mengenai diri mereka
dan agar mereka mampu mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi baik secara jangka panjang
maupun jangka pendek.
Beberapa program yang telah dilakukan sebelumnya yaitu:
latihan keterampilan hidup tentang kesehatan, nutrisi, keuangan, komunikasi, negosiasi,
pengambilan keputusan, dan tema yang terkait lainnya.

1. Pelatihan keterampilan vokasional agar anak-anak yang berisiko mengalami pernikahan


dini memiliki aktivitas yang berpenghasilan.
2. Pelatihan pengetahuan mengenai kesehatan sexual dan reproduksi
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan anak,
sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan menggunakan berbagai
media
4. Mentoring dan pelatihan peer group yang ditujukan untuk pemuda/pemudi, orang
dewasa lainnya, guru, dll, agar menunjang penyebaran informasi dan mendukung anak-
anak perempuan yang berisiko menikah dini.
5. “Safe spaces” atau forum, kelompok, dan pertemuan yang memungkinan adanya proses
tatap muka, berkumpul, terhubung, dan bersosialisasi dengan lingkungan di luar rumah.

 
B. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak digunakan dalam
penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk menciptakan suatu lingkungan yang baik,
disebabkan karena ditangan keluarga dan anggota masyarakat yang tua-lah keputusan pernikahan
anak dilakukan atau tidak.

Program yang melibatkan strategi ini diantaranya ialah:

1. Pertemuan tatap muka dengan orangtua, komunitas, dan pemuka agama untuk 
memperoleh dukungan
2. Edukasi terhadap kelompok dan komunitas mengenai konsekuensi dan alternatif terhadap
pernikahan anak.
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan anak,
sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan menggunakan berbagai
media
4. Kampanye yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat yang berpengaruh, kepala
keluarga, dan anggota komunitas
 
C. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak
Penelitian banyak yang menemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan sangat berkorelasi
dengan penundaan usia menikah. Di sekolah, anak dapat mengembangkan ketrampilan sosial
sehingga memungkinkan adanya perubahan norma mengenai pernikahan dini.

1. Menyiapkan, melatih, dan mendukung anak-anak perempuan untuk mendaftar sekolah


2. Program peningkatan kurikulum sekolah dan pelatihan guru untuk menyampaikan materi
dan topik seperti ketrampilan hidup, kesehatan sexual dan reproduksi, HIV/AIDS, dan
kesadaran peran gender.
3. Program pemberian uang tunai, beasiswa, subsidi, seragam, dan suplai lainnya agar anak-
anak perempuan bersedia menjalani proses belajar mengajar.

 
D. Menawarkan dukungan ekonomi dan pemberian insentif pada anak dan keluarganya

E. Membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini.

Program penanganan pernikahan dini yang telah disesuaikan dengan budaya kolektivis
Indonesia:

Program intervensi untuk menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia dilakukan dengan
mempertimbangan faktor yang paling berpengaruh yaitu budaya kolektivis masyarakat.
Mengingat masih banyak aturan-aturan dalam budaya tertentu di Indonesia yang melazimkan
terjadinya pernikahan dini pada masyarakat setempat. Sehingga, dengan memanfaatkan budaya
koletif yang ada di masyarakat, diharapkan penanganan yang akan diberikan untuk mencegah
pernikahan dini dapat lebih efektif. Berikut akan dijabarkan program penanganan pernikahan
dini yang telah disesuaikan dengan budaya Indonesia yang diharapkan dapat lebih diterima oleh
masyarakat:

a. Peer support 
Membentuk peer support   atau kelompok dukungan pada keluarga-keluarga yang rentan untuk
mengikuti budaya nikah paksa. Kelompok dukungan ini dibentuk sebagai wadah agar anggota
komunitas bisa saling membagikan dan belajar dari pengatahuan dan pengalaman terkait dampak
pernikahan dini.
 
Selain itu, program ini juga  sebagai fungsi konseling kelompok yang beranggotakan individu
(anak) dengan orangtua penganut budaya setempat, pasangan yang sudah telanjur melakukan
pernikahan dini, serta orang-orang yang sudah menikah namun tidak termasuk ke dalam
pernikahan dini. Hal ini dilakukan agar tercipta aktivitas berbagi pengalaman antarsesama
anggota. Sehingga diharapkan individu dan orangtua mendapatkan pandangan terkait kehidupan
seseorang yang menikah pada usia dini, dan yang menikah di usia yang tepat.
 
Maka ke depannya individu tersebut dapat membuat keputusan yang baik untuk hidupnya sendiri
dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keputusan yang akan diambil tersebut,
dalam hal ini terkait dengan pernikahan. Serta bagi orangtua yang berperan sebagai pihak yang
memaksa anaknya untuk segera menikah di usia dini, mendapatkan pertimbangan yang matang
dengan memperhatikan dampak jangka panjang pernikahan dini jika dilakukan pada anak
mereka.
 
b. Psikoedukasi
Psikedukasi dilakukan dengan melibatkan para konselor yang berkapasitas memberikan
pemahaman seputar pernikahan dini pada masyarakat sekitar. Walaupun psikoedukasi bukan
merupakan program yang baru, namun metode ini tetap perlu dilakukan secara berkala dengan
tujuan untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap pernikahan dini, sehingga harapannya
terdapat perubahan sikap dari yang tadinya setuju terhadap pernikahan dini ke sikap yang
menolak pernikahan dini dengan alasan yang logis dan rasional.
 
c. Bekerja sama dengan lembaga formal setempat untuk memodifikasi kebijakan
Program yang bisa dilakukan selanjutnya  adalah memodifikasi kurikulum sekolah dengan cara
menambahkan materi tentang dampak negatif pernikahan dini. Materi pelajaran diberikan secara
berjenjang sejak SD, SMP, dan SMA, dengan konten materi yang disesuaikan dengan adat dan
kebiasaan serta usia anak. Semakin dini anak dipaparkan terhadap isu-isu pernikahan dini, maka
harapannya aspek kognitif anak terkait dengan persepsi pernikahan dini juga berubah
 
d. Follow-up dengan metode kampanye
Program kampanye dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media seperti poster, leaflet,
tayangan video, dsb, yang di dalamnya dimuat konten terkait dengan dampak pernikahan anak
baik secara fisik dan psikis, penekanan pentingnya sekolah, hak-hak anak, kesehatan reproduksi,
dan topik lain yang terkait. Kampanye melalui media masa terbukti efektif dalam dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat bila dilakukan dalam waktu yang lama (Maccoby &
Altaman, 1988; dalam Bloom, 1996).

Anda mungkin juga menyukai