Anda di halaman 1dari 9

7 Langkah Mendirikan Koperasi

Simpan Pinjam Pola Syariah

Sudah lama saya dan teman-teman ingin mendirikan koperasi syariah, yang
sekarang disebut koperasi simpan pinjan pola syariah (KSPPS). Kenapa harus
syariah? Apakah konvensional dengan syariah itu sama? Tentunya hal ini akan
menjadi perdebatan. Bagi sebagian orang, lembaga keuangan akan sama saja, baik
konvensional maupun syariah. Bagi yang sedang  belajar untuk hidup lebih
baik, saat mengetahui sebuah ilmu, maka terkena aturan. Dimana amal harus
dijalankan berdasarkan ilmu yang diperoleh. Jika ada polemik tentang koperasi
simpan-pinjam yang mengatakan riba, kami memiliki misi untuk memberi informasi
tentang koperasi simpan pinjam pola syariah. 

Apa Itu Koperasi Syariah?

Jika berbicara koperasi syariah adalah bentuk koperasi yang memiliki prinsip, tujuan,
dan kegiatan berdasarkan syariat Islam, yaitu Al Qur'an dan hadis. Jenis koperasi
tidak harus simpan pinjam,  tetapi bisa dalam jenis koperasi lainnya. Tetapi dalam
operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Dasar hukum KSPPS adalah
Peraturan Menteri Koperasi No. 11 Tahun 2017 Tentang Kegiatan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi dan aneka Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 

Pada pasal 1, Permenkop No 11 Tahun 2017, Koperasi Simpan Pinjam dan


Pembiayaan Syariah yang selanjutnya disingkat KSPPS adalah Koperasi yang
kegiatan usaha, pinjam dan pembiayaan sesuai Prinsip syariah, termasuk mengelola
zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika jenis koperasi yang didirikan bukan simpan
pinjam, maka usaha simpan pinjam dalam bentuk Unit Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah Koperasi yang kemudian disebut USPPS.
Perbedaan Koperasi Simpan Pinjam Pola Syariah dengan Koperasi Simpan
Pinjam

"Ah, koperasi mah, semua sama saja." Hayo, siapa yang masih punya pendapat
begitu? Saya harap setelah membaca tulisan ini teman-teman menjadi lebih tahu,
perbedaan koperasi konvensional dengan KSSPS atau  Kopsyah. Perbedaan yang
mendasar pada keduanya, adalah pada prinsip sebagai berikut :  

(1) Kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah harus melalui
Prinsip Syariah. 
(2) Akad transaksi kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah
harus disusun berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSNMUI). 
(3) KSPPS dan USPPS Koperasi harus menggunakan fasilitas keuangan pada
lembaga keuangan syariah.

Ketiga hal inilah yang menjadi pembeda antara KSPPS dengan KSP non
syariah. Jika ada KSPPS yang tidak menggunakan prinsip lain sebelumnya, dapat
dikatakan tidak menjalankan Prinsip Syariah. Ini adalah hal prinsip yang harus
dipegang. 

Persyaratan Mendirikan KSSPS


Untuk mendirikan KSPPS, lengkapi beberapa persyaratan yang harus diakses
sebagai berikut:

a. Pendiri, minimal 20 orang 


b. bukti kepemilikan Modal Sendiri bagi pendirian KSPPS dan Modal Tetap bagi
pembentukan USPPS Koperasi pada rekening bank syariah atas nama Pengurus
Koperasi;
c. rencana kerja paling sedikit 3 (tiga) tahun, yang menjelaskan hal sebagai
berikut:
1 . rencana permodalan , terdiri atas: 
a) Proyek penghimpunan Modal Sendiri bagi KSPPS dan Modal Tetap untuk USPPS
Koperasi; b) rencana Modal Penyertaan; dan c) rencana modal lainnya. 
2. Perencanaan kegiatan usaha, terdiri atas: 
a) unit kegiatan sosial (maal) 
1) Dana penghimpunan dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (ziswaf);
 2) rencana pengelolaan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf); dan
 3) Rencana penyaluran dan pendayagunaan dana Zakat, Infak, Sedekah dan
Wakaf (ziswaf). 
b) unit kegiatan bisnis (tamwil) 
1) Dana penghimpunan dana dan akad
2) Rencana penyaluran dana dan akad produk; dan 
3) rencana pendapatan dan biaya. 
3. rencana bidang organisasi dan sumber daya manusia meliputi:
a) struktur organisasi, yang berbeda dengan yang lain Dewan Pengawas Syariah,
Unit Kegiatan Sosial (maal) dan Unit Kegiatan Bisnis (Tamwil) yang terpisah; 
b) uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab; 
c) pembinaan calon anggota untuk menjadi Anggota; dan 
d) jumlah karyawan. 
e. pernyataan kelengkapan organisasi dan pembukuan, yang terdiri atas: 1. daftar
nama, riwayat hidup dan susunan Pengurus; 2. daftar nama, riwayat hidup dan
susunan Pengawas; 3. daftar nama, riwayat hidup dan susunan Dewan Pengawas
Syariah; 4. daftar Anggota; dan 5. administrasi Modal Sendiri. 
f. anggota Dewan Pengawas Syariah salah satu wajib telah menemukan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Lokal atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) atau lembaga pendidikan dan pelatihan Dewan Pengawas Syariah dari
DSN-MUI; 
g. nama dan riwayat hidup bersama: 1. Pelatihan dan / atau magang dan / atau
pengalaman kerja di bidang simpan pinjam dan pembiayaan syariah koperasi;2.
surat keterangan kunci dari pejabat yang berbicara; 3. surat perjanjian kerja antara
Pengurus Koperasi dengan Pengelola KSPPS; dan 4. Pengelola KSPPS tentang
kesediaannya untuk bekerja secara purna waktu.
h. pemeriksaan hasil atau peraturan internal tentang Standar Operasional
Manajemen dan Standar Operasional Prosedur

Dari semua persyaratan, yang  membutuhkan waktu cukup lama adalah


mendapatkan Dewan Pengawas Syariah bersertifikat. Hal tersebut tidak mudah
rupanya, karena belum banyak DPS bersertifikat. Alhamdulillah, setelah bulak-balik
ke notaris, persyaratan ini dapat terpenuhi juga. 

Modal Awal KSPPS dan USPPS


Ini yang membedakan antara koperasi dan bukan koperasi. Modal awal harus dari
simpanan anggota. Besaran modal awal KSPPS berbeda dengan USPPS. 
Modal awal KSPPS
1. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah wakil dalam kabupaten atau
kota ditetapkan paling sedikit Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah); 
2. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah Kebebasan wilayah kabupaten
atau kota dalam 1 (satu) daerah provinsi ditetapkan paling sedikit Rp75.000.000,00
(Tujuh puluh lima juta rupiah); dan 
3. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah Asosiasi lintas provinsi
ditetapkan paling sedikit Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah).

Modal awal USPPS


modal awal pembentukan USPPS Koperasi Primer paling sedikit Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah);

Langkah Mendirikan KSPPS


Proses kami mendirikan KSPPS untuk mendapat badan hukum adalah 2 bulan sejak
memasukkan dokumen ke notaris. Tetapi  proses yang dilalui sejak awal adalah 2
tahun. Kok lama? tahap yang paling lama adalah membuat kesepakatan bersama
diantara pendiri, yang biasa disebut "pra koperasi".  Membuat koperasi bukanlah
membuat kegiatan usaha semata. Harus kembali pada prinsip koperasi, ada asas
kebersamaan, gotong royong. Mengumpulkan 20 orang dengan visi yang sama
bukan hal yang mudah. Apalagi KSPPS didirikan berlandaskan pada Al Qur'an dan
hadis, Sehingga kami harus komitmen. 

Setelah bersepakat, selanjutnya adalah menyamakan persepsi tentang koperasi.


Walau di aturan tidak perlu lagi ada penyuluhan dari Dinas Koperasi. Tetapi, sebagai
warga yang baik, kami tetap lapor dan mengadakan penyuluhan saat pembentukan
koperasi. 

Berikut tahap yang dilalui untuk mendirikan KSPPS :

1. Menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan sesuai persyaratan


2. Membuat pertemuan pembentukan koperasi dibuktikan dengan berita acara dan
dihadiri notaris
3. Menentukan nama koperasi. Saat ini dalam membuat koperasi, notaris akan
membooking nama di sistem pendirian koperasi. Sebaiknya disiapkan lebih dari satu
nama yang terdiri dari 3 kata. Jika nama yang dipilih sudah digunakan, maka notaris
harus meminta kembali pada sistem dan itu membutuhkan waktu 7 hari.
4. melakukan pembayaran ke notaris. Saat ini biaya mendirikan koperasi adalah Rp
2.500.000
5. Menunggu verivikasi dari Kementrian Koperasi dengan jangka waktu maksimal 3
bulan
6. Membuat laporan ke Dinas Koperasi setempat (tingkat Provinsi atau Kabupaten /
Kota).
7. Membuat ijin operasi usaha simpan pinjam ke Dinas / Badan Pelayanan Satu
Atap.

Setelah semua prosedur dilalui, maka koperasi sudah dapat menjalankan kegiatan
operasional baik dalam baitul maal, maupun baitul tamwil. 

KSPPS BMT Senyum Madani Lestari (Senyum)

Taraa .... perkenalkan BMT Smile, KSPPS yang kami dirikan. Dengan mengusung
semangat "Amanah Berkah", BMT Senyum Memberi manfaat bagi para
anggota. Saat ini layanan BMT Smile adalah baitul maal dan baitul tamwil. 

Kegiatan baitul maal, saat ini dilakukan mengumpulkan dan menyalurkan zakat,
infak dan shadakah dari anggota dan calon anggota. Sedang baitul tamwil dilakukan
dalam bentuk layanan simpanan umrah dengan nama Taharah. Mengapa tabungan
umrah? BMT Smile ingin memberikan kesempatan bagi anggota yang ingin
menjalankan ibadah umrah tapi tidak dapat membayar tunai. Melalui tabung
umrah,anggota didorong untuk menabung.  
Bunga Koperasi Simpan Pinjam,
Ribakah?
Konsultasi – Bunga Koperasi Simpan Pinjam,
Ribakah?
Pertanyaan :

Pak, di daerah saya ada koperasi yang menerapkan pola seperti ini : anggota
yang meminjam dikenakan bunga yang kecil. Di akhir tahun, bunga itu
dibagikan lagi ke anggota. Apakah pola seperti itu termasuk riba atau bukan?

Jawaban :

Bismillahirrahmanirrahim,

Dalam fikih, ihwal koperasi, jual beli dan sejenisnya termasuk


dalam bab muamalat.

Muamalat artinya transaksi.

Prinsip dasar dalam koperasi adalah kerja sama saling


membantu untuk memenuhi kebutuhan bersama.

Kata kuncinya adalah “saling membantu” dan “bersama”. Ini seperti dapat
kita pahami dari definisi kata “koperasi” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Edisi Keempat tahun 2008, bahwa koperasi adalah
perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan para anggotanya dengan
cara menjual barang kepeluan sehari-hari dengan harga murah (tidak
bermaksud mencari untung). Artinya, koperasi sejatinya bukanlah lembaga
yang bertujuan mengejar keuntungan. Kalaupun usaha bersama itu
menghasilkan keuntungan, keuntungan itu kembali lagi kepada anggotanya.
Ulama-ulama fikih, seperti disebutkan di dalam al-Mawsû‘ah al-
Fiqhiyyah (Ensiklopedia Fikih) terbitan Kementerian Wakaf Kuwait, membagi
koperasi (yang dalam bahasa fikih/Arab disebut syirkah) menjadi dua,
yaitu syirkah tamlîk (kepemilikan bersama) dan syirkah ‘aqd  (akad
bersama). Koperasi simpan pinjam yang Anda sebutkan termasuk jenis yang
kedua. Koperasi dalam arti kerja sama saling menguntungkan itu
disyariatkan oleh Islam, dan ada dasarnya. Dalam sebuah hadis qudsi yang
bersumber dari Abu Hurairah r.a., misalnya, Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang (dua pihak) yang berserikat.’” (HR Abu Dawud).

Dalam perinciannya syirkah ‘aqd ini juga ada beberapa


macam.

Ada syirkah amwâl, yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
modal berupa uang tunai; ada syirkah a‘mâl, yaitu kerja sama antara dua
pihak atau lebih dengan modal pekerjaan. Dua orang atau lebih yang sama-
sama bekerja sebagai penjahit lalu menerima pesanan jahitan, misalnya,
kemudian uang jasa penjahitan itu dibagi bersama sesuai kesepakatan, kerja
sama seperti itu disebut syirkah a’mâl. Dari semua praktik yang
disebut syirkah dalam fikih, semuanya ada unsur yang ditransaksikan (entah
itu barang, entah itu jasa). Inilah yang terkadang disebut pula dengan
sebutan media atau perantara. Jika tidak ada barang ataupun jasa yang
menjadi media transaksi, lalu ada keuntungan, itu patut dipertanyakan: itu
keuntungan apa, dan dari mana?

Dalam transaksi seperti yang Anda sebutkan, saya


memandang bunga yang dikenakan kepada peminjam itu
termasuk riba.

Walaupun nilainya kecil, walaupun jumlahnya nanti itu kembali lagi kepada
anggota pada akhir tahun tutup buku. Dalam Islam, kita tidak boleh
memberi pinjaman uang seratus ribu rupiah, misalnya, kepada seseorang
lalu memintanya untuk mengembalikan seratus sepuluh ribu rupiah setelah
beberapa waktu tertentu. Yang sepuluh ribu itu uang apa? Uang jasa? Dalam
istilah hadis, uang sepuluh ribu rupiah itu disebut naf’ (atau keuntungan)
yang dilarang. Dalam hadis yang bersumber dari Al-Harits melalui jalur
Suwar bin Mush’ab dari Umarah al-Hamdani, ia berkata pernah mendengar
Ali r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Kullu qardhin jarra
naf‘an fahuwa ribâ’” (setiap pinjaman uang yang menarik keuntungan
termasuk riba). (Lihat Bughgyat al-Bâhits ‘an Zawâ’id al-Hârits,  hadis nomor
437). Pinjam meminjam uang tidak termasuk jasa yang dapat ditransaksikan
lalu mendatangkan keuntungan, tetapi lebih merupakan tolong menolong.
Dalam menolong seseorang yang membutuhkan, kita seharusnya lebih
mengharapkan pahala dari Allah, bukan imbal jasa dari orang yang kita
tolong. Rasulullah saw. mengatakan, “Allah akan menolong hamba-Nya
selama sang hamba menolong saudaranya.” (HR Imam Muslim).

Memang, tidak semua “keuntungan” (sengaja saya gunakan


tanda kutip, karena pada hakikatnya bukan keuntungan) yang
diperoleh dari hasil pemberian pinjaman uang itu dilarang.

Jika saya meminjamkan kepada seseorang yang membutuhkan bantuan


uang satu juta rupiah tanpa menetapkan syarat apa-apa, kemudian setelah
keadaan orang itu membaik dia mengembalikannya satu juta ditambah lima
puluh ribu rupiah, misalnya, saya boleh menerima tambahan lima puluh ribu
itu. Uang itu bukan atas permintaan saya, tetapi atas kerelaan peminjam
yang merasa sudah sangat terbantu oleh saya. Tetapi kalau saya yang
mensyaratkan di awal ada uang tambahan saat pengembalian nanti (entah
itu saya namakan uang administrasi, entah uang jasa, atau sebutan lainnya),
saya sudah mengambil keuntungan yang tidak semestinya. Saya berdosa
karena telah memanfaatkan keadaan susah orang lain untuk memperoleh
keuntungan pribadi.

Pinjam meminjam uang tidak boleh dibisniskan, tidak boleh


dijasakan, tetapi harus dilakukan atas dasar prinsip tolong
menolong.

Dalam pandangan Islam, orang yang meminjam uang adalah orang yang
memerlukan pertolongan, lalu mengapa kita mengambil keuntungan dari
pertolongan itu? Menolong orang kok minta untung? Itu bukan menolong
namanya.

Lain halnya dengan ilustrasi berikut ini.

Sejumlah 100 orang kepala keluarga (KK) di sebuah lingkungan Rukun


Tetangga (RT) sepakat membuat usaha bersama. Masing-masing dikenakan
uang setoran sebesar seratus ribu rupiah (biasanya disebut nilai satu saham)
atau kelipatannya. Terkumpullah uang misalnya Rp. 10.000.000 (sepuluh
juta rupiah). Uang itu kemudian dibelikan sembako dari pasar grosir, lalu
dijual lagi kepada anggota dengan harga satuan yang sama atau lebih murah
dari harga di pasaran pada umumnya. Tentu saja dalam harga satuan itu
tetap ada margin keuntungan jika dihitung dari modal yang dikeluarkan
untuk membeli komoditi yang sama secara grosir. Dari sekian
banyak item komoditi yang dijual, dihasilkan keuntungan yang lumayan.
Setiap tahun keuntungan itu dihitung dan dibagikan kepada setiap anggota
sesuai nilai sahamnya, setelah dipotong biaya operasional (seperti upah
pekerja, biaya transportasi angkut barang, sewa tempat, dan sebagainya).
Dalam praktik seperti ini, “uang lebih” yang dibagikan kepada anggota pada
akhir tahun tutup buku itu bukan termasuk riba, karena diperoleh dengan
cara adanya media atau perantara, yaitu komoditas atau barang-barang
dagangan yang diperjualbelikan.

Atau bisa juga uang yang terkumpul itu dibelikan tenda, kursi pelaminan,
dan beragam peralatan pesta. Setiap anggota, bahkan orang di luar
lingkungan RT itu, boleh menyewa peralatan pesta itu dengan harga yang
disepakati. Setelah penghitungan akhir tahun, diketahui terdapat selisih
saldo plus. Selisih itu dapat dibagi-bagikan kepada anggota sesuai nilai
sahamnya masing-masing. Ini juga tidak termasuk riba, karena ada media
atau perantaranya, yaitu jasa sewa tenda dan peralatan pesta.

Sedangkan praktik yang Anda sebutkan dalam koperasi simpan pinjam di


lingkungan Anda, itu tidak ubahnya dengan praktik bank-bank konvensional
pada umumnya. Bedanya mungkin hanya pada nominal uang yang
terkumpul. Tetapi praktik dan prinsipnya sama: sama-sama mengandung
unsur riba.

Demikian, wallahu a’lam.

(Muhammad Arifin)

Anda mungkin juga menyukai