Anda di halaman 1dari 31

RINGKASAN MATA KULIAH

KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia (EKU 307A G1)

Dosen Pengampu:

Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa S.E., M.Si

Disusun Oleh:

Vanessa Pricilla Angkouw (1907531104)

Ni Putu Ayu Bintang Maheswari (1907531091)

I Made Artha Sucita (1907531093)

Jordan Rudolf Daniel Rondonuwu (1907531120)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu

Puji dan syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala berkat
dan rahmat-Nya kami dari kelompok 6 mampu menyelesaikan makalah rangkuman mata kuliah
ini yang berjudul “Kebijakan Moneter Indonesia”.

Pembuatan rangkuman mata kuliah ini tidak lain adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah
Perekonomian Indonesia, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
Tentunya dalam penyusunan tugas ini kami mendapat dukungan dari banyak pihak dan banyak
sumber sehingga mampu menyelesaikannya tepat waktu.

Dengan diselesaikannya makalah rangkuman mata kuliah ini, sangat besar harapan kami
makalah ini akan berguna serta dapat memberikan ilmu bagi para pembaca. Dalam penyusunan
ini, kami ketahui akan terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunannya, maka dari itu
kami sangat terbuka terhadap kritik, saran serta masukan dari para pembaca untuk dapat
menyempurnaan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 23 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I ..................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG............................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN .......................................................................................... 2
BAB II.................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
2.1 Pilihan Kebijakan Moneter .................................................................................... 3
2.2 Aspek Kelembangan dan Penerapannya pada Kebijakan Moneter ...................... 8
2.3 Capital Flight........................................................................................................ 12
2.4 Devaluasi .............................................................................................................. 17
2.5 Kebijakan Moneter di Masa Orde Lama (1945-1965).......................................... 19
2.6 Kebijakan Moneter di Masa Orde baru (1964-1998) ........................................... 20
2.7 Analisis Mengenai Krisis Moneter dan Cara Mengatasinya ................................ 23
BAB III ................................................................................................................................ 26
PENUTUP............................................................................................................................ 26
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 26
3.2 Saran .......................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 28

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Sektor perbankan atau sector keuangan formal di Indonesia dalam tahun -tahun pertama
kemerdekaan terdiri dari sebuah bank sentral (yang juga beroperasi sebagai bank umum), 5 bank
umum yang besar (4 di antaranya bank-bank dagang warisan jaman penjajahan, dan yang
kemudian dinasionalisasi dalam tahun 1950-an), sebuah bank pembangunan (investment bank)
milik Negara, sekitar 100 bank swasta domestic kecil dan 4 buah bank asing. Orientasi
perbankan pada waktu itu terutama tertuju pada pembiayaan dan kelancaran perdagangan
internasional, di samping terbuka kesempatan untuk memperluas ruang lingkup kegiatan
perbankan. Semakin berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula bank yang ada di
Indonesia.
Dengan lahirnya bank tersebut membuat kebijakan moneter yang berpusat pada bank
sentral semakin berkembang pula untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Kebijakan moneter
adalah setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-
sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan harapan mempengaruhi sektor riil,
khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Kebijakan moneter yang ada di Indonesia
berkembang mulai dari masa orde lama hingga orde baru.
Pada masa orde lama pemerintah pada awal kemerdekaan mendirikan 2 bank swasta yaitu
BNI dan BRI pada tahun 1946. Kedua bank tersebut beserta bank swasta lain yang ditunjuk
pemerintah memiliki tugas untuk menukar mata uang Hidia Belanda dan Jepang dengan ORI
(Oeang Republik Indonesia). Setelah itu tugas tersebut diserahkan ke De Javasche Bank karena
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Setelah Indonesia menjadi negara kesatuan, De
Javasche Bank dinasionalisasi menjadi bank sentral. Masa orde baru berlangsung mulai
berlangsung dari 11 maret 1996, yaitu bertepatan dengan dikeluarkannya su rat perintah sebelas
maret (SUPERSEMAR), sampai lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan Republik
Indonesia pada tanggal 21 mei 1998. Selama tahun 1964-1966, hiperinflasi melanda Indonesia
dengan akibat lumpuhnya perekonomian. Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal
Soeharto yang mulai memegang kekuasaan pemerintahan pada bulan Maret 1966 memberikan
prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian.
Selain kebijakan moneter pada masa orde lama dan masa orde baru, makalah ini juga
membahas mengenai capital flight dan devaluasi yang berhubungan dengan kebujakan moneter.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana pilihan kebijakan moneter di Indonesia?

2) Bagaimana aspek kelembangan dan penerapannya pada kebijakan moneter di Indonesia?

3) Apa itu capital flight?

4) Apa itu Devaluasi?

5) Bagaimana kebijakan moneter Orla dan Orba?

6) Bagaimana analisis mengenai krisis moneter dan cara mengatasinya?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1) Untuk mengetahui pilihan kebijakan moneter di Indonesia

2) Untuk mengetahui aspek kelembangan dan penerapannya pada kebijakan moneter di


Indonesia

3) Untuk mengetahui analisis kasus capital flight dan cara mencegahnya.

4) Untuk mengetahui apa itu Devaluasi

5) Untuk mengetahui kebijakan moneter Orla dan Orba

6) Untuk mengetahui analisis mengenai krisis moneter dan cara mengatasinya

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pilihan Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank
Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter dengan harapan
mempengaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Secara operasional,
pengendalian sasaran kebijakan moneter dapat menggunakan instrument-instrumen berikut:

a) Operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah maupun valuta asing


b) Penetapan cadangan wajib minimum
c) Penetapan tingkat diskonto
d) Pengaturan kredit atau pembiayaan
e) Kebijakan lainnya

a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Alat kebijakan dimana Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual di pasar surat
berharga atau di pasar devisa. Instrumen yang digunakan dalam OPT meliputi; Sertifikat Bank
Indonesia(SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat berharga, Penempatan berjangka (term
deposit) oleh Bank atau pihak lain di BI dan Valuta asing.

Kalau pada satu ketika Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kelebihan
likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar uang antar
bank (PUAB) turun dengan drastis, maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi pasar
terbuka kontraksi, yakni menyerap likuiditas dari bank dan pihak lain yang mengalami kelebihan
likuiditas. Kebijakan yang diambil dalam Operasi Pasar Terbuka kontraksi ini adalah:

• Menerbitkan dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada peserta bursa (bank umum atau
broker) sehingga likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia. Kegiatan ini
secara rutin dilaksanakan mingguan dimana jangka waktu SBI bervariasi dari 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan dan maksimum 12 bulan, sedangkan untuk SBI Syariah hanya dengan
jangka waktu 1 bulan. Baik SBI maupun SBIS mempunyai nominal Rp 100 juta dengan

3
jumlah nominal minimum yang dikeluarkan oleh BI sebesar Rp 1.000 juta (atau 10
lembar SBI/SBIS). Tingkat bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat wajar
sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif untuk SBI dan
non kompetitif untuk SBIS
• Fine tune kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum
atau masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak regular dengan jangka waktu
bervariasi dari 1 hari sampai 3 bulan sesuai dengan keadaan kelebihan dana yang
dirasakan oleh peserta bursa, nilai nominal minimum adalah Rp 100 juta dan maksimum
yang disimpan di BI adalah Rp 1.000 juta. Tingkat bunganya bervariasi sesuai dengan
jangka waktunya dan bersifat wajar sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui
mekanisme tender yang kompetitif
• Menerbitkan dan menjual Surat Utang Negara atau reverse repo SUN. Kegiatan ini
dilaksanakan secara regular mingguan, jangka waktu utang negara adalah bervariasi
sampai 12 bulan dengan nominal Rp 100 juta dan nominal minimum yang dikeluarkan
adalah Rp 1.000 juta. Tingkat bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat
wajar sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif.
• Sterilisasi valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar spot USD dalam
rupiah ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan rupiah)

Sebaliknya kalau Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi


kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar
uang antar bank (PUAB) naik dengan drastic, maka Bank Indonesia akan melaksakana operasi
pasar terbuka ekspansi, yakni memompakan likuiditas kepada bank dan pihak lain yang
mengalami kekurangan likuiditas.

b) Penetapan Cadangan Wajib Minimum

Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mempengaruhi likuiditas di pasar adalah melalui
penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro sehingga dikenal juga dengan Giro
Wajib Minimum (GWM), yang tidak lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara
oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Cara kerja dari alat kebijakan moneter ini adalah sebagai berikut: apabila Bank

4
Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kekurangan likuiditas perekonomian,
yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar uang antar bank (PUAB) naik dengan
drastis, maka Bank Indonesia akan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM). Dengan
turunnya GWM maka bank umum mampu memberikan kredit lebih besar atau likuiditas
perekonomian akan meningkat. Sebaliknya apabila Bank Indonesia atau pemerintah
memperkirakan akan terjadi kelebihan likuiditas perekonomian, maka Bank Indonesia akan
meningkatkan GWM sehingga bank-bank harus menambah gironya dan dengan demikian
kelebihan likuiditasnya terserap.

c) Politik Diskonto

Di samping kebijakan pasar terbuka dan GWM, dalam rangka mencapai sasaran
kebijakan moneter, Bank Indonesia juga menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui
pengendalian suku bunga. Suku bunga, yang dikenal dengan istilah BI Rate, ditetapkan melalui
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap bulan. Dalam tataran operasional, BI Rate
tercermin dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight (O/N).
Pergerakan ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan suku bunga deposito, dan pada
gilirannya suku bunga kredit perbankan.

PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu
bank dengan bank lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan
pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui
mekanisme kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak melalui lantai
bursa dan dikenal dengan istilah over the counter (OTC). Jangka waktu PUAB yaitu antara satu
hari kerja sampai dengan satu tahun.

Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia


pada umumnya akan menaikan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran
yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke
depan diperkirakan akan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan. Agar pergerakan suku
bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar/jauh dari BI Rate, Bank Indonesia selalu berusaha untuk
menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk
suku bunga yang wajar dan stabil.

5
d) Pengaturan Kredit atau Pembiayaan

Alat kebijakan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah pengaturan
kredit. Kredit adalah aktivitas utama dari lembaga keuangan bank, sehingga manajemen kredit
merupakan hal yang sangat penting. Tujuan dari pengaturan kredit adalah untuk Tindakan
berhati-hati, menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir meminimumkan kredit
macet. Misalnya, kredit atau bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan BLBI
dengan bunga yang rendah (karena bersubsidi) diatur sedimikian rupa sehingga hanya sebagian
tertentu saja yang boleh disalurkan kepada anak perusahaan dari bank penerima. Kesulitan yang
bagaimana yang dihadapi oleh bank sehingga dia berhak mendapat bantuan kredit dari Bank
Indonesia. Hal-hal yang demikian ini dan masalah manajemen kredit sehari-hari harus diatur
dengan baik sehingga sistem moneter dapat berjalan dengan baik dan tujuan untuk menstabilkan
nilai uang dapat dicapai.

e) Kebijakan Lainnya

• Bujukan Moral (Moral Suasion).


Alat kebijakan ini sangat biasa ditemui di literatur ekonomi uang dan bank atau ekonomi
moneter di dunia barat dan malah S. Grenville, dalam tulisannya yang berjudul
‘Kebijaksanaan moneter dan sektor keuangan formal’ dalam buku Ekonomi Orde Baru
oleh A. Booth dan P. McCawley mengatakan bahwa, karena adanya hubungan pribadi
dan saling kenal antar para manajer bank (terutama antara Bank Indonesia dengan bank -
bank pemerintah lainnya) dan dengan para nasabah besar, bujukan moral dari Bank
Indonesia merupakan alat kebijakan moneter yang efektif pada waktu itu. Dewasa ini pun
masih terdapat hubungan informal yang baik antara Bank Indonesia dengan manajer bank
dan pelanggan besar sehingga alat kebijakan moneter bujukan moral masih bisa efektif
dan dilaksanakan di samping saluran-saluran formal.

6
• Sanering.
Ini adalah kebijakan moneter yang dilakukan pada zaman pemerintahan Soekarno sekitar
tahun 1950. Caranya adalah dengan menggunting uang kertas yang beredar menjadi 2
bagian. Satu bagian atau setengah dari nilai nominal uang itu diganti dengan uang kertas
baru, sedangkan setengah lainnya diganti dengan obligasi negara. Pada masa itu bursa
surat-surat berharga (efek) belum maju seperti sekarang. Kalau Tindakan tersebut diambil
sekarang ini, barangkali pemerintah tinggal mengeluarkan obligasi negara, kemudian
menjualnya di bursa.

• Pergantian Uang
Kebijakan ini adalah mengganti uang lama dengan uang baru dengan perbandingan uang
lama dengan nilai Rp 1.000 diganti dengan uang baru dengan nominal satu rupiah. Ini
dilaksanakan pada akhir pemerintahan Soekarno atau awal pemerintahan Soeharto. Pada
waktu itu masyarakat yang mempunyai uang kertas pecahan sepuluh ribuan merasa
bingung dan bersedia melepasnya seberapa pun mendapat barang atau jasa sebagai
tukarannya. Akibat dari kebijakan ini bukannya inflasi berkurang, malah bertambah cepat.

2.2 Aspek Kelembangan dan Penerapannya pada Kebijakan Moneter

Sektor perbankan atau sector keuangan formal di Indonesia dalam tahun-tahun pertama
kemerdekaan terdiri dari sebuah bank sentral (yang juga beroperasi sebagai bank umum), 5 bank
umum yang besar (4 di antaranya bank-bank dagang warisan jaman penjajahan, dan yang
kemudian dinasionalisasi dalam tahun 1950-an), sebuah bank pembangunan (investment bank)
milik Negara, sekitar 100 bank swasta domestic kecil dan 4 buah bank asing. Orientasi
perbankan pada waktu itu terutama tertuju pada pembiayaan dan kelancaran perdagangan
internasional, di samping terbuka kesempatan untuk memperluas ruang lingkup kegiatan
perbankan. Misalnya pada tahun 1952, telah ada perdagangan saham-saham luar negeri,
meskipun dalam jumlah kecil, dan selama tahun 1950-an pemerintah mengeuarkan obligasi-
obligasi. Namun, lembaga-lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik dalam
keadaan harga-harga yang relative stabil. Dengan terenjebabnya Indonesia ke dalam keadaan
hiperinflasi, lembaga-lembaga keuangan yang ada mengalami masa surut. Menjelang tahun 1965,

7
bank-bank umum tidak dapat lagi menjalankan fungsi-ungsinya yang normal : inflasi mendorong
kemampuan bank umum menarik dana dari masyarakat, dan akibatnya kegiatan perbankan di
bidang peminjaman menjadi tidak berarti. Seluruh sector perbankan hanya berperan sebagai
saluran pembiayaan devisit APBN. Banyak bank-bank umum swasta tutup, dan hanya bank-bank
milik pemerintah yang masih dapat bertahan karena telah berubah fungsinya menjadi salah satu
saluran penciptaan uang; mereka sesungguhnya hanya menjadi semacam cabang dari bank
sentral dan diawasi langsung oleh penguasa moneter. Pada tahun 1964 semua bank asing tutup.

Struktur perbankan yang demikian inilah yang diwarisi oleh Pemerintahan Orde Baru
pada tahun 1965. Menyadari adanya kegagalan kebijaksanaan yang mengandalkan campur
tangan langsung pemerintah di amsa lalu, Pemerintahan Orde Baru berusaha untuk mengurangi
peran Negara di dalam kehidupan ekonomi, dengan lebih mengandalkan kekuatan-kekuatan
pasar dan memberi kesempata kepada sector swasta untuk mengambil peranan lebih besar di
dalam perekonomian. Pada jaman itu konglomerasi bank milik Negara yang merupaka peleburan
bank-bank pemerintah ke dalam satu unit administrasi dihapuskan, dan satu tingkat kebebasan
bertidak tertentu dikembangkan kepada masing-masing bank pemerintah. Pememberian izin
usaha bank baru diberhentikan sejak tahun 1971.

Bank-bank pemerintah ini merupakan unsur pokok dari sistem perbankan di Indonesia
pada saat itu. Dengan sekitar 600 cabang di seluruh Indonesia, bank -bank ini merupakan satu
jaringan luas yang diharapkan dapat menjadi wadah perkembangan system keuangan selanjutnya.
Bank-bank ini mempunyai hubugan khusus dengan bank sentral sehingga simpanan- simpanan
yang ada pada mereka terjamin, dan kadang-kadang dengan hubungan ini mereka dapat
menawarkan bunga deposito yang cukup tinggi karena memperoleh subsidi. Selain itu, mereka
dapat memperoleh dana murah untuk disalurkan ke bidang-bidang lain yang menguntungkan
mereka. Sebagai imbalan dari fasilitas-fisilitas khusus ini bank-bank pemerintah diwajibkan
memberi pinjaman kepada proyek-proek khusus dan sector-sektor yang diprioritaskan oleh
pemerintah, menyediakan fasilitas-fasilitas perbankan sampai ke tingkat desa, dan menyerahkan
kepada pemerintah hak untun menentukan tingkat bunga, baik untuk simpanan/deposito yang
mereka terima maupun untuk pinjaman-pinjaman yang mereka berikan. Dengan makin
berkembangnya bank-bank umum, Bank Indonesia (yang sebelumnya bertindak sebagai bank

8
sentral sekaligus bank umum) menghentikan fungsi banknya. Perubaan ini secara re smi
dicantumkan dalam Undang-undang Bank Sentral tahun 1968.

Di samping kebijaksaan baru diberlakukan terhadap bank-bank pemerintahan tersebut,


bank-bank umum milik swasta dan cabang-cabang bank asing juga menikmati iklim usaha yang
lebih baik setelah 1968. Banyak bank swasta tidak berfungsi sebagai bank dalam arti yang
sesungguhnya dan hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan
keuangannya. Namun sejak awal 1970an, bank-bank ini muncul sebagai bank dalam arti yang
sesungguhnya, dan menerima simpanan dari perusahaan-perusahaan nasabah mereka dan juga
memberikan kredit kepada mereka. Setelah tahun 1972, bank-bank asing telah membuka kantor
pewakilan dan kantor-kantor bank asing ini juga membawa pengaruh-pengaruh positif terhadap
perkembangan sector keuangan di Indonesia, dengan makin eratnya hubungan Indonesia pusat-
pusat keuangan, para peminjam kredit yang bonafide (misalnya perusahaan Negara dan
perushaaan patungan) mulai menyadari bahwa mereka dapat memperoleh dana yang lebih murah
di luar negeri. Perkembangan kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam jumlah
besar dalam negeri.

Mengingat derasanya aliran modal dalam jumlah yang besar ke dalam negeri di satu
pihak, dan di lain pihak kemampuan sistem perbankan yang dianggapkurang memadai dalam
menyerap dana masyarakat, maka baru pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregu lasi
perbankan untuk pertama kalinya, yang dikenal dengan Paket juni (Pakjun) 1983. Paket ini
memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan
dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Dalam
paket ini juga diprkenalkan adanya Sertif ikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga
Pasar Uang (SPBU). Pakjun tersebut berhasil menarik dana masyarakat ke bank secara drastis,
dan diharapkan bisa merangsang pertumbuhan perbankan

Lima tahun setelah adanya pakjun tersebut, pemerintah mengeluarkan Paket 27 Oktober
1988 yang dikenal dengan Pakto 88. Paket ini adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah
perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa saja dapat mendirikan bank baru.
Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diizinkan membuka cabangnya di
enam kota. Bahkan bentuk patungan bank asing dengan bank swasta nasional diizinkan.Reserve

9
requirement bank local diturunkan dari 15% menajdi 2%. Pakto 88 dianggap telah banyak
mengubah kehidupan perbankan nasional.

Jumlah bank tumbuh dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank ada Maret 1991.
Pada tahun 1992 tercatat jumlah bank 17 ribu buah, 8400 diantaranya adalah BPR (Bank
Perkreditan rakyar). Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal,
yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia. Akibat sampingannya adalah menjamurnya
bank-bank gelap. Adanya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka “mata nakal”
para spekulan yang tahu benar keinginan nasabahnya untuk mendapat bunga tabungan atau
deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga telah mengizinkan dibukanya lembaga-lembaga
keuangan non bank. Lembaga-lembaga ini dimaksudkan sebagai alat untuk memobilisasi dana-
dana jangka panjang (baik yang berrasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri)
untukmembiayai investasi dari perusahaan-perusahaan. Lembaga-lembaga ini biasanya didirikan
dalam bentuk kongsi antara mereka yang mempunyai kepentingan perbankan di dalam negeri
dan di luar negeri. Dalam praktek, lembaga-lembaga ini berfungsi seperti bank meskipun mereka
tidak menerima giro dan cenderung untuk mempunyai nasabah perusahaan-perusahaan besar.

Bursa efek dihidupkan kembali dan disempurnakan. Pertumbuhan lembaga sektor


moneter, khususnya bank baru, terus berlanjut dan tampaknya tidak terkendali. Banyaknya
jumlah bank membuat kompetisi pencairan tenaga kerja, mobilisasi dana depsito dan tabungan
juga semakin kompetitif. Kebijaksanaan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan banyak pihak
yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank (terutama dalam memberikan pinjaman kredit).
Pertimbangan pemerintah adalah pada tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun
1991-1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia.

Pada tahun 1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksanaan yang mengatur syarat
bahwa modal sendiri dari sebuah bank harus sebesar 8% dari seluruh aset, karena diyakini bahwa
pada saat itu banyak bank yang mempunyai kecukupan modal (dikenal dengan istilah capital
adequacy ratio atau CAR, perbandingan antara modal sendiri dengan asset) sangat rendah, di
bawah 5% malah ada yang negative. Aturan ini membuat bank-bank memperkuat modalnya
sendiri. Kemudian Maret 1992 pemerintah mengeluarkan Undang-undangan Perbankan No. 7
yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru, seperti susunan organisasi,
permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Dan
10
pada tahun itu jugapemerintah menaikan modal minimum pendiri bank, dari Rp 10 miliar
menjadi Rp 50 miliar. Meskipun syarat permodalan dan lainnya dalam mendirikan bank di
perketat, pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga 1994. Banyak bank dikuasai para
konglomerat, yang ternyata menyuburkan praktek pemberian kredit untuk kelompok usaha
mereka sendiri. Beberapa bank berubah menajadi bank devisa karena syarat yang di anggap
masih terlalu lunak.

Meledaknya jumlah bank itu diikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga
kerja, terjadi heboh pembajakan karyawan bank. Kompetisi sengit juga terjadi dalam hal
mobilisasi dana masyarakat (giro, deposito dan tabungan) dan usaha untuk mengucurkan kredit
dan pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati-hati dan keamanan dalam menyalurkan kredit
menjadi terabaikan tingkat bunga menjadi tinggi, yang akhirnya diikuti oleh kredit macet yang
mengunung. Banyak bank mengalami kesulita likuiditas dan para konglomerat pemilik bank
terjun ke dunia politik untuk memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber daya
ekonomi, yang terujung pada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit
bantuan likuiditas yang disalahgunakan dan diselewengkan.

Pembenahan dan penguatan system perbankan masih terus dijalankan, misalnya


melonggarkan aturan soal CAR (yang memperbolehkan seluruh laba tahun sebelumnya
dimasukan ke dalam komponen modal sendiri), pemberian kredit bagi grup usahanya (diturunkan
dari 50% menjadi 20% dari total kredit yang disalurkan), pengturan kredit usaha kecil, cadangan
wajib minimum bagi perbankan (diubah dari 3% menajdi 5%) dan lain-lain. Pada bulan Juli 1997
ditentukan pemberian batas kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang property
dan kebijaksanaan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya redit macet di bidang
tersebut. Kemelut perbankan ini akhirnya berujung pada pengumuman pemerintah pada tanggal
1 November 1997 untuk melikuidas 16 bank secara serentak dan pada tanggal 22 April 1998
rnengumumkan 54 bank di masukan ke dalam program penyehatan di bawah BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional). Sejumlah bank lain akan melakukan merger, termasuk bank
milik pemerintah.

Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong yang paling parah di bandingkan
yang terjadi di negara lain, Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand. Kemelut perbankan yang
terjadi di negara-negara Amerika latin pun tidak separah yang di Indonesia. Babak berikutnya
11
secara alamiah adalah bahwa jumlah bank kian menyusut. Lalu muncul sosok bank-bank besar
yang jumlahnya relative sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah sebelum
krisi dan akhirnya menjadi 81 buah pada bualn Juni 2000. Penguatan dan pembenahan perbankan
tidak berhenti di sini, melainkan membuka lembaran baru untuk menjuru sistem perbankan
(keuangan) yang sehat. Banyak peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan , misalnya saja
tahun 2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wjib Minimun
Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Ternyata bahwa dalam
kurun waktu enam tahun (2002-2007. Jumlah bank mengalami penurunan 302 buah pada tahun
2000 menjadi hanya 260 buah pada tahun 2007, yang berarti terjadinya penurunan 14%.
Sedangkan jika dilihat dari jumlah kantor bank, tampaknya semua jenis bank melakukan
penambahan jumlah kantornya, sehingga secara keseluruhan jumah kantor ban k meningkat
sekitar 13 ribu pada tahun 2002 dan menjadi lebih dari 19 ribu pada tahun 2007 atau meningkat
sekitar 50%.

Mungkin secara umum dilihat system perbankan ini belum begitu sehat, masih terlihat
banyaknya bank akibat adanya Pakto 88, dan masih akan terjadinya pengurangan jumlah bank.
Hal ini juga ditunjukan oleh dana masyarakat yang masuk ke system perbankan yang terlalu
banyak dibandingkan dengan kemampuan menyalurkannya, sehingga LDR bank secara
keseluruhan hanya mencapai 57%.

2.3 Capital Flight


1. Pengertian Pelarian modal (Capital flight)

Pelarian modal (Capital flight) adalah seluruh aliran modal keluar yang dilakukan oleh
penduduk dari suatu Negara, sedangkan apabila modal dimaksud diinvestasikan pada
perekonomian domestik akan meningkatkan tingkat pengembalian sosial (return social) dan
potensi pertumbuhan ekonomi, merupakan definisi yang paling luas (broad definition) dan
masih cukup sering digunakan karena kesederhanaan konsep serta mudah dalam
penghitungannya. Broad definition mendefinisikan Capital Flight hanya dari dari satu sisi
aliran modal saja, yakni aliran modal keluar. Dalam definisi ini dimasukkan seluruh
peningkatan asset asing baik dari sektor domestik dan publik serta seluruh nilai yang tercatat
maupun yang tidak tercatat dalam perekonomian sehingga dimungkinkan adanya
overestimasi angka dari nilai yang sebenarnya.
12
2. Pengukuran Pelarian modal (Capital flight)

Adanya perbedaan pendapat di kalangan para ahli, maka tidak mengheran-kan jika
terdapat perbedaan pula dalam metode estimasi capital flight suatu negara. Ada beberapa
konsep yang berbeda untuk mengukur capital flight yaitu :
a. Pendekatan Neraca Pembayaran

Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisional yang memfokuskan pada komponen


neraca pembayaran. Terdapat anggapan bahwa pos net error and omission meningkat karena
kegagalan mengestimasi berbagai pergerakan modal swasta jangka pendek. Akibatnya, pos
ini ditambahkan pada arus modal jangka pendek dalam upaya untuk memperoleh estimasi
capital flight. Pendekatan ini digunakan oleh Cuddington (1986) dalam mengestimasi capital
flight, dimana rumusnya secara sistematis sebagai berikut:
CF = - G – C
dimana,
CF = Capital flight
C = Arus Modal Jangka Pendek
G = Error and Omission

b. Pendekatan Residual.

Pendekatan ini mengestimasi capital flight sebagai residual. Studi yang menggunakan
pendekatan ini dalam metode estimasinya adalah Bank Dunia (1985) dalam salah satu bagian
dari World Development Report mengestimasikan capital flight dengan cara mencari selisih
(perbedaan) antara arus modal masuk dengan defisit transaksi berjalan ditambah perubahan
cadangan devisa otoritas moneter pada periode tertentu. Secara matematis dapat ditulis
sebagai berikut:

CF = H + B + A + F
dimana,
CF = Capital flight
H = Perubahan hutang luar negeri
B = Investasi langsung swasta bersih
A = Surplus transaksi berjalan
13
F = Perubahan cadangan devisa

c. Pendekatan Deposito Bank

Pendekatan ini merupakan arus modal keluar yang meliputi pengukuran terhadap
kenaikan dalam deposito perbankan luar negeri yang tercatat (recorded foreign bank deposits)
yang dimiliki oleh penduduk dalam negeri. Namun, seringkali jumlah deposito yang tercatat
pada bank-bank lebih kecil dari estimasi arus modal keluar resident secara kumulatif, atau
dengan kata lain, statistik untuk bank deposito sering meng-underestimate jumlah dana yang
terdapat diluar. Hal ini disebabkan oleh tiga hal yaitu : Pertama, sebagian dana disimpan pada
deposito bank yang terletak di luar major (reporting) financial center.
Kedua,kewarganegaraan dari depositor tidak selalu diketahui (dilaporkan) secara benar.
Ketiga, ada dana yang disimpan dalam bentuk aset lain selain deposito.

3. Aliran Modal Internasional

Investasi asing dibagi menjadi dua, yaitu investasi portofolio dan investasi asing langsung
atau foreign direct investment (FDI). Investasi portofolio merupakan investasi dalam bentuk
aset finansial, seperti obligasi, saham, serta surat hutang yang dinyatakan dalam bentu k
matauang nasional. Sementara itu, FDI merupakan investasi asing yang berwujud barang
modal, tanah, dan persediaan (inventory). Investasi dalam bentuk FDI pada umumnya
dilakukan oleh perusahaan multinasional (Multinational Corporations, MNCs) yang bergerak
pada bidang pengelolaan sumber daya alam, manufaktur, dan jasa (Salvatore, 2013).

Pergerakan FDI yang masuk ke suatu negara dapat membawa potensi keuntungan
maupun biaya bagi negara penerimanya. Potensi keuntungan tersebut, diantaranya kenaikan
jumlah pekerja, upah, output, ekspor, maupun peningkatan penerimaan pajak. Hal ini karena
peningkatan modal yang diimbangi kenaikan jumlah tenaga kerja dan penguasaan teknologi
akan menambah output. Kegiatan produksi yang memiliki potensi ekspor akan
menguntungkan negara lokasi produksinya dengan memperoleh mata uang asing untuk
mendukung proses pembangunan. FDI yang mengalir ke suatu industri juga diharapkan dapat
meningkatkan skala ekonomis industri tersebut. Selain itu, masuknya investasi asing berarti
adanya kompetitor baru dalam industri yang diharapkan mampu melemahkan kekuatan
monopoli domestik.

14
4. Faktor - Faktor yang berpengaruh terhadap capital flight

Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang di identifikasi dapat mempengaruhi capital


flight di Indonesia.
1. Suku Bunga
Menurut Case dan Fair (2009: 153), bunga adalah biaya yang dibayar oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman atas penggunaan dananya. Tingkat suku bunga adalah pembayaran
bunga tahunan atas suatu pinjaman yang dinyatakan sebagai persentase pinjaman. Besarnya
sama dengan jumlah bunga yang diterima per tahun dibagi jumlah pinjaman.
Natsir (2014: 273) membedakan jenis suku bunga ada dua, yaitu suku bunga nominal
dan suku bunga riil. Suku bunga nominal adalah suku bunga yang dibayar oleh bank, dalam
nilai uang. Suku bunga ini merupakan nilai yang dapat dibaca secara umum dan menunjukkan
sejumlah rupiah untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan. Sedangkan suku bunga riil adalah
suku bunga nominal dikurangi dengan tingkat inflasi.

- Paritas Suku Bunga


Asumsi yang melandasi paritas suku bunga adalah bahwa pasar aset merupakan pasar
yang efisien. Karena itu paritas ini dapat diterapkan untuk investasi dan pinjaman
internasional. Logikanya, untuk proyek investasi, investor membandingkan hasil (return) dari
pasar domestik dengan hasil dari pasar internasional. Adanya perbedaan tingkat suku bunga
suatu negara terhadap negara lainnya terdapat perbedaan imbal jasa yang diberikan suatu
instrumen investasi yang ditawarkan pada kedua negara tersebut. Faktor yang menyebabkan
terjadinya perbedaan suku bunga di kedua pasar, yakni risiko perubahan nilai tukar mata uang,
adanya faktor yang menghambat lalu lintas modal antarnegara, dan adanya faktor dalam
negeri yang mempengaruhi ekonomi nasional dengan perekonomian dunia maupu n yang
mempengaruhi tingkat balas jasa tabungan di dalam negeri sehingga secara tidak langsung
mempengaruhi lalu lintas antarnegara (Kuncoro, 2016: 198- 199).

- Perbedaan Tingkat Suku Bunga dalam Model Mundell-Fleming

Perbedaan tingkat suku bunga dalam Model Mundell-Fleming mengasumsikan


perekonomian terbuka. Dalam mobilitas modal sempurna, tingkat bunga dunia diasumsikan
tetap secara eksogen karena perekonomian tersebut relatif kecil dibandingkan perekonomian

15
dunia sehingga bisa meminjam atau memberi pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar
uang dunia tanpa mempengaruhi tingkat bunga dunia. Asumsi ini berarti bahwa tin gkat bunga
dalam perekonomian ini r ditentukan oleh tingkat bunga dunia r* (Mankiw, 2008: 327- 344).
Jika perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri makin membesar diperkirakan akan mampu
menarik arus modal masuk sehingga nilai capital flight akan berkurang.

2. Inflasi

Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus.
Bukan berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang
sama, dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Terdapat kenaikan harga umum
barang secara terus- menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang
terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan
inflasi (Nopirin, 2016: 25). Tingkat inflasi memberikan pengaruh yang searah terhadap
capital flight, semakin tinggi tingkat inflasi maka makin besar pelarian modal dari Indonesia.

3. Real Effective Exchange Rate (REER)

Nilai tukar atau sering disebut kurs adalah harga mata uang negara asing dalam satuan
mata uang domestik. Menurut Krugman dan Obstfeld (1999), menyatakan bahwa kurs adalah
harga mata uang suatu Negara terhadap mata uang Negara lain. Kurs merupak an nilai
terpenting dalam perekonomian terbuka, karena pengaruhnya yang besar bagi neraca
transaksi berjalan maupun bagi variabel-variabel makroekonomi lainnya. Kerugian aset di
pasar modal tidak dapat dipisahkan dengan depresiasi mata uang yang merupakan salah satu
sumber paling penting dalam ketidakpastian. Depresiasi nilai tukar berimplikasi terhadap
capital flight. Secara umum investor domestik lebih merasa aman menanamkan assetnya ke
luar negeri (dalam bentuk foreign assets), jika nilai tukar domestik nilainya terus melemah
terhadap mata uang asing.

4. Pertumbuhan Ekonomi (Laju PDB)


Eksistensi Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk variabel makroekonomi yang
mempengaruhi pergerakan capital flight. Terutama PDB yang berasal jumlah barang
konsumsi dan bukan yang berasal dari barang modal. Meningkatnya jumlah barang barang

16
yang dikonsumsi dalam suatu perekonomian akan menyebabkan kegiatan ekonomi dunia
usaha meningkat, sehingga perekonomian dapat tumbuh, karena masyarakat bersifat
konsumtif, dan omset penjualan meningkat, sehingga menimbulkan keuntungan bagi
perusahaan. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia (LPDB), yaitu persentase perubahan
PDB riil Indonesia yang merefleksikan kinerja ekonomi dari tahun ke tahun dan dinyatakan
dalam persen. Makin tinggi LPDB makin rendah tingkat capital flight 1di Indonesia.

2.4 Devaluasi
1. Pengertian Devaluasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), devaluasi adalah penurunan nilai uang yang
dilakukan dengan sengaja terhadap uang luar negeri atau terhadap emas, misalnya u ntuk
memperbaiki perekonomian.
Sedangkan menurut buku Ekonomi 2: Untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Kelas XI (2009) karya Leni Permana Dkk, devaluasi adalah tindakan pemerintah untuk
menurunkan nilai mata uang negaranya terhadap nilai mata uang negara lain secara mendadak
dan dalam perbedaan yang cukup besar atau penurunan nilai-nilai tukar (exchange rate) secara
resmi atas mata uang domestik terhadap valuta asing atau mata uang dari negara-negara lain.
Tindakan ini mengakibatkan harga barang-barang negara lain menjadi relatif lebih murah
di pasaran luar negeri dan sebaliknya harga barangbarang negara lain menjadi relatif m ahal di
pasaran dalam negeri. Makin tinggi tingkat yang dilakukan, makin baik daya saing negara yang
bersangkutan terhadap negara lain. Tindakan tersebut memungkinkan suatu negara dalam jangka
pendek dapat menaikkan ekspornya dan mengurangi impornya

2. Tujuan Devaluasi
Tujuan dari devaluasi diambil biasanya dilakukan dalam rangka memperbaiki neraca
pembayaran luar negeri. Sehingga kurs mata uang asing menjadi relatif lebih stabil.
Berikut rinciannya:
1. Untuk memperbesar ekspor
2. Untuk memperkecil impor
3. Menambah devisa negara
17
4. Mengurangi beban utang.

3. Penyebab Devaluasi

Devaluasi terjadi karena adanya ketidak-seimbangan atau defisit-nya neraca pembayaran. Neraca
pembayaran defisit, terjadi apabila jumlah pembayaran lebih besar dari pada jumlah penerimaan.
Berikut rinciannya:
• Tingginya kegiatan impor yang dilakukan oleh suatu negara tanpa diimbangi dengan
kegiatan ekspor yang tinggi pula
• Semakin meningkatnya permintaan untuk mengkonversi nilai mata uang akibat tingginya
kegiatan impor
• Semakin menurunnya nilai mata uang suatu negara
• Kegiatan ekspor hanya terpusat pada makanan dan biota laut
• Tingginya tingkat pengangguran.

4. Contoh Devaluasi

Pada 25 Agustus 2059 lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan keputusan mengenai


devaluasi. Saat itu nilai mata uang kertas Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas Rp 1.000 menjadi
Rp 100 dan pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000. Keb ijakan ini
diambil untuk membendung tingginya inflasi. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan
uang yang beredar di masyarakat berkurang dan nilai rupiah meningkat. Namun usaha tersebut
tidak dapat mengatasi kemerosotan ekonomi. Para pengusaha di daerah tidak sepenuhnya
mematuhi ketentuan tersebut. Pemotongan nilai uang memang berdampak harga barang menjadi
murah. Namun tetap saja rakyat kesusahan karena tidak memiliki uang. Kas negara sendiri
defisit akibat proyek politik yang menghabiskan anggaran. Un tuk menyetop defisit, pemerintah
justru mencetak uang baru tanpa perhitungan matang. Kebijakan ini kembali dilakukan pada
1965 dengan menjadikan uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Akibatnya, bukannya berkurang, inflasi
malah makin parah. Indonesia mengalami hiperinflasi pada 1963-1965. Inflasi mencapai 600
persen pada 1965.

18
2.5 Kebijakan Moneter di Masa Orde Lama (1945-1965)

Pemerintah pada awal kemerdekaan mendirikan 2 bank swasta yaitu BNI dan BRI pada
tahun 1946. Kedua bank tersebut beserta bank swasta lain yan g ditunjuk pemerintah memiliki
tugas untuk menukar mata uang Hidia Belanda dan Jepang dengan ORI (Oeang Republik
Indonesia). Setelah itu tugas tersebut diserahkan ke De Javasche Bank karena Indonesia menjadi
Republik Indonesia Serikat. Setelah Indonesia menjadi negara kesatuan, De Javasche Bank
dinasionalisasi menjadi bank sentral.

Tahun 1953, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok-
Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti De Javasche Bank Wet tahun 1922. Dengan dasar
undang-undang ini dibentuklah Dewan Moneter dengan Menteri Keauangan sebagai ketua,
Menteri Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. Dewan moneter mempunyai
tugas yang berkaitan erat dengan pengendalian kondisi moneter antara lain menentukan
kebijakan moneter secara umum, mengatur dan menstabilkan mata uang, memajukan urusan
kredit dan perbankan pada umumnya. Dengan undang-undang tersebut Bank Indonesia dituntut
lebih banyak aktif menata dan mengembangkan perekonomian nasional yang pada waktu itu
mengalami banyak masalah. Tugas berat Bank Indonesia pada waktu itu adalah menyatukan
mata uang yang berbeda-beda di masing-masing daerah di Indonesia menjadi satu mata uang
yaitu rupiah dengan tetap terpeliharanya kesatuan dan persatuan.

Pada masa Orde Lama kebijakan moneter bersifat langsung. Penguasa


moneter mengendalikan sektor moneter secara ketat, sehingga tidak ada flexibelitas
sama sekali di sektor perbankan. Perbankan lebih bersifat kepanjangan tangan dari
Pemerintah. Sebagai akibat kebijakan defisit anggaran belanja negara yang ditutup dengan
pinjaman dari Bank Indonesia maka inflasi menjadi tidak terkendali (mencapai 635% pada tahun
1966). Pertumbuhan produksi dapat dikatakan nihil. Keadaan perekonomian mengalami stagnasi.

Pada tahap awal, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sirkulasi dan berperan juga
sebagai bank komersial yang memberikan kredit Iangsung kepada swasta, pemerintah , yayasan,
bank-bank dan badan perkreditan lainnya. Dengan telah tertatanya mekanisme peredaran uang,
Bank Indonesia seterusnya berperan aktif meningkatkan kegiatan ekonomi sehingga Bank
19
Indonesia dikenal sebagai agen pembangunan. Dengan peran sebagai agen pembangunan, praktis
Bank Indonesia melaksanakan suatu tekanan yaitu menetapkan kebijakan moneter yang
ekspansif yang bersumber pada upaya pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Sebaliknya dari
sektor perbankan, dampak penciptaan uang dibatasi melalui penetapan reserve requirement bank,
yaitu rasio jumlah cadangan minimum terhadap jumlah kewajiban Iancarnya yang wajib
dipelihara oleh bank-bank sebesar 30% tahun 1957.

Dengan kebijakan fiskal yang ekspansif yaitu melalui defisit anggaran pemerintah karena
pembangunan proyek mercusuar dan pengeluaran untuk militer yang berlebihan) cenderung
menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter yang tercermin dari
peningkatan pencetakan uang yang berlebihan untuk pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Pelaksanaan kebijakan ini adalah karena tekanan politik yang menyebabkan melonjaknya jumlah
uang beredar jauh melebihi dari kebutuhan riil perekonomian sehingga mendorong naiknya
harga-harga barang dan jasa secara tajam sehingga laju inflasi mencapai 600% atau terjadi
hyperinflation pada tahun 1965. Melihat kondisi di atas, semestinya kebijakan fiskal mampu
mengendalikan defisit anggaran pada batas-batas yang wajar dengan pengeluaran anggaran yang
harus selektif dan mampu mendorong kegiatan ekonomi riil di b alik kebijakan moneter tidak
boleh digunakan untuk membiayai defisit anggaran pada sisi kebijakan fiskal, tetapi kebijakan
moneter hanya ditujukan pada pengendalian Dengan itu, kebijakan fiskal dan moneter harus
yang tercermin dari tingkat inilasi menjadi 10%. Perencanaan pembangunan mulai dilakukan
untuk menata kegiatan ekonomi nasional yang lebih baik.

2.6 Kebijakan Moneter di Masa Orde baru (1964-1998)


Masa orde baru berlangsung mulai berlangsung dari 11 maret 1996, yaitu bertepatan
dengan dikeluarkannya surat perintah sebelas maret (SUPERSEMAR), sampai lengsernya
Soeharto dari kursi Kepresidenan Republik Indonesia pada tanggal 21 mei 1998. Selama tahun
1964-1966, hiperinflasi melanda Indonesia dengan akibat lumpuhnya perekonomian. Pemerintah
Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai memegang kekuasaan pemerintahan
pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian.

Perekonomian pada saat itu dibagi menjadi 2 yaitu jangka pendek dan jangka panjang.
Pelaksanaan perekonomian Indonesia dalam jangka pendek dilakukan 2 program yaitu:
20
1. Stabilitas yang menyelesaikan masalah berupa hyperinflasi (650%), hutang luar
negeri, dan melonjaknya harga kebutuhan pokok dengan menyusun APBN
Berimbang dan meminjam dana dari luar negeri. Hyperinflasi berhasil ditekan hingga
mencapai angka 120%
2. Rehabilitas yang mengatasi kerusakan sarana dan prasarana sehingga menjamin
keamanan investor-investor luar negeri.

Di sektor moneter dilakukan reformasi besar-besaran atas sistem perbankan yaitu dengan
dikeluarkannya tiga undang-undang baru tentang perbankan: UU tentang perbankan tahun 1976,
UU, tentang bank sentral tahun 1968, dan UU tentang bank asing tahun 1968. Ini merupakan
basis legal bagi pelaksanaan dan pengaturan kerangka sistem moneter, dan dapat berperan dalam
memobilisasi tabungan masyarakat guna mendukung pertumbuhan ekonomi selain memainkan
peran penting dalam pembangunan pasar uang dan pasar modal.

Dengan berhasilnya program diatas, pemerintah Orde Baru siap melaksanakan program
jangka panjang khususnya dibidang pertanian. Indonesia memulai menata kehidupan ekonomi
secara lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA.

a. Repelita I (1 April 1969 - 31 Maret 1974)


Titik Berat repelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Sasaran repelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Tujuan repelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan
dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
b. Repelita II (1 April 1974 - 31 Maret 1979)
Titik Berat repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap
selanjutnya.
Sasaran pelita II: Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja.
21
Tujuan repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan
Madura, diantaranya melalui transmigrasi.
Pelaksanaan repelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per
tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi
turun menjadi 9,5%.
c. Repelita III (1 April 1979 - 31 Maret 1984)
Titik Berat repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya.
Menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga
berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun
khususnya pada tahun-tahun terakhir pelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak
menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik
dari penggalakan ekspor maupun pajak-pajak dalam negeri.
d. Repelita IV (1 April 1984 - 31 Maret 1989)
Titik Berat repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-
mesin industri sendiri, baik industri ringan yang akan terus dikembangkan dalam repelita-
repelita selanjutnya meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.
Tujuan repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan
pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
e. Repelita V (1 April 1989 - 31 Maret 1994)
Sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelaksanaan
kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan
menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi
22
Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu dikembangkan secara selaras, terpadu,
dan saling memperkuat.
Tujuan dari repelita V sesuai dengan GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan
taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin merata dan adil;
kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.

Dalam bidang moneter terjadi perubahan struktur secara mendasar setelah diluncurkan
paket deregulasi kebijakan 27 Oktober 1988, yaitu jumlah bank sebanyak 111 dengan 1.728
kantor dalam tahun 1988 melonjak menjadi 239 bank dengan 6.022 kantor pada tahun 1994 .

2.7 Analisis Mengenai Krisis Moneter dan Cara Mengatasinya

Perekonomian Indonesia pada masa Pemerintahan Reformasi diawali den gan krisis
moneter rupiah sejak semester II tahun 1997, yaitu kinerja perekonomian Indonesia menurun
tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan diberbagai bidang. Proses penyebaran
krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan
ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar. Krisis tersebut kemudian berkembang
semakin parah karena adanya berbagai kelemahan mendasar dalam perekonomian nasional,
terutama ditingkat mikro. Bersamaan dengan itu, pengelolaan perekonomian dan sektor usaha
yang kurang efisien serta sistem perbankan yang rapuh menyebabkan gejolak nilai tukar berubah
menjadi krisis utang swasta dan krisis perbankan.

Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah telah menempuh berbagai upaya. Akan
tetapi, upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasilnya karena krisis kepercayaan terhadap
kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin meluas dan isu politik muncul
bersamaan dengan semakin memburuknya kinerja perekonomian, semakin mempersulit up aya
pemulihan perekonomian. Dengan semakin parahnya krisis yang terjadi, kegiatan intermediasi di
sektor keuangan, terutama perbankan, menjadi terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai
kegiatan investasi dan produksi mengalami berbagai hambatan. Hal ini mengakibatkan kegiatan
ekonomi mengalami kontraksi yang tajam, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) merosot menjadi 4,7% tahun 1997 dibandingkan 8,0% tahun
sebelumnya. Tingkat pengangguran meningkat tajam dari 4,9% tahun 1 996 – 7,5% tahun 1997,
dan inflasi melonjak dari 5,17% tahun 1996 menjadi 34,22% tahun 1997 pada tahun laporan.
23
Dengan kondisi tersebut, pemerintah berinisiatif menempuh program stabilisasi dan reformasi
untuk menyehatkan serta memulihkan perekonomian.

Program tersebut kemudian mendapat bantuan teknis dan dukungan keuangan dari
beberapa lembaga internasional serta negara-negara sahabat yang dikoordinasikan oleh IMF.
Bank Dunia dan ADB memberikan komitmen bantuannya masing-masing. Di luar paket
tersebut, pemerintah Indonesia mendapat bantuan keuangan sebagai second line of defence dari
negara-negara sahabat.

Melihat perkembangan ekonomi sampai pada Januari 1998 yang semakin kurang
menguntungkan, yaitu merosotnya nilai rupiah dan melonjaknya laju inflasi, pem erintah
memandang perlu untuk mempercepat proses penyehatan ekonomi sekaligus merevisi target
makroekonomi.

Langkah-langkah di bidang moneter ditujukan untuk menyesuaikan kebutuhan likuiditas


perekonomian dan suku bunga demi menstabilkan nilai tukar rupiah . Untuk itu, pemerintah
melaksanakan kebijakan moneter yang ketat sampai nilai tukar stabil dengan tetap
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan likuiditas, terutama bagi usaha kecilmenengah dan
koperasi. Langkah-langkah tersebut adalah:

a) Meningkatkan suku bunga SBI untuk semua jangka waktu.


b) Melakukan intervensi di pasar valas apabila dirasakan efektif, baik yang dilakukan oleh
BI maupun secara bersama-sama dengan bank sentral negara lain.
c) Melakukan pembatasan transaksi forward bank-bank nasional dengan non-residen sampai
dengan $5 juta.
d) Menurunkan giro Wajib Minimum valas dari 5 % menjadi 3% atas dana pihak ketiga
dalam valas.
e) Memberikan kewenangan penuh pada bank pemerintah untuk menyesuaikan suku bunga
kredit dan simpanan.
f) Memberikan fasilitas swap khusus untuk eksportir tertentu (PET) dan fasilitas forward
kepada importir produk ekspor.
g) Memperluas cakupan fasilitas rediskonto wesel ekspor kepada PET dari hanya rediskonto
pasca pengalaman ( post-shipment), menjadi termasuk pra-pengapalan (pre-shipment).

24
h) Meningkatkan independensi Bank Indonesia dalam menetapkan suku bunga dan
melaksanakan kebijakan moneter.
i) Membentuk tim penyelesaian utang luar negeri swasta untuk membantu penyelesaian
utang luar negeri swasta.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat


melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini dapat dicapai dengan berbagai kebijakan antara
lain operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah maupun valuta asing, penetapan cadangan wajib
minimum, penetapan tingkat diskonto, pengaturan kredit atau pembiayaan dan kebijakan lainnya
yaitu bujukan moral, sanering, dan pergantian uang.
Orientasi perbankan dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan terutama tertuju pada
pembiayaan dan kelancaran perdagangan internasional. Seiring berjalannya waktu secara
alamiah jumlah bank kian menyusut dikarenakan kompetisi yang ketat. Muncul sosok bank-
bank besar yang jumlahnya relative sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160
buah sebelum krisis dan akhirnya menjadi 81 buah pada bulan Juni 2000. Penguatan dan
pembenahan perbankan tidak berhenti di sini, melainkan membuka lembaran baru untuk menuju
sistem perbankan (keuangan) yang sehat.
Pelarian modal (Capital flight) adalah seluruh aliran modal keluar yang dilakukan oleh
penduduk dari suatu Negara, sedangkan apabila modal dimaksud diinvestasikan pada
perekonomian domestik akan meningkatkan tingkat pengembalian sosial (return social) dan
potensi pertumbuhan ekonomi, merupakan definisi yang paling luas (broad definition) dan masih
cukup sering digunakan karena kesederhanaan konsep serta mudah dalam penghitungannya.
Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur capital flight yaitu pendekatan
neraca pembayaran, pendekatan residual dan pendekatandeposito bank. Capital flight
berhubungan dengan aliran modal internasional, dimana investasi asing dibagi menjadi dua, yaitu
investasi portofolio dan investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI). Investasi
portofolio merupakan investasi dalam bentuk aset finansial, seperti obligasi, saham, serta surat
hutang yang dinyatakan dalam bentuk matauang nasional. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi capital flight yaitu suku bunga, inflasi, real effective exchange rate, dan
pertumbuhan ekonomi.
Devaluasi adalah tindakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang negaranya
terhadap nilai mata uang negara lain secara mendadak dan dalam perbedaan yang cukup besar
atau penurunan nilai-nilai tukar. Tindakan ini mengakibatkan harga barang-barang negara lain
menjadi relatif lebih murah di pasaran luar negeri dan sebaliknya harga barangbarang negara lain
menjadi relatif mahal di pasaran dalam negeri. Makin tinggi tingkat yang dilakukan, makin baik
daya saing negara yang bersangkutan terhadap negara lain. Tindakan tersebut memungkinkan
suatu negara dalam jangka pendek dapat menaikkan ekspornya dan mengurangi impornya.
26
Tujuan dari devaluasi diambil biasanya dilakukan dalam rangka memperbaiki neraca
pembayaran luar negeri.
Setiap masa, baik Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang memiliki masalah
perekonomian yang berasal dari masalah eksternal (luar negeri) dan diperparah oleh masalah
internal (dalam negeri). Kebijakan moneter dan kebijakan makro, mikro hingga bantuan
Internasional ekonomi lainnya telah berhasil menyelesaikan masalah tersebut meskipun tidak
sepenuhnya. Seperti sekarang nilai rupiah memiliki perbandingan nominal digit yang tinggi
dengan mata uang lainnya, namun masyarakat masih tetap dapat hidup dengan kondisi tersebut.

3.2 Saran

Dengan pembuatan Ringkasan Materi Kuliah ini, penulis mengharapkan bahwa materi yang
terdapat didalam ringkasan mata kuliah ini dapat dipahami oleh para pembacanya serta dapat
menambah wawasan para pembaca. Selain itu, penulis mengharapkan ringkasan mata kuliah ini
dapat digunakan dalam memahami materi yang terkait dengan kebijakan moneter Indonesia.

27
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut. 2018. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana University Press

Arma, Andri. 2018. Kebijakan Moneter Pada Zaman Orde Lama Dan Orde Baru. Pekanbaru:
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Dharma Putra

Putra, Okto DellonSunuraz. 2019. Kehidupan Ekonomi Masa Orde Baru.


Dikutipdarihttps://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Orde%20Baru-
BB/Topik-2.html dan diakses pada tanggal 23 Oktober 2021

Sudirman, I Wayan. 2011.KebijakanFiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal. Jakarta:


Kharisma Putra Utama

28

Anda mungkin juga menyukai