Beyond Cabotage Bappenas
Beyond Cabotage Bappenas
Beyond Cabotage
di Indonesia
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan telah
diselesaikannya laporan kajian Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Beyond
Cabotage di Perairan Indonesia dengan baik. Kajian ini merupakan kajian lanjutan dari
penerapan Asas Cabotage yang telah diinisiasi sejak tahun 2019, dengan fokus tahun ini
kepada implementasi Beyond Cabotage di perairan Indonesia sebagai upaya
memaksimalkan pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemberdayaan
industri pelayaran nasional serta memberikan rekomendasi bersama stakeholder
pelayaran nasional dalam mengimplementasikan Beyond Cabotage dengan baik di masa
yang akan datang.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perhubungan, PT. Pelindo,
Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Himpunan Ahli Pelabuhan
Indonesia (HAPI) dan Akademisi dari Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti yang
telah membantu dalam penyediaan data baik dalam proses persiapan, pelaksanaan,
maupun pembuatan laporan. Semoga kerjasama ini terus berlanjut untuk mendukung
pemberdayaan pelayaran nasional sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi serta untuk
mewujudkan program dan visi Indonesia sebagai negara poros maritim dunia yang
berdaulat, maju, mandiri, dan kuat, serta memberikan kontribusi positif bagi perdamaian
kawasan dunia.
Laporan kajian ini, tentu masih terdapat beberapa kekurangan yang disebabkan
karena berbagai keterbatasan yang ada. Oleh sebab itu, masukan dan kritik yang
membangun, sangat diharapkan untuk kesempurnaan laporan kajian ini.
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................................. 1
B. Tujuan ......................................................................................................................................... 3
II. PROBLEM STATEMENT ........................................................................................................................ 4
A. Kelembagaan............................................................................................................................... 4
B. Regulasi ....................................................................................................................................... 4
III. ANALISIS ............................................................................................................................................. 5
A. Gambaran Umum Pelaksanaan Beyond Cabotage di Indonesia................................................. 5
B. Kelembagaan............................................................................................................................... 7
C. Regulasi ..................................................................................................................................... 23
1. Insentif Fiskal bagi Industri Pelayaran Nasional.................................................................... 23
2. Kebutuhan skema pembiayaan khusus dalam menunjang pembiayaan industri pelayaran
nasional dan urgensi pelaksanaan Arrest of Ships. ....................................................................... 27
3. Armada kapal laut nasional dalam pelaksanaan Beyond Cabotage ..................................... 31
4. Sertifikasi Kapal ..................................................................................................................... 34
IV. REKOMENDASI ................................................................................................................................. 43
A. Kelembagaan............................................................................................................................. 43
B. Regulasi ..................................................................................................................................... 43
1. Insentif Fiskal bagi Pelayaran Nasional ................................................................................. 43
2. Kebutuhan skema pembiayaan khusus dalam menunjang pembiayaan industri pelayaran
nasional dan urgensi pelaksanaan Arrest of Ships. ....................................................................... 44
3. Armada kapal laut nasional dalam pelaksanaan Beyond Cabotage ..................................... 45
4. Sertifikasi Kapal ..................................................................................................................... 46
A. Latar Belakang
1 Statistik.kkp, “Indonesia memiliki wilayah lautan seluas 5,8 Juta km persegi, wilayah daratan seluas 1,9 juta km
persegi, panjang garis pantai 104 ribu km, serta 17.504 pulau”, (http://statistik.kkp.go.id/kpda11_ok_r06_v02.pdf
diunduh pada tanggal 20 Oktober 2020.
2 https://ekonomi.bisnis.com/read/20200221/9/1204452/aturan-kapal-nasional-ini-respons-importir-dan-eksportir,
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 1
disebabkan oleh adanya penggunaan kapal berbendera asing pada kegiatan
ekspor/impor3. Hal ini juga diperkuat oleh data dari Kementerian Perhubungan yang
menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun (2015-2019), penggunaan
kapal berbendera Indonesia untuk angkutan ekspor dan impor masih sangat sedikit
dan hanya 5% dari potensi yang tersedia setiap tahunnya4.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan defisit neraca jasa
yang terjadi, serta untuk mengoptimalkan potensi ekspor dan impor Indonesia yang
tinggi, maka pemerintah perlu melaksanakan program Beyond Cabotage di
Indonesia. Beyond Cabotage merupakan kegiatan Angkutan Ekspor dan Impor
Indonesia dengan menggunakan kapal yang dimiliki dan dioperasikan oleh
perusahaan pelayaran nasional serta diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia.
Tujuan pelaksanaan Beyond Cabotage di Indonesia adalah untuk membantu
negara memaksimalkan kegiatan perdagangan luar negeri sebagai lokomotif
pertumbuhan melalui upaya mengamankan potensi devisa dari freight yang selama
ini hilang sebesar IDR 120 triliun per tahun.5
Perjalanan panjang pelaksanaan Beyond Cabotage di Indonesia dimulai
sejak Oktober 2012, yang diawali dengan Pembentukan Team Task Force Beyond
Cabotage. Kemudian pada tahun 2013, dilakukan penandatanganan perubahan
Term of Trade dari skema Free on Board (FOB) menjadi skema Cost Insurance and
Freight (CIF). Selanjutnya pada tahun 2017 hingga saat ini, Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017,
yang kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 80 tahun 2018, dan kemudian
direvisi kembali menjadi Permendag Nomor 40 tahun 2020, dan terakhir direvisi
kembali menjadi Permendag Nomor 65 tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan
Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
Peraturan tersebut mewajibkan eksportir batu bara dan minyak sawit mentah (crude
palm oil/CPO), serta importir beras dan barang pengadaan barang pemerintah
untuk menggunakan angkutan laut dan asuransi nasional6.
Meskipun Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan regulasi
untuk mendukung pelaksanaan Beyond Cabotage di Indonesia, bukan berarti
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 2
dalam implementasinya tidak ada kendala. Beberapa keadaan yang dinilai sebagai
penghambat implementasi tersebut, antara lain saat ini ekspor atas komoditas
Indonesia kembali menggunakan term of trade FOB, sedangkan impor
menggunakan CIF sehingga negara tujuan ekspor menjadi sangat dominan dalam
menentukan penggunaan kapal untuk angkutan ekspor tersebut, begitu juga yang
terjadi saat melakukan impor. Selain itu, okupansi muatan kapal berbendera Merah
Putih dari Indonesia ke luar negeri atau negara tujuan ekspor dapat mencapai 70%-
100%, tetapi kondisi sebaliknya terjadi pada saat kapal kembali dari negara tujuan
ekspor ke Indonesia. Faktor lain yang juga menjadi penghambat yaitu adanya
tumpang tindih kebijakan7, kemudian masalah kelembagaan, khususnya dengan
masih banyaknya pungutan pada upaya penegakan hukum di laut, sehingga
menyebabkan tingginya biaya operasional, serta regulasi fiskal dan moneter yang
dinilai oleh pelaku usaha belum sepenuhnya mendukung industri pelayaran
nasional8.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang dirumuskan, tujuan yang ingin dicapai dari
kajian ini yaitu menemukenali tantangan dan kendala pelaksanaan Beyond
Cabotage di Indonesia serta memberikan rekomendasi upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi tantangan dan kendala tersebut, dengan melihat dari perspektif
kelembagaan dan regulasi.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 3
II. PROBLEM STATEMENT
A. Kelembagaan
B. Regulasi
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 4
III. ANALISIS
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 5
armada11. Pada tahun 2020, peraturan ini kembali direvisi sebanyak 2 (dua)
kali, pertama yaitu dengan Permendag Nomor 40 Tahun 2020 yang
diundangkan pada tanggal 8 April 2020, dan terakhir yang saat ini berlaku yaitu
Permendag Nomor 65 Tahun 2020 yang diundangkan pada tanggal 15 Juli
2020.
Kegiatan ekspor Indonesia untuk komoditas migas, hasil pertambangan
seperti batu bara, perkebunan, dan CPO per tahunnya sudah mencapai 500
juta ton, dan hingga kini masih dikuasai oleh perusahaan pelayaran berbendera
asing12. Melalui penerapan Beyond cabotage, diharapkan dapat
mengembalikan kejayaan dunia maritim Indonesia. Beyond Cabotage adalah
kegiatan angkutan ekspor dan impor yang menggunakan kapal berbendera
Merah Putih dan dikerjakan oleh awak berkebangsaan Indonesia.
Tujuan penerapan Beyond Cabotage salah satunya adalah untuk
membuka peluang Indonesia dalam meraup kembali devisa negara yang cukup
besar yang selama ini hilang. Sebagai gambaran, dari ekspor batubara dengan
volume 220 juta ton per tahun, Indonesia kehilangan potensi devisa hingga
US$ 4,4 miliar. Asumsi ini berdasarkan perhitungan biaya angkut dari Indonesia
ke kawasan regional termasuk Tiongkok yang rata-rata US$ 20 per ton13.
Dengan volume ekspor yang tinggi, ternyata kapasitas kapal nasional masih
menjadi masalah. Dari sisi teknis, masalah penggunaan kapal asing hanyalah
bagian dari kontrak jual beli antara eksportir dan importir, apakah kapal
pengangkut menjadi tanggung jawab penjual (cost, insurance, freight/CIF) atau
menjadi tanggung jawab pembeli (free on board/FOB). Dalam perdagangan
ekspor Indonesia ke luar negeri, term of delivery yang dipakai sebagian besar
adalah FOB.
Dari sisi makroekonomi, penggunaan kapal asing merupakan
konsekuensi dari penggunaan term FOB, yang secara tidak langsung
membebani transaksi berjalan. Dari defisit transaksi berjalan tahun 2018 senilai
US$31 miliar, hampir US$9 miliar di antaranya disumbang oleh defisit jasa
transportasi. Impor jasa transportasi barang alias penggunaan jasa kapal kargo
11 https://ekonomi.bisnis.com/read/20190409/98/909533/logistikos-menagih-keseriusan-asas-beyond-cabotage, diakses
pada 9 November 2020
12 https://www.beritasatu.com/paulus-c-nitbani/ekonomi/306975/saatnya-indonesia-menggarap-asas-beyond-cabotage,
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 6
asing mencapai US$8,5 miliar pada tahun 2018, naik dari tahun sebelumnya
yang hanya US$6,9 miliar. Beberapa dampak negatif dari meningkatnya defisit
transaksi berjalan adalah adanya penarikan dana oleh Investor dari pasar
modal Indonesia, turunnya indeks harga saham gabungan, turunnya harga
obligasi, dan turunnya nilai tukar rupiah14.
Pada tahun 2014, Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan
terkait dengan aturan penggunaan Incoterm CIF atas permintaan Kementerian
Perdagangan. Namun, beleid dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 41/PMK.04/2014 tentang Tata Cara Pengisian Nilai Transaksi Ekspor
dalam Bentuk Cost, Insurance, and Freight (CIF) pada Pemberitahuan Ekspor
Barang itu, hanya sekadar mewajibkan eksportir untuk memasukkan nilai premi
asuransi dan freight ke dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB).
Secara riil, eksportir masih leluasa menggunakan term FOB.
Selain karena penggunaan term FOB dalam proses ekspor, tantangan
lain yang berpotensi menghambat adalah adanya tumpang tindih kebijakan,
tumpang tindih kelembagaan, dan regulasi yang kurang mendukung
khususnya pada bidang pembiayaan, perpajakan, dan fasilitasi muatan15. Oleh
karena itu, kajian ini akan fokus menguraikan tantangan dan hambatan dalam
pelaksanaan beyond cabotage di Indonesia, dengan melihat dari perspektif
kelembagaan dan regulasi.
B. Kelembagaan
Indonesia memiliki wilayah laut (termasuk ZEEI) sangat luas, sekitar 5,8
juta km2 yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di
dalamnya terdapat 17.504 pulau yang dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200
km, dan merupakan terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang
membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia 16.
Sebagai negara dengan wilayah laut yang sangat luas, Indonesia tentu
memiliki banyak permasalahan yang berkaitan dengan wilayah lautnya. Beberapa
permasalahan yang dihadapi Indonesia yang biasa terjadi dilaut antara lain, Illegal
14 https://ekonomi.bisnis.com/read/20190409/98/909533/logistikos-menagih-keseriusan-asas-beyond-cabotage, diakses
pada 9 November 2020
15
Diskusi penajaman Bappenas – INSA, 1 Oktober 2020
16 https://law.ui.ac.id/v3/penegakan-hukum-di-wilayah-laut-indonesia/, diakses pada 9 November 2020
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 7
fishing, Penyelundupan barang, Penyelundupan narkoba,
Trafficking/Penyelundupan manusia dan boat people (manusia perahu), terorisme
serta bajak laut.
Untuk menjaga wilayah laut yang sangat luas tersebut, Indonesia memiliki
tujuh lembaga penegak hukum yang memiliki satgas patroli di laut. Lembaga
penegak hukum tersebut diantaranya adalah TNI-Angkatan Laut; POLRI-
Direktorat Kepolisian Perairan; Kementerian Perhubungan-Dirjen Hubla;
Kementerian Kelautan dan Perikanan-Dirjen PSDKP; Kementerian Keuangan-
Dirjen Bea Cukai; Badan Keamanan Laut (Bakamla); dan Satuan Tugas
Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Illegal (Satgas 115). Ke-tujuh
lembaga penegak hukum tersebut melaksanakan patroli terkait dengan
keamanan dilaut secara sektoral sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
bedasarkan peraturan perundang-undangan masing-masing.
Banyaknya lembaga yang ikut mengawal pengamanan hukum di laut, di
satu sisi membuat pengawasan keamanan laut menjadi lebih kuat, namun disisi
lain akan menimbulkan tumpang tindih lembaga dalam tindak pengamanan
wilayah laut. Banyaknya lembaga ini, disebabkan karena banyaknya peraturan
perundang-undangan yang saling tumpang tindih antarInstansi. Peraturan
yang tumpang tindih ini mengakibatkan banyak lembaga memiliki tugas pokok
dan fungsi yang beririsan, sehingga dalam menyusun kebijakan, seringkali
terjadi tumpang tindih kewenangan.
Presiden Joko Widodo menyampaikan instruksinya pada pelantikan Kepala
Bakamla untuk menjadikan Bakamla sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi
komando dalam menjaga keamanan laut. Instruksi ini kemudian ditindaklanjuti
oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan,
Mahfud MD selaku Menteri yang membawahi Bakamla, dengan menyiapkan
Instruksi Presiden (Inpres) untuk menyatukan komando keamanan laut di bawah
Bakamla. Inpres tersebut akan mengatur kewenangan Bakamla sebagai badan
tunggal penjaga laut yang akan memegang komando penanganan keamanan laut
yang selama ini tumpang tindih di beberapa lembaga17.
17
http://dppinsa.com/content/detail/menkopolhukam_siapkan_inpres_komando
keamanan_laut_berada_dibawah_bakamla, diakses pada 10 November 2020
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 8
Menurut analisis kami, Inpres yang sedang disiapkan oleh Menkopolhukam,
nantinya tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi Bakamla untuk menjadi
komando dalam penegakan hukum di laut. Pasal 276 Undang-Undang (UU)
Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pelayaran telah mengamanatkan pembentukan
lembaga Sea and Coast Guard yang berfungsi untuk menjalankan penjagaan
dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. Kemudian
pada Pasal 281 UU Pelayaran, disebutkan bahwa pembentukan lembaga
tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, Inpres
yang disusun untuk menjadikan Bakamla sebagai komando, tidak sesuai
dengan amanat dalam UU Pelayaran.
Bakamla dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014
tentang Badan Keamanan Laut, dengan dasar pembentukannya yaitu Pasal 67
UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, sementara pembentukan Sea and
Coast Guard merupakan amanat dari Pasal 276 UU Pelayaran. Jika dianalisis
lebih dalam, maka yang seharusnya dapat dijadikan sebagai komando dalam
menjaga keamanan laut adalah Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik
Indonesia (KPLP), yang kini berada dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut, Kementerian Perhubungan, mengingat dasar pembentukan KPLP
mengacu pada amanat Pasal 276 UU Pelayaran. Oleh karena itu, usulan untuk
menjadikan Bakamla sebagai komando, menurut kami harus benar-benar dikaji
bersama secara matang dan dibuktikan dengan hasil analisis mendalam
seperti Cost and Benefit Analysis (CBA) agar keputusan yang diambil benar-
benar terukur, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Menurut Ketua Indonesian National Shipowners Association (INSA), belum
terkoordinasinya penegakan hukum di laut, mengakibatkan pengusaha
pelayaran harus menanggung biaya tambahan operasional hingga Rp8 triliun
per tahun. Jumlah itu merupakan akumulasi biaya konsumsi bahan bakar dan
biaya dari keterlambatan waktu akibat pemberhentian kapal saat berlayar18.
Selain itu, akibat ketidakjelasan peran otoritas di laut, membuat banyaknya
kasus pungutan liar (pungli), yang secara riill sangat membebani dan
18https://www.beritasatu.com/beritasatu/ekonomi/218910/jokowi-diminta-benahi-peraturan-penegakan-hukum-laut-
yang-tumpang-tindih, diakses pada 10 November 2020
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 9
mengganggu proses angkutan dan bisnis maritim Indonesia19. Kondisi tersebut
merupakan tantangan dan hambatan yang harus diselesaikan, khususnya dalam
pelaksanaan Beyond Cabotage di Indonesia.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 10
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
• Penyiapan
perumusan dan
pemberian bimbingan
teknis di bidang
patroli dan
pengamanan,
pengawasan
keselamatan dan
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS),
tertib pelayaran,
penanggulangan
musibah dan
pekerjaan bawah air,
sarana dan prasarana
penjagaan laut dan
pantai;
• Penyiapan
pelaksanaan di
bidang patroli dan
pengamanan,
pengawasan
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 11
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
keselamatan dan
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS),
tertib pelayaran,
penanggulangan
musibah dan
pekerjaan bawah air,
sarana dan prasarana
penjagaan laut dan
pantai;
• Penyiapan
pembinaan teknis di
lingkungan Direktorat
Jenderal
Perhubungan Laut
serta penyusunan
dan pemberian
kualifikasi teknis
sumber daya manusia
di bidang patroli dan
pengamanan,
pengawasan
keselamatan dan
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS),
tertib pelayaran,
penanggulangan
musibah dan
pekerjaan bawah air
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 12
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
dan pemberian
perijinan;
• Penyiapan
pelaksanaan evaluasi
dan pelaporan di
bidang patroli dan
pengamanan,
pengawasan
keselamatan dan
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS),
tertib pelayaran,
penanggulangan
musibah dan
pekerjaan bawah air,
sarana dan prasarana
penjagaan laut dan
pantai; dan
• Pelaksanaan urusan
tata usaha,
kepegawaian dan
rumahtangga
Direktorat.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 13
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 14
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 15
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
untuk
dilakukan
proses
penuntutan.
a. perumusan kebijakan
5. Patroli Kapal Peraturan Menyelenggar Merupakan
di bidang
Pengawas Menteri Kelautan akan Unit Kerja
penyelenggaraan
Direktorat dan Perikanan perumusan Eselon II
pengawasan
Jenderal Nomor dan dibawah Dirjen
penangkapan ikan,
Pengawasan 23/PERMEN- pelaksanaan PSDKP
pengawasan usaha
Sumber KP/2015 tentang kebijakan di
budidaya,
Daya Organisasi dan bidang
pengawasan
Kelautan dan Tata Kerja pengawasan
penguatan daya saing
Perikanan – Kementerian pengelolaan
produk kelautan dan
KKP Kelautan dan sumber daya
perikanan,
Perikanan. kelautan dan
pengawasan
perikanan.
pengelolaan ruang
laut, penyelenggaraan
operasi kapal
pengawas, dan
pemantauan dan
peningkatan
infrastruktur sumber
daya kelautan dan
perikanan, serta
penanganan tindak
pidana kelautan dan
perikanan;
b. pelaksanaan
kebijakan di bidang
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 16
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
penyelenggaraan
pengawasan
penangkapan ikan,
pengawasan usaha
budidaya,
pengawasan
penguatan daya saing
produk kelautan dan
perikanan,
pengawasan
pengelolaan ruang
laut, penyelenggaraan
operasi kapal
pengawas, dan
pemantauan dan
peningkatan
infrastruktur sumber
daya kelautan dan
perikanan, serta
penanganan tindak
pidana kelautan dan
perikanan;
c. penyusunan norma,
standar, prosedur, dan
kriteria di bidang
penyelenggaraan
pengawasan
penangkapan ikan,
pengawasan usaha
budidaya,
pengawasan
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 17
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 18
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
operasi kapal
pengawas, dan
pemantauan dan
peningkatan
infrastruktur sumber
daya kelautan dan
perikanan, serta
penanganan tindak
pidana kelautan dan
perikanan;
e. pelaksanaan evaluasi
dan pelaporan di
bidang
penyelenggaraan
pengawasan
penangkapan ikan,
pengawasan usaha
budidaya,
pengawasan
penguatan daya saing
produk kelautan dan
perikanan,
pengawasan
pengelolaan ruang
laut, penyelenggaraan
operasi kapal
pengawas, dan
pemantauan dan
peningkatan
infrastruktur sumber
daya kelautan dan
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 19
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
perikanan, serta
penanganan tindak
pidana kelautan dan
perikanan;
a. melaksanakan
6. Badan Peraturan Melakukan BAKAMLA
penjagaan,
Keamanan Presiden Nomor patroli merupakan
pengawasan,
Laut 178 Tahun 2014 keamanan Badan yang
pencegahan, dan dipimpin oleh
tentang Badan dan
penindakan
Keamanan Laut keselamatan Pejabat
pelanggaran hukum di dengan jabatan
di wilayah
wilayah perairan struktural
perairan
Indonesia dan wilayah eselon I.a. atau
Indonesia dan
yurisdiksi Indonesia;
wilayah jabatan
b. menyinergikan dan pimpinan tinggi
yurisdiksi
memonitor
Indonesia. utama, dan
pelaksanaan patroli berada di
perairan oleh instansi bawah
terkait; dan koordinasi
c. memberikan bantuan Menko bidang
pencarian dan Politik, Hukum,
pertolongan di wilayah dan Keamanan
perairan Indonesia (Polhukam).
dan wilayah yurisdiksi
Indonesia.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 20
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 21
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 22
No Nama Dasar Hukum Tugas Fungsi Keterangan
Lembaga
(unreported
fishing).
C. Regulasi
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 23
Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional menjadi sangat
penting untuk mewujudkan pelayaran nasional yang berdaya saing sehingga
kegiatan transportasi dalam hal ini ekspor-impor dapat berjalan dengan baik.
Pasal 57 ayat (1) angka 1 UU nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran
menghendaki bahwa pemberdayaan industri angkutan perairan nasional dan
penguatan industri perkapalan nasional wajib dilakukan oleh pemerintah
dengan memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan.
Aspek pembiayaan dan perpajakan tersebut merupakan aspek yang
sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya saing industri pelayaran
nasional. Tingginya biaya investasi dalam kegiatan pelayaran nasional harus
diimbangi dengan kebijakan fiskal yang efektif dan tepat sasaran. Industri
pelayaran nasional dalam rangka melaksanakan Beyond Cabotage saat ini
menjadi subjek dari pengenaan beberapa pajak, salah satunya yaitu pajak
terkait PPN. PPN tersebut terdiri dari PPN jasa angkutan ekspor-impor, PPN
terhadap bongkar muat kontainer sebanyak 10%, PPN bahan bakar yang
terdiri dari PPN sebanyak 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
sebanyak 5% berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor.
Terkait dengan upaya Pemerintah sebagai tindak lanjut pemberdayaan
industri pelayaran nasional dalam aspek perpajakan, pemerintah melalui
Kementerian Keuangan pada tanggal 29 Mei 2020 telah menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41 tahun 2020 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu
serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan
tertentu yang tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) beserta
turunannya PMK Nomor 59 tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset
Pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan
Bebas Batam.
Dengan keluarnya PMK Nomor 41 tahun 2020, industri pelayaran nasional
dapat dibebaskan dari pungutan PPN terhadap jasa kena pajak yang meliputi
jasa persewaan kapal, jasa kepelabuhanan yang meliputi jasa tunda, jasa pandu,
jasa tambat dan jasa labuh, serta jasa perawatan dan perbaikan kapal. Selain
itu, menurut ketentuan yang sama, industri pelayaran nasional juga dapat
dibebaskan dari pengenaan pajak dari impor alat angkutan laut sebagaimana
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 24
dimaksud dalam pasal 2 huruf c PMK Nomor 41 tahun 2020. Pembebasan
tersebut dapat dilakukan oleh wajib pajak dalam hal ini khususnya industri
pelayaran nasional dengan mengajukan permohonan SKTD (Surat Keterangan
Tidak Dipungut) yang berlaku untuk setiap jasa, impor atau penyerahan
sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 41 tahun 2020.
Kebijakan pembebasan pemungutan PPN terhadap jasa wajib pajak dan
alat angkutan air memberikan angin segar bagi industri pelayaran nasional,
khususnya dalam melaksanakan Beyond Cabotage sebagai bentuk kontribusi
dalam neraca perdagangan internasional. Namun, industri pelayaran
Indonesia mengeluhkan bahwa insentif fiskal tersebut belum dapat dinikmati
langsung oleh pelaku usaha pelayaran nasional. SKTD dianggap cukup rumit
dan belum banyak diketahui pelaku usaha. Adapun Survei yang dilakukan
DPP INSA menunjukkan bahwa 65,75% anggotanya belum memahami
sistem E-RKIP, sebanyak 58% belum mengerti proses pengajuan SKTD.20
Oleh karena itu, sosialisasi dan pembahasan antara pemerintah dan pelaku
usaha pelayaran nasional sangat diperlukan untuk dapat memaksimalkan
implementasi PMK Nomor 41 tahun 2020 dalam menunjang industri pelayaran
nasional khususnya terkait perannya sebagai salah satu stakeholder
pelaksana Beyond Cabotage.
Adapun terkait PPH (Pajak Penghasilan), Pemerintah telah menerapkan
pembebasan PPH 22, 25 dan 21 pada Usaha Pelayaran. Berdasarkan Pasal
22, PMK Nomor 34.PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain memberikan ketentuan
bahwa semua kegiatan ekspor-impor baik didalamnya terkait dengan
pengadaan kapal dan alat-alat keperluan untuk Industri pelayaran nasional
menjadi subjek dari pengenaan pajak sebesar 7,5% apabila importir memiliki
API, dan 2,5% apabila importir tidak memiliki API.
Sebagai badan usaha nasional yang bergerak di jasa pelayaran yang
meliputi jasa freight forwarding, jasa logistik, dan jasa-jasa lain terkait dengan
pelayaran merupakan subjek dari pengenaan PPH berdasarkan UU Nomor
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan PMK No. 141/PMK.03/2015.
20
______”INSA gelar FGD Kebijakan Insentif Fiskal dalam Mendorong Ekonomi Industri Maritim”, https://insa.or.id/insa-gelar-fgd-
kebijakan-fasilitas-insentif-fiskal-dalam-mendorong-ekonomi-industri-maritim/ diakses pada 9 November 2020.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 25
PPH tersebut adalah PPH 15 mengenai jenis pajak penghasilan yang
dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak pada industri
pelayaran, penerbangan internasional, dan perusahaan asuransi asing.
Adapun syarat pengenaan PPH pasal 15 adalah WP merupakan perusahaan
pelayaran/penerbangan yang bertempat atau berkedudukan di luar negeri
yang melakukan usaha melalui BUT di Indonesia sebagaimana diatur dalam
SE Dirjen Pajak. PPH 15 menyatakan bahwa perusahaan pelayaran nasional
harus membayarkan PPH sebanyak 1,2% omzet bruto.
Adapun PPH 26 mengatur mengenai pajak penghasilan yang dikenakan
atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain
bentuk usaha tetap di Indonesia. PPH 26 menghendaki bahwa setiap badan
usaha di Indonesia termasuk pelaku usaha pelayaran yang melakukan
transaksi pembayaran kepada wajib pajak luar negeri dikenakan tarif
sebanyak 20% (final) atas jumlah bruto. Namun, terkait pajak ini tergantung
kepada adanya tax treaty atau yang dikenal sebagai penghindaran pajak
berganda antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam
perjanjian. Dengan adanya tax treaty tersebut, maka tarif PPH yang
digunakan dapat berkurang atau menjadi 0%. Adanya PPH ini berhubungan
langsung dengan kebutuhan industri pelayaran nasional khususnya dalam
pengadaan kapal untuk pelaksanaan Beyond Cabotage melalui sewa kapal
asing. Dengan keberlakuan PPH 26, aktivitas sewa kapal asing dikenakan
tarif PPH sebanyak 20 persen apabila dilakukan dengan wajib pajak luar
negeri yang tidak berasal dari negara yang memiliki tax treaty atau
penghapusan pajak berganda di Indonesia.21
Selain PPH 15 dan PPH 26, industri pelayaran nasional juga wajib
membayar PPH atas laba penjualan aktiva badan. Saat ini, laba penjualan
kapal sebagai aktiva dikenakan tarif PPH sebesar 25% sehingga
mengakibatkan tingginya harga untuk melakukan peremajaan kapal baru. Hal
ini menandakan bahwa Insentif perpajakan yang cermat sangat diperlukan
dalam mendukung pertumbuhan armada pelayaran nasional secara
berkelanjutan.
21Lihat keberlakuan Tax Treaty pada UU Nomor 24/2000 tentang perjanjian Internasional. Lihat juga UU PPH Pasal 2 tentang Subjek Pajak
Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4), dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 26
Berdasarkan dengan kondisi diatas, maka dibutuhkan insentif
Perpajakan yang efektif dan tepat sasaran sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan Pasal 57 UU Pelayaran. Tanpa adanya insentif fiskal yang
memadai, industri pelayaran Indonesia akan semakin terpuruk dalam segi
daya saing dan dalam hal peningkatan jumlah armada pelayaran yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan Beyond Cabotage. Insentif fiskal yang efektif
dan tepat sasaran dapat menekan cost dari pelaksanaan ekspor-impor
khususnya dalam melaksanakan Beyond Cabotage oleh industri pelayaran
nasional, sehingga industri pelayaran nasional dapat memberikan kontribusi
bagi pendapatan negara, membuka lapangan pekerjaan, dan menjadi industri
pelayaran yang kuat dan memiliki daya saing baik di dalam negeri maupun
luar negeri untuk melakukan kegiatan angkutan laut khususnya terkait dengan
ekspor-impor.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 27
Skema pembiayaan ini, di Indonesia masih identik dengan skema pembiayaan
yang berjangka waktu pendek dan memiliki beban bunga cukup tinggi. Maka
dari itu, diperlukan skema pembiayaan diluar skema pembiayaan
konvensional agar dapat menciptakan solusi yang menguntungkan bagi
pelaku usaha pelayaran maupun pemberi pinjaman. Sebagai contoh, di Inggris
terdapat berbagai macam skema pembiayaan bagi industri pelayaran. Salah
satunya adalah shipping funds yang banyak dikelola firma-firma yang bergerak
di bidang direct investment dan fund management terkait pelayaran. Selain
shipping funds, terdapat pula contoh lain pembiayaan kapal berbentuk
shipping trust yang banyak ditemukan di Singapura.
Hal lain yang juga layak untuk menjadi perhatian adalah mengenai suku
bunga pembiayaan bagi industri pelayaran. Pelaku usaha pelayaran nasional
menyebutkan bahwa suku bunga pembiayaan bagi industri pelayaran nasional
masih terbilang cukup tinggi bila dibandingkan dengan suku bunga di luar
negeri. Suku bunga untuk sektor pelayaran saat ini masih disamakan dengan
suku kredit bunga untuk pembiayaan komersil dengan suku bunga yang
terbilang tinggi. Hal ini menandakan kebutuhan akan suku bunga yang
kompetitif dalam rangka membantu pemberdayaan pelayaran nasional
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 28
atau pemenuhan putusan. Ship Arrest adalah sebuah tindakan in rem yang
berarti suatu upaya hukum terhadap suatu properti dalam hal ini adalah kapal
yang menjadi objek sengketa. Dengan adanya arrest of ships memungkinkan
kreditur yang telah mendapatkan wewenang dari pengadilan melalui pre-
judgement attachment atau untuk mendapatkan keamanan berupa
penahanan kapal sebelum melalui proses gugatan. Adanya penahanan kapal
ini mengharuskan debitur untuk menyelesaikan sengketanya terlebih dahulu
dengan segera sebagai ganti dari pelepasan kapal yang telah dilakukan
penahanan tersebut.
23
Lihat Final Act, The International Convention on Arrest of Ships, 1952.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 29
sesuai dengan ketentuan mengenai apa saja hal-hal yang mengakibatkan
penahanan kapal timbul.24
24 Lihat Penjelasan Pasal 223 UU Pelayaran. Penjelasan ini memiliki keserupaan dengan Ship Arrest Convention 1999 maupun Ship Arrest
Convention 1952. Sebagai contoh, baik pada penjelasan UU Pelayaran maupun Ship Arrest Convention, ditentukan bahwa klaim pelayaran
dapat timbul karena adanya, 1) Kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal;2) hilangnya nyawa atau luka parah
yang terjadi baik di daratan atau perairan atau laut yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal;3) Biaya-biaya oembanunan, pembangunan
ulang, atau rekondisi;4)dan lainnya.
25
Lihat Penjelasan Pasal 223 (1) UU Pelayaran.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 30
3. Armada Kapal Laut Nasional dalam Pelaksanaan Beyond Cabotage
26
Lihat Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2020
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 31
DWT (deadweight tonnage). Jika dibandingkan dengan peraturan
sebelumnya yakni Permendag Nomor 82 Tahun 2017, terdapat perbedaan
yang mana pada Permendag Nomor 82 Tahun 2017 masih dimungkinkan
ekspor dan impor batubara dan CPO untuk menggunakan angkutan laut asing
sedangkan pada Permendag Nomor 40 Tahun 2020 disebutkan bahwa
ekspor batubara dan atau CPO wajib menggunakan angkutan laut nasional
dan asuransi nasional.
Hal ini menarik untuk dicermati karena dengan adanya klausul
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Permendag Nomor 40 tahun 2020,
eksportir didorong untuk melakukan perubahan terms of trade dari yang
semula FOB, menjadi CIF atau C dan F. Penerapan klausul ini mengharuskan
eksportir Indonesia mencari kapal sendiri.
Tak lama berselang, Kementerian Perdagangan mengeluarkan
Permendag Nomor 65 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Penggunaan
Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor
Barang Tertentu. Permendag Nomor 65 hanya berisikan 2 pasal, yang mana
bila dicermati terdapat perubahan terkait besaran kapasitas angkutan laut
untuk keperluan ekspor batubara dan/atau CPO dan keperluan Impor Beras
dan/atau barang untuk pengadaan barang pemrintah diturunkan menjadi
10.000 DWT.27
Terkait penurunan muatan kapasitas kapal, kembali disebutkan bahwa
berdasarkan pembahasan yang dilakukan oleh Bappenas pada FGD, pelaku
pelayaran nasional sebenarnya belum mendapatkan informasi mengapa
dilakukan pengurangan jumlah kapasitas muatan untuk keperluan ekspor dan
impor tersebut. Dikatakan bahwa beberapa pelaku usaha pelayaran
sebenarnya telah memiliki existing contract dengan memperhatikan ketentuan
pada Permendag 40 Tahun 2020 yang masih mencantumkan muatan
sebanyak 15.000 DWT. Perubahan muatan kapasitas penurunan jumlah
muatan sebagaimana diatur pada Permendag Nomor 60 Tahun 2020 menurut
pelaku usaha pelayaran kurang efisien dan mencerminkan inkonsistensi
27
Lihat pasal 1 Permendag nomor 65 tahun 2020.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 32
dalam pelaksanaan ekspor batubara dan /atau CPO dan impor beras serta
pengadaan barang pemerintah.
Dengan volume ekspor CPO yang rata-rata 30 juta ton per tahun, dari
sisi teknis, masalah penggunaan kapal asing hanyalah bagian dari kontrak
jual beli antara eksportir dan importir, apakah kapal pengangkut menjadi
tanggung jawab penjual (cost, insurance, freight/CIF) atau menjadi tanggung
jawab pembeli (free on board/FOB). Dalam perdagangan CPO Indonesia ke
luar negeri, term of delivery yang dipakai sebagian besar FOB.
Dari sisi makroekonomi, penggunaan kapal asing dengan penggunaan
term FOB membebani transaksi berjalan. Dari defisit transaksi berjalan 2018
senilai US$31 miliar, hampir US$9 miliar diantaranya disumbang oleh defisit
jasa transportasi. Impor jasa transportasi barang alias penggunaan jasa kapal
kargo asing mencapai US$8,5 miliar pada 2018, naik dari tahun sebelumnya
yang hanya US$6,9 miliar. Penggunaan Incoterm CIF atas permintaan
Kementerian Perdagangan. Dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan No.
41/PMK.04/2014 itu sekadar mewajibkan eksportir memasukkan nilai premi
asuransi dan freight ke dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB).
Secara riil, eksportir masih leluasa menggunakan term FOB.
Hal lain yang perlu ditelaah dari Permendag Nomor 40 Tahun 2020
adalah Pasal 4 yang terdapat ketentuan bahwa angkatan laut nasional
sebagaimana dimaksud untuk keperluan ekspor batubara dan/atau CPO dan
keperluan impor beras dan atau barang untuk pengadaan pemerintah
“diselenggarakan” oleh perusahaan angkutan laut nasional. Kata
“diselenggarakan” bila dicermati lebih jauh memiliki arti bahwa dahulu
perusahaan pelayaran nasional masih memiliki pangsa pasar yang besar
karena berlaku ketentuan ekspor dan impor batubara diharuskan dilayani oleh
kapal yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran nasional, maka setelah
diundangkannya Permendag Nomor 40 Tahun 2020 yang memiliki ketentuan
“diselenggarakan”, pelaku usaha pelayaran nasional hanya memiliki pangsa
pasar yang sedikit. Pangsa pasar industri pelayaran nasional mengalami
pengurangan dengan adanya pengurangan kapasitas muatan menjadi hanya
10.000 dwt. Kata “diselenggarakan” disatu sisi sebenarnya muncul karena
ketidaksiapan armada pelayaran nasional untuk memenuhi kebutuhan ekspor
batubara dan CPO yang volumenya sangat besar, namun disisi lain
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 33
sebenarnya bertolak belakang dengan semangat penerapan asas cabotage.
Oleh karena itu, diperlukan rumusan regulasi oleh Kementerian Perdagangan
mengenai tindak lanjut keberlakuan pelaksanaan Beyond Cabotage yang
efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan agar industri pelayaran nasional
dapat secara bertahap tumbuh sehingga menciptakan armada pelayaran
nasional yang mampu untuk memfasilitasi pelaksanaan Beyond Cabotage
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
4. Sertifikasi Kapal
International Maritime Organization (IMO) merupakan organisasi yang
memiliki wewenang untuk melakukan pengaturan-pengaturan terkait industri
pelayaran di dunia. IMO merupakan organisasasi yang mengatur regulasi-
regulasi mengenai pelayaran maupun semua hal terkait dengan
pelaksanaannya. Kapal dengan kapasitas diatas 500 GT atau yang berlayar
di perairan Internasional menjadi subjek dari pengaturan oleh IMO.
Berdasarkan kepentingannya, sertifikat terkait kapal terbagi menjadi
dua, yakni sertifikat class dan sertifikat statutory. Sertifikat Class dinjau dari
lambung (Hull) dan permesinan (Machinery) yang dikeluarkan oleh Badan
Klasifikasi yang diakui Pemerintah Indonesia, yakni Biro Klasifikasi Indonesia
atau Biro Klasifikasi Asing. Sedangkan sertifikat berkenaan dengan safety dan
pencemaran seper Safety of Life at Sea (SOLAS), Marine Polluon (MARPOL),
dan Standards of Training Certification and Watchkeeping (STCW) dan
sertifikat lainnya yang berkaitan dengan konvensi internasional, biasa disebut
Sertifikat Statutory yang diterbitkan oleh Pemerintah diwakilkan oleh
Kementerian Perhubungan dan atau badan klasifikasi (Class) yang ditunjuk
untuk menerbitkan sertifikat atas nama pemerintah Indonesia.
Pasal 129 UU Pelayaran menyebutkan bahwa class adalah lembaga
klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan
permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan
pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan kapal sesuai dengan peraturan
klasifikasi yang mengacu pada regulasi IMO. Sedangkan Permenhub Nomor
7 Tahun 2013 mengatur mengenai kewajiban klasifikasi bagi kapal
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 34
berbendera Indonesia pada Badan Klasifikasi. Setiap kapal berbendera
Indonesia yang wajib diklasifikasikan pada Class memiliki kriteria :
1. Ukuran panjang antara garis tegak depan dan belakang 20 meter atau
lebih;
2. Tonase kotor GT 100 atau lebih; atau
3. Digerakkan dengan tenaga penggerak utama 250 HP atau lebih.
Setiap kapal yang beroperasi di wilayah domestik wajib dilakukan
klasifikasi pada BKI sebagai Badan Klasifikasi Nasional atau dapat dilakukan
dual class antara BKI dengan Class asing yang diakui Pemerintah Indonesia.
Adapun bagi kapal yang berlayar di wilayah Internasional dapat dilakukan
klasifikasi pada BKI atau Badan Klasifikasi Asing, atau dual class.
28
Narasi oleh International Shipowner Association.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 35
pelayaran nasional yang memiliki daya saing untuk memfasilitasi
perdagangan internasional. Hambatan yang pertama adalah mengenai masa
berlaku sertifikat yang tidak seragam dan mengenai penahanan kapal.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 36
2. Pemberian kewenangan sertifikasi statutory sepenuhnya didelegasikan
kepada class dan/atau BKI.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 37
2. Undang-Undang Menurut UU ini, Semua Usulan agar
Republik Indonesia pengguna bahan bakar pemerintah
Nomor 28 Tahun 2009 termasuk solar dikenakan memberikan
Tentang Pajak Daerah tarif pajak bahan bakar pengurangan pajak
dan Retribusi Daerah sebanyak 10%. bahan bakar bagi
pelaku industri
pelayaran nasional
sehingga
mengurangi
operating cost.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 38
Surat Edaran Direktur wajib pajak luar negeri dari dengan rentang 0%,
Jenderal Pajak Nomor Indonesia selain bentuk atau 20% menjadi
SE - 32/PJ.4/1996. Badan Usaha Tetap (BUT) PPh 15 sebesar
di Indonesia. Sementara 2,64% namun tidak
itu, PPh pasal 15 adalah mewajibkan memiliki
jenis pajak penghasilan BUT (Badan Usaha
yang dikenakan atau Tetap).
dipungut dari wajib pajak
yang bergerak pada industri
pelayaran, penerbangan
international dan
perusahaan asuransi asing.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 39
oleh penerima ekspor jasa memperoleh fasilitas
kena pajak. Dengan bebas PPN tanpa
demikian, jasa kena pajak adanya kedua syarat
yang dihasilkan dan formal.
dimanfaatkan di luar
wilayah Indonesia tidak
dikenai PPN (bukan ekspor
jasa).
Anti-avoidance Rule
Ekspor jasa yang dapat
menerima fasilitas PPN
0% harus memenuhi dua
persyaratan formal yaitu
(1) didasarkan atas
perikatan atau perjanjian
tertulis, dan (2) terdapat
pembayaran disertai bukti
pembayaran yang sah dari
penerima ekspor kepada
pengusaha kena pajak
yang melakukan ekspor.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 40
penyerahan jasa dianggap
terjadi di dalam wilayah
Indonesia dan dikenai PPN
dengan tarif 10%.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 41
Relating to the dengan Konvensi keberlakuan SOLAS
International Internasional untuk 88 bagi indusri
Convention for the Keselamatan Jiwa di Laut, pelayaran nasional
Safety of Life at Sea, 1974), yang naskah aslinya yang mengatur
1974. dalam bahasa Arab, mengenai
bahasa Mandarin, bahasa harmonisasi sertifikat
Inggris, bahasa Perancis, yang seringkali
bahasa Rusia, dan bahasa menjadi hambatan
Spanyol serta bagi pelaku
terjemahannya dalam pelayaran nasional di
bahasa Indonesia pelayaran
sebagaimana tercantum Internasional.
dalam lampiran yang
merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari
Peraturan Presiden ini.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 42
IV. REKOMENDASI
A. Kelembagaan
B. Regulasi
1. Insentif Fiskal bagi Pelayaran Nasional
a. Terkait dengan adanya PMK Nomor 41 tahun 2020 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta
Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan
Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
1) Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) syaratnya masih dianggap
rumit. Agar pelaksanaannya dapat sesuai sasaran dan mampu secara
langsung membantu pengurangan operation cost pelayaran, perlu
dilakukan pembahasan dan pembedahan lebih lanjut mengenai syarat-
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 43
syarat apa yang harus disesuaikan oleh Kementerian Keuangan agar
pembebasan pajak sebagaimana diatur dalam Permenkeu Nomor 41
Tahun 2020 ini berjalan optimal.
2) Kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai PMK ini juga harus diatasi
dengan diadakannya diskusi antara Kementerian Keuangan dengan
pelaku usaha pelayaran agar setiap pelaku usaha pelayaran
mendapatkan keringanan sebagaimana dimaksud dalam PMK ini.
b. Terkait dengan Beban Pajak PPH dan PPN pada Industri Pelayaran
Nasional
1) Industri Pelayaran Nasional terkena berbagai macam pajak PPN
maupun PPH. PPN yang dikenakan termasuk PPN Bongkat Muat, PPN
Bahan Bakar berdasarkan UU PDRD, dan PPN Jasa Angkutan ekspor-
impor. Selain PPN, Industri Pelayaran juga merupakan subjek dari PPH
15, PPH 26, dan PPH Badan.
2) Usulan terkait dengan insentif perpajakan untuk industri pelayaran
adalah dilakukan insentif pajak terkait aspek penguatan armada dan
penyediaan kapal sehingga dapat membantu industri pelayaran
nasional dalam memfasilitasi pelaksanaan ekspor-impor komoditas.
Salah satunya adalah terkait usulan perubahan pengenaan PPh atas
jasa sewa kapal asing oleh perusahaan angkutan laut nasional dari PPh
26 dengan rentang 0%, atau 20% menjadi PPh 15 sebesar 2,64%
namun tidak mewajibkan memiliki BUT (Badan Usaha Tetap). Selain itu,
PPH penjualan aktiva badan khususnya kapal juga dapat dikenakan
pengurangan agar membantu industri pelayaran dalam melakukan
peremajaan armada pelayaran Indonesia.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 44
pembiayaan yang berjangka waktu pendek dan memiliki beban bunga
cukup tinggi sehingga masihi kurang cocok dengan industri pelayaran.
2) Usulan agar dibentuk dan dirumuskan skema pembiayaan diluar skema
pembiayaan konvensional agar dapat menciptakan solusi yang
menguntungkan bagi pelaku usaha pelayaran maupun pemberi
pinjaman oleh lembaga yang berwenang mengatur mengenai
pembiayaan dan keuangan baik BI, OJK, maupun lembaga terkait
pembiayaan lain.
b. Urgensi Pelaksanaan Arrest of Ships
Pelaksanaan arrest of ships sebagaimana tertera pada UU Nomor 17 tahun
2008 tentang Pelayaran membutuhkan aturan turunan atau aturan khusus
oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan yang meliputi
bagaimana pelaksanaan rinci Arrest of Ships tersebut, bagaimana waktu
yang ditentukan terkait Arrest of Ships, dan segala suatu hal yang
dibutuhkan terkait dengan kepastian hukum setiap lembaga terkait untuk
melaksanakan keberlakuan Arrest of Ships.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 45
merumuskan kriteria muatan maupun kesiapan industri pelayaran nasional
dalam melaksanakan kegiatan ekspor-impor.
3) Perlunya perumusan regulasi oleh Kementerian Perdagangan mengenai
tindak lanjut keberlakuan pelaksanaan Beyond Cabotage yang efektif, tepat
sasaran, dan berkelanjutan agar industri pelayaran nasional dapat secara
bertahap tumbuh sehingga menciptakan armada pelayaran nasional yang
mampu untuk memfasilitasi pelaksanaan Beyond Cabotage dalam jangka
waktu yang tidak terlalu lama.
4. Sertifikasi Kapal
a. Implementasi Protokol SOLAS 1988 sebagai Solusi dari Permasalahan
terkait Masa Berlaku Sertifikat Kapal.
Dengan adanya implementasi protokol SOLAS 1988, maka pengurusan
sertifikat dapat sesuai dengan masa berlaku sertifikat class kapal tersebut.
Diperlukan penetapan masa berlaku sertifikat yang seragam dan sesuai
dengan ketentuan internasional yang berlaku. Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Perhubungan diharapkan dapat mengimplementasikan
protokol SOLAS 1988 dengan baik agar dapat memberi kelancaran
administrasi serta pengakuan secara internasional.
b. Pemberian Kewenangan Sertifikasi Statutory Sepenuhnya Didelegasikan
Kepada Class dan/atau BKI.
Dengan adanya pemberian kewenangan ini diharapkan tidak ada duplikasi
atas survei dan penerbitan sertifikat statutory antara pemerintah dengan
Class atau BKI, melainkan sepenuhnya dilakukan oleh Class yang diakui
atau BKI sehingga tercipta efisiensi dan mempermudah pengurusan
sertifikat bagi kapal berbendera Indonesia sehingga prosesnya efisien dan
efektif seperti pelayaran internasional lainnya.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan I Laporan Kajian Beyond Cabotage di Perairan Indonesia 46